Anda di halaman 1dari 13

FILSAFAT ILMU, KEBENARAN

Disusun

1. EKO NOVRI CANDRA NPM : 1801013P


2. ERWIN ARIWIJAYA NPM : 1801014P
3. GUSTI RYAN KENCANA NPM : 1801015P
4. HARITI NPM : 1801016P
5. HENI ANDIANI NPM : 1801017P
6. HENNY NOVITARIANA NPM : 1801018P

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
AISYAH PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2018 - 2019

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas tentang “Filsafat Ilmu, Kebenaran”.

Makalah ini dibuat dari berbagai sumber untuk membantu menyelesaikan tugas
ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata
kuliah Filsafat.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada pada tugas ini. Oleh
karena itu, kami mengharapkan saran serta kritik yang dapat membangun.

Pringsewu, Februari 2019

Penyusun

DAFTAR ISI

1
BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang........................................................................................................3
Rumusan Masalah...................................................................................................4
Tujuan Pembahasan.................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

Pengertian Kebenaran..............................................................................................5

Teori Kebenaran Ilmiah ..........................................................................................6

Sifat Kebenaran Ilmiah ...........................................................................................9

BAB III PENUTUP

Kesimpulan..............................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran, beberapa cara ditempuh
untuk memperoleh kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio seperti para
rasionalis dan melalui pengalaman atau secara empiris .Pengalaman-pengalaman yang
diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional agar
kejadian-kejadian yang berlaku dialam itu dapat dimengerti.
Proses pencarian kebenaran tentu bukan hal yang mudah dan dapat dikatakan
merupakan proses yang sangat melelahkan, bahkan bukan tidak mungkin akan
mendatangkan keputusasaan. Sering kali dengan dalih sebuah kebenaran seseorang atau
kelompok akan menghalalkan tindakan terhadap orang lain karena dianggap sudah
melakukan tindakan yang benar.
Jujun S. Suriasumantri, menggambarkan seorang anak kecil yang baru ,masuk
sekolah mogok tidak mau belajar walaupun orang tuanya sudah merayunya,
memberikan iming-iming hadiah, bahkan hukuman fisik agar anaknya mau belajar
matematika. Ketika ditelusuri alasan anak tersebut mogok belajar karena ibu guru di
sekolahnya dianggap sebagai pembohong. Pada suatu hari guru tersebut mengatakan
bahwa 3+ 4 = 7, pada hari berikutnya 5+2 = 7, kemudian pada hari lainnya 6+1 =7 dan
seterusnya. Menurut pemikiran anak tersebut dengan keterbatasan pikirannya, guru
matematika yang mengajarnya tidak konsisten dengan apa yang dikatakan sebelumnya,
sehingga dianggap sebagai pembohong.1
Ilustrasi tersebut jika diuji materil kebenaran dengan pendekatan matematika
semua yang disampaikan guru matematika tersebut benar, akan tetapi keterbatasan
seorang peserta didik menganggap itu salah. Sehingga menimbulkan dampak-dampak
negatif maupun positif dalam kehidupan. Oleh karena itu bagaimana sesuatu dianggap
benar, dan apa yang menjadi kriteria kebenarannya. Kebenaran tidak mungkin berdiri
sendiri jika tidak ditopang dengan dasar-dasar penunjangnya, baik pernyataan, teori,
keterkaitan, konsistensi, keterukuran , dapat dibuktikan, berfungsi, dan bersifat netral
atau tidak netral, bahkan apakah kebenaran bersifat tentatif atau sepanjang masa?

1
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2010),
hlm.55.
3
Untuk mengetahui hal itu, pemakalah akan membahas seputar kriteria
kebenaran ilmiah beserta dengan teori-teori yang digunakan untuk menguji kebenaran
ilmiah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, permasalahan pokok yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian kebenaran?
2. Apa saja teori-teori kebenaran?
3. Bagaimana sifat kebenaran ilmiah?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang :
1. Pengertian kebenaran
2. Teori-teori kebenaran
3. Sifat kebenaran ilmiah

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebenaran
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran ini,

Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan,

bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi

bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi.

Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran (keburukan). Jadi ada dua

pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak,

dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran).2

Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna

“kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun

langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan

pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari

keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari

ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara,

dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian

keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran

terhadap berakarnya kebenaran.

Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara

pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu

harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah

pengetahuan obyektif.3

2
Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
3
I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm.
16.
5
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran

mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih

jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan

manusia yang transenden, dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat

yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang

trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar jangkauan manusia.

Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta dan mengandung

isi pengetahuan. Pada saat pembuktiannya kebenaran ilmiah harus kembali pada status

ontologis objek dan sikap epistemologis (dengan cara dan sikap bagaimana

pengetahuan tejadi) yang disesuaikan dengan metodologisnya.

Hal yang penting dan perlu mendapat perhatian dalam hal kebenaran ilmiah

yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau

konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya masing-masing.

B. Teori Kebenaran Ilmiah


Kebenaran ilmiah dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan teori koherensi,
korespondensi, dan pragmatis
1. Teori Koherensi
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar.4 Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat
konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang
koheren menurut logika.
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Ahmad seorang
manusia dan si Ahmad pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua
adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

4
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 55
6
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel,
Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan
begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang
parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari
keseluruhan tersebut. Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi
kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu
situasi lingkungan tertentu.
Teori kebenaran ini termasuk teori kebenaran tradisional. Kelemahan dari teori
koherensi ini terjebak dalam validitas, di mana teorinya dijaga agar selalu ada
koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada
kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal
ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran.
2. Teori Korespondensi
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima
secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan
kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian
antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan
(judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena
kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita
lakukan tentang sesuatu.
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori
korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang
dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang
dituju oleh pernyataan tersebut.5 Misalnya jika seseorang mengatakan “kota Kediri
terletak di Jawa Timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu
dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Kediri memang benar-benar berada
di Jawa Timur. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Kediri berada di
Jawa Barat” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek
yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota
Kediri bukan berada di Jawa Barat melainkan di Jawa Timur”.
Menurut teori korespondensi yang dipelopori Bertrand Russel (1872-1970) ini,
ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap

5
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 57
7
kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi
yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta,
maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Teori korespondensi ini menurut Abbas merupakan teori kebenaran yang
paling awal, sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran tradisional, karena
Aristoteles sejak awal (sebelum abad modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan
harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.6
Akan tetapi teori korespondensi juga mempunyai kelemahan, karena dengan
mensyarakatkan kebenaran harus sesuai dengan kenyataan, maka dibutuhkan
penginderaan yang akurat, nah bagaimana dengan penginderan yang kurang cermat
atau bahkan indra tidak normal lagi? Disamping itu juga bagaimana dengan objek
yang tidak dapat diindra atau non empiris? Maka dengan teori korespondensi objek
non empiris tidak dapat dikaji kebenarannya.
3. Teori Pragmatis
Teori ini dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), kemudian
dikembangkan oleh ahli filsafat yang berkebangsaan Amerika seperti William James
(1842-1910), Jhon Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931), dan C.I.
Lewis.
Teori pragmatis menurut Jujun S. Suriasumantri bukan merupakan aliran
filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan
kebenaran. Dimana kebenaran suatu pernyataan diukur dengan apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu penyataan adalah
benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan
praktis dalam kehidupan manusia.7
Pragmatisme menentang segala otoritanianisme, intelektualisme dan
rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility), kemungkinan
dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan
Kriteria kebenaran pragmatisme ini dipergunakan para ilmuwan dalam
menentukan kebenaran ilmiah dalam persepekstif waktu. Secara historis pernyataan
yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian.
Dihadapkan dengan permasalahan ini maka ilmuwan bersifat pragmatis, selama

6
H.M. Abbas, “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997), hlm. 87.
7
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 59
8
pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap
benar, dan sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian disebabkan
perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru,
maka pernyataan itu ditinggalkan. Kriteria kebenaran cenderung menekankan satu
atu lebih dati tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita,
(2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar
adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis.
Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme)
itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori
tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran
adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta
pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi
yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinya
dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita
uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.8

C. Sifat Kebenaran Ilmiah


Kebenaran ilmiah menurut Konrad Kebung paling tidak memiliki tiga sifat dasar,
yakni: Struktur kebenaran ilmiah bersifat rasional-logis, isi empiris, dan sifat
pragmatis.9
1. Struktur yang rasional-logis. Kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan logis
atau rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena kebenaran ilmiah bersifat
rasional, maka semua orang yang rasional (yaitu yang dapat menggunakan akal
budinya secara baik), dapat memahami kebenaran ilmiah. Oleh sebab itu kebenaran
ilmiah kemudian dianggap sebagai kebenaran universal. Sifat rasional (rationality)
harus dibedakan dengan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional terutama
berlaku untuk kebenaran ilmiah, sedangkan masuk akal biasanya berlaku bagi
kebenaran tertentu di luar lingkup pengetahuan. Sebagai contoh: tindakan marah dan
menangis atau semacamnya, dapat dikatakan masuk akal sekalipun tindakan tersebut
mungkin tidak rasional.

8
Harold H Titus, dkk., Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1987), h. 245.
9
Konrad Kebung, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 152.
9
2. Isi empiris. Kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada, bahkan
sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah, berkaitan dengan kenyataan
empiris di alam ini. Hal ini tidak berarti bahwa dalam kebenaran ilmiah, spekulasi
tetap ada namun sampai tingkat tertentu spekulasi itu bisa dibayangkan sebagai nyata
atau tidak karena sekalipun suatu pernyataan dianggap benar secara logis, perlu
dicek apakah pernyataan tersebut juga benar secara empiris.
3. Isi pragmatis (dapat diterapkan). Sifat pragmatis, berusaha menggabungkan kedua
sifat kebenaran sebelumnya (logis dan empiris). Maksudnya, jika suatu “pernyataan
benar” dinyatakan “benar” secara logis dan empiris, maka pernyataan tersebut juga
harus berguna bagi kehidupan manusia. Berguna, berarti dapat untuk membantu
manusia memecahkan berbagai persoalan dalam hidupnya.
Pada akhirnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebenaran ilmiah bersifat
pasti atau sementara? Jawaban atas pertanyaaan ini memunculkan dua pandangan yang
berbeda, yaitu kaum rasionalis yang menekankan kebenaran logis-rasional dan
pandangan kaum empiris yang menekankan kebenaran empiris.

10
BAB III
PENUTUP

Kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya. Artinya


pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar
adalah pengetahuan obyektif. Sedangkan yang dimaksud kebenaran ilmiah adalah
kebenaran yang sesuai dengan fakta dan mengandung isi pengetahuan.
Untuk menentukan kepercayaan dari sesuatu yang dianggap benar, para filosof
bersandar kepada tiga cara untuk menguji kebenaran, yaitu koresponden (yakni persamaan
dengan fakta), teori koherensi atau konsistensi, dan teori pragmatis. Ketiga teori dalam
menemukan kebenaran ilmiah tersebut saling menguatkan dan dapat dijadikan suatu
definisi tentang kebenaran.
Kebenaran ilmiah paling tidak memiliki tiga sifat dasar, yakni: struktur kebenaran
ilmiah bersifat rasional-logis, isi empiris, dan sifat pragmatis (dapat diterapkan).

11
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abbas, H.M, “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997.

I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta:
Bina Aksara. 1987.

Kebung, Konrad, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: PT. Prestasi Pustaka, 2011.

Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007

Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2010

Syafi’i, Inu Kencana, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Titus, Harold H, dkk., Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-


Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987

12

Anda mungkin juga menyukai