Disusun oleh :
PRODI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA Y.A.I
JAKARTA
2021
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang ....................................................................................................................... 3
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................................. 4
1.3. Tujuan Makalah..................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................................ 5
2.1. Temperamen & Kelekatan..................................................................................................... 5
2.1.1. Temperamen ................................................................................................................... 5
2.1.1.1. Pengertian ............................................................................................................... 5
2.1.1.2. Klasifikasi Temperamen ......................................................................................... 5
2.1.1.3. Konteks Intervensi dalam Temperamen ................................................................ 6
2.1.2. Kelekatan / Attachment ................................................................................................... 7
2.1.2.1. Pengertian ............................................................................................................... 7
2.1.2.2. Jenis-jenis Kelekatan .............................................................................................. 8
2.1.2.3. Masalah Kelekatan ................................................................................................. 9
2.2. Ketertarikan, Bentuk Cinta dan Kegagalan Cinta ............................................................. 10
2.2.1. Ketertarikan ................................................................................................................. 10
2.2.2. Bentuk Cinta................................................................................................................. 10
2.2.3. Kegagalan Cinta ........................................................................................................... 12
2.3. Gaya Hidup Orang Dewasa Awal ........................................................................................ 13
2.3.1. Pengertian ..................................................................................................................... 13
2.3.2. Konteks Gaya Hidup Dewasa Awal ............................................................................. 13
2.4. Keluarga ............................................................................................................................... 17
2.4.1. Pengertian ..................................................................................................................... 17
2.4.2. Konteks Keluarga ......................................................................................................... 17
2.4.3. Pengaruh Gender Dalam Pola Asuh ............................................................................ 19
BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 21
3.1. Kesimpulan........................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 22
1
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Perkembangan Sosioemosi Dewasa Awal" dengan
tepat waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Perkembangan II.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang tahap perkembangan dewasa awal.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Dina Diana Lucia., M.Psi selaku guru
Mata Kuliah Psikologi Perkembangan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak
yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian menunjukan bahwa masa dewasa awal sangat penting dalam menentukan
bagaimana individu dapat berkembang di tahap selanjutnya. Masa dewasa awal adalah masa
pencarian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah
dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan,
perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Menurut
Hurlock (1986) kisaran umur di masa dewasa awal ini ialah antara 20 sampai 40 tahun.
Santrock (1999) mengemukakan, dewasa awal dimulai dari usia 20 tahun hingga 40
tahun dengan tugas perkembangan yang terdiri dari memilih pasangan, belajar untuk hidup
dengan pasangan, memulai keluarga, memiliki anak, mengatur rumah tangga, mendapatkan
pekerjaan, bertanggungjawab sebagai warga negara dan mencari kelompok sosial.
Pengalaman adolesen dalam mencari identitas dibutuhkan oleh dewasa awal (20-30
tahun). Selama tahap adolesen, individu harus memperoleh pemahaman yang mantap tentang
diri mereka sendiri untuk dapat menyatukan identitas diri mereka dengan identitas orang lain,
tugas yang harus dikerjakan pada tahap dewasa awal. Tahap dewasa awal waktunya relatif
tidak dibatasi. Tahap ini ditandai dengan perolehan keintiman pada awal periode dan
perkembangan berketurunan pada akhir periode. Bagi sebagian orang, periode ini cukup
singkat, tetapi bagi yang lain periode ini membutuhkan waktu puluhan tahun.
Krisis psikososial di periode ini ialah keakraban versus isolasi. Keakraban adalah
kemampuan untuk menyatukan identitas diri dengan identitas orang lain tanpa ketakutan
kehilangan identitas diri itu. Isolasi adalah ketidakmampuan untuk bekerjasama dengan orang
lain melalui berbagi intimasi yang sebenarnya. Orang tetap membutuhkan isolasi dalam kadar
yang cukup sebelum dapat mencapai kemasakan cinta. Apabila kadar isolasi berlebihan dan
intimasi menjadi kecil, yang timbul bukanlah cinta melainkan kesendirian.
Krisis-krisis yang muncul di tahap ini biasanya disebut “Quarter-Life Crisis”. Istilah
quarter-life crisis atau krisis seperempat baya pertama kali diperkenalkan oleh Robbins dan
Wilner (2001) berdasarkan teori emerging adulthood dari Arnett (2000). Krisis emosional ini
3
banyak dialami oleh individu pada usia 20 tahun-an. Krisis ini merupakan periode pergolakan
emosional dan perasaan insecure setelah perubahan besar dari masa remaja menuju dewasa
yang biasanya dimulai dari usia 21 tahun. Menurut Fischer (2008), krisis ini terjadi karena
adanya perasaan khawatir terhadap ketidakpastian hidup di masa depan seputar relasi, karier
dan kehidupan sosial. Seseorang yang tidak mampu merespons dengan baik persoalan yang
dihadapi pada tahap ini diprediksi akan mengalami berbagai masalah psikologis, merasa
terombang-ambing dalam ketidakpastian dan mengalami krisis emosional.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Temperamen & Kelekatan
2.1.1. Temperamen
2.1.1.1. Pengertian
Temperamen adalah kombinasi sifat-sifat yang diwarisi dari orang
tua kepada anak. Temperamen juga dapat diartikan sebagai karakteristik
atau kebiasaan yang terbentuk dari respon emosional. Temperamen bukan
saja cara mendekati dan berinteraksi terhadap dunia luar, tetapi juga cara
mereka meregulasi fungsi mental, emosional dan perilaku mereka.
Kekangan / Inhibisi
Individu yang memiliki temperamen terkekang di masa kanak-kanak
akan sulit bersifat asertif atau memperoleh dukungan sosial dan
5
cenderung lambat dalam memasuki jalur kerja yang stabil di masa
dewasa. Sebuah studi membuktikan bahwa 15% anak laki-laki dan
perempuan di umur 4-6 tahun dinyatakan terkekang oleh orang tua
mereka dan mengalami kesulitan dalam menemukan pasangan serta
keterlambatan dalam memasuki dunia kerja (Asendorph, Denissen &
van Aken, 2008). Penelitian di Uppsala, Swedia juga membuktikan
bahwa rasa malu atau kekangan di masa kanak-kanak memengaruhi
rasa cemas di umur 21 tahun (Bohlin & Hagekull, 2009).
6
kepada anak menentukan untuk cepat menyesuaikan diri
keputusannya sendiri. pada lingkungan baru.
Adanya “tempat berlindung” Anak terus menerus
dimana anak bisa “beristirahat” menghadapi lingkungan yang
Lingkungan
ketika mengalami tekanan / penuh tekanan tanpa bisa
fisik
menerima banyak stimulus. “kabur” karena tidak adanya
“tempat berlindung”.
Kelompok teman yang Kelompok teman sebaya yang
memiliki temperamen yang memiliki temperamen sangat
Pergaulan /
serupa sehingga dapat saling berbeda sehingga anak merasa
Teman Sebaya
mengerti dan anak merasa ditolak.
diterima.
Setiap kelas terdapat murid Kelas yang memiliki jumlah
yang sedikit, sehingga anak murid berlebihan sehingga
Lingkungan
merasa lebih ditoleransi serta anak kurang merasa
sekolah
berani memberikan kontribusi. ditoleransi dan merasa tidak
berharga.
Hasil Kepribadian Saat Dewasa
Seorang dewasa yang hampir Seorang dewasa yang
ekstrovert (mudah bergaul) dan cenderung introvert atau
memiliki emosi yang stabil. tertutup dan memiliki masalah
emosional lebih banyak.
Tabel 2.1 Konteks Intervensi dengan Temperamen Awal Inhibisi
7
mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, contohnya seperti orang tua.
Menurut Santrock, kelekatan mengacu pada suatu relasi antara dua orang
yang memiliki perasaan yang kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal
bersama untuk melanjutkan relasi itu. Menurut Cindy Hazan dan Philip
Shaver (1987), kelekatan yang muncul pada masa bayi berpengaruh dalam
perkembangan sosioemosi individu. Orang dewasa yang menunjukan
kelekatan aman (secure attachment) dalam hubungan romantis dengan
pasangannya cenderung memiliki kelekatan serupa dengan orang tuanya di
masa kanak-kanak. Meskipun demikian, dari sebuah studi longitudinal
lainnya, keterkaitan tersebut melemah apabila terjadi hal-hal yang membuat
tertekan atau merugikan seperti kematian orang tua atau ketidak-stabilan
pengasuh.
8
2.1.2.3. Masalah Kelekatan
Setiap individu dapat mengalami kesulitan dalam menciptakan gaya
kelekatan yang aman, hal ini disebut dengan “Insecure Attachment”. Secara
garis besar, insecure attachment ialah dimana suatu hubungan dipenuhi
dengan rasa takut yang biasanya ditunjukan dengan penolakan terhadap
suatu hubungan dan emosi yang kompleks. Para psikolog percaya bahwa
masalah ini terjadi di masa kanak-kanak dan memengaruhi perkembangan
individu. Sebuah penelitian yang mewawancarai 10.000 individu dewasa
menunjukan bahwa insecure attachment dapat mengakibatkan depresi.
9
2.2. Ketertarikan, Bentuk Cinta dan Kegagalan Cinta
2.2.1. Ketertarikan
Secara keseluruhan, kawan-kawan dan kekasih kita memiliki lebih banyak
kesamaan dengan kita dibandingkan ketidaksamaan → kawan dan kekasih
cenderung memiliki sikap, nilai, gaya hidup, dan daya tarik fisik yang menyerupai
satu sama lain. Meskipun demikian ada beberapa karakteristik berlawanan yang
mungkin menjadi daya tarik.
Orang tertarik dengan orang lain yang memiliki sikap, nilai, dan gaya
hidup yang sama karena adanya validasi konsensual sehingga sikap dan nilai kita
memperoleh dukungan jika sikap dan nilai orang lain juga sama dengan kita. Selain
itu, orang cenderung menghindar dari sesuatu yang tidak diketahuinya. Kesamaan
juga mengimplikasikan bahwa kita akan menikmati melakukan hal-hal dengan
orang yang juga menyukai hal yang sama dan memiliki sikap yang sama. Meskipun
secara abstrak kita memilih orang yang lebih menarik, dalam kenyataannya kita
akhirnya memilih seseorang yang menyerupai level ketertarikan kita sendiri.
10
Cinta afektif (Cinta karena kedekatan)
Tipe cinta yang terjadi ketika seseorang menginginkan seseorang berada di
dekatnya dan memilih afeksi mendalam dan perhatian terhadap orang itu.
Cinta yang sempurna
Melibatkan ketiga dimensi: gairah, keintiman, dan komitmen. Sternberg
mengajukan teori triachic cinta, di mana cinta dapat dipandang sebagai sebuah
segitiga yang terdiri dari tiga dimensi utama yaitu gairah (daya tarik fisik dan
seksual terhadap orang lain), keintiman (perasaan emosi yang mengandung
kehangatan, kedekatan, dan berbagi dalam sebuah relasi) dan komitmen
(penilaian kognitif mengenai relasi dan intensi untuk mempertahankan relasi
meskipun relasi itu menghadapi masalah).
11
2.2.3. Kegagalan Cinta
Cinta yang tidak terbalas dapat mengakibatkan depresi, pikiran obsesif,
disfungsi seksual, ketidakmampuan bekerja secara efektif, kesulitan menjalin relasi
dengan teman baru, dan menghukum diri sendiri. Namun, mengakhiri hubungan
romantis yang tidak sehat akan membantu perkembangan seorang individu untuk
tahap selanjutnya. Sebuah studi membuktikan bahwa ada beberapa dampak positif
yang didapat ketika seseorang mengalami putus hubungan seperti berikut:
12
2.3. Gaya Hidup Orang Dewasa Awal
2.3.1. Pengertian
Gaya Hidup adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah
bergantung zaman atau keinginan seseorang untuk mengubah gaya hidupnya. Istilah
gaya hidup pada awalnya dibuat oleh psikolog Austria, Alfred Adler dan Ferdinand the
Bull, pada tahun 1929.
Dewasa awal adalah peralihan dari masa remaja. Masa remaja yang ditandai
dengan pencarian identitas diri, pada masa awal dewasa, identitas diri ini didapat secara
sedikit-demi sedikit sesui dengan umur kronologis dan mental age- nya. Berbagai
masalah juga muncul dengan bertambahnya umur pada masa dewasa awal.
13
sumber daya pribadi untuk memenuhi tujuan dan kebebasan untuk melakukan
kehendak. Hal ini termasuk dengan pengambilan keputusan dalam mengejar jadwal
dan minat sendiri, kesempatan untuk menjelajahi tempat-tempat baru dan mencoba
hal-hal baru dan privasi. Orang dewasa dapat mencakup atau menjalin hubungan
yang akrab dengan orang dewasa lain, menghadapi mereka yang merasa kesepian,
dan menemukan ceruk dalam masyarakat yang berorientasi pada pernikahan.
Stres juga bisa menjadi masalah dalam kehidupan seorang lajang. Sebuah survei
nasional menyingkapkan bahwa yang lebih tinggi Persentase dari single (58 persen)
melaporkan mereka mengalami stres ekstrim. Begitu orang dewasa mencapai usia
30 tahun, tekanan untuk menetap bisa meningkat dan menikah. Itulah saatnya
ketika banyak orang dewasa lajang secara sadar mengambil keputusan untuk
melakukannya seperti menikah atau tetap melajang.
Cohabiting Adults
Beberapa dari mereka memutuskan untuk hidup bersama tanpa adanya ikatan
pernikahan. Hidup bersama tanpa ikatan apapun, mengalami banyak perubahan
tahun-tahun belakangan ini. Orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan
pernikahan dikarenakan beberapa alasan tertentu. Banyak dari mereka mengatakan
bahwa tinggal bersama pasangan tanpa adanya ikatan akan berguna bagi mereka
untuk mengenal satu sama lain sebelum menikah . Mengetahui gaya hidup pasangan
dan mengenal sifat atau karakter dari pasangan dipercaya dapat membuat hubungan
menjadi harmonis. Mereka berfikir dengan cara ini akan mengurangi kasus
perceraian dalam pernikahan. Pasangan yang hidup bersama menghadapi masalah-
masalah tertentu seperti :
a) Ketidaksetujuan oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya dapat terjadi.
b) Ketegangan emosional pada pasangan yang hidup bersama.
c) Memiliki properti bersama-sama. Hak hukum tentang ini masih menjadi
perbincangan karena tidak adanya ikatan apabila terjadi seusatu dalam hal
kepemilikan.
14
Married Adults
Hingga sekitar tahun 1930, pernikahan yang mapan diakui secara luas sebagai titik
akhir orang dewasa. Pada tahap dewasa awal seseorang akan membuat rencana
kedepan seperti menikah dan berkeluarga. Pernikahan adalah upacara pengikatan
janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud
meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma
sosial. Pernikahan lebih dari sekedar bergabungnya dua individu dalam satu ikatan
pernikahan, dengan banyaknya permasalahan dan berbagai tantangan yang tentunya
membutuhkan adaptasi antar pasangan. Pernikahan dapat membuat hidup individu
menjadi lebih bahagia, memberi kepuasan emosional dan seksual, serta
meningkatkan kesejahteraan secara finansial. Meskipun konsep dan definisi
individu tentang pernikahan pada setiap kebudayaan dan suku bangsa tidak sama,
namun hampir di setiap budaya tersebut mempunyai pandangan yang sama bahwa
pernikahan merupakan sesuatu yang bersifat suci dan dibutuhkan untuk
kelangsungan hidup
Menurut Hurlock (1980) munculnya sikap terhadap pernikahan pada umumnya
terjadi pada individu ketika memasuki masa dewasa awal. Hal ini disebabkan tugas
perkembangan dewasa awal adalah dimulainya masa menikah dan membina
keluarga. Tugas perkembangan dalam masa dewasa awal sendiri adalah mereka
yang berusia 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun. Dalam konteks pernikahan, hidup
bahagia bersama seseorang yang dicintai dan menghabiskan waktu bersama
selamanya adalah pemikiran yang wajar terjadi pada seseorang ditahap dewasa awal.
Divorced Adults
Manusia akan mendapatkan berbagai tantangan dan tekanan dari luar maupun
dalam dirinya sehingga dituntut untuk dapat bertahan (survive) dan menyesuaikan
diri untuk menjaga eksistensi keluarga dan anggotanya. Perceraian kerap kali terjadi
dalam pernikahan. Hal ini dapat terjadi, salah satunya dikarenakan kurangnya
pendidikan tentang kehidupan pernikahan atau pemahaman dalam berumah-tangga.
Perceraian dapat menimbulkan dampak yang besar terhadap anak dalam keluarga
tersebut. Tidak terpenuhinya kasih sayang dari kedua orang tua dapat
15
mempengaruhi perkembangan sang anak. Manusia pada masa dewasa awal yang
memutuskan untuk bercerai, biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
masalah perekonomian, salah paham satu sama lain, kurangnya komunikasi antar
pasangan dan ketidakpuasan dalam seksual.
Remarried Adult
Manusia tahap dewasa awal cenderung menikah lagi dalam kurun waktu 1-3 tahun.
Keluarga yang menikah lagi, biasanya memiliki rumah tangga yang tidak stabil.
Terutama dalam beberapa tahun pertama, akan terjadi banyak hal yang sulit untuk
menyesuaikan diri dalam keluarga baru tersebut. Orang dewasa yang menikah lagi
memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih rendah (lebih tinggi angka depresi,
misalnya) ketimbang orang dewasa dalam perkawinan pertama.
Para peneliti mendapati bahwa hubungan perkawinan orang dewasa yang menikah
lagi lebih bersifat egaliter dan lebih cenderung dicirikan oleh pengambilan
keputusan bersama daripada pernikahan pertama (Waite, 2009). Seperti disebutkan
sebelumnya, orang dewasa yang menikah lagi sering kali berbeda pendapat untuk
tetap tinggal. Beberapa orang memilih untuk menikah lagi karena untuk membantu
kebutuhan finansial maupun membantu membesarkan anak-anak dan untuk
mengurangi kesepian. Pasangan yang menikah lagi juga mengalami lebih banyak
stress dalam membesarkan anak-anak daripada orang tua dalam keluarga yang tidak
pernah bercerai (Ganong, Coleman, & Hans, 2006).
16
heteroseksual. Penelitian baru-baru ini pasangan mengungkapkan bahwa selama 10
tahun hidup bersama, partner dalam hubungan gay dan lesbian menunjukkan
tingkat rata-rata yang lebih tinggi kualitas hubungan daripada pasangan
heteroseksual. Berlawanan dengan stereotip, satu mitra adalah maskulin dan
feminin lainnya hanya dalam persentase kecil gay dan pasangan lesbian. Hanya
sebagian kecil dari populasi gay memiliki sejumlah besar pasangan seksual, dan ini
adalah hal umum antara lesbian. Selain itu, para peneliti telah menemukan bahwa
gay dan lesbian lebih menyukai hubungan jangka panjang yang berkomitmen.
2.4. Keluarga
2.4.1. Pengertian
Keluarga dipahami sebagai kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih
orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan
perkawinan, dan adopsi. Definisi tersebut menunjukkan bahwa keluarga mensyaratkan
adanya hubungan perkawinan, hubungan darah, maupun adopsi sebagai pengikat.
Keluarga dipahami sebagai kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang
mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan,
dan adopsi. Definisi tersebut menunjukkan bahwa keluarga mensyaratkan adanya
hubungan perkawinan, hubungan darah, maupun adopsi sebagai pengikat.
17
asing. Dalam pernikahan yang baik, pasangan bersedia untuk berbagi perasaan
mereka satu sama lain. Mereka menggunakan "peta cinta" ini untuk
mengekspresikan tidak hanya pemahaman mereka satu sama lain tetapi juga
kesukaan dan kekaguman mereka.
18
kurangnya perhatian dan kasih sayang dari pasangan. Dalam penelitiannya,
Gottman telah menemukan bahwa untuk menyelesaikan konflik, pasangan harus
memulai dengan cara yang lembut bukan dengan pendekatan yang kasar, mencoba
untuk membuat dan menerima "upaya perbaikan," mengatur emosi mereka, dan
terlebih mentoleransi kesalahan satu sama lain. Penyelesaian konflik bukan tentang
satu orang yang membuat perubahan tetapi tentang komunikasi yang baik antara
satu sama lain.
f) Ciptakan kebersamaan
Semakin banyak pasangan dapat berbicara dengan terus terang dan penuh hormat
satu sama lain, kemungkinan besar mereka akan menciptakan makna bersama
dalam pernikahan mereka. Ini juga termasuk berbagi tujuan dengan pasangan dan
pekerjaan bersama-sama untuk tujuan masing-masing.
19
Pengenalan gender kepada anak cukup membutuhkan usaha lebih. Hal ini
dikarenakan gender berbeda dengan jenis kelamin yang telah terbentuk secara biologis
melalui kromosom, hormon, dan organ reproduksi. Gender lebih mengacu kepada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang dibentuk oleh lingkungan, adat
istiadat, dan budaya. Gender sendiri meliputi sifat, perilaku, peran, tanggung jawab,
dan tugas antara laki-laki dan perempuan. Selain faktor biologis, gender ditentukan
oleh anggapan masyarakat, norma yang berlaku, pola asuh, juga media. Pengenalan
gender akan berpengaruh pada konsep diri seorang anak, untuk menentukan jati
dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Anak sudah bisa dikenalkan mengenai
gender sejak usia 15 bulan hingga 3 tahun, saat ini anak sudah memasuki fase anal.
Pada fase anal, anak sudah mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda.
Pengenalan gender secara tidak langsung juga bisa diajarkan melalui permainan.
Anak biasanya senang bermain rumah-rumahan. Sementara anak perempuan berperan
sebagai ibu, anak laki-laki akan berperan sebagai ayah. Permainan ini bisa
mengajarkan anak mengenai peran dan tanggung jawab seorang laki-laki dan
perempuan. Misalnya, anak perempuan menggendong boneka yang berpura-pura
sebagai anak. Hal ini mencerminkan bahwa sebagai perempuan telah menjadi
kodratnya ketika dewasa kelak akan berperan sebagai ibu yang bertugas mengasuh
anak. Pada anak laki-laki, bermain peran ini bisa mengajarkannya mengenai tanggung
jawab seorang laki-laki, yakni untuk bertanggung jawab pada keluarga, bertugas
melindungi wanita, dan sebagainya. Praktiknya bukan menitikberatkan terhadap jenis
permainannya, melainkan terhadap tugas dan tanggung jawabnya.
20
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Masa dewasa awal merupakan masa yang penuh dengan perubahan drastis
dikarenakan seorang inidividu memasuki tahap yang sangat berbanding terbalik dengan masa
adolesen. Seorang individu di masa ini memiliki kemampuan untuk mengubah temperamen
dan gaya kelekatan mereka. Masa dewasa awal juga merupakan masa dimana seseorang dapat
menemukan identitas diri mereka (gender) dan dapat membuat keputusan dalam berhubungan
seperti menikah, melajang atau bercerai. Apabila seseorang dapat melewati masa ini dengan
berhasil, ia akan beradaptasi dengan mudah di tahap selanjutnya.
21
DAFTAR PUSTAKA
Santrok, John W., Life-span Development 13th Edition, 2010, McGraw Hill, USA
https://www.universitaspsikologi.com/2018/06/perkembangan-sosioemosi-masa-dewasa-
awal.html
22