Anda di halaman 1dari 14

Subjective Well Being ditinjau

Dari Jenis Kelamin dan Efikasi Diri


Windari Prinata (1607043003)
Anisa Kartika Wulan (1607043005)
Desta Israwanda (1607043014)
Luthfia Khoirunisa(1607043031)
Pengertian Subjective well being
Subjective Well-Being (kesejahteraan
subjektif) adalah kombinasi antara afek positif
dan kepuasan hidup yang lebih banyak
daripada afek negatif Diener (dalam Snyder &
Lopez, 2007). Istilah kesejahteraan subjektif
sering digunakan sebagai sinonim untuk
kebahagiaan dalam literatur psikologi Frijda
(dalam Snyder & Lopez, 2007).
Aspek-Aspek Subjective Well Being

Menurut Diener (dalam Indriyani, 2013),


kesejahteraan subjektif memiliki tiga
komponen,antara lain:
– Life Satisfaction atau kepuasan hidup dapat terdiri
dari kepuasan yang dirasakan dalam berbagai bidang
kehidupan, seperti rekreasi, cinta, pernikahan,
persahabatan, dan lain sebagainya.
– Afek menyenangkan, terbagi menjadi emosi positif
khusus seperti afeksi dan harga diri.
– Afek yang tidak menyenangkan,dapat dipisahkan
menjadi emosi dan mood khusus, seperti malu,
marah, sedih, rasa bersalah, dan cemas.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Subjective Well Being
• Perbedaan Jenis Kelamin
Shuman (dalam Eddington dan Shuman, 2005)
menyatkan penemuan menarik mengenai perbedaan
jenis kelamin dan subjective well being. Wanita lebih
banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi
dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari
bantuan terapi untuk mengatasi gangguan ini, tetapi
pria dan wanita mengungkapkan tingkat kebahagiaan
global yang sama. Lebih lanjut Shuman menyatakan
bahwa hal ini disebabkan karena wanita mengakui
adanya perasaan tersebut sedngkan pria menyangkal.
• Tujuan
Diener (2009) menyatakan bahwa orang-orang
merasa bahagia ketika mereka mencapai
tujuan yang dinilai tinggi dibandingkan dengan
tujuan yang dinilai rendah. Semakin
terorganisir dan konsisten tujuan dan aspirasi
seseorang dengan lingkungannya maka
individu akan semakin bahafia dan orang yang
memiliki tujuan yang jelas akan lebih bahagia.
• Agama dan Spritualitas
Diener (2009) menyatakan bahwa secara
umum orang yang religious cenderung untuk
memiliki tingkat well being yang lebih tinggi
dan lebih spesifik. Partisipasi dalam pelayanan
religious, afiliasi, hubungan dengan tuhan dan
berdoa dikaitkan dengan well being yang lebih
tinggi.
• Kualitas Hubungan Sosial
Diener (2009) menyatakan bahwa hubungan
yang dinilai baik tersebut harus mencakup dua
dari tiga hubungan sosial ini yaitu keluarga,
teman dan hubungan romantis.
• Kepribadian
Diener (2009) menyatakan bahwa kepribadian
merupakan hal yang lebih berpengaruh pada
subjective well being dibandingkan dengan
faktor lainnya. Hal ini dikarenakan beberapa
variabel kepribadian menunjukkan
kekonsistenan dengan subjective well being
diantaranya self efficacy.
Pengertian Self Efficacy

Menurut Bandura (1997) efikasi diri adalah


keyakinan tentang sejauh mana individu
memperkirakan kemampuan dirinya dalam
mengerjakan tugas atau melakukan suatu
tindakan yang diperlukan untuk mencapai
hasil tertentu dan keyakinan yang kuat
tentang kemampuan individu dan sangat
menentukan usaha individu untuk mencoba
mengatasi situasi yag sulit.
Aspek-Aspek Self Efficacy

• Bandura (1997) mengemukakan tiga aspek


dari efikasi diri, yaitu
• Tingkatan (Level)
Berkaitan dengan tingkat kesulitan suatu tugas
yang dibebankan. Perbedaan efikasi diri antara
satu individu dengan individu yang lain
dipengaruhi oleh tingkat kesulitan tugas yang
dihadapi.
• Keadaan Umum (Generality)
Berkaitan dengan bidang tugas, seberapa luas
individu mempunyai keyakinan dalam
melaksanakan tugas-tugas.
• Kekuatan (Strength)
Berkaitan dengan kuat atau lemahnya
keyakinan seseorang individu terhadap
kemampuan yang dimiliki
Jenis Kelamin
Perbedaan alami yang dikenal dengan perbedaan
jenis kelamin sebenarnya hayalah segala
perbedaan biologis yang dibawa lahir antara
perempuan dan laki-laki. Di luar semua itu adalah
perbedaan yang dikenal dengan istilah gender.
Perbedaan yang tidak alami atau perbedaan
sosial mengacu pada perbedaan peranan dan
fungsi yang dikhususkan untuk perempuan dan
laki-laki. Perbedaan tersebut diperoleh melalui
proses sosialisasi atau pendidikan di institusi
keluarga, pendidikan, agama, adat dan
sebagainya (Zalbawi & Handayani, 2004).
Menurut Beckwith (dalam Baron dan Byrne
2004), jenis kelamin adalah istilah biologis
berdasarkan perbedaan anatomi dan fisik
antara laki-laki dan perempuan. Anak mulai
memahami identitas gender (kesadaran
menjadi seseorang laki-laki atau perempuan)
pada saat berusia dua tahun, antara usia
empat dan tujuh tahun, anak mulai
memahami gender adalah atribut dasar bagi
setiap orang.

Anda mungkin juga menyukai