TEORI KEBENARAN
Di susun oleh:
2014
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kami ucapkan kehadirat allah SWT atas rahmatnya yang telah
dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Dalam
makalah ini kami akan membahas dengan tema “Teori Kebenaran”.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan namun telah memberi
manfaat bagi kami, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari dosen pembimbing kami Kholid Zamzami, M sidan juga teman semuanya..
Semoga dengan terselesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-
teman sekalian.
Penulis
Kelompok 1
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
PEMBAHASAN
BAB 3
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengetahui apa yang dimaksudkan oleh suatu pertanyaan tidak sama dengan mengetahui
apakah pernyataan itu benar atau kah tidak. Percayakah Anda bahwa kebenaran itu sifatnya
relative?“ Kebenara itu tidak ada, tergantung pada tiap-tiap orang,” begitu kata seorang kawan
penulis. Bukankah segala sesuatu itu dapat diukur, dinilai, dan akhirnya diketahui mana yang
benar dan mana yang salah, atau lebih maju lagi untuk mencari pemahaman tentang mana yang
bermanfaat dan mana yang tidak mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan
(tentunya bagi banyak pihak bukan bagi segelintir orang).
Tidak ada kebenaran semuanya palsu teriak seorang yang keinginannya gagal dan ia
merasa marah karena apa yang sangat diinginkannya tidak terpenuhi. Ketidakpercayaan orang
pada kebenaran memang lahir dari pengalaman psikologis bahwa ia memang tidak pernah
menemui fakta bahwa apa yang diinginkannya terpenuhi dalam realitas.
Tapi bukan berarti bahwa kebenaran itu tidak ada. Tidak akan ada kebenaran jika ketika
“omongan”,penilaian, ungkapan, evaluasi, dan pengukuran tidak didasarkan pada fakta atau
realitas yang secara material ada. Orang bisa berbeda (relatif) dalam menilai jarak antara Bali
dan Jakarta. Si A akan mengatakan “jauh,dong!’ Si B dapat mengatakan, “Ah, nggak jauh amat.
Satu kedipan aja sampai.” Coba kamu waktu berangkat naik mobil tidur, terus kamu bangun
pagi, kamu sudah sampai Jakarta”. Keduanyan mempunyai pengalaman yang berbeda .
Hal lain yang harus dicatat bahwa masyarakat kita selalu tidak fokus dalam menceritakan
segala sesuatu. Untuk ukuran penilaian orang terhadap suatu fakta yang konkret, misalnya jarak
(yang secara material adalah panjangnya bentangan antara dua tempata atau benda yang di ukur),
biasa berbeda-beda tetapi kebenaran sendiri tentang jarak itu sendiri secara objektif
( ada,material, dan bisa di ukur) tetaplah tidak relatif.
Kebenaran itu objektif, ada, riil, dapat di ukur dengan cara yang benar, bukannya relatif.
Perasaan bahwa segala sesuatu itu relatif lahir dari cara berpikir gampangan yang lebih
mementingkan kehehndak subjektif dan individual .
4
Banyak orang yang menganggap bahwa bencana dan penderitaan kemiskinan dan
penindasan bukan karena sebab-sebab konkret, melainkan karena sebab lain, takdir Tuhan dan
sebab-sebab lainnya yang berada di luar dialektika material.
Kebenaran menunjukkan bahwa makna suatu pernyataan-artinya prooposinya sungguh-
sungguh merupakan halnya. Bila proposinya tidak merupakan halnya, maka kita mengatakan
bahwa proposisi itu sesat.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Teori Kebenaran
2. Bagaimanakah Ukuran Kebenaran
3. Apa Saja Macam-Macam Teori Kebenaran
4. Jenis-Jenis Kebenaran
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan teori kebenaran
2. Memahami Bagaimana Ukuran Kebenaran
3. Mengetahui Macam-Macam Teori Kebenaran
4. Mengetahui Jenis-jenis Teori Kebenaran
5
BAB 2
PEMBAHASAN
Kebenaran (truth) memiliki berbagai macam makna, misalnya keadaan ketika terjadi
kesesuain dengan fakta khusus atau realitas, atau keadaan yang sesuai dengan hal-hal yang nyata,
kejadian-kejadian nyata, atau aktualitas. Kebenaran juga berarti suatu hal cocok dengan aslinya
atau sesuai dengan ukuran-ukuran yang ideal.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan beberapa arti
tentang kebenaran, yaitu (1) keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya);
(2) sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya); (3) kejujuran, ketulusan
hati; (4) selalu izin, perkenaan; dan (5) jalan kebetulan.
Tetapi kenyataan yang terjadi sekarang tidak seluruhnya berupa kebenaran, bahkan yang
tidak seharusnya terjadi akhirnya terjadi juga karena das solen tidak sama dengan das sein. Di
muka bumi ini berapa banyak kita melihat ketidak benaran, seperti berbagai penindasan,
penjajahan dan rekayasa.
Seorang murid Plato bernama aristoteles, menjawab pertnyaan suhunya ini dengan
pendapat abahwa kebenaran itu subjektif sifatnya, artinya kebenaran bagi seorang adalah tidak
benar bagi yang lain, sehingga kemudian lahirlah kebenaran relatif dan kebenaran mutlak
Sekarang agar penelitian cenderung lebih objektif, maka seseoranng peneliti bertanya
kepada seorang responden yang berpendapat subjektif, perlu ditanyakan kepada beberapa
responden lain yang memenuhi syarat agar valid (dalam Islam disebut dengan Shahih ) itu pun
harus diuji kebenarannya, bahkan terkadang dalam kurun waktu tertentu kebenran itu berubah
sesuai corak berpikir manusia (paradigma) .
6
Banyak pakar ilmu filsafat yang menganggap benar bahwa pengetahuan itu terdiri atas
sebagai berikut:
1. Pengetahuan Akal
2. Pengetahuan Budi
3. Pengetahuan Indrawi
4. Pengetahuan Kepercayaan (otoritatif)
5. Pengetahuan Intutif
Menurut penulis yang benar adalah pengetahuan akal itu disebut ilmu yang kemudian
untuk membahasnya disebut logika, pengetahuan budi itu disebut moral yang kemudian untuk
membahasnya disebut etika, pengetahuan indrawi itu disebut seni yang untuk membahasnya
disebut estetika. Sedangkan pengetahuan kepercayaan itu disebut agama tetapi dalam hal ini
tidak boleh otoritatif karena agama ini tidak memaksa, agama harus diterima secara logika, etika
dan estetika adalah Islam, oleh karena itu pengetahuan intuitif kepada seseorang yang kemudian
disebut nabi harus diuji dahulu seperti halnya keberadaan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana
penulis lakukan bertahun-tahun dalam keadaan atheis dan kemudian baru menerimanya.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa
yang dimaksud benar bagi seseorang belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu, kegiatan
berpikir adalah usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran.
Pada setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan watak
pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang alam metafisika tentunya tidak sama dengan
pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenarn bagi setiap
jenis dan bidang pengetahuan.
7
2.3 Macam-macam Teori Kebenaran
Kita mengenal dua hal, pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah
kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Contohnya:
“Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia”. Pernyataan tersebut benar karena kenyataannya
Jakarta memang ibu kota Repulik Indonesia. Kebenarannya terletak pada hubungan antara
pernyataan dan kenyataan.
Dalam dunia sains, teori ini sangat penting sekali digunakan guna mencapai suatu
kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. Seorang ilmuwan akan selalu berusaha
meneliti kebenaran yang melekat pada sesuatu secara sungguh-sungguh, sehingga apa yang
dilihatnya itu benar-benar nyata terjadi, bukan hanya pandangan semu belaka. Penelitian sangat
penting dalam teori korespondensi karena untuk mengecek kebenaran suatu teori perlu dilakukan
penelitian ulang.
1
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000),
cetakan ke-13, hlm. 57
2
Noeng Mudhafir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001), cetakan ke-2, hlm. 12-13
3
Jujun S. Suriasumantri, loc.cit
8
putusan yang baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui
kebenarannya terlebih dahulu.4
Menurut teori ini, putusan satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling
menerangkan satu sama lain. Karenanya lahirlah rumusan: Truth is a systematic coherence
(kebenaran adalah hubungan yang sistematik) dan Truth is consistency (kebenaran adalah
konsistensi dan kecocokan). Teori konsistensi atau koherensi ini berkembang pada abad ke-19
dibawah pengaruh Hegel dan diikuti oleh pengikut madzhab idealisme. Seperti filsuf Britania
F.M. Bradley (1864-1924).5
Pragmatis berasal dari bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,
perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika
Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata
bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar apabila mendatangkan manfaat dan
dikatakan salah apabila tidak mendatangkan manfaat. Istilah pragmatisme sendiri diangkat dalam
sebuah makalah yang dimunculkan pada tahun 1878 dengan tema how to make our ideas clear
yang kemudian dikembangkannya oleh beberapa ahli filsafat Amerika. Di antara tokohnya yang
lain adalah John Dewey (1859-1952).
Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria
apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Contohnya adalah
pandangan penganut pragmatisme tentang Tuhan. Bagi pragmatisme, suatu agama itu bukan
benar karena Tuhan yang disembah oleh penganut agama itu sungguh-sungguh ada, tetapi agama
itu dianggap benar karena pengaruhnya yang positif atas kehidupan manusia; berkat kepercayaan
orang akan Tuhan maka kehidupan masyarakat berlaku secara tertib dan jiwanya semakin
tenang.
4
Jujun S. Surasumantri, op.cit., hlm. 56
5
Louis O. Kattsoff, Unsur-Unsur Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), cetakan ke-5, hlm. 237
9
4. Teori Kebenaran Sintaksis
Kebenaran sintaksis adalah kebenenaran yang berangkat dari tata bahasa yang melekat.
Karena teori ini dipengaruhi pula oleh kejiwaan dan ekspresi, maka ada kemungkinan mereka
yang menerimanya yang juga mempunyai keterkaitan jiwa akan terpengaruh, apalagi susunan
tata bahasa yang bernuansa rasa. Misalnya pernyataan, “Saya makan nasi” akan berbeda bila
ditulis dan ditekankan bacaannya (intonasi) ketika “Saya, makan nasi” atau “Saya makan, nasi”
atau “Saya makan nasi!” atau “Saya makan nasi?” yaitu pada subjek, predikat, dan objek.
Kebenaran seperti ini juga mirip dengan kebenaran semantis yang berbicara tentang makna
bahasa.
Kebenaran logika yang berlebihan adalah kebenaran yang sebenarnya merupakan fakta.
Jadi akan menjadi pemborosan dalam pembuktiannya, misalnya sebuah lingkaran harus
berbentuk bulat. Para ahli agama menganggapnya dengan dalil aksioma yang tidak perlu
dibuktikan, tetapi sebenarnya pembuktian yang berangkat dari keraguan untuk menjadi
keyakinan itu perlu dalam mencapai titik temu agama dan ilmu. Misalnya apakah Allah itu
Tuhan? Apakah Muhammad itu nabi? Apakah Yesus itu juru selamat? Apakah Kresna itu
Awatara? Apakah Sidharta Gautama itu Budha? Dan lain sebagainya.
Kebenaran paradigmatik adalah kebenaran yang berubah pada berbagai ruang dan waktu,
jadi setelah kurun waktu tertentu berubah (untuk ketagori waktu) dan pada tempat tertentu
berubah (untuk ketagori ruang). Thomas Kuhn adalah orang yang mempercayai kebenaran
seperti ini. Contohnya dapat dilihat ketika pendapat yang mengatakan bumi mengelilingi
matahari, merubah pendapat dahulu yang mengatakan matahari mengelilingi bumi. Dalam
perubahan ilmu-ilmu sosial perubahan ini sangat mencolok sehingga keberadaan suatu disiplin
ilmu, memerlukan paradigma untuk melacaknya.
10
10. Agama sebagai teori kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan
suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipetanyakan manusia, baik
tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Dalam agama yang lebih dikedepankan
adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan. 6
Suatu hal dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai
penentu kebenaran mutlak. Kebenaran menurut agama inilah yang dianggap oleh kaum
sufi sebagai kebenaran yang mutlak, yaitu kebenaran yang sudah tidak bisa diganggu
gugat lagi.
2. Kebenaran Ontologis
Kebenaran ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada
hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.
3. Kebenaran Semantis
Kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam
tutur kata dan bahasa.
6
Endang Saiffudin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), cetakan ke-4, hlm. 172-173
11
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
12
Daftar Pustaka
13