BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Perubahan sosial yang pesat berupa akulturasi budaya sebagai akibat globalisasi
meningkatkan frekuensi pertemuan antar lintas budaya langsung dan tidak langsung yang
difasilitasi oleh teknologi canggih, transportasi, telekomunikasi, diversifikasi, dan migrasi
penduduk secara besar-besaran. Pertukaran informasi yang sangat cepat menyebabkan
banyak masalah psikologis dimasyarakat yang akhirnya menuntut para konselor dan terapis
mengembangkan model konseling/terapi berbasis multicultural. Pengembangan terapi ini
diharapkan mampu menjadi teknik yang dapat diterima secara universal di masyarakat global
saat ini. Salah satu teknik yang dikembangkan pada pembahasan ini adalah Cognitif-Behavior
Terapi berbasis praktik empiris dan penggunaan meta-analisis dalam penerapannya pada
masalah-masalah masyarakat yang disesuaikan dengan koteks budaya yang dianut klien. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknik terapi kognitif-behavior yang disesuaikan
dengan konteks budaya masyarakat memberikan fungi terapis yang menyembuhkan.
Adanya perubahan sosial yang sangat pesat, menjadi bagian yang penting bagi perkembangan
konseling multicultural dan terapi multicultural dalam 25 tahun terakhir Salah satu penyebab
utamanya adalah perubahan sosial berupa globalisasi dan peningkatan frekuensi pertemuan
antar lintas budaya langsung dan tidak langsung yang difasilitasi oleh teknologi canggih
transportasi dan telekomunikasi. Sumber kedua adalah perubahan gelombang di seluruh dunia
melalui migrasi.
B.Rumusan Masalah
1 Bagaimana kerangka acuan konseling dan terapi Multikultural?
2 Bagaimana pandangan dunia tentang Multikultural?
3 Bagaimana Konstruksi utama konseling dan terapi Multikultural?
4 Bagaimana praktik konseling dan terapi Multikultural?
5 Bagaimana Keterbatasan dan Implikasi Konseling dalam terapi Multikultural?
c. Tujuan
1 Untuk mengetahui bagaimana kerangka acuan konseling dan terapi Multikultural.
2 Untuk mengetahui bagaimana pandangan dunia tentang Multikultural.
3 Untuk Mengetahui bagaimana Konstruksi utama konseling dan terapi Multikultural.
4 Untuk mengetahui bagaimana praktik konseling dan terapi Multikultural.
5 Untuk Mengetahui bagaimana Keterbatasan dan Implikasi Konseling dalam terapi
Multikultural.
Bab II
Pembahasan
4. Efektifitas Ilmiah dan Efektifitas Klinis : Diseminasi Empirik Yang Mendukung Terapi
Dalam dekade terakhir, para peneliti psikoterapi telah melakukan investigasi aktif antara bukti
penelitian dan bukti klinis. Masalah ini menyangkut persamaan dan perbedaan dalam kriteria
yang digunakan untuk mengevaluasi hasil dalam penelitian dan praktek yang ditarik melalui
efektifitas terapi, ada dua kriteria untuk mengevaluasi efektivitas psikoterapi yaitu kemanjuran
terapi mengacu pada hasil yang diperoleh dalam penelitian eksperimental dan efektivitas terapi
mengacu pada hasil dalam pengaturan naturalistik praktek klinis.
Terapi empiris didukung secara ilmiah dan internal berlaku untuk kelompok tertentu dari klien.
Terapi secara empiris didefinisikan menurut beberapa kriteria (Chambless & Ollendick, 2001).
Selain percobaan terkontrol acak sebagai kriteria untuk mengevaluasi terapi ilmiah,
pengembangan terapis manual, deskripsi rinci dari peserta penelitian psikoterapi, dan
setidaknya dua studi ilmiah independen dengan hasil yang signifikan yang diperlukan untuk
membangun bukti untuk efektivitas terapi.
Secara khusus, jika terapis menggunakan terapi empiris didukung dari luar batas-batas budaya
klien, mereka harus memasukkan fitur akomodasi budaya yang relevan ke dalam terapi
standar. Upaya untuk menyebarkan terapi ke masyarakat dan setiap klien akan tergantung
pada akomodasi budaya dan adaptasi budaya dengan kelompok klien yang beragam.
Membangun hubungan antara efektivitas terapi dan efektivitas klinis dengan kelompok klien
beragam budaya merupakan tujuan penelitian yang mendesak (Bernal, Bonilla, & Bellido, 1995;
Hall, 2001).
Banyak terapi empiris menggunakan teknik terapi cognitif-behavior, Contohnya pada seseorang
yang mengalami depresi berat, gangguan panik, fobia sosial, bulimia, gangguan stres pasca-
trauma, serta masalah psikofisik seperti sakit kepala ketegangan dan rheumatoid arthritis dari
latar belakang budaya yang beragam termasuk Puerto Rico, Afrika Amerika, dan Latin di
Amerika Serikat. Tinjauan ini menunjukkan bahwa efektivitas terapi empiris didukung
tergantung pada penilaian tertentu dan bukan pada kategori etnis klien atau status minoritas
seseorang
Evaluasi yang sistematis mencakup lima langkah dalam praktek klinis: (a) spesifikasi dan
penilaian dari tujuan terapi eksplisit; (b) spesifikasi dan penilaian terhadap prosedur dan proses;
(c) Pemilihan langkah-langkah, (d) penilaian berkelanjutan pada beberapa kesempatan untuk
melacak jalannya terapi, dan (e) evaluasi data. Penilaian lengkap kasus individu memiliki
keuntungan dari pengumpulan data secara sistematis tanpa bergantung pada kelompok data,
yang tidak benar-benar mencerminkan individu tertentu dalam terapi. Wacana ini hadir pada pro
dan kontra dari desain studi pengaruh dan efektif menginformasikan kepada kita tentang
perlunya untuk melacak perubahan klien untuk melakukan penilaian klinis terbaik. Penilaian
multikultural dapat dilakukan dalam data menghasilkan cara yang sama.
Selain ke empat aspek tersebut, dalam artikelnya 1981, Sue menambahkan beberapa
kompetensi yang harus dimiliki konselor multicultural sebagai berikut :
1. Menyadari dan memiliki kepekaan terhadap budayanya.
2. Menyadari perbedaan budaya antara dirinya dengan konseli serta mengurangi efek
negative dari perbedaan atau kesenjangan tersebut dalam proses konseling.
3. Merasa nyaman dengan perbedaan antara konselor dengan konseli baik menyangkut ras
maupun kepercayaan.
4. Memiliki informasi yang cukup tentang cirri-ciri khusus dari kelompok atau budaya konseli
yang akan ditangani.
5. Memiliki pemahamn dan keterampilan tentang konseling dan psikoterapi.
6. Mampu memberikan respon yang tepat baik secara verbal maupun non verbal.
7. Harus dapat menerima dan menyampaikan pesan secara teliti dan tepat baik verbal
maupun non verbal.
Sebelas kompetensi yang menjadi karakteristik konselor multicultural seperti dikemukakaan
Sue tersebut dapat disarikan dalam 3 aspek besar yaitu : Pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Dengan demikian seorang konselor multicultural harus memiliki pengetahuan
tentang teknik konseling dan social budaya , sikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan,
serta keterampilan dalam memodifikasi teknik-teknik konseling secara efektif dalam latar
budaya yang berbeda-beda. Menyangkut konselor Indonesia perlu pula memahami cirri-ciri
khusus budaya dan sub budaya dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam serta mampu
menjadikan keanekaragaman tersebut sebagai unsure persatu dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia.
Selain memiliki keanegaragaman budaya dan kepercayaan dalam masyarakat Indonesia
terdapat beberapa kelompok khusus lainnya. Salah satu kelompok yang dimaksud adalah
kelompok penyandang cacat. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia,
kelompok ini memerlukan ruang dan pemberian kesempatan untuk dapat hidup wajar bersama
masyarakat lainnya. Namun demikian , keunikan perilaku yang mereka tunjukkan, kendala yang
mereka hadapi, dan diskriminasi yang mereka peroleh, menyebabkan kelompok penyandang
cacat dinilai sebagai kelompok marjinal dan beban masyarakat.
Untuk menangulangi masalah tersebut, konseling dan multicultural dapat menjadi salah satu
solusi. Oleh karena itu konselor multicultural perlu memiliki empati dan kompetensi dalam
memberikan bantuan kelompok penyandang cacat sehingga dapat mendorong mereka
berkiprah secara wajar ditengah masyarakatnya.
Berdasarkan contoh kasus pada seorang klien bernama Fernando dengan latar belakang
budaya Amerika Selatan yang secara kasat mata terlihat mengalami gangguan kecemasan
akut, terlihat disini konselor mengahadapi berbagai hambatan ketika proses konseling
diantaranya:
1. Bahasa yang digunakan antara konselor dengan klien berbeda
2. Diikutsertakannya penerjemah dalam proses konseling yang apa pada awalnya bertujuan
untuk membantu konselor memahami maksud klien, namun karena penerjemah itu bagian dari
anggota keluarga klien,maka muncul bias.
3. Saratnya nilai-nilai budaya keluarga pada diri klien
4. Munculnya stereotip tentang beberapa hal terkait dengan pribadi klien yang dihubungkan
dengan persepsi orang yang memiliki latar budaya yang berbeda.
5. Kesulitan pemberian alternatif penyelesaian masalah dikarenakan benturan nilai budaya
Profesi konselor telah dinilai gagal untuk memberikan kontribusi pada perbaikan
keanekaragaman kelompok budaya di Amerika. Program pelatihan Psikologi telah
mendapatkan gambaran yang keliru tentang klien minoritas, baik dalam literatur popular dan
literatur ilmiah. Gambaran yang tidak tepat itu antara lain adalah: (a) asumsi monokultur
kesehatan mental, (b) stereotip negatif patologi untuk gaya hidup minoritas, dan (c) ketidak
efektifan, ketidak pantasan dimana pendekatan konseling dianggap bertentangan dengan nilai-
nilai yang dipegang oleh minoritas.
Di daerah Amerika Serikat dan beberapa negara, konseling dan psikoterapi digunakan
terutama di dalam wilayah penduduk kelas menengah dan kelas atas . Hal ini mengakibatkan,
keberagaman nilai-nilai dan karakteristik budaya klien tidak terlihat di kedua tujuan dan proses
terapi. Schofield (1964) telah mencatat bahwa terapis cenderung lebih suka klien yang
menunjukkan sindrom YAVIS (Young, Attractive, Verbal, Intelligent, and Succesfull) muda,
menarik, verbal, cerdas, dan sukses. Pandangan ini cenderung mendiskriminasikan orang dari
kelompok minoritas yang berbeda atau mereka yang berasal dari kelas sosial ekonomi rendah.
Hal ini telah membuat Sundberg (1981) menunjukkan diskriminasi bagi terapi QUOID (Quiet,
Ugly, Old, Indigent, and Dissimilar Culturally): diam, jelek, tua, miskin, dan berbeda budaya.
Hambatan-hambatan yang menjadi tidak efetifnya proses konseling yang terkait dengan budaya
klien dan konselor adalah:
1. Nilai budaya. Seperti kasus Fernando di atas, dia berekasi paranoid dan penuh
kecurigaan, disini seorang terapis profesional harus mempertimbangkan apakah ada alasan-
alasan sosial politik, budaya, atau biologis untuk gejala- gejalanya yang melatar belakangi
perilaku Fernando tersebut. Dalam beberapa studi ditemukan bahwa nilai budaya membuat
seseorang lebih diterima untuk beberapa populasi, misalnya jika kita datang ke sebuah tempat
dengan budaya yang berbeda namun kita tidak bisa menyesuaikan diri maka kita akan sulit
diterima. American Psychiatric Association's Diagnostik dan Statistik Manual of Mental
Disorders (2000) mengakui bahwa tidak semua budaya memiliki kesulitan dalam
penyesuaiannya, hanya beberapa budaya saja yang memiliki kultur budaya sangat spesifik
yang sulit disesuaikan dengan kultur pribadi seseorang. Sedangkan kebanyakan konselor
hanya mempertimbangkan aspek-aspek internal dari klien saja tetapi mengabaikan beberapa
aspek eksternal klien salah satunya nilai budaya yang dianut klien. Nilai budaya seseorang
sangat ditentukan oleh faktor sosial ekonominya, hal ini juga yang menjadi salah satu hambatan
dalam proses konseling, dalam kasus diatas dicontohkan masalah transportasi. Klien yang
status sosial ekonominya kurang dan dia tinggal di daerah yang jauh dari perkotaan akan
mengalami kesulitan dalam perjalanannya menuju tempat terapi yang berada di perkotaan.
Sebagai konselor seharusnya dapat melakukan kunjungan rumah, namun banyak konselor
yang merasa segan, takut dan tidak nyaman karena dalam pandangannya klienlah yang
membutuhkan konselor sehingga dia yang harus datang pada konselor.
2. Bahasa. Dengan begitu beragamnya bahasa, dianggap akan menyulitkan proses
konseling, karena di dalamnya membutuhkan verbalisasi pikiran dan perasaan supaya klien
dapat menerima bantuan yang diperlukan. Hal ini sejalan dengan teknik pendekatan
psikoanalisis oleh Frued tentang terapi bicara, dimana klien harus mengungkapkan apa yang
ada di pikirannya melalui bicara. Hal ini juga menjadi kendala jika klien tidak dapat berbahasa
nasional, dan hanya menguasai bahasa daerahnya sendiri. Namun kendala ini dapat
diminimalisir dengan adanya seorang penerjemah, namun diharapkan yang mampu
memberikan terjemahan yang akurat, (tidak semua bahasa memiliki makna yang sama
meskipun dari wilayah daerah yang sama) dan juga diharapkan proses wawacara yang
dilakukan konselor tidak menyalahi aturan keluarga klien misalnya ada garis patriarkis yang
sangat kuat pada budaya keluarga tersebut.
3. Isu budaya. Dalam proses konseling, konselor harus berhati-hati dalam interaksinya
dengan klien, karena banyak isu-isu budaya yang dijunjung tinggi oleh klien dan itu
berpengaruh pada lingkungan klien. Sebagai contoh klien dengan budaya patriarkis yang
sangat kuat, akan sangat menyinggung atau membuat salah paham pada salah seorang
kepala keluarga karena konselor hanya akrab dengan anaknya yang mampu berbahasa
nasional. Ini dinilai ”lancang” atau “pamali” karena melangkahi otoritas kepala keluarga.
4. Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan
hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan. (Pedersesn,
Lonner dan Draguns dalam Carter, 1991).
5. Keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal, dan variabel status
seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem
nilai.
Karakteristik dari konseling dan psikoterapi, yang dapat memicu konflik bagi kelompok budaya
yang beragam, telah diidentifikasi pada awal tahun 1970 (DW Sue & Sue D., 1972).
1. Terapis cenderung menuntut klien mereka untuk menunjukkan sikap keterbukaan diri.
Kebanyakan teori membantu menempatkan premi yang tinggi pada kemampuan ekspresi
verbal, emosional, dan perilaku. Hal ini adalah sebagai salah satu tujuan akhir dari terapi yang
dilakukan.
2. Terapi secara tradisional cenderung mendorong klien untuk berbicara tentang aspek
yang paling intim dari kehidupan mereka. Individu yang gagal atau menolak pengungkapan diri
dapat dilihat sebagai seorang yang kaku, defensif, atau dangkal.
3. Situasi konseling atau terapi ini sering bersifat ambigu. Dimana klien didorong untuk
mendiskusikan masalah saat konselor mendengarkan dan merespon. Sementara situasi terapi
terstruktur dan kekuatan klien menjadi peserta aktif utama. Dengan pola komunikasi umumnya
dari klien dengan terapis.
4. Faktor lain yang diidentifikasi sebagai karakteristik umum dari terapi adalah (a) orientasi
satu bahasa, (b) penekanan pada tujuan jangka panjang, (c) penekanan perbedaan antara
mental dan kesejahteraan fisik dan (d) hubungan sebab-akibat. Lagi pula umumnya sejak
terapi terisolasi dari lingkungan dan kontak yang singkat dengan klien (50 menit, seminggu
sekali), secara alamiah mengarah pada pencarian tujuan dan solusi jangka panjang.
Faktor lain yang penting dan sering diabaikan dalam terapi adalah adanya asumsi bahwa
perbedaan yang jelas dapat terjadi antara kesehatan mental, penyakit fisik, ini terjadi pada
pandangan Barat, sedangkan pada beberapa budaya lain tidak dapat dibedakan secara jelas
antara keduanya. Pemisahan tersebut mungkin membingungkan untuk beberapa klien yang
beragam budaya sehingga menyebabkan masalah dalam terapi.
Ornstein's (1972), mengidentifikasi fungsi ganda otak, yang memiliki implikasi menarik untuk
kegiatan terapi. Belahan otak kiri terlibat dengan proses linier, rasional, dan kognitif, sedangkan
bagian otak kanan cenderung intuitif, perasaan. Bila kedua belahan otak beroperasi dalam
model saling interdependen, maka mereka memfasilitasi fungsi kita sebagai manusia. bahwa
/linier logis / analitik / mode verbal otak kiri mendominasi pemikiran Barat. Sedangkan / holistik /
kreatif intuitif / fungsi nonverbal dari otak kanan telah diabaikan dalam budaya Barat dan
dipandang sebagai modus kurang sah berekspresi.
Implikasi Konseling
Helms (1984) mendefinisikan empat kemungkinan jenis hubungan antara konselor berkulit Putih
dan klien kulit Hitam (atau sebaliknya); paralel, progresif, regresif, dan disilangkan. Hubungan
paralel adalah satu di mana konselor dan klien berada pada tingkat yang sama ras-identitas
pembangunan. Dalam hubungan yang progresif, konselor setidaknya satu tingkat lebih tinggi
dari klien. Dalam hubungan regresif, konselor setidaknya satu tingkat lebih rendah dari klien.
Akhirnya, dalam hubungan disilangkan, konselor dan klien memiliki sikap yang saling
bertentangan.
ASIA AMERIKA
Asia Amerika adalah kelompok minoritas yang paling cepat berkembang 20,6 juta penduduk di
negara-negara Serikat. Asia Amerika adalah kelompok yang sangat heterogen, dengan
tersebar sedikitnya di 29 negara di Asia dan Kepulauan Pasifik, semua menggunakan dengan
bahasa mereka sendiri, adat istiadat, dan agama (D. Sue1998).
Pola budaya, Meskipun banyak perbedaan yang ada antara Amerika Asia, pada beberapa pola
budaya yang luas telah diidentifikasi.
a) Ketaatan atau kepatuhan kepada orang tua.
b) Familial Interdependensi
c) Sistem patriarchal
d) Menahan Emosi
e) Komunikasi Konteks Tinggi
Helms dan Model cook (1999) dapat digunakan dengan Asia Amerika. Selain itu, Atkinson et al.
(1998) mengusulkan pengembangan Minority Identity Development (MID) model yang dapat
berguna dalam memahami hubungan kelompok Amerika Asia mereka itu sendiri dan budaya
yang dominan. Model MID ini mendefinisikan sikap responden tidak hanya terhadap kelompok
dominan tetapi juga terhadap kelompok-kelompok minoritas lainnya.
Konsultasi dengan Guru
Hubungan konselor dan guru selalu penting ketika seorang siswa yang mengalami masalah
akademis. Hal ini bahkan lebih penting ketika siswa adalah anggota dari kelompok minoritas.
Ada dasar bahwa budaya untuk belajar dan sekolah kepribadian Negara Selors harus peka
terhadap konflik antara gaya mengajar Eurocentric tradisional dan cara siswa dari budaya lain
belajar. Vazquez (1998) menyarankan tiga langkah prosedur untuk mengadaptasi instruksi
untuk ciri-ciri budaya. Konselor sekolah dapat memainkan peran dalam setiap langkah
prosedur, khususnya dengan membantu guru mengidentifikasi ciri-ciri budaya siswa dan
kemudian membantu mereka untuk beradaptasi.
Konseling Siswa
Catatan sekolah merupakan sumber informasi berharga tidak hanya pada prestasi, tetapi juga
pada latar belakang keluarga, hasil tes psikologis, dan penilaian guru pada para pelaja.
Berkonsultasi dengan Orangtua
Berkonsultasi dengan orang tua memberikan informasi berharga tentang sejarah psikososial
anak; lebih penting, ia melibatkan orang tua dalam pendidikan anak mereka. Penelitian telah
menunjukkan bahwa orang tua terlibat dalam pendidikan anak mereka, penciptaan lingkungan
belajar di rumah, dan harapan akademik positif memiliki dampak yang signifikan terhadap
prestasi siswa (Henderson, 1987).Tetapi ketika orang tua imigran, miskin, atau orang kulit
berwarna, membuat mereka terlibat dalam sebuah kolaborasi dengan sekolah dapat
menantang.
Memperkenalkan Kesadaran Multikultural
Konselor sekolah, karena dari pelatihan mereka dan kepekaan terhadap isu-isu keragaman,
terutama dilengkapi dengan baik untuk meningkatkan kesadaran multikultural di sekolah.
Seringkali proses ini yang tidak resmi, hanya memperkenalkan isu-isu ras dan budaya ke dalam
percakapan dengan guru dan anggota staf lain. Kuncinya adalah memiliki pengetahuan tetapi
tidak mengancam. Tapi lebih penting dari kesempatan yang diberikan oleh pertemuan individu
adalah peluang untuk mengembangkan program untuk meningkatkan multikulturalisme di
seluruh sekolah.
L.S. Johnson (1995) mengusulkan bahwa konselor sekolah membantu mendirikan sebuah
dewan penasehat multikultural dalam sistem sekolah untuk bertanggung jawab mengidentifikasi
isu-isu keragaman. Dewan harus mewakili bagian-lintas dari kelompok ras dan etnis dan fungsi
(administrator, guru, orang tua, mahasiswa, dan tokoh masyarakat). Setelah dewan
mengidentifikasi bidang keprihatinan, para anggota dapat mulai menetapkan tujuan dan
sasaran dan rencana kegiatan pertemuan mereka. Misalnya, dewan prihatin kesadaran
multikultural di antara anggota staf sekolah. Dewan mungkin merekomendasikan serangkaian
lokakarya pengembangan staf yang dipimpin oleh otoritas pada multikulturalisme. Lokakarya ini
bisa memiliki tujuan dua dimensi, pengetahuan diri dan orang lain. Melalui rasial identitas
latihan, guru dan anggota staf lain dapat memahami dinamika diferensial kekuasaan di antara
ras dan etnis.
Persiapan Postsecondary
Persiapan postsecondary siswa dari latar belakang budaya minoritas merupakan tantangan
khusus. Seringkali para siswa kekurangan peran model dan pemahaman yang kuat tentang
bagaimana mempersiapkan untuk kehidupan setelah SMA. Konselor sekolah dapat memainkan
peran penting dengan siswa ini dengan menyediakan mereka dengan informasi yang akurat
dan menunjukkan kepada mereka bagaimana aspirasi mereka dapat menjadi kenyataan.
Kebutuhan Informasi yang Akurat
Realitas memiliki banyak hubungannya dengan mempersiapkan siswa dari berpenghasilan
rendah dan minoritas kelompok untuk kehidupan setelah SMA. Sangat penting, bahwa konselor
sekolah, khususnya di sekolah dasar, mengekspos siswa minoritas untuk orang-orang yang
nyata melakukan berbagai pekerjaan nyata. Sama penting adalah kunjungan ke sebuah
kampus, di mana anak-anak dapat berbicara dengan mahasiswa dan seorang professor.
Konselor sekolah bekerja sama dengan siswa dari budaya minoritas harus membangkitkan
para siswa tentang peluang karier mereka dan menyediakan mereka dengan informasi yang
akurat tentang pekerjaan yang terlibat dalam membuat peluang tersebut menjadi kenyataan.
Sekolah untuk Masa Peralihan Kerja
Sejumlah besar siswa minoritas tidak melanjutkan ke perguruan tinggi setelah lulus. Konselor
sekolah harus yakin bahwa siswa ini meninggalkan sekolah tinggi dengan pengetahuan dan
keterampilan yang mereka butuhkan untuk bekerja pada pekerjaan yang baik. Jika seorang
siswa mengatakan dengan serius bahwa dia ingin pergi ke perguruan tinggi, konselor sekolah
dan sekolah harus melakukan yang terbaik untuk membuat itu terjadi. Tapi konselor sekolah
dan sekolah juga memiliki tanggung jawab untuk mereka yang tidak kuliah yang terikat.
Isu-isu Etis dan Hukum
Sebagian besar materi dalam bab ini dirancang untuk membantu konselor sekolah memahami
sosialisasi budaya mereka sendiri dan bahwa dari kelompok ras atau etnis utama di Amerika
Serikat. Pemahaman ini bukanlah pilihan, ini adalah tanggung jawab etis.
Konselor sekolah profesional memahami latar belakang budaya yang beragam dari konseli
dengan siapa laki-laki/perempuan bekerja. Ini mencakup, namun tidak terbatas pada, belajar
bagaimana konselor sekolah sendiri memiliki dampak identitas budaya/etnis atau nilai-nilainya
dan keyakinan tentang proses konseling. (American School Counselor Association, 1998)
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
1.Konseling multicultural merupakan proses interaksi antara konselor dan konseli dengan latar
belakang budaya yang berbeda sehingga diperlukan pemahaman terhadap konsep dan budaya
lain terutama bagi konselor agar dapat memberikan bantuan secara efektif sesuai perspektif
budaya konseling.
2. Untuk dapat memberikan konseling multicultural secara efektif, konselor multicultural harus
dapat memahami karakterbudaya dari konselingnya, serta merancang segala tindakan dalam
perspektif budaya konseling.
3. Beberapa prinsip dasar yang harus disadari konselor dalam melaksanakan konseling
multicultural antara lain :
a.Kesadaran tentang kemampuan konselor
b.Kesadaran tentang memahami konseli dan nilai-nilainya.
ssc. Kesadaran tentang kemampuan melaksanakan proses konseling yang mampu mendorong
optimisme dan menemukan sulusi yang realistis.
Pustaka
Wanda M.L. Lee, John A. Blando, Nathalie D. Mizelle, Graciela L. Orozco (2007) Introduction to
Multicultural Counseling for Helping Professionals. New York: Routledge Taylor & Francis
Group.)
Colin Lago (2006). Race, Culture and Counselling. England: McGraw-Hill House;Tracy
L.Robinson-Wood (2009). The Convergence of Race, Ethnicity, and Gender : Multiple Identities
in Counseling. New Jersey: Pearson Education.Inc.
Allen E. Evey, Mary Bradford Counseling and Psychoterapy A Multicultural Perspective. Boston:
Allyn and Bacon.Ivey & Lynn Simek-Morgan (1993).
Allen E. Ivey & Mary Badford Ivey (2003). Intentional Interviewing and Counseling: facilitating
Client Development in a Multicultural Society.USA: Brooks/Cole.