Anda di halaman 1dari 70

Edisi 2

Edisi 2
&

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. i


ii BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF
Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.

&

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. iii


BIMBINGAN, KONSELING & PSIKOTERAPI INOVATIF
Cetakan Pertama Juni 2011

Edisi 2
Cetakan Pertama Juni 2018

Penulis
Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si.

Perwajahan Buku
Jendro Yuniarto

Desain Sampul
Haitamy el-Jaid

PUSTAKA PELAJAR
Celeban Timur UH III/548
Yogyakarta 55167
Telp. 0274 381542,
Faks. 0274 383083
E-mail : pustakapelajar@yahoo.com

ISBN :978-602-229-915-8

iv BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


PRAKATA

Alhamdulillah, sudah sepatutnya penulis memanjatkan syukur


ke hadhirat Ilahi Rabby, dengan terbitnya buku “Bimbingan, Kon-
seling dan Psikoterapi Inovatif” ini. Tiada kemampuan apapun yang
penulis miliki, kecuali bekal nekad, motivasi diri, dan dukungan dari
berbagai fihak, terutama Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof
Dr. H.Maksum Mukhtar, yang telah mendorong penulis mempu-
blikasikan gagasan-gagasan sederhana ini kepada khalayak, juga du-
kungan orang-orang terkasih, suami, ibunda, anak-anak, cucu, dan
adik-adik.
Dalam ajaran Islam yang penulis yakini, bahwa misi penciptaan
manusia di muka bumi adalah untuk beribadah atau menyembah
kepada Allah, Dzat Pencipta seluruh makhluk di jagat raya ini, sebagai-
mana termaktub dalam kitab suci: “Aku tidak menciptakan jin dan
manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu” (QS.al-Dzariyat
[51]: 56). Makna “menyembah” dalam ayat tersebut adalah mengaku
diri sebagai “hamba” yang memiliki segala kekurangan, kekeliruan,
kesalahan, ketidakberdayaan kepada Dzat yang Maha Sempurna,
Maha Agung, dan Maha Perkasa.
Pengakuan manusia sebagai hamba yang tidak berdaya itu
berimpilkasi kepada kebutuhan pertolongan dan bantuan dari faktor
eksternal, selain dirinya, yaitu dari Dzat yang Maha Perkasa melalui
washilah para Nabi, para Rasul, para ulama, termasuk para ahli yang
kompeten berkaitan dengan persoalan kehidupan yang mengakibatkan

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. v


dirinya menemukan ketidak-berdayaan. Pengakuan diri merasa kuat,
terkuat, atau terhebat, sesungguhnya bukan saja mengingkari ke-
Maha-Kuasaan Tuhan, melainkan juga mengingkari eksistensi diri
sebagai hamba Tuhan.
Dalam konteks sebagai makhluk Tuhan, ketidakberdayaan itu
bukan saja milik manusia, melainkan juga milik seluruh makhluk,
termasuk Malaikat, Jin, dan Syetan. Akan tetapi, pengakuan diri akan
ketidak-berdayaan hanya lazim ditekankan kepada manusia yang
diberi potensi oleh Tuhan sisi baik dan buruk. Malaikat mengakui
kebesaran Tuhan, tetapi itu merupakan sesuatu pengakuan yang logis
dan niscaya, karena para Malaikat selalu memiliki potensi sisi baik
semata. Syetan dengan tegas mengaku diri besar dan takabbur, itupun
pengakuan yang logis karena mereka hanya diberi potensi sisi buruk.
Sementara itu, manusia diciptakan oleh Tuhan dengan sangat
sempurna dengan diberi potensi sisi baik dan buruk, serta diberi akal
pikiran. Dengan “akal fikiran”nya itu, manusia akan diuji oleh Tuhan,
akankah manusia cenderung ke sisi baik ataukah buruk. Kesempur-
naan potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia ditegaskan dalam
firmanNya: “Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia
ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman
dan beramal shaleh, bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”
(QS.Al-Thin [95]; 4-6 ).
Oleh karena manusia sebagai makhluk yang diciptakan paling
sempurna oleh Tuhan, maka manusia diamanati oleh Tuhan untuk
memimpin dunia, hingga membuat tercengang para Malaikat, sebagai-
mana firman Allah: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang
khalifah di muka bumi ini” (QS Al-Baqarah [2]: 30).
Misi menjadi khalifah fil ardh berimpilkasi kepada manusia agar
selalu berupaya berada di jalan yang benar, berperilaku yang sesuai
dengan norma agama, norma moral, dan norma masyarakat, di mana
pun manusia itu hidup. Manusia dituntut untuk hidup selaras dalam
berhubungan secara vertikal maupun horizontal, selaras dengan

vi BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


ajaran Tuhan, selaras dengan manusia lainnya, lingkungan, dan alam
sekitarnya. Untuk melaksanakan misi tersebut, manusia perlu saling
bahu membahu, tolong menolong, dan saling mendukung “dalam
hal-hal yang positif dengan cara-cara yang positif’.
Bimbingan dan konseling adalah merupakan ilmu pengetahuan,
seni, sekaligus sarana untuk menolong manusia yang sedang
membutuhkan pertolongan dari masalah yang sedang dihadapi atau
dari masalah yang kemungkinan akan dihadapinya. Dengan demikian
bantuan yang diberikan dalam bimbingan, konseling,dan psikoterapi
dapat berupa bantuan preventif, kuratif, diagnostik, maupun
pengembangan.
Sebagai seni, ilmu pengetahuan, dan sarana pemberian bantuan,
setiap orang dituntut untuk banyak belajar, banyak membaca, banyak
mendengar, banyak bertukar gagasan dan pengalaman untuk saling
berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam membantu sesama yang
membutuhkan bantuan.
Dalam perspektif tersebut, buku ini yang tengah berada di tangan
pembaca, sebagai pengisi untuk saling berbagi agar mendapat umpan
balik yang semestinya.
Buku ini terbagi menjadi tiga bab pembahasan, yaitu: seting
bimbingan, seting konseling, dan seting psikoterapi.
Mengawali pembahasan, buku ini menyajikan tulisan: “Model
Kecakapan Berpikir dan Kemandirian Belajar mahasiswa”. Model
bimbingan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kecakapan
berpikir dan kemandirian belajar mahasiswa.
Pembahasan tersebut dipandang penting oleh penulis, dilatar
belakangi karena memperhatikan kondisi ideal dan aktual yang terjadi
pada diri mahasiswa dan sistem pembelajaran di perguruan tinggi.
Kondisi ideal pada diri mahasiswa secara internal adalah mereka sedang
berada pada tahap berpikir operasional formal, pembentukan identitas
diri, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, dan kebutuhan untuk
mandiri, termasuk dalam belajar. Kondisi ideal secara eksternal karena
Sistem Kredit Semester di perguruan tinggi yang menuntut keman-

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. vii


dirian dalam belajar, tuntutan memiliki kecakapan berpikir yang sesuai
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan
moral agar mengembangkan akal pikiran sebagai potensi yang sudah
dianugerahkan Tuhan kepada manusia yang membedakan dengan
makhluk lainnya. Berdasarkan kondisi ideal tersebut, mahasiswa
semestinya sudah mampu berpikir kritis dan kreatif, serta mandiri
dalam belajar. Namun dalam realitasnya menunjukkan, umumnya
mahasiswa masih rendah dalam kecakapan berpikir dan kemandirian
belajarnya. Atas dasar alasan-alasan itulah, penulis ingin mengajak
pembaca memformulasikan bentuk bantuan untuk meningkatkan
kecakapan berpikir dan kemandirian belajar dalam bentuk model
bimbingan.
Untuk melengkapi pemahaman, penulis mengetengahkan:
“Konsep Dasar Bimbingan Kecakapan Berpikir dan Kemandirian
Belajar”, yang mencakup: makna belajar; makna kecakapan berpikir
kritis dan kreatif. Di samping itu, dibahas tentang: makna kemandirian
belajar, makna bimbingan, serta urgensi bimbingan untuk mening-
katkan kecakapan berpikir dan kemandirian belajar mahasiswa.
Dalam seting konseling, penulis menyajikan “Konseling Keluarga
yang Sensitif Gender untuk mengatasi Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT)” mencakup: dasar pemikiran, tujuan, sasaran; kriteria
keberhasilan, prinsip dasar, teknik, tahapan konseling. Seperti pada
pembahasan awal, penulis melengkapi pembahasan dengan “Konsep
Dasar Konseling yang Sensitif Gender untuk Mengatasi KDRT”
mencakup: perihal KDRT berbasis gender, fenomena KDRT, penelitian-
penelitian tentang KDRT, urgensi konseling untuk mengatasi KDRT.
Masih berkaitan dengan konseling rumah tangga, penulis
menyuguhkan “Konseling Pernikahan yang Sensitif Gender untuk
Membangun Rumah Tangga As-Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah
(ASMARA) mencakup: dasar pemikiran, tujuan, prinsip dasar, tahapan,
teknik, ruang lingkup, dan penelitian tentang keharmonisan rumah
tangga.
Di samping itu penulis melengkapi dengan pembahasan “Konsep

viii BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


Dasar Konseling Pernikahan yang Sensitif Gender dan Rumah Tangga
Asmara”, yang terbagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, Perihal
Pernikahan, mencakup: makna pernikahan bagi manusia; pola relasi
suami isteri dalam rumah tangga, hak dan kewajban suami isteri,
pengertian rumah tangga asmara, faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap relasi suami isteri, kriteria rumah tanggga asmara. Kedua,
Perihal Konseling Pernikahan yang Sensitif Gender, mencakup: asal
usul konseling pernikahan yang sensitif gender, paradigma konseling
pernikahan yang sensitif gender, kesalahan pengaplikasian konsep
gender dalam praktek konseling, tujuan konseling pernikahan yang
sensitif gender, prinsip dasar konseling pernikahan yang sensitif gender.
Konseling yang sensitif gender atau terapi feminis yang ditulis
dalam buku ini memusatkan perhatian serius pada isu keadilan gen-
der. Prasangka masyarakat dan perempuan sendiri selama ini, telah
mendesak lahirnya praktek konseling yang sensitif gender. Konseling
ini menyajikan petunjuk untuk menguji pandangan yang bias gen-
der dan efek yang merugikan dan bias pada pengembangan perem-
puan. Posisi perempuan dalam keluarga begitu ditekan dan mereka
ditolak untuk mencapai keberhasilan pemenuhan diri pribadi. Konse-
ling ini mengusulkan perbaikan di mana perempuan harus memiliki
akses sama kepada peluang dan mendapat penghargaan untuk mem-
bantu memenuhi potensi mereka. Perbaikan terhadap kondisi ini harus
dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu rumah tangga.
Pembahasan berikutnya “Konseling Karir untuk Meningkatkan
Produktivitas Kerja Karyawan”, mencakup: dasar pemikiran, tujuan,
sasaran, bidang garapan, strategi; personalia, mekanisme, tempat,
waktu, evaluasi, dan tindak lanjut.
Penulis memandang bahwa berkarir dengan sukses merupakan
sesuatu yang sangat dibutuhkan dan didambakan oleh setiap orang.
Seseorang yang berkarir karena ada sesuatu yang hendak dicapainya
dengan harapan bahwa aktivitas kerja yang dilakukan membawa
kepada suatu perubahan dan keadaan yang lebih memuaskan daripada
keadaan sebelumnya. Kecintaan terhadap karir merupakan langkah

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. ix


awal untuk dapat menghargai diri dan pekerjaannya, sehingga tujuan-
tujuan yang hendak dicapainya dapat menumbuhkan motivasi dan
kepuasan dalam melakukan pekerjaannya.
Kepuasan dalam berkarir akan mempengaruhi produktivitas
kerjanya. Kepuasan dan produktivitas kerja untuk setiap orang
tidaklah sama ukurannya. Namun secara umum seseorang cenderung
puas dan produktif dalam bekerja jika memiliki tindakan konstruktif,
percaya pada diri sendiri, bertanggung jawab, cinta terhadap peker-
jaan, mempunyai pandangan ke depan, mampu mengatasi persoalan,
dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-ubah,
mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungan (kreatif dan
imajinatif), dan memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya.
Kegagalan yang dialami oleh seorang karyawan dalam menye-
suaikan diri dengan karirnya merupakan suatu masalah besar, baik
di lingkungan kerja, keluarga, maupun masyarakat yang lebih luas.
Oleh karena itu program layanan konseling karir bagi karyawan,
diharapkan mampu membantu klien dalam membuat keputusan karir
yang tidak hanya untuk kepuasan dirinya tetapi juga untuk kebaikan
yang lainnya, seperti lembaga tempat kerja, keluarga, dan masyarakat
pada umumnya, setidaknya ini menurut penulis.
Masih tentang konseling karir, penulis membahas “Konseling
Karir dengan pendekatan Happenstance”, yang mengupas serba singkat
tentang: Problematika karir dewasa ini, faktor-faktor yang mempenga-
ruhi karir, aspek psikologis dalam karir, karir dalam perspektif hap-
penstance, implikasi bagi konseling karir.
Sebagai akhir pembahasan dalam buku ini penulis menyajikan
beberapa model terapi dari para ahli, seperti: Therapy Sex, Aqua Ener-
getics Therapy, Covert Conditioning Therapy, Focusing, Multimodal Therapy,
Poetry Therapy, dan Feminist Therapy.
Sangat banyak model terapi yang dilahirkan oleh para ahli,
sebagian besar sudah populer bahkan sudah diimplementasikan oleh
para praktisi konselor dan psikoterapis di lapangan, dan sebagian
“mungkin” kurang populer secara konsep, tetapi sudah diimplemen-

x BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


tasikan oleh para praktisi, secara sengaja atau kebetulan. Untuk
tataran ini, pembahasan beberapa model terapi yang sekarang ditulis
dalam buku ini, meski tidak harus disikapi secara apriori dengan
diabaikan, kiranya dapat menjadi stimulan untuk mengelaborasi
formulasi terapi yang lebih implementatif, praktis, dan efektif sesuai
dengan konteks realitas individu (klien) yang dihadapi dalam praktik
terapeutik. Namun bagi para mahasiswa Pendidikan, terutama
jurusan Bimbingan dan Konseling, para pendidik, dan berbagai pihak
yang berminat terhadap bidang bimbingan, konseling, dan psikoterapi,
buku ini pantas dan layak dibaca.
Penulis sama sekali tidak memposisikan diri kompeten di bidang
ini, tetapi sekedar ingin belajar dan berpartisipasi dengan pembaca
memperhatikan masalah bimbingan, konseling, dan psikoterapi yang
pernah “sedikit” penulis pelajari dari beberapa guru besar, dan beberapa
buku, meski terkadang sambil mengantuk. Mudah-mudahan ada
manfaatnya bagi penulis maupun bagi pembaca yang sesuai dengan
sasarannya. Penulis berbesar hati menerima kritik, masukan, dan sa-
ran dari pembaca untuk perbaikan penulis ke depan.

Cirebon, Awal 2018

Penulis,

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. xi


xii BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF
DAFTAR ISI

PRAKATA  v
DAFTAR ISI  xiii

BAB I. SETING BIMBINGAN  1


1. Bimbingan Kecakapan Berpikir dan Kemandirian Belajar Maha-
siswa  3
2. Konsep Dasar Bimbingan Kecakapan Berpikir dan Kemandirian
Belajar  19

BAB II. SETING KONSELING  105


1. Konseling Keluarga Yang Sensitif Gender untuk Mengatasi
Kekerasan Dalam Rumah Tangga  107
2. Konsep Dasar Konseling Keluarga Yang Sensitif Gender untuk
Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga  127
3. Konsep Dasar Konseling Keluarga  173
4. Konseling Pernikahan Yang Sensitif Gender untuk Membina
Rumah Tangga Asmara  185
5. Konsep Dasar Konseling Pernikahan Yang Sensitif Gender untuk
Membina Rumah Tangga Asmara  203
6. Konseling Karir untuk Meningkatkan Produktivitas Kerja Karya-
wan  281
7. Konseling Karir dengan Pendekatan Happenstance  291

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. xiii


BAB III. SETING PSIKOTERAPI  309
1. Sex Therapy  311
2. Aqua Energetics Therapy  325
3. Covert Conditioning Therapy  333
4. Focusing Therapy  341
5. Multimodal Therapy  349
6. Poetry Therapy  359
7. Feminist Therapy  267

DAFTAR PUSTAKA  389


BIODATA PENULIS  403

xiv BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


BAB I.
SETING BIMBINGAN
1. Bimbingan Kecakapan Berpikir dan Kemandirian Belajar Mahasiswa
2. Konsep Dasar Bimbingan Kecakapan Berpikir dan Kemandirian Belajar

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 1


2 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF
1 BIMBINGAN KECAKAPAN BERPIKIR DAN
KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA

A. Dasar Pemikiran

Sebagaimana dimaklumi, usia mahasiswa untuk strata 1 (S1)


umumnya sekitar 18 – 24 tahun, mereka berada pada masa remaja
akhir dan dewasa awal, atau berada di antara keduanya, yakni transisi
dari masa remaja ke masa dewasa (Hurlock, 1980). Ada dua tinjauan
terhadap kondisi ideal dan aktual mahasiswa yang menjadi dasar
pemikiran mengembangkan model bimbingan untuk meningkatkan
kecakapan berpikir dan kemandirian belajarnya. Dilihat dari kondisi
ideal, terdapat dua faktor yang menjadi fokus perhatian, yaitu faktor
internal dan eksternal.
Dilihat dari faktor internal, sekurang­kurangnya, ada empat
alasan kebutuhan mengembangkan model bimbingan akademik
berdasarkan tinjauan terhadap potensi dan kebutuhan pada usia
mahasiswa. Pertama, ada potensi internal pada individu mahasiswa
untuk mengembangkan daya berpikirnya. Usia mahasiswa berdasar­
kan perkembangan kognitifnya, mereka sudah mencapai tahap berpikir
“operasional formal”, yaitu sudah mampu berpikir abstrak, hipotetis,
dan kritis (Piaget, 1983). Dengan perkembangan berpikir operasional
formal, cara berpikir mahasiswa sudah memungkinkan mandiri
daripada masa sebelumnya, yang diperlukan untuk mempersiapkan
diri memasuki dunia kerja dan mengembangkan karir masa depan
sesuai dengan potensi, bakat, dan minatnya.

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 3


Kedua, ada dorongan internal untuk meraih kemandirian pada
masa tersebut. Usia mahasiswa berdasarkan perkembangan psiko­
sosialnya, mereka sudah mencapai tahap pembentukan identitas
(Erikson, 1980), di mana kebutuhan bereksplorasi sedang meningkat
dan sedang memperjuangkan kemandirian sebagai manifestasi kedewa­
saan mereka. Mereka sudah ingin mandiri dari ketergantungan orang
tua dan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1980). Di samping ingin
mandiri, mereka mulai memperoleh identitas peran gender, meng­
internalisasi moral, memilih karir, mencoba beberapa peran orang dewasa,
mencari identitas diri, dan sebagian mulai bekerja (Newman & Newman,
1987). Menurut Gormly & Brodzinsky (1993: 396), usia remaja sedang
memasuki periode pengambilan keputusan dan dapat dianggap dewasa,
meski belum banyak mengambil peran orang dewasa, sebagaimana
dikatakannya: ”Youth age is a period of development in which an individual is
legally an adult but has not yet undertaken adult work and roles”. Hal ini
mengisyaratkan, ciri kedewasaan adalah, yang ditunjukkan oleh
kemampuan bertanggung jawab dan mengambil keputusan, seperti
Fasick (Rice, 1996:336) mengemukakan: “One goal of every adolescent is
to be accepted as an autonomous adult”.
Ketiga, ada kebutuhan internal pada individu untuk mengaktuali­
sasikan diri secara mandiri sebagai manifestasi dari kedewasaannya
(Maslow, 1970), sehingga kemandirian dalam aspek kognitif, sikap,
maupun perbuatan, termasuk kemandirian dalam belajar, merupakan
tugas perkembangan usia mahasiswa. Namun pada mulanya tidak
mudah bagi mahasiswa menumbuhkan kemandirian itu, sebab usaha
untuk memutuskan ikatan infantil yang telah berkembang dan dinik­
mati dengan penuh rasa nyaman selama masa kanak­kanak, seringkali
menimbulkan reaksi yang sulit dipahami oleh dirinya (Rice, 1996).
Mereka sering tidak dapat memutuskan simpul­simpul ikatan emosio­
nal kanak­kanaknya dengan orang­tua dan guru/dosen secara logis
dan objektif. Dalam usaha itu mereka kadang­kadang menentang,
berdebat, beradu pendapat, dan mengkritik dengan pedas sikap­sikap
orang dewasa (Thornburg, 1982). Meskipun tugas ini sulit dipahami

4 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


oleh dirinya, orang­tua dan dosen perlu berupaya secara bijaksana
untuk mengembangkan kemandirian mereka, karena mencapai
kemandirian merupakan tugas perkembangan yang lazim bagi mereka
yang sudah menginjak dewasa (Steinberg, 1993; Rice, 1996; Thornburg,
1982; Lerner dan Spanier, 1980).
Keempat, ada potensi internal untuk mampu belajar secara man­
diri. Menurut Merriam & Caffarella (1999), usia mahasiswa dipandang
sudah cukup matang dan mampu merancang program dan melakukan
kegiatan belajar yang sesuai dengan minat dan cita­citanya dan cara
belajar mereka sudah berbeda dengan cara belajar anak­anak. Para
ahli juga berpendapat, usia mahasiswa sudah mampu mendiagnosa
kebutuhan belajarnya, apa yang akan dipelajari dan bagaimana cara
mempelajarinya, dapat merumuskan program belajar, mengidentifikasi
sumber­sumber belajar, memilih strategi belajar yang sesuai bagi
dirinya, membuat keputusan sesuai dengan kebutuhan belajarnya,
mengatur sendiri kegiatan belajar atas inisiatifnya sendiri tanpa selalu
tergantung kepada orang lain, mengikuti proses belajar, dan mengeva­
luasi hasil belajarnya (Gredler, 1989; Knowles, 1970; Kozma, Belle dan
Williams, 1978; Aristo, 2007; Wedmeyer,1973).
Dilihat dari faktor eksternal, ada tiga hal yang menjadi alasan
pentingnya mengembangkan model bimbingan akademik untuk
meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian belajar mahasiswa
di perguruan tinggi. Pertama, ada tuntutan ekternal dari sistem belajar
dengan Sistem Kredit Semester (SKS) yang berlaku di perguruan tinggi.
Karakteristik utama belajar dengan SKS menuntut kemandirian, baik
dalam pelaksanaan proses belajar maupun dalam pengelolaan dirinya
sebagai mahasiswa. Mahasiswa dituntut mampu belajar sendiri,
mencari, menemukan, dan mendayagunakan sumber­sumber belajar,
memperdalam dan mengkaji sendiri bahan perkuliahan tanpa banyak
menggantungkan diri kepada dosen, serta menentukan apa yang
bermanfaat bagi dirinya, apalagi dengan pembatasan waktu studi yang
ketat, menuntut mereka membuat perencanaan yang matang bagi
dirinya dan menuntut mereka menguasai kecakapan berpikir kritis,

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 5


kreatif, dan mandiri dalam belajar.
Kedua, kondisi eksternal dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) sekarang ini menuntut penguasaan kecakapan
berpikir kritis dan kreatif dalam belajar. Keterampilan hidup yang
diperlukan sekarang tidak cukup dalam bentuk keterampilan yang
konvensional saja, tetapi perlu menguasai pelbagai keterampilan untuk
memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi seoptimal dan
seefektif mungkin bagi kemajuan hidupnya. Salah satu keterampilan
yang penting dikuasai oleh mahasiswa adalah kecakapan berpikir
sebagai alat belajar (tools of learning) yang digunakan untuk memecah­
kan masalah belajar dan masalah kehidupan pada umumnya (Dahlan,
1996; Wahidin, 2004; Novak & Gowin, 1999; Jones, et al., 1987).
Ketiga, tuntutan eksternal sebagai hamba Tuhan agar terus
menerus mendayagunakan potensi berpikir sepanjang hayat. Usia
mahasiswa ditinjau dari segi agama Islam, sudah termasuk mukallaf,
yaitu yang sudah dikenai kewajiban­kewajiban agama dan sudah
mampu memahami kewajiban agama. Banyak ayat al­Qur’an yang
memberi pesan moral agar mengembangkan daya berpikir, antara lain:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergan­
tian siang dan malam, terdapat tanda­tanda bagi ‘ulil albab’. Yaitu or­
ang­orang yang selalu mengingat Allah ketika berdiri, duduk, atau
berbaring, serta mereka mau memikirkan penciptaan langit dan bumi,
seraya berkata, ‘Wahai Tuhan kami, Engkau tidaklah menciptakan
semua ini hanya sia­sia. Maha suci Engkau, maka jagalah kami dari
siksa neraka’ (QS.Ali Imran/3:191).
Meskipun kecakapan berpikir dan kemandirian dalam belajar
merupakan potensi dan kebutuhan internal setiap individu yang
merangkak dewasa seperti sudah dipaparkan di atas, namun kecakapan
berpikir dan kemandirian belajar tidak otomatis tumbuh sendiri seiring
dengan usianya.
Menurut penelitian Wahidin (2004), pembelajar yang mendapat
latihan kecakapan berpikir, skor kemampuan berpikirnya lebih tinggi
daripada pembelajar yang tidak mendapat latihan berpikir (Wahidin,

6 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


2004). Para ahli juga sependapat, bahwa kecakapan berpikir dapat
ditingkatkan melalui latihan dan pembelajaran (De Bono, 1998; Som
& Dahlan, 2000; Liliasari, 1996; Philips, 1997; Rampengan, et al., 1981).
Oleh karena itu di Universitas Kebangsaan Malaysia, kecakapan
berpikir kritis dan kreatif masuk ke dalam kurikulum sebagai mata
pelajaran yang wajib dipelajari oleh seluruh pembelajar (Wahidin, 2004;
Som & Dahlan, 2000). Kriteria proses berpikir yang baik melibatkan
empat komponen: (1) Berpikir membutuhkan pengetahuan; (2) Berpikir
melibatkan proses mental yang membutuhkan keterampilan; (3)
Berpikir bersifat aktif; (4) Berpikir menghasilkan tingkah laku atau sikap
(Nickerson, 1985). Rampingan, et al. (1981) dikutip dari Wahidin (2004)
menjelaskan bahwa: (1) Proses berpikir dapat dipelajari; (2) Proses berpikir
adalah transaksi aktif antara individu, dan dosen dapat membantu
mahasiswa dalam konseptualisasi proses mental; (3) Proses berpikir
berkembang secara bertahap dan memerlukan strategi yang sistematik.
Demikian pula kemandirian belajar. Kemandirian belajar mem­
butuhkan lingkungan yang memberi kesempatan mengembangkan
aspek­aspek kemandirian, seperti kebebasan yang bertanggung jawab,
rasa identitas, dan kesehatan psikososial (Lipps & Skoe, 1998;
Baumrind, 1971). Menurut Steinberg (1993:293), “emotional autonomy
develops under conditions that encourage both individuation and emotional close­
ness”. Collins (1990:101) menegaskan, “adolescents can become emotion­
ally autonomous form their parents without becoming detached form them”.
Memperhatikan beberapa pendapat tersebut di atas, maka ke­
cakapan berpikir dan kemandirian dalam belajar dapat dilatih dan
ditingkatkan secara bertahap melalui strategi yang sistematik. Layanan
bimbingan akademik dapat diprogram secara sistematik untuk
membantu meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian maha­
siswa dalam belajar. Menurut Sidjabat (2008) perguruan tinggi
seyogyanya dapat menyelenggarakan proses pembelajaran dan
menyediakan layanan bimbingan akademik kepada mahasiswa sesuai
dengan perkembangan usia mereka, khususnya dalam mengupayakan
peningkatan kecakapan berpikirnya. Dengan meningkatnya kecakapan

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 7


berpikir, dimungkinkan meningkat kemandirian belajar mereka.
Kondisi tersebut di atas memberi dampak fungsional kepada
perguruan tinggi untuk membantu mahasiswa yang memiliki masalah
dalam belajarnya. Perguruan tinggi dalam melaksanakan misi Tri­
dharma, khususnya dalam bidang pendidikan dan pengajaran, penting
memberi bekal keterampilan belajar kepada mahasiswa. Tugas pergu­
ruan tinggi selain menyelenggarakan pembelajaran, dituntut dapat
menyediakan layanan bimbingan akademik untuk membantu maha­
siswa mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Dalam
rangka mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik itulah,
penyediaan layanan bimbingan akademik merupakan bagian integral
dari keseluruhan program pendidikan (Jones, et al., 1977:71; Mortensen
& Schmuller, 1964:3).
Dalam perspektif inilah penting mengembangkan model layanan
bimbingan akademik yang lebih fungsional yang sesuai dengan
kebutuhan mahasiswa, harapan dosen, dan pimpinan. Hal ini tidak
berarti akan merombak sistem bimbingan akademik secara revolu­
sioner dan gradual, melainkan untuk menambah bobot dan kualitas
bimbingan dalam meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian
belajar mahasiswa.
Atas dasar alasan­alasan tersebut, maka disusunlah model
bimbingan untuk meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian
belajar mahasiswa.

B. Tujuan Bimbingan

Tujuan bimbingan adalah membantu mahasiswa dalam hal:


1. Mengembangkan pemahaman akan pentingnya kecakapan ber­
pikir dan kemandirian belajar dalam suasana belajar dengan SKS.
2. Mengembangkan kecakapan berpikir kritis dan berpikir kreatif
sebagai alat berpikir dalam menghadapi masalah belajar.
3. Mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk
mandiri dalam belajar sehingga mengurangi ketergantungan
kepada orang lain dalam belajar.

8 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


C. Prinsip Bimbingan

Dalam proses bimbingan, ada beberapa prinsip yang perlu


diperhatikan:
1. Hubungan dosen dan mahasiswa dalam bimbingan harus
merupakan hubungan yang egaliter dan setara. Dalam arti, hu­
bungan dosen sebagai fasilitator dan mahasiswa yang difasilitasi
sebagai hubungan subjek­subjek, bukan hubungan subjek –
objek yang hirarkhis, bukan hubungan atasan ­ bawahan, dan
bukan hubungan guru – murid. Dengan demikian, fasilitator
tidak mendominasi kegiatan, bahkan sebaliknya mahasiswa
diusahakan agar aktif terlibat dalam kegiatan, bukan sebagai
pendengar, penerima informasi, atau pelaksana instruksi, atau
peraga simulasi saja.
2. Proses bimbingan menggunakan pendekatan andragogi. Dalam
arti, mahasiswa bimbingan dipandang dan diposisikan sebagai
manusia dewasa yang telah memiliki pengalaman dan pengeta­
huan dari lingkungan sebelumnya. Dengan pandangan ini, fasili­
tator tidak boleh menganggap mahasiswa bimbingan seperti botol
kosong yang siap menerima apapun yang dituangkan oleh fasilita­
tor kepadanya. Sebagai botol yang telah terisi, maka tugas fasili­
tator hendaknya dapat menggali, mengembangkan, dan me­
ningkatkan potensi yang telah dimiliki mahasiswa untuk berkem­
bang secara optimal. Dalam perspektif bimbingan dan konseling,
bimbingan seperti ini menggunakan pendekatan client centered dari
Rogers. Tugas fasilitator adalah memfasilitasi jalannya proses
bimbingan, sementara tugas mahasiswa aktif terlibat dalam
kegiatan bimbingan.
3. Proses bimbingan menggunakan metode yang bervariasi seperti
diskusi kelompok, tukar gagasan, tukar pengalaman, presentasi,
kuesioner, game, membaca, menuliskan gagasan, simulasi, renungan,
abstraksi, dan lain­lain, dengan prinsip berusaha meminimalisir
menggunakan metode ceramah.
4. Bimbingan kelas dilaksanakan pada proses bimbingan inti untuk

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 9


memberi materi keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan
kemandirian belajar. Pelaksanaan bimbingan inti dapat dilakukan
secara bekerja sama antara 2­3 orang dosen Pembimbing Aka­
demik (PA) yang membimbing mahasiswa di kelas tersebut
bertindak sebagai tim fasilitator. Fasilitator bekerja dalam sebuah
tim yang saling mendukung guna membantu memperlancar
jalannya kegiatan bimbingan inti. Tata cara kerja dapat dibicara­
kan dengan kesepakatan dalam tim. Fasilitator harus bergiliran
berbicara dan tidak saling mendominasi kelas. Misalnya jika
seorang fasilitator sedang berbicara, fasilitator lain dapat meng­
amati jalannya kegiatan, dapat membantu memperlancar maha­
siswa dalam menyelesaikan tugas­tugas, dapat menambahkan
keterangan yang diperlukan, dapat melakukan pencatatan untuk
keperluan bimbingan, dapat membantu menyediakan fasilitas
yang diperlukan, seperti kertas, lakban, spidol, kartu­kartu, dan
lain­lain.
5. Setiap materi bimbingan inti terdiri atas: pemahaman terhadap
konseptual materi bimbingan, latihan­latihan, refleksi diri, dan
klarifikasi/penguatan dari fasilitator.
6. Bimbingan kelompok dilaksanakan oleh dosen PA bersama
kelompok mahasiswa bimbingannya untuk melaksanakan latihan­
latihan dan beberapa assignment.
7. Bimbingan individual dilaksanakan oleh dosen PA terhadap
individu yang memerlukan bimbingan khusus.

D. Asumsi Keberhasilan Bimbingan


1. Model bimbingan akademik ini dapat diimplementasikan dengan
asumsi jika didukung oleh kebijakan (political will) pimpinan untuk
menyediakan layanan bimbingan akademik yang lebih berkualitas
dan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
2. Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika pimpinan
institusi dapat menyiapkan sarana dan prasarana yang dibutuh­
kan untuk penyelenggaraan bimbingan, seperti: penyediaan

10 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


modul bimbingan untuk setiap mahasiswa, panduan operasional
untuk setiap dosen PA, alat tulis, alat­alat latihan, termasuk
insentif yang layak untuk para dosen PA.
3. Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika didukung
oleh dosen PA yang profesional dan terlatih. Oleh karena itu,
pimpinan institusi dituntut untuk menyelenggarakan pelatihan
kepembimbingan akademik bagi para dosen PA dari ahli bim­
bingan konseling yang profesional.
4. Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika ditunjang
oleh kesungguhan dan kepedulian para dosen, khususnya dosen
PA, untuk meningkatkan kinerja bimbingannya dalam rangka
meningkatkan mutu akademik mahasiswa bimbingannya.
5. Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika ditunjang
oleh kebutuhan dosen untuk meningkatkan pengetahuan dan
wawasan, baik mencakup materi maupun strategi bimbingan
yang semakin kreatif dan berkualitas, melalui referensi yang
dipelajari atau pertemuan­pertemuan ilmiah yang diikuti tentang
bimbingan dan konseling, khususnya bimbingan konseling di
perguruan tinggi.
6. Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika ditunjang
oleh tenaga administrasi untuk membantu kelancaran pengadmi­
nistrasian yang dilakukan oleh dosen PA.
7. Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika ada moni­
toring dan evaluasi dari pimpinan isntitusi secara periodik, dan
memberi apresiasi kepada dosen PA teladan yang sudah melak­
sanakan tugas pokok dan fungsinya secara baik berdasarkan
suatu norma evaluasi yang terukur dan akuntabel.
8. Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika disediakan
kesempatan kepada dosen PA untuk terus menerus mengembang­
kan kompetensinya melalui pelatihan yang diselenggarakan oleh
institusi langsung, atau institusi lain, penelitian­penelitian, dan
studi banding kepada perguruan tinggi lain yang terindikasi
penyelenggaraan layanan bimbingan akademiknya sudah baik.

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 11


9. Bimbingan akademik akan efektif dengan asumsi jika ditunjang
oleh institusi dengan membentuk sebuah Unit Pelaksana Teknis
Bimbingan dan Konseling (UPT BK) yang dipimpin oleh dosen
bimbingan dan konseling yang profesional. Tugas UPT BK antara
lain: (a) mengkoordinir tugas layanan bimbingan yang dilaksana­
kan oleh dosen PA, (b) membantu kelancaran layanan bimbingan
yang dilaksanakan oleh dosen PA, (c) membantu pimpinan dalam
melakukan monitoring dan evaluasi layanan bimbingan akademik
yang dilaksanakan oleh dosen PA, (d) memfasilitasi pengem­
bangan kompetensi kepembimbingan bagi para dosen PA, (e)
melakukan penelitian­penelitian, diskusi, sharing pengalaman dan
pengetahuan antar dosen PA dalam bidang bimbingan konseling,
(f) mengembangkan layanan bimbingan yang bersifat kuratif
sebagai rujukan dari dosen PA.

E. Sasaran Bimbingan

Sasaran bimbingan adalah mahasiswa strata satu (S1) yang


sedang belajar di perguruan tinggi, baik untuk mahasiswa baru
sebagai persiapan menghadapi pembelajaran, maupun mahasiswa lama
untuk meningkatkan kecakapan berpikir dan kemandirian belajarnya.

F. Pelaksana Bimbingan
Bimbingan akademik dilaksanakan oleh dosen PA berdasarkan
Surat Keputusan (SK) Rektor atas usul Dekan. Dosen yang sudah di­
SK­kan oleh Rektor sebagai dosen PA untuk setiap angkatan maha­
siswa, wajib melaksanakan tugas.
Tugas umum dosen PA adalah: (1) Memberi pelayanan bimbingan
akademik kepada mahasiswa, baik secara klasikal, kelompok, maupun
individual; (2) Membantu mahasiswa dalam mengembangkan sikap
dan cara belajar yang baik.
Tugas khusus dosen PA antara lain: (1) Memberi kesempatan
kepada mahasiswa untuk membicarakan masalah yang dialami,
khususnya masalah studi; (2) Menginformasikan peraturan­peraturan

12 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


Pemerintah atau institusi, seperti program pendidikan yang tersedia,
sistem penyelenggaraan pendidikan, sistem penilaian, cara belajar
efektif; (3) Memberi bimbingan cara menyusun rencana belajar, seperti
menyusun program studi, mengisi Kartu Rencana Studi (KRS), mengisi
Kartu Perubahan Rencana Studi (KPRS), dan memberi pertimbangan
kredit mata kuliah yang diambil; (4) Menandatangani KRS dan KPRS;
(5) Memonitor kelancaran studi; (6) Mengevaluasi IP/IPK mahasiswa
untuk melakukan tindakan pencegahan; (7) Memberi bantuan menye­
lesaikan masalah­masalah yang dihadapi mahasiswa; (8) Membantu
mengembangkan sifat­sifat kepribadian agar kelak menjadi sarjana
yang berakhlak luhur, mandiri, dan dewasa.

G. Teknik Bimbingan

Bimbingan akademik ini menggunakan tiga teknik sebagai


berikut:
1. Bimbingan kelas. Bimbingan kelas diselenggarakan untuk mem­
beri wawasan dan pemahaman kepada mahasiswa akan penting­
nya keterampilan dan kemandirian belajar dalam suasana belajar
dengan SKS, memberi wawasan berpikir kritis, berpikir kreatif,
dan kemandirian dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya
dalam belajar. Teknik bimbingan kelas dilaksanakan oleh dosen
PA sebagai tim di kelas tersebut, sehingga kelancaran penyeleng­
garaan bimbingan kelas terletak tanggung jawabnya pada dosen
PA sebagai tim yang membimbing mahasiswa di kelas tersebut,
dengan asumsi setiap dosen PA membimbing mahasiswa tiap
angkatan antara 10­15 orang.
2. Bimbingan kelompok. Bimbingan kelompok diselenggarakan
untuk menerapkan pengetahuan dan wawasan yang diperoleh
dalam bimbingan klasikal, dalam bentuk mengerjakan latihan­
latihan berpikir kritis, berpikir kreatif, kemandirian dalam aspek
pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya dalam belajar, serta
menyelesaikan beberapa assignment. Teknik bimbingan kelompok
dilakukan oleh dosen PA kepada kelompok mahasiswa bim­

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 13


bingannya, dapat dilaksanakan di kelas atau di luar kelas.
3. Bimbingan individual. Bimbingan individual diselenggarakan
untuk menangani individu yang memerlukan bimbingan khusus
berkaitan dengan lemahnya keterampilan dan kemandirian
belajarnya, sehingga mereka terampil dan mandiri dalam belajar.
Teknik bimbingan individual dilaksanakan oleh dosen PA dalam
menangani masalah mahasiswa bimbingannya masing­masing.

H. Waktu Bimbingan
Untuk mengimplementasikan model bimbingan akademik ini
membutuhkan waktu idealnya selama satu semester yang dialokasikan
kepada beberapa tahapan kegiatan secara terjadual yang dapat ditentu­
kan saat membuat kontrak bimbingan dengan mahasiswa agar tidak
mengganggu perkuliahan. Namun jika dimungkinkan tidak mengganggu
waktu perkuliahan, misalnya saat liburan semester atau sebelum
memulai perkuliahan, dapat dipadatkan selama enam minggu.
Bimbingan akademik selanjutnya sepanjang mahasiswa meng­
ikuti pendidikan dapat diberikan bimbingan rutin dan bimbingan
sesuai kebutuhan mahasiswa, baik secara individual maupun kelom­
pok, baik di awal, sepanjang, dan di akhir semester.

I. Strategi Bimbingan
Sesuai dengan karakteristik sasaran bimbingan adalah maha­
siswa, di mana mereka sedang beranjak dewasa dan sedang memper­
juangkan desakan internalnya untuk mandiri, termasuk kemandirian
dalam belajarnya, maka strategi bimbingan yang dikembangkan
menggunakan strategi learner centered, atau self­directed learning, yaitu
membimbing manusia dewasa dengan segala atribut kemandiriannya
dalam segi pengetahuan, keterampilan, maupun sikapnya (Rogers, 2003).
Sebagai manusia dewasa, mahasiswa dalam layanan bimbingan
dipandang sebagai subjek aktif, sehingga proses layanan tergantung
kepada keaktifan mahasiswa, dan tugas pembimbing hanya mem­
fasilitasi kegiatan dan menggali seoptimal mungkin potensi, kemam­

14 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


puan, dan keterlibatan seluruh mahasiswa dalam kegiatan tersebut,
dari mulai kegiatan pra bimbingan, assignment, memahami modul,
melaksanakan tugas­tugas modul, merefleksikan, mengevaluasi,
sampai mengisi kuesioner di akhir program untuk mengetahui perfor­
mance yang dicapai mahasiswa.

J. Materi Bimbingan

1. Kecakapan berpikir kritis, mencakup kecakapan: membedakan dua


perkara/lebih berdasarkan karakteristiknya, menentukan pilihan
terbaik dari dua/lebih alternatif pilihan, menyusun urutan,
meneliti bagian kecil dan keseluruhan, menjelaskan sebab akibat,
membuat kategori, hipotesis, pengandaian, kesimpulan, dan
generalisasi.
2. Kecakapan berpikir kreatif, mencakup kecakapan: mengakses,
menyeleksi, mengorganisasi informasi, memanfaatkan sumber
informasi, memunculkan gagasan orisinal, membuat beberapa
alternatif pemikiran, membuat keputusan, bereksplorasi, meng­
evaluasi pemikiran sendiri, dan terbuka terhadap kritik dan saran.
3. Kemandirian belajar, mencakup: pemahaman pentingnya keman­
dirian dalam belajar, pemahaman disiplin akademik, pengetahuan
kecakapan dasar yang dibutuhkan dalam belajar, pemahaman
kapan saatnya perlu mandiri dan kapan perlu bantuan orang
lain dalam belajar, pemahaman makna belajar dan urgensinya
bagi keberhasilan belajar, pemahaman kapasitas diri dalam belajar,
penguasaan prosedur kecakapan belajar, kecakapan bergaul
dengan orang lain, kemampuan memecahkan masalah belajar dan
masalah kehidupan, berprinsip dan berkomitmen untuk mandiri
dalam belajar, serta percaya pada kemampuan sendiri dalam belajar.

K. Prosedur Bimbingan

Secara ringkas prosedur bimbingan meliputi beberapa tahapan


sebagai berikut:

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 15


Prosedur bimbingan harus dimulai dari tahapan dan materi awal
sampai akhir sebagaimana tercantum pada tabel di atas. Harus dipasti­
kan setiap tahapan dan materi dapat diselesaikan oleh mahasiswa
dengan tuntas, sebelum masuk pada tahapan dan materi berikutnya.
Berhubung pola kerja fasilitator sebagai tim, maka keberhasilan dalam
memfasilitasi mahasiswa terletak pada kerja tim secara solid. Ketika
seorang fasilitator berbicara, fasilitator lain bisa menyimak, memantau,
melengkapi penjelasan jika diperlukan, membantu mahasiswa dalam
pelaksanaan tugas­tugas, membantu membuat kelompok mahasiswa
dalam tugas­tugas, memantau diskusi, bergantian berbicara, dan
membuat catatan selama kegiatan berlangsung untuk bahan evaluasi.
Fasilitator pada dasarnya harus mengikuti penuh kegiatan sebagai
tim, kecuali dengan alasan logis fasilitator dapat absen maksimal hanya
satu materi pada satu tahapan selama proses bimbingan berlangsung.
Absennya fasilitator pada satu materi tidak lebih dari satu orang pada
satu kelas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga jika seorang
fasilitator absen, dua fasilitator lainnya dapat mengambil alih tugas
fasilitator yang absen.

16 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


Untuk memulai materi bimbingan, fasilitator memberi waktu
kepada mahasiswa untuk membaca teks materi yang akan dipelajari,
konseptual dan tujuan seperti yang sudah disusun dalam modul
mahasiswa. Setelah membaca, mahasiswa diberi kesempatan untuk
menyampaikan hasil pemahaman bacaannya. Setelah semua maha­
siswa memahami, mulai mengerjakan latihan­latihan sesuai dengan
petunjuk yang telah ditulis dalam modul mahasiswa dan panduan
operasional dosen. Di akhir latihan, mahasiswa diminta merefleksikan
diri apa yang mereka rasakan, apa yang mereka dapat pelajari dari
latihan yang telah dilakukan. Sebagai penguatan dan penyempurnaan
hasil bimbingan, dosen dapat memberi penekanan kepada hal­hal yang
diharapkan terjadi pada diri mahasiswa.

L. Evaluasi Bimbingan

Evaluasi yang dikembangkan terdiri atas evaluasi terhadap proses


dan hasil. Evaluasi terhadap proses dapat dilakukan melalui peng­
amatan selama proses melaksanakan program bimbingan akademik
di lapangan. Indikator keberhasilan dalam proses adalah apabila
fasilitator dapat menerapkan model bimbingan akademik di lapangan
dengan lancar tanpa mengalami hambatan berarti dan mahasiswa aktif
berpartisipasi dan mudah mengikuti kegiatan.
Evaluasi terhadap hasil dengan membandingkan skor inventori
sebelum dan sesudah mahasiswa program bimbingan akademik.
Indikator keberhasilannya apabila skor inventori keterampilan belajar
dan kemandirian belajar mahasiswa meningkat sesudah perlakuan
model bimbingan akademik, dapat diinterpretasikan bimbingan
akademik efektif untuk meningkatkan keterampilan dan kemandirian
belajar.

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 17


7 FEMINIST THERAPY

A. Problematika Relasi Manusia dalam Kehidupan

Perempuan sebagai makhluk individual, sosial, dan religius,


memiliki hak yang sama dengan laki­laki dalam mengembangkan
keseluruhan aspek kepribadian sebagai upaya mengakualisasikan
dirinya. Sebagai makhluk individual, perempuan memiliki hak untuk
mengembangkan bakat, minat, keterampilan, cita­cita, hobi, dan aspek­
aspek lainnya yang berkaitan dengan diri pribadi secara optimal.
Sebagai makhluk sosial, perempuan berhak mengembangkan relasi
sosial secara produktif dalam berpartisipasi aktif merekonstruksi
kehidupan bermasyarakat. Sebagai makhluk religius, perempuan berhak
mengembangkan hubungan vertikal dengan Tuhannya secara ber­
makna. Semua hak dan tugas ini sama pada perempuan, sebagaimana
pada kaum laki­laki.
Secara hakiki, martabat perempuan dan laki­laki sama di hadapan
Allah. Perempuan dilahirkan ke bumi ini membawa misi sebagai
khalifah sebagaimana kaum laki­laki. Oleh karena itu, perempuan dan
laki­laki harus bekerja sama saling melengkapi dalam mengelola bumi
ini. Barang siapa yang dapat menunjukkan performansi yang opti­
mal dalam mengelola bumi ini dan menunjukkan keberhasilannya
yang bermakna, maka orang itulah yang berhak memperoleh pengu­
atan (reinforcement). Dengan demikian, keberhasilan, akses kemudahan,
dan hak­hak istimewa yang diperoleh seseorang harus dipandang dari
karya yang ditunjukkannya, bukan dari latar belakang gendernya.

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 367


Namun dalam kenyataan menunjukkan berbeda dari apa yang
diharapkan. Perempuan banyak mengalami kerugian akibat konstruksi
sosial yang mendeterminasi peran­peran yang berbeda untuk perem­
puan dan laki­laki secara rigid.
Pada dasa warsa terakhir ini, banyak perhatian dipusatkan pada
pengaruh streotip peran gender dan efeknya yang merugikan kaum
perempuan, sebagaimana dikemukakan oleh Ohlsen (1983), Gibson &
Mitchell (1995) bahwa banyak hambatan yang dihadapi kaum perem­
puan untuk merealisasikan potensinya secara optimal sebagai manusia.
Hambatan­hambatan tersebut sangat kompleks dan multi dimen­
sional, di mana beberapa di antaranya berada di luar kendali perem­
puan, misalnya jenis kelamin, etnis, dan streotip sosial. Meskipun
terdapat beberapa upaya positif dari Pemerintah maupun lembaga
swadaya masyarakat (LSM) saat ini untuk meningkatkan potensi
perempuan dengan menstimulasi kesetaraan gender, namun realitas
perempuan masih banyak yang menghadapi kendala psikologis,
sosiologis, politis, kultural, dan ekonomi, sehingga kaum perempuan
tetap (makin) tersudutkan.
Ketersudutan dan keterpurukan kaum perempuan telah menjadi
fenomena di berbagai kultur hampir di seluruh belahan dunia. Adanya
fenomena semacam itu diperlukan suatu upaya yang dapat membantu
kaum perempuan bermasalah yang berkaitan dengan kesenjangan
gender dan ketidak­puasan mereka terhadap apa yang diperolehnya
selama ini dalam kehidupan sosial.
Banyak masalah yang diakibatkan oleh kesenjangan relasi antara
perempuan dan laki­laki dalam kehidupan sosial berpengaruh terhadap
kesehatan psikologis seorang individu, dan yang paling banyak meng­
alami gangguan psikologis akibat dari relasi yang senjang adalah
kaum perempuan, baik gangguan psikologis yang ringan maupun
yang berat, seperti: depresi, kemarahan yang tidak jelas sasarannya
(free floating anger), sangat agresif (borderline), sangat emosional (his­
trionik), suka membual (narsistik), sangat pemalu (avoidant), mudah
tersinggung (paranoid), mengutuk dan mempersalahkan diri (turning

368 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


around upon the self), suka mengisolasi diri (skizotipal), tidak percaya
diri (skizoid), ingin bunuh diri (suicide), ketakutan kepada hal­hal yang
tidak rasional (phobia), cemas (anxiety), migren (psichophysiological dis­
order), mimpi buruk (hypocondria), psikosomatis, psikosis, psikopat, dan
lain­lain.
Terapi feminis merupakan sebuah model bantuan konseling untuk
individu atau komunitas yang mengalami masalah dalam kehidupan
kesehariannya yang disebabkan adanya bias­bias gender yang meng­
akibatkan terjadi kesenjangan sosial yang sangat menekan perasaan,
kepribadian, harapan, dan cita­cita individu.
Terapi feminis tidak identik dengan terapi untuk perempuan atau
oleh terapis perempuan. Terapi feminis adalah terapi untuk individu,
siapapun, perempuan maupun laki­laki, yang dilakukan oleh terapi
perempuan atau laki­laki, untuk membantu masalah kesenjangan yang
disebabkan oleh relasi gender yang bias, yang menyudutkan satu
pihak dan sangat merugikan. Pihak yang tersudutkan biasanya adalah
mereka yang dianggap atau merasa diri lebih lemah, lebih inferior,
sementara pihak yang menyudutkan dipandang atau memandang
dirinya lebih kuat, lebih hebat, lebih superior dari yang disudutkan.
Dengan demikian, terapi feminis selain sebagai terapi, juga sebagai
advokasi bagi individu atau sekelompok individu yang termarginal­
kan.
Dalam perkembangannya, terapi feminis lebih populer dipandang
sebagai terapi untuk perempuan, karena yang banyak mengalami
marginalisasi adalah perempuan.

B. Sejarah Terapi Feminis


Terapi feminis adalah suatu upaya metodologis untuk mengubah
epistemologi terapi dalam memahami kompleksitas permasalahan
kesenjangan relasi antara perempuan dan laki­laki. Terapi ini ter­
inspirasi karena terjadi akar bias gender dalam kehidupan keluarga
maupun masyarakat yang telah berlangsung cukup lama.
Terapi feminis bertujuan agar individu mengenali perilaku dan

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 369


mengenali perilaku yang salah sesuai untuk pertimbangan bersama,
memelihara kualitas adaptif dalam hubungan dan memusatkan pada
aspek positif hubungan untuk mengetahui interaksi antara perempuan
dan laki­laki dalam kehiduan di masyarakat
Terapi feminis lahir dari dari gerakan feminis yang dimulai tahun
1960. Terapi ini mengundang banyak respon dan reaksi dari pelbagai
pihak, karena banyak merugikan dan melemahkan perempuan akibat
tidak terpecahkan oleh terapi tradisional yang mapan (Chesler, 1972;
Sholevar, et al, 2003).
Asumsi yang mendasari terapi feminis menurut L.Sunny Sundal­
Hansen (dalam Pedersen, 1985:217) menyebutkan:
1. Terapis harus menyadari bahwa ada perbedaan dalam perkem­
bangan karir perempuan dan laki­laki. (There are differences in the
career development of women and men of which counselors need to be
aware)
2. Isu peran seks perempuan dan laki­laki dipergunakan untuk
mengurangi efek negatif stereotip (The sex­role issues affect both
women and men and that both sexes need to work on reducing the negative
effects of stereotyping);
3. Stereotip peran seks mempengaruhi semua aspek kehidupan,
mencakup: pekerjaan, keluarga, pendidikan, dan kesenangan...
Lima kebutuhan psikologis yang selalu berkaitan dengan laki­
laki adalah kekuasaan, otonomi, agresi, pamer, dan prestasi,
sedangkan empat kebutuhan psikologis yang sering berkaitan
dengan perempuan adalah The sex­role stereotyping pervades society
and affects all aspects of the culture, including work, family, education,
and leisure... The five psychological needs always more highly associated
with men than women were dominance, autonomy, aggression, exhibition,
and achievement. The four needs more frequently associated with women
were abasement, deference, succorance, and nurturance);
4. Gender adalah faktor utama yang menentukan peran dan pilihan
hidup (The gender is a major factor in determining life roles and options);
5. Studi tentang perkembangan manusia sepanjang rentang kehi­

370 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


dupan yang diperoleh digunakan untuk melihat perbedaan
pengalaman, persepsi antara perempuan dan laki­laki dalam
beberapa tahapan perkembangan yang berbeda (The study of hu­
man development over the life span requires us to look at the differential
experiences and perceptions of women and men at different life stages);
6. Beberapa variabel sikap, interes, dan nilai yang terkandung
digunakan untuk menghadapi isu­isu peran gender dalam terapi
(The several variables besides aptitudes, interests, and values have to be
taken into account while attending to sex­role issues in counseling).
Terapi feminis merupakan perwujudan dari masyarakat bawah
(grass­roots phenomenon). Praktek ini berkembang luas berdasarkan
kesadaran feminis terhadap kondisi sosial yang bias gender, yang
hanya menguntungkan kaum laki­laki. Menurut Rawling & Carter
(dalam Pedersen, 1985), terapis feminis tidak sekedar memiliki kemam­
puan umum berdasarkan prinsip­prinsip dasar psikoterapis, tetapi
harus juga memiliki kepekaan gender (gender sensitiveness) dalam
hubungan terapeutik.
Survey yang pernah dilakukan oleh APA (American Psychological
Assocition) membenarkan adanya bias gender dalam proses psikoterapi
(Brown, 1983) yaitu:
1. Terapis memelihara paradigma tradisional terhadap peran
domestik perempuan.
2. Klien perempuan tidak mendapat penghargaan secara moral oleh
terapis, dan terapis membatasi harapan klien perempuan untuk
menggali potensi­potensi mereka.
3. Terapis cenderung memegang teguh konsep psikoanalisis Freud­
ian yang berkaitan dengan peran seks yang disosialisasikan dalam
keluarga.
4. Terapis memposisikan klien perempuan sebagai objek seksual,
sehingga dalam batas­batas tertentu masih mengindikasikan
melecehkan peran perempuan.
Terapi feminis bukan merupakan suatu teknik khusus dalam

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 371


psikoterapi, tetapi lebih sebagai dasar filosofis dan paradigma dalam
praktek psikoterapi. Oleh karena itu, pendefinisian terapi feminis
dipandang kurang popolis, formal dan universal.
Terapi feminis adalah suatu pendekatan filosofis untuk melakukan
terapi, konseling, dan konsultasi yang dapat memasukkan berbagai
teknik dan metode di bawah prinsip­prinsip dasarnya.
Terapi feminis merupakan model pemecahan masalah kesenjangan
relasi antara perempuan dan laki­laki dalam kehidupan di masyarakat
berkaitan dengan peran gender (feminity dan masculinity) yang dilekat­
kan untuk perempuan dan laki­laki.
Perempuan yang dahulu hanya menerima saja identitas gender
yang dilekatkan kepada dirinya melalui pola sosialisasi orang tua,antar
generasi, secara turun temurun. Akan tetapi sekarang setelah
perempuan memperoleh pendidikan setaraf atau lebih dari laki­laki,
perempuan mulai mempertanyakan hak­hak yang diperolehnya yang
mengalami kesenjangan dan ketidakadilan. Perempuan sekarang, teru­
tama yang terdidik, mulai dapat menempatkan dirinya sejajar dengan
kaum laki­laki. Kalau dahulu perempuan “membiarkan demi harmoni”,
saat ini perempuan telah bangkit dan mulai beradaptasi dalam kehi­
dupan yang terus diperjuangkan melalui suatu semangat “kesetaraan
gender”, meski tanpa menanggalkan kodrat biologis sebagai perem­
puan.
Sifat­sifat yang dilekatkan oleh kultrur kepada kaum perempuan
dan laki­laki dikritik dalam terapi feminis dan kemudian menjadi
paradigma yang membedakan dengan terapi lainnnya. Untuk mema­
hami lebih dalam tentang sifat­sifat feminity yang selalu dilekatkan
kepada perempuan dan sifat­sifat masculinity kepada laki­laki, akan
dipaparkan lebih lanjut.

C. Feminity dan Masculinity


Identitas seks sebagai perempuan atau laki­laki segera dapat
dikenali begitu seorang bayi lahir ke dunia berdasarkan jenis kelamin
yang dimilikinya. Jika bayi memiliki penis diidentifikasi sebagai bayi

372 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


laki­laki, dan jika bayi memiliki vagina diidentifikasi sebagai bayi
perempuan. Dari kedua jenis kelamin ini ada yang kreatif membedakan
dengan sebutan si “peny” untuk laki­laki karena memiliki penis, dan
si “pegy” untuk perempuan karena memiliki vagina.
Ilmu biologi telah menjelaskan bahwa setiap sel tubuh menusia
memiliki 46 kromosom dari orangtuanya, yaitu 23 kromosom dari
sperma bapak, dan 23 kromosom dari sel telur ibu. Sejumlah 22
kromosom dari sperma dan 22 kromosom dari sel telur bersifat sama,
akan tetapi yang satu pasang kromosom dari sperma bersimbol XY
dan satu pasang kromosom dari sel telur bersimbol XX sebagai
kromosom penentu jenis kelamin. Kromosom X dari sperma yang
menyatu dengan kromosom X sel telur, akan melahirkan bayi perem­
puan, sedangkan kromosom Y dari sperma yang bertemu dengan
kromosom X dari sel telur akan melahirkan bayi laki­laki. Begitu sel
sperma dan sel telur bersatu, janin yang akan terbentuk tidak akan
berubah jenis kelaminnya. Dengan demikian, anak perempuan mem­
punyai satu kromosom X dari bapak dan satu kromosom X dari ibu,
dan anak laki­laki mempunyai satu kromosom Y dari bapak, dan satu
kromosom X dari ibu. Jadi semua manusia mempunyai separuh dirinya
dari bapak dan separuh dari ibu (Harlock, 1982).
Tiap kromosom terdiri dari sejumlah unit keturunan individu
yang disebut dengan “gen”, yaitu segmen yang terdiri dari deoxyribo-
nucleic acid (DNA) sebagai pembawa informasi genetik. Jumlah gen
dalam setiap kromosom berkisar antara seribu atau lebih, karena sede­
mikian banyak, maka kecil kemungkinan manusia mempunyai kepri­
badian yang sama, meskipun mereka satu keturunan, kecuali yang
kembar identik. Kembar identik adalah berasal dari satu sel telur ibu
yang dibuahi oleh satu sel sperma bapak sehingga mempunyai gen
yang tepat sama (Atkinson, dkk, 1983).
Gen manusia selalu berbentuk pasangan. Tiap gen berpasangan
itu mempunyai asal yang berbeda, satu dari kromosom sel sperma
dan satunya lagi dari kromosom sel telur. Setiap anak hanya menerima
setengah dari gen masing­masing kedua orangtuanya. Atas dasar pola

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 373


genetik ini, Jung menyimpulkan bahwa dalam diri manusia memiliki
potensi feminin dan maskulin (Feminity and Masculinity in Human Be-
ing). Setiap bayi yang terlahir telah memiliki potensi aspek keperempuan
dan kelaki­lakian, yang dapat dikembangkan dan diperkuat oleh ling­
kungan kulturalnya. Maka dari itu, identitas gender diperoleh anak
dari kultur tidak lama setelah dilahirkan sebagai peran yang dilekat­
kan/ditugaskan (gender assignment) kepada perempuan dan laki­laki.
Peran yang dilekatkan ini tergantung kepada nilai kultur yang ber­
kembang.
Anak­anak sejak kecil sudah belajar kepantasan perilaku gender
dari orangtua, televisi, gambar­gambar, buku­buku, di sekolah, surat
kabar, kartu ucapan selamat, mas media, iklan, dan lingkungan masya­
rakat di mana ia tinggal (Decckard dikutip oleh Brown & Levinson
dalam Corsini, 1981). Proses belajar peran gender ini disebut dengan
Gender-role learning.
Melalui proses belajar dalam kultur, anak akan menyadari bahwa
jenis kelamin merupakan suatu bagian permanen dari individu dan
identitasnya. Untuk anak perempuan, tahap identifikasi seksual secara
kognitif dimulai dari identitas gender (saya anak perempuan),
kemudian diikuti oleh sex typing (saya feminin), dan diakhiri dengan
identifikasi terhadap orangtua (saya seperti ibu). Anak kemudian akan
mengasosiasikan perilakunya terhadap stereotip kultur, sehingga peran
jenis kelamin yang dipilih menjadi menarik baginya karena mengan­
dung penilaian positif. Karena body image dan stereotip kultur bagi
perempuan dan laki­laki berbeda, maka penghayatan femaleness dan
maleness akan dipengaruhi oleh pengalaman individu selama berinter­
aksi sosial. Bila anak ini perempuan, maka ia akan mengidentifikasi
diri dengan ibunya sebagai sumber awal dari pengalaman interaksio­
nalnya (Hyde, 1991; Williams, 1977).
Menurut Chesler (dalam Corsini, 1981), perbedaan identitas gen­
der perempuan dan laki­laki semakin tampak pada masa dewasa.
Perempuan dalam mencapai kedewasaan tidak sebanyak pada laki­
laki (seperti yang didefinisikan oleh standar laki­laki). Perempuan

374 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


umumnya bekerja pada pekerjaan yang berstatus rendah dengan upah
kecil, mempunyai depresi yang rata­rata tinggi, cenderung mengalami
phobia, lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri dan mengalami
schizophrenia, serta minimal tiga kali mendapat valium seperti laki­laki.
Menurut teori feminis, perbedaan perempuan dan laki­laki dewasa
sebagian besar diakibatkan oleh penekanan perbedaan peran sebagai­
mana dibentuk oleh kultur. Dalam kultur yang patriarkhi, laki­laki
diharapkan tidak boleh bersikap emosional, tetapi harus bergantung
pada kemampuannya sendiri. Laki­laki harus kuat dan tidak boleh
meminta bantuan, karena tindakan meminta bantuan merupakan tin­
dakan yang memalukan dan dianggap tidak memiliki harga diri.
Sebaliknya, perempuan dibolehkan untuk bersandar secara emosional
pada laki­laki, apakah bapaknya atau suaminya.
Dalam beberapa kultur, menangis diizinkan bagi seorang
perempuan, tetapi akan dicibirkan jika dilakukan oleh seorang laki­
laki. Maka, cengeng dan mudah menangis bukanlah sifat pembawaan
lahir, melainkan sifat yang dilekatkan oleh kultur kepada perempuan.
Kepribadian perempuan biasanya dihubungkan dengan sifat pendiam,
patuh, kebodohan, dan status minoritas (Rawling & Carter dikutip
oleh Brown & Levinson dalam Corsini, 1981). Anggapan bahwa laki­
laki lebih kuat, lebih cerdas, lebih stabil emosinya, sementara perem­
puan lemah, kurang cerdas, dan labil emosinya, hanyalah persepsi
stereotip yang dikonatruksi dalam kultur masyarakat.
Perbedaan anatomi tubuh dan genetika antara perempuan dan
laki­laki sering didramatisir dan dipolitisir terlalu jauh, sehingga seolah­
olah secara substansial perempuan lebih rendah dari laki­laki. Anggapan
seperti ini diperkuat oleh berbagai mitos dan sering mengklaim sebagai
pernyataan dari kitab suci tanpa kesempatan menginterpretasikan
secara kritis akan keabsahannya. Persepsi seperti ini kemudian meng­
endap dalam alam bawah sadar perempuan, sehingga mereka “rela”
menerima perbedaan peran gender meski terasa kurang adil sekalipun.
Padahal peran gender bukan merupakan kodrat atau fakta biologis (devine
creation), melainkan karena bentukan kultur (cultural construction).

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 375


Selama ini masih banyak orang beranggapan bahwa kepribadian
perempuan dan laki­laki sangat berbeda dan tidak ada kesamaan yang
dapat menjembatani keduanya. Anggapan ini menimbulkan banyak
orang mengalami penderitaan psikis karena mereka terikat untuk
berperan sebagai perempuan saja atau laki­laki saja, seperti yang telah
digariskan oleh masyarakat. Mereka seolah membawa suratan takdir
sejak lahir untuk berperilaku dan berperan sesuai dengan yang telah
digariskan masyarakat terhadapnya. Mereka tidak boleh keluar dari
batas itu. Begitu mereka bertindak sebaliknya dari yang diharapkan
masyarakat, mereka dianggap mempunyai kelainan. Sedangkan kalau
mereka tetap dalam jalur yang diharapkan masyarakat, kendati merasa
sakit, mereka tetap dianggap sehat (Constantinople,1973). Mereka
sebenarnya menjadi neurosis bukan karena ketidakmampuannya
mengalahkan diri sendiri, tetapi sebagai akibat pembatasan masyarakat
mendefinisikan kehidupan mereka (Miller, 1976).
Mengenai stereotip sifat­sifat feminity dan masculinity yang
dikonstruksi secara kultur oleh mayoritas masyarakat diidentifikasi
oleh Unger (1979:30):

SIFAT LAKI-LAKI (MASCULINITY) SIFAT PEREMPUAN (FEMINITY)

5 Sangat agresif 5 Kurang agresif


5 Independen 5 Kurang independen
5 Tidak emosional 5 Emosional
5 Dapat sembunyikan emosi 5 Sulit sembunyikan emosi
5 Lebih objektif 5 Subjektif
5 Tak mudah terpengaruh 5 Mudah terpengaruh
5 Tidak submissif 5 Submissif
5 Lebih suka pengetahuan eksakta 5 Kurang suka penget.eksakta
5 Tidak mudah goyah pada krisis 5 Mudah goyah hadapi krisis
5 Aktif 5 Pasif
5 Kompetitif 5 Kurang kompetitif
5 Logis 5 Kurang logis
5 Berorientasi ke luar 5 Berorientasi ke dalam (domestik)
5 Trampil berbisnis 5 Kurang trampil berbisnis
5 Terus terang 5 Tertutup
5 Memahami seluk beluk dunia 5 Kurang faham seluk beluk dunia
5 Tidak mudah tersinggung 5 Mudah tersinggung

376 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


SIFAT LAKI-LAKI (MASCULINITY) SIFAT PEREMPUAN (FEMINITY)

5 Suka petualangan 5 Kurang suka petualangan


5 Mudah atasi masalah 5 Sulit atasi masalah
5 Jarang menangis 5 Sering menangis
5 Tampil sebagai pemimpin 5 Tak lazim sebagai pemimpin
5 Percaya diri 5 Kurang percaya diri
5 Mendukung sikap agresif 5 Tidak suka sikap agresif
5 Ambisi 5 Tidak ambisi
5 Bisa membedakan rasa & rasio 5 Sulit bedakan rasa dan rasio
5 Merdeka 5 Kurang merdeka
5 Tak canggung dlm penampilan 5 Canggung
5 Pemikiran lebih unggul 5 Pemikiran kurang unggul
5 Bebas bicara 5 Tidak bebas bicara

Maka banyak ahli psikologi saat ini, yang berusaha untuk


memperbaharui konsep berfikir masyarakat tentang peran perempuan
dan laki­laki yang sangat stereotip itu. Carl Jung adalah seorang ahli
psikologi yang mencoba menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia
memiliki dua aspek sekaligus dalam dirinya, yaitu aspek feminin dan
maskulin, di mana kedua aspek tersebut dalam psikologi dikenal
dengan istilah “androgenitas”, yang berasal dari bahasa Yunani andro
adalah laki­laki, dan gyne adalah perempuan, yaitu integrasi sifat
maskulin dan feminin yang saling melengkapi (complementer), bukannya
saling bertentangan. Jung mengistilahkan aspek feminin dan maskulin
ini dengan Anima dan Animus. Jadi secara genetik setiap manusia ber­
unsur androgenitas, hanya berbeda kadarnya. Tinggi rendahnya kadar
feminin dan maskulin itu mempengaruhi cara seseorang bertingkah
laku (Spence &Heimrich, 1978). Seorang perempuan biasanya memiliki
sifat maskulin yang rendah, dan laki­laki mempunyai sifat feminin
yang rendah. Orang yang androgen dianggap memiliki keseimbangan
yang tinggi dari kedua ciri feminin dan maskulin itu.
Dengan demikian, seharusnya tidak ada dikhotomi yang perlu
dipertentangkan antara sifat keperempuanan dan kelaki­lakian pada
kedua jenis itu, sebab setiap manusia memiliki kedua aspek tersebut.
Dalam hal ini, androgenitas tidak semestinya diartikan sebagai aspek
jasmaniah, akan tetapi merupakan kesadaran individu di mana sifat

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 377


maskulin dan feminin saling bertemu dalam koeksistensi harmonis
(Meiyer, 1979).

D. Paradigma Terapi Feminis

Terapi feminis sebagai jawaban atas perwujudan psikoterapi


tradisional yang umumnya menggunakan model laki­laki. Dalam
psikoterapi tradisional, banyak terjadi penyimpangan dengan cara
merendahkan dan mendevaluasikan perempuan. Terapis feminis
menyadari pembatasan yang dikenakan oleh kultur tentang kekakuan
peran untuk perempuan dan laki­laki (sex-role regidity) dan mendukung
suatu pandangan kesehatan mental untuk perempuan dan laki­laki.
Mereka dengan penuh kesadaran memahami berbagai kesulitan
individu yang mencerminkan perbedaan sex-role yang kaku dan penyim­
pangan eksternal. Terapis feminis membantu individu menyortir faktor
eksternal yang menghambat potensi internal. Mereka mendorong
individu untuk mengubah tanggung jawab pribadi. Peran terapis diper­
luas bukan sekedar memberi terapi, melainkan juga memberi advokasi
sebagai sehingga dukungan ditawarkan kepada individu untuk mela­
kukan tindakan politis yang mengarah pada perubahan masyarakat
atau kelembagaan.
Seluruh proses terapi dikonstruksi oleh prinsip feminis. Klien
dipandang sebagai seorang konsumen mencari­cari suatu layanan.
Kontrak sering dikembangkan antara klien dan terapis. Terapi maupun
klien dalam terapi feminis memiliki posisi yang sama penting dan
wewenang bersama dalam hubungan yang setara. Terapis diasumsikan
mempunyai keterampilan tertentu dalam memberi bantuan konseling,
sementara klien diasumsikan sebagai ahli yang mengetahui mengenai
dirinya sendiri.
Isu yang biasanya dibahas dalam terapi feminis adalah kemarahan,
self-nurturance, kekuasaan, dan otonomi, masalah seksual, depresi, dan
kekerasan.Terdapat beberapa paradigma yang harus menjadi landasan
terapi feminis, yaitu:
Pertama, terapi feminis bukan bersifat pribadi. Selama ini ada

378 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


anggapan bahwa masalah perempuan dipandang sebagai masalah
pribadi perempuan itu sendiri, sehingga tidak perlu meminta bantuan
fihak luar karena akan mengakibatkan citra perempuan tersebut
“negatif” di mata masyarakat. bantuan konseling atau terapi untuk
perempuan merupakan sesuatu yang mengada­ada, karena menurut
kultur perempuan seharusnya mengetahui eksistensi dirinya yang
unik dan berbeda dengan kaum laki­laki. Oleh karena itu, masalah
yang menimpa perempuan harus dipandang sebagai masalah sosial
yang harus dipecahkan agar relasi antara perempuan dan laki­laki
dalam kehidupan sosial menjadi fungsional kembali.
Lagi pula, semua perilaku dan pengalaman manusia, perempuan
maupun laki­laki, harus dipandang dalam kaitan dengan kondisi
sosiopolitis yang lebih luas di mana mereka berada. Pengalaman
manusia tidaklah terisolasi dan berlawanan dengan kenyataan, tetapi
bagian pola sosialisasi yang diperoleh di masyarakat,
Dengan demikian, aplikasi terapi feminis dalam memahami masalah
dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh perempuan harus dipan­
dang dari sudut sosio­politis di mana perempuan tersebut tinggal,
bukan masalah pribadi yang terpisah dari kondisi sosiopolitis.
Kedua, terapi feminis menggunakan paradigma bahwa peran seks
perempuan dan laki­laki tidak ada batas yang kaku yang mengkotak­
kotakkan kepantasan peran untuk jenis kelamin tertentu.
Dengan demikian dalam praktek terapi, terapis perlu memberi
penghargaan yang setara kepada tanggung jawab, prestasi, dan karya
yang dicapai perempuan dan laki­laki secara adil, tidak memandang
berat sebelah. Terapis harus membiarkan klien yang perempuan mau­
pun laki­laki menentukan peran masing­masing berdasarkan bakat,
kemampuan, dan produktivitas mereka, bukan dibatasi pada “kepan­
tasan” atau “kelumrahan” secara kultur untuk menentukan peran
berdasar jenis kelamin.
Ketiga, terapi feminis perlu menggunakan pengertian mendalam
tentang politis feminisme untuk menciptakan strategi baru intervensi
dan struktur baru layanan yang berbeda dengan norma­norma sex­

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 379


ism budaya terapis. Terapi feminist menggambarkan norma­norma
dan etika politis feminisme dalam teori dan tindakan. Seperti itu, thera­
pists feminis mempunyai komitmen mengembangkan suatu hubungan
setara dengan klien. Therapist feminis menggambarkan tatacara di
mana klien terstruktur oleh kultur, seperti halnya tatacara di mana
dia atau ia telah mempelajari. Therapi feminis bukanlah suatu teknik
tertentu. Melainkan, merupakan suatu prinsip operasional terapis dalam
bertanya dan membuat aneka pilihan dalam bekerja dengan klien.
Keempat, terapis harus sadar sistem nilai­nilai pribadinya,
terutama nilai­nilai kesetaraan gender.
Isu penting yang sering muncul dalam terapi feminis antara lain
masalah finansial, waktu kerja, dan wewenang untuk membuat kepu­
tusan dalam keluarga. Ketidaksamaan yang paling merugikan adalah
tugas pengasuhan anak yang semata untuk perempuan yang mengu­
rangi peluang perempuan untuk mengejar minat dalam karir, peker­
jaan, dan aktivitas lain.
Terapis harus mendorong klien perempuan dan laki­laki agar
memiliki konsekuensi untuk melengkapi peranannya dengan mengem­
bangkan sifat­sifat feminity dan masculinity (androgenitas) secara
seimbang sebagaimana konsep Jung.
Terapis harus mampu menepis anggapan klien bahwa peran yang
dilakukan oleh perempuan maupun laki­laki berbeda sama sekali, dan
tidak dapat dikompromikan satu sama lain, dalam kondisi yang tersulit
sekalipun, karena kekakuan dalam peran akan menimbulkan tekanan
psikologis, baik pada perempuan maupun laki­laki. Kekakuan peran
juga dapat menimbulkan kesenjangan relasi antara perempuan dengan
laki­laki. Banyak peran yang ditugaskan kepada perempuan yang
membosankan, tidak ada hentinya, dinilai rendah terutama penghar­
gaan terhadap potensi ekonominya. Sindrom perempuan yang men­
derita depresi, respon yang tidak tepat dan perasaan hampa mungkin
hasil dari peran yang ditancapkan dan terjerat dalam peran yang tiada
penghargaan. Terapi feminis merupakan suatu alat efektif untuk mening­
katkan fleksibilitas peran, mengizinkan perempuan untuk mencari dan

380 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


mengejar yang lebih memberi penghargaan terhadap tugas dan karir,
sejalan dengan bakat mereka dan peluang yang tersedia.
Perempuan dan laki­laki umumnya disosialisasikan pada kualitas
nilai hubungan antar pribadi yang berbeda yang menghasilkan
ketegangan, konflik, dan potensi disfungsi. Perempuan disosialisasikan
untuk menghargai tinggi pada hubungan dan perawatan orang lain,
sosialisasi laki­laki menekankan prestasi dan kemerdekaan (Giligan,
1982).
Perkembangan perempuan berdasarkan pada pentingnya peme­
liharaan kedekatan dan hubungan (Giligan, 1982; Jordan et al, 1991).
Goldner yang dikutip Brown & Levinson dalam Corsini (1981)
mencatat, perbedaan perkembangan berperan penting dalam pola
interaksi keluarga. Giligan (1982) berpendapat, kesulitan perempuan
memelihara kedekatan ketika menginginkan otonomi. Anak perem­
puan belajar mengendalikan kemarahan dan agresi yang membuat
kesulitan untuk bertindak tegas. Chodorow (1978) berargumentasi,
perempuan sejak awal masa kanak­kanak lebih banyak dilibatkan
dalam hubungan antar pribadi untuk mempersiapkan mereka dalam
kehidupan berkeluarga dan pengasuhan. Ini menyiratkan bahwa
perempuan diharapkan dapat melayani orang lain dahulu.
Menurut Giligan (1982:73) moral perempuan didasarkan pada
kepedulian, sedangkan moral laki­laki didasarkan pada kebenaran
individu. Laki­laki cenderung otonomi, dan perempuan cenderung
terpojok dan dipersalahkan (blaming) untuk permasalahan anak­anak.
Perempuan cenderung untuk memelihara hubungan, sedangkan laki­
laki dipandang sebagai standar keadilan dan kebenaran tertentu.
Perbedaan ini dapat dilihat bagaimana perempuan tidak diajar untuk
mempertentangkan kekuasaan dan ketidak setaraan dalam perlakuan
di keluarga maupun di masyarakat, seperti ketidak setaraan dalam
upah, posisi, dan kepemimpinan.
Menurut Schwoeri, et al. (2003) secara umum terapi feminis sering
menghadapi masalah menyangkut kehidupan rumah tangga, antara
lain: (1) Kekuasaan dan keuangan; (2) Tanggung jawab pengasuhan;

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 381


(3) Perawatan anak setelah perceraian; (4) Pemojokan Peran Keibuan;
(5) Ketidak­berdayaan; (6) Peran gender secara kultural.
Kekuasaan, keuangan dan penghasilan sebagai suatu sistem
dalam rumah tangga yang saling berhubungan. Kapasitas pendapatan
yang lemah mempunyai efek pada struktur kekuasaan dalam keluarga.
Umumnya berlaku, laki­laki sebagai kontrol sumber daya keuangan
yang kemudian disalah gunakan sebagai makna kuasa terhadap isteri
dan anak­anak. Penghargaan suami terhadap keuangan isteri dapat
memposisikan isteri sebagai seorang yang mandiri, tetapi sekaligus
dipandang dapat merendahkan posisi suami. Ini menunjukkan bahwa
secara kultur cenderung masih memberi penghargaan lebih pada
kontribusi keuangan laki­laki dalam keluarga, sementara tidak atau
kurang menghargai pada keuangan perempuan. Ketidak setaraan
perhargaan ini diperkuat ketika isteri mempunyai tanggung jawab
merawat anak sehingga mengurangi kesempatan memperoleh
penghasilan, yang memberi peluang suami untuk bekerja dan mungkin
memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, dan ini dimanfaatkan
sebagai kuasa suami terhadap isteri.
Oleh karena itu, agar tidak terjadi ketimpangan, maka perawatan
anak harus menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya kewajiban
ibu. Tugas ibu merawat anak sendirian dapat sangat melelahkan.
Tanggung jawab dapat dilakukan bersama dalam mengawasi anak
pada berbagai aktivitas sosial mereka, seperti mengawasi PR, mengajar
privat mereka dalam bidang tertentu, dan bangun malam hari meng­
urus bayi. Pada beberapa kultur, tanggung jawab bangun malam hari
mungkin secara total ditugaskan kepada ibu tanpa keikutsertaan
bapak, padahal pengaturan ini memperlemah hubungan emosional
bapak dengan anak.
Di beberapa kultur, pekerjaaan bapak dianggap selesai ketika tiba
di rumah, sedangkan pekerjaan ibu tidak ada hentinya. Ibu mungkin
menahan untuk memperoleh pendidikan atau pekerjaan lebih tinggi,
sebab ia harus tinggal di rumah dan mengasuh anak. Pembatasan
seperti ini sering tidak berlaku bagi bapak. Bapak mungkin mampu

382 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


mengambil berhari­hari tanpa kritik untuk kegiatan ke luar­masuk
kota, sedangkan pilihan yang sama oleh ibu dapat dianggap sebagai
tidak bertanggung jawab. Konseling pernikahan berwawasan gen­
der diarahkan untuk memunculkan tanggung jawab bersama dalam
pengasuhan anak bagi suami isteri.
Perawatan dan dukungan terhadap anak setelah perceraian sering
menyulitkan keuangan perempuan. Mayoritas keluarga yang bercerai,
ibulah yang harus bertanggung jawab merawat anak secara penuh.
Ketiadaan perhatian para bapak terhadap keluarga yang diceraikan
mencakup rencana pendidikan lanjutan untuk anak­anak, kesejah­
teraan masa depan anak, dan pertahanan sumber daya ekonomi, sering
luput dalam penyelesaian perceraian, dan perempuan umumnya yang
dipersalahkan dan menjadi ujung tombak perawatan anak, meski
apapun keadaannya. Para ibu juga sering dipersalahkan untuk ber­
bagai kesulitan emosi anak, padahal menyalahkan satu pihak sangat
tidak produktif bagi penyelesaian masalah anak.
Peran gender perempuan adalah suatu konsep yang dibangun
secara kultur yang mengacu pada sikap, perilaku, dan harapan. Walau­
pun cakupan peran harus mempertimbangkan lintas kultur, peran
pengasuhan anak umumnya tetap ditugaskan kepada perempuan
(Levine & Padilla, 1991 dalam Pedersen, 1985). Teori dan terapi pada
peran gender yang kronis ini didasarkan pada suatu pandangan sempit
mengenai perkembangan perempuan di mana awal pengalaman gen­
der mempengaruhi interaksi antara kedua jenis kelamin. Ini mengindi­
kasikan bahwa perempuan dan laki­laki memiliki peran berbeda yang
ditugaskan oleh kultur melalui sosialisasi orangtua.
L.Sunny Sundal­Hansen (Pedersen, 1985:215­216) menyebutkan
beberapa isu gender dalam terapi feminis mencakup hal­hal sebagai
berikut:
1. Tingkat perubahan masyarakat (the rate of societal change)
2. Stereotipe peran jenis kelamin dihasilkan dari sosialisasi dalam
kultur (sex­role stereotyping and socialization)
3. Tujuan individu vs tujuan keluarga/masyarakat (individual goals

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 383


versus family and societel goals)
4. Buta huruf dan pilihan pendidikan (literacy and educational options)
5. Pembagian kerja menurut jenis kelamin (sexual division of labor)
6. Perubahan peran laki­laki dalam keluarga (men’s changing roles is
family)
7. Derajat kesanggupan untuk persamaan dalam pendidikan,
pekerjaan dan keluarga (degree of commitment to equality)
8. Kebebasan memilih vs seleksi dan penempatan (freedom of choice
versus selection and placement)
Sebagai acuan operasional, pendapat Piercy & Sprenkle (dalam
Schwoeri, 2003) dapat diadopsi untuk mengembangkan terapi feminis
yang sensitif gender, yaitu sebagai berikut:
1. Membuat isu kesetaraan gender menjadi bagian dari ideologi treat­
ment. Ini mengharuskan suatu pergeseran berfikir untuk meng­
konter sikap lama mengenai kemampuan perempuan dan standar
untuk menentukan perilaku mereka, sukses mereka, dan kebu­
tuhan mereka dalam kehidupan sosial.
2. Harus memahami struktur keluarga klien. Misalnya siapa yang
berkuasa dan dominan dalam keluarga. Struktur keluarga ideal­
nya tidak hirarkhis, tetapi harus timbal balik, saling melengkapi,
dan demokratis.
3. Berupaya untuk menghargai keterampilan, perasaan, dan kebu­
tuhan klien dengan cara: (a) membangun keyakinan diri dengan
menunjukkan kontribusinya kepada keluarga atau masyarakat
selama ini, (b) mendukung mereka dalam membangun hubungan
sosial, (c) menyiapkan mereka untuk menangani reaksi yang
tidak menyenangkan dari keluarga ketika mereka mengaktuali­
sasikan diri sesuai dengan minat dan kemampuannya, (d) mem­
beri penguatan ketika klien menyatakan hak­haknya untuk
mengejar karir di luar rumah.
Dalam konsultasi terapeutik, klien harus memperoleh kesempatan
seluas­luasnya untuk mengungkapkan perasaan, pengalaman dan

384 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


kebutuhannya, serta menyadari kelebihan dan kekurangan masing­
masing untuk menjadi modal bagi keputusan yang dibuatnya.
Dalam hubungan terapeutik, terapis harus berusaha membantu
klien memperoleh pemahaman mendalam tentang diri sendiri dan
masalahnya, seperti kelebihan dan kekurangan dirinya, dinamika
sejarah kehidupannya selama ini, termasuk pemahaman bagaimana
dirinya dikonstruksi oleh kultur menjadi berkepribadian seperti
sekarang ini. Dengan memperoleh insight tentang beberapa hal tersebut,
klien akan lebih mudah mengembalikan kepercayaan diri dan bangkit
dari keterpurukan, menyadari kesalahan dan ingin mengubah perilaku
yang salah suai.

C. Keunggulan Terapi Feminis


Terapi feminis memiliki beberapa keunggulan daripada terapi lain
dalam menyelesaikan masalah kesenjangan relasi antara perempuan
dan laki­laki. Rawling & Carter yang dikutip Brown & Levinson
(dalam Corsini, 1981) menyebutkan beberapa nilai dalam terapi feminis,
yaitu sebagai berikut:
1. Terapis sadar akan nilainya sendiri (The therapist is a aware of her/
his own values).
2. Tidak menentukan perilaku peran seks (There are no prescribed sex­
role behaviors)
3. Ketidak beruntungan peranan seks dalam gaya hidup bukan la­
bel patologis (Sex­role reversals in life style are not labeled pathologi­
cal)
4. Pernikahan tidak dianggap sebagai sesuatu hasil terapi yang
sangat baik untuk seorang perempuan maupun laki­laki (Mar­
riage is not regarged as any better an outcome of therapy for a female than
for a male).
5. Teori­teori berdasarkan perbedaan anatomis itu ditolak (Theories
based on anatomical differences are rejected)
6. Status rendah perempuan tidak sebesar kekuatan ekonomi dan
politik laki­laki (The inferior status of women is due to their having less

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 385


political and economic power than men)
7. Nilai terapis bukan merupakan kelas tinggi atau kelas menegah
terhadap klien, tetapi lebih pada level kerja klien (A feminist thera­
pist does not value an upper or middle­calss client more than a working­
class client)
8. Perempuan diharapkan mandiri dan tegas sebagaimana laki­laki,
dan laki­laki diharapkan ekspresif sebagaimana perempuan (Fe­
males are expected to be as autonomous and assertive as males. Males
are expected to be as expressive and tender as females).
9. Sumber utama psikologi perempuan adalah sosial, bukan per­
sonal (The primary source of women’s pathology is social not personal).
10. Fokus penekanan lingkungan sebagai suatu sumber utama
patologis tidak digunakan sebagai jalan keluar dari pertanggung
jawaban individu (The focus on environmental stress as a major source
of pathology is not used as an escape from individual responsibility).
11. Terapi feminis berlawanan pada penyesuaian personal terhadap
kondisi sosial. Tujuannya adalah perubahan politik dan sosial
(Feminist therapy is opposed to personal adjusment to social conditions.
The goal is social and political change).
12. Perempuan lain bukan musuhnya (Other women are not the enemy)
13. Laki­laki juga bukan musuhnya (Men are not the enemy either)
14. Perempuan secara ekonomi dan psikologis harus mandiri (Women
must be economically and psychologically autonomous).
15. Hubungan persahabatan, cinta, dan perkawinan harus setara
dalam kekuatan personal (Relationships of friendship, love, and mar­
riage should be equal in personal power).
16. Perbedaan utama perilaku peranan seks yang “tepat” harus tidak
ditampakkan (Major differences between “appropriate” sex­role behav­
iors must disappear).
Terapis dapat mendorong seorang perempuan mengubah konsep
diri dan perilakunya. Perempuan sering mulai melihat diri mereka
sendiri mampu dan kuat. Mereka menjadi memperkokoh diri, mengurus
diri mereka sendiri, secara fisik maupun emosional. Mereka menjadi

386 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


lebih tegas dalam berhubungan dengan orang lain. Sejumlah teori
menekankan perhatiannya pada tiga hal yang terjadi selama konseling,
yaitu kemarahan, pemeliharaan diri, dan otonomi.
Dalam terapi feminis menekankan pada bagaimana konselor
mampu melihat, merasakan, dan mengalami dunia klien sebagaimana
dilihat, dirasakan dan dialami oleh klien. Terapis dapat meyakini bahwa
dirinya mampu memasuki dunia klien dengan membuat komitmen
emosional terhadap klien, terutama melalui cara menunjukkan diri
yang memiliki kelebihan dan kelemahan (self­disclosure).
Terapi feminis memusatkan perhatian serius pada isu keadilan
gender. Prasangka masyarakat dan perempuan sendiri selama ini, telah
mendesak lahirnya praktek terapi yang sensitif gender. Terapi ini
menyajikan petunjuk untuk menguji pandangan yang bias gender
dan efek yang merugikan dan bias pada pengembangan perempuan.
Posisi perempuan dalam keluarga begitu ditekan dan mereka ditolak
untuk mencapai keberhasilan pemenuhan diri pribadi. Terapi ini
mengusulkan perbaikan di mana perempuan harus memiliki akses
sama kepada peluang dan mendapat penghargaan untuk membantu
memenuhi potensi mereka.
Dalam terapi feminis, terapis berusaha menciptakan hubungan
kemitraan dengan klien dan menghilangkan hubungan hirarkhis
konselor dengan klien. Oleh karena itu, peran konselor lebih sebagai
fasilitator berdasarkan pedoman dan aturan yang telah disusun ber­
sama oleh konselor dan klien untuk pemecahan masalah. Seting kemi­
traan ini bermanfaat untuk menghilangkan perasaan sakit secara fisik
dan psikologis, ketidak berdayaan, dan terisolasi (Mander, 1977:287).
Terapis mendorong klien agar mampu berinstrospeksi dengan belajar
mengenal dan memahami diri mereka sendiri secara lebih baik,
mendorong untuk dapat membedakan dengan jelas apakah gangguan
itu termasuk faktor sosial atau faktor internal (Lerman,1976:379­380).
Selama proses terapi, terapis mengambil peran bukan sebagai figur
otoritatif yang selalu mengarahkan klien, tetapi lebih sebagai mitra
yang mampu mendengarkan secara aktif keluh kesah klien. Terapis

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 387


memiliki komitmen pada bentuk hubungan yang sederajat (egalitar­
ian) dengan klien. Penerimaan secara penuh dari terapis (unconditional
positive regard) merupakan kunci keberhasilan proses terapi. Sikap
penerimaan penuh dari terapis ini mendorong klien untuk meneliti
perasaan­perasaan tidak sadar itu menjadi kesadaran.
Dalam hubungan terapeutik yang aman, perasaan yang selama
ini mengancam dapat diasimilasikan ke dalam struktur diri. Asimilasi
ini membutuhkan reorganisasi yang agak drastis dalam konsep diri
klien supaya sejalan dengan realitas pengalaman organismik. Klien
akan lebih bersatu dengan dirinya sebagai organisme dan ini merupa­
kan hakikat dari terapi (Hall & Lindsey, 1993).
Menurut Brown & Liz Levinson (1981), terapi diarahkan untuk
membantu klien dalam: (1) meningkatkan kesadaran diri, (2) menerima
keadaan diri, (3) memperkuat penerimaan diri, (4) mengembangkan
kekuatan untuk mengembangkan diri, (5) memelihara dan mengem­
bangkan hubungan dengan orang lain, (6) menyadari hambatan­
hambatan yang ada di masyarakat, (7) mengembangkan rencana
tindakan pengubahan hambatan­hambatan sosial.
Meningkatkan status perempuan pada hakekatnya adalah
mengangkat status keluarga, masyarakat, dan bangsa secara keselu­
ruhan. Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan merupakan
pemberdayaan seluruh anggota keluarga, dan keterpurukan perkem­
bangan dan pertumbuhan perempuan akan mengakibatkan keman­
degan semua anggota keluarga. Pemberdayaan perempuan yang pal­
ing penting adalah membuat mereka sadar akan pilihannya, membantu
mereka agar mampu bicara terus terang, mampu angkat bicara, menjadi
sadar akan bakat mereka, dan dengan aktif dapat mencari pemenuhan
tanpa takut gagal dan merasa bersalah (self guilt).

388 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, I. (tanpa tahun). Tanwir al­Miqbas min Tafsir Ibn Abbas.


Penyunting: Abu Thahir Ibn Ya’qub al­Fayruzzabadi. Beirut:
Daar al­Fikr.
Ahmad, I. (1993). “Perempuan dalam Kebudayaan”. Ridjal, Mariyani
& Husein (eds). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Al­Thabari. (1988). Jami al­Bayan an Ta’wil Ayat al­Qur’an. Jilid 14.Beirut:
Dar al­Fikr.
Andersen, ML. (1983). Women: Sociological and Feminist Perspectives. New
York: Macmillan Publishing Co.Inc.
Archer, SL. Ed. (1994). Intervention for Adolescent Development. Califor­
nia: Sage Publications.
Aristo. (2008).”Kemandirian Belajar’. [Online]. Tersedia: http://
www.adprima.com/ dears.html.[16April 2008].
Asad, M. (1980). The Message of the Qur’an. Gibraltar: Dar al­Andalus.
Balqis Women Crisis Centre. (2004). Data Kekerasan terhadap Perempuan.
Cirebon: BWCC.
Baumrind, D. (1971). Developmental Psychology Monographs. 4 (1).
Beck, CE. (1971). Philosophical Guidelines for Counseling: The Place of Values
in Counseling and Psychotherapy. Iowa:WM.C. Brown Company
Publishers.
Beyer, BK. (1995). Improving Student Thinking: A Comprehensive Approach.
Boston: Allyn & Bacon.Inc.
Biggs, DA. & Blocher, H. (1986). The Cognitive Approach To Ethical
Counseling:Values in Counseling Ethic. New York: State University of

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 389


New York at Albany.
Black, D. (1976). The Behavior of Law. New York:Academic Press.
Bogard, K & Yllo, K. (1988). Feminist Perpectives on Wife Abuse. London:
Sage Publication.
Brammer, L. M, Abrego, P. J. & Shostrom, E. L. (1993). Therapeutic
Psychology. Fundamentals of Counseling and Psychotherapy. Englewood
Cliffs­New Jersey: Prentice­Hall.
Brown, JA. & Pate, JR, RH. (1983). Being a Counselor: Directions and
Chalenges. California: Brooks­Cole Publishing Company.
Brown, L.S. & Levinson, L.N. (1981). “Feminist Therapy I”. Corsini,
R.J. ed. Handbook of Innovative Psychotherapies. New York: John Wiley
& Sons.
Buzawa, E.S. & Carl G. B. (1996). Domestic Violence: The Criminal Justice
Response. California: Sage.
Campbell, J. (1992). “Wife­battering: Cultural Contexts Versus Western So­
cial Sciences”. Counts, Brown & Campbell. Sanctions and Sanctuary:
Cultural Perspectives on the Baeting of Wives. Boulder: Westview Press.
Cantos, A.et al. (1994). “Injuries of Women and men in a Treatment Program
for Domestic Violence”. Journal of Family Violence 9:113­124.
Cascardi, M.et al. (1992). Marital Aggression: Impact, Injury, and Health
Correlates for Husbands and Wives. Arch Intern Med 152:1178­1184.
Chodorow, N. (1978). The Reproduction of Mothering. California: Univer­
sity California Press.
Christian, J.et al. (1994). “Depressive Symptomatology in Maritally Discor­
dant Women and Men:The Role of Individual Relationship Variables”.
Journal of Family Psychology.
Ciciek, F. (1999). Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga: Belajar
dari Kehidupan Rasulullah. Jakarta: Kerjasama Lembaga Kajian
Agama dan Gender, Solidaritas Perempuan & The Asia Founda­
tion.
Coleman, D. & Straus,M. (1986). “Marital Power,Conflict and Violence in a
Nationally Representative Sample of American Couples”. Violence Vict I (2).
Collier, HV. (1982). Counseling Women:A Guide for Therapists. New york:

390 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


The Free Press. A Devision of Macmillan Publishing Co,Inc and
London:Collier Macmilan Publishers.
Collier, R. (1998). Pelecehan Seksual: Hubungan Dominasi Mayoritas dan
Minoritas. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Collins, WA. (1990). dalam Montemayor. (Ed). Advances in Adolescent
Development: The Transition form Childhood to Adolescence. California:
Sage.
Core Curriculum Advisory Committee. (1986). “Independent Learning”.
[Online]. Tersedia: http://www.sasked.gov.sk.ca/docs/policy/cels/
e17.html.[17April 2008].
Corey, G. et al (1988). Issues and Ethics in the Helping Professions: The
Counselor as a Person and as a Profesisonal. New Yowk:Brooks/Cole
Publishing Company.
Corsini, RJ Ed. (1972). Current Psychoterapies. Alih Bahasa Ahcmad Kahfi
& Mochtar Zurni. 2003. Psikoterapi Dewasa Ini: Dari Psikoanalisa
hingga Analisa Transaksional. Surabaya: Ikon Teraliletara.
Corsini, RJ. Ed. (1981). Handbook of Innovative Psychotherapies. New York:
John Wiley & Sons.
Dahlan, M. et al. (1996). Model Kemahiran Berpikir Kritis dan Kreatif. Kuala
Lumpur: Longman.
Davidson, N.P & Siegel, L.J. (1985). “Family Counseling”. Dalam
Husen,T. & Potletwhite, T.N. (eds). The International Encyclopedia
of Education: Research and Studies. p. 1827­1831. Oxford: Pergamon
Press.
Davison, J.A. & Pate, Jr. R.H. (1983). Being a Counselor: Directions and
Challenges. California: Brooks – Cole Publishing Company.
DeBono, E. (1998). Berpikir Lateral. Kuala Lumpur:PTS Publications
and Distributors. Sdn.Bhd.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Pengembangan Kurikulum
Berbasi Kompetensi. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menegah
Umum.
Division for the Advancement of Women Centre for Social Develop­
ment and Humanitarian Affairs. (1992). “Violence Agains Women”.

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 391


Women 2000. Austria:Vienna International Centre.
Djannah, F.et.al. (2003). Kekerasan terhadap Isteri. Yogyakarta:LkiS.
Dobash, RP.et al. (1992).”The Myth of Sexual Symmetry in Marital Vio­
lence”. Social Problem [39].
Echol, JM. & Shadily, H. (1983). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Emosda. (1989). “Keberhasilan Belajar di Perguruan Tinggi ditelaah
dari Kemandirian dan Kreativitas Mahasiswa”. Tesis. Bandung
FPS IKP. Tidak diterbitkan.
Engineer, AA. (1994). Hak­hak Perempuan dalam Islam. Alih Bahasa:
Farid Wajidi dan Cici Farcha Assegaf. Yogyakarta: Bentang.
Erikson, EH. (1989). Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Jakarta:
Gramedia
Faqih, M. (1999). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Faqihuddin, A. (2000). “Kritik Matan Hadits:Metode Memahami
Hadits­hadits Relasi Laki­laki dan Perempuan”. Makalah. Cirebon:
Fahmina Institute.
Faqihuddin, A. “Kritik Matan Hadits:Metode Memahami Hadits­hadits
Relasi Laki­laki dan Perempuan”. Makalah. Cirebon:Fahmina In­
stitute.
Faturahman. (2002). “Implementasi Konseling Berperspektif Gander
Pada Perempuan Korban Kekerasan: Studi Kasus di Rifka Annisa
Women’s Crisis Center”. Laporan Penelitian.Yogyakarta:UNY.
Fazlurahman. (1983). Tema Pokok Al­Qur’an. Alih Bahasa:Anas
Mahyudin. Bandung: Pustaka.
FISIP UNSOED. (2002). Jurnal Sosiologi:Interaksi.
Foley,V.D. (1989). “Family Therapy”.Corsini, R.J.& Wedding, D. Con­
temporary Psychotherapies:Models and Methods. Columbus, Ohio: Bell
& Howell Company.
Fridan, B. (1982). The Second Stage. Summit books NY.
Frieze, I. et al. (1978). Women and Sex Roles. A Social Psychological Per­
spective. Norton & Co.

392 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


Galbreath, J. (1999). “Critical Thinking”. [Online]. Tersedia: http://
en.wikipedia.org/ wiki/critical thinking.[15 April 2008].
Gati, I, et al. (1995). “Gender Differences in Career Decision Making: The
Content and Structure of Preferences”. Journal of Counseling Psychology.
42 (2) 204­216.
Giligan, C. (1982). In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s
Development. Cambridge: Harvard University Press.
Golan, E. & Fisher,W.A. (1998). “Effects of Counselor Gender and Gender­
Role Orientation on Client Career Choice Traditionality”. Journal of Coun­
seling Psychology, 35 (3) 287­293.
Gormly, AV & Brodzinsky, DM. (1993). Lifespan Human Development. 5th
edition. Tokyo: Harcourt Brace Collage Publishers.
Gozali, AM, et al. (2002). Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan
Perempuan:Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda. Yogyakarta: LkiS,
Rahima & The Ford Fondation
Greadler, MB. (1989). Learning and Instruction: Theory to Practice. New
York: McMillan Publishing Company.
Grotevant, HD. & Cooper, CR. (1998). “Individuality and Connectedness
in Adolescent Development: Review and Prospects for Research on Iden­
tity, Relationships and Context” dalam E. Skoe & Vander Lipps (eds).
Personality Development in Adolescence: A Cross National and Life Span
Perspective. London: Routledge.
Guilford, JP. (1956). “Convergent and Divergent Production”. [Online].
Tersedia: http:// en.wikipedia.org/wiki/convergent and divergent
production. [13 April 2008].
Hall & Lindsey. (1993) .Teori­teori Holistik:Organismic Fenomenologis.
Yogyakarta: Kanisius.
Haridadi,S. (1995). “Tindakan Kekerasan terhadap Wanita dalam
Keluarga”.T.O. Ihromi (ed).Kajian Wanita dalam Pembangunan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Haridadi,S.(1993).”Tindak Kekerasan Terhadap Wanita dalam
Keluarga”. Laporan Penelitian. Surabaya:Pusat Penelitian Studi
Wanita Universitas Airlangga.

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 393


Hasbianto, E.N. “Kekerasan dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan
yang Tersembunyi”. Hasyim, Sy. (eds).(1999). Menakar Harga
Perempuan. Bandung: Mizan.
Hasyim, Sy. Ed. (1999). Menakar Harga Perempuan. Bandung:Mizan.
Heise, L.P.J & Bermain, A. (1994). “Violence Againts Women: The Hidden
Health Burden”. Paper. Washington DC: World Bank.
Hill, NC. (1981). Counseling at The Work Place. New York: McGraw­Hill
Book Company.
Hinkle, J. S. 1992. “Family Counselicy in the Schools”. [Online]. Tersedia:
ERIC Digest.ED347482.
Hurlock, EB. (1973). Adolescent Development. Fourth Edition. New York:
McGraw­Hill,Inc.
Hurlock, EB. (1980). Developmental Psychology: A Lifespan Approach. 4th
Edition. New York: McGraw­Hill Inc.
Husein, M. (2001). “Diskriminasi Gender dan kekerasan terhadap
Perempuan dalam Wacana Keagamaan Islam”. Harkat: Jurnal Me­
dia Komunikasi Gender. Pusat Studi Wanita IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Husein, M. (2004). Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta:LkiS &
Fahmina Institute.
Husen, T. (1995). Masyarakat Belajar. Jakarta:Grafindo Persada.
Ihromi, TO. (1995). Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Indracaya, A. (2000). Menyingkap Tirai Psikologi Psikoseksual dan Seksologi.
Yogyakarta: Galang Press.
Johnson (2000). “Convergent­Divergent”. [Online]. Tersedia: http://
faculty.washington. edu/ezent/imdt.htm. [13 April 2008].
Jordan, JK, et al. (1991). Women’s Growth in Connection:Writings from the
Stone Centre. New York:Guilford.
Kaplan, AG.(1979).”Clarifying the Concept of Androgyny:Implication for
Therapy”. Psychology of Women Quarterly. [3]: 231­240.
Kaplan, D. M. & Cole, M. J. 2002. “Incorparating Family Work into Indi­
vidual Counseling: Establishing a Relationship with Families”. [Online].

394 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


Tersedia: ERICDigest. ED470596.
Kaplan, HS (1977). “Hypoactive Sexual Desire”. Journal of Sex and Marital
Therapy. [3]: 3­9.
Kaplan, HS. (1974). The New Sex Therapy. New York:Brunner Mazel.
Kartadinata, S. (2002). “Paradigma Baru Bimbingan dan Konseling”.
Makalah. Lampung: Konvensi IPBI.
Kedaulatan Rakyat. (1993). “Bukan Perkosaan, Pemaksaan Hubungan
Seks Perkawinan”. 16 Maret.
Knowles, MS. (1980). The Modern Prcatice of Adult Education: From Peda­
gogy to Andragogy. New York.: The Adult Education Company.
Knowles, MS. (1993). “Contributions of Malcom Knowles”. The Christian
Handbook on Adult Education. K.O.Gangel & James C. Wilhoit. Eds.
Victor Books.
Knowless, MS. (1975). Self­ Directed Learning: A Guide for Learners and
Teachers. Chicago: Associates Press Follett Publishing Company.
Koentjoro. (1999). “Melacur sebagai Kewajiban Kerja: Sebuah
Ketidakadilan Gender Sistemik”. Jurnal Perempuan. [11]
Konwles, M. (1970). The Modern Practice of Adult Education: Andragogy
Versus Pedagogy. New York: Association Press.
Kozma, RB, Belle, LW, William, GW. (1978). Instructional Techniques in
Higher Education. New Jersey: Educational Technology Publica­
tions.
Kubow. (2003). “Creative Thinking”. [Online]. Tersedia: http://e­learn­
ing­bpplsp­reg5. go.id/?pilih=news.[15 April 2008].
Lacan, J. 1990. A Feminist Introduction. Sidney:Allen and Unwin.
Langley, R. & Levy, R.C (1987). Memukul Isteri. ALih Bahasa: Mosasi.
Jakarta: Cakrawala Cinta.
Lerner, RM & Spanier, GB. (1980). Adolescent Development: A Lifespan
Perspectives. New York: McGraw Hill Co.
Liliasari. (1996). “Beberapa Pola Berpikir dalam pembentukan
Pengetahuan Kimia oleh Siswa SMA”. Disertasi.Tidak diterbitkan.
Bandung: IKIP.
Lindsey, L.L. (1990). Gender Roles: A Sociological Perspectives. New Jer­

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 395


sey: Prentice Hall­Englewood Cliffs.
Lindsey, L.L. (1994). Gender Roles: A Sociological Perspectives. New Jer­
sey: Prntice Hall­Englewood Cliffs.
Lipps,V & Skoe, E. Eds. (1998). Personality Development in Adolescence: A
Cros National and Lifespan Perspective. London: Routldge.
Lips, HM. (1993). Sex and Gender: An Introduction. London: Mayfield
Publishing Company.
Lupri. et al. (1994). “Socioeconomic Status and Male Violence in the Canadian
Home: A Reexamination”. Canadian Journal of Sociology 19:47­73.
Marcia, JE. (1980). “Identity in Adolescence”. J.Adelson (ed). Handbook of
Adolescent Psychology. New York:Wiley.
Marcia, JE. (1983). ‘Some Direction for The Investigation of Ego Development
in Early Adolescence”. Journal of Early Adolescence. Canada: Simon
Fraser University.
Mary, A. (1988). Counseling Families from a Systems Perspective. ERIC/
CAPS Digest.ED304634.
Maslow, AH (1970). Motivation and Personality. New York: Harper &
Row Publishers.
Masters, WH. & Johnson, VE. (1966). Human Sexual Response. Boston:
Little, Brown.
Matlin, M. (2002). Cognition. 5th Edition. New York:Wiley.
Merchan, KM & Kurtz, KM. (1997). “Gizi Wanita pada Setiap Fase
Siklus Kehidupan: Kerentanan Sosial dan Biologis”. Marge
Koblinsky (eds). Kesehatan Wanita: Sebuah Perspektif Global.
Yogyakarta: UGM Press.
Merriam, S.B. & Cafferella, RS. (1999). Learning in Adulthood. San
Fransisco:Josey Bass Publishers.
Milller, JB. 1976. Toward a New Psychology of Women. New York: Beacon
Press.
Monks, K & Haditono, ST. (1992). Psikologi Perkembangan: Pengantar
dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta:UGM Press.
Murniati, A.N.P. (2004). Getar Gender I: Perempuan di Indonesia dalam
Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM.

396 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


Megelang:Indonesiatera.
Murniati, A.N.P. (2004). Getar Gender II: Perempuan di Indonesia dalam
Agama, Budaya dan Keluarga. Megelang:Indonesiatera.
Natawidjaja, R. (2003). “Kompetensi dan Etika Konselor Masa Depan”.
Makalah Bandung: Seminar dan Workshop PPS UPI tanggal 17
Pebruari 2003.
Newman, B.M. & Newman, P.R. (1987). Development Through Life: A
Psychosocial Approach. Chicago: The Dorsey Press.
Nickerson, R; Perkins, D & Smith, E. (1985). The Teaching of Thinking.
New Jersey: Lawrence Erlbaum.
Noble, F.C. (1991). “Counseling Couples and Families”. Capuzzi, D. &
Gross, D.R (eds). Introduction to Counseling:Perspective for the 1990s.
Boston:Allyin & Bacon.
Noerhadi, T.H. & Vitalaya, A.S.H. (1990). Dinamika Wanita Indonesia.
Seri 01 Multidimensional. Jakarta: Pusat Pengembangan Sumber
Daya Wanita.
Nor, S & Dahlan, M. (2000). Kemahiran Berpikir dalam Pengajaran dan
Pembelajaran Sain. Kuala Lumpur: Kementrian Pendidikan Ma­
laysia.
Norman C. Hill. (1981). Counseling at The Work Place. New York:
McGraw­Hill Book Company.
Novak, JO & Gowin, DB. (1999). Learning How to Learn. London: Cam­
bridge University Press.
Nugroho, F. & Nugroho, B. (1991).”Tindakan Kekerasan Suami
terhadap Isteri: Perbuatan Kriminal yang Tersembunyi”. Jurnal
Antarwidya [3].
Nurhayati. (2000). Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban
Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nuriyah, S. et al. (2003). Wajah Baru Relasi Suami­Isteri: Telaah Kitab
‘Uqud al­Lijjayn. Yogyakarta:LkiS & FK3.
Nurjannah, I. (2003). Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki­laki dalam
Penafsiran. Yogyakarta:LkiS.
Oxford, J. (1992). Community Psychology: Theory and Practice. Chicester:

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 397


John Wiley and Sons.
Parwati, S. (1988). “Pengaruh Perkembangan Psikologi Wanita
terhadap Perilaku Wanita Masa Depan”. Makalah pada Dies
Natalis XXVII dan Hari Sarjana. Bandung: UNPAD.
Paterson C.H. (1986). Theories of Counseling and Psychotherapy. New York:
Harper & Row, Publishers
Pengadilan Agama. (2005). Data Perceraian Tahun 2004. Cirebon: PA.
Perry, J. (1993). Counseling for Women. Buckingham­Philadelphia: Open
University Press.
Peterman, LM & Dixon, C.G. (2003).”Domestic Violence Between Same­
Sex Partner: Implications for Counseling”. Journal of Counseling & De­
velopment. [81].
Philips, JA. (1981). Piaget’s Theory: A Primer. San Fransisco:Freeman.
Philips, JA. (1997). Pengajaran Kemahiran Berpikir: Teori dan Amalan. Kuala
Lumpur: Utusan Publication & Didtributor.Sdn.Bhd.
Piaget, J. (1983). Science of Education and Psychology of the Child. New
York: Orient Press.
Poerwandari, K. (1995). “Aspirasi Perempuan Bekerja dan Aktuali­
sasinya”. T.O. Ihromi (ed). Kajian Wanita dalam Pembangunan.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Poerwandari, K. (2002). “Kekerasan Berbasis Gender: Kompleksitas
Masalah dan Penanggulangannya . Makalah. Cirebon: Fahmina
Institut.
Prayitno & Amti, E. (1999). Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:
Rineka Cipta.
Presseisen, BZ. (1985). “Thinking Skill: Meaning and Model”. Costa, AL.
ed. Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking.
Alexandria:ASCD.
Rahman, F. (2002). “Implementasi Konseling Berperspektif Gander Pada
Perempuan Korban Kekerasan: Studi Kasus di Rifka Annisa
Women’s Crisis Center”. Thesis.Yogyakarta:UNY.
Rampingan, MJ; Habiburrahman, RL & Tobing. (1981). Model Mengajar
dalam Pendidikan IPA. Jakarta: P3G Depdikbud.

398 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


Rao, S.N. (1984). Counseling Psychology. New Delhi: Tata McGraw­Hill
Publishing
Reid, ST. (1985). Crime and Criminology. Edisi IV.New York:CBS College.
Republika. (2005). “Kekerasan Terhadap Perempuan Semakin
Meningkat”. Republika. [8 Maret]
Rice, F.P. (1996). The Adolescent, Development, Relationships and Culture.
Massachusetts: Allyn & Bacon.
Rohling, L.J. et al. (1995). “Violent Marriages: Gender Diffrences in Levels of
Current Violence and Past Abuse”. Journal of Family Violence [10].
Rossenberg, ML. & Fenelly, MA. Eds.(1991). Violence in America: A Public
Health Approach. New York: Oxford University Press.
Saadawi, E.N. (2001). Perempuan dalam Budaya Patriarkhi. Zulhilmiyasri
(Alih Bahasa). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saptari, R & Holzner,B. (1997). Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial:
Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Grafiti Pers.
Schneider, E. (1994). “The Violence of Privacy”. Fineman & Mykitiuk.
The Public Nature of Private Violence: The Discovery of Domestic Abuse.
New York:Routledge.
Schwoeri, LD. et al. (2003). “Gender Sensitive Family Therapy”. . Texbook
of Family and Couple Tharapy: Clinical Aplications. Washington DC:
American Psychiatric Publishing,Inc.
Sciortino, R. (1999). Menuju Kesehatan Madani. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Shaleh, Q. (1982). Asbab al­Nuzul. Bandung:Diponegoro.
Shanti. (2001). “Kuota Perempuan Parlemen: Jalan Menuju Kesetaraan
Politik”. Jurnal Perempuan. [19]. Jakarta: YJP.
Sheltzer, B. & Stone, S.C. (1980). Fundamentals of Guidance. Boston:
Houghton Mifftin Company.
Shihab, Q.(2005). Perempuan. Seri III. Jakarta:Lentera Hati.
Sholehuddin. M. (1993). “Proses Konseling”. Makalah. PPB FIP IKIP
Bandung: Workshop dalam Dies Natalis ke 28 tanggal 25­26 Juni
1993.
Sidjabat, BS. (2008). “Prinsip Pedagogi dan Andragogi”. [Online].

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 399


Tersedia: http://www. tiranus.net/?p20. [3 Maret 2008].
Singer, J. (1977). Androgyny: Towards a New Theory of Sexuality. Routledge
& Kegan Paul.
Smith, P.B. & Bond, M.H. (1994). Social Psychology Across Cultures: Analy­
sis and Perspectives. Massachusetts: Allyn and Bacon.
Smith, RL & Smith, SP. (1992). “Basic Techniques in Marriage and Family
Counseling and Therapy”. ERIC Digest. ED350526. [Online]. Tersedia:
http://www.ericdigest.org/ 1992/1/basic.html. [15 Januari 2008].
Soebono, NI.Ed (2000). Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan.
Jakarta:YJP & The Asia Fondation.
Soemandoyo, P. (1999). Wacana Gender dan Layar Televisi: Studi Perempuan
dalam Pemberitaan Televisi Swasta. Yogyakarta: LP3Y & The Ford
Foundation.
Stanford, F. (1979). A Women Guide to Therapy. New York: New Ameri­
can Library.
Steinberg, L. (1993). Adolescence. 3rd Edition. New York: McGraw­Hill
Inc.
Stone, G. & Peeks, B. (1986). “The Use of Strategic Family Therapy in the
School Setting: A Case Study”. Journal of Counseling and Development . [65].
Straus, MA. & Gelles, RJ. (1990). Gender Differences in Reporting Marital
Violence and Psychological Consequences, in Physical Violence in Ameri­
can Families: Risk Factors and Adaptation to Violence in 8145 Families.
Edited by Straus, MA. Gelles, RJ. New Brunswick, NJ Transac­
tion Publisher.
Straus, MA. (1979). “Measuring Intrafamily Conflict and Violence:The Con­
flict Tactics (CT) Scales”. Journal of Mariage and the Family [41]:75­88.
Strene, B. (1976). “Wife­Beating”. Session National Conference on Women
and Crime. Washington DC: National League of Cities and US
Conference of Mayors.
Subandi, MA. (2003). Psikoterapi: Pendekatan Konvensional dan
Kontemporer. Yogyakarta: Fak Psikologi UGM Press.
Suleeman, E. (1995). “Pendidikan Wanita di Indonesia”. T.O. Ihromi
Ed. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor In­

400 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


donesia.
Sundal, SL & Hansen. “Sex Role Issues in Counseling Women and Men”.
Dalam Pedersen, P. (1985). Handbook of Cross­Cultural Counseling
and Therapy. London: Greenwood Press.
Super, DE. et al. (1963). Career Development: Self Concept Theory. New
York: College Entrance Examination Board.
Supriadi, D. (2002). “Isu­Isu dan Relevansi Penerapan Konseling Lintas
Budaya”. Makalah. Pidato Pengukuhan Guru Besar UPI. Bandung:
UPI.
Surya, M. (2001). “Tren Bimbingan dan Konseling dan Peningkatan
Kualitas Konselor” Makalah. Bogor: Seminar Guru pembimbing
se­Wilayah II Bogor 10 April 2001.
Surya, M. (2004).”Peluang dan Tantangan Globalisasi Bagi Profesi
Bimbingan dan Konseling: Implikasi Bagi Strategi Organisasi dan
Standarisasi Bimbingan dan Konseling”. Makalah. Bandung:
Konvensi ABKIN 8­10 Pebruari 2004.
Team. (2004).Undang­Undang RI Nomor 23 Tahun 2004. Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta:Fokusmedia.
Thackeray, MG. (1994). Introduction to Social Work. New Jersey: Prentice
Hall International Inc.
Thornburg, HD. (1982). Development in Adolescence. California:Brooks/
Cole.
Tiezen, C. (1991). “Feminist Practice and Family Violence”. Feminist Social
Work Practice in Clinical Settings. Source Books for Human Service
Series. Newbury Park: Sage.
Trilling & Hood. (1999). “Hakikat Kreativitas”. [Online]. Tersedia: http:/
/artikel pendidikan.blogspot.com/2008/01/hakikat kreativitas.html.
[15 April 2008].
Truong, T. (1992). Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di
Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Umar, N. (1999).Argumen Kesetaraan Gender:Perspektif Al­Qur’an. Jakarta:
Paramadina.
Wadud, AM. (1992). Wanita di dalam al­Qur’an. Yaziar Radianti (Alih

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 401


Bahasa). Bandung: Pustaka
Wahidin. (2004). “Peta Konsep, Peta Vee dan Kemahiran Berpikir dalam
Pengajaran Kimia”. Disertasi. Malaysia:Universitas Kebangsaan.
Walgito, B. (1982). Bimbingan dan Konseling di Perguruan Tinggi.
Yogyakarta:Fak Psikologi UGM.
Walkers, CE. Ed. (1983). The Handbook of Clinical Psychology: Theory,
Research and Practice.Homewood Illionis: Dow Jones Irwin
Walklate, S. (1989).Victimology:The Victim and Criminal Justice Process.
London: Unwim and Hyman.
Waterman, A.S & Archer, S.L. (1993). “Identity Status during the Adult
Years: Scoring Criteria”. Marcia, J.E, et al. Ego Identity: A Handbook for
Psychososial Research. New York: Springer­Verlag.
Wedmeyer. (1973). “Independent Learning”. [Online]. Tersedia: http://
www.heghlaid schoolc­virtualib.org.uk/itt/whole learner
independent.htm.[16 April 2008].
White, B. (1976). “Population, Involution and Employment in Rural Java”.
Gary, E.H. (ed.). Agricultural Development in Indonesia. Cornell Uni­
versity Press.
Wignjosoebroto, S. (2000). “Tindak Kekerasan terhadap Perempuan:
Adakah Kondisi Sosial Budaya Yang Ikut Menyebabkannya”.
Makalah. Seminar Nasional “Islam, Seksualitas dan Kekerasan
terhadap Perempuan. 27­28 Juli 2000. Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga.
Wilkin, P. (1997). Personal and Professional Development for Counselors.
London: Sage Publication, Ltd.
Windhu, M. (1992). Kekuasaan dan Kekerasan Menurut J. Galtung.
Yogyakarta: Kanisius.
Yusuf, AA. (1993). Al­Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Zeidler, et al. (1992). “Creativity”. [Online]. Tersedia: http://
en.wikipwdia.org/wiki/ creativity. [15 April 2008].
Zunker, VG. (1981). Career Counseling Applied Concepts of Life Planning.
Califotnia: Brooks/Vole Publishing.

402 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF


BIODATA PENULIS

Penulis bernama lengkap Eti Nurhayati, biasa


dipanggil sehari­hari, Eti. Beralamat di jalan
Kandang Perahu No 27 RT 01 RW 11 Karyamulya
Cirebon, kode pos 45135, telephon 0231­483213
(018564610679), email: etinoorhayatie09@gmail.
com.
Lahir di sebuah Kota kecil, Jatiwangi
Kabupaten Majalengka tanggal 13 Desember
1959 dari seorang ibu bernama Hj. St Shofiyah
dan ayah bernama H.Ahmad Masduki, Mz (almarhum), merupakan
anak tertua dari delapan bersaudara, yaitu: Yayah Nurhidayah, Obah
Nurshobah, Aji Nurfajri, Eni Nuraeni, Eli Nurlaeli, Ela Nurlaela, dan
Iis Ikhlasiyah.
Menikah 30 Januari 1983 dengan seorang laki­laki bernama Prof.
Dr. H.Abdus Salam, Dz. Dari pernikahan tersebut dikaruniai tiga orang
anak yang jantan dan insya Allah shaleh, Khairil Fikri, Nafis El Fariq,
dan Fa’iz Muttaqy, seorang menantu yang cantik dan shalihah, Nova
Nurfadhilah, dan Mumtaz ‘Alim El­Najah, cucu yang cerdas.
Sejak 1 September 1987 sampai sekarang bertugas di Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati Cirebon, kemudian tahun 1998
berubah menjadi STAIN Cirebon, dan sejak 9 Januari 2010 resmi
menjadi IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Mata kuliah yang diampu
antara lain: Psikologi Belajar, Psikologi Perkembangan, dan Psikologi
Kepribadian.
Pendidikan terakhir penulis ditempuh di strata tiga (S3) bidang
Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Prof. Dr. Eti Nurhayati, M.Si. 403


Bandung tahun 2010. Pendidikan strata dua (S2) bidang Psikologi
Perkembangan di Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2000.
Pendidikan strata satu (S1) diselesaikan di fakultas Tarbiyah IAIN
Jakarta tahun 1984. Sebelum menginjak bangku kuliah, belajar di
Madrasah Muallimat (Sekolah Guru khusus puteri tingkat Tsanawiyah
dan Aliyah) di Majalengka tamat 1978. Pendidikan dasar diperoleh
dari SDN 4 Kadipaten Kabupaten Majalengka tamat tahun 1972.
Pengalaman menulis buku terakhir, antara lain: (1) Pembelajaran
dalam Berbagai Seting. 2010. Cirebon: IAIN Press. (2) Bimbingan
Keterampilan dan Kemandirian Belajar. 2010. Bandung: Batic Press.
(3) Tim Penulis Smart Step of Learning in Higher Education. 2009.
Cirebon: STAIN Press. (4) Tim Penulis Sukses Belajar di Perguruan
Tinggi. (2008). Cirebon: STAIN Press. (5) Tim Penulis Revitalisasi Peran
PUI dalam Pemberdayaan Ummat. (2006). Bandung: PW PUI Jawa
Barat. (6) Tim Penulis Pendidikan dan Konseling di Era Global.
Bandung: RIZQI Press.
Pengalaman menulis artikel terakhir antara lain: (1) “Citra
Perempuan dalam Puisi WS Rendra” Jurnal EQUALITA Vol 10 No 8
Desember 2009. (2) “Alternative Model of Education for Women: An Effort
of Formulate the Education Based Gender”. Jurnal EQUALITA Vol 6 No 1
Juli 2006. (3) “Active Learning as a Globalization Demand in the Field of
Education”.Jurnal Lektur Vol 12 No 1 Juni 2006. (4) “Misogyny: Roots of
Gender Inequality in Psychology”. Jurnal EQUALITA Vol 5 No 2 Desember
2006. (5) “The Family Prototype of Worker Mother and its Implication to Family
Education”. Jurnal Holistik Vol 5 No 2 2005.
Di samping menulis, melakukan beberapa penelitian yang didanai
dari DIPA IAIN, dan terkadang menjadi narasumber seminar, tim
trainers/fasilitator pelatihan­pelatihan, seperti: “Desain Pembelajaran”,
“Kurikulum Berbasis Kompetensi”, dan “Active Learning” untuk guru­
guru Sekolah Menengah maupun dosen­dosen muda, serta pelatihan
“Belajar Efektif di Perguruan Tinggi” untuk mahasiswa setiap tahun
ajaran baru.

404 BIMBINGAN, KONSELING, DAN PSIKOTERAPI INOVATIF

Anda mungkin juga menyukai