Dr.WIDODO,S.Pd.I,M.Pd
DISUSUN OLEH:
1. HABIBUL FIJAR DIRGANTARA NPM 227310511
2. ANDRE KALEB NABABAN NPM 227310466
3. FINI WIDYA AGUSTIN NPM 227310415
KELAS F.2
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT,yang atas rahmat-Nya dan karunianya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Konsep islamisasi ilmu dan ilmuisasi
islam” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Islam dan
Keilmuwan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan
tentang Konsep islamisasi ilmu dan ilmuisasi islam bagi para pembaca dan penulis.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman bagi para
pembaca. Dan semoga untuk di masa yang akan datang makalah ini dapat membantu dan
bermanfaat bagi semua orang serta dapat memperbaiki maupun menambah bentuk isi makalah
ini agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan, wawasan kami, kami yakin masih banyak kekurangan
dalam makalah ini. Karena itu kami sangat mengharapkan kritik yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini. Sekian dan terimakasih.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.3 Tujuan....................................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................4
A. Pengertian Islamisasi...........................................................................................................4
BAB II PENUTUP........................................................................................................................12
3.1 Simpulan..............................................................................................................................12
3.2 Saran.....................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................13
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
humanisme; (5) peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal
dalam kehidupan spiritual, atau transcendental, atau kehidupan batin manusia, yaitu dengan
menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan
eksistensi manusia. Islamisasi pengetahuan yang ditawarkan tidak semata berupa pelabelan sains
dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang dipandang relevan dengan penemuan ilmiah, tetapi
beroperasi pada level epistemologis, di mana dilakukan “dekonstruksi” terhadap epistemologi
Barat yang berkembang sekarang dan kemudian “merekontruksi” epistemologi alternatif dengan
meramu secara kritis bahan-bahan yang ada pada “tradisi intelektual Muslim” yang telah dibina
selama lebih dari satu millennium oleh para filosof dan ilmuan klasik. Menurut Mulyadhi,
konstruksi ulang epistemologi ini akan meliputi pembahasan status ontologis obyek ilmu,
klasifikasi dan metodologi ilmu.
Islamisasi Pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-
metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Dari Tauhid,
akan ada tiga macam kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan, dan kesatuan
sejarah. Selama umat Islam tidak mempunyai metodologi sendiri, maka umat Islam akan selalu
dalam bahaya. Kesatuan pengetahuan artinya, bahwa pengetahuan harus menuju kebenaran yang
satu. Kesatuan hidup berarti hapusnya perbedaan antara ilmu yang sarat nilai dengan ilmu yang
bebas nilai. Kesatuan sejarah artinya pengetahuan harus mengabdi pada umat dan pada manusia.
Islamisasi pengetahuan berarti mengembalikan pengetahuan pada tauhid, atau konteks kepada
teks, atau konteks-teks. Maksudnya, supaya ada koherensi (bahasa Latin cohaere berarti “lekat
bersama”), pengetahuan tidak terlepas dari imann.
Di Indonesia sendiri Kuntowijoyo telah mengembangkan gagasan ini dengan istilah
pengilmuan Islam. Mengislamkan ilmu bukan labelisasi atau arabisasi pada hal-hal teknis
semata, dan tidak semua ilmu yang datang dari Barat dengan serta merta ditolak dengan mentah-
mentah. Dituntut sebuah kematangan dan kecerdasan yang matang bagi seseorang untuk
mengkaji setiap ilmu dari Barat guna disesuaikan dengan nilai-nilai Islam.
2
1. Bagaimana Konsep dasar Islamisasi Ilmu menurut IIIT ?
2. Bagaimana dasar Ilmuisasi islam menurut Kurtowijoyo ?
1.3 Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Islamisasi
Islamisasi berasal dari akar kata ‘Islam” yang secara etimologi berarti tunduk/pasrah dan
patuh, sedangkan dari segi terminologi adalah agama yang menganjurkan sikap pasrah kepada
Tuhan dalam bentuk yang diajarkan melalui Rasulullah saw. yang berpedoman pada kitab suci
Alquran. Islamisasi adalah bermakna pengislaman. Islamisasi sebagai proses pengislaman tidak
hanya diberlakukan terhadap manusia, tetapi juga diberlakukan terhadap hal-hal yang
menyangkut hajat orang banyak. Salah satu hal yang menyangkut hajat orang banyak adalah
ilmu pengetahuan.
Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respon terhadap krisis masyarakat
modern yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu sudut pandangan
dunia yang lebih berdasar pada paham materialisme. Pendidikan Barat menganggap bahwa
pendidikan bukan untuk membuat manusia bijak, tetapi memandang realitas sebagai suatu yang
bermakna secara material bagi manusia. Pandangan Barat tersebut yang kemudian menjadi salah
satu penyebab munculnya krisis masyarakat modern.
Islamisasi ilmu pengetahuan mencoba mencari akar krisis tersebut di atas, yang diantaranya
dapat ditemukan di dalam basis ilmu pengetahuan, dengan mengupayakan pembebasan
pengetahuan dari asumsi atau penafsiran Barat terhadap realitas, dan kemudian menggantikannya
dengan pandangan dunia Islam. Selain itu, Islamisasi ilmu pengetahuan juga muncul sebagai
reaksi terhadap adanya konsep dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang misalnya
memandang sifat, metode, struktur sains, dan agama jauh berbeda, atau dapat dikatakan
kontrakdiktif. Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatif, sedangkan
sains meneropongnya dari segi objektifnya. Agama melihat problematika dan solusi melalui
petunjuk Tuhan sedangkan sains melalui eksperimen dan rasio manusia. Ajaran agama dan
kebenaran ajaran agama diyakini sebagai petunjuk Tuhan, serta kebenaran dinilai mutlak,
4
sedangkan kebenaran sains relatif. Agama banyak berbicara yang gaib sedangkan sains hanya
berbicara mengenai hal yang empiris.
Menurut al-Attas, untuk melakukan islamisasi ilmu pengetahuan perlu melibatkan dua proses
yang saling berhubungan. Pertama ialah melakukan proses pemisahan elemen dan konsep kunci
yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat. Kedua ialah memasukan elemen Islam dan
konsep kunci ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan.
Dengan demikian, melalui Islamisasi ilmu pengetahuan, umat Islam akan terbebaskan dari
belenggu hal-hal yang bertentangan dengan Islam, sehingga timbul keharmonian dan kedamaian
dalam dirinya.
Al-Attas menolak pandangan bahwa islamisasi ilmu bisa tercapai dengan melabelisasi sains
dan prinsip Islam atas ilmu sekuler. Usaha yang demikian hanya akan memperburuk keadaan dan
tidak mempunyai manfaat selama “virus”nya masih berada dalam tubuh ilmu itu sendiri,
sehingga ilmu yang dihasilkan pun jadi mengambang karena Islam bukan dan sekuler pun juga
bukan. Tujuan dari islamisasi tersebut adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah
tercemar, menyesatkan, dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk
mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga menambah keimanannya
kepada Allah, dan dengan islamisasi tersebut akan lahir keamanan, kebaikan, keadilan dan
kekuatan iman.
Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif
terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang “terlalu” religius,
dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya.
5
Selain pengertian islamisasi ilmu pengetahuan tersebut di atas, Osman Bakar
mengungkapkan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebuah program yang berupaya
memecahkan masalah yang timbul karena pertemuan antara Islam dengan sains modern
sebelumnya.
Keselarasan antara Islam dan sains modern memberikan penekanan tentang sejauhmana sains
dapat bermanfaat bagi umat Islam. M. Zainuddin menyimpulkan bahwa islamisasi pengetahuan
pada dasarnya adalah upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi Barat terhadap realitas dan
kemudian menggantikannya dengan world viewnya sendiri (Islam).
Setelah menyampaikan ide Islamisasinya pada tahun 1981, al-Faruqi langsung mendirikan
sebuah lembaga penelitian khusus untuk mengembangkan gagasan-gagasannya tentang proyek
Islamisasi, yaitu International Institute of Islamic Though (IIIT), merupakan lembaga
internasional untuk pemikiran Islam, yang penyelenggaranya adalah AMSS sendiri.
Sedangkan Syed M. Naquib al-Attas Secara teoritis dan ideologis, mendefenisikan islamisasi
ilmu pengetahuan sebagai: pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-
nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap pemikiran
6
dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak
adil terhadap hakikat diri atau jiwanya, sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa
terhadap hakikat dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya.
Menurut al-Attas ini, islamisasi ilmu pengetahuan terkait erat dengan pembebasan manusia
dari tujuan-tujuan hidup yang bersifat dunyawi semata, dan mendorong manusia untuk
melakukan semua aktivitas yang tidak terlepas dari tujuan ukhrawi. Bagi al-Attas, pemisahan
dunia dan akhirat dalam semua aktivitas manusia tidak bisa diterima. Karena semua yang kita
lakukan di dunia ini akan selalu terkait dengan kehidupan kita di akhirat.
1. Similiarisasi
2. Paraleliasi
Konsep al-Qu`an sejalan dengan konsep sains, karena kemiripan konotasinya, tanpa
mengidentikkan keduanya.
3. Komplementasi
Antara al-Qur`an dan sains saling mengisi dan memperkuat satu sama lainnya, tetapi tetap
mempertahankan eksistensi masing-masing.
4. Komparasi
Membandingkan konsep atau teori sains dengan konsep atau teori agama mengenai gejala
yang sama.
5. Induktifikasi
Asumsi-asumsi dari teori ilmiah yang didukung dengan penemuan empiris, dilanjutkan
pemikirannya secara teoritis-abstrak kearah metafisik (gaib), kemudian dihubungkan dengan
prinsip-prinsip al-Qur`an.
6. Verifikasi
7
Mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menopang dan membenarkan kebenaran
al-Qur`an.
Itulah yang disebut dengan hakikat Islamisasi ilmu pengetahuan, dimana dijelaskan
bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan itu tidak terlepas dari ilmu-ilmu yang berkembang di
Barat, sehingga banyak ilmuan kita yang mengatakan bahwa pekerjaan Islamisasi ilmu
pengetahuan itu adalah pekerjaan orang bodoh, artinya mereka mengatakan bahwa Islamisasi
ilmu pengetahuan itu menciblak karya orang lain dengan menyebutnya dengan karya dia
sendiri. Akan tetapi yang disebut Islamisasi ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata
mengambil karya mereka dengan tanpa adanya penyaringan, karena ilmu yang diambil itu
harus disesuaikan dulu dengan kaidah-kaidah ajaran Islam.
Pengilmuan Islam dicoba dipahami dengan membandingkannya dengan Islam sebagai mitos
dan ideologi. Untuk lebih jauh memahami ini dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat
alternatif lain bagi gerakan Pengilmuan Islam. Dalam konteks yang berbeda, Kuntowijoyo
membandingkan pengilmuan Islam dengan kodifikasi Islam dan Islamisasi Ilmu (Kuntowijoyo,
2006: 6-11). Pengilmuan Islam (yang dalam konteks ini disebutnya sebagai demistifikasi Islam)
adalah gerakan dari teks (wahyu) ke konteks (realita sosial).
Konsep pengilmuan Islam pada dasarnya adalah bagaimana membangun ilmu yang (sudah)
ada dalam teks ajaran Islam. Jika Islamisasi itu arusnya dari konteks ke teks, maka pengilmuan
Islam ini sebaliknya, dari teks ke konteks. Al-Qur'an dan Sunnah yang bersifat universal dan
kaffah ini mengisyaratkan adanya bangunan teori- teori yang dibutuhkan umat manusia.
Bangunan teori atau grand theory ini nantinya bisa dikembangkan menjadi sebuah ilmu yang
8
relevan dengan realitas yang ada. Di sinilah kemudian dibutuhkan apa yang oleh Kuntowijoyo
disebut perumusan teori dengan paradigma Al-Qur'an (Mustaqim, 2015: 266-267).
Di atas semua itu, untuk menemukan momentum yang relevan akan konsep pengilmuan
Islam ini adalah memahami apa yang oleh Kuntowijoyo disebut periodisasi. Periode yang
dimaksud di sini adalah periodisasi sistem pengetahuan masyarakat Muslim. Periodisasi penting
untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu periode tertentu. Keputusan baik yang
diambil di suatu periode belum tentu akan 87 bermanfaat di periode yang lain. Dalam periodisasi
ini, umat Islam be dari periode pemahaman Islam sebagai mitos, lalu sebagai ideologi, dan
sebagai ilmu (Kuntowijoyo, 2006; 77).
Sedangkan Ilmuisasi Islam berangkat dari teks ke konteks yang berartimenjadikan Islam
sebagai ilmu. Dengan tujuan aspek universalitas, Islam sebagairahmat bagi seluruh alam
semesta, bukan hanya bagi pribadi-pribadi ataupun bagiumat muslim saja. Tapi bagi seluruh
umat manusia bahkan setiap mahluk hidup dialam semesta ini.
9
pemikir muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdus Salam, Abdul
Karim Soroush dan Bassam Tibi. Mereka bukan hanya menolak akan tetapi juga
mengkritikgagasan islamisasi ilmu pengetahuan. (Armas, 2007: 18).Terdapat dua hal penting
yang melatar belakangi pemikiran Kuntowijoyo terutama dalam merumuskan gagasan-
gagasannya tentang Islam.
Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap pola pikir masyarakat yang masih
dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang hanya sampai pada tingkat ideologi.
Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi.Peradaban Islam yang
bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata-rantai penting peradaban dunia telah
mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya lokal.
Untuk itu dia melakukan analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat perkembangan
umat Islam di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan-
gagasan transformasi sosial melalui re-interpretasi nilai-nilaiIslam, yang menurutnya sejak awal
telah mendorong manusia berpikir secara rasionaldan empiris.
Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderungmereduksi agama dan
menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan
melahirkan moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan
dan kesamaan. Ini mendorongnya melontarkan gagasannya tentang paradigma Islam, terutama
yang berkaitan dengan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam Di atas semua itu, untuk
menemukan momentum yang relevan akan konsep pengilmuan Islam ini adalah memahami apa
yang oleh Kuntowijoyo disebut periodisasi.
Periode yang dimaksud di sini adalah periodisasi sistem pengetahuan masyarakat Muslim.
Periodisasi penting untuk memahami apa yang akan dikerjakan pada suatu periode tertentu.
Keputusan baik yang diambil di suatu periode belum tentuakan 87 bermanfaat di periode yang
lain. Dalam periodisasi ini, umat Islam bergerakdari periode pemahaman Islam sebagai mitos,
lalu sebagai ideologi, dan terakhirsebagai ilmu (Kuntowijoyo, 2006: 77).
Kuntowijoyo memaknai periode mitos sebagai cara berpikir pralogis (mistik), pergerakan
politik yang berlokasi di desa, bersifat lokal, latar belakang ekonomi agraris, masyarakat petani,
dan kepemimpinan karismatik. Periodisasi yang sesungguhnya dibangun pada sejarah
10
masyarakat Nusantara ini, pada periode awal ditandai dengan berbagai mitos akan
kepemimpinankarismatik.
Kuntowijoyo menyebut sampai pada abad ke-20, masyarakat Indonesia masih masuk pada
periode ini. Pemberontakan Jawa pada tahun 1888 di Banten adalah akhir dari periode ini.
Periode berikutnya adalah ideologi. Islam sebagai ideologisudah bersifat lebih rasional, tetapi
masih terlalu apriori. Di sini Islam ditampilkan sebagai ideologi tandingan bagi ideologi-ideologi
dunia seperti kapitalisme dan komunisme. Dalam bidang politik, ciri utama gerakan ini adalah
berdirinya organisasi-organisasi politik, dan ditandai dengan gagasan pembentukan negara Islam.
Kelahiran Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911 adalah penanda periode ideologi ini. Periode
inimenandai cara berpikir masyarakat yang sudah rasional, meskipun masih aprioritentang nilai-
niliai abstrak, lokasi di kota, perkumpulan bersifat nasional, ekonomikomersial dan industri
kecil, masyarakat pedagang dan kepemimpinan intelektual. Jika pada periode pertama gerakan
masih bersifat “pemberontakan”, maka pada periode ini berbentuk pengerahan massa untuk
tujuan damai. Misalnya dengan rapat,aksi solidaritas, pemogokan, resolusi, penerbitan, gerakan
ekonomi, dan gerakan kebudayaan.
Menurut Kuntowijoyo, periode ini berakhir sampai pada era 1985 ketika diadakan
perubahan dalam orsospol (organisasi sosial politik) di Indonesia oleh OrdeBaru. Dan, periode
yang terakhir adalah periode ilmu. Dalam periode ilmu, yang diperlukan adalah objektivikasi
Islam. Objektivikasi bermula dari internalisasi nilai,tidak dari subjektivikasi kondisi objektif. Di
sini objektivikasi menerjemahkan nilai-nilai internal ke dalam katego –kategori objektif. Jadi,
objektivikas merupakan perilaku yang wajar dan alamiah. Suatu perbuatan dikatakan objektif
jika perbuatan tersebut dirasakan oleh orag lain (non muslim) sebagai suatu yang natural
(sewajarnya), tidak sebagai perilaku keagamaan. Di sinilah obektivikal ini akan menghindarkan
diri dari dua hal, sekularisasi dan dominansi (mustaqim, 2015:267-26 ).
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Islamisasi ilmu merupakan upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi Barat
terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan pandangan Islam. Sedangkan ilmuisasi
islam menjadikan Islam sebagai ilmu Dengan“Pengilmuan Islam”. Dalam bukunya,
Kuntowijoyo mengatakan, "gerakan intelektual Islam harus melangkah ke arah Pengilmuan
Islam. Kita harus meninggalkan Islamisasi Pengetahuan (Kuntowijoyo, 2006: 1) Permasalahan
dari Islamisasi Pengetahuan bagi Kuntowijoyo adalah bagaimana kedudukan pengetahuan dalam
Islam, bukankah pengetahuan adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah muamalah (semuanya
boleh kecuali yang dilarang) Menurutnya, jika pengetahuan sudah sangat egoistik (secara
berlebihan) mengklai kebenaran maka statusnya tidak lagi sebagai muamalah.
3.2 Saran
Penulis berharap makalah ini dapat menjadi acuan atau pun pedoman bagi para pembaca
dalam mengkaji dan memahami secara dalam tentang apa itu islamisasi ilmu dan ilmuisasi islam.
Dan saran bagi para pembaca agar tidak berasumsi kepada budaya barat dan apalagi
menjadikannya sebagai tujuan, rancangan, maupun pandangan hidup.
12
DAFTAR PUSTAKA
13