Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

SEJARAH KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGAN


FILSAFAT

Dosen Pengampu : Kholid Musyaddad, M. Ag.

Disusun Oleh :

Shelly Agraini

Nim : 207190107

PRODI TADRIS BIOLOGI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Penyayang, saya ucapkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang
“SEJARAH KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGAN FILSAFAT”. Makalah
ini telah saya susun dengan semaksimal mungkin atas bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.

Makalah “SEJARAH KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGAN


FILSAFAT” disusun dengan bertujuan untuk pemenuhan tugas Studi Pemikiran
Islam dan Filsafat. Saya berharap dengan adanya makalah ini, maka dapat
menambah wawasan kepada para pembaca .

Terlepas dari itu semua saya menyadari bahwa masih ada terdapat
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Jambi, 05 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. LATAR BELAKANG................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................ 1
C. TUJUAN ..................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 2

A. SEJARAH MUNCULNYA FILSAFAT ............................................... 2


B. YANG MELATARBELAKANGI MUNCULNYA FILSAFAT .......... 5
C. PERIODISASI PERKEMBANGAN FILSAFAT ................................. 6

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 25

A. KESIMPULAN ...................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 26

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Jauh sebelum istilah filsafat itu ada, manusia telah lebih dahulu
berfilsafat. Hal ini dapat dilihat dari majunya peradaban manusia dan
berbagai temuan-temuan sejarah tentang peradaban manusia. Mesir,
misalnya telah mengembangkan peradabannya jauh sebelum Pythagoras
menjelaskan konsep trigonometrinya. Piramida yang begitu megah dan
tersusun rapi tidaklah dapat bangun kecuali dengan perhitungan dan logika
yang cermat. Bangsa Saba di Yaman telah mengembangkan sistem irigasi
yang mampu mengantarkannya menjadi bangsa yang makmur.
Jauh sebelum Aristoteles mendirikan Lyceum, peradaban-
peradaban di berbagai belahan dunia telah mengenal aksara dan
perhitungan, bahkan beberapa peradaban telah memiliki sistem
penanggalan dan ilmu falak. Semua peradaban manusia yang menakjupkan
itu tidaklah ada begitu saja melainkan hasil dari pemikiran dan perenungan
manusia akan alam dan sistem yang ada padanya. Proses kontemplasi ini
muncul dari dorongan dalam diri manusia yang terwujud dalam bentuk
rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu inilah yang kemudian dirumuskan dan
menjadi disiplin yang dikenal dengan filsafat. (Handoko, S. S., M. Hum.,
2015)

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah awal mula kemunculan filsafat?
2. Apa yang melatarbelakangi munculnya filsafat?
3. Bagaimana periodesasi perkembangan filsafat?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui dan memahami sejarah awal mula munculnya filsafat
2. Mengetahui apa yang melatarbelakangi munculnya filsafat
3. Mengetahui periodesasi perkembangan filsafat

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH AWAL MULA MUNCULNYA FILSAFAT


Sejarah filsafat merupakan salah satu metode yang terkenal dan
banyak digunakan orang dalam mempelajari filsafat; bahkan merupakan
metode yang penting dalam belajar filsafat. Mengapa sejarah dapat
dianggap sebagai suatu metode dalam mempelajari filsafat? Untuk
menjawabnya, kita perlu melihat sejarah tidak sekadar sebagai catatan
kejadian, tetapi sebagai urutan kejadian yang saling berhubungan, bahkan
mungkin memiliki hubungan sebabakibat yang kompleks. Dengan
demikian, suatu kejadian tidak begitu saja terjadi dan diartikan sebagai
fenomena yang berdiri sendiri. Suatu kejadian menampilkan bentuk,
faktor-faktor penyebab, dan dampaknya. Hal yang penting bukan
mengingat kejadian atau urutan kejadian tersebut. Dalam hal ini, kejadian
dimaknai dalam wujud pemikiran. Demikian pula halnya pada saat kita
melihat dan mempresepsi kejadian-kejadian dalam sejarah filsafat. Jadi,
suatu pemikiran dapat dianggap sebagai akibat dari berbagai latar belakang
atau sebagai kondisi untuk mencapai suatu tujuan. Bahkan hanya sebagai
“wajah” dari kondisi dan situasi yang ada pada saat ini dan di tempat ini
(here and now situation). Patut untuk mendalami pernyataan ahli sejarah
inggris yang terkenal, Arnold Toynbee (1889-1975), yang menyatakan
bahwa tanpa sejarah tiada kepribadian. Artinya dengan mempelajari
sejarah filsafat/pemikiran, kita dapat memahami makna hakiki filsafat.
Dalam makalah ini penulis menganggap lebih tepat mengartikan
perkembangan dalam pemikiran ini ke dalam dua sejarah berbeda.
Pertama, sejarah perkembangan berpikir, dan kedua, sejarah filsafat atau
sejarah perkembangan filsafat. Perlu diingat bahwa filsafat adalah
pemikiran yang terjadi mulai saat Socrates mengganti istilah sofist
menjadi filosofist, kira-kira 5 abad SM. Sebelumnya sudah ada pemikiran
lain, yaitu mitologi. Kemudian teologi dan sains. Namun, kita melihat di
antara dua yang terakhir itu, keterkaitan bahkan hubungan sebab akibat.
Hal terpenting perlu disadari bahwa filsafat adalah pemikiran manusia
mengenai segala sesuatu, sebatas pemikiran saja. Filsafat jelas berbeda
dengan ilmu yang berdasarkan asumsi tertentu, yang mengembangkan diri
melalui pemikiran dan pembuktian objektif.

2
Mempelajari filsafat melalui sejarah filsafat, berarti bahwa dengan
dasar kategori waktu, kita mempermasalahkan segala hal mengenai
pemikiran filsafat secara kronologis; hal-hal yang muncul, penyebabnya,
dan dasar pemikiran yang menjadi penyebab munculnya pemikiran lain,
tanpa melibatkan kegiatan pembuktian. Dengan perkataan lain, secara
lebih rinci dibahas permasalahannya, cara pembahasannya, tempat
kejadian dan lingkungan sosial budayanya, serta kaitan bahsan pada suatu
waktu dengan waktu lainnya. Dengan demikian, kita kan memahami
masalah kehidupan yang jauh lebih luas daripada sekadar filsafat atau
pemikirannya. Sebagai contoh, berikut ini diajukan bagan mengenai
sejarah filsafat sejak abad Yunani Kuno sampai dengan kontemporer
dengan menyebut nama tokoh dan aliran, ikhtisar pemikirannya, atau
mazhabnya.
Sepanjang sejarah filsafat, filsafat Barat mula-mula dikembangkan
oleh Thales (600 SM), bentuk penyampaiannya tidak secara langsung
melalui tulisan. Filsafat Timur dikenal melalui Wedda di India, pada tahun
yang diperkirakan sama dengan filsafat Barat di Yunani. Demikian pula di
Asia Tenggara, filsafat Timur dibangun oleh Sidharta Gautama. Ia
kelahiran India, tetapi hidup dan mengembangkan pemikirannya di Asia
Tenggara. Sementara di Asia Timur, Cina, filsafat dibangun oleh Khing
Hu Tzu atau Confucius (551-479 SM); atau Kore da Jepang (Tao). Patut
dicatat, kita mengenal filsafat Yunani dan kemudian filsafat Barat, pada
umumnya oleh banyak orang dianggap sebagai sejarah filsafat dunia.
Sejarah filsafat di India, Asia Tenggara, dan Timur (Tiongkok, Jepang,
Korea) tidak begitu terkenal. Hal ini meskipun abad ke-20 dapat dianggap
sebagai kebangkitan dunia Timur dan diprakirakan akan menunculkan
wacana filsafat yang lebih besar selain Yunani.
Ada yang berpendapat, lebih tampilnya sejarah filsafat Yunani dan
Barat disebabkan kemunculannya disertai budaya tulisan. Sementara
filsafat Timur Tengah, Asia Selatan sampai Asia Timur, lebih hidup dalam
budaya lisan. Dengan demikian, dapat dipahami jika perkembangannya
relatif lambat. Sampai saat ini belum diketahui pasti kapan sebenarnya
filsafat mulai muncul. Namun para pemikir Kreasionisme percaya, ketika
manusia pertama, Adam dan Hawa, turun di bumi pada 60.000 tahun yang
lalu atau abad 600 SM, Tuhan YME membekali mereka “senjata” berupa
akal, untuk menjalani perintah-Nya yaitu memlihara kehidupan di bumi.

3
Dengan akalnya, manusia berpikir menempuh kehidupannya; menjalankan
amanat Tuhan, memelihara kehidupan di muka bumi. Demikianlah
menurut Kreasionisme, mereka yang percaya pada wacana agama. Oleh
karena itu, bersamaan dengan adanya manusia, pemikiran filsafat pun ada.
Artinya, kegiatan berpikir merupakan ciri manusia sejak 600 abad SM..
Sebelum filsafat lahir, orang-orang pandai disebut kaum sofis.
Tetapi kegiatan mereka lebih banyak di sekitar retorika yang banyak
digunakan dalam kegiatan pengadilan. Ada kesombongan di antara mereka
yang dinyatakan dalam bentuk pembelaan, bahwa yang penting bukan
masalah kebenaran, melainkan bangaimana mengalahkan musuhnya. Oleh
karena itu, mereka disindir sebagai kaum sophisyry. Melalui kerendahan
hati, Socrates kemudian mengganti istilah sodi menjadi fiolosfi. Salah satu
cara berpikir yang ditampilkan pada masa pra filsafat ini adalah melalui
mitologi. Kelompok pemikir lain diluar Kreasionalisme adalah kelompok
ilmuwan yang disebut kaum Evolusionis. Mereka mempercayai Teori
Evolusi dari Charles Darwin. Teori ini menyatakan bahwa pada kira-kira
600.000 SM, terbentuk makhluk hidup yang disebut manusia sebagai hasil
evolusi makhluk yang paling sempurna. Namun, jika kompleksitas yang
ada padanya bertambah akan menimbulkan “kehancuran”. Landasan
filsafati makhluk hidup itu, antara lain didapat dari Aristoteles; bahwa
terdapat tiga lapisan kehidupan sejalan dengan jenis makhluk yang
berkembang, yaitu:
a) lapisan kehidupan vegetatif, yaitu laporan yang mendasarkan
kehidupannya pada motabolisme, seperti pada tumbuh-tumbuhan;
b) lapisan kehidupan nafsu atau dorongan, yaitu lapisan yang
mendasarkan kehidupannya selain pada metabolisme, juga
kebutuhan, dorongan, atau nafsu-nafsu, seperti pada binatang; dan
c) lapisan kehidupan human, yaitu makhluk hidup yang mendasarkan
kehidupannya selain pada metabolisme dan nafsu, juga intellechie.
Dalam Intellechie ini termasuk pemikiran kognitif dan
pertimbangan-pertimbangan, antara lain moralitas.

Pada kira-kira tahun 600 SM, ditemukan daerah-daerah sumber


filsafat yang hingga saat ini telah diketahui manusia. Itulah sebabnya
masa-masa tersebut dikenal sebagai masa awal ditemukan filsafat.
Sementara pikiran-pikiran sebelumnya sering disebut sebagai masa
prafilsafat atau pranalar, dan secara lebih khusus disebut pra-Socrates.
prakiraan para ahli mengenai hal tersebut, bahwa pada tahun 600 SM itu
telah terjadi perubahan besar dalam perkembangan pemikiran dan budaya

4
manusia. Perubahan tersebut lebih diyakini menyangkut adanya penulisan,
budaya tulis-menulis dengan berbagai bentuk dan jenisnya. Setelah tahun
600-an SM, mulai muncul tradisi penulisan buah pikiran tertentu. Tradisi
tersebut, menurut sebagian kalangan, harus ditempatkan di antara dua
tanda kutip, karena baru berupa tanda-tanda saja. Kini muncul pertanyaan,
mengapa terjadi periodisasi dalam perkembangan filsafat. Hal ini karena
adanya ciri-ciri tertentu dalam wacana itu, baik berupa penekanan isi/tema
maupun cara perbicangannya, sebagai sesuatu yang penting bagi
kehidupan, peradaban, dan kebudayaan. Misalnya, pada abad XIX terdapat
pemikiran bahwa manusia dengan daya pikirnya dianggap memiliki
kemampuan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Kalaupun ada
permasalahan yang tidak terselesaikan maka penyelesaiannya hanyalah
soal waktu.

Berbeda dengan pemikiran abad XX, pada waktu itu terdapat


pemikiran umum, bahwa manusia mempunyai akal untuk dapat
memecahkan masalah-masalahnya, tetapi terbatas pada masalah tertentu.
Pada abad XXI sekarang ini, terdapat kecenderungan pemikiran
transpersonal sesuai dengan pikiran Maslow – yang landasan-landasannya
diletakkan oleh Jung – dan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam
berilmu. Selanjutnya, secara lebih jelas mulai melirik pada kesadaran
spiritual; pada peranan agama, kerohanian, atau spirit dalam pengertian
lebih luas sebagai sumber kekuatan yang selama ini tersisihkan oleh ilmu-
ilmu yang sekular. Dalam pembahasan makalah ini, sejarah filsafat dibagi
dalam lima periode, yaitu: 1) Zaman Yunani Kuno (600 SM – 200 M) 2)
Zaman Pertengahan (200 M – 1500 M) 3) Zaman Pencerahan (1500 M –
1700 M) 4) Zaman Modern (1700 M – 2000 M) 5) Zaman Pasca Modern
(2000 M – ... M). (Gusstiawan Raimanu, 2015)

B. YANG MELATARBELAKANGI MUNCULNYA FILSAFAT


Filsafat, terutama Filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-
kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berpikir-
pikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar
mereka dan tidak lagi menggantungkan diri kepada dogma agama untuk
mencari jawaban atas yang pertanyaan-pertanyaan yang muncul .
Phytagoras dianggap sebagai orang pertama yang membawa
filsafat ke Yunani. Namun demikian, orang pertama yang digelari filosof
adalah Thales (sekitar abad ke-6 S.M) dari Mileta karena dia-lah yang
pertama kali menjelaskan asal-usul dunia yang terlepas dari kepercayaan
akan mitos-mitos kuno. Kemudian, muridnya Aneximander (610-546 S.M)

5
menjelaskan lebih dalam tentang asal-usul dunia dan alam semesta yang
kemudian dikenal dengan teori kosmologi. Selain itu juga ada beberapa
filosof lain seperti Xenophanes dari Colophon (560-478 S.M) yang
berargumentasi tentang satu tuhan sebagai penguasa alam semesta yang
kekal, Permenides dari Elea (lahir sekitar tahun 515 S.M), Heraklitus dari
Ephesus (540-480 S.M), Anaxagoras dari Clazomenae (500–428 S.M),
dan Democritus (460–370 S.M). (Handoko, 2015)

C. PERIODISASI PERKEMBANGAN FILSAFAT


Perkembangan filsafat barat juga tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan peradaban Islam yang memberi kontribusi yang sangat
besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Islam yang berkembang pada
abad ke 7 di jazirah arab menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru.
Pada masa awal perkembangan islam belum dikenal istilah filsafat islam.
Namun, seiring dengan perkembangan islam dan kebutuhan akan
pemahaman keislaman, banyak ulama-ulama islam yang mulai menggali
aspek-aspek filsafat, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. (Handoko,
2017)

1. Zaman Yunani Kuno (600 SM – 200 M)


Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam
sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan
pola pikir manusia dari mite-mite menjadi lebih rasional. Pola pikir
mite adalah pola pikir yang mengandalkan mitos-mitos untuk
menjelaskan fenomena alam seperti gempa bumi dan pelangi. Gempa
bumi tidak dianggap kejadian alam biasa, tapi dewa bumi sedang
menggoyangkan kepalanya. Namun setelah filsafat ditemukan,
fenomena tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa
melainkan fenomena alam yang terjadi secara kausalitas. Dan hal ini
terus dikembangkan oleh manusia melalui filsafat sehingga alam
dijadikan obyek penelitian dan pengkajian sampai dalam bentuk yang
paling mutakhir, seperti yang kita kenal sekarang.
a) Filsafat Pra Socrates Zaman Yunani Kuno dipandang sebagai
zaman keemasan filsafat, karena pada zaman ini orang memiliki
kebebasan untuk berpendapat atau mengungkapkan ide-idenya.
Pada masa itu, Yunani dipandang sebagai gudang ilmu dan filsafat,
karena bangsa Yunani sudah tidak lagi mempercayai mitos-mitos.

6
Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalaman yang
didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap menerima begitu
saja) melainkan menumbuhkan sikap yang senang menyelidiki atau
kritis. Sikap kritis inilah yang menjadikan bangsa Yunani berada
pada barisan terdepan dalam ilmu pengetahuan. Filsafat zaman
Yunani kuno mencakup zaman Pra Socrates dan zaman keemasan
filsafat. Tokoh-tokoh filosof pada masa itu adalah Thales,
Anaximandros, Anaximenes, Pythagoras, dan Heraklitos. Mereka
dikenal dengan filosof alam. Sedangkan masa keemasan filsafat
dimeriahkan oleh tokoh-tokoh seperti, Socrates, Plato dan
Aristoteles. Pada masa inilah filsafat Yunani menikmati masa
keemasannya. Filsafat pra-socrates ditandai oleh usaha mencari
asal (asas) segala sesuatu ("arche"). Tidakkah di balik
keanekaragaman realitas di alam semesta itu hanya ada satu azas?
Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak terbatas,
Empedokles: api-udaratanah-air. Herakleitos mengajar bahwa
segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang
Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak
berubah. Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu
itu muncul dalam bentuk yang banyak, dan bagaimana yang
banyak itu sebenarnya hanya satu? Pythagoras (580-500 sM)
dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk merenungkan hal itu.
Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya tentang atom
sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490 sM)
berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk
meraih kesimpulan yang benar. Secara umum dapat dikatakan, para
filosof pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari belenggu
mitos dan agama asalnya. Mereka mampu melebur nilai-nilai
agama dan moral tradisional tanpa menggantikannya dengan
sesuatu yang substansial.
1. Aliran Miletos/Madzhab Milesian Aliran ini disebut Aliran
Miletos karena tokoh-tokohnya merupakan warga asli Miletos,
di Asia Kecil, yang merupakan sebuah kota niaga yang maju.
Berikut beberapa tokoh yang termasuk kedalam Aliran Miletos
atau dikenal pula dengan istilah Madzhab Milesian:
1) Thales Thales hidup sekitar 624546 SM. Ia adalah seorang
ahli ilmu termasuk ahli ilmu Astronomi. Ia berpendapat
bahwa hakikat alam ini adalah air. Segala-galanya berasal
dari air. Bumi sendiri merupakan bahan yang sekaligus
keluar dari air dan kemudian terapung-apung diatasnya.

7
Pandangan yang demikian itu membawa kepada
penyesuaian-penyesuain lain yang lebih mendasar yaitu
bahwa sesungguhnya segalanya ini pada hakikatnya adalah
satu. Bagi Thales, air adalah sebab utama dari segala yang
ada dan menjadi akhir dari segala-galanya. Ajaran Thales
yang lain adalah bahwa tiap benda memiliki jiwa. Itulah
sebabnya tiap benda dapat berubah, dapat bergerak atau
dapat hilang kodratnya masing-masing. Ajaran Thales
tentang jiwa bukan hanya meliputi benda-benda hidup
tetapi meliputi benda-benda mati pula.
2) Anaximander Anaximander adalah murid Thales yang setia.
Ia hidup sekitar 610-546 SM. Ia berpendapat bahwa hakikat
dari segala seuatu yang satu itu bukan air, tapi yang satu itu
adalah yang tidak terbatas dan tidak terhingga, tak berubah
dan meliputi segalagalanya yang disebut “Aperion”.
Aperion bukanlah materi seperti yang dikemukakan oleh
Thales. Anaximander juga berpendapat bahwa dunia ini
hanyalah salah satu bagian dari banyak dunia lainnya.
3) Anaximenes Anaximenes hidup sekitar 560-520 SM. Ia
berpendapat bahwa hakikat segala sesuatu yang satu itu
adalah udara. Jiwa adalah udara; api adalah udara yang
encer; jika dipadatkan pertama-tama udara akan menjadi
air, dan jika dipadatkan lagi akan menjadi tanah, dan
akhirnya menjadi batu. Ia berpendapat bahwa bumi
berbentuk seperti meja bundar.
2. Aliran Pythagoras
Pythagoras lahir di Samos sekitar 580-500 SM. Ia berpendapat
bahwa semesta ini tak lain adalah bilangan. Unsur bilangan
merupakan prinsip unsur dari segala-galanya. Dengan kata lain,
bilangan genap dan ganjil sama dengan terbatas dan tak
terbatas.
1) Xenophanes Xenophanes merupakan pengikut Aliran
Pythagoras yang lahir di Kolophon, Asia Kecil, sekitar
tahun 545 SM. Dalam filsafatnya ia menegaskan bahwa
Tuhan bersifat kekal, tidak mempunyai permulaan dan
Tuhan itu Esa bagi seluruhnya. Ke-Esaan Tuhan bagi
semua merupakan sesuatu hal yang logis. Hal itu karena
kenyataan menunjukkan apabila semua orang memberikan
konsep ketuhanan sesuai dengan masing-masing orang,

8
maka hasilnya akan bertentangan dan kabur. Bahkan “kuda
menggambarkan Tuhan menurut konsep kuda, sapi
demikian juga” kata Xenophanes. Jelas kiranya ide tentang
Tuhan menurut Xenophanes adalah Esa dan bersifat
universal.
2) Heraklitus (Herakleitos) Heraklitus hidup antara tahun 560-
470 SM di Italia Selatan sekawan dengan Pythagoras dan
Xenophanes. Ia berpendapat bahwa asal segalanya adalah
api dan api adalah lambang dari perubahan. Api yang selalu
bergerak dan berubah menunjukkan bahwa tidak ada yang
tetap dan tidak ada yang tenang.
3. Aliran Elea
1) Parmenides Lahir sekitar tahun 540475 di Italia Selatan.
Ajarannya adalah kenyataan bukanlah gerak dan perubahan
melainkan keseluruhan yang bersatu. Dalam pandangan
Pamenides ada dua jenis pengetahuan yang disuguhkan
yaitu pengetahuan inderawi dan pengetahuan rasional.
Apabila dua jenis pengetahuan ini bertentangan satu sama
lain maka ia memilih rasio. Dari pemikirannya itu
membuka cabang ilmu baru dalam dunia filsafat yaitu
penemuannya tentang metafisika sebagai cabang filsafat
yang membahas tentang yang ada.
2) Zeno Lahir di Elea sekitar 490 SM. Ajarannya yang penting
adalah pemikirannya tentang dialektika. Dialektika adalah
satu cabang filsafat yang mempelajari argumentasi.
3) Melissos Lahir di Samos tanpa diketahui secara tepat
tanggal kelahirannya. Ia berpendapat bahwa “yang ada” itu
tidak berhingga, menurut waktu maupun ruang.
4. Aliran Pluralis
1) Empedokles Lahir di Akragas Sisislia awal abad ke-5 SM.
ia menulis buah pikirannya dalam bentuk puisi. Ia
mengajarkan bahwa realitas tersusun dari empat anasir
yaitu api, udara, tanah, dan air.
2) Anaxagoras
Lahir di Ionia di Italia Selatan. Ia berpendapat bahwa
realitas seluruhnya bukan satu tetapi banyak. Yang banyak
itu tidak dijadikan, tidak berubah, dan tidak berada dalam
satu ruang yang kosong. Anaxagoras menyebut yang
banyak itu dengan spermata (benih).

9
5. Aliran Atomis Pelopor atomisme ada dua yaitu Leukippos dan
Demokritos. Ajaran aliran filsafat ini ikut berusaha
memecahkan masalah yang pernah diajukan oleh aliran Elea.
Aliran ini mengajukan konsep mereka dengan menyatakan
bahwa realitas seluruhnya bukan satu melainkan terdiri dari
banyak unsur. Dalam hal ini berbeda dengan aliran pluralisme
maka aliran atomisme berpendapat bahwa yang banyak itu
adalah “atom” (a = tidak, tomos = terbagi)
6. Aliran Sofis
Sofisme berasal dari kata Yunani “sophos” yang berarti cerdik
atau pandai. Tokoh-tokoh kaum sofis adalah Protagoras,
Grogias, Hippias, Prodikos, dan Kritias. Kesimpulannya,
filsafat Pra Socrates adalah filsafat yang dilahirkan karena
kemenangan akal asas atas dongeng atau mite-mite yang
diterima dari agama yang memberitahukan tentang asal muasal
segala sesuatu.
b) Zaman Keemasan Filsafat: Socrates, Plato, Aristoteles
Puncak filsafat Yunani dicapai pada Socrates, Plato dan
Aristoteles. Filsafat dalam periode ini ditandai oleh ajarannya yang
"membumi" dibandingkan ajaran-ajaran filosof sebelumnya.
Seperti dikatakan Cicero (sastrawan Roma) bahwa Socrates telah
memindahkan filsafat dari langit ke atas bumi. Maksudnya, filosof
pra- Socrates mengkonsentrasikan diri pada persoalan alam
semesta sedangkan Socrates mengarahkan obyek penelitiannya
pada manusia diatas bumi. Hal ini juga diikuti oleh para sofis.
Seperti telah disebutkan didepan, sofis (sophistes) mengalami
kemerosotan makna. Shopistes digunakan untuk menyebut guru-
guru yang berkeliling dari kota ke kota dan memainkan peran
penting dalam masyarakat. Dalam dialog Protagoras, Plato
mengatakan bahwa para sofis merupakan pemilik warung yang
menjual barang ruhani.
a) Tokoh-tokoh Zaman Keemasan Filsafat
1. Socrates (470-400 S.M) Socrates guru Plato, mengajar
bahwa akal budi harus menjadi norma terpenting untuk
tindakan kita. Sokrates sendiri tidak menulis apa-apa.
Pikiran-pikirannya hanya dapat diketahui secara tidak
langsung melalui tulisan-tulisan dari cukup banyak
pemikir Yunani lain, terutama melalui karya plato.

10
Sebagaimana para sofis, Socrates memulai filsafatnya
dengan bertitik tolak dari pengalaman keseharian dan
kehidupan kongkret. Perbedaannya terletak pada
penolakan Socrates terhadap relatifisme (pandangan yang
berpendapat bahwa kebenaran tergantung pada manusia)
yang pada umumnya dianut para sofis. Menurut Socrates
tidak benar bahwa yang baik itu baik bagi warga Athena
dan lain bagi warga negara Sparta. Yang baik mempunyai
nilai yang sama bagi semua manusia dan harus dijunjung
tinggi oleh semua orang. Pendirinya yang terkenal adalah
pandangannya yang menyatakan bahwa keutamaan (arete)
adalah pengetahuan, pandangan ini kadangkadang disebut
intelektualisme etis.
Dengan demikian Socrates menciptakan suatu etika
yang berlaku bagi semua manusia. Sedangkan ilmu
pengetahuan Socrates menemukan metode induksi dan
memperkenalkan definisi-definisi umum. Akibat
pandangannya ini Socrates dihukum mati.
2. Plato (428-348 S.M) Hampir semua karya Plato ditulis
dalam bentuk dialog dan Socrates diberi peran yang
dominan dalam dialog tersebut. Sekurang-kurangnya ada
dua alasan mengapa Plato memilih yang begitu. Pertama,
sifat karyanya Socratic (Socrates berperan sentral) dan
diketahui bahwa Socrates tidak mengajar tetapi
mengadakan tanya jawab dg teman-temannya di Athena.
Dengan demikian, karya Plato dapat dipandang sebagai
monumen bagi sang guru yang dikaguminya. Kedua,
berkaitan dengan anggapan Plato mengenai filsafat.
Menurutnya, filsafat pada intinya tidak lain daripada
dialog dan filsafat seolah-olah drama hidup yang tidak
pernah selesai tetapi harus dimulai kembali. Ada tiga
ajaran pokok dari Plato yaitu tentang ide, jiwa dan proses
mengenal. Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua
yaitu inderawi yang selalu berubah dan dunia ide yang
tidak pernah berubah. Ide merupakan sesuatu yang
obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru
sebaliknya pikiran tergantung pada ideide tersebut. Ide-ide

11
berhubungan dengan dunia melalui tiga cara; Ide hadir
didalam benda, ide-ide berpartisipasi dalam konkret dan
ide merupakan model atau contoh (paradigma) bagi benda
konkret. Pembagian dunia ini pada gilirannya juga
memberikan dua pengenalan. pertama pengenalan tentang
ide; inilah pengenalan yang sebenarnya.
Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini disebut
episteme (pengetahuan) dan bersifat teguh, jelas, dan tidak
berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme
kaum sofis. Kedua, pengenalan tentang bendabenda
disebut doxa (pendapat) dan bersifat tidak tetap dan tidak
pasti; pengenalan ini dapat dicapai dg panca indera.
Dengan dua dunianya ini juga Plato bisa mendamaikan
persoalan besar filsafat pra-socratic yaitu pandangan panta
rhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya
Parmenides. Keduanya benar, dunia inderawi memang
selalu berubah sedangkan dunia ide tidak pernah berubah
dan abadi. Memang jiwa Plato berpendapat bahwa jiwa itu
baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan ide.
Lebih lanjut dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum
hidup di bumi. Sebelum bersatu dg badan, jiwa sudah
mengalami pra-eksistensi dimana ia memandang ide-ide.
Berdasarkan pandangannya ini, Plato lebih lanjut berteori
bahwa pengenalan pada dasarnya tidak lain adalah
pengingatan (anamnenis) terhadap ide-ide yang telah
dilihat pada waktu pra-eksistansi. Ajaran Plato tentang
jiwa manusia ini bisa disebut penjara. Plato juga
mengatakan, sebagaimana manusia, jagad raya juga
memiliki jiwa dan jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa-
jiwa manusia. Plato juga membuat uraian tentang negara.
Tetapi jasa terbesarnya adalah usahanya membuka sekolah
yang bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi
nama"Akademia"yang paling didedikasikan kepada
pahlawan yang bernama Akademos. Mata pelajaran yang
paling diperhatikan adalah ilmu pasti. Menurut cerita
tradisi, di pintu masuk akademia terdapat tulisan:"yang
belum mempelajari matematika janganlah masuk disini".
3. Aristoteles ((384-322 S.M)
Ia adalah Pendidik Iskandar Agung yang juga
adalah murid Plato. tetapi dalam banyak hal ia tidak setuju

12
dengan Plato. Ide-ide menurut Aristoteles tidak terletak
dalam suatu "surga" diatas dunia ini, melainkan di dalam
benda-benda sendiri. Setiap benda terdiri dari dua unsur
yang tak terpisahkan, yaitu materi ("hyle") dan bentuk
("morfe"). Bentuk-bentuk dapat dibandingkan dengan ide-
ide dari Plato. Tetapi pada Aristoteles ide-ide ini tidak
dapat dipikirkan lagi lepas dari materi. Materi tanpa
bentuk tidak ada. Bentuk-bentuk "bertindak" di dalam
materi. Bentuk-bentuk memberi kenyataan kepada materi
dan sekaligus merupakan tujuan dari materi. Teori ini
dikenal dengan sebutan Hylemorfisme. Filsafat Aristoteles
sangat sistematis. Sumbangannya kepada perkembangan
ilmu pengetahuan besar sekali. Tulisantulisan Aristoteles
meliputi bidang logika, etika, politik, metafisika, psikologi
dan ilmu alam. Pokok-pokok pikirannya antara lain bahwa
ia berpendapat seseorang tidak dapat mengetahui suatu
obyek jika ia tidak dapat mengatakan pengetahuan itu
pada orang lain. Aristoteles berpendapat bahwa logika
tidak termasuk ilmu pengetahuan tersendiri, tetapi
mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan berfikir
secara ilmiah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah,
logika diuraikan secara sistematis. Tidak dapat dibantah
bahwa logika Aristoteles memainkan peranan penting
dalam sejarah intelektual manusia; tidaklah berlebihan bila
Immanuel Kant mengatakan bahwa sejak Aristoteles,
logika tidak maju selangkahpun. Mengenai pengetahuan,
Aristoteles mengatakan bahwa pengetahuan dapat
dihasilkan melalui jalan induksi dan jalan deduksi, induksi
mengandalkan panca indera yang "lemah", sedangkan
deduksi lepas dari pengetahuan inderawi. Karena itu
dalam logikanya Aristoteles sangat banyak memberi
tempat pada deduksi yang dipandangnya sebagai jalan
sempurna menuju pengetahuan baru. Salah satu cara
Aristoteles mempraktekkan deduksi adalah Syllogismos
(silogisme).
2. Zaman Pertengahan (200 M – 1500 M)
Zaman ini sering dianggap sebagai zaman di mana filsafat begitu
erat, bahkan berada di bawah naungan agama. Zaman ini, dibagi
kedalam empat periode, yaitu Zaman Patristik, Zaman Awal Skolastik,
Zama Keemasan Skolastik, dan Zaman Akhir Abad Pertengahan.

13
a) Zaman Patristik
Istilah patristik berasal dari kata Latin patres yang berarti Bapak
dalam lingkungan kehidupan gereja. Bapak yang mengacu pada
pujangga Kristen, mencari jalan menuju teologi Kristiani, melalui
peletakan dasar intelektual untuk agama Kristen. Dalam
masyarakat luas, terdapat pula pemikiran filosof yang disebut
sebagai kebudayaan kafir. Jadi, ketika itu terdapat dua pendirian
yang berlainan, yaitu yang berdasarkan agama Kristen dan
berdasarkan Filsafat Yunani. Pandangan pemikir agama pun
terbagi tiga dalam menganggapi filsafat ini. Pertama, pandangan
bahwa setelah ada wahyu Ilahi yang terwujud dalam Yesus Kristus,
seharusnya tidak ada lagi pemikiran filosofis. Dengan demikian,
pemikiran filosofis tidak diakui. Kedua, pandangan yang berusaha
menengahinya dengan menyintesiskan kedua pemikiran tersebut.
Ketifa, pandangan yang justru menyatakan bahwa filsafat Yunani
merupakan langkah awal menuju agama (praeparatio evangelica).
Jadi harus diterima dan dikembangkan. Beberapa nama perlu
ditampilkan dalam uraian ini, yaitu Yustinus Martyr, Clemens (150
– 215 M), dan Origenes (185-254), Martyr adalah pemikir yang
sejak semula telah mempelajari berbagai sistem filsafat, dan ketika
masuk agam Kristen, ia masih menyebut dirinya filosof. Ia menulis
dua buku tentang pembelaan hak agama orang Kristen. Clemens
dan Origenes berasal dari Alexandria, kota pusat intelektual pada
akhir Zaman Kuno; merancang suatu teologi yang tersusun secara
ilmiah berdasarkan filsafat Yunani, khususnya Platonisme dan
Stoisisme. Zaman keemasan Pratistik, meliputi Yunani ataupun
Latin yang muncul pada masa yang kurang lebih sama. Di Yunani,
Zaman keemasan terbangun setelah Kaisar Constantinus Agung
mengeluarkan “Edik Milano” yang melindungi warganya dalam
dan untuk menganut agama Kristen. Sebelumnya, gereja Kristen
mengalami penindasan dibawah penguasa Romawi yang
menjajahnya. Tiga Bapak Gereja yang penting untuk disebut
mewakili kehidupan pemikiran masa ini, adalah Gegorius dari
Nazianza (330-390), Basilius (330379), dan adiknya Gregorius dari
Nyssa (335-394). Mereka membangun sintesis dari agama Kristen
dan kebudayaan Helenitas. Di antara ketiga orang tersebut yang
paling menonjol adalah Gregorius dari Nyssa. Pada dasarnya,
mereka menggunakan neoplatonisme, namun mereka menolah
disebut neoplatonisme yang merendahkan materi. Pada abad ke-8,

14
Zaman Keemasan Patristik Yunani berakhir, dengan Johannes
Damascenus sebagai raja yang menulis suatu karya berjudul
“Sumber Pengetahuan”. Karyanya tersebut secara sistematis
menggambarkan seluruh sejarah filsafat pada masa Patristik
Yunani, sebanyak tiga jilid. Sejak abad ke-8, orang Arab (Islam)
merebut Siria, Mesir, Afrika Utara, dan bagian selatan Spanyol.
Alexandria jatuh dan sekolahsekolahnya ditutup. Melalui filosof
Kristen, orang Arab berkenalan dengan filsafat Yunani, antara lain
menerjamahkannya kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu,
dikemudian hari Baghdad dan Cordova pun menjadi pusat filsafat.
Pada abad ke-4, zaman keemasan Paristik Latin terjadi. Ma,a nesar
dari jajaran Bapak Gereka Barat adalah Agustinus (354-430) yang
dinilai menjadi pemikir terbesar untuk seluruh Zaman Patristik.
Adapun kekuatan dan kelemahan pemikiran Agustinus terletak
pada pemikirannya sebagai integrasi dan teologi Kristen dan
pemikiran filsafatinya. Tulisannya merupakan penghayatan rohani
pribadinya. Ia sendiri tidak sepahan dengan pendapa yang
mengatakan bahwa filsafat itu otonom, lepas dari iman kristiani.
Menurutnya, filsafat hanya dapat dipahami sebagai “filsafat
kristiani” atau “kebijaksanaan kristiani”. Dalam filsafat, ia
tergolong pengikut neoplatonisme, bahkan platonisme juga.
Pemikiran lain yang mempengaruhinya adalah stoisisme. Terdapat
beberapa hal penting untuk dipahami dari pemikiran Agustinus,
yaitu:
1) Iluminasi atau penerangan. Rasio insani hanya dapat abadi jika
mendapat penerangan dari rasio Ilahi. Allah adalah guru yang
tinggal dalam batin kita dan menerangi roh manusia.
2) Dunia jasmani yang terus-menerus berkembang, tetapi
bergantung kepada Allah. Mula-mula Allah menciptakan
materi yang tidak mempunyai bentuk tertentu, tetapi
mengandung benih (rationes seminales) berupa prinsip bagi
perkembangan jasmani. Prinsip perkembangannya berbeda
dengan evolusi Darwin karena tidak mengandung mutasi jenis.
Menurutnya, di dalam benih segala hal telah ada, seperti
sesuadah telor akan lahir ayam. Suatu masalah tidak akan
mencapai jalan buntu apabila berdasarkan Alkitab.
3) Manusia, jiwanya terkurung tubuh. Menurut Agustinus –
sebagaimana dipengaruhi platonisme, tetapi tidak mengakui
dualisme ekstrim Plato – tubuh bukan sumber kejahatan;
sumber kejahatan adalah dosa yang berasal dari kehendak
bebas.
15
b) Zaman Awal Skolastik
Zaman ini ditandai dengan migrasi penduduk, yaitu perpindahan
bangsa Hun dari Asia ke Eropa, sehingga bangsa Jerman berpindah
melintasi perbatasan kekaisaran Romawi yang secara politik
mengalami kemerosotan. Akibat situasi yang ricuh, tidak banyak
pemikiran filsafati yang patut dikemukakan pada masa ini. Namun,
ada beberapa tokoh dan situasi penting yang harus diperhatikan
dalam memahami filsafat masa ini. Pertama, ahli pikir Boethius
(480-524 M), dalam usianya yang ke 44 tahun, ia dikenai hukuman
mati dengan tuduhan berkomplot. Ia dianggap sebagai dilosof akhir
Rimawi dan filosof pertama Skolastik. Jasanya adalah
menerjemahkan logika Aristoteles ke dalam bahasa Latin dan
menulis beberapa traktat logika Aristoteles. Boethius adalah guru
logika Abad Pertengahan dan mengarang beberapa traktat teologi
yang dipelajari sepanjang Abad Pertengahan. Kedua, Kaisar Karela
Agung yang memerintah pada awal abad ke-9 dan berhasil
mencapai stabilitas politik yang besar. Hal ini menyebabkan
perkembangan pemikiran kultural berjalan pesat. Lembaga
pendidikan yang dibangunnya terdiri dari tiga jenis, yaitu
pendidikan yang digabungkan dengan biara, pendidikan yang
ditanggung keuskupan, dan pendidikan yang dibangun raja atau
kerabat kerajaan. Meskipun demikian, seluruh pemikiran Abad
Pertengahan berada dalam naungan teologi. Seperti dikatakan
Thomas Aquinas pada abaf ke-13, ilmu pengetahuan adalah
pembantu teologi. Pemikirannya merupakan kelanjutan dari
pemikiran Agustinus. Ketiga, terdapat beberapa nama penting lain,
seperti Johannes Scotus Eriugena, Anselmus, dan Abelardus.
Eriugena (810-877) bekerja di sekolah lingkungan istana Karel
Agung. Ia berjasa dalam menerjemahkan karya PseudoDionysios
ke dalam bahasa Latin sehingga menjadi referensi bagi dunia
pemikiran abad-abad selanjutnya. Berdasarkan filsafat
neoplatonisme, ia membangun sintesis teologis. Akan tetapi,
karena agak sulit dicerna, pemikirannya tidak dilanjutkan orang.
Anselmus (1033-1109) memimpin biara di Normandi, Perancisdan
Uskup Agung di Canterbury, Inggris. Ia meluruskan perkataan
Agustinus dengan mengatakan, “Saya percaya supaya saya
mengerti” (credo ut intelligam). Ia terkenal terutama katena
argumentasinya, bahwa Allah itu benar-benar ada. Ada tiga
langkah pembuktian filsafatinya. Pertama, Allah itu Mahabesar
sehingga tidak terpikirkan sesuatu yang lebih besar (id quo nihil

16
malus cogitari potest). Kedua, hal yang terbesar tentulah berada
dalam kenyataan, karena apa yang hanya ada dalam pikiran tidak
mungkin lebih besar. Ketiga, Allah tidak hanya berada dalam
pemikiran, tetapi juga ada dalam kenyataan. Jadi, Allah sungguh-
sungguh ada. Abelardus (1079-1142) berjasa dalam bidang logika
dan etika. Ia telah memberikan sumbangan terhadap penyelesaian
masalah yang ramai dibicarakan dalam kalangan skolastik, ialah
masalah “universalia”. Universalia menyangkut konsepkonsep
tersebut. Dalam hal ini, terdapat dua pendirian, yaitu realisme, atau
sering disebut ultra0realisme, dengan tokohnya Guilielmus yang
membicarakan masalah “kemanusiaan”. Selanjutnya, nominalisme,
dengan tokohnya Roscelinus. Ia berpendapat bahwa selain
individu-individu, tidak ada sesuatu yang nyata. Konsep-konsep
umum, menurut nominalisme, hanya bunyi (flatus vocis).
Keempat, adalah cara mengajar yang terdiri dari dua jenis, yaitu
cara kuliah (lectio) yang diberikan seorang mahaguru, dan cara
diskusi yang dipimpin seorang mahaguru. Suatu topik dibahas
secara sistematis dengan menampung semua argumen pro dan
kontra (disputation). Dalam pelaksanaannya, baik kuliah maupun
diskusi dibuatkan buku pegangan (sententiae), yang artinya
pendapatpendapat. Dari sentiae kemudian dibuat buku pengangan
lain yang disebut Summa yang artinya ikhtisar.
c) Zaman Keemasan Skolastik
Zaman keemasan Skolastik terjadi pada abad ke-13. Sama dengan
Abad Pertengahan, pada Zaman Keemasan Skolastik ini, filsafat
dipelajari dalam hubungannya dengan teologi. Namun, hal ini tidak
berarti wacana filsafat hilang. Filsafat tetap dipelajari meskipun
tidak secara terbuka dan mandiri. Pada abad ini dibangun sintesis
filosofis penting dan berkaitan dengan tiga hal, yaitu
1) didirikannya universitas-universitas pada tahun 1200,
2) beberapa ordo membiara yang baru dibenetuk dan
3) ditemukan dan digunakannya sejumlah karya filsafat yang
sebelumnya tidak dikenal seperti; Universitas, sekolah-sekolah,
ordo-ordo membiara yang baru, penemuan karya filsafat
Yunani, terutama karya Aristoteles sebagai filosof bidang
logika. Namun mereka kemudian sadar bahwa pemikiran
Aristoteles itu sangat luas. Ajaran Aristoteles masuk ke dunia
Barat baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara
tidak langsung ajaran ini masuk melalui Arab dengan
tokohtokohnya Ibn Sina (980-1037), Ibn Rushd (1126-1198),
serta beberapa filosof Yahudi.
17
3. Zaman Pencerahan (1500M – 1700M)
Pengetahuan yang luas menjadikan Nicolaus bukan saja sebagai
eksponen Abad Pertengahan, melainkan juga pecinta eksperimen yang
membawanya kepada pemikiran ilmu masa modern. Meskipun
demikian, perlu diperhatikan suatu masa yang relatif singkat yang
membatasi Abad Pertengahan dan Abad Modern yaitu Abad
Pencerahan, enlightment, atau Aufklaerung. Meskipun singkat, sekitar
satu sampai dua abad saja, namun apa yang terjadi dalam masa itu
penting untuk direnungkan. Maksudnya, para pemikir sekular yang
berada dalam lingkungan gereja merasa “sumpek” dengan kehidupan
berpikir abad pertengahan, dimana ilmu pengetahuan dan filsafat
menjadi budak agama. Hal ini beraikbat kebebasan berpikir terhambat
oleh payung agama. Menentang pendapat ilmuwan yang pendapatnya
telah diterima kaum agama, sering diartikan menentang agama.
Zaman Pencerahan, Aufklaerung, merupakan masa peralihan dari
Abad Pertengahan ke Abad Modern. Perlu ditegaskan bahwa
pemikiran Abad Pertengahan didasari oleh payung agama, sedangkan
Abad Modern oleh payung ilmu pengetahuan. Selain “membesarkan
diri” dari kungkungan agama, pemikiran modern sebenarnya telah
melepaskan diri dari filsafat. Hal ini disebabkan argumentasi filsafat
semata-mata mengandalkan logika, sedangkan pengetahuan
menekankan pada perlunya eksperimentasi.
Meskipun demikian, hubungan antara Pencerahan dan Modern sulit
dipisahkan, karena Pencerahan secara substansial berusaha melepaskan
ilmu pengetahuan dari kungkungan agama (kaum gereja). Substansi
duniawi, sekuler, atau disebut pula ilmu pengetahuan umum, sebagai
ciri garapan Abad Modern. Dengan demikian, tokoh-tokoh yang
mengawali Modernisme dapat dianggap tokoh Abad Pencerahan.
Misalnya Michel de Montaigne (15331592). Kemudian Descrates,
Leibnitz, dan Wolf di Eropa Daratan, serta Locke, Hume dan Berkeley
di Inggris. Dikarenakan kedudukannya yang terjepit antara Abad
Pertengahan dan Abad Modern, maka Abad Pencerahan tidak dibahas
lebih mendalam. Meskipun demikian, pemikiran Abad Pencerahan
perlu dicantumkan karena dipandang penting bagi kelahiran Abad
Modern yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Abad
Pencerahan merupakan “bidan” Abad Modern.
4. Zaman Modern
Zaman Pertengahan berakhir pada saat yang tidak helas karena
batas-batas pemikiran filsafatnya terlalu subtil. Namun, beberapa ahli
berpendapat bahwa masa Renaisancelah yang menjadi batasnya, yaitu

18
batas pemisah antara Abad Pertengahan dengan Abad Modern. Masa
Renaisans artinya kelahiran kembali. Maksudnya adalah melahirkan
kembali kebudayaan klasik, yaitu kebudayaan Yunani dan Romawi.
Masa Renaisans merupakan akhir dari Zaman Pertengahan. Beberapa
ahli sejarah filsafat menempatkan nama-nama sastrawan dan seniman
pada barisan depan pelopor Zaman Modern. Mereka adalah para
penulis, Petrarca (1304-1374) dan Boccacio (1313-1375). Sementara
untuk seniman lainnya, tercatat pelukis, pematung, dan artitek
Michelangelo (1475-1565). Dalam bidang ilmu pengetahuan, nama-
nama yang patut dikemukakan adalah Leonardo da Vinci (1452-1519),
Nicolaus Copernicus (1473-1543), Johanner Kepler (1571-1519),
Galilei (1564-1643). Sementara pelatak dasar filosofis dalam ilmu
pengetahuan adalah Francis Bacon (1561-1623). Francis Bacon
melahirkan buah pikiran yang menggantikan teori Aristoteles tentang
ilmu pengetahuan. Adapun pendiri (founding father) filsafat modern
adalah Michel de Montaigne (1533-1592). Ia bukan matematikawan
atau ilmuwan, melainkan moralis. Pertanyaan yang mendasar, apakah
manusia akan mendapat kebenaran jika benar-benar menemukannya,
atau mampukah manusia berbuat adil jika sudah menemukannya? Ia
mewarisi skeptisme pendahulunya dan meragukan indra ataupun akal
budi. Sebaliknya, ia menekankan ide alam yang melekat dalam diri
manusia sebagai karakter, sebagaimana pikiran pemikir-pemikir kuno.
Oleh karena itu, pikiran-pikiran intelektual skolastik tidak berarti
baginya. Sedangkan tujuan pendidikan dan filsafat secara umum
baginya adalah untuk menerangi dan mengilhami hakikat diri yang
bersifat spontan. Wahyu Ilahi, selain dapat diterima, juga dianggap
dapat menjembatani Tuhan dan manusia. Sikap moralis yang dimiliki
Montaigne sangat banyak mempengaruhi Jean-Jacques Rousseau.
Dalam ilmu pengetahuan, pendapat Montaigne tersimpul dalam
perumusan, bahwa ide manusia berbeda dari suatu tempat lainnya, juga
menurut zamannya. Istilah modern itu sendiri tidak jelas apa
maksudnya. Istilah tersebut sering menampilkan sifat arogansi, atau
sekadar menolak buah pikiran yang telah lahir sebelumnya dari Abad
Pertengahan; bahkan secara berlebihan daat juga disebut sebagai suatu
pemberontakan. Sama dengan kaum pascamodern yang memberontak
terhadap pemikiran modern yang terlalu menghargai rasioSelanjutnya,
Immanuel Kant dengan kritisismenya melihat ketidaksempurnaan, baik
pada Descrates maupun John Locke. Dikatakannya bahwa Descrates
hanya dengan sebelah mata dalam melihat kenyataan, yaitu dengan
mata rasio. Sementara Locke dinilai dalam melihat kenyataan hanya

19
dengan setengah mata, ialah mata pengalaman. Kant mengatakan,
“Pemahaman tanpa konsep adalah buta, sedangkan tanggapan tanpa
penglihatan adalah hampa”. Ia berpendapat bahwa dasar pengetahuan
adalah pengamatan dan pemikiran. Ilmu pengetahuan haruslah bersifat
sintetis, artinya berdasarkan pengamatan yang nyata; dan aprioris,
yaitu berdasarkan akal. Oleh karena itu, ada ahli yang berpendapat
bahwa sebelum Kant adalah filsafat lama, dan sesudah Kant adalah
filsafat baru. Memahami filsafat modern yang berlangsung sampai
kontemporer atau pascamodernisme tidaklah sederhana, karena tidak
mudah dalam membuat penggolongan. Para filosof modern tampak
lebih individualistis dengan menampilkan individualitasnya masing-
masing. Hal ini menyulitkan bagi mereka yang baru mengenal dan
mempelajarinya. Oleh karena iru, untuk mempermudah dalam
mengenal dan mempelajarinya, filsafat modern dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu ;
a) Rasionalisme, Empirisme dan Kritisisme
Rasionalisme. Perlu disebutkan beberapa nama penting dalam
aliran ini, antara lain Descrates, Wolf dan Leibnitz. Pada
prinsipnya, pemikir-pemikir rasional menuntut kenyataan sejati
yang dilandasi pemikiran. Dari pemikiran akan lahir konsep,
bahwa apa yang diketahui ilmu pengetahuan jelas landasannya.
Landasan ini tidak akan berubah. Hal itu dapat terjadi jika dasar
pemikiran atau pengetahuan itu bersifat apriori (sebelum
pengalaman). Empirisme. Beberapa tokoh dalam aliran ini, antara
lain John Locke, Berkeley, dan Hume. Kebalikan dari kaum
rasionalis, pemikir empiris berpendapat bahwa dasar pengetahuan
itu adalah sensasi yang berasal dari rangsanganrangsangan yang
berdasar pada pengalaman. Adapun alasannya adalah bahwa
sekarang atau disini tidak selalu sama dengan besok atau disitu.
Lebih penting dari semua itu, bahwa ilmu pengetahuan harus
berkembang, karena perkembangan tidak dapat ditolak. Bukan
apriori yang dituntut oleh ilmu pengetahuan, melainkan aposteriori
(setelah pengalaman). Kritiisme. Menurut Kant, ilmu pengetahuan
harus memiliki kepastian sehingga rasionalisme adalah benar. Ia
juga menuntut bahwa imu pengetahuan harus maju dan
berkembang didasari oleh kenyataan-kenyataan yang berkembang.
Oleh karena itu, ia menganggap benar pendapat kaum empiris. Ia
mengajukan sintetis aprioris sebagai syarat untuk ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan berdasarkan dua hal, yaitu bahwan
yang didapat dari luar, hal itu sendiri atau disebut das Ding an sich,

20
dan pengolahan sintesis dari diri sendiri atau das Ding fuer mich.
b) Dialetika Idealisme dan Dialetika Merialisme Dialetika ideal atau,
idealisme dialektis merupakan hasil pemikiran Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831) yang sangat berorientasi pada ilmu
sejarah, ilmu alam, dan ilmu hukum. Ia dianggap sebagai murid
Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775-1854) yang lebih muda
darinya. Tulisannya dipublikasikan setelah Schelling termashur
sebagai ahli filsafat. Semulanya pendiriannya sama, namun
semakin lama pendiriannya jelas berbeda dari Schelling, bahkan
jauh lebi populer di kemudian hari. Terdapat beberapa hal yang
penting dari pandangan Hegel. Pertama, dalil yang menyatakan
bahwa segenap realitas bersifat rasional dan yang rasional bersifat
nyata. Ia sangat mementingkan rasio, tetapi bukan hanya rasio pada
perseorangan, melainkan rasio pada subjek absolut. Ia berprinsip
bahwa realitas seluruhnya harus disetarakan dengan suatu subjek.
Realitas adalah roh yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya.
Dengan pernyataan tersebut, ia membantah pendapat filsafat
kepercayaan dan sastra Jerman yang disebut “Romantika” yang
mengutamakan perasaan. Kedua, hal terpenting lain dari seluruh
pemikiran Hegel, yaitu metode dialeti, atau biasa disebut dialetika.
Dialetika adalah usaha mendamaikan, mengompromikan dua atau
lebih pandangan yang berpendapat bahwa pertentangan adalah
bapak segala hal, meskipun ia juga menghargai Fichte yang
membedakan antara “aku” dan “bukan aku”. Ada tiga fase dalam
dialetika. Fase pertama, tesis sebagai pendapat awal menampilkan
lawannya, yaitu antitesis sebagai fase kedua. Kemudian timullah
fase ketiga yang mendamaikan kedua fase itu, yaitu “aufgehoben”,
artinya bermacam-macam dicabut, ditiadakan, tidak berlaku lagi,
inilah yang disebut sintesis, sebagai fase ketiga itu, dalam sintesis
terkandung tesis dan antitesis. Keduanya diangkat pada satu taraf
yang baru. Jadi tesus dan antitesis tetap ada, hanya lebih sempurna.
Contoh, anak menjadi sintesis dari ibu dan bapak; demokrasi
konstitusional menjadi sintesis dari diktator dan anarki, dan
“menjadi” merupakan sintesis dari “ada” dan “tiada”. Dalam
membangun istem filsafatnya, Hegel membagi filsafat menjadi tiga
bagian, yaitu: a) Logika, bagian filsafat yang memandang roh
dalam dirinya sendiri; b) Filsafat alam, memandang roh yang sudah
ada/diasingkan di luar dirinya, dan c) Filsafat roh,
menggambarkan bagaimana roh bisa kembali pada dirinya.

21
c) Fenomenologi dan Eksistensialisme Terdapat ahli yang
berpendapat bahwa fenomenologi hanya suatu gaya berpikir, bukan
suatu mazhab filsafat. Para ahli tertentu bahkan menganggap
fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami,
mengartikan dan memaknakan sesuatu daripada sebagai suatu
aliran filsafat. Filsafat fenomenologi lahir dari pemikiran Edmund
Husserl (1859-1936), berdasarkan pemikiran Brentano, seorang
filosof dan matematikus, mengenai intensionalitas atau
pengarahan. Husserl mengemukakan adanya fondasi absolut, suatu
fundamentum inconcussum yang murni ilmu pengetahuan. Ia
menemukannya dalam subjektivitas transendental (Sugiharto,
1996). Eksistensialisme terutama merupakan hasil pemikiran
Soren Kierkegaard. Ia dikenal banyak orang sebagai penentang
materialisme ataupun idealisme. Keterangan ini, meskipun tidak
salah, juga tidak sepenuhnya benar. Ia memiliki ciri “pribadi”
bahwa manusia mengerti, berkehendak, dan berkarsa bebas, serta
memiliki paham kesusilaan dan berupaya membangun
kebudayaannya sendiri. Secara etimologis eksistensialisme berarti
berdiri atau berada di (ke) luar. Eks berarti ke (di) luar, dan
(s)istens berarti menempatkan atau berdiri. Oleh karena itu, hana
manusialah yang dpat bereksistensi, sedangkan binatang atau
organisasi tidak. Apabila benda dan binatang “berada diluar” maka
manusia “mengada disini” atau “mengada disitu”,
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala hal
berpangkal pada eksistensinya. Artinya bahwa eksistensialisme
merupakan cara manusia berada, atau lebih tepatnya mengada, di
dunia ini. Jadi, hal yang bereksistensi itu hanyalah manusia.
Adanya benda danadanya manusia jelas berbeda.
5. Zaman Pascamodernisme
“pascamodernisme” muncul dalam konteks yang luas, dari wacana
akademik sampai susunan kata yang singkat dalam sebuah iklan.
Maknanya berbeda dalam koneks yang bermacam-macam, seperti
“floating signifier” Levi-Strauss; tidak banyak mengekspresikan suatu
nilai dan tetap membuka ruang bagi ekspresi yang luas. Kapasitas
“pascamodern” yang demikian luas menyangkut ruang lingkup
perubahan kultural. Secara etimologis postmodernisme terbagi menjadi
dua kata, post dan modern. Kata post dalam Webste’s Dictionary
Library adalah prefik, diartikan dengan “later or after”. Bila kita
menyatukannya menjadi post modern maka akan berarti sebagai
koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab

22
pertanyaan – pertanyaan yang tidak terjawab di zaman modern yang
muncul karena adanya modernitas itu sendiri. Sedangkan secara
terminologi menurut tokoh dari post modern, Pauline Rosenau (1992)
mendefinisikan postmodern secara gamblang dalam istilah yang
berlawanan antara lain: pertama, post modernisme merupakan kritik
atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji – janjinya.
Juga pstmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang
diasosiasikan dengan modernitas. Yaitu pada akumulasi pengalaman
peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi,
negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka
meragukan prioritas–prioritas modern seperta karier, jabatan, tanggung
jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme,
egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur
netral,peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi
postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan
pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Postmodern pertama kali muncul di Prancis sekitar tahun 1970an. Pada
awalnya postmodern lahir terhadap kritik arsitektur, dan harus kita
akui kata postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian modernitas.
Benih posmo pada awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles
Jencks dengan bukunya “The Language of Postmodern” . Architecture
(1975) menyebut postmodern sebagai upaya untuk mencari pluralisme
gaya arsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu gaya. Pada sore
hari di bulan juli 1972, bangunan yang mana melambangkan
kemodernisasian di ledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini
menandai kematian modern dan menandakan kelahiran posrmodern.
Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam modern
tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu tetapi lebih
merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal modern.
Postmodern ini merupakan sebuah kritik atas realitas modernitas yang
dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahan. Nafas
utama dari posmodern adalah penolakan atas narasi – narasi besar yang
muncul pada dunia modern dengan ketunggalan gangguan terhadap
akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi – narasi kecil, lokal,
tersebar dan beraneka ragam untuk untuk bersuara dan menampakkan
dirinya. Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif,
kenyataan atau realita adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk
yang tidak bersambungan satu sama lain. Dalam postmodernisme,
pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh
relativisme. Kenyataan tidak lebih dari konstruk sosial, kebenaran

23
disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan. Akhirnya, pemikiran
postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan,
termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan sosiologi.
Postmodern akhiryna menjadi kritik kebudayaan atas modernita. Apa
yang dibanggakan oleh pikiran modern sekarang dikutuk dan apa yang
dulu dianggap rendah sekarang justru dihargai. (Gusstiawan Raimanu,
2015)

24
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Sepanjang sejarah filsafat, filsafat Barat mula-mula dikembangkan
oleh Thales (600 SM), bentuk penyampaiannya tidak secara langsung
melalui tulisan. Filsafat Timur dikenal melalui Wedda di India, pada
tahun yang diperkirakan sama dengan filsafat Barat di Yunani.
Demikian pula di Asia Tenggara, filsafat Timur dibangun oleh
Sidharta Gautama. Ia kelahiran India, tetapi hidup dan
mengembangkan pemikirannya di Asia Tenggara. Sementara di Asia
Timur, Cina, filsafat dibangun oleh Khing Hu Tzu atau Confucius
(551-479 SM); atau Kore da Jepang (Tao).
2. Phytagoras dianggap sebagai orang pertama yang membawa filsafat ke
Yunani. Namun demikian, orang pertama yang digelari filosof adalah
Thales (sekitar abad ke-6 S.M) dari Mileta karena dia-lah yang
pertama kali menjelaskan asal-usul dunia yang terlepas dari
kepercayaan akan mitos-mitos kuno.
3. Perkembangan filsafat berdasarkan periodisasinya terdapat 5 periode,
yaitu;
a) Zaman yunani kuno
b) Zaman pertengahan
c) Zaman pencerahan
d) Zaman modern
e) Zaman pascamodern

25
DAFTAR PUSTAKA

Handoko, 2015. Filsafat, Sebuah Pengantar. Universitas Andalas: Sumatra Barat

Raimanu, Gusstiawan. 2015. Pengertian dan Sejarah Filsafat. Universitas


Tadulako: Sulawesi Tengah

26

Anda mungkin juga menyukai