KONSEP DIRI
DISUSUN OLEH:
3. Veronika (201901500288)
2020
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur marilah kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyeselasaikan makalah ini tepat
pada waktunya. Kami ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah
mendukung serta membantu kami dalam proses pengerjaan makalah ini.
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dibawa sejak lahir yang dikaruniai
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak boleh direbut oleh siapapun. Yang
apabila melanggar hak asasi manusia sama saja dengan melanggar aturan
hukum yang telah berlaku di Indonesia sejak lama.
Penulis
DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan............................................................................................
B. Tujuan ................................................................................................
C. Manfaat .............................................................................................
1) Masalah Sosisal
2) Upaya Guru BK
C. Harga Diri............................................................................................
F. Perbandingan Sosial...........................................................................
A. Kesimpulan ..................................................................................................
B. Saran ............................................................................................................
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. TUJUAN
1. Mahasiswi mengetahui pengertian tentang konsep diri menurut para ahli
2. Mahasiswi mengetahui tentang pengetahuan tentang diri
3. Mahasiswi mengetahui tentang penjelasan harga diri
4. Mahasiswi mengetahui tentang persepsi akan control diri
5. Mahasiswi mengetahui tentang identitas personal dan social
6. Mahasiswi mengetahui tentang perbandingan social
7. Mahasisiwi mengetahui tentang presentasi diri
C. MANFAAT
Kita dapat memahami dan mengerti tentang konsep diri agar kita dapat
mengimplementasikannya didalam kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
Cara kedua dikenal sebagai a reflected appraisal process (Mead, 1934; Sullivan,
1953, dalam Brehm dan Kassin, 1996). Dalam proses ini individu melakukan
refleksi diri (berkaca) dengan mengobservasi atau berimajinasi apa yang
dikatakan orang lain tentang diri sendiri. Dengan cara ini seorang anak yang
dikatakan oleh orang tuanya bahwa dia berbakat, menyenangkan, dan gemuk
akan berpikir tentang dirinya seperti apa yang dikatakan orang tuanya tersebut.
Baik cara pertama ataupun cara kedua, keduanya akan memengaruhi seseorang
dalam memandang dirinya sendiri. Cooley (1902) menggambarkan proses ini
dengan istilah the looking glass self. Dalam proses ini seseorang diibaratkan
sedang memandang dirinya di dalam cermin. Orang yang bercermin tentunya
akan melihat semua hal yang tampak tentang dirinya. Cleh karena itu, apabila
seseorang menggunakan orang lain sebagai cermin dirinya, maka orang akan
mudah mengenali dirinya.
Teori dua faktor tentang emosi menyatakan bahwa pengalaman emosi seseorang
seringkali disebabkan oleh dua faktor, yaitu arousal fisiologis dan interpretasi
kognitif terhadap arousal tersebut. Misalnya, anak yang jatuh dari sepeda
seringkali tidak langsung menangis, melainkan setelah dilihat orang baru ia
menangis. Contoh lainnya, anak yang bertemu anjing kemudian dia lari. Rasa
takutnya tidak terjadi di saat ia bertemu anjing, melainkan saat dia lari.
Cara ketiga, yaitu dikenal dengan perbandingan sosial (social comparison) seperti
yang pernah diungkapkan oleh Festinger (1954). Dalam cara ini seseorang
membandingkan kemampuannya, sikap-sikapnya, dan keyakinan atau sistem
belief-nya dengan orang lain. Orang akan mengatakan dirinya pandai apabila di
dalam kelas ia memiliki nilai tertinggi. Orang akan memandang dirinya paling
cantik apabila teman-teman sebayanya berpenampilan jelek. Sebaliknya orang
tidak akan berani mengatakan dirinya paling pandai, paling cantik, paling kaya
dan sebagainya apabila tidak ada pembandingnya.
Dalam sejumlah kasus yang terkait dengan per- bandingan sosial ini, seseorang
akan menjadi ragu akan sifat atau atribut yang melekat dalam dirinya apabila
tidak ada pembanding yang sepadan, atau berada dalam lingkungan yang
berbeda dengan ketika sifat-sifatnya muncul. Misalnya, anak yang paling pandai
di kelas akan menjadi ragu-ragu untuk mengatakan bahwa dirinya pandai apabila
ia berada di hutan dan tersesat sehingga tidak dapat keluar dari kesulitannya.
Seseorang juga tidak akan berani menyatakan bahwa dirinya paling kaya apabila
ia berada pada lingkungan baru yang tidak dikenalnya.
Selain ketiga cara di atas, seseorang juga dapat melihat diri dari memory
autobiografi (Brehm dan Kassin, 1996:50). Pendapat kedua ahli itu didasarkan
pada pemikiran filosof James Mills yang menyatakan bahwa fenomena self dan
memory diibaratkan sebagai dua sisi mata uang. Dari pandangannya, seseorang
dapat mengenali dirinya dari catatan-catatan pengalaman yang penting selama
hidupnya. Seseorang gadis akan tidak pernah lupa ketika pertama kali dicium.
Brehm dan Kassin (1996:54-55) yang mengutip karya Hazel Markus dan Shinobu
Kitayama (1991) menyatakan perbedaan antara budaya kolektivisme dan
individualisme memengaruhi cara pandang seseorang terhadap dirinya (self).
Cara pandang ini disebut sebagai multicultural perspectives. Menurut perspektif
ini sebagian besar bangsa Amerika Utara dan Eropa memiliki independent view
tentang self-nya sehingga self dipandang sebagai entitas yang cenderung
berbeda dan otonom dari lingkungannya.
Misal orang yang berhasil dalam budaya ini cenderung menyatakan bahwa
keberhasilannya karena usaha sendiri, dan sebaliknya bila gagal disebabkan
karena juga usahanya sendiri, karena hidup adalah pilihannya sendirinya juga.
Sementara itu kelompok bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin memiliki
interdependent vierw tentang self-nya. Pada perspektif kedua ini self dipandang
sebagai bagian jaring sosial yang meliputi keluarga, rekan kerja, maupun pihak
lain yang berhubungan. Oleh karena itu, pada perspektif ini tidak ada orang yang
menyatakan bahwa keberhasilannya karena usaha sendiri.
Dukungan bahwa bangsa Timur lebih melihat ke arah jaring sosial tampaknya
juga dipengaruhi oleh keyakinan agama dan juga aturan adat. Dalam keyakinan
Islam misalnya, ada pandangan bahwa manusia itu berkewajiban untuk usaha,
sedangkan hasil ditentukan oleh Yang Maha Kuasa (Allah). Sementara itu dari
pengaruh adat budaya tampak bahwa budaya Timur mentabukan bila
keberhasilan seseorang itu semata karena usaha sendiri. Oleh karena itu, apabila
ada orang yang yakin akan keberhasilannya maka orang tersebut akan
mendapatkan label sombong, dan sebagainya.
Oleh karena itu, konsep diri merupakan unsur kognitif mengenai diri (self)
seseorang. Dengan konsep diri, seseorang menyadari adanya perbedaan satu
dengan lainnya. Perlu pula diketahui bahwa konsep diri ini juga dikenal sebagai
citra diri (self-image). Dalam citra diri ini terdapat sifat-sifat diri yang
dipersepsinya berdasarkan pengalaman dan informasi dari lingkungannya. Orang
yang menjaga citra diri cenderung melakukan apa yang dikenal sebagai
penjagaan diri positif (positive self- regard). Kenrick, et al. (2002) yang mengutip
beberapa pendapat ahli menyatakan bahwa ada dua alasan mengapa seseorang
melakukan tindakan ini. Pertama, dengan penjagaan citra diri menyebabkan
munculnya keyakinan kita pada diri sendiri semakin positif dan hal ini menjadi
energi yang kita butuhkan untuk mencapai tujuan kita (Bandura, 1977, dan
Greenwald, 1980). Berdasarkan perspektif ini, penjagaan citra diri mendorong
kita untuk menuju kesuksesan. Dengan menemukan cara-cara yang digunakan
untuk menjaga citra diri ini seseorang dapat meningkatkan kemampuan yang
mengerjakan tugas tertentu (McFarlin, Baumister, dan Blascovich, 1984). Kedua,
penjagaan diri (self-regard) juga menunjukkan bagaimana kita mengerjakan
sesuatu di kehidupan sosial kita. Ketika penjagaan diri melemah, ia akan
memberitahukan bahwa kita memerlukan pengukuran terhadap hubungan
antarpersonal kita dan meningkatkannya (Leary et al., 1995). Dengan
menemukan cara ini seseorang akan meningkatkan penjagaan diri untuk
menurunkan kecemasan tentang hubungan sosial yang dilakukannya.
Kata esteem berasal dari akar kata dalam bahasa Latin esteemare, yang artinya
to estimate atau appraise. Oleh karena itu, self-esteem dapat diartikan sebagai
penilaian (evaluasi) kita yang positif atau pun negatif terhadap diri kita sendiri.
Oleh karena itu, harga diri seseorang bisa lebih tinggi ataupun lebih rendah
daripada orang lain. Karena penilaian ini berada di sistem kognitif, maka
penilaian seseorang terhadap diri sendiri sangat tergantung kepada perubahan
konsep diri penilai terhadap atribut yang melekat berubah, maka harga diri
seseorang juga dapat berubah.
Seperti halnya yang akan dibahas dalam Bab tentang sikap dan perubahannya,
unsur diri (self) dalam belief adalah unsur objek (O), sedangkan sifat-sifat lain
yang melekat merupakan atributnya. Objek seperti diri kita self akan memiliki
banyak atribut.
Bila Anda tidak keberatan untuk mencoba, lakukan empat hal berikut ini: (1) self
yang Anda inginkan, artinya Anda menginginkan atau memiliki harapan agar diri
anda seperti apa, (2) karakteristik yang penting orang lain (misalnya orang tua
Anda) yang disebut juga ideal self-others, (3) karakteristik yang seharusnya anda
miliki berkaitan dengan tugas, tanggung jawab dan kewajiban terhadap orang
lain (ought self) dan (4) karakteristik yang penting bagi orang lain yang anda
rasakan harus dimiliki (ought self-others). Keempat langkah yang telah dilakukan
di atas sebenarnya merupakan tindakan seseorang ketika melihat kesenjangan
(discrepancy) antara konsep diri aktual kita dengan petunjuk diri (self-guides)
kita.
Brehm dan Kassin (1996:56) membuat definisi bahwa harga diri atau self esteem
merupakan "an affective component of the self, consisting of a person's positive
and negative self evaluation". Berdasarkan definisi di atas, harga diri merupakan
komponen afektif dari self, yang berupa evaluasi diri seseorang baik positif dan
negatif. Harga diri dapat dipahami dari cara pandang seseorang berkaitan
dengan kehidupan kesehariannya. Orang yang memiliki penilaian baik terhadap
dirinya akan cenderung bahagia, sehat, sukses, dan produktif. Mereka cenderung
mampu mengerjakan tugas yang berat dalam kurun waktu yang lama, dapat
tidur tenang di malam hari, dan sedikit memiliki keluhan. Mereka juga cenderung
dapat menerima orang lain dan tidak merasakan adanya tekanan dari teman
sebayanya. Sebaliknya orang dengan harga diri yang rendah akan cenderung
cemas, depresi, pesimistik tentang masa depannya dan cenderung gagal dalam
berusaha (Brown 1991; dalam Brehm dan Kassin, 1996:57).
Sejumlah penelitian yang dikutip Brehm dan Kassin (1996) telah menunjukkan
bahwa seseorang cenderung termotivasi untuk menjaga citra dirinya yang positif
karena harga diri dapat menolong melindungi kita dari ketakutan akan mati dan
berbagai bentuk kecemasan (Solomon, 1991 dan Greenbern et al., 1992). Masih
juga belum cukup kerugiannya, orang dengan harga diri yang rendah juga akan
cenderung menderita penyakit tertentu. Strauman et al, (1993) telah mencoba
meneliti bahwa orang yang sadar akan evaluasi diri yang negatif akan
memengaruhi sel darah putih dalam sistem kekebalan (imunisasi) tubuh dan hal
ini dapat memengaruhi kapasitas tubuh untuk melawan penyakit.
Jika kita yakin dapat melakukan sesuatu, itulah efikasi diri. Sedangkan jika kita
menyukai diri kita secara keseluruhan maka itulah harga diri. Jika kita ingin
memberi semangat kepada seseorang fokuslah kepada efikasi dirinya bukan
pada harga dirinya. Sejauhmana orang merasakan hasil sebagai sesuatu yang
dikendalikan secara internal oleh usaha mereka sendiri atau eksternal oleh
kebetulan atau kekuatan di luar dirinya, disebut sebagai pusat kendali (locus of
control).
Manfaat dari perasaan kontrol ini adalah adanya "learned helplessness" yaitu
rasa dan pembelajaran ketidakberdayaan dan menyerah saat manusia tidak
memiliki kendali atas kejadian buruk yang terus berulang.
Pengetahuan kita tentang diri bervariasi pada kontinum identitas personal dan
sosial. Pada identitas personal, seseorang akan mendefinisikan dirinya
berdasarkan atribut atau trait yang membedakan diri dengan orang lain dan
hubungan interpersonal yang dimiliki. Sedangkan pada identitas sosial,
seseorang akan mendefinisikan dirinya berdasarkan keanggotaan dalam suatu
kelompok sosial atau atribut yang dimiliki bersama oleh anggota kelompok
(Vaughan & Hogg, 2002).
Menurut BRewe & Gardiner (1996), tiga bentuk diri yang menjadi dasar bagi
seseorang dalam mendifinisikan dirinya adalah sebagai berikut :
· individual self, yaitu diri yang didefinisikan berdasarkan trait pribadi yang
membedakan dengan orang lain,
Menurut Festinger (1954), untuk mengetahui seperti apa dirinya, orang akan
melakukan perbandingan dengan orang lain karena tidak adanya patokan yang
objective untuk menilai. Dengan demikian, orang lain menjadi sumber informasi
mengenai diri kita. Kita dapat melakukan perbandingan dengan orang lain yang
lebih baik (upward social comparison) maupun yang lebih tidak baik (downward
social comparison). Namun, motif dasar melakukan perbandingan dengan orang
lain adalah lebih karena kita ingin memperoleh gambaran yang positive tentang
diri kita, bukan karena kita ingin memperoleh gambaran yang akurat tentang diri
kita (Baumeister, 1998).
G. PRESENTASI DIRI
Pada dasarnya ada dua tipe presentasi diri, yang masing- masing dilandasi oleh
motif yang berbeda (Brehm dan Kassin, 1996). Strategi presentasi diri merupakan
usaha kita untuk membentuk kesan orang lain dalam cara tertentu dalam rangka
untuk mendapatkan pengaruh, kekuatan, simpati, dan perhatian. Contoh strategi
presentasi diri juga banyak kita jumpai di sekitar kita, baik di dunia kerja, politik,
pengadilan, maupun di tempat-tempat yang melibatkan perhatian orang lain.
Dalam perpolitikan yang berkembang di Indonesia, gejala ini seperti ini mirip
dengan Politik Pencitraan. Tujuan strategi itu umumnya agar kita disenangi,
dipandang kompeten, bermoral, santun, atau bahkan dikasihani oleh orang lain.
Apa pun dalihnya, orang cenderung mengontrol presentasi dirinya dengan
menggunakan perilaku nonverbalnya (Delaulo, 1992). Misalnya, wanita supaya
dipandang tidak rakus, santun, dan feminim di meja makan, maka cara
makannya sedikit-sedikit.
Ciri khas yang menunjukkan bentuk presentasi diri sangat beragam, hal itu khas
untuk orang per orang. Oleh karena itu, umumnya ada dua tujuan strategi
presentasi diri, yaitu ingratiation dan self-promotion. Ingratiation yaitu suatu
tindakan yang dilandasi motivasi untuk mencapai sesuatu (to get along) dan
disukai orang lain. Tujuan kedua presentasi diri adalah self-promotion, yaitu
suatu istilah yang menggambarkan tindakan-tindakan yang dimotivasi oleh
keinginan untuk menjadi tertentu (to get ahead) dan disegani (respected) atas
kompetensi kita (Arkin, 1981; Jones dan Pittman, 1982). Tujuan- tujuan ini
menjadi dasar dalam perilaku sosial yang dikembangkannya pada tahap
selanjutnya. Ketika seseorang berkeinginan untuk terpilih dalam suatu
permainan kompetitif, meskipun di urutan kedua anak akan bangga untuk
membicarakannya.
Seolah-olah usaha ini tampak mudah dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Agar orang disukai temannya maka ia akan memberi makanan, murah senyum,
menganggukkan kepala. Ketika orang ingin dianggap memiliki kompetensi,
mereka mencoba membuat kesan di hadapan orang lain dengan cara
merendahkan diri, banyak diam, dan hanya kata-kata tertentu saja yang
diucapkan.
Presentasi diri mungkin juga dapat menimbulkan problem bagi seseorang. Dalam
artikel yang ditulis oleh Mark Leary et al. tahun 1994 (Brehm dan Kassin, 1996)
yang berjudul Self-presentation can be hazardous to your health" menunjukkan
fakta bahwa adanya kebutuhan untuk disukai dalam citra publik dapat
menyebabkan pola perilaku yang tidak aman.
Motif presentasi diri yang kedua adalah self-verifiation, yaitu keinginan agar
orang lain mempersepsi kita sebagaimana kita mempersepsi diri kita sendiri.
Menurut Swann (1987) orang memiliki kecenderungan yang tinggi untuk
membuktikan konsep diri yang dimilikinya di mata orang lain. Swann (1987) telah
mengumpulkan sejumlah fakta untuk mendukung hipotesisnya ini. Swann (1987)
menyimpulkan bahwa orang akan selektif dalam mengingat dan menerima
umpan balik sifat-sifat kepribadiannya yang sesuai dengan konsep dirinya.
Dari kasus Swann di atas, memang sering kita alami apabila orang menilai kita
dan kita tidak setuju dengan penilaian tersebut yang kita lakukan adalah menolak
masukan dari orang lain tersebut. Ketika komentar orang lain itu sesuai dengan
konsep diri kita, kita bisa menerimanya, sebaliknya bila tidak konsisten yang kita
lakukan adalah menolaknya.
Meskipun presentasi diri terjadi pada semua orang, tampaknya bentuk reaksi
yang dilakukan antarindividu tidak sama. Kadang kala kita sangat sensitif
terhadap reaksi orang lain pada penampilan kita. Sebaliknya kadangkala kita juga
sangat tidak peduli terhadap masukan orang lain atas presentasi diri kita.
Menurut Snyder (1987) hal itu disebabkan oleh sifat kepribadian yang dikenalnya
sebagai monitoring diri (self-monitoring). Self-monitoring merupakan
kecenderungan untuk mengubah perilaku dalam merespons presentasi diri pada
suatu situasi tertentu. Dalam presentasi diri ini ada orang yang memiliki self-
monitoring tinggi dan ada pula yang rendah.
Individu yang memiliki self-monitoring yang tinggi akan memiliki catatan tentang
penampilan dirinya sehingga apabila individu ini mendapatkan masukan dari
pihak lain, ia akan segera mengubahnya sesuai dengan keinginan pihak lain
tersebut. Sebaliknya apabila individu memiliki self-monitoring yang rendah,
orang tersebut kurang responsif terhadap masukan atas presentasi dirinya. Hal
ini bisa disebabkan oleh faktor kepribadiannya yang memang acuh terhadap
lingkungan, dan bisa juga disebabkan karena memang orang ini tidak memiliki
catatan bagaimana mempresentasikan diri dengan "baik" di lingkungannya.
Berhubungan dengan presentasi diri dan monitoring diri ini, kita banyak
menjumpai sekolah etiket (bukan sekolah kepribadian). Dalam sekolah etiket ini
umumnya orang diajarkan bagaimana cara bertindak, berbicara, cara
membawakan diri pada situasi sosial tertentu. Oleh karena itu istilah sekolah
kepribadian kurang tepat, mengingat kepribadian itu adalah sifat yang relatif
stabil dan menetap. Selain itu, materi dari sekolah etiket ini masih kurang
menyentuh semua kalangan masyarakat sehingga terkesan bahwa materinya
hanya untuk kelas sosial tertentu dan untuk situasi sosial tertentu. Hal lain yang
berhubungan dengan pembahasan ini yaitu munculnya aturan protokoler di
instansi- instansi pemerintah. Umumnya aturan protokoler itu dimaksudkan
untuk mengatur prosesi dalam kegiatan tertentu, seperti upacara, apa yang
harus dilakukan oleh seseorang tentang jamuan makan malam, dan sebagainya.
Karena presentasi-diri ini banyak dilandasi olch motif sosial, maka hal itu dapat
dijadikan sebagai lahan bisnis yang potensial.
Jika kita yakin dapat melakukan sesuatu, itulah efikasi diri sedangkan jika kita
menyukai diri kita secara keseluruhan maka itulah harga diri. Jika kita ingin
memberi semangat kepada seseorang fokuslah kepada efikasi dirinya bukan
pada hargadiri nya. Sejauh mana orang merasakan hasil sebagai sesuatu yang
dikendalikan secara internal oleh usaha mereka sendiri atau ekternal oleh
kebetulan atau kekuatan diluar dirinya, disebut sebagai pusat kendali (locus of
control)
B. MASALAH SOSIAL
2. Ubah fokus anda jika anda lebih sering merasa rendah diri karena
menganggap orang lain lebih hebat, ubah focus pada diri sendiri, apa
yang ingin anda kerjakan, dan kemampuan yang ingin anda tingkatkan
sehingga membuat anda lebih percaya diri.
3. Lebih menanamkan pada diri sendiri sifat bersyukur atas apapun yang
telah kita miliki yang diberikan Tuhan untuk kita serta sering beramal dan
bersedekah agar Tuhan mempermudal rezeki kita
B. SARAN
Sebagai seorang professional kita harus memiliki konsep diri yang baik
agar kemampuan dan sikap terutama citra tubuh, ideal diri. harga diri,
identita personal menjadi positif dan dapat mengembangkan perilaku diri
dalam menyesuaikan lingkungan sekitar.