Budaya menyembunyikan lebih dari yang diungkapkan dan anehnya dari apa yang
disembunyikan, budaya menyembunyikan paling efektif dari pengikutnya sendiri. Bertahun-
tahun studi telah meyakinkan saya bahwa pekerjaan sesungguhnyabukanlah memahami
budaya asing tetapi memahami budaya kita sendiri.
Memberikan saran dan bimbingan kepada penderita bingung dan tidak tahu arah, mendukung
secara emosional, sosial, dan spiritual, dan berusaha menyembuhkan orang-orang yang
hancur dalamjiwa, pikiran, dan tubuh adalah upaya manusia selama ribuan tahun. Selama
bertahun-tahun, berbagai macam penyembuh dan konselor seperti dukun, tabib pria dan
wanita, dokter, herbalis, imam, biksuni, biarawan, biarawati, pastor pengakuan dosa, pengusir
setan, ahli hipnotis, ahli frenologi (ilmu tentang kepribadian seseorang melalui bentuk
tengkoraknya), paranormal penyembuh, peramal, astrolog, dan, baru-baru ini,
psikolog,psikiater, pekerja sosial, konselor, dan psikoterapis telah menawarkan layanan
kepada mereka yang membutuhkan bantuan. Di masa lalu, para penyembuh dan penderita
sering berbagi pandangan umum yang membantu mendukung harapan bersama tentang sifat
ikatan mereka, makna penting upaya-upaya penyembuhan dan konseling, serta sarana dan
tujuan akhir dari upaya mereka.Namun sekarang, persoalannya upaya ini lama-lama makin
berkurang.
Mengingat tuntutan yang kompleks, buku kami dirancang untuk membiasakan para
profesional kesehatan mental dan mahasiswa mereka dengan pemikiran ilmiah sosial terbaru
tentang peran budaya dalam konteks intervensi terapeutik dan konseling yang lebih luas.
Selain itu, karena globalisasi adalah kecenderungan yang meresap pada zaman kita, kita
percaya bahwa perspektif global yang menganggap kelompok minoritas Amerika serta arus
budaya internasional akan terbukti sangat membantu dalam berpraktik terapi dan konseling
multikultural. Tentu saja, membaca buku tidak dapat menggantikan penyelaman konselor
sesungguhnya ke dalam budaya dan bahasa asing, tetapi ini bisa mengasah kepekaannya dan
memperluas cakrawala budayanya.Namun demikian, beberapa konselor dan terapis Barat
pernah mengamati manifestasi keputusasaan seorang pemuda IndianSalish di Kanada atau
pengalaman kompleks wanita-wanita modern berpendidikan yang berjalan di balik kerudung
melewati jalan-jalan di Kuwait City.Membaca buku ini tidak bisa menggantikan pengalaman
aktual, tetapi dapat memberikan pengenalan reflektif untuk berbagai situasi manusia dan
pertemuan terapi.
Konsep Budaya
Dalam ilmu-ilmu sosial modern, konsep budaya telah sering digunakan sebagai istilah utama
untukmenyebut bagian dari lingkungan yang telah dibuat oleh manusia.Budaya secara
simultan bersifat fisik, perilaku, dan mental, dan ada baik di luar maupun di dalam diri
kita.Menurut pernyataan antropolog Kroeber dan Kluckhohn (1952),
Budaya terdiri dari pola, eksplisit dan implisit, dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan
ditularkan oleh simbol-simbol, yang merupakan prestasi khusus kelompok manusia, termasuk
perwujudannya dalam artefak-artefak; inti penting dari budaya terdiri dari ide-ide tradisional
dan terutama nilai-nilainya yang melekat; di satu sisi, sistem budaya dapat dianggap sebagai
hasil dari tindakan, di sisi lain sebagai elemen pengaturan dari tindakan lebih lanjut. (hal.
181)
Bab Sussman juga mengingatkan kita bahwa antropolog telah membahas konsep
budaya untuk jangka waktu yang lebih lama daripada psikolog.Antropolog cenderung
mendukung konsepsi budaya yang lebih kompleks dan diinformasikan secara lintas-budaya
daripada banyak terapis dan konselor yang hanya selama beberapa dekade terakhir mulai
kritis memeriksa dampak budaya yang meresap pada kegiatan profesional mereka.
Akibatnya, spesialis kesehatan mental harus belajar dari antropolog budaya dan medis untuk
membentuk perspektif yang lebih luas dan mengurangi bahaya visi terobosan profesional
(lihat juga dua bab oleh Fish dalam hal ini).
Sepertiditunjukkan dalam kutipan oleh Edward Hall pada awal bab ini, budaya banyak
bekerja di luar lingkup kesadaran kita. Kita yang paling mungkin menjadi sadar akan asumsi
budaya kita ketika budaya itu dilanggar atau ketika kita terjun ke dalamlingkungan budaya
yang berbeda dari yang lazim kita kenal. Kesadaran budaya berkembang pesat pada berbagai
perbandingan budaya dan kontradiksi yang memancing emosi. Namun, beragam norma
budaya yang ada di seluruh dunia tidak mewajibkan kita untuk menerima relativisme budaya
secara keseluruhan (Kuriansky, buku ini; Tanaka-Matsumi, buku ini). Dalam situasi
konseling, misalnya, konselor dan klien dapat berbagi berbagai perspektif dan keyakinan,
namun pertemuan mereka masih dapat meleset oleh karena perbedaan yang tampaknya kecil
dalam harapan perilaku.Ada kearifan dalam komentar dari pepatah petani Vermont yang
menyatakan, “Orang-orang sebagian besar sama, tetapi apa perbedaan yang ada, adalah
sangat penting.”
Para ilmuwan sosial yang membahas variabilitas lintas-budaya dari perilaku manusia
telah mengadopsi berbagai pendapat teoritis.Relativisme budaya seperti yang ditekankan Fish
(buku ini) bahwa berbagai variasi keyakinan dan perilaku dapat diamati di seluruh
masyarakat. Sebaliknya, para universalis lebih berfokus dengan menemukan proses-proses
psikologis yang samadi bawah perilaku yang berpola secara kultural. Para ahli psikoanalisis
seperti Rubin (buku ini) mendalilkan bahwa pola-pola kepribadian tertentu, mekanisme
pertahanan ego, proses berpikir, dan motif-motif dasar dapat ditemukan di seluruh dunia.
Dalam buku ini, baik para relativis dan universalis diberi suara untuk sepenuhnya mewakili
berbagai pendapat mengenai isu sentral ini. Dengan kata lain, para kontributor padabuku ini
berkaitan dengan proses-proses psikologis universal yang konon mendasari bentuk-bentuk
intervensi yang tampil cukup berbeda dan juga beberapa dari lebih banyak manifestasi
budaya khusus dari penyembuhan dan konseling.
Para peneliti lintas-budaya lainnya telah berfokus pada sejumlah dimensi nilai yang
bersamanya budaya dan subkultur dapat diurutkan. Ini termasuk lima dimensi nilai Hofstede
(lihat Draguns, buku ini) serta “dimensi konteks” penting yang membedakan antara
kutubbudaya konteks tinggi (misalnya, budaya kota kecil Jepang tradisional) dan budaya
konteks rendah (misalnya, budaya Amerika modern, terutama di dalam atau di sekitar pusat-
pusat kota metropolitan).
Telah dikatakan bahwa setiap orang dalam beberapa hal samaseperti semua orang lain(sifat
manusia yang sama), dalam beberapa hal seperti banyak orang lain (karakteristik kelompok),
dan dalam hal-hal tertentu tidak seperti orang lain (individu yang unik, Kluckhohn, Murray,
& Schneider, 1953). Dengan cara analogi, kita dapat mendalilkan bahwa identitas subjektif
seseorang meliputi kesadaran seseorang bahwa dia sama seperti semua (atau hampir semua)
orang lain (“Saya seorang manusia dengan persepsi, pikiran, dan perasaan manusia dan bukan
binatang, tanaman, objek tak bernyawa, hantu, atau setan “), seperti beberapa orang lain
(“saya seorang wanita Maya dan ibu rumah tangga yang sudah menikah, berbeda dari
campuran ras dan budaya Ladinos, anggota kelompok minoritas yang berbahasa Maya
daripada berbahasa Spanyol, dan penghuni Guatemala “), dan seperti tidak ada orang lain
(“saya orang yang unik dengan nama tertentu dan pribadi yang menghuni tubuh yang unik “).
Penekanan khusus buku ini adalah pada berbagai identitas kelompok yang dibentuk secara
kultural bersama-sama dengan asosiasi, pikiran, gambaran, penanda linguistik, narasi sejarah,
dan perasaan bahwa orang-orang berkaitan dengan identitas etnis, ras, agama, dan politik
mereka.Terutama dalam masyarakat kolektivistis, identitas kelompok tersebut membentuk
inti dari lokasi subjektif dan simbolik seseorang dalam ruang dan waktu sosial budaya.
Identitas etnis baru dan “super-identitas” terus-menerus dibuat, walaupun identitas itu
sering mencakup konsepsi yang bertentangan dan implikasi yang menyesatkan tentang asal-
usul biologis/ras.Kategori budaya juga sering kali berbeda dari kategori sensus, menciptakan
kebingungan lebih lagi. Kategori “Hispanik,” misalnya, awalnya diciptakan oleh Biro Sensus
Amerika sebagai kategori ras, mencerminkan keyakinan rakyat Amerika, untuk menyebut
orang-orangasal Amerika Latin—meskipun Hispanik sangat beragam dalam penampilan fisik
(dan hampir 200 juta orang di Brazil berbahasa Portugis, bukan Spanyol). Selanjutnya,
kategori sensus berubah untuk menegaskan bahwaHispanik adalah kelompok etnis yang bisa
menjadi “ras apa pun”—menciptakan paradoks tentang suatu ras yang bisa saja ras apapun.
Sejumlah besar orang Meksiko dan Amerika Tengah memiliki persentase jauh lebih
besar keturunan New World daripada penduduk asli Amerika; namun, mereka tidak dapat
mengklasifikasikan diri mereka sebagai “Indian” karena mereka bukan anggota dari daftar
resmi suku-suku yang diakui di Amerika Serikat. Empat puluh dua persen orang-orang yang
mengklasifikasikan diri Hispanik memilih “Others” (lainnya) sebagai ras mereka—
menunjukkan bahwa kategori itu tidak secara kultural sesuai dengan individu yang
dimaksudkan untuk diklasifikasikan. Selanjutnya, “Other” telah menjadi kategori sensus yang
tumbuh paling cepat (Departemen Pertanian Amerika Serikat, 2006)—menyatakan bahwa
cara-cara sensus mengklasifikasikan penduduk Amerika itu tidak sesuai dengan cara-cara
orang Amerika mengklasifikasikan diri mereka sendiri.
Mengutip contoh lain dari ketidaklogisan, label “Amerika Asia” secara tradisional
menyebut orang-orang asal Asia Timur sementara diam-diam mengabaikan imigran Asia
lainnya seperti Rusia dari Siberia, Turki dari Anatolia, Uzbek dari Asia Tengah, Kurdi dari
Irak, orang-orang Yahudi dari Israel, dan masih banyak lagi. Baru-baru ini, label “Amerika
Asia” tampaknya berkembang menyertakan imigran Asia Selatan—baik secara langsung dari
India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka dan tidak langsung dari Karibia dan belahan dunia
lainnya—dan keturunan mereka. Identitas budaya kelompok minoritas “Desi” tampaknya
terbentuk, sejajar dengan kelompok Hispanik/Latino, sehinggaanak-anak imigran Pakistan
Muslim dan imigran India Hindu memandang dirinya (dan dipandang oleh orang Amerika
lainnya) sebagai anggotakelompok etnis yang sama bahkan meskipun negara asal mereka
siap sedia dalam masalah ketidaksepakatan nuklir.
Dengan demikian, identitas etnis dan ras mengacu pada internalisasi subjektif seseorang
dari satu atau lebih label yang tersusun secara kultural yang dapat mencakup ide-ide
kontradiktif namun juga membangkitkan emosi yang kuat yang bersifat kondusif pada
konflik antarkelompok yang serius serta interaksi yang tidak memuaskan antara klien dan
konselor-terapis.
Kita semua membawa berbagai identitas berbeda-beda yang diaktifkan dalam konteks
yang berbeda.Apalagi, arti penting identitas dapat berubah dari waktu ke waktu.Dalam
psikoterapi, misalnya, identitas etnis yang berbeda dari terapis dan klien mungkin cukup
penting dalam tahap awal tetapi (sementara) memudar setelah aliansi terapi yang sukses telah
dibuat.
Secara terkait, klien Amerika Afrika mungkin diam-diam menguji terapis kulit putih
pada awal terapi, untuk melihat apakah dia cukup bebas dari prasangka dan menunjukkan
pemahaman dan kepekaan terhadap budaya Amerika Afrika dan isu-isu keanggotaan
kelompok minoritas.Orang Amerika kulit hitam yang tidak melacak asal-usul mereka pada
perbudakan di Amerika Serikat mungkin bereaksi cukup berbeda dari orang-orang yang
melakukannya. Berikut adalah suara seorang mahasiswa asal India Barat yang mengkritik
tren terbaru di Amerika Serikat yang memberi label banyak orang berkulit gelap seperti
dirinya orang “Amerika Afrika”:
Saya benar-benar tidak menyukai label “Amerika Afrika.”Bahkan, saya tidak pernah berada
di Afrika ataupun memiliki anggota keluarga saya yang berada di sana selama enam generasi
terakhir. Saya seorang Trinidad [“dengan kartu hijau”], bukanAmerika Afrika.Saya punya
beberapa kerabat India Timur dan tahu lebih banyak tentang adat Hindu daripada apa pun
tentang Afrika. Saya lebih suka disebut kulit hitam dari Afrika atau sesuatu lainnya.
Sementara di Amerika Serikat label ras dan identitas menjadi pusat dari banyak diskusi
multikultural, di negara-negara Eropa seperti Prancis atau Inggris pertanyaan tentang ras
sering memilikipengaruh pengendali untuk pertimbangan agama-etnis (serta orang-orang dari
kelas sosial). Mengingat kebangkitan identitas Islamdi seluruh Timur Tengah dan Afrika
Utara, memperluas ketegangan politik antara wilayah-wilayah ini dan Barat, dan kegagalan
dari banyaknegara Eropa untuk sepenuhnya mengintegrasikan para imigran Afrika Utara dan
Timur Tengah ke dalam masyarakat mereka, identifikasi keagamaan telah berperan dalam
menonjolkan kesenjangan ekonomi, budaya, dan politik yang ada di antara sejumlah besar
anggota masyarakat Eropa dan anggota keluarga imigran.Konselor multikultural dalam
masyarakat ini harus dipersiapkan secara khusus untuk menangani masalah-masalah
keagamaan yang timbul dalam pertemuan terapi dengan wawasan dan kepekaan.Ini tidak
mudah dilakukan karena psikologi modern dan ilmu-ilmu sosial lainnya cenderung
mendorong konsepsi sekuler, ilmiah, dan relativistik dari sifat manusia.Banyak ahli kesehatan
mental mungkin merasa sulit berempati dan secara intuitif memahami klien-klien yang
melibatkan pergumulan pribadi, identitas inti, dan eksistensi mereka kaitannya
denganperjalanan pribadi atau bersamamenuju keselamatan.Tugas ini dibuat bahkan lebih
menantang ketika sistem dan identitas kepercayaan agama klien masih asing bagi
konselor.Selain itu, para konselor utama Eropa juga harus ingat bahwa banyak imigran lain
dari negara-negara Muslim menganutsebagian besar kepercayaan sekuler. Selain itu, para
imigran dari negara-negara Timur Tengah termasuk Kristen, Yahudi, Baha’i, Druze, dan
sebagainya. Di Amerika Serikat, sebagian besar orang-orang asal Arab adalah orang Kristen.
Maka, identitas agama dan etnis sering berinteraksi dengan cara-cara yang mungkin awalnya
tampak mengejutkan bagi terapis luar yang kurang informasi namun terasa wajar bagi klien
yang dimaksud.
Situasi konseling mau tidak mau akan dipengaruhi oleh latar belakang perbedaan dalam
pelaksanaannya. Perbedaan tersebut dapat berupa tingkat ekonomi, gender, minat sexual, dan
yang paling riskan adalah kebudayaan masing-masing subjek konseling itu sendiri. Sangat
penting bahwa konselor akrab dengan berbagai keberagaman perbedaan terkait yang
ditemukan pada setiap situasi yang konseling yang berlangsung (Roopnarine & Gielen 2005).
Karena pengaruh budaya di mana-mana terkait dengan berkembangnya kesadaran seseorang
akan identitas, konselor profesional harus memiliki pemahaman informasi perkembangan dan
menyeluruh mengenai peran tingkat ekonomi, gender, minat sexual serta manifestasinya
dalam budaya-budaya yang berbeda. Dalam situasi multikultural, sangat riskan terjadi
konselor secara tidak sengaja mengindoktrinasi atau menyesatkan klien yang memiliki
pemahaman tentang tanggung jawab peran terkait keluarga dan/atau gender menyimpang
jauh dari pemahaman kita sendiri. Namun demikian, pekerjaan utama konselor adalah
membantu klien hidup lebih mudah dan produktif dengan diri mereka sendiri dan orang lain
yang signifikan, daripada mencoba mengubah mereka ke dalam cara hidup dan berpikir
konselor itu sendiri. Berikut adalah beberapa prinsip etika yang terkait dengan
multikulturalisme yang diadaptasi dari Asosiasi Konseling Amerika (2005):
2) Pertimbangan Multikultural/Keanekaragaman
3) Batasan Kompetensi
4) Non diskriminasi
5) Sensitivitas Budaya
Konselor mengenali prasangka sejarah dan sosial dalam kesalahan diagnosis dan
anggapan individu dan kelompok tertentu yang tidak sesuai secara psikologis dan medis serta
peran profesional kesehatan mental dalam mengabadikan prasangka ini melalui diagnosis dan
pengobatan.
Konselor berhati-hati ketika memilih penilaian untuk populasi budaya yang beragam
dengan menghindari penggunaan instrumen yang kurang bersifat psikometrik yang sesuai
untuk populasi klien tersebut.
Ketika tepat saatnya untuk tujuan penelitian, konselor peka terhadap penggabungan prosedur-
prosedur penelitian yang memperhitungkan pertimbangan budaya. Mereka mencari
konsultasi jika diperlukan.
Apakah Prinsip dan Teknik Konseling Dasar yang Sama Berlaku pada Semua Orang
Terlepas dari Latar Belakang Budaya?
Kontroversi di sini adalah antara mengambil perspektif“etik” atau “emik” (Berry, 1969).
Pendekatan etik menekankan unsur-unsur universal konseling bahwa semua kelompok
budaya diasumsikan untuk berbagi. Contohnya adalah: diskriminasi, pengembangan identitas,
validasi dan pemberdayaan, komunikasi, perbedaan kelas sosial, akulturasi,
transferensi/pemindahan, dan kontra-transferensi (Das, 1995; Lee, 1994). Pendekatan emik
menekankan karakteristik adat atau spesifik dari masing-masing kelompok budaya yang
mungkin berdampak pada proses konseling. Perbandingannya adalah antara suatu kelompok
(cakupan secara mendalam dari budaya tertentu) versus pendekatan konseptual terhadap
konseling multikultural. Banyak buku tentang konseling multikultural cenderung mengambil
perspektif yang lebih emik; namun, pendekatan yang terbaik adalah campuran dari perspektif
etik dan emik (Das, 1995).Buku ini mengadopsi pendekatan campuran. Bagian pertama
mencakup tema-tema etik yang lebih universal pada lintas budaya (misalnya, diskriminasi,
penilaian, akulturasi, pengembangan identitas) dan dua bagian berikutnya berfokus pada
kelompok etnis (misalnya, penduduk asli Amerika, Amerika Afrika, Latino dan Latina,
Amerika Asia, Amerika Eropa, dan Amerika Arab) dan beberapa minoritas budaya tertentu
(misalnya, perempuan, pria gay dan lesbian, lanjut usia, dan orang-orang penyandang cacat).
Yang baru dari edisi ini, dua pengaruh yang lebih etik, spiritualitas dan pertimbangan kelas
sosial, dibahas dalam bab-bab yang berfokus pada kelompok budaya yang luas.