Anda di halaman 1dari 62

1.

ETIKA SEBAGAI CABANG FILSAFAT


Tugas Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah : Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu : Indria Mulyaningsih, M.Pd

Maksufi Alwi
Nim : 14123341231

AQIDAH FILSAFAT ADAB DAKWAH USHULUDIN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2012
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada dewasa ini terlihat gejala-gejala kemerosotan etika. Cara pasti kiranya agak sukar
menentukan faktor penyebabnya. Kata-kata etika, tidak hanya terdengar dalam ruang kuliah
saja bdan tidak hanya menjadi monopoli kaum cendikiawan. Diluar kalangan intelektual pun
sering disinggung tentang hal-hal seperti itu. Jika seseorang membaca surat kabar atau
majalah, hampir setiap hari ditemui kata-kata etika. Berulang kali dibaca kalimat-kalimat
semacam ini. Dalam dunia bisnis etika semakin merosot. Di televisi akhir-akhir ini banyak
iklan yang kurang memerhatikan etika. Bahkan dalam pidato para pejabat pemerintah kata
etika banyak digunakan, tetapi kenyataaannya masih banyak pejabat justru melanggar etika.
Etika merupakan yang berbicara nilai etika dan norma etika, membicarakan perilaku
manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan kritis
dalam melihat nilai etika dan mengenai norma etika. Etika merupakan sebuah refleksi kritis
dan rasional mengenai nilai etika dan pola perilaku hidup manusia. Etika membicarakan soal
nilai yang merupakan salah satu dari cabang filsafat. Etika bermaksud membantu manusia
untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung jawabkan karena setiap tindakannya
selalu dipertanggung jawabkan.
Etika sebagai cabang filsafat merupkan sebuah peranan seperti halnya agama, politik,
bahasa, dan ilmu-ilmu pendukung yang telah ada sejak dahulu kala dan diwariskan secara
turun temurun. Etika sebagai cabang filsafat menjadi refleksi krisis terhadap tingkah laku
manusia, maka etika tidak bermaksud untuk membuat orang bertindak sesuatu dengan
tingkah laku bagus saja. Ia harus bertindak berdasarkan pertimbangan akal sehat, apakah
bertentangan atau membangun tingkah laku baik.
Dalam hal ini akan mencoba memberikan alternatif pemecahan dengaan membahas
tentang “Etika Sebagai Cabang Filsafat”.

B.    Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan
makalah ini adalah:
Bagaimana etika menjadi suatu cabang filsafat?

C.    Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui bagaimana etika menjadi suatu cabang filsafat.

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan antara satu ahli
filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan hampir sama banyaknya dengan ahli
filsafat itu sendiri. Menurut Surajiyo Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni
secara etimologi dan terminologi. (Surajiyo: 2010)
1.       Arti Secara Etimologi
Filsafat dari kata philo yang berarti cinta dan kata sophos yang berarti ilmu atau
hikmah. Secara etimologi filsafat berarti cinta terhadap ilmu dan hikmah. Dalam hubungan
ini al-Syabani berpendapat, bahwa filsafat bukanlah hikmah melainkan cinta terhadap hikmah
dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif
terhadapnya. Untuk itu ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia.
2.       Arti Secara Terminologi
Menurut istilah (terminologi) filsafat adalah cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkan falsafah Islam, memusatkan perhatian pada falsafah Islam dan menciptakan
sikap positif terhadap falsafah Islam. Filsafah Islam merupakan medan pemikiran yang terus
berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat
islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah
memahami proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian tematik atas
persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman. Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua
sagi, yaitu:
1.   Segi semantik: filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. Dari bahasa Yunani
yaitu philosophia, yaitu pengetahuan hikmah (wisdom). Jadi, philosophia berarti cinta
pengetahuan, kebijaksanaan dan kebenaran. Maksudnya ialah orang menjadikan pengetahuan
sebagai tujuan hidupnya dan mengabadikan dirinya kepada pengetahuan.
2.   Segi praktis, filsafat yaitu alam pikiran artinya berfilsafat itu berpikir. Orang yang berpikir
tentang filsafat disebut filosof, yaitu orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan
sungguh-sungguh di dalam tugasnya. Filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari
dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Jadi, filsafat adalah ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. (M. Yatimin
Abdullah: 2006)
Dalam pengertian lain Burhanuddin Salam (2009) dalam pengantar
filsafatnya  mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit dan dalam arti yang luas.
Dalam arti yang sempit, filsafat diartikan suatu ilmu yang berhubungan dengan metode logis
atau analisis logika bahasa dan makna-makna, filsafat diartikan sebagai “Science of science”,
di mana tugas utamanya memberikan analisis kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-
konsep ilmu, dan mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam
pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia dari
berbagai lapangan pengalaman manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan
yang komprehensif tentang alam semesta, hidup dan makna hidup.
Selanjutnya beliau secara singkat mengemukakan makna daripada filsafat, yaitu:
1)   Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta;
2)   Filsafat ialah suatu metode berpikir reflektif, dan penelitian penalaran;
3)   Filsafat ialah suatu perangkat masalah-masalah;
4)   Filsafat ialah seperangkat teori dan sistem berpikir. (Burhanuddin Salam: 2009)
Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan gabungan dari dua kata, yakni
“philo” yang berarti “cinta” dan “sophos” yang berarti “kebijaksanaan”. Dengan demikian,
secara etimologi filsafat mempunyai arti “cinta akan kebijaksanaan” (love of wisdom).
(Muhamad Mufid: 2009) Jadi, menurut namanya, filsafat boleh diartikan ingin mencapai
pandai, cinta kepada kebijaksanaan. (M. Ahmad Syadalim: 1999) Kata filsafat petama kali
digunakan oleh pythagoras (582-496 SM). Arti filsafat pada saat itu belum jelas, kemudian
pengertian filsafat itu diperjelas seperti halnya yang banyak dipakai sekarang ini oleh para
kaum sophist dan juga oleh Socrates (470-399 SM). (Surajiyo: 2010)   Dari berbagai
pengertian di atas Yatimin Abdullah (2006) melihat pengertian filsafat dari segi istilah,
berarti juga melihat filsafat dari segi definisinya. adapun definisi ilmu filsafat yang diberikan
oleh para ahli filsafat adalah sebagai berikut:
1.       Plato (427 SM-347 SM) Mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang segala yang
ada (ilmu pengatahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli),
2.       Aristoteles (384 SM-322 SM) Mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang mengikuti
kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan etistika.
3.       Al-Farabi (889-950 M) Mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud
dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
4.       Immanuel Kant (1724-1804 M) Mengatakan filssafat ialah ilmu pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu Tuhan, alam, pikiran dan
manusia.
5.       Prancis Bacon Mengatakan filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu dan filsafat
menangani semua pengatahuan sebagai bidanngnya.
6.       John Dewey mengatakan filsafat harus dipandang sebagai suatuu pengungkapan menggenai
penjuangan manusia secara terus-menerus.
Perbedaan definisi itu menurut Ahmad Tafsir (1992) disebabkan oleh berbedanya
konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbadaan keyakinan hidup yang dianut mereka.
Perbadaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan
beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat. Sampai di sini dapat diambil
kesimpulan bahwa perbadaan definisi filsafat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya
disebabkan oleh perbadaan konotasi filsafat pada mereka masing-masing.
Berfilsafat adalah berpikir, namun tidak semua berpikir adalah berfilsafat. Berpikir
dikatakan berfilsafat, apabila berpikir tersebut memiliki tiga ciri utama, yaitu: radikal,
sistematik, dan universal.
Berpikir radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akar persoalan, berpikir terhadap
sesuatu dalam bingkai yang tidak tanggung-tanggung, sampai kepada konsekueisinya yang
terakhir. Berpikir sistematik, artinya berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah
(step by steep) dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang bertanggung jawab. Berpikir
unifersal, artinya berpikir secara menyeluruh, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu,
tetapi mencakup keseluruhan aspek yang konkret dan absrtak atau yang fisik dan metafisik.
(Cecep: 2008)
B.    Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu yang ada dan
yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:

1.     Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata,


2.     Kosmologia yaitu kajian tentang alam,
3.     Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan tepat,
4.     Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia,
5.     Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,
6.     Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.
    Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat.
Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut
kian meluas dan berkambang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas dari
filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai
bagian dalam pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.
(Alfan: 2011)
    Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti indera bersama, estimasi
dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide
dari alam sekelilingnya. Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah
dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika ia berpisah dengan
badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam
keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina memberi petunjuk dalam
pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut
menjadi konsep ilmu etika.
    Ibn Khaldun dalam melihat manusia mendasarkan pada asumsi-asumsi kemanusiaan
yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat sebagai
mekhluk berpikir. Oleh karena itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga
menaruh perhatian pada berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses
semacam ini melahirkan peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn Khaldun tampak bahwa
manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakla ia
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukan tentang perlunya pembinaan
manusia, termasuk dalam membina etika. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam
pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan
merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, dan berkomunikasi
dengannya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam
menciptakan kehidupan yang aman dan damai (M. Yatimin Abdullah: 2006).
Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan untuk
memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika
memiliki objek yang sama dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan
manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya
berdasarkan pikiran. (Yatimin: 2006) Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu,
jika memikirkan etika jadilah filsafat etika. (Ahmad Tafsir: 2005)
C.    Etika Sebagai Ciri Khas Filsafat
      Etika filsafat merupakan ilmu penyelidikan bidang tingkah laku manusia yaitu menganai
kewajiban manusia, perbuatan baik buruk dan merupakan ilmu filsafat tentang perbuatan
manusia. Banyak perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik atau buruk, tetapi tidak
semua perbuatan yang netral dari segi etikanya. Contoh, bila di pagi hari saya menganakan
lebih dulu sepatu kanan dan kemudian sepatu kiri, perbuatan itu tidak mempunyai hubungan
baik atau buruk. Boleh saja sebaliknya, sepatu kiri dulu baru kemudian sepatu kanan. Cara itu
baik dari sudut efisiensi atau lebih baik karena cocok dengan motorik saya, tetapi cara
pertama atau kedua tidak lebih baik atau lebih buruk dari sudut etika. Perbuatan itu boleh
disebut tidak mempunyai relevansi etika
      Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa manusia mempunyai perasaan etika
yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai
kewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Etika filsafat
merupakan suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada
pengertiannya mengenai baik dan buruk. Etika sebagai cabang filsafat sebenarnya yang
membedakan manusia daripada makhluk Tuhan lainnya dan menempatkannya bila telah
menjadi tertib pada derajat di atas mereka. (M. Yatimin Abdullah: 2006).
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Mohamad Mufid: 2009 bahwa etika sering
disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan
manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau
benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-
kewajiban manusia. Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau
bertindak.
Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong manusia untuk
mengambil sikap terhadap semuah norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia mencapai
kesadaran moral yang otonom.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan antara etika
deskriptif dan etika normatif.
1.   Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran dan penngalaman
moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertitik pangkal pada kenyataan bahwa terdapat
beragam fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Etika
deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman
moral dalam suatu kultur tertentu. Etika deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu:
a.      Sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral yang pernah
berlaku dalam kehidupan manusia dalam kurun waktu dan tempat tertentu.
b.     Fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari beragam
fenomena ysng ada. Fenomenologi moral berkepentingan untuk menjelaskan fenomena moral
yang terjadi masyarakat. Ia tidak memberikan petunjuk moral dan tidak mempersalahkan apa
yang salah.

2.   Etika Normatif
Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang
dapat dipakai untuk menanggapi menilai perbuatan. Etika ini dapat menjelaskan tentang nilai-
nilai yang seharusnya dilakukan serta memungkinkan manusia untuk mengukur tentang apa
yang terajdi.
Etika normatif menagandung dua bagian besar, yaitu: pertama membahas tentang teori
nilai (theory of value) dan teori keharusan (theory of obligation). Kedua, membahas tentang
etika teologis dan etika deontelogis. Teori nilai mempersoalkan tentang sifat kebaikan,
sedangkan teorin keharusan membahas tingkah laaku. Sedangkan etika teolog berpendapat
bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun deontologis
berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi
dorongan dari tindakan itu, atau ditetukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu. (Muhammad In’am
Esha, 2010)
Ciri khas etika filsafat itu dengan jelas tampak juga pada perbuatan baik-buruk, benar-
salah, tetepi diantara cabang-cabang ilmu filsafat mempunyai suatu kedudukan tersendiri.
Ada banyak cabang filsafat, seperti filsafat alam, filsafat sejarah, filsafat kesenian, filsafat
hukum, dan filsafat agama. Sepintas lalu rupanya etika filsafat juga menyelidiki suatu bidang
tertentu, sama halnya seperti cabang-cabang filsafat yang disebut tadi. Semua cabang filsafat
berbicara tentang yang ada, sedangkan etika filsafat membahas yang harus dilakukan. Karena
itu etika filsafat tidak jarang juga disebut praktis karena cabang ini langsung berhubungan
dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.
Perlu diakui bahwa etika sebagai cabang filsafat, mempunyai batasan-batasan juga.
Contoh, mahasiswa yang memperoleh nilai gemilang untuk ujian mata kuliah etika, belum
tentu dalam perilakunya akan menempuh tindakan-tindakan yang paling baik menurut etika,
malah bisa terjadi nilai yang bagus itu hanya sekedar hasil nyontek, jadi hasil sebuah
perbuatan yang tidak baik (M. Yatim Abdullah: 2006).
D.    Hakikat Etika Filsafat
Etika filsafat sebagai  cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan seseorang dalam hidup
sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan unsur-unsur tingkah laku dalam pendapat-pendapat
secara sepontan. Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan antara lain karena pendapat etik tidak
jarang berbeda dengan pendapat orang lain.
Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang
tingkah laku manusia dari sudut norma-norma susila atau dari sudut baik atau buruk. Dari
sudut pandang normatif, etika filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan
manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah laku manusia.
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal sebagai salah
satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat yunani kuno etika filsfat sudah
terbentuk terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu,
tetapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang didasarkan
pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat
emperis, karena seluruhna berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman inderawi) yaitu
apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari observasi
terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran
hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan
ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat
berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat
konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.
Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan bahwa pengetahuan bener
tentang bidang etika secara otomatis akan disusun oleh perilaku yang benar juga. Itulah
ajaran terkenal dari sokrates yang disebut Intelektualisme Etis. Menurut sokrates orang yang
mempunyai pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang yang
berbuat jahat, dilakukan karena tidak ada pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika.
Makanya ia berbuat jahat.
Kalau dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit untuk dipertahankan. Bila
orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika, belum terjamin perilakunya
baik. Disini berbeda dari pengalaman ilmu pasti. Orang-orang yang hampir yang tidak
mendapat pendidikan di sekolah, tetapi selalu hidup dengan perilaku baik dengan sangat
mengagumkan. Namun demikian, ada kebenarannya juga dalam pendapat sokrates tadi,
pengethuan tentang etika merupakan suatu unsur penting, supaya orang dapat mencapai
kematangan perilaku yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika dapat
memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk
menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat.
Etika filsafat  juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan resep-resep yang siap
pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk yang dapat dikonsultasikan untuk mengatasi
kesulitan etika buruk yang sedang dihadapi. Etika filsafat merupakan suatu refleksi tentang
teman-teman yang menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semuah orang dapat
menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma,
hak, kewajiban, dan keutamaan.
Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika filsafat tidak mempunyai nama
harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang saja, karena membahas hal-hal yang
abstrak dan kurang releven  untuk hidup sehari-hari. Banyak uraian etika filsafat dianggap
tidak jauh dari kenyataan sesungguhnya. Itulah hakikat filsafat mengenai etika. Disini tidak
perlu diselidiki sampai dimana prasangka itu mengandung kebenaran. Tetapi setidak-
tidaknya  tentang etika sebagai cabang filsafat  dengan mudah dapat disebut dan disetujui
relevansinya bagi banyak persoalan yang dihadapi umat manusia. (M. Yatimin Abdullah:
2006) 
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan
ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara
kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan).
Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan
dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan
kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral
adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-
norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakkan
manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran
tertentu dan terbatas. (Surajiyo: 2005)

KESIMPULAN

Setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:


Filsafat adalah ilmu istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak
dapat di jawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah tersebut di luar
jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1.   Segi semantik, perkataan filsafat berasal dari kata Arab dan Yunani, yaitu falsafah dan
philosophia.
2.   Segi praktis, dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam
berpikir.
Dan juga dapat diketahui bahwa etika itu merupakan sebagai ilmu pengatahuan yang
berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan
baik dan buruk. Etika dapat mengantar orang kepada kemampuan untuk bersikap kritis dan
rasional, untuk membantu pendapatnya sendiri dan tidak bertindak sesuai dengan apa yang
dipertanggungjawabkannya sendiri.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika dibedakan antara etika
deskriptif dan etika normatif.
1.  Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran dan pengalaman moral
secara deskriptif. Etika deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu: sejarah moral dan fenomenologi
moral
2.   Etika Normatif
Etika normatif menjelaskan tentang nilai-nilai yang seharusnya dilakukan serta memunginkan
manusia untuk mengatur tentang apa yang terjadi.
Etika normatif mengandung dua bagian besar, yaitu:
a.   Membahas tentang teori nilai (theory of vale)
b.   Teori keharusan (theory of obligation).

DAFTAR PUSTAKA
Alfan, Muhammad. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung. Pustaka Setia.
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Studi Etika. Jakarta. Rajawali Perss.
Esha, Muhammad In’am. 2010. Menuju Pemikiran Filsafat. Jakarta. Maliki Perss.
Mufid, Muhamad. 2009. Etika Filsafat Komunikasi. Jakarta. Kencana.
Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung. Mulia Pers.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat. Jakarta. Bumi Aksara.
______. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta. Bumi Aksara.
Syadalim, M. Ahmad. 1999. Filsafat Umum. Jakarta. Pustaka Setia
Tafsir, Ahmad. 1992. Filsafat Umum. Bandung. Remaja Rosdakarya.
___________. 2005. Filsafat Ilmu. Bandung. Bumi Aksara.

Diposkan 6th December 2012 oleh maksufi-blog


  


Tambahkan komentar
2.
DEC
6
Diposkan 6th December 2012 oleh maksufi-blog
  


Tambahkan komentar
3.
DEC
6

Diposkan 6th December 2012 oleh maksufi-blog


  


Tambahkan komentar
4.
DEC
6

ETIKA SEBAGAI CABANG ILSAFAT

                                                
ETIKA SEBAGAI CABANG FILSAFAT
Tugas Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah : Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu : Indria Mulyaningsih, M.Pd
Maksufi Alwi
Nim : 14123341231

AQIDAH FILSAFAT ADAB DAKWAH USHULUDIN


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2012
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada dewasa ini terlihat gejala-gejala kemerosotan etika. Cara pasti kiranya agak sukar
menentukan faktor penyebabnya. Kata-kata etika, tidak hanya terdengar dalam ruang kuliah
saja bdan tidak hanya menjadi monopoli kaum cendikiawan. Diluar kalangan intelektual pun
sering disinggung tentang hal-hal seperti itu. Jika seseorang membaca surat kabar atau
majalah, hampir setiap hari ditemui kata-kata etika. Berulang kali dibaca kalimat-kalimat
semacam ini. Dalam dunia bisnis etika semakin merosot. Di televisi akhir-akhir ini banyak
iklan yang kurang memerhatikan etika. Bahkan dalam pidato para pejabat pemerintah kata
etika banyak digunakan, tetapi kenyataaannya masih banyak pejabat justru melanggar etika.
Etika merupakan yang berbicara nilai etika dan norma etika, membicarakan perilaku
manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan kritis
dalam melihat nilai etika dan mengenai norma etika. Etika merupakan sebuah refleksi kritis
dan rasional mengenai nilai etika dan pola perilaku hidup manusia. Etika membicarakan soal
nilai yang merupakan salah satu dari cabang filsafat. Etika bermaksud membantu manusia
untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggung jawabkan karena setiap tindakannya
selalu dipertanggung jawabkan.
Etika sebagai cabang filsafat merupkan sebuah peranan seperti halnya agama, politik,
bahasa, dan ilmu-ilmu pendukung yang telah ada sejak dahulu kala dan diwariskan secara
turun temurun. Etika sebagai cabang filsafat menjadi refleksi krisis terhadap tingkah laku
manusia, maka etika tidak bermaksud untuk membuat orang bertindak sesuatu dengan
tingkah laku bagus saja. Ia harus bertindak berdasarkan pertimbangan akal sehat, apakah
bertentangan atau membangun tingkah laku baik.
Dalam hal ini akan mencoba memberikan alternatif pemecahan dengaan membahas
tentang “Etika Sebagai Cabang Filsafat”.

B.    Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan
makalah ini adalah:
Bagaimana etika menjadi suatu cabang filsafat?

C.    Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penulisan makalah ini adalah
untuk mengetahui bagaimana etika menjadi suatu cabang filsafat.

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan antara satu ahli
filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan hampir sama banyaknya dengan ahli
filsafat itu sendiri. Menurut Surajiyo Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni
secara etimologi dan terminologi. (Surajiyo: 2010)
1.       Arti Secara Etimologi
Filsafat dari kata philo yang berarti cinta dan kata sophos yang berarti ilmu atau
hikmah. Secara etimologi filsafat berarti cinta terhadap ilmu dan hikmah. Dalam hubungan
ini al-Syabani berpendapat, bahwa filsafat bukanlah hikmah melainkan cinta terhadap hikmah
dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif
terhadapnya. Untuk itu ia mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia.
2.       Arti Secara Terminologi
Menurut istilah (terminologi) filsafat adalah cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkan falsafah Islam, memusatkan perhatian pada falsafah Islam dan menciptakan
sikap positif terhadap falsafah Islam. Filsafah Islam merupakan medan pemikiran yang terus
berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, diperlukan pendekatan historis terhadap filsafat
islam yang tidak hanya menekankan pada studi tokoh, tetapi yang lebih penting lagi adalah
memahami proses dialektik pemikiran yang berkembang melalui kajian-kajian tematik atas
persoalan-persoalan yang terjadi pada setiap zaman. Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua
sagi, yaitu:
1.   Segi semantik: filsafat berasal dari bahasa Arab yaitu falsafah. Dari bahasa Yunani
yaitu philosophia, yaitu pengetahuan hikmah (wisdom). Jadi, philosophia berarti cinta
pengetahuan, kebijaksanaan dan kebenaran. Maksudnya ialah orang menjadikan pengetahuan
sebagai tujuan hidupnya dan mengabadikan dirinya kepada pengetahuan.

2.   Segi praktis, filsafat yaitu alam pikiran artinya berfilsafat itu berpikir. Orang yang berpikir
tentang filsafat disebut filosof, yaitu orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu dengan
sungguh-sungguh di dalam tugasnya. Filsafat merupakan hasil akal manusia yang mencari
dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Jadi, filsafat adalah ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu. (M. Yatimin
Abdullah: 2006)
Dalam pengertian lain Burhanuddin Salam (2009) dalam pengantar
filsafatnya  mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit dan dalam arti yang luas.
Dalam arti yang sempit, filsafat diartikan suatu ilmu yang berhubungan dengan metode logis
atau analisis logika bahasa dan makna-makna, filsafat diartikan sebagai “Science of science”,
di mana tugas utamanya memberikan analisis kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-
konsep ilmu, dan mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam
pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia dari
berbagai lapangan pengalaman manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan
yang komprehensif tentang alam semesta, hidup dan makna hidup.
Selanjutnya beliau secara singkat mengemukakan makna daripada filsafat, yaitu:
1)   Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta;
2)   Filsafat ialah suatu metode berpikir reflektif, dan penelitian penalaran;
3)   Filsafat ialah suatu perangkat masalah-masalah;
4)   Filsafat ialah seperangkat teori dan sistem berpikir. (Burhanuddin Salam: 2009)
Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan gabungan dari dua kata, yakni
“philo” yang berarti “cinta” dan “sophos” yang berarti “kebijaksanaan”. Dengan demikian,
secara etimologi filsafat mempunyai arti “cinta akan kebijaksanaan” (love of wisdom).
(Muhamad Mufid: 2009) Jadi, menurut namanya, filsafat boleh diartikan ingin mencapai
pandai, cinta kepada kebijaksanaan. (M. Ahmad Syadalim: 1999) Kata filsafat petama kali
digunakan oleh pythagoras (582-496 SM). Arti filsafat pada saat itu belum jelas, kemudian
pengertian filsafat itu diperjelas seperti halnya yang banyak dipakai sekarang ini oleh para
kaum sophist dan juga oleh Socrates (470-399 SM). (Surajiyo: 2010)   Dari berbagai
pengertian di atas Yatimin Abdullah (2006) melihat pengertian filsafat dari segi istilah,
berarti juga melihat filsafat dari segi definisinya. adapun definisi ilmu filsafat yang diberikan
oleh para ahli filsafat adalah sebagai berikut:
1.       Plato (427 SM-347 SM) Mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang segala yang
ada (ilmu pengatahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli),
2.       Aristoteles (384 SM-322 SM) Mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang mengikuti
kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan etistika.
3.       Al-Farabi (889-950 M) Mengatakan filsafat ialah ilmu pengetahuan tentang alam maujud
dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
4.       Immanuel Kant (1724-1804 M) Mengatakan filssafat ialah ilmu pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu Tuhan, alam, pikiran dan
manusia.
5.       Prancis Bacon Mengatakan filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu dan filsafat
menangani semua pengatahuan sebagai bidanngnya.
6.       John Dewey mengatakan filsafat harus dipandang sebagai suatuu pengungkapan menggenai
penjuangan manusia secara terus-menerus.
Perbedaan definisi itu menurut Ahmad Tafsir (1992) disebabkan oleh berbedanya
konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbadaan keyakinan hidup yang dianut mereka.
Perbadaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan
beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat. Sampai di sini dapat diambil
kesimpulan bahwa perbadaan definisi filsafat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya
disebabkan oleh perbadaan konotasi filsafat pada mereka masing-masing.
Berfilsafat adalah berpikir, namun tidak semua berpikir adalah berfilsafat. Berpikir
dikatakan berfilsafat, apabila berpikir tersebut memiliki tiga ciri utama, yaitu: radikal,
sistematik, dan universal.
Berpikir radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akar persoalan, berpikir terhadap
sesuatu dalam bingkai yang tidak tanggung-tanggung, sampai kepada konsekueisinya yang
terakhir. Berpikir sistematik, artinya berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah
(step by steep) dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang bertanggung jawab. Berpikir
unifersal, artinya berpikir secara menyeluruh, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu,
tetapi mencakup keseluruhan aspek yang konkret dan absrtak atau yang fisik dan metafisik.
(Cecep: 2008)
B.    Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu yang ada dan
yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:

1.     Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata,


2.     Kosmologia yaitu kajian tentang alam,
3.     Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan tepat,
4.     Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia,
5.     Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,
6.     Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.
    Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat.
Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut
kian meluas dan berkambang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas dari
filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai
bagian dalam pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.
(Alfan: 2011)
    Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti indera bersama, estimasi
dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide
dari alam sekelilingnya. Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah
dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika ia berpisah dengan
badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam
keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina memberi petunjuk dalam
pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut
menjadi konsep ilmu etika.
    Ibn Khaldun dalam melihat manusia mendasarkan pada asumsi-asumsi kemanusiaan
yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat sebagai
mekhluk berpikir. Oleh karena itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga
menaruh perhatian pada berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses
semacam ini melahirkan peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn Khaldun tampak bahwa
manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakla ia
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukan tentang perlunya pembinaan
manusia, termasuk dalam membina etika. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam
pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan
merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, dan berkomunikasi
dengannya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam
menciptakan kehidupan yang aman dan damai (M. Yatimin Abdullah: 2006).
Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan untuk
memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika
memiliki objek yang sama dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan
manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya
berdasarkan pikiran. (Yatimin: 2006) Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu,
jika memikirkan etika jadilah filsafat etika. (Ahmad Tafsir: 2005)
C.    Etika Sebagai Ciri Khas Filsafat
      Etika filsafat merupakan ilmu penyelidikan bidang tingkah laku manusia yaitu menganai
kewajiban manusia, perbuatan baik buruk dan merupakan ilmu filsafat tentang perbuatan
manusia. Banyak perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik atau buruk, tetapi tidak
semua perbuatan yang netral dari segi etikanya. Contoh, bila di pagi hari saya menganakan
lebih dulu sepatu kanan dan kemudian sepatu kiri, perbuatan itu tidak mempunyai hubungan
baik atau buruk. Boleh saja sebaliknya, sepatu kiri dulu baru kemudian sepatu kanan. Cara itu
baik dari sudut efisiensi atau lebih baik karena cocok dengan motorik saya, tetapi cara
pertama atau kedua tidak lebih baik atau lebih buruk dari sudut etika. Perbuatan itu boleh
disebut tidak mempunyai relevansi etika
      Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa manusia mempunyai perasaan etika
yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai
kewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Etika filsafat
merupakan suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada
pengertiannya mengenai baik dan buruk. Etika sebagai cabang filsafat sebenarnya yang
membedakan manusia daripada makhluk Tuhan lainnya dan menempatkannya bila telah
menjadi tertib pada derajat di atas mereka. (M. Yatimin Abdullah: 2006).
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Mohamad Mufid: 2009 bahwa etika sering
disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan
manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau
benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-
kewajiban manusia. Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau
bertindak.
Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong manusia untuk
mengambil sikap terhadap semuah norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia mencapai
kesadaran moral yang otonom.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan antara etika
deskriptif dan etika normatif.
1.   Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran dan penngalaman
moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertitik pangkal pada kenyataan bahwa terdapat
beragam fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Etika
deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman
moral dalam suatu kultur tertentu. Etika deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu:
a.      Sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral yang pernah
berlaku dalam kehidupan manusia dalam kurun waktu dan tempat tertentu.
b.     Fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari beragam
fenomena ysng ada. Fenomenologi moral berkepentingan untuk menjelaskan fenomena moral
yang terjadi masyarakat. Ia tidak memberikan petunjuk moral dan tidak mempersalahkan apa
yang salah.

2.   Etika Normatif
Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang
dapat dipakai untuk menanggapi menilai perbuatan. Etika ini dapat menjelaskan tentang nilai-
nilai yang seharusnya dilakukan serta memungkinkan manusia untuk mengukur tentang apa
yang terajdi.
Etika normatif menagandung dua bagian besar, yaitu: pertama membahas tentang teori
nilai (theory of value) dan teori keharusan (theory of obligation). Kedua, membahas tentang
etika teologis dan etika deontelogis. Teori nilai mempersoalkan tentang sifat kebaikan,
sedangkan teorin keharusan membahas tingkah laaku. Sedangkan etika teolog berpendapat
bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun deontologis
berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi
dorongan dari tindakan itu, atau ditetukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu. (Muhammad In’am
Esha, 2010)
Ciri khas etika filsafat itu dengan jelas tampak juga pada perbuatan baik-buruk, benar-
salah, tetepi diantara cabang-cabang ilmu filsafat mempunyai suatu kedudukan tersendiri.
Ada banyak cabang filsafat, seperti filsafat alam, filsafat sejarah, filsafat kesenian, filsafat
hukum, dan filsafat agama. Sepintas lalu rupanya etika filsafat juga menyelidiki suatu bidang
tertentu, sama halnya seperti cabang-cabang filsafat yang disebut tadi. Semua cabang filsafat
berbicara tentang yang ada, sedangkan etika filsafat membahas yang harus dilakukan. Karena
itu etika filsafat tidak jarang juga disebut praktis karena cabang ini langsung berhubungan
dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.
Perlu diakui bahwa etika sebagai cabang filsafat, mempunyai batasan-batasan juga.
Contoh, mahasiswa yang memperoleh nilai gemilang untuk ujian mata kuliah etika, belum
tentu dalam perilakunya akan menempuh tindakan-tindakan yang paling baik menurut etika,
malah bisa terjadi nilai yang bagus itu hanya sekedar hasil nyontek, jadi hasil sebuah
perbuatan yang tidak baik (M. Yatim Abdullah: 2006).
D.    Hakikat Etika Filsafat
Etika filsafat sebagai  cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan seseorang dalam hidup
sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan unsur-unsur tingkah laku dalam pendapat-pendapat
secara sepontan. Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan antara lain karena pendapat etik tidak
jarang berbeda dengan pendapat orang lain.
Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang
tingkah laku manusia dari sudut norma-norma susila atau dari sudut baik atau buruk. Dari
sudut pandang normatif, etika filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan
manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah laku manusia.
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal sebagai salah
satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat yunani kuno etika filsfat sudah
terbentuk terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu,
tetapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang didasarkan
pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat
emperis, karena seluruhna berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman inderawi) yaitu
apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari observasi
terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran
hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan
ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat
berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat
konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.
Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan bahwa pengetahuan bener
tentang bidang etika secara otomatis akan disusun oleh perilaku yang benar juga. Itulah
ajaran terkenal dari sokrates yang disebut Intelektualisme Etis. Menurut sokrates orang yang
mempunyai pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang yang
berbuat jahat, dilakukan karena tidak ada pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika.
Makanya ia berbuat jahat.
Kalau dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit untuk dipertahankan. Bila
orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika, belum terjamin perilakunya
baik. Disini berbeda dari pengalaman ilmu pasti. Orang-orang yang hampir yang tidak
mendapat pendidikan di sekolah, tetapi selalu hidup dengan perilaku baik dengan sangat
mengagumkan. Namun demikian, ada kebenarannya juga dalam pendapat sokrates tadi,
pengethuan tentang etika merupakan suatu unsur penting, supaya orang dapat mencapai
kematangan perilaku yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika dapat
memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk
menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat.
Etika filsafat  juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan resep-resep yang siap
pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk yang dapat dikonsultasikan untuk mengatasi
kesulitan etika buruk yang sedang dihadapi. Etika filsafat merupakan suatu refleksi tentang
teman-teman yang menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semuah orang dapat
menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma,
hak, kewajiban, dan keutamaan.
Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika filsafat tidak mempunyai nama
harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang saja, karena membahas hal-hal yang
abstrak dan kurang releven  untuk hidup sehari-hari. Banyak uraian etika filsafat dianggap
tidak jauh dari kenyataan sesungguhnya. Itulah hakikat filsafat mengenai etika. Disini tidak
perlu diselidiki sampai dimana prasangka itu mengandung kebenaran. Tetapi setidak-
tidaknya  tentang etika sebagai cabang filsafat  dengan mudah dapat disebut dan disetujui
relevansinya bagi banyak persoalan yang dihadapi umat manusia. (M. Yatimin Abdullah:
2006) 
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan
ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara
kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan).
Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan
dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan
kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral
adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-
norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakkan
manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran
tertentu dan terbatas. (Surajiyo: 2005)

KESIMPULAN

Setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:


Filsafat adalah ilmu istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak
dapat di jawab oleh ilmu pengetahuan biasa, karena masalah-masalah tersebut di luar
jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
1.   Segi semantik, perkataan filsafat berasal dari kata Arab dan Yunani, yaitu falsafah dan
philosophia.
2.   Segi praktis, dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat berarti alam pikiran atau alam
berpikir.
Dan juga dapat diketahui bahwa etika itu merupakan sebagai ilmu pengatahuan yang
berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan
baik dan buruk. Etika dapat mengantar orang kepada kemampuan untuk bersikap kritis dan
rasional, untuk membantu pendapatnya sendiri dan tidak bertindak sesuai dengan apa yang
dipertanggungjawabkannya sendiri.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika dibedakan antara etika
deskriptif dan etika normatif.
1.  Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran dan pengalaman moral
secara deskriptif. Etika deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu: sejarah moral dan fenomenologi
moral
2.   Etika Normatif
Etika normatif menjelaskan tentang nilai-nilai yang seharusnya dilakukan serta memunginkan
manusia untuk mengatur tentang apa yang terjadi.
Etika normatif mengandung dua bagian besar, yaitu:
a.   Membahas tentang teori nilai (theory of vale)
b.   Teori keharusan (theory of obligation).
DAFTAR PUSTAKA
Alfan, Muhammad. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung. Pustaka Setia.
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Studi Etika. Jakarta. Rajawali Perss.
Esha, Muhammad In’am. 2010. Menuju Pemikiran Filsafat. Jakarta. Maliki Perss.
Mufid, Muhamad. 2009. Etika Filsafat Komunikasi. Jakarta. Kencana.
Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung. Mulia Pers.
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat. Jakarta. Bumi Aksara.
______. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta. Bumi Aksara.
Syadalim, M. Ahmad. 1999. Filsafat Umum. Jakarta. Pustaka Setia
Tafsir, Ahmad. 1992. Filsafat Umum. Bandung. Remaja Rosdakarya.
___________. 2005. Filsafat Ilmu. Bandung. Bumi Aksara.

Pengertian Filsafat Etika, Sejarah,dan Problematikanya

A.      Pengertian Etika

Etika berasal dari istilah etik, istilah ini berasal dari bahasa Greek yang
mengandung arti kebiasaan atau cara hidup.[1] K Bertens dalam buku etikanya
menjelaskan lebih jelas lagi. Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani
ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa;
padang rumput; kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara
berpikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah adat kebiasaan.

Etika sering diidentikan dengan moral (atau moralitas). Namun, meskipun


sama-sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki
perbedaan pengertian. Moralitas lebih condong pada pengertian nilai baik dan buruk
dari setiap perbuatan manusia itu sendiri, sedangkan etika berarti ilmu yang
mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai
teori tentang perbuatan baik dan buruk. Dalam filsafat terkadang etika disamakan
dengan filsafat moral.[2]

Etika membatasi dirinya dari disiplin ilmu lain dengan pertanyaan apa itu
moral? Ini merupakan bagian terpenting dari pertanyaan-pertanyaan seputar etika.
Tetapi di samping itu tugas utamanya ialah menyelidiki apa yang harus dilakukan
manusia. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan filsafat
etika membahas yang harus dilakukan.[3]
Selain itu etika bisa disebut sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata
lainnya ialah teori tentang nilai. Dalam Islam teori nilai mengenal lima ketegori baik-
buruk, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk sekali. Nilai ditentukan oleh
Tuhan, karena Tuhan adalah maha suci yang bebas dari noda apa pun jenisnya.
[4] Tetapi tujuan etika itu sendiri ialah bagaimana mengungkap perbedaan kebaikan
dan keburukan sejelas-jelasnya sehingga mendorong manusia terus melangkah
pada kebaikan.

Kebaikan itu sendiri –menurut ibn Sina- sangat erat kaitannya dengan
kesenangan. Kebaikan itu membuat manusia lebih sempurna dalam suatu hal.
Kebaikan terbaik berkaitan dengan kesempurnaan roh manusia. dengan demikian
kejahatan merupakan sejenis ketidak sempurnaan.

Tujuan hidup ialah untuk menghentikan kesenangan duniawi sebagai suatu


yang diinginkan dan mengembangkan serta menyempurnakan roh dengan cara
bertindak menurut kebajikan-kebajikan rasional. Roh yang demikian berada sangat
dekat dengan sumber ketuhanannya dan ingin bersekutu dengannya dan dengan
arahnya itu ia mencapai kebahagiaan abadi.

Sedangkan menurut teori hedonisme Yunani kuno mengajarkan bahwa


kebaikan itu merupakan sesuatu yang mengandung kepuasan atau kenikmatan.
Sedangkan aliran pragmatisme mengajarkan bahwa segala sesuatu yang baik
dalam kehidupan adalah yang berguna secara praktis. Sama beda dengan aliran
utilitarianisme yang mengajarkan bahwa yang baik adalah yang berguna.

Etika, Moral, dan Akhlak

Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah
“etika” pun berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput,
kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Bentuk
jamaknya adalah ta etha artinya adalah kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi
latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh  Yunani besar Aristoteles
sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika kita membatasi diri pada
asal usul kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan.[5]

Keterangan etimologis ini mengingatkan sebuah kata dalam bahasa Indonesia


yakni “ethos” cukup banyak dipakai, misalnya dalam kombinasi “ethos kerja”, “ethos
profesi”, dan sebagainya. Memang ini suatu kata yang diterima dalam bahasa
Indonesia dari bahasa Yunani (dan karena itu sebaiknya dipertahankan ejaan
aslinya “ethos”), tapi tidak langsung melainkan melalui bahasa Inggris, dimana kata
itu termasuk kosa kata yang baku.
Kata yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”. Kata yang terakhir ini
berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat.
Jadi etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral” karena keduanya
berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda: yang
pertama berasal dari bahasa Latin.[6]

Sementara akhlak berasal dari bentuk jamak bahasa Arab khuluq yang berarti
suatu sifat permanen pada diri orang yang melahirkan perbuatan secara mudah
tanpa membutuhkan proses berpikir. Definisi lain dari akhlak adalah sekumpulan
nilai-nilai yang menjadi pedoman berperilaku dan berbuat Akhlak juga secara singkat
diartikan sebagai budi pekerti atau perangai.

Jadi bisa disimpulkan bahwa etika merupakan ilmu moral/ilmu akhlaq yang
mengindikasikan hal-hal pra tindakan yang berupa pengetahuan serta pemikiran
tentang hal/tindakan baik dan buruk.

B.       Sejarah Etika

Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari keambrukan tatanan
moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2.500 tahun lalu. Karena pandangan-
pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof
mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia.

Tempat pertama kali disusunnya cara-cara hidup yang baik dalam suatu sistem
dan dilakukan penyelidikan tentang soal tersebut sebagai bagian filsafat. Menurut
Poespoproddjo, kaum Yunani sering mengadakan perjalanan ke luar negeri itu
menjadi sangat tertarik akan kenyataan bahwa terdapat berbagai macam kebiasaan,
hukum, tata kehidupan dan lain-lainnya. Bangsa Yunani mulai bertanya apakah
miliknya, hasil pembudayaan negara tersebut benar-benar lebih tinggi karena tiada
seorang pun dari Yunani yang akan mengatakan sebaliknya, maka kamudian
diajukanlah pertanyaan mengapa begitu? Kemudian diselidikinya semua perbuatan
dan lahirlah cabang baru dari filsafat yaitu etika.[7]

Jejak-jejak pertama sebuah etika muncul dikalangan murid Pytagoras. Kita


tidak tahu banyak tentang pytagoras. Ia lahir pada tahun 570 SM di Samos di Asia
Kecil Barat dan kemudian pindah ke daerah Yunani di Italia Selatan. Ia meninggal
496 SM. Di sekitar Pytagoras terbentuk lingkaran murid yang tradisinya diteruskan
selama dua ratus tahun. Menurut mereka prinsip-prinsip matematika merupakan
dasar segala realitas. Mereka penganut ajaran reinkarnasi. Menurut mereka badan
merupakan kubur jiwa (soma-sema,”tubuh-kubur”). Agar jiwa dapat bebas dari
badan, manusia perlu menempuh jalan pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa
secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika, manusia dibebaskan
dari ketertarikan indrawi dan dirohanikan. 
Seratus tahun kemudian, Demokritos (460-371 SM) bukan hanya mengajarkan
bahwa segala apa dapat dijelaskan dengan gerakan bagian-bagian terkecil yang tak
terbagi lagi, yaitu atom-atom. Menurut Demokritos nilai tertinggi adalah apa yang
enak. Dengan demikian, anjuran untuk hidup baik berkaitan dengan suatu kerangka
pengertian hedonistik. 

Sokrates (469-399 SM) tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya tidak mudah


direkonstruksi karena bagian terbesar hanya kita ketahui dari tulisan-tulisn Plato.
Dalam dialog-dialog palto hampir selalu Sokrates yang menjadi pembicara utama
sehingga tidak mudah untuk memastikan pandangan aslinya atau pandangan Plato
sendiri. Melalui dialog Sokrates mau membawa manusia kepada paham-paham etis
yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi-implikasi anggapan-
anggapannya sendiri. Dengan demikian, manusia diantar kepada kesadaran tentang
apa yang sebenarnya baik dan bermanfaat. Dari kebiasaan untuk berpandangan
dangkal dan sementara, manusia diantar kepada kebijaksanaan yang sebenarnya. 

Plato (427 SM) tidak menulis tentang etika. Buku etika pertama ditulis oleh
Aristoteles  (384 SM). Namun dalam banyak dialog Plato terdapat uraian-uraian
bernada etika. Itulah sebabnya kita dapat merekontruksi pikiran-pikiran Plato tentang
hidup yang baik.  Intuisi daar Plato tentang hidup yang baik itu mempengaruhi
filsafat dan juga kerohanian di Barat selama 2000 tahun. Baru pada zaman modern
paham tentang keterarahan objektif kepada Yang Ilahi dalam segala yang ada mulai
ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai pola etika; diantaranya etika otonomi
kesadaran moral Kant adalah yang paling penting. Etika Plato tidak hanya
berpengaruh di barat, melainkan lewat Neoplatoisme juga masuk ke dalam kalangan
sufi Muslim.  Disinilah nantinya jalur hubungan pemikiran filsafat Yunani dengan
pemikir muslim seperti Ibn Miskawaih yang banyak mempelajari filsafat Yunani
sehingga mempengaruhi tulisan-tulisannya mengenai filsafat etika. Setelah
Aristoteles, Epikuros (314-270 SM) adalah tokoh yang berepengaruh dalam filsafat
etika. Ia mendirikan sekolah filsafat di Athena dengan nama Epikureanisme , akan
menjadi salah satu aliran besar filsafat Yunani pasca Aristoteles. Berbeda dengan
Plato dan Aristoteles, berbeda juga dengan Stoa, Epikuros dan murid-muridnya tidak
berminat memikirkan, apalagi masuk ke bidang politik. Ciri khas filsafat Epikuros
adalah penarikan diri dari hidup ramai. Semboyannya adalah  “hidup dalam
kesembunyian“.

Etika Epikurean bersifat privatistik. Yang dicari adalah kebahagiaan pribadi.


Epikuros menasihatkan orang untuk menarik diri dari kehidupan umum, dalam arti ini
adalah individualisme. Namun ajaran Epikuros tidak bersifat egois. Ia mengajar
bahwa sering berbuat baik lebih menyenangkan daripada menerima kebaikan.  Bagi
kaum Epikurean, kenikmatan lebih bersifat rohani dan luhur  daripada jasmani. Tidak
sembarang keinginan perlu dipenuhi. Ia membedakan antara keinginan alami yang
perlu (makan), keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan
keinginan sia-sia (seperti kekayaan). 
Tokoh-tokoh filsafat etika masih banyak lagi, dan penulis berkeinginan
membahas semuanya disini, namun karena keterbatasan tempat dan tema yang
diangkat maka tokoh yang disebut diatas penulis anggap sudah cukup mewakili
sejarah filsafat etika pada masa itu. Dan korelasinya dengan intelektual islam pada
masa sesudahnya seperti Ibn Miskawaih yang dalam banyak tulisannya (karya)
banyak dipengaruhi dari pemikiran tokoh filsafat Yunani.

C.      Problematika Filsafat Etika

Persoalan moralitas dalam hubungannya dengan interaksi antar manusia


merupakan persoalan utama pada zaman ini. Beberapa persoalan krusial yang
muncul, antara lain adalah bagaimana manusia harus bersikap menghadapi
perkembangan teknologi yang pesat pada abad ini, bagaimana bangsa-bangsa
dunia menghadapi pemanasan global, bagaimana harus memlihara perdamaian
secara bersama-sama dalam masyarakat yang sangat plural. Semua itu masuk ke
dalam problematika etika yang perlu dipikirkan dengan segera. Kenyataan yang ada
pada saat ini bahwa kemajuan teknologi informasi telah berkembang lebih cepat dari
pada pemahaman terhadap nilai-nilai.

Menurut K. Bertens, (2007:31), situasi etis pada zaman modern ini ditandai
oleh tiga ciri antara lain: 1) adanya pluralitas moral; 2) munculnya masalah-masalah
etis baru yang sebelumnya tidak ada; 3) munculnya kesadaran baru di tingkat dunia
yang nampak jelas dengan adanya kepedulian etis yang universal. Maka dari itu
setidaknya terdapat empat alasan perlunya etika pada zaman ini (Franz magnis
Suseno, 1993: 15).

Pertama, individu hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk di


dalamnya di bidang moralitas.

Kedua, pada saat ini individu berada dalam pusaran transformasi masyarakat yang
berlangsung sangat cepat. Gelombang modernisasi membawa perubahan yang
mengenai semua segi kehidupan.

Ketiga, bahwa proses perubahan sosial, budaya dan moral yang terjadi ini sering
dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memancing
dalam air keruh.

Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum agamawan.

Pribadi-pribadi manusia selalu mengadakan pertimbangan terhadap tingkah


laku mereka sendiri dan tingkah laku orang lain. Terdapat tindakan-tindakan yang
disetujui dan dinamakan benar atau tidak. Tindakan-tindakan lain dicela atau tidak
disetujui dinamakan salah atau jahat. Pertimbangan moral berhadapan dengan
tindakan manusia, yang bebas. Tindakan-tindakan yang tidak bebas, yang
pelakunya tidak dapat mengontrol perbuatannya, tidak dihubungkan dengan
pertimbangan moral, karena seseorang dianggap tidak dapat bertanggungjawab
terhadap tindakannya yang tidak dikehendaki.

Dari paparan di atas jelas bahwa persoalan etika adalah sebagai


berikut: Pertama, terdapat penyelidikan yang dinamakan etika deskriptif (descriptive
ethics), yaitu mempelajari perilaku pribadi-pribadi manusia atau personal morality
dan perilaku kelompok atau social morality. Dengan menganalisa bermacam-macam
aspek dari perilaku manusia, antara lain: motif, niat dan tindakan-tindakan terbaik
yang dilaksanakan. Kedua, pengertian perilaku moral seperti di atas harus
dibedakan dengan apa yang seharusnya (etika normatif). Apa yang seharusnya
dilakukan mendasarkan penyelidikan terhadap prinsip-prinsip yang harus dipakai
dalam kehidupan manusia. Yaitu dengan menanyakan bagaimanakah cara hidup
yang baik yang harus dilakukan. Ketiga, berkaitan dengan pengertian praktis.
Dengan menjawab pertanyaan bagaimanakah menjalankan hidup dengan benar,
atau bagaimana cara menjadi manusia yang benar (Harold H. Titus, 1984: 140).

Oleh karena itu lingkup persoalan etika dapat dijelaskan sebagai berikut:[8]

1.    Etika Deskriptif

Etika deskriptif sering menjadi bahasan dalam ilmu sosiologi. Etika deskriptif
bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak, predikat-predikat serta
tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan dilapangan penelitian.
Secara deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui apa yang dianggap baik dan apa
yang dianggap tidak baik yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika
deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam pengertian luas, seperti dalam adat
kebiasaan, atau tanggapan-tanggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan
yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.

Etika deskriptif adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan etika yang
berusaha untuk membuat deskripsi yang secermat mungkin tentang yang dianggap
tidak baik yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif  hanya 
melukiskan tentang suatu nilai dan tidak memberikan penilaian.

2.    Etika Normatif

Etika dipandang sebagai suatu ilmu yang mempunyai ukuran atau norma standar
yang dipakai untuk menilai suatu perbuatan atau tindakan seseorang atau kelompok
orang. Dalam hal ini etika normatif menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang
seharusnya terjadi atau yang semestinya dilakukan oleh seseorang atau kelompok
orang. Etika normatif tidak seperti etika deskriptif yang hanya melibatkan dari luar
sistem nilai etika yang berlaku, tetapi etika normatif melibatkan diri dengan
mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia.

3.    Etika praktis
Etika praktis mengacu pada pengertian sehari-hari, yaitu persoalan etis yang
dihadapi seseorang ketika berhadapan dengan tindakan nyata yang harus diperbuat
dalam tindakannya sehari-hari.

4.    Etika Individual dan Etika Sosial

Adalah etika yang bersangkutan dengan manusia sebagai perseorangan saja. Di


samping membicarakan kualitas etis perorangan saja, etika juga membicarakan
hubungan pribadi manusia dengan lingkungannya seperti hubungan dengan orang
lain. Etika individu berhubungan dengan sikap atau tingkah laku perbuatan dari
perseorangan. Sedangkan etika sosial berhubungan dengan tingkah laku yang
dilakukan oleh perseorangan sebagai bagian kesatuan yang lebih besar.[9]

DAFTAR PUSTAKA

Baqir, Haidar. 2005. Buku: Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan

Bertens, K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia

Poespoprodjo. 1999. Filsafat Moral Kesusilaan Teori dan Praktek. Bandung: Pustaka


Grafika

Sarwoko. Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba

 
kekaguman yang sangat. Perlu juga dicatat, buahpikirannya banyak membawa pengaruh
padafilosof Islam dan berabad- abad lamanya tulisan-tulisannya mendominir cara berpikir
Barat.Ibnu Rusyd (Averroes), mungkin filosof Arab yang paling terkemuka, mencoba
merumuskansuatu perpaduan antara Teologi Islam dengan rasionalisme
Aristoteles. Maimomides, pemikir  paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai
sintesa dengan Yudaisme. Tetapi,hasil kerja paling gemilang dari perbuatan macam itu
adalah Summa Theologia-nyacendikiawan Nasrani St. Thomas Aquinas. Di luar daftar ini
masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh demikiandalamnya
oleh pikiran Aristoteles.Kekaguman orang kepada Aristoteles menjadi begitu melonjak di
akhir abad tengah ketikakeadaan sudah mengarah pada penyembahan berhala. Dalam
keadaan itu tulisan-tulisanAristoteles lebih merupakan semacam bungkus intelek yang jitu
tempat mempertanyakan problem lebih lanjut daripada semacam lampu penerang jalan.
Aristoteles yang gemar meneliti dan memikirkan ihwal dirinya tak salah lagi kurang sepakat
dengan sanjunganmembabi buta dari generasi berikutnya terhadap tulisan-
tulisannya.Beberapa ide Aristoteles kelihatan reaksioner diukur dengan kacamata sekarang.
Misalnya,dia mendukung perbudakan karena dianggapnya sejalan dengan garis hukum alam.
Dia percaya kerendahan martabatwanita ketimbang laki-laki. Kedua ide ini
 – 
tentu saja-
 – 
 mencerminkanpandangan yang berlaku pada zaman itu. Tetapi, tak kurang pula
banyaknya buah pikiran Aristoteles yang mencengangkan modernnya, misalnya kalimatnya,
“Kemiskinan adalah bapaknya revolusi dankejahatan,” dan kalimat “Barangsiapa yang sudah
merenungi dalam-dalamseni memerintah manusia pasti yakin bahwa nasib sesuatu
emperiumtergantung pada pendidikan anak-
anak mudanya.” (Tentu saja, waktu itu belum ada sekolah
seperti yang kita kenal sekarang).Di abad-abad belakangan, pengaruh dan reputasi Aristoteles
telah merosot bukan alangkepalang. Namun, ada yang berpikir bahwa pengaruhnya sudah
begitu menyerap dan berlangsung begitu lama sehingga saya menyesal tidak bisa
menempatkannya lebih tinggidari tingkat urutan seperti sekarang ini. Tingkat urutannya
sekarang ini terutama akibat amat pentingnya ketiga belas orang yang mendahuluinya dalam
urutan.Filsafat Aristoteles berkembang dalam tiga tahapan yang pertama ketika dia masih
belajar diAkademi Plato ketika gagasannya masih dekat dengan gurunya tersebut, kemudian
ketika diamengungsi, dan terakhir pada waktu ia memimpin Lyceum mencakup enam karya
tulisnyayang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling
penting,selain kontribusinya di bidang Metafisika, Fisika, Etika, Politik, Ilmu Kedokteran,
Ilmu Alamdan karya seni.Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang
mengumpulkan danmengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya
ini menggambarkankecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum
alam dankeseimbangan pada alam.Berlawanan dengan Plato yang menyatakan teori tentang
bentuk-bentuk ideal benda,Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk
karena ia ada (eksis).Pemikiran lainnya adalah tentang gerak dimana dikatakan semua benda
bergerak menuju satutujuan, sebuah pendapat yang dikatakan bercorak teleologis. Karena
benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya maka harus ada penggerak dimana penggerak
itu harusmempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak
bergerak yangkemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani
sekarangdianggap berarti Tuhan. Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif
(deductivereasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap
pelajarantentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari
pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking).
 
Hal lain dalam kerangka berpikir yang menjadi sumbangan penting Aristoteles
adalahsilogisme yang dapat digunakan dalam menarik kesimpulan yang baru yang tepat dari
duakebenaran yang telah ada. Misalkan ada dua pernyataan (premis). Setiap manusia pasti
akanmati (premis mayor).
• Sokrates adalah manusa (premis minor)
 
• maka d
apat ditarik kesimpulan bahwa Sokrates pasti akan matiKarena luasnya lingkup karya-karya
dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis,
dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidangyang sangat beragam sekali seperti Fisika,
Astronomi, Biologi, Psikologi, Metafisika(misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula
dan ide-ide dasar tentang alam), logikaformal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan
puisi.Di bidang seni, Aristoteles memuat pandangannya tentang keindahan dalam buku
Poetike.Aristoteles sangat menekankan empirisme untuk menekankan pengetahuan. Ia
mengatakan bahwa pengetahuan dibangun atas dasar pengamatan dan penglihatan. Menurut
Aristoteleskeindahan menyangkut keseimbangan ukuran yakni ukuran material. Menurut
Aristotelessebuah karya seni adalah sebuah perwujudan artistik yang merupakan hasil
chatarsis disertaidengan estetika. Chatarsis adalah pengungkapan kumpulan perasaan yang
dicurahkan ke luar.Kumpulan perasaan itu disertai dorongan normatif. Dorongan normatif
yang dimaksud adalahdorongan yang akhirnya memberi wujud khusus pada perasaan
tersebut. Wujud itu ditiru dariapa yang ada di dalam kenyataan. .aristoteles
juga mendefinisikan pengertian sejarah yaituSejarah merupakan satu sistem yang meneliti
suatu kejadian sejak awal dan tersusun dalam bentuk kronologi.BAB IIIPENUTUPA.
KesimpulanAristoteles adalah teman dan murid Plato. Ia dilahirkan di Trasia (Balkan).
Keluarganyaadalah orang-orang yang tertarik pada ilmu kedokteran. Ia banyak mempelajari
filsafat,matematika, astronomi, retorika dan ilmu-ilmu yang lainnya.Diantara penulis-penulis
islam yang mengagumi Aristoteles ialah Ibnu Rusyid. Ulasannyaterhadap Aristoteles telah
merupakan suatu karya standar (pegangan) untuk Eropa abad pertengahan. Tidak ada
pemisahan yang dibuat antara karya asli Aristoteles dengan pengulas-Plato. Yang terakhir
dipelajari dan kadang-kadang diutamakan.Pada garis besarnya, pikiran-pikiran Aristoteles
diperbaiki menurut ajaran-ajaran islam.Pikiran -pikirannya yang bersifat analitis dan
panteistis bukan saja ternyata tidak dapatditerima oleh teolog-teolog islam, melainkan juga
ditolak dan dikritik oleh mereka.
Istilah realisme berasal dari kata latin realis yang berarti „sungguh
-
sungguh, nyata benar‟.
Karena itu, realisme realisme berpandangan bahwa obyek persepsi indriawi dan
pengertiansungguh-sungguh ada, terlepas dari indra dan budi yang mengkapnya kerena obyek
itumemang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditumukan hakikatnya
lewatfilsafat.Realisme berpendapat bahwa dalam melaksanakan prinsip-prinsip dan mengejar
cita-cita etisorang perlu bersikap realistis. Artinya, dalam dalam melaksanakan prinsip dan
cita-cita etisitu orang perlu memperhitungkansemua faktor ; situasi, kondisi, keadaan,
ideologi, politik,ekonomi,sosial, budaya, dan orang-orang yang terlibat.dengan
memperhitungkan semuafaktor itu, akan ditemukan bahwa tidak semua faktor mendukung
pelaksanaan prinsip dancita-cita etis.B. SaranDi akhir makalah ini, Kami mengharapkan
sekali kritik dan saran dari teman-teman maupun
 
Bapak Andriloro. selaku dosen mata kuliah Filsafat Umum agar dalam penukisan
makalahselanjutnya dapat lebih baik.Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
dan bapak Andriloro atas saran dankritiknya.DAFTAR PUSTAKA1997, Isme-Isme: dari A
Sampai Z, Yogyakarta, KanisiusSadali Ahmad, Dr. H., Filsafat umum, Yogyakarta,
KanisiusHadiwijoyo Harun, 1995, Sari sejarah Filsafat barat, Yogyakarta: KanisiusOzmon
dan Craver, Filosofis Yayasan Pendidikan, halaman 53Tafsir, Ahmad, 1990, Filsafat Umum,
Bandung: PT. Remaja Rasdakaryahttp:id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles#cite_note-fuad-1

Pengertian Etika
Filed under: tugas — Tinggalkan komentar

Juni 4, 2013

 
Telinga kita sering mendengar istilah filsafat etika atau lebih singkatnya etika. Begitu banyak
orang – orang menggunakan istilah ini dalam berbagai kesempatan. Misalnya dalam hal rumah
tangga, bisnis, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Penulis akan mengajak pembaca untuk
memahami hakikat etika filsafat yang sebenarnya. Sejak dulu hingga sekarang manusia sering
mempertanyakan mana yang baik dan mana yang buruk, karena kerap kali manusia dihadapkan
pada pilihan – pilihan etis yang tidak bisa dijawab oleh agama dan ilmu pengetahuan.   Hal
tersebut merupakan alasan dalam pembahasan makalah kali ini.
Dalam sejarah perkembangan ilmu, filsafat etika merupakan aliran pertama dalam filsafat,
dengan Socrates sang mahaguru para filsuf sebagai pelopornya. Etika merupakan
cabang Aksiologi  yang pada pokoknya membicarakan masalah predikat – predikat nilai betul dan
salah dalam arti susila serta tidak susila . Etika atau moralitas merupakan suatu fenomena
manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang
tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus
dan tidak pantas dilakukan. Keharusan mempunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi
dengan sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan manusia
melakukan atau tidak melakukan sesuatu).  Jadi, pada intinya alasan pemilihan judul makalah ini
yakni menjadi acuan manusia untuk lebih baik dalam bertindak. Yang pastinya, manusia
berperilaku berlandaskan dengan etika, yang seolah menjadi batas pembeda manusia dengan
makhluk lainnya dalam berperilaku.
Etika Berasal dari bahasa Yunani Kuno “ethikos“, berarti “timbul dari kebiasaan”. Adalah sebuah
sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat  yang mempelajari nilai  atau kualitas yang
menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral .
Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar ,salah , baik , buruk , dan tanggung
jawab .
St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis
(practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan
kita Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak
jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari
tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika
memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika
merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan
tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki
sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan
manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika  (studi konsep etika), etika normatif  (studi
penentuan nilai etika), dan etika terapan  (studi penggunaan nilai-nilai etika).
Etika Terbagi menjadi 3 jenis yaitu :
–          Etika Filosofis
–          Etika Teologis
–          Relasi Etika Filosofis dan Teologis
 
Etika filosofis 
secara harfiah (fay overlay) dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat
atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian
dari filsafat ; etika lahir dari filsafat.
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat.
Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai
unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:
1. Non-empiris, Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris . Ilmu empiris adalah ilmu yang
didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha
melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret.
Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara
faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh
dilakukan.
2. Praktis,  Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat
hukum mempelajari apa itu hukum . Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan
bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat
bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai.
Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema
pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori etika
masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun
sendiri argumentasi yang tahan uji.
 
Etika Teologis
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis . Pertama, etika teologis bukan
hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-
masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak
unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah
memahami etika secara umum.
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari
presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika
filosofis dan etika teologis. Di dalam etika Kristen , misalnya, etika teologis adalah etika yang
bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah  atau Yang Ilahi , serta memandang
kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi. Karena itu, etika
teologis disebut juga oleh Jongeneel  sebagai etika transenden dan etika teosentris . Etika
teologisKristen  memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku
manusia. Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang
seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan
menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang
lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.
 

Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis


Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah
etika. Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang
dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:
 Revisionisme 
Tanggapan ini berasal dari Augustinus  (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis
bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.
 Sintesis 
Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas  (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis
dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan
identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi
lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat
khusus.
 Diaparalelisme 
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher  (1768-1834) yang menganggap etika teologis
dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti
sepasang rel kereta api yang sejajar.
Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan
Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan
etika teologis. Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu
belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika
filosofis telah diperkuat. Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa
meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara
keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya
saling menatap dari dua horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang
dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam
bagaimana ia seharusnya hidup.
            Pengertian Profesi
Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris “Profess”, yang dalam bahasa
Yunani adalah “Επαγγελια”, yang bermakna: “Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu
tugas khusus secara tetap/permanen”.
Profesi adalah pekerjaan  yang membutuhkan pelatihan  dan penguasaan terhadap
suatu pengetahuan  khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi , kode etik , serta
proses sertifikasi dan lisensi  yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah
pada bidang hukum , kedokteran , keuangan , militer ,teknikdan  desainer 
Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional . Walaupun begitu, istilah
profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata
dariamatir . Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju
yang dilakukannya, sementara olahraga tinju  sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu
profesi.
Karakteristik Profesi
Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai
karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Daftar karakterstik ini tidak
memuat semua karakteristik yang pernah diterapkan pada profesi, juga tidak semua ciri ini
berlaku dalam setiap profesi:
1. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan
mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar
padapengetahuan  tersebut dan bisa diterapkan dalam praktik.
2. Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para
anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi
profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
3. Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya
memerlukan pendidikan  yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi .
4. Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan
untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
5. Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti
pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum
menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan
profesional juga dipersyaratkan.
6. Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya
mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
7. Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis
mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
8. Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan
prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
9. Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa
campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang
dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
10. Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat
dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi
terhadap kesehatan masyarakat.
11. Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi,
prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai
pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat .
Ciri Khas Profesi
Menurut Artikel dalam International Encyclopedia of education, ada 10 ciri khas suatu profesi,
yaitu:
1. Suatu bidang pekerjaan yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus berkembang
dan diperluas
2. Suatu teknik intelektual
3. Penerapan praktis dari teknik intelektual pada urusan praktis
4. Suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi
5. Beberapa standar dan pernyataan tentang etika yang dapat diselenggarakan
6. Kemampuan untuk kepemimpinan pada profesi sendiri
7. Asosiasi dari anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang erat dengan kualitas
komunikasi yang tinggi antar anggotanya
8. Pengakuan sebagai profesi
9. Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan
profesi
10. Hubungan yang erat dengan profesi lain
 

PARADIGMA ETIKA DALAM PERSPEKTIF SOCRATES


BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah

              Di dalam permasalahan filsafat dapat diketahui bahwa pelaku filsafat adalah akal dan hati.
Pertentangan atau kerja sama antara akal dan hati itulah pada dasarnya isi sejarah filsafat. Memang
pusat kendali kehidupan manusia terletak di tiga tempat, yaitu indera, akal, dan hati. Namun akal
dan hati itulah yang paling menentukan.
              Dalam sejarah filsafat kelihatan akal pernah menang, pernah kalah; hati pernah berjaya, juga
pernah kalah; pernah juga kedua-duanya sama-sama menang. Di antara keduanya, dalam sejarah
telah terjadi pergumulan berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia.[1]

              Yang dimaksud akal disini ialah akal yang logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati
ialah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada. Akal itulah yang menghasilkan pengetahuan logis
yang disebut filsafat, sedangkan hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang
disebut pengetahuan mistik; iman termasuk di sini.

              Adapun buah pemikiran dari filsafat itu sendiri diantaranya adalah hal yang menyangkut
tentang permasalahan etika. Karena itulah etika menjadi salah satu cabang dari filsafat yang di
dalamnya menyangkut tentang masalah seputar moralitas (norma-norma) dan teori tentang
masalah moral lainnya.

              Masalah etika itu sendiri merupakan cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan
jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang yang dilakukan dengan penuh
kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Persoalan etika itu pula merupakan persoalan
yang berhubungan dengan eksistensi manusia dalam segala aspeknya, baik individu maupun
masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia dan dirinya.[2]

              Oleh karena etika merupakan salah satu cabang dari kajian filsafat, maka sangatlah perlu
untuk mengupas tuntas tentang permasalahan etika yang bersandarkan pada ruang lingkup filsafat.
Sehingga dapat diketahuilah tentang pandangan para pemikir atau para ahli filsafat terutama dari
pandangan Socrates tentang etika. Karena Socrates merupakan salah satu filosof yang arah
pandangannya berbicara tentang etika.

              Selain itu pula, perlu sekali untuk diketahui tentang siapa itu Socrates dan riwayat hidupnya
serta jalan pemikirannya. Karena sangat perlu untuk mengetahui bagaimana seorang filosof itu
berfikir sebelum kita mempelajari apa buah pikirannya. Apalagi Socrates tidak pernah menuliskan
filosofinya. Malahan jika ditilik benar-benar, Socrates secara langsung tidak mengajarkan filosofi,
melainkan ia hidup dengan berfilosofi.

              Oleh karena Socrates tidak menuliskan filosofinya, maka sulit sekali untuk mengetahui
dengan sahih apa sebenarnya ajarannya. Dan ajaran-ajarannya itu hanya dikenal dari catatan-
catatan murid-muridnya, terutama Xenephon dan Plato. Dengan demikian, maka menjadi penting
untuk mempelajari ajaran Socrates yang mana tidak langsung dituliskan secara langsung oleh
Socrates sendiri, tetapi melalui murid-muridnya.

            Namun, yang lebih menarik dari Socrates yaitu pernyataannya yang menyatakan bahwa ia
tidak pernah mengaku mempunyai kearifan dan kebijaksanaan, ia hanya mengaku sebagai
penggemar kearifan atau amatir kebijaksanaan, bukan professional dan mengambil untuk
kebendaan dari apa yang ia gemari seperti kaum sofis pada zamannya.
            Dan perlu juga untuk diketahui bersama mengenai paradigma etika tersebut dalam perspektif
Socrates. Yang mana Socrates mengatakan bahwa budi ialah tahu, itulah intisari dari etika Socrates
yang menjadi latar belakang permasalahan yang akan diangkat dalam pembahasan makalah ini.

B.   Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan etika ?

2.      Bagaimana pandangan Socrates tentang etika ?

C.   Tujuan Penulisan

              Ada pun tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya ialah untuk mengetahui tentang
definisi mengenai etika dari berbagai sumber dan ahli yang berbeda, serta untuk mendapatkan
gambaran mengenai etika tersebut dalam perspektif Socrates.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Etika

              Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan
atau adat.[3] Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral).[4] Dari pengertian pengetahuan kebahasaan ini terlihat bahwa
etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.

              Adapun arti etika dari segi terminologi (istilah) yaitu sebagaimana yang telah dikemukakan
oleh para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-
masing. Ahmad Amin misalnya mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju
oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya diperbuat.[5]   

              Menurut Soegarda poerbakawatja etika adalah filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai,
ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, terutama
mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan sampai
mengenai tujuannya bentuk perbuatan.[6]

              Berikutnya dalam Encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi
yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan
sebagainya.

              Selanjutnya Frankena, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Charris Zubair mengatakan
bahwa etika adalah sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat tentang
moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral.[7]
              Dari beberapa definisi etika tersebut di atas dapat segera diketahui bahwa etika
berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi obyek pembahasannya,
etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.Kedua, dilihat dari segi
sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak
bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan,
kelebihan, dan sebagainya. Selain itu etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas
perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan
sebagainya. Hal ini dimungkinkan, karena berbagai ilmu yang disebutkan itu sama-sama memiliki
obyek pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan manusia. Ketiga, dilihat dari segi
fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang
dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat,
hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah
perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Peranan etika dalam hal ini tampak sebagai wasit atau
hakim, dan bukan sebagai pemain. Ia merupakan konsep atau pemikiran mengenai nilai-nilai untuk
digunakan dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang dilakukan manusia. Etika lebih
mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika
bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.[8]

              Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik
atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan yang baik
atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan
demikian etika sifatnya humanistis dan anthropocentris, yakni berdasar pada pemikiran manusia dan
diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan
oleh akal manusia.

2.2  Filsafat Etika

              Imanuel Kant, terkenal dengan filsafat kritisnya yang lebih banyak berbicara tentang filsafat
moral dan etika. Dia merupakan tokoh penting karena dia bisa disebut sebagai pemersatu antara
filsafat Rasionalisme dan Empirisme. Tapi ternyata usahanya untuk menyatukan keduanya terpecah
kembali sehingga sekarang kita kenal filsafat positivisme, logis dan idealisme. Dan dalam
Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, filsafat Yunani bisa dibagi menjadi 3 bagian yaitu logika,
fisika, dan etika. Logika bersifat a priori tapi fisika dan etika memiliki unsur-unsur a priori dan
empiris. Ilmu fisika apriori empiris ini disebut ilmu alam (Naturlehre) sedangakan ilmu etika apriori
empiris disebut ilmu kesusilaan (Sittenlehre) dan Metafisika kesusilaan (Metaphysik der Sitten).

              Filsafat etika adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas masalah seputar
moralitas (norma-norma), prinsip-prinsip moral, dan teori-teori moral. Misalnya teori hati nurani,
teori rasa moral, teori keputusan moral, teori tentang kebaikan mutlak dan teori tentang kebaikan
relatif, teori tentang kejahatan, teori kriteria moral, teori tentang asal mula manusia harus bermoral,
dan lain-lain.

              Ada beberapa teori tentang nilai etika (baik dan buruk). Pertama, teori nilai dari islam. Dalam
islam, nilai etika direntang menjadi lima kategori, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk, buruk sekali
(wajib, sunah, mubah, makruh, haram). Nilai dalam islam ditentukan oleh Tuhan. Kedua, teori baik
dan buruk dari hedonisme mengajarkan bahwa sesuatu dianggap baik bila
mengandung hedone (kenikmatan, kepuasan) bagi manusia. Teori ini telah ada sejak zaman Yunani
kuno. Ketiga, teori dari vitalisme, baik-buruk ditentukan oleh ada atau tidak adanya kekuatan hidup
yang dikandung oleh objek yang dinilai. Manusia yang kuat, ulet, cerdas, itulah manusia yang baik.
Manusia yang mengandung daya hidup yang besar, itulah manusia yang baik. Keempat, teori dari
utilitarianisme  menyatakan bahwa yang baik ialah yang berguna (utility = kegunaan). Utilitarianisme
terbagi menjadi dua, yaitu utilitarianisme pribadi dan utilitarianisme sosial. Bagi Bentham,
utilitarianisme merupakan perkembangan hedonisme. Baginya, etika harus memperhitungkan
jumlah kenikmatan dikurangi jumlah penderitaan tentang hasil perbuatan, itulah yang menentukan
nilai perbuatan itu. Menanggung derita dalam melakukan kebaikan adalah tidak baik. Jadi, harus
diperhitungkan terlebih dahulu, banyak mana antara kenikmatan dan penderitaan yang terdapat
dalam perbuatan itu. Yang kelimayaitu teori dari pragmatisme, yaitu suatu aliran yang segolongan
darah dengan utilitarianisme. Prinsip yang diajarkan oleh aliran ini ialah yang baik adalah yang
berguna secara praktis dalam kehidupan. Tokoh utamanya ialah Charles P. Peirce, William James,
John Dewey, dan Scott Schiller. Peirce adalah yang mula-mula mengumumkan pragmatisme dan
dikembangkan oleh James. Bagi James, ukuran kebenaran suatu teori ialah kegunaan praktis teori
itu, bukan dilihat secara teoritis. Bagi Pierce, untuk mengerti suatu pikiran cukuplah kita memastikan
tindakan apa yang dapat dihasilkan oleh ide itu.[9]

2.3  Aliran-Aliran Etika

              Dari uraian di atas tersebut, dapatlah diketahui mengenai beberapa aliran dalam etika
beserta pandangannya. Yang mana aliran-aliran penting dalam etika tersebut diantaranya ialah:

1.      Aliran Etika Naturalisme, yaitu aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu diperoleh
dengan menurutkan panggilan natural (fitrah) kejadian manusia sendiri.

2.      Aliran Etika hedonisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan
yang menimbulkan hedoni (kenikmatan dan kelezatan).

3.      Aliran Etika utilitarisme, yaitu aliran yang menilai baik dan buruknya manusia ditinjau dari kecil dan
besarnya manfaat bagi manusia (utility = manfaat)

4.      Aliran Etika idealisme, yaitu aliran yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat
pada sebab-musabab lahir, tetapi haruslah didasarkan atas perinsip kerohanian (idea) yang lebih
tinggi.
5.      Aliran Etika vitalisme, yaitu aliran yang nilai dari baik-buruknya perbuatan manusia itu sebagai
ukuran ada atau tidaka adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.

6.      Aliran Etika tiologis, yaitu aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik-buruknya perbuatan manusia
itu dinilai dengan sesuai atau tidak sesuainya dengan perintah tuhan (Theos=Tuhan).[10] 

2.4  Riwayat Socrates

              Socrates Lahir di Athena pada tahun 470 SM dan meninggal pada tahun 399 SM. Bapaknya
adalah tukang pembuat patung, sedangkan ibunya seorang bidan pada permulaannya, socrates mau
menuruti jejak bapaknya menjadi tukang pembuat patung pula, tetapi ia berganti haluan. Dari
membentuk batu jadi patung, ia mmembentuk watak manusia. Masa hidupnya hampir sejalan
dengan perkembangan sofisme di Athena. Pada hari tuanya, socrates melihat kota tumpah darahnya
mulai mundur, setelah mencapai puncak kebesaran yang gilang gemilang.

            Socrates terkenal sebagai orang yang berbudi baik, jujur, dan adil. Cara penyampaian kepada
para pemuda mengunakan metode tanya jawab. Oleh sebab itu, ia memperoleh banyak simpati dari
para pemuda di negerinya. Namun, ia juga kurang disenangi oleh orang banyak dengan menuduhnya
sebagai orang yang merusak moral para pemuda negerinya. Selain itu, ia juga di tuduh menolak
dewa-dewa atau tuhan-tuhan yang telah di akui negara.[11]

            Socrates juga dikenal sebagai seorang yang tidak tampan, berpakaian sederhana, tanpa alas
kaki dan berkelilingi mendatangi masyarakat Athenaberdiskusi soal filsafat. Dia melakukan ini pada
awalnya didasari satu motif religius untuk membenarkan suara gaib yang didengar seorang
kawannya dari Oracle Delphi  yang mengatakan bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari
Socrates. Merasa diri tidak bijak dia berkeliling membuktikan kekeliruan suara tersebut, dia datangi
satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak oleh masyarakat  pada saat itu dan dia ajak diskusi
tentang berbagai masalah kebijaksanaan. Metode berfilsafatnya inilah yang dia sebut sebagai
metode kebidanan. Dia memakai analogi seorang bidan yang membantu kelahiran seorang bayi
dengan caranya berfilsafat yang membantu lahirnya pengetahuan melalui diskusi panjang dan
mendalam. Dia selalu mengejar definisi absolut tentang satu masalah kepada orang-orang yang
dianggapnya bijak tersebut meskipun kerap kali orang yang diberi pertanyaan gagal melahirkan
definisi tersebut. Pada akhirnya Socrates membenarkan suara gaib tersebut berdasar satu
pengertian bahwa dirinya adalah yang paling bijak karena dirinya tahu bahwa dia tidak bijaksana
sedangkan mereka yang merasa bijak pada dasarnya adalah tidak bijak karena mereka tidak tahu
kalau mereka tidak bijaksana.

            Peran Socrates dalam mendobrak pengetahuan semua itu meniru pekerjaan ibunya sebagai
seorang bidan dalam upaya menolong kelahiran bayi, akan tetapi ia berperan sebagai bidan
pengetahuan. Tekhnik dalam upaya menolong kelahiran (bayi), pengetahuan itu di sebut majayutike
(kebidanan) yaitu dengan cara mengamat-amati hal-hal yang konkret dan beragam coraknya tetapi
pada jenis yang sama. Kemudian unsur-unsur yang berbeda di hilangkan sehingga tinggallah unsur
yang sama dan bersifat umum, itulah pengetahuan sejati atau pengertian sejati sangat penting
dalam mencapai keutamaan moral. Barang siapa yang mempunyai pengertian sejati berarti memiliki
kebajikan (arete) atau keutamaan moral berarti pula memiliki kesempurnaan manusia sebagai
manusia.

            Seperti halnya kaum sofis, Socrates mengarahkan perhatiannya kepada manusia sebagai
objek pemikiran filsafatnya. Berbeda dengan kaum Sofis, yang setiap mengajarkan pengetahuan
selalu memungut bayaran, tetapi Socrates tidak memungut bayaran kepada murid-muridnya. Maka,
ia kemudian oleh kaum Sofis sendiri dituduh memberikan ajaran barunya, merusak moral para
pemuda, dan menentang kepercayaan negara. Kemudian ia ditangkap dan akhirnya dihukum mati
dengan minum racun pada umur 70 tahun yaitu pada tahun 399 SM. Pembelaan Socrates atas
tuduhan tersebut telah ditulis oleh Plato dalam karangannya, yaitu Apologia.[12]

           

2.5  Jalan Pemikiran Socrates

            Ajaran bahwa semua kebenaran itu relatif telah menggoyahkan teori-teori sains yang telah
mapan, mengguncangkan keyakinan agama. Ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan dalam
kehidupan. Inilah sebabnya Socrates harus bangkit. Ia harus meyakinkan orang Athena bahwa tidak
semua kebenaran itu relatif, ada kebenaran umum yang dapat dipegang oleh semua orang.
Sebagaian kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuanya. Sayangnya, Socrates tidak
meninggalkan tulisan. Ajarannya kita peroleh dari tulian murid-muridnya terutama Plato.

            Bartens, di dalam sejarah filsafat Yunani menjelaskan bahwa ajaran Socrates itu dutujukan
untuk menentang ajaran relativisme sofis. Ia ingin menegakkan sains dan agama. Kalau dipandang
sepintas lalu, Socrates tidaklah banyak berbeda dengan orang-orang sofis. Sama dengan orang sofis,
Socrates memulai filsafatnya dengan bertolak dari pengalaman sehari-hari. Akan tetapi, ada
perbedaan yang amat penting antara orang sofis dan Socrates. Socrates tidak meminta biaya untuk
orang-orang yang belajar kepadanya.

                Menurut pendapat Socrates ada kebenaran obyektif, yang tidak bergantung pada saya
atau pada kita. Ini memang pusat permasalahan yang dihadapi oleh Socrates. Untuk membuktikan
adanya kebenaran obyektif, Socrates menggunakan metode tertentu. Metode itu bersifat praktis
dan dijalankan melalui percakapan-percakapan. Ia menganalisis pendapat-pendapat. Setiap orang
mempunyai pendapat mengenai salah dan tidak salah, misalnya ia bertanya kepada negarawan,
hakim, tukang, pedagang, dan sebagainya. Menurut Xenophon, ia bertanya tentang salah dan tidak
salah, adil dan tidak adil, berani dan pengecut dan lain-lain.

            Socrates selalu menganggap jawaban pertama sebagai hipotesis, dan dengan jawaban-
jawaban lebih lanjut dan menarik kensekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban-
jawaban tersebut. Jika ternyata hipotesis pertama tidak dapat dipertahankan, karena menghasilkan
konsekuensi yang mustahil, maka hipotesis itu diganti dengan hipotesis lain, lalu hipotesis kedua ini
diselidiki dengan jawaban-jawaban lain, dan begitulah seterusnya. Sering terjadi percakapan itu
berakhir dengan aporia ( kebingungan ). Akan tetapi, tidak jarang dialog itu menghasilkan suatu
definisi yang dianggap berguna. Metode yang biasa digunakan Socrates biasanya disebut dialektika
yang berarti bercakap-cakap atau berdialog. Metode Socrates dinamakan diaelektika karena dialog
mempunyai peranan penting didalamnya.[13]

            Menurut filsafat Socrates pula, bahwa segala sesuatu kejadian yang terjadi di alam adalah
karena adanya “ akal yang mengatur ” yang tidak lalai dan tidak tidur. Akal yang mengatur itu adalah
Tuhan yang pemurah. Dia bukan benda, hanya wujud yang rohani semata-mata. Pendapat Socrates
tentang Tuhan lebih dekat kepada akidah tauhid. Dia menasehatkan supaya orang menjaga perintah-
perintah agama, jangan menyembah berhala dan mempersekutukan Tuhan.

2.6. Pandangan Etika Socrates

            Menurut Socrates, bahwasanya pengertian dari etika atau intisari dari etika yaitu budi yang
berarti tahu. Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik. Sebagai contoh, apabila
seseorang telah mengetahui tentang kebenaran adanya kenikmatan surga dan siksa neraka, maka
sudah pastilah ia akan mengikuti jalan ajaran Tuhannya untuk memperoleh kenikmatan tersebut.
Dan hanya orang-orang yang tidak mempercayai adanya kenikmatan surga dan siksa nerakalah yang
enggan untuk melaksanakan aturan dari Tuhannya yang dapat membawanya kepada kenikmatan
surga tersebut. Akan tetapi ia malahan melakukan tindakan yang dilarang oleh Tuhannya dan
meniggalkan perintah dari Tuhannya.

            Sedangkan paham etika Socrates selanjutnya yaitu kelanjutan daripada metode-metodenya.


Selanjutnya, siapa yang mengetahui hukum mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu.
Tak mungkin ada pertentangan antara keyakinan dan perbuatan. Oleh karena budi berdasar atas
pengetahuan, maka budi itu dapat dipelajari.

            Dari ucapan itu nyatalah bahwa ajaran etika Socrates intelektuil sifatnya. Selain dari itu juga
rasionil. Apabila budi adalah tahu, maka tak ada orang yang sengaja, atas maunya sendiri, berbuat
jahat. Kedua-duanya, budi dan tahu bersangkut-paut. Apabila budi adalah tahu, berdasarkan
timbangan yang benar, maka “jahat” hanya datang dari orang yang tidak mengetahui, orang yang
tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar. Orang yang kesasar adalah korban
daripada kekhilafannya sendiri. Kesasar bukanlah perbuatan yang disengaja. Tidak ada orang yang
khilaf atas maunya sendiri.

            Menurut Socrates, manusia itu pada dasarnya baik. Seperti dengan segala barang yang ada itu
ada tujuannya, begitu juga hidup manusia. Apa misalnya tujuan meja? Kekuatannya, kebaikannya.
Begitu juga dengan manusia. Keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan
budinya.

            Dari pandangan etika yang rasionil itu Socrates sampai kepada sikap hidup, yang penuh
dengan rasa keagamaan. Menurut keyakinannya, menderita kezaliman lebih baik dari berbuat zalim.
Sikap itu diperlihatkannya dengan kata dan perbuatannya, dalam pembelaannya di muka hakim.
Socrates adalah orang yang percaya kepada Tuhan. Alam ini teratur susunannya menurut wujud
yang tertentu. Hal itu katanya adalah tanda perbuatan Tuhan. Kepada Tuhan dipercayakannya
segala-galanya yang tak dapat diduga oleh otak manusia. Jiwa manusia itu dipandangannya bagian
daripada Tuhan yang menyusun alam. Sering pula dikemukakannya, bahwa Tuhan itu dirasai sebagai
suara dari dalam, yang menjadi bimbingan baginya dalam segala perbuatannya. Itulah yang
disebutnya daimonion. Bukan dia saja yang begitu katanya. Semua orang dapat mendengar suara
daimonion itu dari dalam jiwanya, apabila ia mau.

            Juga dalam segi pandangan Socrates yang berisi keagamaan, terdapat pengaruh paham
rasionalisme. Semuanya itu menunjukan kebulatan ajarannya, yang menjadikan ia seorang filosof
yang terutama seluruh masa.[14]
BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

              Filsafat etika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas masalah seputar
moralitas (norma-norma), prinsip-prinsip moral, dan teori-teori moral. Misalnya teori hati nurani,
teori rasa moral, teori keputusan moral, teori tentang kebaikan mutlak dan teori tentang kebaikan
relatif, teori tentang kejahatan, teori kriteria moral, teori tentang asal mula manusia harus bermoral,
dan lain-lain.

              Adapun filsafat etika ini memiliki aliran-aliran yang diantaranya yaitu aliran etika
naturalisme, aliran etika hedonisme, aliran etika utilitarisme, aliran etika idealisme, aliran etika
vitalisme, dan aliran etika teologis. Dimana aliran-aliran tersebut memiliki pandangan yang berbeda
dalam menanggapi masalah etika tersebut.

              Selanjutnya Socrates mengungkapkan bahwasanya intisari dari etika itu adalah budi, yang
berarti tahu. Ajaran etika yang diberikan oleh Socrates itu sifatnya intelektual dan rasional. Karena
cara penyampaian yang disampaikan oleh Socrates berdasarkan pada hal-hal yang masuk akal pada
umumnya dan dalam upaya penegakan sains dengan cara yang berdialog. Sebagai contoh ungkapan
Socrates yang mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya baik, hal itu sebagaimana dengan
segala barang yang ada itu pasti ada tujuannya, begitu juga dengan hidup manusia. Contohnya saja
tujuan dari meja, yaitu berupa kekuatan dan kebaikan yang dihasilkan oleh meja tersebut. Begitu
juga dengan manusia, yang mana keadaan dan tujuan manusia ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan
budinya.

              Sebagaimana para sofis, disini Socrates memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari
pengalaman keseharian dan kehidupan kongkret. Perbedaannya terletak pada penolakan Socrates
terhadap relatifisme yang pada umumnya dianut para sofis. Menurut Socrates tidak benar bahwa
yang baik itu baik bagi warga negara Athena dan lain lagi bagi warga negara Sparta. Yang baik
mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia, dan harus dijunjung tinggi oleh semua orang.
Pendirinya yang terkenal adalah pandangannya yang menyatakan bahwa keutamaan (arete) adalah
pengetahuan, pandangan ini kadang-kadang disebut intelektualisme etis. Dengan demikian, Socrates
telah menciptakan suatu etika yang berlaku bagi semua manusia.

3.2  Saran

              Perkataan adalah senjata, dan tindakan adalah keuntungan/kemenangan, dan hakikat


manusia senantiasa belajar dari alam dan kembali ke alam untuk belajar. Kebenaran akan datang
ketika kesalahan itu ada (sebab dan akibat).
              Proses berfikir dengan manusia yang lain itu selalu berada di garis yang sama, dan ketika
pincang maka timbullah yang dinamakan pertengkaran. Dan ketika kita belajar filsafat, tidak cukup
hanya dengan makalah ini saja, dan tidak cukup hanya mempelajarinya sehari dan semalam saja,
melainkan dengan berdiskusi/dialektika berorganisasi. Insan yang baik adalah insan yang berguna
dalam kehidupan untuk makhluk ciptaan Tuhan. Maka keharusan bagi kita sebagai makhluk yang
berfikir adalah belajar berorganisasi dan berjuang.

Cabang Cabang Filsafat Etika dan Estetika | Kegunaan Filsafat (GS)


BAB I  PENDAHULUAN
Filsafat yang dibahas dalam Makalah ini, mula-mula merujuk pada
penelusuran secara historis tentang perkembangan filsafat yang dimulai
pada masa Yunani Kuna.
Di masa Yunani Kuna (abad IV – VI SM), anggapan berfilsafat selalu
diartikan sebagai upaya manusia dalam mencari kebijaksanaan. Upaya
ini sejalan dengan melihat secara etimologis tentang arti filsafat,
yaitu philosophia, yang artinya senang, suka (philos) akan
kebijaksanaan (sophia). Bagi orang Yunani, senang akan kebijaksanaan
selalu diarahkan dengan kepandaian yang bersifat teoritis dan praktis.
Kepandaian bersifat teoritis adalah upaya manusia mencari pengetahuan
yang penuh dengan gagasan dan idea-idea, ataupun konsep-konsep yang
tentunya sejalan dengan cara atau alam pikiran mereka. Pada mulanya
gagasan ataupun idea-idea bangsa Yunani diarahkan untuk memahami
alam semesta ini dengan cara membuat atau menghadirkan mitos-mitos.
Di dalam mitos-mitos itulah kekuatan alam semesta berada pada
genggaman para penguasanya yaitu para Dewa. Dengan demikian
manusia atau bangsa Yunani sangat tergantung pada alam pikiran yang
bersifat magis bahkan dianggap tidak rasional, karena hanya di tangan
para Dewa lah dunia dengan segala isinya itu hadir diantara
mereka (Jujun S.Sumatriasumatri: 1988,hal.23).
BAB II
PEMBAHASAN
CABANG-CABANG FILSAFAT (ETIKA DAN ESTETIKA)

A.   Pengertian Aksiologi
Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu  yang mempertanyakan
bagaimana manusia menggunakan ilmunya (Burhanuddin Salam:
1997,hal. 35). Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani
yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti
ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri
mengartika aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S.Sumatriasumatri: 1988.23).
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada
pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan
nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap
insan. Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari
hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya
ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
dan di jalan yang baik pula.
B.   Penilaian Dalam Aksiologi
Dalam Aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika
dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis
dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada
prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu
cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik
sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan
mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika
sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno
diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-
pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-
norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan
norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah
dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar.
Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu
mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan (Jujun
S.Sumatriasumatri:1988, hal. 45).

C.   Pengertian Etika
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani, yaitu Ethos yang
berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminology, etika adalah
cabang filsfat yagn membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia
dalam hubungannya dengan baik dan buruk. Yang dapat dinilai baik buruk
adalah sikap manusia, yaitu yang menyangkut perbuatan, tingkah laku,
gerakan, kata-kata, dan sebagainya. Adapun motif, watak, dan suara hati
sulit untuk dinilai. Tingkah laku yang dikerjakan dengan kesadaran
sajalah yang dapat dinilai, sedangkan yang dikerjakan dengan tidak sadar
tidak dapat dinilai baik buruknya (Surajiyo: 2005, hal. 88).
Ruang lingkup etika meliputi bagaimana caranya agar dapat hidup
lebih baik dan bagaimana caranya untuk berbuat baik serta menghindari
keburukan. Etika dapat dibagi menjadi dua pokok yaitu:
1.   Etika Deskriptif
2.   Etika Normatif
Etika deskriptif hanya melukis,  menggambarkan, menceritakan apa
adanya, tidak  memberikan penilaian, tidak memilih mana yang baik baik
dan mana yang buruk, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya
berbuat. Contohnya sejarah etika.
Sedangkan etika normative yaitu sudah memberikan penilaian mana
yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana
yang tidak. Etika normative dapat dibagi menajadi etika umum dan etika
khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah
nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus
adalah pelaksanaan dari prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan,
etika dalam pekerjaan, dan sebagainya (Surajiyo: 2005, hal. 88).
Pembagian etika yang lain adalah etika individual dan etika social.
Etika individual membicarakan perbuatan atau tingkah laku manusia
sebagai individu. Misalnya tujuan hidup manusia. Etika social
membicarakan tingkah laku atau perbuatan dalam keluarga, Masyarakat
dan Negara (Sunoto: 1982, hal. 5-6).
Moral berasa dari kata Latin Mos jamaknya Mores yang mempunyai
arti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam
pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas
dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk
pengkajian system nilai yang ada. Ajaran moral adalah ajaran, wejaan,
khotbah, atau peraturan, apakah lisan atau tertulis tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.
Sumber langsung ajaran moral adalah berbagai orang dalam kedudukan
yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat
dan agama, dan tulisan para bijak seperti kitab Wulangreh karangan Sri
Sunan Pakubuwono IV. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran
moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran
dan pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran.
Jadi, etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada ditingkat yang sama
(Franz Magnis: 1987, hal. 14).
Etika pada hakikatnya mengamati moral secara kritis. Etika tidak
memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan
pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggung
jawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan). Etika tidak
membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggung
jawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral,
sedangkan kata moral, selalu mengacu pada baik dan buruknya manusia
sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat
dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok
ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia
dilihat dari segi baik dan buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai
pelaku peran tertentu dan terbatas (Franz Magnis Suseno:1987, hal. 18).
Objek etika menurut Franz Magnis Suseno (1987) adalah pernyataan
moral. Apabila diperiksa segala jenis moral, pada dasarnya hanya dua
macam, yaitu pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyataan
tentang manusia sendiri atau tentang unsur-unsur kepribadian manusia
seperti motif-motif, maksud, dan watak. Ada himpunan pernyataan ketiga
yang tidak bersifat moral, tetapi penting dalam rangka pernyataan
tentang tindakan.
D.   Pengertian Estetika
Estetika dari kata Yunani Aesthesis  atau pengamatan adalah cabang
filsafat yang berbicara tentang keindahan.  Objek dari estetika adalah
pengamalan akan keindahan. Dalam estetika yang dicari adalah hakikat
dari keindahan, bentuk-bentuk pengalaman keindahan (seperti keindahan
jasmani dan keindahan rohani, keindahan alam dan keindahan seni),
diselidiki emosi manusia sebabagai reaksi  terhadap yang indah, agung,
tragis, bagus, mengharukan, dan sebagainya.  Dalam estetika  dibedakan
menjadi estetika deskriptif dan estetika normative. Estetika deskriptif
menggambarkan gejala-gejalapengalaman keindahan, sedangkan estetika
normative mencari dasar pengalaman itu. Misalnya, ditanyakan apakah
keindahan itu akhirnya sesuatu yang objektif (terletak dalam lukisan)
atau justru subjektif (terletak dalam mata manusia itu sendiri)  (Surajiyo:
2005, hal.101).
Perbedaan lain dari estetika adalah estetis filsafat dengan estetis
ilmiah. Melihat bahwa definisi estetika merupakan suatu persoalan filsafat
yang sejak dulu sampai sekarang cukup diperbincangkan para filsuf dan
diberikan jawaban yang berbeda-beda. Perbedaan itu terlihat dari
berlainannya sasaran yang dikemukakan. The Liang Gie merumuskan
sasaran-sasaran itu adalah sebagai berikut:
1.   Keindahan
2.   Keindahan dalam alam dan seni
3.   Keindahan khusus pada seni
4.   Keindahan ditambah seni
5.   Seni (segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni)
6.   Citarasa
7.   Ukuran nilai baku
8.   Keindahan dan kejelekan
9.   Nilai nonmoral (nilai estetis)
10.                Benda estetis
11.                Pengamalan estetis (The Liang Gie: 1983, hal.20-21).
Estetis filsafati adalah estetis yang menelaah sasarannya secara
filsafati dan sering disebut estetis tradisional. Estetis filsafati ada yang
menyebut estetis analitis, karena tugasnya hanyalah mengurai. Hal ini
dibedakan estetis yang empiris atau estetis yang dipelajari secara ilmiah.
Jadi, estetis ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode-
metode ilmiah, yang tidak lagi merupakan cabang filsafat. Pada abad XX,
estetis ilmiah sering disebut juga estetis modern untuk membedakannya
dengan estetis tradisional yang bersifat filsafati (The Liang Gie: 1983, hal.
21).
E.   Pengertian Keindahan
Keindahan menurut etimologi berasal dari  kata Latin Bellum akar
kata Bonum yang berarti kebaikan.  Menurut cakupannya dibedakan
keindahan sebagai suatu kulitas abstrak (beauty) dan sebagai sebuah
benda tertentu yang indah (the beautiful). Kedua hal itu dalam filsafat
kadang-kadang dicampur adukan saja. Keindahan menurut luasnya dibagi
menjadi tiga macam yaitu sebagai berikut:
1.   Keindahan dalam arti  yang terluas
Keindahan merupakan pengertian yang berawal dari bangsa Yunani
dahulu yang di dalamnya tercakup ide kebaikan. Plato menyebut tentang
watak yang indah dan hukum yang indah. Aristoteles menyebut ilmu yang
indah dan kebajikan yang indah. Bangsa Yunani juga mengenal
pengertian berdasarkan penglihatan, harmonia untuk keindahan
berdasarkan pendengaran. Jadi, pengertian keindahan yang seluas-
luasnya meliputi keindahan seni, alam, moral, dan intelektual
2.   Keindahan dalam arti estetis murni
Menyagkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya
dengan segala sesuatu yang dicapainya.
3.   Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan
Jadi, disini lebih di sempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda
yang diserap dengan penglihatan berupa keindahan dari bentuk dan
warna. Semuanya belum jelas apa sesungguhnya keindahan itu? Hal itu
memang menjadi suatu persoalan filsafat yang jawabannya beraneka
ragam. Salah satu jawabanya adalah mencari cirri-ciri hakiki itu dengan
pengertian keindahan. Jadi, keindahan pada dasarnya adalah sejumlah
kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu. Kualitas yang paling
sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan
(harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan
(balance), perlawanan (contrast) (The Liang Gie: 1983, hal. 34-35).

F.   Filsafat Seni
Filsafat seni merupakan salah satu cabang dari rumpun estetis filsafati
yang khusus menelaah tentang seni. Lucius Garvin berpendapat, filsafat
seni adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan teori tentang
penciptaan seni, pengalaman seni dan kritik seni. Joseph Brennan
merumuskan penelaahan mengenai asas-asas umum dari penciptaan dan
penghargaan seni (The Liang Gi: 1983, hal.59).
Persoalan-persoalan pokok dalam seni meliputi empat persoalan
pokok, yaitu sebagai berikut:
1.   Pengertian seni
2.   Penggolongan jenis-jenis seni
3.   Susunan seni. Ini mencakup problem-problem yang lebih terperinci
tentang:
a.    Pokok soal dan tema
b.    Bahan dan unsur
c.    Organisasi dan style
4.   Nilai-nilai seni
Selain empat hal diatas, masih dapat ditambahkan dengan teori-teori
yang mengenai:
a.    Asal mula seni
b.    Sifat dasar dari seni
c.    Bentuk dan pengungkapan dalam seni serta berbagai teori sejarah seni
(The Liang Gie: 1983, hal. 59).

1.   Pengertian Seni
Apakah seni itu? Dijawab oleh para filsuf dan ahli estetis sepanjang
masa dengan pilihan yang berbeda-beda. Menurut The Liang Gie, ada
lima jawaban mengenai pengertian seni yaitu: seni sebagai kemahiran
(skill), seni sebagai kegiatan manusia (Human Activity), seni sebagai
Karya Seni, seni sebagai seni indah (fine art), dan seni sebagai
penglihatan (visual art).
2.   Penggolongan seni
Penggolongan seni disesuaikan dengan ukuran yang dipergunakan
masing-masing ahli tesis. Adapun penggolongan Seni itu  dapat
digolongkan sebagai:
a.    Seni kasar
b.    Seni indah, seni berguna/seni terapan/seni praktis
c.    Seni besar dan seni kecil

3.   Susunan Seni
Setiap karya seni merupakan ramuan dari sejumlah unsure yang
bersama-sama menyusun dan mewujudkan karya itu.  Dari sudut ini
terhadap suatu karya seni dapatlah dipermasalahkan pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut:
a.    Karya itu mengenai apa? Jawabanya menjadi pokok soal dari karya seni.
Paka karya-karya tertentu terdapat tema atau ide pokok yang menjadi
landasannya
b.    Karya itu terbuat dari apa? Ini persoalan bahan atau material dari karya
sni tersebut
c.    Karya itu bagaimana cara penyusunannya? Ini masalah pengorganisasian
dair bahan atau segenap unsur-unsur sehingga menjadi suatu kebulatan
yang utuh.
4.   Nilai Seni
Dilihat dari sudut mediumnya suatu karya seni mempunyai nilai
indrawi yang menyebabkan seseorang pengamat menikmati atau
memperoleh kepuasan dari cirri-ciri indrawi yang disajikan oleh suatu
karya seni. Misalnya, warna-warni yang terpancar dari sebuah lukisan,
kata-kata yang indah terdengar dalam suatu music. Nilai bentuk adalah
menghargai atau mengagumi bentuk besar dan pelbagai bentuk kecil
dalam karya seni (The Liang Gie: 1983, hal. 72-73).
Seni tidak hanya menyajikan bentuk-bentuk yang diserap indra mata
saja, tetapi juga mengandung tujuan abstrak yang bersifat rohaniah,
yaitu suatu makna yang dapat member arti bagi manusia. Adapun nilai-
nilai seni tersebut yaitu:
a.    Nilai kehidupan
b.    Nilai pengetahuan
c.    Nilai keindahan
d.   Nilai indrawi dan nilai bentuk
e.    Nilai kepribadian
f.     Nilai penciptaan seni (Surajiyo: 2005, hal. 113).
BAB III KESIMPULAN
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu
etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara
kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus
pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-
satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan
menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan
mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika
sendiri dalam buku Etika
Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai
pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini
sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat,
wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri,
etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan,
melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika
adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan
apa yang ia lakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Salam Burhanuddin, 1997. Logika Materil, Filsapat Ilmu Pengetahuan, Jakarta:


Reneka Cipta.

Sumatriasumatri Jujun S., 1988. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,


Jakarta: Sinar Harapan,

Liang Gie, The.1987. Garis-garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan).Yogyakarta:


Supersukses.

                       , 1987. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta:


Yayasan Studi Islam dan Teknologi.

Magnis Suseno Franz, 1987. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius

Surajiyo, 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengatar, Jakarta: Bumi Aksara.

Sunoto, 1982. Bunga Rampai Filsafat. Yogyakarta: Yayasan Pembinaan Fak.


Filsafat UGM.
Read more: http://grupsyariah.blogspot.com/2012/06/cabang-cabang-filsafat-
etika-dan.html#ixzz3R7VZAHxy

ETIKA DAN SIKAP ILMIAH DALAM


FILSAFAT ILMU
BAB I

Pendahuluan

A.    LATAR BELAKANG

Mempelajari filsafat berarti include mempelajari sederet tokoh ahli dan pikiran-pikiran yang
diproklamirkannya. Namun perlu ditegaskan pikiran-pikiran dimaksud adalah suatu pikiran yang
disebut pikiran filsafat. Karena tidak semua aktifitas berfikir tidak bisa disebut berfikir filsafat.
Profesor Cecep Sumarna dalam bukunya, Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju  Nilai, telah memberikan
batasan-batasan suatu pikiran disebut berfikir filsafat, yaitu :

1. Radikal

2. Sistemik

3. Universal

Melalui berfikir filsafat seperti itulah banyak persoalan dan pertanyaan-prtanyaan dari yang
ada dan yang tidak ada tapi ada bisa dicarikan jawabannya. Dalam tataran ini cukup dimengerti
apabila produk pemikiran filsafat mempengaruhi dan menjadi idiologi suatu masyarakat dari yang
terkecil sampai dalam bentuknya yang paling besar yaitu Negara. Nalar ini dapat dilihat dari makna
filsafat yang diurmuskan kepada dua hal: Pertama,  filsafat sebagai teori dan, Kedua,  filsafat sebagai
jalan hidup.

Dalam maknanya seperti itu, dapatlah dijelaskan bahwa filsafat telah memberikan konsep-
kosep metafisik dan kosmis yang bergerak di jagat raya ini dan merupakan dasar dari perenungan,
pencarian dalam filsafat. Sebagaiman telah menjadi dasar pemikiran filsafat, bahwa ada tiga hal
besar dan cabang utama dalam filsafat yaitu; ontology, efistimologi dan aksiologi.

Bagaimanakah persoalan filsafat ini memberi makna teoritis dan makna jalan hidup bagi
manusia dalam tulisan ini akan dicoba untuk menguraikannya, namun demikian pembahasan lebih
dikhususkan dalam persoalan aksiologinya. Berikut ini uraiannya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    ETIKA DALAM FILSAFAT ILMU

1.      Pengertian Etika

Etika adalah ilmu yang kritis . ia tidak boleh dicampurkan dengan sebuah system moralitas .
Etika adalah filsafat yang mempertanyakan dasar rasional system – system moralitas yang ada.
Sebagai refleksi kritis etika sebagai moralitas muncul pertama kali di Yunani . pada saat itu
masyarakat Yunani sedang mengalami semacam masa pancaroba social budaya . norma-norma dan
nilai-nilai tradisional mulai dipertanyakan . dalam situasi seperti itu kebutuhan akan etika timbul .
Etika membantu dalam mencari orientatasi terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang ada , baik 
yang tradisional ,maupun yang baru yang menewarkan diri sebagai alternative atau saingan. [1]

Etika  juga ilmu yang membahas perbuatan manusia baik dan perbuatan buruk manusia
sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak atau disebut pula moral.
Apabila disebut “akhlaq” berasal dari bahasa Arab. Apabila disebut moral berarti adat kebiasaan.
Istilah moral berasal dari bahsa Latin Mores.Tujuan mempelajari etika adalah untuk mendapatkan
konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu
tertentu. Etika biasanya disebut ilmu pengetahuan normatif sebab etika menetapkan ukuran bagi
perbuatan manusia dengan penggunaan norma tentang baik dan buruk.

Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatife. Etika
deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan
penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun etika
normatif sudah memberikan penialaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang
tidak harus dikerjakan. Etika Normatif dapat dibagi menjadi dua yaitu etika umum dan etika khusus.
Etika Umum membicrakan  prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan,
suara hati, dan sebagainya. Etika Khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika
pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya. [2]

Adapula yang mengajukan penggolongan filsafat kedalam tujuh persoalan, seperti H. De Vos
sebagai berikut:

1. Metafisika

2. Logika

3. Ajaran tentang ilmu pengetahuan

4. Filsafat alam Filsafat kebudayaan Filsafat sejarah

5. Etika[3]

Ahmad tafsir, membuat penggolongan filsafat dengan istilah sistematiak filsafat,


menjelaskan sistematika filsafat biasanya terbagi atas tiga cabang yaitu: Teori pengetahuan, teori
hakikat dan teori nilai (etika). Sebagai seorang islam,tentu saja pilihan etika adalah etika islam .hal ini
bukan karena konsekuensi iman saja tetapi juga karena etika Islam bukan sekedar teori tetapi juga
pernah dipraktikkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman sehingga mereka muncul sebagai
peyelemat dunia dan pelopor peradaban . Etika Islam berbeda dengan etika lain , mempunyai sosok
dalam diri Muhammad SAW menjadi teladan yang indah dalam konteks etika islam (Rahmat
1989:160).[4]

Dari sejumlah fenomena alam yang teramati seorang ilmuan memiliki masalah mana yang
patut mendapatkan perhatian .bila masalah ini telah diidentifikasikan dan dirumuskan lebih lebih
tegas, maka dilakukan proses pengamatan dan pengamatan dan pengukuran ditarik kesimpulan
yang boleh jadi berbentuk pengujian teori. Bila teori ini digunakan untuk memecahkan masalah-
masalah praktis atau membimbing kegiatan operasional,maka berarti kita sudah masuk ke dalam
penerapan ilmu,kita akan melihat bahwa dalam seluruh tahap ini etika tidak dapat diabaikan ,tau
dipinggirkan.

Dengan rumusan ruanglingkup filsafat sebagaimana diuraikan di atas, menjelaskan bahwa salah
satu kajian besar dalam filsafat adalah persoalan etika dan juga estetika, yang dalam beberapa hal
sering pula disepadankan dengan sopan santun atau moral.

2.   Macam-macam etika

Berbagai keterangan di atas, telah menjelaskan pemaknaan etika yang mencakupi tataran filosofis
hal ini karena etika adalah merupakan bagian kajian kefilsafatan. Dalam waktu yang bersamaan
kajian tidak bias dilakukan tanpa menyangkutkannya dengan tataran perksisnya yaitu tindakan
manusia itu sendiri. Dalam konteksnya yang seperti itu, studi etika atau fisafat moral ini,
dikatagorikan kedalam rumusan-rumusan sebagai berikut:

Cecep sumarna membagi kajian filsafat etika kedalam:

a. Etika normatif, etika yang mengkaji tentang baik buruknya tingkah laku.

b. Etika praktis,  kajian etika biasanya menyangkut soal tindakan yang harus dilakukan oleh manusia.
[5] 

Louis O. Kattsoff bahkan telah megkatagorikan kajian filsafat etika ini menjadi tiga macam. 

a. Etika deskriptif, yaitu melukiskan predikat-predikat dan tanggapantanggapan kesusilaan yang


telah diterima dan dipergunakan

b. Etika Normatif, yaitu yang bersangkutan degan penyaringan ukuran-ukuran kesusilaan yang khas.

c. Etika praktis, yaitu menyangkut hal yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat berdasarkan
pilihan terbaik dalam melakukan suatu tindakan. Macam ini lebih mirip dengan apa yang disebut
dengan etika terapan.
3.      Aliran-Aliran Etika

        Ada beberapa teori etika, Endang saefuddin Anshari misalnya menyebutkan ada enam aliran
penting dalam persoalan etika yaitu:

1. Aliran etika Naturalisme, ialah aliran aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu
didapatkan dengan menurutkan panggilan natura (fitrah) kejadian manusia sendiri.

2. Aliran etika hedonism, ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu adalah perbuatan
yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan kelezatan)

3. Aliran etka utilitarianisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu
ditinjau dari besar kecil dan besarnya manfa’at bagi manusia.

4. Aliran etika idealism, yaitu aliran yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat
pada sebab musabab lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsif kerohanian (idea) yang lebih
tinggi.

5. Aliran etika vitalisme, yaitu aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ada tidak
adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.

6. Aliran etika theologies, yaitu aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya
perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai dan tidaknyasesuainya dengan perinah Tuhan
(Theos=tuhan). Nilai dalam hal ini ditentukan oleh Tuhan (Islam).

4.      Etika dan moral

Seperti banyak disinggung sebelumnya, ada penyepadanan antara etika dengan moral, norma-
norma dan juga etika. Penyepadanan ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Pada
kenyataannya pada masing-masing istilah khususnya moral dan etika terdapat perbedaan yang
justru cukup signifikan. Dalam buku Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani,
K.Bertens seperti dikutip oleh Amril M. menuliskan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-
norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

Seperti K.Bertans, Loren Bagus juga menuliskan bahwa moral diantaranya menyangkut persoalan
kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik-dan buruk, benar salah, tepat tidak tepat,
atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.[6]] 

Sama seperti pengertian di atas. Frans Magis Suseno, seperti di ulas oleh Cecep Sumarna
menjelaskan bahwa moral dengan etika itu berbeda. Moral lebih cenderung parsial dan biasanya
dianut dan diikuti oleh setiap komunitas masyarakat yang juga parsial  Lebih luas lagi dijelaskan
bahwa moral selalu mengacu pada benar salahnya manusia dalam melakukan tindakanperilakunya
sebagai manusia. Moral adalah bidang kehidupan diloihat dari segi kebaikan dan keburukannya
sebagai manusia.
Sedangkan etika memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan moral. Etika atau filsafat
moral selain seorang dituntut dapat berprilaku sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai tertentu,
melainkan juga dituntut mampu mengetahui dan memahami system, alas an-alasan dan dasar-dasar
moral serta konsep-konsep secara rasional guna mencapai kehidupan yang lebih baik

Etika bedanya dari moral adalah merupakan konsepsi metaetika(pemikiran kritis yang mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan mengenai moral), ia adalah ilmu bukan suatu
ajaran, etika tidak mengajarkan bagaimana bagaimana manusia hidup melainkan memberikan
pengertian-pengertian mengapa manusia harus mengakui suatu moral tertentu. Oleh karena itu
disini letak fungsinya etika yaitu untuk mensistematisasi moralitas atau dapat juga disebut metode
untuk memahami ajaran moral. Oleh karena itu yang dihasilkan etika bukan kebaikan secara
langsung melainkan suatu pengertian yang mendasar dan kritis.

B.   Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki para ilmuan karena sikap ilmiah ini
merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah
manifestasi operasionalisasi jiwa. Berpikir termasuk tingkat kejiwaan manusia yang disebut kognisi
yang terjadinya adalah kerena adanya kesadaran dalam dirinya yang memiliki kekuatan rohaniah.
Oleh karena berpikir itu selalu mengarah dan diarahkan kepada suatu objek pemikiran, maka sikap
ini merupakan penampakan dasar pokok bagi pemikiran ilmiah. Jadi ilmiah ini dapat dikatakan
sebagai manifestasi operasionalisasi dari seseorang yang memiliki jiwa ilmiah. Dengan demikian jiwa
ilmiah dapat diketahui dari sikap ilmiahnya sebagai keseluruhan dan pengejawantahan jiwa ilmiah.
Sikap ilmiah ini antara lain Nampak pada sikap , yaitu:

1). Objektif

Sikap objektif ini diartikan sebagai sikap menyisihkan prasangka – prasangka pribadi (personal
bias) atau kecenderungan yang tidak beralasan. dengan kalimat lain, dapat melihat secara riil apa
asanya mengenai kenyataan objek. Karena dalam suatu penyelididikan yang dipentingkan adalah
objeknya, maka pengeruh subjek dalam membuat deskripsi, analisis dan hipotesis seharusnya
dilepaskan jauh-jauh. Walaupun tidaklah mungkin kita menemukan objektivitas yang absolute sebab
ilmu itu sendiri merupakan banyaknya akan ituk mewarnainya tetapi sikap objektif ini sekurang-
kurangnya , minimal dapat memperkecil pengaruh perasaannya sendiri dan mempersempit prangka
sikap tanpa pamrih. Sebab betapapun kecilnya pamrih yang tersertakan dalam suatu penijauan
tentu dapat memutar balikkan keadaan yang sebenarnya , bahkan menimbulkan arbitrarisme atau
sliptisisme.

2). Serba relatif


Ilmiah tidak mempunyai maksud untuk mencari kebenaran mutlak. Ilmu tidak mendasarkan
kebenaran ilmiahnya atas beberapa postulat yang secara apriori dalam ilmu sering digunakan oleh
teori-teori lain. Dan terutama untuk mengugurkan teori-teori sebelumnya yang sudah diterima.

3). Skeptis

Adapun yang termasuk sikap skeptic adalah selalu ragu terhadap pernyataan –pernyataan yang
belum cukup kuat dasar bukti, fakta-fakta maupun persaksian- persaksian autoritas dengan diikuti
sikap untuk dapat menyusun pemikiran-pemikiran baru. Atau sikap ini diatikan juga sebagai sikap
tidak cepat puas dengan jawaban tunggal. Kemudian ditelitinya lagi guna membanding-bandingkan
fenomena-fenomena yang serupa tentang hokum alam, hipotesis, teori, dugaan, dan atau pendapat
pendapat bahkan yang lebih actual lagi .

4) . Kesabaran Intelektual

Sikap sanggup menahan diri dan kuat untuk tidak menyerah kepada tekanan-tekanan maupun
intimidasi agar kita menyatakan suatu pendirian ilmiah karena agar kita menyatakan suatu pendirian
ilmiah karena memang belum tuntas dan belum cukup lengkap hasil penelitian kita tentang sesuatu
objek kajian ilmiah adalah sikap utama ahli ilmu.

5). Kesederhanaan

Sebagai sikap ilmiah, maka kesederhanaan adalah sikap yang ditampilkan dalam cara berpikir,
mengemukakan pendapat dan cara pembuktian. Sikap sederhana adalah sikap tengah-tengah antara
kesombongan intelektual dan stagnasi atau antara superioritas. Termasuk sikap sederhana adalah
sikap terbuka bagi semua kritikan, berjiwa dan lapang dada, tidak emotif atau egosentris, rendah
hati dan tidak fanatik buta, tetapi penuh toleransi terhadap hal-hal yang diketahuinya maupun yang
belum diketahuinya.

6). Tidak Memihak pada Etik

Sikap tidak memihak pada etik dalam mempelajari ilmu maupun dalam dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan, artinya bahwa ilmu itu tidak mempunyai tujuan untuk pada akhirnya membuat
penilaian baik-buruk, karena hal itu adalah menjadi wewenang ilmu akhlak (Etika) yang menyangkut
cara bertingkah laku. Tetapi ilmu memiliki tugas untuk mengumukakan apa yang betul (true) dan apa
yang keliru (false) secara relative.

7). Menjangkau Masa Depan

Orang yang bersikap ilmoah itu mempunyai wawasan yang luas dan pandangan jauh ke depan
(perspektif) serta berorientasi kepada tugasnya. Perkembangan teknologi dan pesatnya kebudayaan
pada umumnya menarik perhatian para ilmuan dan karenanya ia berpandangan jauh ke masa depan.
Sikap ini mendorong dirinya untuk selalu bersikap penasaran dalam mencari kebenaran (true) dan
tidak puas dengan apa yangt ada padanya, juga tidak lekas berputus asa atau tidak kenal frustasi. Dia
senantiasa membuat hipotesis – hipotesis, analisis-analisis, atau ramalan-ramalan ilmuah, tentang
kemungkinan-kemungkinan itu bukan tentang kemutlakan-kemutlakan.

Hakikat ilmu tidak berhubungan dengan title profesi atau pangkat kedudukan tertentu. Hakikat
keilmuan ditentukan oleh cara berpikir seseorang yang dilakukan menurut persyaratan-persyaratan
keilmuan, namun demikian perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan hanya cukup mempelajari
gejala alam semesta ini, tata aturan dan hokum-hukumnya, tanpa perlu mendari asal dan sebab
musabab wujudnya dan dipandang sebagai suatu latihan dalam mencari menyusun, meresapkan dan
menghayati nilai-nilai dasar yang bersifat nisbi (relatif) dan sementara (tentatif).

Jadi filsafat ilmu tidak bermaksud memutlakkan ilmu, tetapi mengkaji secara mendalam hakikat
ilmu pengetahuan atau sains. dalam konteks ini, untuk mengetahui hakikat cara memperoleh
pengetahuan perlu mendalami kajian epistemology ilmu. Dalam hal ini epistemology merupakan
bagian dari spectrum kajian filsafat ilmu yang banyak mendapat perhatian para ilmuwan, karena
berkenaan dengan hakikat sumber dan cara memperoleh sains.[7]

  

KESIMPULAN……..
Etika adalah ilmu yang kritis . ia tidak boleh dicampurkan dengan sebuah system moralitas .
Etika adalah filsafat yang mempertanyakan dasar rasional system – system moralitas yang ada.
Sebagai refleksi kritis etika sebagai moralitas muncul pertama kali di Yunani . pada saat itu
masyarakat Yunani sedang mengalami semacam masa pancaroba social budaya . norma-norma dan
nilai-nilai tradisional mulai dipertanyakan . dalam situasi seperti itu kebutuhan akan etika timbul .
Etika membantu dalam mencari orientatasi terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang ada , baik 
yang tradisional ,maupun yang baru yang menewarkan diri sebagai alternative atau saingan.

Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki para ilmuan karena sikap ilmiah ini
merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah
manifestasi operasionalisasi jiwa. Berpikir termasuk tingkat kejiwaan manusia yang disebut kognisi
yang terjadinya adalah kerena adanya kesadaran dalam dirinya yang memiliki kekuatan rohaniah.
Oleh karena berpikir itu selalu mengarah dan diarahkan kepada suatu objek pemikiran, maka sikap
ini merupakan penampakan dasar pokok bagi pemikiran ilmiah. Jadi ilmiah ini dapat dikatakan
sebagai manifestasi operasionalisasi dari seseorang yang memiliki jiwa ilmiah. Dengan demikian jiwa
ilmiah dapat diketahui dari sikap ilmiahnya sebagai keseluruhan dan pengejawantahan jiwa ilmiah.

FILSAFAT, ETIKA DAN ILMU: Upaya Memahami Hakikat Ilmu dalam Konteks Keindonesiaan Oleh: Sri
Rahayu Wilujeng Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro ABSTRACT Philosophy emerged in the
Greek region about two thousand five hundred years ago as an effort to seek the truth. This is an
important moment for the birth of science. Philosophy is the mother of science. Science is essentially
an attempt to help human solve the problem. Science should benefit humans’ life. However, due to
the development of science is very rapid paradigm change, not more science to human, but human
for the sciences. Science separated from its ethical dimension, so that science became lost it’s
substantially. Francis Bacon motto that knowledge is power has led to the loss of Sciences
essentially, in turn, will lead to the destruction and human misery. Keywords: philosophy, ethics,
science, human A. PENDAHULUAN Setinggi-tinggi bintang di langit masih tinggi moralitas di dada
manusia. (Immanuel Kant 1724-1802) Kalimat di atas merupakan kata mutiara yang tertulis di batu
nisan makan Immanuel Kant. Kant adalah salah satu dari sedikit filsuf (ilmuwan) yang yang intens
membicarakan masalah moral di tengahtengah euforia pengagungan akal di jaman modern.
Menurut Kant kelebihan dan keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk lain adalah pada
moralnya. Pada morallah manusia menemukan hakekat kemanusiaannya. Kepercayaan dan
memujaan akal yang berlebihan masih terus berlangsung sampai sekarang. Francis Bacon seorang
Empirisme Inggris mengagungkan semboyan “Knowledge is power”. Aktivitas akal yang
menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah kemajuan bagi kehidupan manusia.
Kehidupan manusia semakin mudah, tingkat kemakmuran semakin tinggi. Inilah hasil dari
representasi manusia sebagai Animal Rasionale. Namun ada pertanyaan yang mendasar sehubungan
dengan hal ini, apakah benar yang menjadi keunggulan manusia itu adalah akalnya, sehingga aspek-
aspek manusia yang lain tidak perlu dihiraukan? Bagaimana dengan dampak negatif dari ilmu
pengetahuan. Di dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan dunia akademis di Indonesia
semboyan 80 Francis Bacon knowledge is power sebaiknya direvisi menjadi knowledge is power but
moral is more. B. PEMBAHASAN 1. FILSAFAT Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani “philosophia”
dari kata “philos” artinya cinta dan “Sophia” artinya pengetahuan yang bijaksana. Kemunculan
filsafat pada abad ke 5 SM merupakan pendobrakan terhadap jaman mitos pada masa itu. Terjadi
revolusi pemikiran terhadap dominasi jaman mitos atas klaim kebenaran. Masa ini merupakan masa
penting dimana akal mulai digunakan dalam upaya mencari kebenaran, akal sebagai sarana mencari
kebenaran, akal sebagai sumber kebenaran. Sejarah pemikiran memasuki jaman baru yaitu jamam
Logos. Filsafat dikatakan sebagai mother of science. Dalam perkembangannya filsafat melahirkan
cabang-cabang ilmu, yang berkembang menjadi ranting-ranting ilmu, sub-ranting ilmu. Dalam
perkembangannya ilmu menjadi semakin spesifik dan teknis yang bergerak sendiri-sendiri yang tidak
saling menyapa. Dalam perkembangannya banyak sekali permasalahan mendasar muncul yang
menyebabkan ilmu semakin jauh dari hakekatnya. Filsafat mempunyai dua pengertian: Pertama
filsafat sebagai produk: mengandung arti filsafat sebagai jenis ilmu pengetahuan, konsep-konsep,
teori, sistem aliran yang nerupakan hasil proses berfilsafat. Ke dua filsafat sebagai suatu proses,
dalam hal ini filsafat diartikan sebagai bentuk aktivitas berfisafat sebagai proses pemecahan masalah
dengan menggunakan cara dan metode tertentu. (Kaelan: 6-7) Sebagai sebuah ilmu Filsafat adalah
ilmu pengetahuan dengan objek material adalah: yang “Ada” mencakup manusia, alam,Tuhan
(anthropos, cosmos, Theos) beserta problematika di dalamnya, sedangkan objek formal filsafat
adalah menelaah objek materialnya secara mendalam sampai ditemukan hakekat/intisari
permasalahan. Tidak semua kegiatan berpikir itu adalah suatu aktivitas berfilsafat. Kegiatan berpikir
secara kefilsafatan (dalam arti sebagai) ilmu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: KritisRadikal-
Konseptual-Koheren-RasionalSpekulatif-Sistematis-Komprehensif-BebasUniversal Di samping filsafat
telah berkembang menjadi ilmu-ilmu khusus, di dalam filsafat sendiri mempunyai cabangcabang
yang terus berkembang sesuaia dengan perkembangan permasalahan yang dihadapi. Cabang filsafat
yang pokok adalah: Ontologi-Epistemologi-Metodologi-81 Logika-Etika-Estetika. Cabang-Cabang
filsafat ini merupakan lingkaran pertama, selanjutnya masih adal lingkaran ke dua seperti: filsafat
sosial, filsafat politik, filsafat kukum, filsafat ekonomi, filsafat agama, dan lingkaran ke tiga seperti:
filsafat ilmu, filsafat kebudayaan, filsafat bahasa, filsafat lingkungan. 2. ETIKA (FILSAFAT MORAL)
Etika adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang nilai baikburuk. Etika disebut juga
Filsafat Moral. Etika membicarakan tentang pertimbanganpertimbangan tentang tindakan-tindakan
baik buruk, susila tidak susila dalam hubungan antar manusia. Etika dari bahasa Yunani ethos yang
berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan moral dari kata mores yang berarti cara hidup atau
adat. Ada perbedaan antara etika dan moral. Moral lebih tertuju pada suatu tindakan atau
perbuatan yang sedang dinilai, bisa juga berarti sistem ajaran tentang nilai baik buruk. Sedangkan
etika adalah adalah pengkajian secara mendalam tentang sistem nilai yang ada, Jadi etika sebagai
suatu ilmu adalah cabang dari filsafat yang membahas sistem nilai (moral) yang berlaku. Moral itu
adalah ajaran system nilai baik-buruk yang diterima sebagaimana adanya, tetapi etika adalah kajian
tentang moral yang bersifat kritis dan rasional. Dalam perspektif ilmu, istilah ajaran moral Jawa
berbeda dengan Etika Jawa dalam hal cakupan pembahasannya. Banyak pendapat tentang etika,
dalam tulisan ini sengaja hanya dikutip sedikit pendapat yang memadai. “Ethic (from Greek Ethos
„character‟ is the systematic study of the nature of value concept, „good‟, „bad‟, „ought‟, „right‟ ,
wrong, etc. and of the general principles which justify us in applaying them to anything; also called
„moral philosophy‟. “ (Encyclopedia Britanica: 752) “The term „Ethics is used in three different but
related ways, signifying 1) a general pattern or way of life, 2) a set rules of conduct or moral code, 3)
inquiry about way of life of rules of conduct”. (Edwards, Encyclopedia of Philosophy: 81) Secara
umum etika diklasifikasikan menjadi dua jenis; pertama etika deskriptif yang menekan pada
pengkajian ajaran moral yang berlaku, membicarakan masalah baik-buruk tindakan manusia dalam
hidup bersama. Yang ke dua etika normatif, suatu kajian terhadap ajaran norma baik buruk sebagai
suatu fakta, tidak perlu perlu mengajukan alasan rasional terhadap ajaran itu, cukup merefleksikan
mengapa hal itu sebagai suatu keharusan. Etika normatif82 terbagi menjadi dua: etika umum yang
membicarakan tentang kebaikan secara umum, dan etika khusus yang membicarakan pertimbangan
baik buruk dalam bidang tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari pengertian etika sering disamakan
dengan moral, bahkan lebih jauh direduksi sekedar etiket. Moral berkaitan dengan penilaian baik-
buruk mengenai halhal yang mendasar yang berhubungan dengan nilai kemanusiaan, sedang
etika /etiket berkaitan dengan sikap dalam pergaulan, sopan santun, tolok ukur penilaiannya adalah
pantas-tidak pantas. Di samping itu ada istilah lain yang berkaitan dengan moral, yaitu norma.
Norma berarti ukuran, garis pengarah, aturan, kaidah pertimbangan dan penilaian. Norma adalah
nilai yang menjadi milik bersama dalam suatu masyarakat yang telah tertanam dalam emosi yang
mendalam sebagai suatu kesepakatan bersama (Charis Zubair: 20) Norma ada beberapa macam:
norma sopan santun, norma hukum, norma kesusilaan (moral), norma agama. Masingmasing norma
ini mempunyai sangsi. Fenomena yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dewasa ini adalah bahwa
masyarakat hanya takut pada norma hukum yang mempuyai sangsi yang jelas dan tegas yang
pelaksanaannya berdasarkan kekuatan memaksa. Sedang norma moral yang pelaksanaannya
berdasarkan kesadaran sebagai manusia, tidak ada sangsi yang nyata mulai ditinggalkan. Esensi
pembeda antara manusia dan makhluk lain adalah pada aspek moralnya. Pada morallah manusia
menemukan esensi kemanusiaannya, sehingga etika dan moral seharusnya menjadi landasan
tingkah laku manusia debgan segala kesadarannya. Ketika norma moral (moralitas) tidak
ditakuti/dihargai maka masyarakat akan kacau. Moralitas mempunyai nilai yang universal, dimana
seharusnya menjadi spirit landasan tindakan manusia. Norma moral muncul sebagai kekuatan yang
amat besar dalam hidup manusia. Norma moral lebih besar pengaruhnya dari pada norma sopan
santun (pendapat masyarakat pada umumnya), bahkan dengan norma hukum yang merupakan
produk dari penguasa. Atas dasar norma morallah orang mengambil sikap dan menilai norma lain.
Norma lain seharusnya mengalah terhadap norma moral. (Magnis Suseno: 21) Thomas Aquinas
berpendapat bahwa suatu hukum yang bertentangan dengan hukum moral akan kehilangan
kekuatannya. Mengapa manusia harus beretika/bermoral? Dalam tulisan ini selanjutnya istilah etika
dan moral mempuyai arti yang sama untuk merujuk pada penilaian perbuatan baik-buruk dengan
alasan rasional. Kenapa manusia dalam kehidupannya harus 83 beretika. Kenapa segala tindakan
manusia tidak lepas dari penilaian, sementara makhluk lain tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini
sebaiknya kita telusuri bebarapa anggapan dasar tentang hakekat manusia. Menurut ahli biologi
Inggris Charles Robert Darwin yang juga senada dengan Aristoteles bahwa ada perkembangan dari
taraf-taraf kehidupan yaitu, benda mati-tumbuh-tumbuhanbinatang-manusia. (Sunoto, 63-65 )
Benda mati = tidak hidup (berkembang) hanya mengalami perubahan karena proses tertentu.
Tumbuh-tumbuhan = benda mati+hidup (berkembang) Binatang = benda mati+ hidup (berkembang)
+nafsu Manusia = benda mati+ hidup (berkembang)+nafsu+akal Secara umum yang membedakan
manusia dengan binatang adalah pada akalnya. Akal merupakan unsur pembeda, bukan unsur yang
membuat manusia lebih unggul dengan makhluk lain. Akal memnpunyai dua aspek dalam
penggunaannya jika digunakan secara benar akan meningkatkan taraf kemanusiaaannya, tetapi jika
digunakan secara tidak benar akan menurunkan derajat manusia menjadi binatang bahkan lebih
rendah dari binatang. Evolusi kehidupan yang digambarkan oleh Darwin tersebut lebih didasarkan
pada pertimbangan biologi. Akan lebih baik jika proses evolusi ini dilanjutkan dengan didasarkan
pertimbangan humanis-filosofis. Dengan demikian akhir dari evolusi kehidupan ini akan
menggambarkan sebagai manusia baik yang terdiri dari unsur: benda mati+hidup (berkembang)
+nafsu+akal+moral. Kekuatan moral dibutuhkan untuk mengendalikan akal dan nafsu sehingga
kehidupan manusia menjadi lebih bermakna. Mengapa manusia harus bermoral/beretika?
Jawabannya adalah karena manusia makhluk yang berakal, segala perbuatan, tindakan, dan
perkataan manusia harus dipertanggungjawabkan. Perbuatan makhluk berakal senantiasa dinilai.
Perbuatan yang bernilai itulah yang menjadikan kehidupan manusia menjadi bermakna. Hidup
manusia tidak hanya sekedar melangsungkan spesies, tetapi bagaimana ia dapat bertanggung jawab
terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat bangsa/Negara dan kemanusiaan secara umum.
Tuntuntan tanggung jawab ini meyangkut kegiatan manusia dalam segala bidang. Kenapa hanya
manusia yang harus bermoral? Norma moral itu berlaku mutlak, tetapi tidak memaksa. Norma moral
berlaku bagi semua manusia, tidak berlaku bagi 84 hewan, karena hanya manusia yang berakal.
Semua tindakan manusia dalam segala bidang itu senantiasa menghadapi penilaian. Tindakan
manusia selalu dinilai, dan setiap saat iapun selalu menilai. Apakah semua manusia sebagai makhluk
yang berakal dikenai norma moral/etika? Jawabnya adalah tidak. Moral dan etika hanya dikenakan
pada manusia yang akalnya berfungsi, manusia yang mempunyai kesadaran (kesadaran dalam hal ini
tidak dalam arti medis, tetapi psikologisfilosofis). Penilaian hanya ditujukan bagi manusia yang
mempunyai akal dan sudah mempunyai kesadaran. Penilaian moral tidak dikenakan pada orang yang
hilang ingatan, gila, sehingga tidak mempunyai kesadaran atau anak kecil yang kesadarannya belum
tumbuh. Manusia dengan kriteria ini tidak dikenai tanggung jawab terhadap atas segala tindakannya,
kalau dikenai tindakan maka harus disesuaiakan dengan taraf kesadarannya. Alasan dasar dan
rasional mengapa manusia harus menggunakan moral/etika sebagai landasan segala tindakannya
adalah karena dia berakal dan mempunyai kesadaran. Sebagai contoh: Ada seekor kucing yang lapar,
di depannya ada makanan yang biasa dimakannya, tanpa banyak pertimbangan dia tentu akan
segera menyantapnya. Berbeda dengan manusia, walaupun ia lapar di hadapannya ada makanan
lezat ia tidak akan langsung menyantapnya. Berbagai macam pertimbangan akan menjadi dasar
apakah ia akan menyantap makanan di depannya, apakah ia berhak menyantapnya, apakah
makannya harus sekarang, bagaimana cara menyantapnya dan lainlain. Manusia bermoral tidak akan
memakan apa yang bukan haknya, manusia bermoral akan mampu mengendalikan nafsu untuk
makan, manusia juga akan menggunakan kaidah kepantasan dalam hal cara melakukan sesuatu.
Mungkin hal ini dianggap sepele, justru inilah harus disadari bahwa untuk hal yang kecil dan aktivitas
sehari-hari saja banyak sekali pertimbangan, apalagi untuk masalah yang lebih besar dan mendasar.
Sebagai contoh koruptor secara hakiki bisa dikatakan bukan manusia, tetapi seperti binatang, karena
ada beberapa spesies binatang yang mempunyai otak memadai sehingga mempunyai kecerdasan,
bahkan lebih rendah dari binatang. Binatang tidak bisa membedakan yang mana yang menjadi
haknya dan yang mana bukan, namum koruptor bisa membedakan hanya saja ia tidak mau tahu.
Moral mutlak berlaku bagi manusiadalam hidup bersama. Manusia adalah makhluk yang berbudaya.
Kebudayaan ini hanya bisa tumbuh dalam hidup bersama. Manusia adalah Animal Sociale/Zoon
Politicon. Manusia adalah 85 makhluk yang hidup bersama-sama dengan manusia lain, Ia
membutuhkan manusia lain. Makhluk berbudaya merupakan resultante dari hakekat manusia
sebagai Animal Sociale, Animal Rasionale dan makhluk yang bermoral. C. ILMU PENGETAHUAN DAN
ETIKA Sekilas tentang Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan yang dalam bahasa Inggris science,
bahasa lati scientia berarti mempelajari atau mengetahui. Ilmu pengetahuan berbeda dengan
pengetahuan (episteme). Ilmu pengetahuan bisa berasal dari pengetahuan tetapi tidak semua
pengetahuan itu adalah ilmu. Ada beberapa syarat suatu pengetahuan dikategorikan ilmu. Menurut
I.R. Poedjowijatno ilmu pengetahuan memiliki beberapa syarat: (Abbas Hamami: 4) 1.Berobjek:
objek material sasaran/bahan kajian, objek formal yaitu sudut pandang pendekatan suatu ilme
terhadap objeknya 2.Bermetode, yaitu prosedur/cara tertentu suatu ilmu dalam usaha mencari
kebenaran 3.Sistematis, ilmu pengetahuan seringkali terdiri dari beberapa unsur tapi tetap
merupakan satu kesatuan. Ada hubungan, keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang
lain. 4. Universal, ilmu diasumsikan berlaku secara menyeluruh, tidak meliputi tempat tertentu atau
waktu tertentu. Ilmu diproyekasikan berlaku seluas-luasnya. Adapun ilmu pengetahuan memilki
beberapa sifat: 1.terbuka: ilmu terbuka bagi kritik, sanggahan atau revisi baru dalam suatu dialog
ilmiah sehingga menjadi dinamis. 2.milik umum, ilmu bukan milik individual tertentu termasuk para
penemu teori atau hukum. Semua orang bisa menguji kebenarannya, memakai, dan
menyebarkannya. 3.objektif: kebenaran ilmu sifatnya objektif. Kebenaran suatu teori, paradigma
atau aksioma harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan. Ilmu dalam penyusunannya
harus terpisah dengan subjek, menerangkan sasaran perhatiannya sebagaimana apa adnya. 4.relatif:
walaupun ilmu bersifat objektif, tetapi kebenaran yang dihasilkan bersifat relative/tidakl mutlak
termasuk kebenaran ilmu-ilmu alam. Tidak ada kebenaran yang absolut yang tidak terbantahkan,
tidak ada kepastian kebenaran, yang ada hanya tingkat probabilitas yang tinggi. Nilai-Nilai dalam
Ilmu Pengetahuan Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan terdapat masalah mendasar
yang sampai sekarang menjadi perdebatan panjang yaitu masalah apakah ilmu itu 86 bena nilai atan
tidak. Ada dua sikap dasar. Pertama kecederungan puritan-elitis, yang beranggapan bahwa ilmu itu
bebas nilai, bergerak sendiri (otonom) sesuai dengan hukum-hukumnya. Tujuan ilmu pengetahuan
adalahuntuk ilmu pengetahuan itu sendiri. Motif dasar dari ilmu pengetahuan adalah memenuhi
rasa ingin tahu dengan tujuan mencari kebenaran. Sikap seperti ini dimotori oleh Aristoteles yang
kemudian dilanjutkan oleh ilmuwanilmuwan ilmu alam. Ilmu harus otonom, tidak boleh tunduk pada
nilai-nilai di luar ilmu sseperti nilai agama, nilai moral, nilai sosial, kekuasaa. Jika ilmu tunduk pada
nilai-nilai di luar dirinya maka tidak akan didapatkan kebenaran ilmiah objektif dan rasional. (Sony
Keraf: 150) Ilmu pengetahuan tidak akan berkembang. Ia hanya sekumpulan keyakinan-keyakinan
tanpa didukung argument yang objektif dan rasional. Yang ke dua kecenderungan pragmatis. Ilmu
pengetahuan tidak hanya semata-mata mencari kebenaran. Ilmu pengetahuan harus berguna untuk
memecahkan persoalan hidup manusia. Kebenaran ilmiah tidak hanya logisrasional, empiris, tetapi
juga pragmatis. Kebenaran tidak ada artinya kalau tidak berguna bagi manusia. Semboyan dasar
dasar dari sikap pragmatis ini adalah bahwa ilmu pengetahuan itu untuk manusia. Ke dua kubu yang
bertentangan ini mempunyai asumsi yang berbeda, tetapi bukannya tidak dapat dipadukan. Jalan
keluar dari kemelut ini adalah sintesis ke duanya. Berkaitan dengan ilmu harus dibedakan Context of
justification dan context of discovery. Context of justifiction adalah konteks pengujian ilmiah
terhadap hasil penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah. Dalam konteks ini pengetahuan harus
didasarkan pada pertimbanganpertimbangan murni yang objetif dan rasional, tidak boleh ada
pertimbangan lain. Satu-satunya yang berlaku dan dipakai untuk pertimbangan adalah nilai
kebenaran. Ia tidak mau peduli terhadap pertimbanganpertimbangan lain di luar dirinya. Ilmu
bersifat otonom. Ilmu yang berdialog dalam dirinya sendiri itu bebas nilai. Ia berada di bawah
pertimbangan ilmiah murni. (Sony Keraf, 155-156) Context of discovery adalah konteks di mana ilmu
pengetahuan itu ditemukan. Dalam konteks ini ilmu tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan selalu
ditemukan dan berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dalam konteks social
tertentu. (Sony Keraf: 154) Kegiatan ilmiah mempunyai sasaran dan tujuan yang lebih luas dari
sekedar menemukan kebenaran ilmiah. Ilmu pengetahuan muncul untuk memenuhi kebutuhan
manusia sehingga 87 sejak awal ilmu pengetahuan mempunyai motif dan nilai tertentu. Ilmu
pengetahuan dalam kontek keIndonesiaan Tradisi kegiatan ilmiah di Indonesia memang belum
mapan sebagaimana tradisi di dunia Barat. Justru itu masalah nilai dan ilmu ini harus dipahami sejak
awal sebagai suatu koridor bagi kehidupan ilmiah di Indonesia. Bangsa Indonesia mempunyai sistem
nilai sendiri yang melandasi berbagai bidang kehidupan termasuk kehidupan ilmiah. Pancasila
sebagai core value dalam kehidupan ilmiah adalah suatu imperative Ilmu dalam konteks pengujian,
dalam proses dalam dirinya sendiri memang harus bebas nilai, objektif rasional, namun di dalam
proses penemuannya dan penerapannya ilmu tidak bebas nilai. Ilmu harus memperhatikan nilai-nilai
yang ada dan berlaku di masyarakat. Ilmu harus mengemban misi yang lebih luas yaitu demi
peningkatan harkat kemanusiaan. Ilmu harus bermanfaat bagi manusia, masyarakat, bangsa dan
Negara Indonesia. Namun demikian tolok ukur manfaat itu tidak hanya sekedar manfaat pragmatis
yang sesaat atau untuk kepentingan tertentu, sehingga ilmu kehilangan idealismenya. Ilmu yang
dikembangkan harus tetap objektif bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan tidak boleh
bertentangan dengan nilai Pancasila, yaitu nilai teositas, nilai humanitas, nilai integritas kebangsaan,
nilai demokrasi dan nila keadilan sosial. (Sri Rahayu Wilujeng, 2012, Draf materi Filsafat Ilmu dalam
Pendidikan Kharakter bagi Mahasiswa Baru 2012) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung
makna bahwa manusia tidak hanya semata-mata mengakui dan menghargi kemampuan rasionalitas
manusia semata tetapi juga menginsyafi bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar. Manusia tidak
hanya dihargai karena aktifitas akalnya saja tetapi juga aspekaspek lain yang irrasional. Sila
kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan harus
dikembalikan pada fungsi semula utuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok atau sector
tertentu (T. Jacob: 42-43) Sila Persatuan Indonesia, mempuyai makna bahwa ilmu pengetahuan
walaupun bersifat universal harus juga mengakomodasikan yang lokal sehingga berjalan harmonis.
Ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh menghancurkan dan membahayakan integritas
nasional bangsa Indonesia. Sila ke empat mengandung pengertian bahwa ilmu pengetahuan yang
dikembangkan tidak boleh hanya diputuskan atau dikendalikan segelintir orang. Berbagai pendapat
para pakar di bidangnya harus dipertimbangkan, sehingga menghasilkan suatu pertimbangan 88
yang representatif untuk harus mengakomodasi rasa keadilan bagi rakyat banyak. Ia tidak boleh
mengabdi pada sekelompok kecil masyarakat, apalagi hanhya mengabdi pada kepentingan penguasa
Lingkungan akademis adalah tempat dimana ilmu pengetahuan itu disemaikan. Dunia akademis di
Indonesia mempunyai tugas yang lebih berat dari sekedar kehidupan ilmiah yang hanya menekankan
aspek rasionalitas. Dunia akademis Indonesia mempunyai tugas dan tanggung jawab yang lebih
besar. Dosen bukan hanya sebagai guru (teacher) sebagai tukang transfer pengetahuan. Dosen
adalah pendidik yang bertugas untuk membimbing anak didik menjadi insan yang pintar dan
bermoral. (Sri Rahayu Wilujeng, 2012, Draft Materi Filsafat Ilmu dalam Pendidikan Kharakter bagi
Mahasiswa Baru UNDIP 2012). Di lain pihak ia adala seorang ilmuwan yang menjalankan kegiatan
ilmiah. Seperti di paparkan di atas bahwa ilmu itu bebas nilai, tetapi kegiatan keilmuan itu
dilaksanakan oleh ilmuwan di bawah suatu lembaga/otoritas akademis yang menyangkut berbagai
kepentingan, maka harus ada nilai-nilai yang menjadi ruh yang mengendalikannya. Dibutuhkan suatu
etika ilmiah bagi ilmuwan, sehingga ilmu tetap berjalan pada koridornya yang benar. Sikap ilmiah
harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Perlu di sadari bahwa sikap ilmiah ini ditujukan pada dosen,
tetapi harus juga ada pada mahasiswa yang merupakan out put dari aktivitas ilmiah di lingkungan
akademis. (Ibid.) 1. Sikap ilmiah pertama yang harus dimiliki oleh setiap ilmuwan adalah kejujuran
dan kebenaran. Nilai kejujuran dan kebenaran ini merupakan nilai interinsik yang ada di dalam ilmu
pengetahuan, sehingga harus integral masuk dalam etos semua aktor ilmu pengetahuan di dalam
lembaga akademis. Kejujuran ini menyangkut proses dalam kegiatan ilmiah, klaim kebenaran yang
dihsilkan dari proses ilmiah, maupun dalam penerapan suatu ilmu pengetahuan. Tanpa kejujuran
tidak akan di dapat kebenaran sebagaimana apa adanya, sedangkan motif dasar ilmu pengetahuan
adalah memenuhi rasa ingin tahu untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Sikap jujur &
obyektif. Sikap ilmiah tercermin pada sikap jujur dan objektif dalam mengumpulkan faktor dan
menyajikan hasil analisis fenomena alam dan sosial melalui cara berpikir logis. Sikap jujur dan
objektif menghasilkan produk pemikiran berupa penjelasan yang lugas dan tidak bias karena
kepentingan tertentu. 2. Tanggung jawab. Sikap ini mutlak dibutuhkan berkaitan dengan kegiatan
penelitaian maupun dalam aplikasi ilmu serta, di dalam aktivitas ilmiah akademis. 3. Setia. Seorang
ilmuwan harus setia pada profesi dan setia pada ilmu 89 yang ditekuni. Ia harus setiap menyebarkan
kebenaran yang diyakini walaupun ada resiko. 4. Sikap ingin tahu.Seorang intelektual/cendekiawan
memiliki rasa ingin tahu (coriousity) yang kuat untuk menggali atau mencari jawaban terhadap suatu
permasalahan yang ada di sekelilingnya secara tuntas dan menyeluruh, serta mengeluarkan gagasan
dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja mereka kepada dunia dan masyarakat awam. karena
mereka merasa bahwa tanggung jawab itu ada dipundaknya. 5. Sikap kritis. Bagi seorang
cendekiawan, sikap kritis dan budaya bertanya dikembangkan untuk memastikan bahwa kebenaran
sejati bisa ditemukan. Oleh karena itu, semua informasi pada dasarnya diterima sebagai input yang
bersifat relative/nisbi, kecuali setelah melewati suatu standard verifikasi tertentu. 6. Sikap
independen/mandiri. Kebenaran ilmu pengetahuan pada hakekatnya adalah sesuatu yang obyektif,
tidak ditentukan oleh imajinasi dan kepentingan orang tertentu. Cendekiawan berpikir dan bertindak
atas dasar suara kebenaran, dan oleh karenanya tidak bisa dipengaruhi siapapun untuk berpendapat
berbeda hanya karena ingin menyenangkan seseorang. Benar dikatakan benar, salah dikatakan
salah, walaupun itu adalah hal yang pahit. 7. Sikap terbuka. Walaupun seorang cendekiawan
bersikap mandiri, akan tetapi hati dan pikirannya bersifat terbuka, baik terhadap pendapat yang
berbeda, maupun pikiran-pikiran baru yang dikemukakan oleh orang lain. Sebagai ilmuwan, dia akan
berusaha memperluas wawasan teoritis dan keterbukaannya kepada kemungkinan dan penemuan
baru dalam bidang keahliannya. Seorang cendekiawan akan mengedepankan sikap bahwa ilmu,
pengetahuan, dan pengalaman bersifat tidak terbatas dan akan senantiasa berkembang dari waktu
ke waktu. Dia tidak akan selalu belajar sampai “ke negeri China”bahkan sampai akhir hayat. 8. Sikap
rela menghargai karya& pendapat orang lain Seeorang cendekiawan bersedia berdialog secara
kontinyu dengan koleganya dan masyarakat sekitar dalam keterlibatan yang intensif dan sensitif. 9.
Sikap menjangkau kedepan.Cendekiawan adalah pemikir-pemikir yang memiliki kemampuan
penganalisisan terhadap masalah tertentu atau yang potensial dibidangnya. “Change maker” adalah
orang yang membuat perubahan atau agar perubahan di dalam masyarakat. Mereka memiliki
tanggung jawab untuk mengubah masyarakat yang statis menjadi masyarakat yang dinamis dan
berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata dengan hasil-hasil dari buah pemikiran dan penelitian
untuk mengubah kondisi masyarakat dari zero to hero. (Tim 90 Pendidikan Karakter 2012, Draft
Materi Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa baru 2012) D. KESIMPULAN Ada hubungan yang sangat
erat antara filsafat, etika dan ilmu. Ilmu yang bergerak otonom tidak boleh meninggalkan landasan
filosofisnya. Landasan filosofis ini menjadikan ilmu masih tetap pada hakekat keilmuannya. Ilmu
sebabagi bidang yang otonom tidak bebas nilai. Ia selalu berkaitan dengan nilai-nilai etika terutama
dalam penerapan ilmu. Etika sebagai salah satu cabang dalam filsafat akan memberikan arahan
(guiedence) bagi gerak ilmu, sehingga membawa kemanfaatan bagi manusia. DAFTAR PUSTAKA
Abbas Hamami Mintarejda, 1987, Epistemologi, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta Achmad Charis Zubai, 1987, Kuliah Etika, Rajawali, Jakarta Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, 2010,
Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Jakarta Harun Hadiwijono, 1987, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius,
Yogyakarta Kaelan, 1987, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta Kuhn, Thomas S.,1993,
The Structure of Scientific Revolution, terjemahan Tjun Sujarman, Remaja Rosdakarya, Bandung
Noor Ms. Bakry, 1997, Orientasi Filsafat Pancasila, Liberty, Yogyakarta Magnis-Suseno, Franz, Etika
Dasar, 1990, Kanisius, Yogyakarta Notonagoro, 1974, Pancsila Dasar Falsafah Negara, Pantjuran
Tujuh, Jakarta _________, 1987, Pancasila Ilmiah Populer, Bina Aksara Jakarta Sony Keraf dan
Mikhael Dua, 2001, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Kanisius, Yogyakarta Sunoto, 1987,
Mengenal Filsafat Pancasila: Pendekata melalui Metafisika, Logika dan Etika, Hadinata, Yoyakarta T.
Jacob, 1993, Manusia Ilmu dan Teknologi, Tiara Wacana Yogyakarta The Liang Gie, 1999, Pengantar
Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta Tim Penyusun Fakultas Filsafat UGM, 1997, Filsafat Ilmu, Intan
Pariwara, Klaten

Anda mungkin juga menyukai