Anda di halaman 1dari 14

Prinsip-prinsip Konseling dan Terapi Multikultur

Budaya menyembunyikan lebih dari yang diungkapkan dan anehnya dari apa yang
disembunyikan, budaya menyembunyikan paling efektif dari pengikutnya sendiri. Bertahun-
tahun studi telah meyakinkan saya bahwa pekerjaan sesungguhnyabukanlah memahami
budaya asing tetapi memahami budaya kita sendiri.

—Edward T. Hall, TheSilence Language

Memberikan saran dan bimbingan kepada penderita bingung dan tidak tahu arah, mendukung
secara emosional, sosial, dan spiritual, dan berusaha menyembuhkan orang-orang yang
hancur dalamjiwa, pikiran, dan tubuh adalah upaya manusia selama ribuan tahun. Selama
bertahun-tahun, berbagai macam penyembuh dan konselor seperti dukun, tabib pria dan
wanita, dokter, herbalis, imam, biksuni, biarawan, biarawati, pastor pengakuan dosa, pengusir
setan, ahli hipnotis, ahli frenologi (ilmu tentang kepribadian seseorang melalui bentuk
tengkoraknya), paranormal penyembuh, peramal, astrolog, dan, baru-baru ini,
psikolog,psikiater, pekerja sosial, konselor, dan psikoterapis telah menawarkan layanan
kepada mereka yang membutuhkan bantuan. Di masa lalu, para penyembuh dan penderita
sering berbagi pandangan umum yang membantu mendukung harapan bersama tentang sifat
ikatan mereka, makna penting upaya-upaya penyembuhan dan konseling, serta sarana dan
tujuan akhir dari upaya mereka.Namun sekarang, persoalannya upaya ini lama-lama makin
berkurang.

Karena banyak masyarakat terus bersifat lebih beragam,multikultural, dan kompleks,


mereka membutuhkan konselor, psikoterapis, pekerja sosial, dan penyembuh yang mampu
berinteraksi secara efektif dengan klien dari berbagai macam latar belakang budaya, etnis,
sosial, politik, dan agama. Para spesialis kesehatan mental saat ini sering diminta untuk
mengkonselingpara anggota dari berbagai subkultur dan kelompok minoritas,
imigran,pengungsi, mahasiswa asing, anggota yang lebih beragam dari budaya mayoritas, dan
orang-orang bikultural/multikultural yang dapat membawa berbagai pengalaman hidup dan
keyakinan budaya yang membingungkan ke dalam pertemuan terapi yang kadang-kadang
sama sekali berbeda dari pengalaman hidup dan keyakinan budaya para terapis.

Situasi ini membutuhkan jenis “mobilitas psikokultural”khusus dari para spesialis


kesehatan mentalyang tidak hanya harus mampu berpikir dalam berbagai perspektif kognitif,
sosial budaya, dan teoritis, tetapi juga harus memperoleh kemampuan untuk memutuskan
perspektif mana yang paling tepat untuk situasi yang mana. Pengetahuan diri serta
pengetahuan tentang budaya lain, sikap positif terhadap pengalaman baru, keterampilan
multilinguistik, dan kemampuan untuk memahami masalah manusia secara umum dan dilema
di balik pakaian budaya yang tampaknya eksotis dari beberapa klien seseorang semuanya
adalah karakteristik konselor-terapis multikultural yang baik. Kemampuan-kemampuan ini
harus disertai dengan perasaan belas kasih dengan orang-orang yang tertindas dan kesepian,
cemas, sedih, marah, dan bingung,serta kemampuan untuk berkomunikasi, dan
menentramkan, klien-klien dengan karakteristik yang berbeda fisik, kepribadian, sistem
kepercayaan, dan pengalaman hidup. Seorang terapis multikultural yang baik yang secara
mental fleksibel, menjauhkan keyakinan etnosentris dalam keunggulan yang unik dari
budaya, agama, dan gaya hidupnya, mampu melihat budayanya “dalam
(multi)perspektif,”memahami beberapa harapan dan keraguan klien yang tak terucapkan, dan
juga pengalaman dan menunjukkan kehangatan dan perhatian kepada berbagai macam orang.
Singkatnya, terapis harus mampu menganut pepatah lama “Tidak ada manusia yang asing
bagi saya,” meskipun sebenarnya, tidak ada orang yang sepenuhnya dapat hidup menurut
teladan yang tersirat dalam pepatah ini.

Mengingat tuntutan yang kompleks, buku kami dirancang untuk membiasakan para
profesional kesehatan mental dan mahasiswa mereka dengan pemikiran ilmiah sosial terbaru
tentang peran budaya dalam konteks intervensi terapeutik dan konseling yang lebih luas.
Selain itu, karena globalisasi adalah kecenderungan yang meresap pada zaman kita, kita
percaya bahwa perspektif global yang menganggap kelompok minoritas Amerika serta arus
budaya internasional akan terbukti sangat membantu dalam berpraktik terapi dan konseling
multikultural. Tentu saja, membaca buku tidak dapat menggantikan penyelaman konselor
sesungguhnya ke dalam budaya dan bahasa asing, tetapi ini bisa mengasah kepekaannya dan
memperluas cakrawala budayanya.Namun demikian, beberapa konselor dan terapis Barat
pernah mengamati manifestasi keputusasaan seorang pemuda IndianSalish di Kanada atau
pengalaman kompleks wanita-wanita modern berpendidikan yang berjalan di balik kerudung
melewati jalan-jalan di Kuwait City.Membaca buku ini tidak bisa menggantikan pengalaman
aktual, tetapi dapat memberikan pengenalan reflektif untuk berbagai situasi manusia dan
pertemuan terapi.

Konsep Budaya

Dalam ilmu-ilmu sosial modern, konsep budaya telah sering digunakan sebagai istilah utama
untukmenyebut bagian dari lingkungan yang telah dibuat oleh manusia.Budaya secara
simultan bersifat fisik, perilaku, dan mental, dan ada baik di luar maupun di dalam diri
kita.Menurut pernyataan antropolog Kroeber dan Kluckhohn (1952),

Budaya terdiri dari pola, eksplisit dan implisit, dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan
ditularkan oleh simbol-simbol, yang merupakan prestasi khusus kelompok manusia, termasuk
perwujudannya dalam artefak-artefak; inti penting dari budaya terdiri dari ide-ide tradisional
dan terutama nilai-nilainya yang melekat; di satu sisi, sistem budaya dapat dianggap sebagai
hasil dari tindakan, di sisi lain sebagai elemen pengaturan dari tindakan lebih lanjut. (hal.
181)

Budaya terdiri dari sistem-sistem kompleks yang fungsional namun kadang-kadang


bertentangan yang terdiri dari harapan yang berpola sosial; peran sosial yang
terkoordinasi;urutan tindakan yang tercatat; narasi yang menyenangkan secara historis, jelas,
dan emosional; sistem komunikasi verbal dan nonverbal; dan nilai-nilai, norma, sikap,
gambaran, metafora, dan tujuan yang sama. Secara bersama-sama, semua itu membantu para
anggota masyarakat untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan hidup dan, lebih
umum, untuk bertahan hidup.Oleh karena itu, sistem penyembuhan telah berkembang di
mana-mana untuk menolong individu mengatasi tekanan fisik dan emosional dalam
membantu adaptasi dan kelangsungan hidup. Seperti yang ditunjukkan Sussman dalam buku
ini, sejumlahkomponen yang sama dapat dilihat dalam sistem penyembuhan dan medis di
seluruh dunia, meskipun keragaman keyakinan dan praktik medis tertentu banyak ditemukan
di seluruh dunia. Komponen-komponen itu termasuk sistem klasifikasi penyakit, keyakinan
etiologis, praktik pengobatan, harapan tentang penyakit dan hasil pengobatan, spesialis
penyembuhan yang ditunjuk, norma-norma terkaitdengan mencari pengobatan dan
manajemen penyakit, dan norma-norma mengenai konsultasi dengan spesialis
penyembuhan.Daftar ini dapat diperluas untuk mencakup sistem-sistem penyembuhan yang
berhubungan dengan individu yang mungkin secara fisik sakit, secara mental-perilaku
“sakit”, atau secara spiritual “sakit” atau yang menunjukkan beberapa kombinasi keluhan ini.
Dalam masyarakat modern, sistem kesehatan mental telah sebagian menyimpang dari sistem
medis, walaupun banyak kesamaan dan banyak tumpang tindih ada di antaranya.

Bab Sussman juga mengingatkan kita bahwa antropolog telah membahas konsep
budaya untuk jangka waktu yang lebih lama daripada psikolog.Antropolog cenderung
mendukung konsepsi budaya yang lebih kompleks dan diinformasikan secara lintas-budaya
daripada banyak terapis dan konselor yang hanya selama beberapa dekade terakhir mulai
kritis memeriksa dampak budaya yang meresap pada kegiatan profesional mereka.
Akibatnya, spesialis kesehatan mental harus belajar dari antropolog budaya dan medis untuk
membentuk perspektif yang lebih luas dan mengurangi bahaya visi terobosan profesional
(lihat juga dua bab oleh Fish dalam hal ini).

Penting sekali untuk menjelaskan bahwa khususnya dalam masyarakat multikultural


modern, individu hanya menghayati aspek-aspek yang dipilih dari banyak budaya yang
mengelilingi mereka.Selain itu, individu dapat menjadi anggota beberapa budaya dan
subkultur sekaligus. Seorang mahasiswa Amerika Tionghoa yang lahir di Kota New York,
misalnya, dapat berbicara bahasa Kanton dengan orangtuanya, bahasa Inggris dengan guru-
gurunya, dan Kanton atau Mandarin “China-Inggris” dengan beberapa temannyawalaupun
dia mungkin hanya dapat mengenali beberapa huruf China.Dia mungkin telah menghayati
beberapa aspek kepercayaan China tentang pentingnya hsiao atau “hao” (berbaktikepada
orangtua) namun juga dapat mendukung keyakinan yang tampaknya bertentangan mengenai
keinginan otonomi perilaku dan emosional sebagai seorang remaja. Hal yang terakhir ini
mungkin akan mencerminkan pengaruh gabungan dari banyak temannya, media massa, dan
bahkan buku teks psikologi perkembangan. Dia mungkin membenci beberapa tekanan
eksternal dan internal yang datang dengan menjadi anggota dari “model minoritas”
keberhasilan tinggi namun secara diam-diam bangga akan hal itu. Mungkin dia sangat
menghargai warisan China-nya namun menolak berbagai aspeknyakarena kuno, tidak adil,
ketinggalan zaman, atau semata-mata tidak relevan.Sama halnya, ia mungkin telah
menghayati—entah disadari atau tidak—banyak aspek budaya khas Amerika tetapi menolak
yang lain. Seandainya ia harus memilih untuk memasuki terapi, ada kemungkinan identitas
bikulturalnya dan perasaan kompleksnya tentang hal itu akan menjadi fokus penting dari
diskusi. Namun demikian, tidak ada yang sederhana tentang identitas bikultural sepertinya,
yang sekaligusdapat membingungkan, memperkaya, menghambat, dan membebaskan.

Kemungkinan konselor-terapis China bikultural secara intuitif akanmengenali beberapa


kompleksitas dan perasaan ambivalen ini tetapi seorang spesialis kesehatan mental non-Asia
Timur monokultural, akan mendapati sulit untuk sepenuhnya memasuki kerangka pikirannya.
Konseling dan terapimultikultural bukanlah untuk mereka yang lemah hati: Mereka menuntut
semua persyaratan keterampilan dan emosional yang melekat dalam profesi kesehatan
mental, ditambah pula lapisan tambahan kompleksitas yang berkaitan dengan harapan budaya
yang sangat beragam, pengalaman, mode komunikasi, dan cara-cara hidup di dunia.

Pendapat tentang “budaya yang diinternalisasi” menggarisbawahi bahwa individu


bukanlah salinan dari masyarakat sekitar mereka.Sementara mereka dipengaruhi secara
meluas oleh hal itu, kepribadian, pola perilaku, pikiran, emosi, dan identitas mereka
merefleksikan pengaruh-pengaruh biologis, psikologis, dan sosial budaya secara simultan
(Hirsch, buku ini). Apalagi, banyak orang akan percaya bahwa makhluk dan kekuatan gaib
daripada anggota kelompok mereka yang kasat mata telah menciptakan dan/atau bertanggung
jawab atas tubuh, pikiran, dan jiwa mereka (misalnya, Jilek & Draguns; Sussman, keduanya
dalam buku ini). Yang lain akan menampilkan gejala-gejala fisik yang memiliki substratum
fisik yang mendasari namun mempunyai signifikansi.

Sepertiditunjukkan dalam kutipan oleh Edward Hall pada awal bab ini, budaya banyak
bekerja di luar lingkup kesadaran kita. Kita yang paling mungkin menjadi sadar akan asumsi
budaya kita ketika budaya itu dilanggar atau ketika kita terjun ke dalamlingkungan budaya
yang berbeda dari yang lazim kita kenal. Kesadaran budaya berkembang pesat pada berbagai
perbandingan budaya dan kontradiksi yang memancing emosi. Namun, beragam norma
budaya yang ada di seluruh dunia tidak mewajibkan kita untuk menerima relativisme budaya
secara keseluruhan (Kuriansky, buku ini; Tanaka-Matsumi, buku ini). Dalam situasi
konseling, misalnya, konselor dan klien dapat berbagi berbagai perspektif dan keyakinan,
namun pertemuan mereka masih dapat meleset oleh karena perbedaan yang tampaknya kecil
dalam harapan perilaku.Ada kearifan dalam komentar dari pepatah petani Vermont yang
menyatakan, “Orang-orang sebagian besar sama, tetapi apa perbedaan yang ada, adalah
sangat penting.”

Para ilmuwan sosial yang membahas variabilitas lintas-budaya dari perilaku manusia
telah mengadopsi berbagai pendapat teoritis.Relativisme budaya seperti yang ditekankan Fish
(buku ini) bahwa berbagai variasi keyakinan dan perilaku dapat diamati di seluruh
masyarakat. Sebaliknya, para universalis lebih berfokus dengan menemukan proses-proses
psikologis yang samadi bawah perilaku yang berpola secara kultural. Para ahli psikoanalisis
seperti Rubin (buku ini) mendalilkan bahwa pola-pola kepribadian tertentu, mekanisme
pertahanan ego, proses berpikir, dan motif-motif dasar dapat ditemukan di seluruh dunia.
Dalam buku ini, baik para relativis dan universalis diberi suara untuk sepenuhnya mewakili
berbagai pendapat mengenai isu sentral ini. Dengan kata lain, para kontributor padabuku ini
berkaitan dengan proses-proses psikologis universal yang konon mendasari bentuk-bentuk
intervensi yang tampil cukup berbeda dan juga beberapa dari lebih banyak manifestasi
budaya khusus dari penyembuhan dan konseling.

Para peneliti lintas-budaya lainnya telah berfokus pada sejumlah dimensi nilai yang
bersamanya budaya dan subkultur dapat diurutkan. Ini termasuk lima dimensi nilai Hofstede
(lihat Draguns, buku ini) serta “dimensi konteks” penting yang membedakan antara
kutubbudaya konteks tinggi (misalnya, budaya kota kecil Jepang tradisional) dan budaya
konteks rendah (misalnya, budaya Amerika modern, terutama di dalam atau di sekitar pusat-
pusat kota metropolitan).

Anggota budaya konteks rendah diajarkan untuk mengkomunikasikan pikiran dan


emosi mereka secara eksplisit dan percaya pada prinsip-prinsip umum yang dapat digunakan
untuk menciptakan makna dan ketertiban dalam struktur sosial moral masyarakat (misalnya,
kebebasan, keadilan, dan pengejaran kebahagiaan).Sebaliknya, komunikasidalam budaya
konteks tinggi cenderung tidak langsung, implisit, tergantung pada konteks, tak terucapkan,
dan nonverbal.Pola komunikasi seperti ini sangat mungkinterjadi dalam budaya yang relatif
homogen dan kolektivistis di mana pemahaman yang tak terucapkandibagikan secara
luas.Karena budaya modern menjadi semakin heterogen dalam hal etnis dan gaya hidup, pola
komunikasi konteks tinggi menjadi lebih disfungsional dan sulit untuk dipertahankan. Hal ini
terutama berlaku ketika anggota subkultur yang berbeda mencoba menyampaikan makna
emosional yang pelik dan harapan sosial yang rumit satu sama lain.

Perbedaan antara budaya konteks rendah dan tinggi-konteks sering membuktikan


pentingnya memahami kesalahpahaman lintas-budaya tertentu dalam situasi konseling/terapi.
Terapis dan konselor darilatar belakang budaya konteks rendah, misalnya, mungkin
akanmenyadari sulitnya “membaca” klien yang matang dalam budaya konteks tinggi. Mereka
ingin klien mereka menguraikan apa yang mengganggu mereka sehingga mereka bersama-
sama bisa mulai mengerahkan tenaga untuk bekerja. Namun, klien mungkin berharap bahwa
seorang konselor yang hebat “tidak perlu diberitahu,”bahwa ia harus bersikap empatik dan
dengan demikian mampu memahami perasaan dan harapan klien melalui semacam osmosis
emosional. Mereka mungkin berpikir: Jika dia tidak dapat memahami makna dan pesan saya
yang tak terucapkan, kenapa dia menyebut dirinya seorang terapis? Dalam situasi seperti itu,
baik terapis maupun klien akan mudah merasa kecewa tanpa sepenuhnya menyadari asal-usul
budaya dari frustrasi mereka. Penghentian terapi secara dini oleh klien bukan merupakan
hasil yang biasa dalam situasi seperti itu.

Etnis, Ras, Agama, dan Identitas Gender dalam Dunia Multikultural

Telah dikatakan bahwa setiap orang dalam beberapa hal samaseperti semua orang lain(sifat
manusia yang sama), dalam beberapa hal seperti banyak orang lain (karakteristik kelompok),
dan dalam hal-hal tertentu tidak seperti orang lain (individu yang unik, Kluckhohn, Murray,
& Schneider, 1953). Dengan cara analogi, kita dapat mendalilkan bahwa identitas subjektif
seseorang meliputi kesadaran seseorang bahwa dia sama seperti semua (atau hampir semua)
orang lain (“Saya seorang manusia dengan persepsi, pikiran, dan perasaan manusia dan bukan
binatang, tanaman, objek tak bernyawa, hantu, atau setan “), seperti beberapa orang lain
(“saya seorang wanita Maya dan ibu rumah tangga yang sudah menikah, berbeda dari
campuran ras dan budaya Ladinos, anggota kelompok minoritas yang berbahasa Maya
daripada berbahasa Spanyol, dan penghuni Guatemala “), dan seperti tidak ada orang lain
(“saya orang yang unik dengan nama tertentu dan pribadi yang menghuni tubuh yang unik “).
Penekanan khusus buku ini adalah pada berbagai identitas kelompok yang dibentuk secara
kultural bersama-sama dengan asosiasi, pikiran, gambaran, penanda linguistik, narasi sejarah,
dan perasaan bahwa orang-orang berkaitan dengan identitas etnis, ras, agama, dan politik
mereka.Terutama dalam masyarakat kolektivistis, identitas kelompok tersebut membentuk
inti dari lokasi subjektif dan simbolik seseorang dalam ruang dan waktu sosial budaya.

Budaya memberikan anggotanya berbagai identitas yang kadang-kadang wajib dan


adakalanya opsional.Oleh karena itu, identitas gender biasanya wajib, meskipun orang-orang
dari jenis kelamin biologis yang sama diperbolehkan untuk memenuhi identitas ini dengan
konten yang agak berbeda. Demikian pula, identitas rasial di Amerika yang sampai saat ini
dianggap kekal dan tidak dapat dihindari: “Satu tetes darah hitam” secara otomatis mengubah
seseorang menjadi Negro dan dengan demikian orang yang sangat tidak beruntung, yang
lebih jauh lagi, dianggap oleh sebagian besar orang kuli putih memiliki karakteristik mental
dan perilaku tertentu (terutama yang tidak menguntungkan). Sebaliknya, di Brazil, orang
telah mengadopsi lebih dari 100 label untuk gabungan (biologis) orang-orang yang terlihat
berbeda “ras” (Fish, buku ini). Dengan demikian, identitas rasial yang dibentuk secara sosial,
bervariasi dalam cara-cara yang kompleks melintasi batas-batas budaya, umumnya
didasarkan pada teori-teori biologi yang menyesatkan, dan sering tertanam dalam hierarki
sosial budaya dan sosial ekonomi yang tidak dapat dengan mudah dihindari oleh individu.

Munculnya bentuk-bentuk modern dari pluralisme budaya di Kanada, Australia, Afrika


Selatan, Amerika Serikat, dan sebagian Eropa Barat telah memperlunak atau profil beberapa
identitas, menjadikannya lebih lunak, dapat dirundingkan, dan kadang-kadang bahkan
opsional. Identitas etnis khususnya telahdidefinisikan ulang dalam berbagai cara di Amerika
Serikat dan di tempat lain. Sedangkan untuk beberapa generasi sebelumnya identitas etnis
keluarga imigran (kulit putih) diharapkan akan melebur dalam perjalanan dua generasi, saat
ini banyak orang Amerika bangga menampilkan identitas etnis ditulis dengan memakai tanda
penghubung, meskipunmereka mungkin telah kehilangan banyak warisan linguistik dan
budaya mereka. Selain itu, karena meningkatnya perkawinan antara orang-orang dari latar
belakang etnis, agama, dan “ras” yang berbeda, kami menemukan di antara generasi muda
banyak orang dengan identitas etnis-linguistik-agama-rascampuran dan kompleks.Di seluruh
dunia hibridisasi budaya terus terjadi dan menciptakan peningkatan jumlah individu dengan
identitas budaya campuran dan kompleks.

Identitas etnis baru dan “super-identitas” terus-menerus dibuat, walaupun identitas itu
sering mencakup konsepsi yang bertentangan dan implikasi yang menyesatkan tentang asal-
usul biologis/ras.Kategori budaya juga sering kali berbeda dari kategori sensus, menciptakan
kebingungan lebih lagi. Kategori “Hispanik,” misalnya, awalnya diciptakan oleh Biro Sensus
Amerika sebagai kategori ras, mencerminkan keyakinan rakyat Amerika, untuk menyebut
orang-orangasal Amerika Latin—meskipun Hispanik sangat beragam dalam penampilan fisik
(dan hampir 200 juta orang di Brazil berbahasa Portugis, bukan Spanyol). Selanjutnya,
kategori sensus berubah untuk menegaskan bahwaHispanik adalah kelompok etnis yang bisa
menjadi “ras apa pun”—menciptakan paradoks tentang suatu ras yang bisa saja ras apapun.

Sejumlah besar orang Meksiko dan Amerika Tengah memiliki persentase jauh lebih
besar keturunan New World daripada penduduk asli Amerika; namun, mereka tidak dapat
mengklasifikasikan diri mereka sebagai “Indian” karena mereka bukan anggota dari daftar
resmi suku-suku yang diakui di Amerika Serikat. Empat puluh dua persen orang-orang yang
mengklasifikasikan diri Hispanik memilih “Others” (lainnya) sebagai ras mereka—
menunjukkan bahwa kategori itu tidak secara kultural sesuai dengan individu yang
dimaksudkan untuk diklasifikasikan. Selanjutnya, “Other” telah menjadi kategori sensus yang
tumbuh paling cepat (Departemen Pertanian Amerika Serikat, 2006)—menyatakan bahwa
cara-cara sensus mengklasifikasikan penduduk Amerika itu tidak sesuai dengan cara-cara
orang Amerika mengklasifikasikan diri mereka sendiri.

Mengutip contoh lain dari ketidaklogisan, label “Amerika Asia” secara tradisional
menyebut orang-orang asal Asia Timur sementara diam-diam mengabaikan imigran Asia
lainnya seperti Rusia dari Siberia, Turki dari Anatolia, Uzbek dari Asia Tengah, Kurdi dari
Irak, orang-orang Yahudi dari Israel, dan masih banyak lagi. Baru-baru ini, label “Amerika
Asia” tampaknya berkembang menyertakan imigran Asia Selatan—baik secara langsung dari
India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka dan tidak langsung dari Karibia dan belahan dunia
lainnya—dan keturunan mereka. Identitas budaya kelompok minoritas “Desi” tampaknya
terbentuk, sejajar dengan kelompok Hispanik/Latino, sehinggaanak-anak imigran Pakistan
Muslim dan imigran India Hindu memandang dirinya (dan dipandang oleh orang Amerika
lainnya) sebagai anggotakelompok etnis yang sama bahkan meskipun negara asal mereka
siap sedia dalam masalah ketidaksepakatan nuklir.

Dengan demikian, identitas etnis dan ras mengacu pada internalisasi subjektif seseorang
dari satu atau lebih label yang tersusun secara kultural yang dapat mencakup ide-ide
kontradiktif namun juga membangkitkan emosi yang kuat yang bersifat kondusif pada
konflik antarkelompok yang serius serta interaksi yang tidak memuaskan antara klien dan
konselor-terapis.

Kita semua membawa berbagai identitas berbeda-beda yang diaktifkan dalam konteks
yang berbeda.Apalagi, arti penting identitas dapat berubah dari waktu ke waktu.Dalam
psikoterapi, misalnya, identitas etnis yang berbeda dari terapis dan klien mungkin cukup
penting dalam tahap awal tetapi (sementara) memudar setelah aliansi terapi yang sukses telah
dibuat.

Secara terkait, klien Amerika Afrika mungkin diam-diam menguji terapis kulit putih
pada awal terapi, untuk melihat apakah dia cukup bebas dari prasangka dan menunjukkan
pemahaman dan kepekaan terhadap budaya Amerika Afrika dan isu-isu keanggotaan
kelompok minoritas.Orang Amerika kulit hitam yang tidak melacak asal-usul mereka pada
perbudakan di Amerika Serikat mungkin bereaksi cukup berbeda dari orang-orang yang
melakukannya. Berikut adalah suara seorang mahasiswa asal India Barat yang mengkritik
tren terbaru di Amerika Serikat yang memberi label banyak orang berkulit gelap seperti
dirinya orang “Amerika Afrika”:

Saya benar-benar tidak menyukai label “Amerika Afrika.”Bahkan, saya tidak pernah berada
di Afrika ataupun memiliki anggota keluarga saya yang berada di sana selama enam generasi
terakhir. Saya seorang Trinidad [“dengan kartu hijau”], bukanAmerika Afrika.Saya punya
beberapa kerabat India Timur dan tahu lebih banyak tentang adat Hindu daripada apa pun
tentang Afrika. Saya lebih suka disebut kulit hitam dari Afrika atau sesuatu lainnya.

Sebagaimanaditunjukkan dalam kutipan tersebut, identitas etnis-ras—seperti identitas


yang lain—sering diperdebatkan walaupun membangkitkan emosi yang kuat dan kadang-
kadang konfliktual.Demikian juga, dua orang yang menerapkan label identitas yang sama
pada diri mereka sendiri mungkin tetap menghubungkan label itu pada pikiran, perasaan, dan
gambaranyang cukup bervariasi tentang apakah makna label itu seharusnya baik bagi diri
mereka sendiri dan orang lain. Menggunakan analogi musik, kita mungkin berpikir bahwa
identitas memberikan tema budaya yang diikuti oleh deretan tak berujung darivariasi individu
yang kurang atau lebih harmonis. Dengan demikian, identitasyang dibentuk secara budaya
dan individual, berinteraksi dengan identitas orang lain, muncul dan tenggelam dalam situasi
tertentu, lebih atau kurang berubah-ubah dalam hal karakter, dan “dipenuhi” dengan konten
yang melimpahsecara sadar maupun bawah sadar. Mengingat bahwa identitas budaya
merupakan jembatan antara kepribadian individu seseorang dan lingkungan sosial budayanya,
intervensi kesehatan mental sering menyebabkan definisi ulang danrestrukturisasi identitas
seseorang.

Sementara di Amerika Serikat label ras dan identitas menjadi pusat dari banyak diskusi
multikultural, di negara-negara Eropa seperti Prancis atau Inggris pertanyaan tentang ras
sering memilikipengaruh pengendali untuk pertimbangan agama-etnis (serta orang-orang dari
kelas sosial). Mengingat kebangkitan identitas Islamdi seluruh Timur Tengah dan Afrika
Utara, memperluas ketegangan politik antara wilayah-wilayah ini dan Barat, dan kegagalan
dari banyaknegara Eropa untuk sepenuhnya mengintegrasikan para imigran Afrika Utara dan
Timur Tengah ke dalam masyarakat mereka, identifikasi keagamaan telah berperan dalam
menonjolkan kesenjangan ekonomi, budaya, dan politik yang ada di antara sejumlah besar
anggota masyarakat Eropa dan anggota keluarga imigran.Konselor multikultural dalam
masyarakat ini harus dipersiapkan secara khusus untuk menangani masalah-masalah
keagamaan yang timbul dalam pertemuan terapi dengan wawasan dan kepekaan.Ini tidak
mudah dilakukan karena psikologi modern dan ilmu-ilmu sosial lainnya cenderung
mendorong konsepsi sekuler, ilmiah, dan relativistik dari sifat manusia.Banyak ahli kesehatan
mental mungkin merasa sulit berempati dan secara intuitif memahami klien-klien yang
melibatkan pergumulan pribadi, identitas inti, dan eksistensi mereka kaitannya
denganperjalanan pribadi atau bersamamenuju keselamatan.Tugas ini dibuat bahkan lebih
menantang ketika sistem dan identitas kepercayaan agama klien masih asing bagi
konselor.Selain itu, para konselor utama Eropa juga harus ingat bahwa banyak imigran lain
dari negara-negara Muslim menganutsebagian besar kepercayaan sekuler. Selain itu, para
imigran dari negara-negara Timur Tengah termasuk Kristen, Yahudi, Baha’i, Druze, dan
sebagainya. Di Amerika Serikat, sebagian besar orang-orang asal Arab adalah orang Kristen.
Maka, identitas agama dan etnis sering berinteraksi dengan cara-cara yang mungkin awalnya
tampak mengejutkan bagi terapis luar yang kurang informasi namun terasa wajar bagi klien
yang dimaksud.
Situasi konseling mau tidak mau akan dipengaruhi oleh latar belakang perbedaan dalam
pelaksanaannya. Perbedaan tersebut dapat berupa tingkat ekonomi, gender, minat sexual, dan
yang paling riskan adalah kebudayaan masing-masing subjek konseling itu sendiri. Sangat
penting bahwa konselor akrab dengan berbagai keberagaman perbedaan terkait yang
ditemukan pada setiap situasi yang konseling yang berlangsung (Roopnarine & Gielen 2005).
Karena pengaruh budaya di mana-mana terkait dengan berkembangnya kesadaran seseorang
akan identitas, konselor profesional harus memiliki pemahaman informasi perkembangan dan
menyeluruh mengenai peran tingkat ekonomi, gender, minat sexual serta manifestasinya
dalam budaya-budaya yang berbeda. Dalam situasi multikultural, sangat riskan terjadi
konselor secara tidak sengaja mengindoktrinasi atau menyesatkan klien yang memiliki
pemahaman tentang tanggung jawab peran terkait keluarga dan/atau gender menyimpang
jauh dari pemahaman kita sendiri. Namun demikian, pekerjaan utama konselor adalah
membantu klien hidup lebih mudah dan produktif dengan diri mereka sendiri dan orang lain
yang signifikan, daripada mencoba mengubah mereka ke dalam cara hidup dan berpikir
konselor itu sendiri. Berikut adalah beberapa prinsip etika yang terkait dengan
multikulturalisme yang diadaptasi dari Asosiasi Konseling Amerika (2005):

1) Pengembangan dan Sensitivitas Budaya

Konselor mengkomunikasikan informasi dengan cara-cara sebagaimana sehingga


sesuai dengan tahapan perkembangan dan budaya. Konselor menggunakan bahasa yang
jelasdan dimengerti ketika membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan persetujuan
yang diinformasikan. Ketika klien memiliki kesulitan memahami bahasa yang digunakan
oleh konselor, mereka menyediakan layanan yang diperlukan (misalnya, mengatur juru tafsir
atau penerjemah) untuk memastikan pemahaman klien. Bekerja sama dengan klien, konselor
mempertimbangkan implikasi budaya dari prosedur persetujuan yang diinformasikan itu dan,
bilamana mungkin, konselor menyesuaikan praktek mereka agar sesuai.

2) Pertimbangan Multikultural/Keanekaragaman

Konselor mempertahankan kesadaran dan kepekaan terhadap makna budaya dari


kerahasiaan dan privasi. konselor menghormati pandangan yang berbeda terhadap
pengungkapan informasi apapun dari klien termasuk budaya dari klien.

3) Batasan Kompetensi

Konselor berlatih hanya dalam batasan kompetensi mereka, berdasarkan pendidikan,


pelatihan, pengalaman yang diawasi, surat izin profesional negara dan nasional, dan sesuai
pengalaman profesional mereka. Konselor mendapatkan pengetahuan, kesadaran pribadi,
kepekaan, dan keterampilan yang terkait bekerja dengan populasi klien yang beragam.

4) Non diskriminasi

Konselor tidak membenarkan atau terlibat dalam diskriminasi berdasarkan usia,


budaya, kecacatan, etnis, ras, agama/spiritualitas, gender, identitas gender, orientasi seksual,
status perkawinan/kemitraan, preferensi bahasa, status sosial ekonomi, atau dasar apa pun
yang dilarang oleh hukum.

5) Sensitivitas Budaya

Konselor mengakui bahwa budaya memengaruhi cara di mana masalah klien


didefinisikan. Pengalaman sosial ekonomi dan budaya klien dipertimbangkan ketika
mendiagnosis setiap permasalahan klien.

6) Prasangka Sejarah dan Sosial dalam Diagnosis Patologi

Konselor mengenali prasangka sejarah dan sosial dalam kesalahan diagnosis dan
anggapan individu dan kelompok tertentu yang tidak sesuai secara psikologis dan medis serta
peran profesional kesehatan mental dalam mengabadikan prasangka ini melalui diagnosis dan
pengobatan.

7) Populasi Beragam Budaya

Konselor berhati-hati ketika memilih penilaian untuk populasi budaya yang beragam
dengan menghindari penggunaan instrumen yang kurang bersifat psikometrik yang sesuai
untuk populasi klien tersebut.

8) Isu-Isu Multikultural/Keanekaragaman dalam Penilaian

Konselor menggunakan dengan hati-hati teknik-teknik penilaian yang bernorma pada


beberapa populasi selain populasi klien itu. Konselor mengetahui dampak usia, warna kulit,
budaya, kecacatan, kelompok etnis, jenis kelamin, ras, preferensi bahasa, agama, spiritualitas,
orientasi seksual, dan status sosial ekonomi pada pengadaan dan interpretasi tes, dan
menempatkan hasil tes dalam perspektif yang benar dengan faktor-faktor lain yang relevan.

9) Isu-Isu Multikultural/Keanekaragaman dalam Pengawasan

Supervisor konseling menyadari dan menunjukkan peran multikulturalisme /keragaman


dalam hubungan supervisi.
10) Menanamkan Isu-Isu/Keanekaragaman Multikultural

Konselor menanamkan materi yang terkait dengan multikulturalisme /keragaman ke dalam


semua program dan lokakarya untuk pengembangan konselor profesional.

11) Keragaman Mahasiswa

Pendidik konselor secara aktif berusaha merekrut dan mempertahankanberagam mahasiswa.


Pendidik konselor menunjukkan komitmen kepada kompetensi multikultural/keragaman
dengan mengenali danmenilai beragam budaya dan jenis-jenis kemampuan mahasiswa yang
dibawa pada pengalaman pelatihan. Pendidik konselor menyediakan akomodasi yang tepat
yang meningkatkan dan mendukung kesejahteraan dan prestasi akademik beragam
mahasiswa.

12) Kompetensi Multikultural/Keanekaragaman

Pendidik Couselor secara aktif menanamkan kompetensi multikultural/keragaman dalam


praktik pelatihan dan pengawasan mereka. Mereka secara aktif melatih siswa untuk
memperoleh kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan dalam kompetensi praktek
multikultural. Pendidik konselor memasukkan contoh kasus, permainan peran, pertanyaan
diskusi, dan kegiatan-kegiatan kelas lainnya yang meningkatkan dan menunjukkan berbagai
perspektif budaya.

13) Pertimbangan Multikultural/Keanekaragaman dalam Penelitian

Ketika tepat saatnya untuk tujuan penelitian, konselor peka terhadap penggabungan prosedur-
prosedur penelitian yang memperhitungkan pertimbangan budaya. Mereka mencari
konsultasi jika diperlukan.

Diadaptasi dari Kode etik (Asosiasi Konseling Amerika, 2005).

Apakah Prinsip dan Teknik Konseling Dasar yang Sama Berlaku pada Semua Orang
Terlepas dari Latar Belakang Budaya?

Kontroversi di sini adalah antara mengambil perspektif“etik” atau “emik” (Berry, 1969).
Pendekatan etik menekankan unsur-unsur universal konseling bahwa semua kelompok
budaya diasumsikan untuk berbagi. Contohnya adalah: diskriminasi, pengembangan identitas,
validasi dan pemberdayaan, komunikasi, perbedaan kelas sosial, akulturasi,
transferensi/pemindahan, dan kontra-transferensi (Das, 1995; Lee, 1994). Pendekatan emik
menekankan karakteristik adat atau spesifik dari masing-masing kelompok budaya yang
mungkin berdampak pada proses konseling. Perbandingannya adalah antara suatu kelompok
(cakupan secara mendalam dari budaya tertentu) versus pendekatan konseptual terhadap
konseling multikultural. Banyak buku tentang konseling multikultural cenderung mengambil
perspektif yang lebih emik; namun, pendekatan yang terbaik adalah campuran dari perspektif
etik dan emik (Das, 1995).Buku ini mengadopsi pendekatan campuran. Bagian pertama
mencakup tema-tema etik yang lebih universal pada lintas budaya (misalnya, diskriminasi,
penilaian, akulturasi, pengembangan identitas) dan dua bagian berikutnya berfokus pada
kelompok etnis (misalnya, penduduk asli Amerika, Amerika Afrika, Latino dan Latina,
Amerika Asia, Amerika Eropa, dan Amerika Arab) dan beberapa minoritas budaya tertentu
(misalnya, perempuan, pria gay dan lesbian, lanjut usia, dan orang-orang penyandang cacat).
Yang baru dari edisi ini, dua pengaruh yang lebih etik, spiritualitas dan pertimbangan kelas
sosial, dibahas dalam bab-bab yang berfokus pada kelompok budaya yang luas.

Anda mungkin juga menyukai