Anda di halaman 1dari 165

Filsafat Estetika

Posted: Desember 18, 2012 in Filsafat, Makalah

5 Votes

1.1. Latar Belakang Masalah

Estetika adalah salah satu cabang filsafat . Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang
membahas keindahan , bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.
Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai
sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan
cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni .

Estetika yang membahas masalah keindahan. Bagaimana keindahan bisa tercipta dan bagaimana
orang bisa merasakannya dan memberi penilaian terhadap keindahan tersebut. Maka filsafat
estetika akan selalu berkaitan dengan antara baik dan buruk, antara indah dan jelek. Bukan
berbicara tentang salah dan benar seperti dalam filsafat epistemologi.Secara etimologi, estika
diambil dari bahasa Yunani, aisthetike yang berarti segala sesuatu yang cerap oleh indera. Filsafat
estetika membahas tentang refleks kritis yang dirasakan oleh indera dan memberi penilaian
terhadap sesuatu, indah atau tidak indah, beauty or ugly.

Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu.
Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya.
Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang
memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan danthe ugly, suatu karya yang sama
sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk,
namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan.

 BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Filsafat Estetika


Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas
keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan
lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang
kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang
sangat dekat dengan filosofi seni.

Esetetika berasal dari Bahasa Yunani, αισθητική, dibaca aisthetike. Pertama kali digunakan oleh filsuf
Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan
lewat perasaan.

Pada masa kini estetika bisa berarti tiga hal, yaitu:


1. Studi mengenai fenomena estetis
2. Studi mengenai fenomena persepsi
3. Studi mengenai seni sebagai hasil pengalaman estetis

Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya,
namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut mempengaruhi penilaian terhadap
keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan
sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam
keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan
mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.

Estetika merupakan bagian dari tiga teori tunggal yaitu :

Teori tentang kebenaran (efistimologi)

Teori tentang kebaikan dan keburukan (etika)

Teori tentang keindahan (estetika)

Disisi lain estetika berbicara tentang teori mengenai seni. Seni yang melukiskan bahasa perasaan
yang tertuang lewat gerak-gerik tubuh, alunan nada-nada yang indah dan lain sebagainya. Dengan
demikian estetika berarti suatu teori yang meliputi :

Penyelidikan mengenai yang indah

Penyelidikan mengenai prinsip-prisip yang mendasari seni

Pengalaman yang bertalian dengan seni, penciptaan seni, penilaian terhadap seni, atau perenungan
atas seni.

Nilai estetika lebih condong kepada nilai suatu keindahan seni. Namun, seni bisa dianggap
mengandung nilai suatu keindahan apabila diceritakan dengan :

Seni yang mengungkapkan perasaan dan intuisi

Seni yang mengobjektivasi keindahan rasa nikmat

Keindahan sebagai tangkapan Ilahi


Seni sebagai ekspresi pengalaman

Menurut Plotinus filsafat estetika adalah keindahan yang memiliki nilai spiritual karena itu etetika
dekat sekali dengan kehidupan moral. Esensi keindahan tidak terletak pada harmoni dan simetri.
Keindahan itu menyajikan keintiman dengan Tuhan yang Maha Sempurna. Ada semacam skala
menaik tentang keindahan, mulai dari keindahan yang bersifat inderawi, naik ke emosi, kemudian
kesusunan alam semesta yang imaterial. Jadi, keindahan itu bertingkat mulai dari keindahan indrawi
sampai kepada keindahan ilahiah.

Keindahan itu, katanya, menyatakan dirinya terutama dalam penglihatan, tetapi ada juga keindahan
untuk di dengar. Pikiran meningkatkan keindahan itu kepada susunan keindahan yang lebih tinggi,
misalnya keindahan tindakan, keindahan penemuan akal, dan keindahan kebijaksanaan. Lebih tinggi
lagi ialah keindahan yang digunakan dalam argument. Apa yang membuat sesuatu menjadi indah?
Apakah ada suatu prinsip yang bekerja sehingga sesuatu menjadi indah? Kalau ada, apa  prinsip itu?
Prinsip itu ialah kesadaran yang bersatu dengan jiwa. Itu terdapat didalam diri karena diri itu
berapiliasi dengan Yang Maha Indah.

Pendapat itu tentulah muncul karena Plotinus berpendapat bahwa antara keindahan di bumi dan
keindahan yang ada dilangit terdapat hubungan. Sesuatu akan indah apabila ia mengikuti bentuk
ideal. Penciptaan keindahan harus melalui komunikasi pikiran yang mengalir dari Tuhan.
Kesimpulannya ialah bahwa keindahan tertinggi serta sumber keindahan adalah Tuhan.

Konsep keindahan pada Plotinus berhubungan juga dengan pandangannya tentang kejahatan.
Kejahatan, menurut Plotinus tidak mempunyai realitas metafisis. Perbuatan jahat adala
perbuatan aku yang rendah. Aku yang rendah ini bukanlah aku yang berupa realitas pada
manusia. Aku yang berupa realitas ialah aku yan murni. Aku yang murni itu terdiri
atas logos dan nous.logos menerima dari nous (akal) idea-idea yang kekal. Dengan
perantara logos (pikiran) jiwa hanya dapat melakukan tugas yang mulia, yang tujuannya bersatu
dengan Tuhan.

Kejahatan bukan realitas, kejahatan itu diadakan sebagai syarat kesempurnaan alam. Didalam alam
ini ditemukan hal-hal yang bertentangan, putih-hitam, panas-dingin, terlatar-tak terlatar, indah-tak
indah, baik-buruk. Semua ini merupakan anggota suatu kehidupan. Jumlah mereka itu merupakan
suatu kekompakan alam semesta.

2.2. Penilaian Keindahan

Estetika sangat berkaitan erat dengan seni dan keindahan , istilah seni merupakan sekedar
menunjukkan  hal-hal yang mengungkapkan sesuatu keindahan. Seperti ada kaum seniman yang
mengatakan bahwa seni merupakan bahasa perasaan. Dengan demikian estetika merupakan  suatu
teori yang meliputi:

1. penyelidikan mengenai sesuatu yang indah

2. penyelidikan mengenai prinsip – prinsip yang mendasari seni

3. pengalaman yang bertalian dengan seni seperti penciptaan karya seni, penilaian terhadap seni
atau perenungan atas seni.
Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya,
namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut mempengaruhi penilaian terhadap
keindahan. Misalnya pada masa [[romantisme]] di Perancis, keindahan berarti kemampuan
menyajikan sebuah keagungan. Pada masa [[realisme]], keindahan berarti kemampuan menyajikan
sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya [[de Stijl]] di Belanda, keindahan berarti
kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda.

Macam – Macam Keindahan

1. Keindahan Sebagai Rasa Nikmat Yang Diobjektivasikan

Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang
senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Sesungguhnya yang dinamakan warna sebuah objek
ialah cara kita memberikan reaksi terhadap suatu rangsangan. Kiranya pasti mudah dimengerti
bahwa rasa nikmat atau rasa sakit bersifat subjektif, karena kedua macam rasa tersebut tidak akan
dimengerti secara masuk akal sebagai kualitas-kualitas yang terdapat pada objek yang lain. Tetapi
orang dapat membayangkan keindahan yang terdapat pada objek yang lain. Artinya orang dapat
memproyeksikan perasaannya,karena keindahan bersangkutan dengan rasa nikmat.

Sesungguhnya terdapat banyak rasa nikmat yang bukan merupakan bagian dari citra kita mengenai
sesuatu objek, dan untuk membedakan antara rasa nikmat yang merupakan bagian dari citra
mengenai suatu objek dan rasa nikmat yang bukan bagian dari citra maka digunakan
kata’keindahan’. Menurut Santayana, “keindahan merupakan rasa nikmat yang dianggap sebagai
kualitas barang sesuatu.” Akibatnya, tidak mungkin ada keindahan yang terpisahkan dari
pemahaman kita mengenai objek yang merupakan keindahan, yaitu rasa nikmat tidak akan
bermakna jika tidak dialami. Selanjutnya jika suatu objek tidak menimbulkan rasa nikmat pada
siapapun, maka tidak mungkin objek tersebut dikatakan indah.

2. Keindahan Sebagai Objek Tangkapan Akali

Menurut Jacques Maritain dalam bukunya yang berjudul Art and scholasticism berpendapat bahwa
keindahan bukanlah objek perasaan melainkan objek tangkapan akali.

a. keindahan menimbulkan kesenangan pada akal

Jacques Maritain tidak mengingkari peranan yang dipunyai oleh alat-alat inderawi, karena akal
menangkap sesuatu sekedar dengan jalan melakukan abstraksi dan analisa. Akibatnya, hanya
pengetahuan yang diperoleh melalui alat-alat inderawi yang dapat mempunyai sifat khas yang
diperlukan untuk menangkap keindahan. Maritain mengatakan bilamana suatu objek dapat
menimbulkan kesenangan pada akal, satu-satunya sarana langsung yang dapat ditangkap oleh intuisi
jiwa, maka objek tersebut merupakan sesuatu yang indah. Keindahan ialah sesuatu didalam objek
yang dapat menimbulkan senangan pada akal, yang semata-mata karena keadaannya sebagai objek
tangkapan akali.

b. akal tercermin dalam keindahan

Mengapa suatu objek tertentu dapat dapat menimbulkan kesenangan pada akal? Maritain
menjawab, karena objek tersebut memiliki kesempurnaan tertentu yang juga dipunyai oleh akal.
“akal merasa senang pada sesuatu yang indah, karena didalam sesuatu yang indah ia menemukan
kembali dirinya, mengenal dirinya kembali, dan berhubungan dengan pancarannya sendiri. “ciri-ciri
khas yang harus dipunyai suatu objek agar dapat dikatakan indah dapat ditemukan dengan jalan
memperhatikan apa yang diutamakan oleh akal.

Akal senantiasa gelisah apabila menyadari bahwa dirinya kurang sempurna. Berdasarkan anggapan
tersebut, maka salah satu syarat keindahan ialah harus ada keutuhan atau kesempurnaan, karena
yang dapat disebut indah ialah sesuatu yang manakala ditangkap dapat menimbulkan kesenangan
pada akal. Tetapi juga jelas, bahwa akal tidak hanya mengutamakan kesempurnaan, melainkan juga
ketertiban. Bukankah ketertiban sesungguhnya merupakan tanda adanya kegiatan akal.

Pengetauan senantiasa menyangkut ketertiban barang sesuatu yang diselidiki. Karena itu syarat
keindahan , yang kedua ketertiben dan ketunggalan yang terungkap melalui keseimbangan yang
cocok. Akhirnya, akal mengutamakan keadaan yang dapat dipahami secra akal sebagai alat
penerang, seperti jik akita mengatakan “ dapat sekedar menjadi alat penerang bagi suatu masalah
tertentu”. Karena itu, syarat terakhir bagi adanya keindahan adalah kejelasan.

c. keindahan ialah bentuk

Yang dinamakan bentuk sesungguhnya ialah halnya sendiri yang diketahui, pengetahuan yang benar
ialah pengetahuan yang diperoleh melalui akal budi yang dapat menjangkau bentuk barang sesuatu.
Bentuk juga merupakan prinsip yang mendasari keadaan yang dapat dipahami secara akali. Dalam
babak terakhir, keindahan ialah bentuk yang menimbulkan kesenangan pada akal. Untuk mudahnya
dapat dikatakan bahwa didalam bentuk yang terpancar pada materi, yang bersifat seimbang, tertib,
dan sempurna itulah akal menemukan diri sendiri.

2.3. Keelokan Pada Manusia

Wanita yang elok rupanya disebut “cantik” atau “ayu”, sementara pria yang rupawan disebut
“tampan” atau “ganteng” di dalam masyarakat. Sifat dan ciri seseorang yang dianggap “elok”,
apakah secara individu atau dengan konsensus masyarakat, sering didasarkan pada beberapa
kombinasi dari ”Inner Beauty” (keelokan yang ada di dalam), yang meliputi faktor-faktor psikologis
seperti kepribadian, kecerdasan, keanggunan, kesopanan, kharisma, integritas, dan kesesuaian, dan
”Outer Beauty” (keelokan yang ada di luar), yaitu daya tarik fisik yang meliputi faktor fisik, seperti
kesehatan, kemudaan, simetri wajah, dan struktur kulit wajah.

Standar kecantikan/ketampanan selalu berkembang, berdasarkan apa yang dianggap suatu budaya
tertentu sebagai berharga. Lukisan sejarah memperlihatkan berbagai standar yang berbeda untuk
keelokan manusia. Namun manusia yang relatif muda, dengan kulit halus, tubuh proporsional, dan
fitur biasa, secara tradisional dianggap paling elok sepanjang sejarah.

2.4. Cara Kerja Estetika

Cara kerja estetika filosofis dalam pemahaman Reid adalah :

menggali makna istilah dan konsep yang berkaitan dengan seni;

menganalisis secara kritis dan mencoba memperjelas kerancuan bahasa dan    konsep-konsep;
memikirkan segala sesuatu secara koheren, sehingga, meskipun estetika memiliki sisi analitis dan sisi
kritis, ia bertujuan untuk membangun suatu struktur gagasan positif yang memungkinkan beragam
bagian memiliki keterpaduan yang utuh.

Meskipun kata ‘estetika’ itu baru diperkenalkan pada tahun 1735 oleh Baumgarten, bukan berarti
bahwa estetika bermula dari masa itu. Estetika filosofis yang menjadi padanan kata filsafat seni
bermula semenjak lahirnya filsafat dalam sejarah kemanusiaan. Hingga kini estetika atau filsafat seni
telah membentuk akumulasi pengetahuan filosofis yang luas dan beragam.

Ruang lingkup bahasan estetika filosofis mencakup berbagai segi seperti definisi seni, fungsi seni,
dasar landasan keunggulan artistik, proses kreasi, apresiasi, dan prinsip-prinsip penilaian estetik.
Pendekatan estetika filosofis bersifat spekulatif, artinya dalam upaya menjawab permasalahan tidak
jarang melampaui hal-hal yang empiris dan mengandalkan kemampuan logika atau proses mental.

Filasafat estetika adalah cabang ilmu dari filsafat Aksiologi, yaitu filsafat nilai. Istilah Aksiologi
digunakan untuk menberikan batasan mengenai kebaikan, yang meliputi etika, moral, dan perilaku.
Adapun Estetika yaitu memberikan batasan mengenai hakikat keindahan atau nilai keindahan.

Kaum materialis cenderung mengatakan nilai-nilai berhubungan dengan sifat-sifat subjektif,


sedangkan kaum idealis berpendapat nilai-nilai bersifat objektif.

Serupa orang yang menyukai lukisan abstrak, sesuatu yang semata-mata bersifat perorangan. Jika
sebagian orang mengaggap lukisan abstrak itu aneh, sebagian lagi pasti menganggap lukisan abstrak
itu indah. Karena reaksi itu muncul dari dalam diri manusia berdasarkan selera.

Berbicara mengenai penilaian terhadap keindahan maka setiap dekade, setiap zaman itu
memberikan penilaian yang berbeda terhadap sesuatu yang dikatakan indah.

Jika pada zaman romantisme di Prancis keindahan berarti kemampuan untuk menyampaikan sebuah
keagungan, lain halnya pada zaman realisme keindahan mempunyai makna kemampuan untuk
menyampaikan sesuatu apa adanya. Sedangkan di Belanda pada era de Stijl keindahan mempunyai
arti kemampuan mengomposisikan warna dan ruang juga kemampuan mengabstraksi benda.

Pembahasan estetika akan berhubungan dengan nilai-nilai sensoris yang dikaitkan dengan sentimen
dan rasa. Sehingga estetika akan mempersoalkan pula teori-teori mengenai seni.

Dengan demikian, estetika merupakan sebuah teori yang meliputi:

penyelidikan mengenai sesuatu yang indah;penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari


seni;pengalaman yang bertalian dengan seni, masalah yang berkaitan dengan penciptaan seni,
penilaian terhadap seni dan perenungan atas seni.

Dari pernyataan di atas, estetika meliputi tiga hal, yaitu, fenomena estetis, fenomena persepsi, dan
fenomena studi seni sebagai hasil pengalaman estetis.

2.5. Objek Pendekatan Filsafat Estetika

Dalamestetika dikenal ada dua pendekatan, yaitu langsung meneliti estetika dalam objek-objek yang
indah serta karya seni dan menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang dialami si objek
(pengalaman keindahan dalam diri orangnya). Para pemikir modern cenderung memberi perhatian
pada pendekatan yang kedua, pengalaman k eindahan, karena karya seni mampu memberikan
pengalaman keindahan dari jaman ke jaman. Oleh karena itu tidak heran jika Clive Bell mempunyai
credo “estetika harus berangkat dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusu dan istimewa”.
Dan keindahan lebih lanjut menurutnya hanya dapat ditemukan dari orang yang dalam dirinya punya
pengalaman mengenali wujud dan makna suatu benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau
rangsangan keindahan.

 BAB III

KESIMPULAN

Esetetika berasal dari Bahasa Yunani, αισθητική, dibaca aisthetike. Pertama kali digunakan oleh filsuf
Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan
lewat perasaan.

Filasafat estetika adalah cabang ilmu dari filsafat Aksiologi, yaitu filsafat nilai. Istilah Aksiologi
digunakan untuk menberikan batasan mengenai kebaikan, yang meliputi etika, moral, dan perilaku.
Adapun Estetika yaitu memberikan batasan mengenai hakikat keindahan atau nilai keindahan.

Estetika merupakan bagian dari tiga teori tunggal yaitu :

Teori tentang kebenaran (efistimologi)

Teori tentang kebaikan dan keburukan (etika)

Teori tentang keindahan (estetika)

Cara kerja estetika filosofis dalam pemahaman Reid adalah :

menggali makna istilah dan konsep yang berkaitan dengan seni;

menganalisis secara kritis dan mencoba memperjelas kerancuan bahasa dan    konsep-konsep;

memikirkan segala sesuatu secara koheren, sehingga, meskipun estetika memiliki sisi analitis dan sisi
kritis, ia bertujuan untuk membangun suatu struktur gagasan positif yang memungkinkan beragam
bagian memiliki keterpaduan yang utuh.

makalah filsafat nilai antara etika dan estetika

Makalah

DI
S

OLEH : Kelompok 7

Nama     :

Ø  LIPIDA

Ø  HELDA FEBRIA

Ø  MARDIANA

Ø  SUSI SUSANTI

Ø  PUTRI RAMADHANI

Prodi : PGRA / II B

Dosen Pembimbing : Dra. ROSDIANA NASUTION

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

GAJAH PUTIH TAKENGON

ACEH TENGAH, ACEH

2013
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim…..

            Segala puji hanya bagi Allah, Rabb sekalian alam yang telah memberikan kesehatan,
kelapangan dan kemudahan kepada kita. Serta shalawat salam tak lupa kita sanjungkan pada
Rasulullah pembawa risalah dan kebenaran. Yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam
yang terang benderang serta penuh dengan ilmu pengetahuan. Sehingga pemakalah dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul makalah kami ialah :”FILSAFAT NILAI
ANTARA ETIKA & ESTETIKA”.

            Kami  mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua kami yang selalu memberi nasehat
serta dukungan dalam menjalankan tugas-tugas serta kewajiban yang harus ditaati di dalam kampus.
Dan kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini yang
telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. Serta partisipasi teman-teman dalam
menyelesaikan tugas ini.

            Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya kritik dan
saran dari pembaca dan teman-teman semua demi kesempurnaan tugas ini. Semoga apa yang
terdapat dan tertera dalam makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan serta
wawasan bagi para pembaca, teman-teman dan khususnya bagi penulis. Amin..

   Wassalam

Takengon,  Juni  2013

   

                                                                                                Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang………………………………………………………………………….1

B.     Rumusan Masalah………………………………………………………………………1

C.    Tujuan Penulisan……………………………………………………………………….2
BAB II PEMBAHASAN

A.    Makna Filsafat Nilai……………………………………………………………………..3

B.     Epistimologi Nilai……………………………………………………………………….4

C.     Teori Nilai Tentang Etika dan Estetika………………………………………………….5

D.    Filsafat Islam Tentang Cinta dan Keindahan……………………………………………7

E.     Nilai Estetika dalam Seni………………………………………………………………..9

BAB III PENUTUP

A.   Kesimpulan…………………………………………………………………………….11

B.    Saran…………………………………………………………………………………..12

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...iii

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Filsafat nilai merupakan kajian yang membahas tentang etika dan estetika. Makna nilai tidak terlepas
dari keyakinan relegius. Makna dari hidup adalah nilai, sebagai hakikat harga diri dan
keberlangsungan duniawi yang sejati. Sejak  manusia membutuhkan ilmu pengetahuan, sejak itu
pula ada nilai-nilai yang ditargetkan. Dalam ajaran islam, begitu hitam putih menetapkan hukum
fardhu/wajib bagi semua orang yang beriman untuk mencari ilmu. Dan dalam makalah ini akan
dibahas mengenai makn a nilai teori dan epistimologi dari nilai tersebut.

Etika merupakan salah satu dari kajian dalam filsafat nilai. Yaitu membahas tentang moral, akhlak,
baik dan buruk tingkah laku manusia. Di makalah ini akan di bahas lanjut menegenai pengertian
etika. Begitu pula dengan estetika yaitu keindahan dan cinta dalam  filsafat islami.

Pemisahan diri pengetahuan dari berbagai kepentingan di luar jati dirinya, mencapai puncak
keputusasaan. Karena samapai lahir filsafat modern, pemisahan itu justru semakin memperlebar
ruang gerak filsafat untuk nimbrung dalam segala bentuk pengetahuan. Termasuk di dalamnya
aksiologi yang mengatasnamakan estetika. Seni dan keindahan menjadi milik mutlak kehidupan
manusia, bahkan sebagai halkikat segala sesuatu.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu sebagai berikut:

Apa makna dari filsafat nilai tersebut?

Bagaimana epistimologi nilai dan teori nilai tentang etika dan estetika?
Bagaimana filsafat islami tentang cinta dan keindahan?

Bagaimana nilai estetika islam dalam seni?

C.    Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah untuk mengetahui:

Apa makna filsafat nilai

Epistimologi nilai dan teori nilai tentang etika dan estetika

Filsafat islami tentang cinta dan keindahan

Nilai estetika islam dalam seni

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Makna Filsafat Nilai

Makna dari hidup adalah “nilai”, sebagai hakikat garga diri dan keberlangsungan duniawi yang sejati.
Makna nilai secara filosofis adalah hakikat dari semua kehendak Tuhan yang secercah kehendak-Nya
telah tercurahkan kepada jiwa manusia. Ada yang mengatakan sebagi teori nilai yang merupakan
bagian aksiologi, karena pandangan tentang hakikat pengetahuan perspektif nilai guna yang
didampakkan. Fungsi dan manfaat yang diperoleh dari ilmun pengetahuan merupakan tujuan akhir
dari semua pengetahuan.

Betapa berharganya ilmu pengetahuan, sehingga ajaran islam menetapkan sebagai kewajiban. Itu
semua sesungguhnya berhubungan dengan “nilai dari sebuah ilmu pengetahuan” bagi kehidupan
manusia. Oleh karena itu, aksiologi yang mencari hakikat nilai diterjemahkan sebagai tujuan dari
ilmu pengetahuan[1] .

Istilah “nilai” dalam bahasa inggris adalah “value”. Aslinya berasal dari bahasa latin “velere” atau
Perancis Kuno valio . Rohmat  Mulyana, memaknai nilai secara denotative dengan “harga”. Filsafat
nilai adalah pembahasan tentang paradigm aksiologis atas segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada yang menghubungkannya pada hakikat fungsional seluruh pengetahuan.

Makna nilai dapat berupa keyakinan relegius dan janji-janji deterministic dalam agama yang dianut
seseorang dalam berbagai perilakunya. Nilai dapat didefenisikan pula sebagai patokan normatif yang
memengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di anatara cara-cara tindakan alternatifnya.
Ada lima hal yang perlu diperhatikan kaitannya dengan makna nilai secara aksiologis, yaitu:

Nilai sebagai panduan hidup manusia

Nilai sebagai tujuan hidup manusia

Nilai sebagai pilihan normative tindakan manusia

Nilai sebagai hakikat semua pengetahuan

Nilai sebagai kesadaran tertinggi dari seluruh kesadaran manusia tentang motif-motif dan bentuk
sebuah tindakan yang berakar pada nalar dan tolok ukur yang menjadi jaminan tercapainya tujuan
perilaku.

Lima aspek dari makna nilai di atas adalah kesimpulan yang mengungkapkan kakikat nilai secara
filosofis.

B.     Epistimologi Nilai

Epistimologi sering juga disebut teori pengetahuan. Epistimologi dapat didefenisikan sebagai dimensi
filsafta yang mempelajari asal mula, sumber, manfaat dan sahihnya pengetahuan[2] . Secara
sederhana yaitu bagaimana cara mempelajari, mengembangkan dan memanfaatkan ilmu bagi
kemashalahatan manusia. Epistimologi nilai artinya suber nilai yang dirujuk. Secara filosofis, sumber
nilai berawal dari akal manusia sendiri, karena manusia bertindak dengan pertimbangan akalnya.
Idealisme yang dipopulerkan oleh Plato secara substisional bersumber dari akal. Karena pandangan
idealisme tentang menerjemahkan segala hal yang ada tanpa harus menunggu hasil pengalaman
indra.

Rasionalisme empiris sama sekali belum menyadari tentang adanya keberadaan yang berasal dari
sesuatu di luar realitas yang indrawi. Kenyataannya, banyak hal yang tidak tergambarkan oleh rasio
dan tidak tersentuh oleh indra, tetapi hal itu menjadi bagian dari pengalaman yang sifatnya
personal[3] .

Nilai relegius bagian yang tidak dapat ditinggalkan dalam pengetahuan manusia sepanjang sejarah.
Augustinus berprinsip bahwa kebenaran tertinggi adalah berasal dari hukum-hukum Tuhan. Oleh
karena itu, nilai dari pengetahuan dihargai karena memiliki substitusi teologis. Tanpa itu semua,
pengetahuan dan kebenaran yang dimaksudkan tidak bernilai.

C.    Teori Nilai tentang Etika dan Estetika

Filsafat nilai adalah kajian aksiologis yang mengedepankan jaweaban atas pertanyaa, untuk apa
pengetahuan dicari? Mengapa harus mengamalkan pengetahuan? Apa manfaatnya bagi kehidupan
manusia? Teori nilai yang mencakup dua cabang, yaitu etika dan estetika. Yang pertama
membicarakan baik buruk perbuatan manusia, yang kedua membahas keindahan dan seni dalam
kehidupan manusia.

Juhaya S. Pradja mengatakan bahwa ada empat pendekatan dalam menilai suatu pendapat moral,
yaitu:
Pendekatan empiris-deskriptif, menyelidiki pandangan umum tentang moralitas yang berlaku,
dampak dari mengikuti atau mengingkari norma yang telah menjadi sistem social.

Pendekatan fenomenologis, penyelidikan tentang kesadaran moral secara subjektif.

Pendekatan normatif, penyelidikan tentang norma social yang berlaku umum.

Pendekatan mataetika, penyelidikan tentang kebenaran moral di luar dirinya.

Etika (Yunani Kuno : "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu dimana dan
bagaimana cabang utama filsafat  yang mempelajarinilai  atau kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral .  Etika mencakup analisis dan penerapan konsep
seperti benar , salah , baik , buruk , dantanggung jawab [4] .

Etika adalah bahasan tentang cermin tingkah laku. Nilai baik dan buruk yang didasarkan pada rasio
adalah etika. Istilah-istilah etika diantaranya ialah:

Akhlak,  adalah sebutan tentang perilaku baik dan buruk yang digunakan oleh agama.

Moral, asalnya morez, yakni tindakan, yakni penilaian baik dan buruk yang digunakan dalam
kehidupan social politik.

Susila adalah istilah yang digunakan dalam kaidah baik dan buruk yang merujuk pada ediologi
pancasila.

Norma, ukuran baik dan buruk yang digunakan dalam konsep kebiasan masyarakat.

Etika, ukuran baik dan buruk menurut akal.

Etika juga berarti “timbul dari kebiasaan” adalah cabang utama dari filsafat yang mempelajati nilai
atau kualitas. Etika mencakup analisis dan peranan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan
tanggungjawab[5] .

Dengan demikian, pandangan baik dan buruk, dan hakikat nilai dalam kehidupan manusia sangat
tergantung pada tiga hal mendasar yaitu:

Cara berpikir yang melandasi manusia dalam berprilaku

Cara berbudaya yang menjadi sendi berlakunya norma social.

Cara merujuk kepada sumber-sumber nilai yang menjadi tujuan pokok dalam berindak.

Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman
kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang
dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dan sebagainya[6] .

Ø  Perbedaan Etika & Estetika

a.       Etika mempelajari baik atau buruk ( nilai universal ) & moral, sedangkan estetika mempelajari
tentang keindahan & kejelekan.

b.      Dasar yang ada pada etika adalah kehendak sedangkan estetika pada perasaan.
c.       Etika akan menghasilkan keserasian sedangkan estetika menghasilkan kesenian[7] .

D.    Filsafat Islami tentang Cinta dan Keindahan

Keindahan itu berasal dari cinta, dan filsafat adalah hakikat cinta. Oleh karena itu, secara filosofis,
estetis menjadi cinta sebagi tujuan segala sesuatu adalah sama dengan membalikkan filsafat pada
substansi dirinya sendiri. Semua berawal dari cinta, sedangkan keindahan hanyalah akibat
eksistensinya. Agama-agama yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia mengajarkan paradigma cinta.
Cinta kepada Tuhan adalah penggerak utama untuk menampakkan cinta kepada sesama makhluk
Tuhan.

Menurut Plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah.
Keindahan adalah sifat objektif barang yang dinilai. Keindahan adalah hakikat[8] . Oleh karena itu,
keindahan bukan berasal dari suatu benda, tetapi menyertai benda itu sendiri.

Secara psikologis, keindahan itu bukan hanya yang berbau kenikmatan dan menyenangkan. Cinta
bertaut dengan dengan benci, klehidupan bertaut kamatian, rindu dan cemburu, gembira dan sedih,
suka-duka, penyesalan dan emosi-emosi lainnya yang menjadi hukuk keseimbangan.

Dalam pemahaman islam yang merunut wahyu, kemarahan adalah awal dari rasa cinta yang
menimbulkan keindahan. Marah merupakan suatu emosi penting yang mempunyai fungsi esensial
bagi kehidupan manusia, yakni membantunya dalam menjaga diri. Dengan marah, pertahanan diri
meningkat.

Adapun cinta yang menebarkan keindahan. Terdapat dalam QS.Al-Fath: 28, QS. Al-Hasyr: 9, QS. Al-
Hujarat: 10, QS. Ali Imran: 14.

Ada tiga interpretasi tentang hakikat seni:

Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman.

Seni sebagai alat kesenangan.

Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman[9] .

Cinta sebagai sumber keindahan. Keindahan bukan suatu yang dapat didefinisikan karena berasal
dari perasaan yang didorong oleh luapan emosi dan perasaan.  Akal mudah mengalah pada
keindahan.  Kata-kata kadang tak mampu mengungkapkan perasaan sesosok manusia. Hal tak
berdaya karena rasa takut menghadapi gejolaknya yang

denyut nadi dan debaran jantung, itulah keajaiban cinta dan keindahannya yang menurut kaum
filosof merupakan hakikat dari semua pengetahuan.

E.     Nilai Estetika Dalam Seni

Seni adalah wujud dari keindahan. Keindahan adalah abstrak dari seni yang berbaur dengan cipta
dan rasa manusia. Seni dalam pemikiran islam kotemporer kurang tersentuh, kecuali seni sastra.
Pleh karena itu, seni perlu mendapat perhatian penuh, karena secara filosofis, islam adalah seni dan
keindahan. Contohnya umar bin Khathab, seorang sahabat yang sebelum masuk islam adalah orang
yang terkenal keras dan bengis. Anak perempuannya dia kubur hidup-hidup. Dia adalah pedagang
yang berwatak temperamental dan selalu diperlakukan keras oleh Ayahnya.

Akan tetapi tidak ada yang menyangka sedikit pun bahwa umar bin Khathab adalah seorang pria
melankolis yang senang dengan keindahan seni sastra. Tak kuat menahan keharuannya ketika
mendengar lantunan surat Thaha, ia mendatangi Rasulullah saw. dan menyatakan diri untuk masuk
islam. Keindahan sastra Al-Qur’an mampu meluluhkan hati seorang Umar bin Khathab yang dikenalk
temperamental, keras dan tegas.

Jika seni dilihat dari sudut filsafat integralitas atau keterpaduan antara islam sebagai ajaran
kesalamatan dan cinta sebagai hakikat keindahan, maka seni adalah eksistensi dari agama itu sendiri.
Eksistensi seni terdiri dari empat lapis eksistensialitas. Lapis terbawah,  adalah keberadaannya
sebagai benda-benda seni berupa sosok materiil sebagai wujud seni. Lapis kedua, keberadaan seni
mewujud sebagai proses karya penciptaan benda seni. Lapis ketiga adalah kekerasan dalam pikiran
berupa pandangan dan gagasan yang mengarahkan proses penciptaan nilai. Pada lapis teratas
adalah eksistensi seni sebagai nilai-nilai dan tujuan estetik yang mendasari wawasan seni dan
mendorong proses terciptanya karya seni.

Pada hakikatnya, seni adalah dialog intersubjektif yang mewujud dalam empat lapis eksistensi. Oleh
karena itu, hakikat seni adalah intersubjektivitasa seperti hanya cabang-cabang kebudayaan lainnya.
Seni dalam berhubungan dengan Tuhan digerakkanoleh wujud yang indah penuh estetika[10] .
Gerakan shalat mengisyaratkan seni yang luar biasa. Semua melakukan aktivitasnya.

Karya seni Tuhan yang sempurna, wujud manusia yang semula tanah dan saripatinya, kehancuran
dan kehinaannya bukan karena wujud lahirahnya yang dapat rusak karena bersifat fana, melainkan
karena tidak meyakini karya seni Tuhan dengan baik dan tidak professional dalam bekerja. Karya seni
adalah wujud dari kebenaran, tetapi kebenaran akan berpulang kepada pengetahuan.

  

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Filsafat nilai adalah pembahasan tentang paradigm aksiologis atas segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada yang menghubungkannya pada hakikat fungsional seluruh pengetahuan. Makna nilai
dapat berupa keyakinan relegius dan janji-janji deterministic dalam agama yang dianut seseorang
dalam berbagai perilakunya.
Etika adalah bahasan tentang cermin tingkah laku. Nilai baik dan buruk yang didasarkan pada rasio
adalah etika. Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-
pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-
prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dan sebagainya.

Keindahan itu berasal dari cinta, dan filsafat adalah hakikat cinta. Oleh karena itu, secara filosofis,
estetis menjadi cinta sebagi tujuan segala sesuatu adalah sama dengan membalikkan filsafat pada
substansi dirinya sendiri. Semua berawal dari cinta, sedangkan keindahan hanyalah akibat
eksistensinya.

Cinta sebagai sumber keindahan. Keindahan bukan suatu yang dapat didefinisikan karena berasal
dari perasaan yang didorong oleh luapan emosi dan perasaan. Seni adalah wujud dari keindahan.
Keindahan adalah abstrak dari seni yang berbaur dengan cipta dan rasa manusia. Karya seni adalah
wujud dari kebenaran, tetapi kebenaran akan berpulang kepada pengetahuan.

B.     Saran

Demikian pemaparan makalah di atas diharapkan pembaca dapat memahami makna filsafat nilai
antara etika dan estetika dalam islam. Dan kami sarankan untuk mencaritahu lebih banyak lagi
mengenail filsafat nilai dari berbagai sumber guna memperdalam pengetahuan kita tentang materi
mata kuliah ini. Terima kasih, semoga bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Saebeni, Beni Ahmad , 2009, Filsafat Ilmu, Bandung: Pustaka Setia.

Ihsan, Fuad , 2010, Filsafat Ilmu, Jakarta, Rineka Cipta.

http://id.wikipedia.org/wiki/Etika , diambil tanggal 11 juni 2013.

Sadulloh, Uyoh , 2007, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: CV Alfabeta.

http://egitrisda.wordpress.com/2011/07/21/etika-filsafat-komunikasi/  diambil tanggal 12 juni 2013.

http://etikaestetika.blogspot.com/2011/04/etika-dalam-filsafat-nilai-islam.html , diambil tanggal 11


juni 2013.
[1]  Drs. Beni Ahmad Saebeni, M. Si, Filsafat Ilmu, (Bandung, 2009: Pustaka Setia), -cet.I- , Hal.190-
191.

[2]  Drs. H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta:2010, Rineka Cipta), hal.225

[3]  Drs. Beni Ahmad Saebeni, M. Si, Filsafat Ilmu, (Bandung, 2009: Pustaka Setia), -cet.I- , Hal.192.

[4]  http://id.wikipedia.org/wiki/Etika , diambil tanggal 11 juni 2013.

[5]  Drs. H. Mohammad Adib, MA. Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: 2010, Pustaka Belajar), ed. 2,


-cet.I-,  hal. 207.

[6]  Drs. Uyoh Sadulloh, M. Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan. (Bandung: 2007, CV Alfabeta),  hal. 71-


72.

[7]  http://egitrisda.wordpress.com/2011/07/21/etika-filsafat-komunikasi/  diambil tanggal 12 juni


2013.

[8]   Drs. Beni Ahmad Saebeni, M. Si, Filsafat Ilmu, ………………… hal. 200.

[9]  http://etikaestetika.blogspot.com/2011/04/etika-dalam-filsafat-nilai-islam.html , diambil tanggal


11 juni 2013.

[10]  Drs. Beni Ahmad Saebeni, M. Si, Filsafat Ilmu, (Bandung, 2009: Pustaka Setia), -cet.I-,hal. 209.

Diposkan oleh lifida fida   di 20.04 


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Pengertian, Definisi  dan Pendekatan Studi


     1.  Pengertian Estetika
           Istilah estetika berasal dari kata Yunani:
a.       Aistetika yang berarti hal-hal yang dapat dicerap dengan panca indra
b.  Aisthesis yang berarti pencerapan panca indra (sense percepstion)
               (The Liang Gie, 1976:15)

 Jadi, estetika menurut arti etimologis, adalah teori tentang ilmu penginderaan.
Pencerapan panca indra sebagai titik tolak dari pembahasan Estetika didasarkan pada asumsi
bahwa timbulnya rasa keindahan itu pada awalnya melalui rangsangan panca indra.
Istilah estetika sebagai ”ilmu tentang seni dan keindahan” pertama kali diperkenalkan
oleh Alexander Gottlieb Baumgarten, seorang filsuf Jerman yang hidup pada tahun 1714-
1762. Walaupun pembahasan estetika sebagai ilmu baru dimulai pada abad ke XVII namun
pemikiran tentang keindahan dan seni sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, yang disebut
dengan istilah ”beauty” yang diterjemahkan dengan istilah ”Filsafat Keindahan”.      
Keindahan, menurut luasnya lingkupan dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Keindahan dalam arti yang terluas, meliputi keindahan alam, keindahan seni, keindahan moral,
keindahan intelektual dan keindahan mutlak (absolut)
2.      Keindahan dalam arti estetis murni : menyangkut pengalaman esetetis dari seseorang dalam
hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya.
3.      Keindahan dalam arti terbatas hanya menyangkut benda-benda yang dicerap dengan
penglihatan, yakni berupa kiendahan bentuk dan warna (The Linag Gie, 1996:17-18).  
Dalam kenyataanya, pencerapan indra penglihatan hanya bersifat terbatas yang
menyangkut cahaya, warna dan bentuk. Keindahan dalam arti pengertian inderawi
sebenarnya lebih luas daripada yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan, sebab beberapa
karya seni dapat pula dicerap oleh indera pendengaran, misalnya seni suara.
Keindahan dalam arti luas mengandung pengertian idea kebaikan, misalnya Plato
menyebut watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan
keindahan sebagai sesuatu yang baik dan juga menyenangkan.
Plotinus mengatakan tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang  indah.
2. Definisi
Definisi estetika itu beragam. Tiap-tiap filsuf mempunyai pendapat yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Tetapi pada prinsipnya, mereka sependapat bahwa estetika adalah
cabang ilmu filsafat yang membahas tentang keindahan/hal yang indah, yang terdapat dalam
alam dan seni. Definisi-definisi itu diantaranya:

a.      Definisi umum :
Estetika adalah cabang filsafat yang membahas mengenai keindahan/hal yang indah, yang
terdapat pada alam dan seni.

b.      Luis O. Kattoff:
Cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan dan peranan keindahan, khususnya di
dalam seni.

c.       Dictionary of Philosophy (dagobert D. Runes):


Cabang filsafat yang berhubungan dengan keindahan atau hal yang indah, khusunya dalam
seni serta citarasa dan ukuran-ukuran nilai baku dalam menilai seni.
d.      The Encyclopedia of Philosophy
Estetik adalah cabang Filsafat yang bertalian dengan penguraian pengertian-pengertian dan
pemecahan persoalan-persoalan yang timbul bilamana seseorang merenungkan tentang
benda-benda estetis. Pada gilirannya benda-benda estetis adalah semua benda yang tekena
oleh pengalaman estetis; dengan demikian hanyalah setelah pengemalan estetis dapat
secukupnya dinyarakan ciri-ciri bisalah seseorang menentukan batasnya golongan benda-
benda estetis tersebut.

e.       William Halverson
Cabang filsafat (axciology)yang bertalian dengan sifat dasa dari nilai-nilai non-moral
khususnya keindahan dan nilai-nilai lainya apapun yang mempunyai sangkutan istimewa
dengan seni.

f.       Van meter Ames (Collier's Encyclopedia)


Penelaahan tentang apa yang tersangkut dalam penciptaan, penghargaan dan kritik seni,
dalam ubungan seni dengan peranan yang berubah dari sei dalam suatu dunia pancaroba.
g.      Gerome Stolnitz (The Encyclopedia of Phylosophy)
Estetika dilukiskan sebagai penelaahan filsafati tentang keindahan dan kejelekan. Keindahan
mempunyai nilai estetis yang bersifat positif, sedangkan kejelekan mempunyai nilai estetis
yang bersifat negatif. Hal yang jelek bukan berarti tidak adanya unsur keindahan.

h.      The american Society for aestheties


Semua penelaahan menenai seni dan bermacam-macam pengalaman yang berhubungan
dengan itu dari suatu sudut pandang filsafati, ilmiah dan teoritis lainnya, termasuk dari
psikologi, sosiologi, anthropology, sejarah kebudayaan kritik seni dan pendidikan (The Liang
Gie,1976,16-31).

3.  Ruang Lingkup Filsafat keindahan dan Estetika


Ruang lingkup yang dibahas dengaan estetika meliputi:
1.      Persoalan tentang nilai estetis (estheic value)
2.      Pengalaman estetis ( esthetic experience)
3.      seni (art)
4.      seniman
Hal ini dipelajari secara historis, ilmiah, teoritis, informatif dan filosofis.

Secara historis artinya estetika dipelajari dari segi sejarahnya dan diharapkan dapat
memberikan informasi dan manfaat bagi keidupan manusia. Secara ilmiah artinya estetika
dipelajari diuji dan dikaji seperti halnya ilmu pengetahuan. Secara teoritis artinya dengan
menggunakan teori-teori atau dalil-dalil serta  pendapat-pendapat dari para filsuf atau
ilmuwan di dalam pembahasan estetika secara empiris dan ilmiah. Pendekatan studi secara
informatif yaitu dengan mendapatkan masukan atau informasi mengenai sesuatu hal ,baik
lewat media massa, ilmu pengetahuan, empiri maupun pendapat  masyarakat. Pendekatan
studi filosofis diharapkan mampu mencari dan menemukan esensi atau substansi dari
keindahan itu.

Persoalan tentang Nilai Estetis (nilai keindahan)


Dalam rangka teori umum tentang nilai, pengertian keindahan dianggap sebagai salah
satu jenis nilai seperti halnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai-nilai yang lain. Nilai yang
berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai
estetis.
Mengenai nilai, ada pendapat yang membedakan antara nilai subjektif dan nilai objektif.
Pembedaan lainnya ialah antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakat. Dilihat dari
segi  ragamnya nilai dibedakan menjadi nilai intrinsik, nilai instrumental,  nilai inheren dan
nilai kontributif.
Nilai estetis sebagai salah satu jenis nilai manusiawi (nilai religius,etis dan intelektual)
menurut The Liang Gie, tersusun dari sejumlah nilai yang dalam estetika dikenal dengan
kategori-kategori nilai estetis atau kategori-kategori nilai keindahan.Pada umumnya filsuf
membedakan adanya tiga pasang yaitu:
a. kategori-kategori yang agung dan yang elok
b. kategori-kategori yang indah dan yang jelek
c. kategorI-kategori yang komis dan yang tragis

Akhirnya Kaplan menambahkan kecabulan (obscennity) sebagai kategori nilai estetis


(The Liang Gie, 1978 : 169).

Kecabulan (obscennity) lebih condong pada pendekatan secara etik atau moral. Dalam
bidang seni dan keindahan, lebih tepat dengan istilah erotis.

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN ESTETIKA

            Sejarah perkembangan estetika didasarkan pada sejarah perkembangan estetika di


Barat yang dimulai dari filsafat Yunani Kuno. Hal ini dikarenakan estetika telah dibahas
secara terperinci berabad-abad lamanya dan dikembangkan dalam lingkungan Filsafat
Barat. Hal ini bukan berarti di Timur tidak ada pemikiran estetika.
            Secara garis besarnya, tingkatan/tahapan periodisasi estetika disusun dalam delapan
periode, yaitu:
1.Periode  Klasik (dogmatik)
2.Periode Skolastik
3.Periode Renaisance
4.Periode Aufklarung
5.Periode Idealis
6.Periode Romantik
7.Periode Positifistik
8.Periode Kontemporer

A. Periode Klasik (Dogmatik)


Dalam periode ini para folosof yang membahas estetika diantaranya adalah Socrates,
Plato dan Aristoteles. Dari ketiga filosof ini dapat dikatakan bahwa Socrates sebagai perintis,
Plato yang meletakkan dasar-dasar estetika dan Aristoteles yang meneruskan ajaran-ajaran
Plato.
Dalam periode ini ada beberapa ciri mengenai pandangan estetikanya, yaitu :
1. Bersifat metafisik
Keindahan adalah ide, identik dengan ide kebenaran dan ide kebaikan. Keindahan itu
mempunyai tingkatan kualitas, dan yang tertinggi adalah keindahan Tuhan.
2. Bersifat objektifistik
Setiap benda yang memiliki keindahan sesungguhnya berad dalam keindahan Tuhan. Alam
menjadi indah karena mengambil peranannya atau berpartisipasi dalam keindahan Tuhan.
3. Bersifat fungsional
Pandangan tentang seni dan keindahan haruslah berkaitan dengan kesusilaan (moral),
kesenangan, kebenaran dan keadilan.

        Socrates: 468-399SM
          Socrates sebagai seorang perintis yang meletakkan batu pertama bagi fundamen
estetika, sebelum ilmu itu diberi nama. Dia adalah anak dari seorang pemahat yang bernama
Sophromiscos dan ibunya bernama Phainarete adalah seorang bidan
          Jalan pikiran yang dipergunakan Socrates dalam mencari hakekat keindahan ialah
dengan menggunakan cara dialog. Socrates menamakan metodenya ”maeutika tehnic (seni
kebidanan)” yang berusaha menolong  mengeluarkan pengertian-pemgertian atau kebenaran.
Socrates mencoba mencari pengertian umum dengan jalan dioalog.
          Dalam dialog-dialognya Socrates membuka persoalan dengan mempertanyakan
sesuatu itu disebut indah dan sesuatu itu disebut buruk. Apakah sesuatu yang disebut indah
itu memiliki keindahan? Lantas apakah keindahan itu? Disini Socrates mencoba merumuskan
arti keindahan dari jawaban-jawaban lawan dialognya.
          Menurut Socrates, keindahan yang sejati itu ada di dalam jiwa (roch). Raga  hanya
merupakan pembungkus keindahan. Keindahan bukan merupakan sifat tertentu dari suatu
benda, tetapi sesuatu yang ada dibalik bendanya itu yang bersifat kejiwaan.
Plato: 427-347SM.
        Menurut Plato keindahan itu bertingkat., untuk mencapai keindahan yang tertinggi
(keindahan yang absolut) melalui fase-fase tertentu (Wajiz Anwar, 1980).
        Fase pertama, orang akan tertarik pada suatu benda/tubuh yang indah. Disini manusia
akan sadar bahwa kesenangan pada bentuk keindahan keragaan (indrawi) tidak dapat
memberikan kepuasan pada jiwa kita. Setelah  kita sadar bahwa keindahan dalam
benda/tubuh itu hanya pembungkus yang bersifat lahiriah, maka kita tidak lagi terpengaruh
oleh hal-hal yang lahiriah.            Manusia akan meningkatkan perhatiannya pada tingkah
laku hal yang dicintai, yaitu pada norma-norma kesusilaan (noma moral) secara konkrit. Hal
ini terlihat dalam tingkah laku dari orang/hal-hal yang kita cintai.
        Dalam fase kedua, maka kecintaan terhadap norma moral secara konkrit  ini
berkembang menjadi kecintaan akan norma moral secara absolut yang berupa ajaran-ajaran
tentang kesusilaan/bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku yang baik.
        Dalam fase ketiga, orang akan mengetahui jurang yang memisahkan antara moral dan
pengetahuan, dan orang akan berusaha untuk mencari keindahan dalam berbagai
pengetahuan. Orang Yunani dulu berbicara tentang buah pikiran yang indah dan adat
kebiasaan yang indah. Kalaui manusia sudah sampai pada fase yang ketiga ini maka akan
mengantarkan manusia pada fase  yang keempat yaitu keindahan yang mutlak/absulut.
        Disinilah orang berhasil melihat keindahan mutlak, yang sesungguhnya indah,
keindahan universal dan maha tingggi. Dan disinilah  segala sesuatu berasal dan kesitu pula
segala sesuatu harus kembali.

Seni
        Seni yang baik menurut Plato adalah seni musik.  Musik mempunyai peranan yang
penting dalam negara yaitu dapat mempengaruhi dalam bidang moral dan politik. Di bidang
moral, musik dapat memperhalus perasaan manusia (musik yang sentimentil) dan dapat juga
sebaliknya.
        Dibidang politik, musik dapat mengubah jiwa patriotik dan kecintaan terhadap tanah air.
Selain seni musik, maka retorik atau seni berpidato merupakan seni utilitary (seni dimana
segi kegunaanya diutamakan, bukan keindahan, kebenaran atau kebijaksanaanya) maka seni
ini lebih berguna bagi kaum politisi, yang bertujuan untuk menggalakkan orang lain dalam
mengikuti tujuan akhirnya. ”Selalu pergunakanlah retorik dengan keadilan” adalah suatu
anjuran yang akhirnya  Plato mengakui  untuk eksistensinya, yakni untuk kemungkunan-
kemungkinan didaktif. Problem hubungan antara seni dan pendidikan telah diungkapkan
dalam bukunya Republik, tetapi ketika timbul lagi dalam Laws, tidak ada lagi sugesti untuk
mengutuknya. Malah sebaliknya disini Plato secara tegas menguatkan keterangan hubungan
satu sama lainnya. Musik, tarian dan nyanyan koor sangat terpuji karena nilai pendidikannya,
dan tanpa banyak kesusahan lagi seni kini menjadi guru utama kehidupan. Pembalikan yang
sangat tajam konsep Plato ini disebabkan adanya hubungan harmonis antara seni dan
kehidupan, sebagai akibatnya dia membukakan pintu perhatian adanya kemampuan mendidik
pada retorik dan adanya sintesis dalam instruksi dan kesenangan, yang kemudian mewataki
teori paedagogik seni. Konsekueninya tentang konsepsi seni sebagai gabungan antara yang
baik, benar dan yang indah  (Abdul Kadir, 1974:10).

Seniman
        Di dalam bukunya ”Republik”, Plato mempunyai pendapat yang tidak begitu ramah
terhadap seniman. Negarawan mendapat tempat (penghargaan) yang lebih tinggi diantara
manusia-manusia pencipta atau seniman, karena mereka menimbang masyarakat berdasar ide
kebaikan, keadilan, kebenaran, dan keindahan. Seniman hanyalah meniru ide keindahan yang
ada di dunia ini yang merupakan penjelmaan dari keindahan absolut/illahi yang ada di dunia
idea. Seniman yang sejati adalah Demiurgus (Tuhan) yang menciptakan alam semesta
sebagai imitasi dari idea bentuk yang abadi. Diantara seniman-seniman yang ada, Plato
mempunyai pandangan positif terhadap sastrawan dan penyair.

Sastrawan
        Tulisan-tulisan Plato termasuk sastra Yunani Klasik yang ditulis dengan gaya bahasa
yang indah sekali. Dalam dialog yang berjudul ”Symposium” ia berpendapat bahwa suatu
uraian lisan yang memakai gaya bahasa yang indah disebabkan oleh karena pengaruh seorang
dewa,si pembicara itu sedang kemasukan roch seorang dewa.Disini Plato secara implisit
menyinggung teori ”partisipasi”,seorang sastrawan dapat menulis dan berdendang dengan
indah sekali karena ia ”ämbil bagian”dalam pandangan dan alam para dewa,ia seolah-olah
diangkat diluar dirinya sendiri(ekstasis),diatas awan,dialam idea-idea ,melihat keadaan yang
sebenarnya (Dick Hartoko,1983:31-32).

Penyair
        Syair-syair yang indah itu bukan karya manusia, tetapi adalah syair surgawi dan ciptaan
Tuhan.Parapenyair tersebut hanyalah merupakan penafsir Tuhan.Lewat teori
”partisipasi”maka seorang penyair yang rendah martabatnya dapat membawakan nyanyian-
nyanyian yang terindah.Para penyair memiliki ”kekuatan misterius”yang bersifat
Illahiah.Seniman tidak lagi mengimitasi ,tetapi sebaliknya ia memperoleh inspirasi yang
karenanya merupakan bagian dari Illahi(Abdul Kadir,1976:7).

Aristoteles: 384-322 SM.


        Keindahan dianggap sebagai suatu kekuatan yang memiliki berbagai unsur yang
membuat sesuatu hal yang indah.       Dalam bukunya Poetics, Aristoteles
mengatakan  ”untuk menjadi indah, suatu makhluk hidup dan setiap kebulatan yang terdiri
atas bagian-bagian harus tidak hanya menyajikan suatu ketertiban tertentu dalam
pengaturannya dari bagian-bagian, melainkan juga merupakan suatu besaran tertentu yang
pasti. Menurut Aristoteles unsur-unsur keindahan dalam alam maupun pada karya manusia
adalah suatu ketertiban dan suatu besaran/ukuran tertentu (The Liang Gie, 1996:41).

Seni
        Menurut Aristoteles, seni adalah kemampuan menciptakan sesuatu hal atas pikiran akal.
Seni adalah tiruan (imitasi) dari alam, tetapi imitasi yang membawa kepada kebaikan.
Walaupun seni itu tiruan dari alam seperti apa adanya, tetapi merupakan hasil kreasi (akal)
manusia. Seni harus dapat menciptakan bentuk keindahan yang sempurna, yang dapat
mengantarkan manusia menuju keindahan pada keindahan yang mutlak.

B.  Periode Skolastik
Dalam sejarah Filsafat Barat abad pertengahan adalah masa timbulnya filsafat baru. Hal
ini dikarenakan kefilsafatan itu dilakukan oleh bangsa Eropa Barat dengan para filosofnya
yang umumnya pemimpin gereja atau penganut Kristiani yang taat. Filsafat abad pertengahan
ini dikenal dengan sebutan Filsafat Skolastik.
Dalam abad pertengahan ini masalah theologia mendapat perhatian utama dari para
filosof.
Masalah estetika dikemukakan oleh Thomas Aquinas: 1225-1274.  Filsuf ini adalah
pengagum Aristoteles. Menurut Thomas Aquinas keindahan itu terdapat dalam 3 kondisi,
yaitu :
1.      Integrity or perfection  (keutuhan atau kesempurnaan)
2.      Proportion or harmony  (perimbangan atau keserasian)
3.      Brightness or clarity  (kecermelangan atau kejelasan)
Munurut Thomas Aquinas, hal-hal yang cacat (tidak utuh, tidak sempurna) adalah jelek,
sedangkan hal-hal yang berwarna cemerlang atau terang adalah indah. Tiga unsur keindahan
itu oleh para ahli modern disebut kesatuan, perimbangan dan kejelasan.

C.   Periode Renaissance
Kata Renaissance berarti kelahiran kembali, yaitu membagun kembali semangat
kehidupan klasik Yunani dan Romawi dalam bidang ilmu pengetahuan dan seni. Gerakan
pembaharuan ini dilakukan terutama oleh para humauis Italia yang dimulai kurang lebih abad
ke XIV. Gerakan ini hampir disegala bidang ilmu pengetahuan, kesenian dan filsafat. Tetapi
yang paling semarak gerakan ini adalah pada bidang seni.
Pada periode ini masalah seni menjadi titik perhatian. Uraian mengenaai estetika secara
luas ditulis oleh Massilimo Visimo, sedangkan penulis-penulis lainnya banyak mengulas
teori-teori seni. Leon Batista dan Albert Durer dalam bidang seni rupa,Giosefe Zarlino dan
Wincenzo Galilei dalam bidang musik,serta Lodovia Castelvetro dalam bidang puisi.

D.   Periode Aufklarung
Pencerahan merupakan gerakan lanjutan dari Renaissance. Dalam periode ini masih
terlihat pengaruh rationalisme Descartes dan Empirisme Bacon dalam pembahasan Estetika.
Baumgarten (Alexander Gotlieb Baumgarten), dia seorang filsuf Jerman yang hidup
tahun 1714-1762. dialah orang pertama yang memperkenalkan istilah ”estetika” sebagai ilmu
tentang seni dan keindahan.
Baumgarten membedakan pengetahuan itu menjadi 2 macam:
1. Pengetahuan intelektual (intellectual knowledge)
2. Pengetahuan indrawi (sension knowledge)
     (The liang Gie, 1980)
   
Pengetahuan intelektual itu disebut juga pengetahuan tegas, sedangkan pengetahuan
indrawi dianggap sebagai pengetahuan kabur. Estetika adalah ilmu tentang pengetahuan
indrawi yang tujuannya adalah keindahan. Tujuan daripada keindahan adalah untuk
menyenangkan dan menimbulkan keinginan. Manifestasi keindahan tertinggi tercermin pada
alam, maka tujuan utama dari seni adalah mencontoh alam.
Pengaruh Empirisme Bacon nampak dalam hal imajinasi rasa estetis atau cita rasa. Hal
ini terlihat dalam pendapat Edmund Burke dan Lord Kaimes. Menurut Edmud Burke (1729-
1798) masalah selera itu tidak dapat dijadikan hakim dalam keindahan (Wajiz Anwar,
1980). Sedangkan Lord Kaimes dalam karyanya Elements of Criticism yang terbit pada tahun
1961 sependapat dengan Burke. Keindahan adalah sesuatu yang dapat menyenangkan selera.
Dia mengemukakan suatu titik tolak baru, bahwa pengalaman mengenai suatu emosi
walaupun sangat pedih  seperti emosi takut atau kesengsaraan adalah menyenangkan. Emosi
yang menyedihkan adalah menyenangkan bila direnungkan. Perang, bencana alam
adalah  menyedihkan, tetapi menyenangkan bila kita melihatnya dipanggung sandiwara atau
dalam seni film. Kejadian yang paling dahsyat dan mengerikan justru paling mengesankan
dan menggembirakan bila diingat. Keindahahan ialah menyenangkan. Oleh karena itu
keindahan ditentukan oleh selera semata-mata.

E.   Periode Idealis
Sejalan dengan perkembangan filsafat, idealisme  mempengaruhi pendangan estetika di
Jerman. Immanuel Kant merupakan filsuf pertama yang mengemukakan teori estetika dari
pandangan objektif. Maka penyelidikan estetika berubah, dari penelaahan ontologis beralih
ke bidang ilmu jiwa, yang sebelumnya telah dirintis oleh rationalime dan empirisme.
Filsuf-filsuf yang termasuk dalam peroide ini diantraanya adalah: Immanuel kant,
Schiler, Scheling dan Hegel.

1.  Immanuel Kant:1724-1804
Estetika Kant berdasarkan pada ajaran bahwa manusia itu mempunyai pengetahuan
tentang ”nature di luar dirinya” dan ”dirinya di dalam nature” (Abdul Kadir, 1975).
Pada ”nature di luar dirinya”, manusia mencari kebenaran dan pada “dirinya di dalam
nature”, manusia mencari kebaikan yang pertama. Kebaikan yang pertama
ini  merupakan “pure reason” dan kebaikan yang kedua merupakan “practical reason” (free
will). Disamping itu, masih ada lagi yaitu kemampuan untuk memberi keputusan (judgement)
ialah yang membentuk putusan tanpa pamrih dan menghasilkan kenikmatan tanpa keinginan.
Keindahan dalam seni mempunyai hubungan erat dengan kemampuan manusia dalam menilai
karya seni yang bersangkutan. Kemampuan ini disebutnya dengan istilah “cita rasa” (taste).
Immanuel Kant membedakan adanya dua macam keindahan, yaitu keindahan bebas
(pulchritudevoga) dan keindahan bersyarat yang semata-mata tergantung (pulchritudo
adhaerens). (Abdul Kadir, 1974:37). Keindahan bebas tidak mempunyai konsep preposisi
tentang bagaimana seharusnya benda itu. Contoh bunga sebagai keindahan natural ada
perbedaan dalam penilaian tentang selera terhadap bunga itu, bagi botani dan yang bukan
botani. Disamping bunga, ia juga menunjukkan barang-barang sebagai contoh (burung betet,
burung cendrawasih, humming bird) dan keong-keong laut.
Keindahan yang semata-mata tergantung (pulchritudo adhaerens) membutuhkan konsep
demikian serta penyempurnaan benda itu sesuai dengan konsepnya (keindahan bersyarat),
yang tergantung pada konsep-konsep yang berasal juga dari sebuah konsep yang mempunyai
tujuan tertentu.
Dari keindahan natural ia melangkah ke keindahan artistik dengan memberikan contoh
hiasan-hiasan tepi atau kertas hiasan dinding dan fantasi-fantasi musik (Abdul Kadir,
197:38).
Hubungan antara keindahan natural dan keindahan artistik ternyata mengalami
kontradiksi-kontradiksi. Immanuel Kant memandang artis (seniman) sebagai seorang yang
dilengkapi dengan imajinasi yang juga merupakan pusat produksi ilmu pengetahuan, seperti
halnya “talent” (bakat natural) yang mempengaruhi (memperkarsai hukum-hukum seni.
Karena talent   yang merupakan pusat produksi seorang artis yang dibawanya sejak lahir itu
sendiri sebagai bagian dari nature. Menurut Immanuel Kant genius adalah talent, genius
adalah disposisi mental yang memang ada sejak lahir (ingenium) dan melaluinyalah alam
(nature) memberikan hukum-hukum seni. Bagi Immanuel Kant, genius seorang artis tidak
dapat sejajar dengan selera murni dan karenanya merupakan preposisi sebuah konsep yang
pasti tentang karyanya sejauh karya itu mempunyai tujuan (Abdul Kadir, 1974:40).
Berdasarkan teorinya tentang keindahan bebas, Immanuel Kant dapat dianggap sebagai
perintis seniman anti-konsep yang sekarang termasuk aliran abstrak. Immanuel Kant
berusaha unutk mengkoeksistensikan antara keindahan natural dengan keindahan bersyarat
dan mensejajarkan dari bentuk nyata tentang keindahan dan seni, ternyata hasilnya sampai
pada keraguan yang  gersang. Immanuel Kant memaksakan pertentangan antra keindahan
bersyarat dengan keindahan bebas. Konsekuensi dualisme ini ialah dalam menilai keindahan
yang murni, maka penilaian terhadap selera juga murni, sedangkan sebuah penilaian tentang
selera yang terkait pada sebuah obyek ,yang mempunyai tujuan inti tertentu.
Analisa tentang penilaian estetis dibagi menjadi 2, yaitu: analisa tentang keindahan
analisa tentang kengungan
Pada analisa tentang keindahan, pandangan Immanuel Kant memaparkannya dalam 4
pertimbangan yaitu: berdasarkan pada segi kualitas, kuantitas, hubungan dan modalitas.
a. Pertimbangan dari segi kualitas
    Keindahan ialah kesenangan total yang terjadi tanpa konsep.
b. Pertimbangan dari segi kuantitas
Keindahan berwujud tanpa konsep, sebagai objek dari pemuasan hidup yang
mendesak.Keindahan merupakan suatu  kesenangan yang menyeluruh.
c. Pertimbangan dari segi hubungan
Putusan selera bersandar pada prinsip-prinsip dasar yang bebas dari daya tarik dan emosi
serta bebas dari konsep kesempurnaan.Hal ini berarti bahwa keindahan ialah konsep tentang
adanya tujuan pada objek, tetapi tujuan itu tidak terwujud dengan tegas.
d. Pertimbangan dari segi modalitas
Putusan selera menurut kesenangan yang timbul dari objek tertentu.Kesenangan merupakan
keharusan subjektip,tetapi berwujud dalam bentuk objektip ketika dicerap oleh indera
manusia.Keindahan ialah apa yang diakui sebagai objek pemuasan darurat yang tidak
berkonsep (Wadjiz Anwar,1980:23).

Analisanya tentang keagungan terdapat adanya perbedaan antara keindahan dan


keagungan. Keindahan termasuk putusan selera sedangkan keagungan mempunyai akar di
dalam kecerdasan (geistesgefuehl). Keindahan selamanya bertalian dengan bentuk (forma),
sedangkan keagungan ada kalanya bergantung kepada forma dan non forma yang
menyangkut tidak adanya forma dan cacat.Kant membedakan antara dua bentuk
keagungan,bentuk matematis yang statis dan bentuk dinamis(Wadjiz Anwar,1980:23).

Pengalaman Estetik.
Bagi Immanuel Kant alam merupakan sumber utama bagi pengalaman estetik(Dick
Hartoko,1983,12-13).Immanuel Kant membedakan putusan estetik dari putusan cognitif
semata-mata disatu pihak dan putusan moral dilain pihak.Pengalaman estetik itu tidak
hanya  ingin tahu (bersifat cognitif), tetapi mengikut sertakan daya-daya lain dalam diri
kita,seperti misalnya kemauan, daya penilaian emosi,bahkan seluruh diri kita (Dick
Hartoko:1911,8).
Dalam hal mempertahankan pengalaman estetik berbeda dengan pengalaman
moral.Dalam keyakinan moral, kalau kita yakin bahwa suatu perbuatan jahat,maka kita
sanggup mempertaruhkan nyawa kita, lebih baik mati dari pada berbuat serong.Dalam
pengalaman estetik walaupun menyangkut seluruh diri kita, namun untuk mempertahankan
suatu penilaian estetik kita tidak sanggup mempertahankan nyawa kita. (Dick
Hartoko;1911;8).

2. Hegel ; 1770-1831.
Menurut Hegel, seluruh bidang keindahan merupakan suatu moment (unsur dialektis)
dalam perkembangan roh (Geist, spirit) menuju kesempurnaan. Hal itu dapat ditemukan
dalam pengalaman manusia. Kedudukannya diambang antara yang jasmani dan yang rohani
(materi menuju roh, roh menjelma dalam materi tepat pada saat peralihan yang bermuka
ganda itu dialami) dan bukan itu saja, karena sekaligus merupakan moment atau saat
kebenaran (pengertian) dan kebaikan (penghendakan) bersentuhan satu sama lain (maka tidak
wajar masalah ”arti” atau ”nilai etis” dikemukakan dalam konteks kesenian). Moment itu
tidak pernah dialami atau dapat ditunjukkan dalam bentuk yang ”sempurna”, hanya dalam
bentuk ”penyimpangan-penyimpangan yang indah” dari moment keseimbangan penyentuhan
atau peralihan itu. Dengan demikian muncullah kategori-kategori estetis, seperti ”yang
sublim (roh 'menang' atas materi)”, ”yang lucu” atau ”yang humor” (arti 'menang' atas nilai),
”yang jelita” atau ”gracious” (nilai 'mengalahkan' arti), tentu saja semua itu dalam batas
keindahan itu sendiri, malahan yang sublim mempunyai unsur tragisnya dan sebaliknya, yang
lucu dan yang jelita, yang pertama dilihat juga sebagai yang mewakili kepriaan, yang kedua
kewanitaan (Mudji sutrisno, 1993:48).
Karya seni merupakan bidang dimana keindahan mempunyai manifestasi yang khusus.
Karya seni menunjukkan kemampuan manusia menangkap keindahan alam dan merupakan
kesaksian tersempurna mengenai fakta bahwa manusia mengintuisi keindahan, karena kalau
manusia secara khusus mempunyai intuisi yang tidak mati mengenai keindahan, ia
mengungkapkannya dalam karya seni. Kelebihan seniman bahwa ia mempunyai kemampuan
mengungkapkan, karena ia terlibat lebih banyak dari pada yang kita lihat (Lorens Bagus,
1991:117).
Bagi Hegel, seniman adalah jenius, selain yang bersangkutan memiliki bakat alami,
maka bakat itu harus direnungi dan dikembangkan lewat kerja praktek dan penguasaan
keterampilan menampilkan sesuatu. Jika genius harus dapat menampilkan sesuatu yang
original, maka artinya sama saja dengan menampilkan yang obyektif. Agar bisa original dan
obyektif, maka yang bersangkutan harus memiliki kebebasan dalam mencipta. Kebebasan itu
ditunjukkan oleh kamampunanya mengobyektifikasi imajinasinya lewat medium dan teknik
yang serasi, yang akan membawanya kepada tujuan yang ingin dicapai. Mencipta karya seni
dan menghayatinya dalam medium seperti itu boleh dilihat sebagai upaya agar tidak terjadi
”pengendapan” perasaan. Yang inderawi itu harus menjadi wadah obyektifikasi roh. Seni
mengacu kepada perasaan, disamping kepada imajinasi (Humar Sahman, 1993:189-190).
Kebenaran dan keindahan menurut Hegel adalah satu dan dari hal yang sama. Bedanya
hanya terletak pada kebenaran adalah idea itu sendiri dan adanya ada dan pada idea itu
sendiri dan dapat difikirkan. Manifestasinya keluar, tidak hanya  kebenaaran saja, tetapi juga
keindahan.     
Bagi Hegel keindahan adalah sesuatu yang transedental.Dia membedakan

F. Periode Romantik
Aliran romantik merupakan reaksi terhadap rasionalisme yang mendewakan rasio. Kini
perasaan menjadi dominan. Kalai sebelumnya sang seniman tunduk pada kaidah-kaidah yang
ketat, kini sang seniman berdaulat dengan merdeka, asal meluapkan secara spontan dan
otomatis emosi-emosinya.
Aliran inidirintis oleh J.J Rousseau yang hidup pada pertengahan abad ke-XVIII.
Rousseau bertitik tolak pada suatu pandangan dasar, yaitu bahwa alam murni itu baik dan
ndah sehingga segala sesuatu yang dekat pada alam murni juga baik dan indah (Dick
Hartoko, 1984)
Dalam hal seni Roesseau berpendapat bahwa bakat alam hendaknya dikembangjan
secara bebas, jangan sampai datur oleh macam-macam teori dan guru. Asal, emosi yang
spontan diluapkan maka hasilnya pasti indah.
Pada tingkat awal, gerakan romantik berada pada pemikiran Schellingdan bentuk-bentuk
baru kesusastraan baru di Jerman dan Inggris pada tahun 1890-1891. Ada 4 hal yang menjadi
pusat perhatian dari penulis-penulis estetika pada periode ini adalah: ekspresi, imajinasi,
organisasi dan simbolisasi.
Salah seorang filsuf besar pada periode ini adalah Arthur Schopenhauer dan Nietzche.
Menurut  Schopenhauer, hakekat yang terdalam dari kenyataan adalah kehendak (karsa).
Dalam diri manusia,  kehendak yang bersifat itu tidak dapat dipuaskan. Sebagai akibatnya
manusia mengalami kesengsaraan. Untuk mengatasi keadaan itu, tersedia dua jalan yaitu
jalan etis dan estetis. Jalan etis yaitu dengan berbuat dan bertingkah laku baik sedangkan
jalan estetis, dengan menikmati kesenian khusususnya musik. Tetapi musik hanya dapat
dinikmati dan melupakan kesengsaraan yang sementara.
Jika kehendak itu memilukan atau kehendak untuk hidup itu menyedihkan, maka seni
adalah hiburan yang terbaik dan merupakan tempat istirahat yang terjamin. Disatu pihaj, seni
membangkitkan kekuatan dan menghilangkan rasa lelah, tetapi dipihak lain ia juga
mendatangkan semangat keindahan yang menghapuskan krisis-krisis dalam hidup.

G. Periode Positifistik.
Dalam periode ini estetika dipelajari secara empiris dan ilmiah yang berdasarkan
pengalaman-pengalaman riil yang nyata dalam kehudupan sehari-hari. Estetika dibahas dalam
hubungannya dengan ilmu lain,misalnya psikilogi dan matematika.Para filsuf yang
membahas estetika diantaranya Fehner,George Birkhof, A.Moles dan Edward Bullough      .   

1. Gustaf T.Fecner (1801-1887 ) 


Dia berpendapat bahwa estetika yang dikembangkan oleh para filsuf sebelumnya sebagai
estetika ''dari atas'' (The Liang Gie,1976). Fechner berpendapat bahwa sebaiknya estetik itu
dihampiri ''dari bawah'' dengan mempergunakan pengamatan secara empiris dan percobaan
secara laboratorium terhadap sesuatu hal yang nyata.Metode yang dipakainya adalah metode
Experimentil.Tujuan yang ingin dicapai adalah berusaha untuk menemukan kaidah-kaidah
/dalil-dalil mengapa orang lebih menyukai sesuatu hal yang indah tertentu, dan kurang
menyukai yang lain.

2.A.Moles 
Percobaan-percobaanng dilakukan menunjukkan bahwa proses-proses dalam otak
manusia dipengaruhi oleh sifat-sifat struktural dari pola-pola perangsang seperti misalnya
:sesuatu yang baru, sesuatu yang rumit dan sesuatu yang mengagetkan. Sifat-sifat yang
merangsang ini dapat dipandang sebagai unsur-unsur penyusun dari bentuk atau struktur seni.

3.Edward Bullough
Dia menerapkan psikologi introspeksi dan teori sikap dengan melakukan penyelidikan
terhadap apa yang dinamakan kesadaran estetis (aesthetic consciousness)(The Liang
Gie,1976).Psikoanalisa dengan teori-teorinya memberikan penjelasan bahwa karya seni
sebagai mana halnya dengan impian dan mitologi merupakan perwujudan dari keinginan
manusia yang paling dalam.Keinginan ini memperoleh kepuasan lebih besar dalam bentuk
seni dari pada dalam realitas kehidupan biasa.Penggunaan hasil-hasil dari ilmu jiwa anak
(child psychology) dianggap dapat memberikan keterangan-keterangan yang memadai
mengenai pertumbuhan dorongan batin dalam mencipta seni.Dorongan batin ini mencakup
semua dinamika kejiwaan yang tidak bersifat intelektualistis, misalnya hasrat untuk meniru,
kecenderungan untuk memamerkan, kesediaan untuk menyenangkan pihak lain, keinginan
bermain-main, pemanfaatan energi yang berlebihan dan peluapan perasaan yang ada
dalam   diri setiap orang.Dalam periode  positifistis ini, walaupun pembahasan estetika sudah
bersifat ilmiah, tetapi bukan berarti bahwa pendekatan secara filsafati sudah tidak
dipergunakan lagi.

H.  Periode Kontemporer.
Dalam periode ini, muncul sejumlah pandangan estetika dalam waktu yang relatif
bersamaandan sampai kini masih banyak pengikutnya.Pandangan estetika yang banyak ini
(multi isme), tumbuh pada awal abad ke 19 dan menjadi lebih semarak lagi pada abad ke 20.
berikut ini tujuh pandangan yang menonjol dalam periode ini.
1.   Seni untuk seni (lárt pour l'art)
Semboyan  L'art pour L'art yang termashur ini pertama kali dipergunakan oleh
seorang filosof Victor Cousin (1792-1867). Pandangan ini menganggap bahwa seni
merupakan deklarasi artistik yang independen sebagai suatu tanggung jawab professional.
Seniman ditempatkan sebagai suatu pribadi yang bebas dan terpisah dari kepentingan
masyarakat. Tujuan seni hanya untuk seni, tidak mengabdi kepada kepentingan politik,
ekonomi, sosial dan agama. Pandangan ini merupakan suatu reaksi terhadap kondisi pada
waktu itu untuk mengembalikan kemurnian status seni.
      
       2. Realisme
Realisme menganggap bahwa karya seni harus  menampilkan kenyataan yang
sesungguhnya, seperti sebuah gambar reproduksi (seperti photo). Salah seorang tokoh dari
pandangan ini ialah Nicolay C. Chernyshevski dengan karyanya The Aestheics Relation or
Art to Reality (1865).

3. Sosialisme (Tanggungjawab sosial)


Suatu pandangan yang sangat bertentangan dengan pandangan seni untuk seni, bahwa
seni merupakan kekuatan sosial dan refleksi dari kenyataan sosial. Seniman adalah bagian
dari masyarakat dan mempunyai tanggungjawab sosial.

Estetikus terbesar yang termasuk dalam pandangan ini ialah Nikkolayevitch Tolstoy (1982-
1910). Di dalam karyanya yang terkenal what is art (1898) Tolstoy mengulas persoalan seni
dan keindahn secara lebih luas. Menurut Tolstoy, dalam arti subyektif, apa yang dinamakan
keindahan adalah apa yang memberikan kita suatu kenikmatan atau kesenangan. Sedangkan
dalam arti obyektif, keindahan adalah sesuatu yang absolut dan sempurna, karena kita
menerima manifestasi dari kesempurnaan tersebut . Bagi Tolstoy seni yang ialah seni yang
dapat memindahakna perasaan arus hidup manusia scara sama dan seirama. Nilai-nilai agama
dianjurkan dalam ekspresi seni, kaena persepsi keagamaan tidak lain adalah gejala pertama
dari manusia dengan dunia sekitarnya. Tolstoy telah membahas estetika dari sudut
kekristenan yang penuh kritik terhadap kepincangan sosial, negara, gereja dan kebodohan
kaum bangsawan (Hassan Sadily;1984).

4. Ekspresionisme
Estetikus Benedetto Croce (1866-1952) telah meninggalkan pengaruh besar pada abad
ke 20 ini. Pandangannya ditulis dalam bukunya Aesthetics as Science of Expression and
Generale Linguistic (1902).
Menurut Groce, Estetika  ilmu tentang image atau sebagai pengetahuan intuitif dan
bersifat objektif. Bagi Crocekeindahan tergantung pada keinginan imajinasi, yaitu
kemampuan seseorang untuk memahami serta mengalami hasil kegiatan intuisi dalam
bentuknya yang murni.Croce termasuk penganut “seni untuk seni”. Seni tidak benar kalau
dicampuri oleh berbagai kepentingan,misalnya ilmu pengetahuan,hiburan ataupun moral.

5. Naturalisme
Pandangan estetika naturalisme para filosof Amerika lebih menekankan pada
ketenangan hidup untuk kelangsungan budaya manusia.
Salah satu tokohnya George Santayana. Dia berpendapat bahwa nilai keindahan
terletak pada hasrat alami untuk mengalami keselarasan sosial dan untuk merenungkan
keindahan menciptakan moralitas, seni, puisi dan agama, yang ada dalam imajinasi dan
berusaha untuk mewujudkan secara konkret dengan tindakan, kombinasi dari esensi-esensi
dan semata-mata ideal. Estetika berhubungan dengan penceraapan nilai-nilai. Keindahan
sebagai nilai intristik dan diobjektifkan, artinya sebagai kualitas yang ada pada suatu benda.

6. Marxisme
Marxisme telah memberikan pengaruh kepada para estetikus terutama di negara-
negara sosialis dan komunis. Prinsip dasar estetikanya ialah seni dan semua kegitan manusia
yang  tertinggi merupakan budaya "super struktur" yang ditetapkan oleh kondisi sejarah
masyarakat, terutama kondisi ekonomi.
Estetika Rusia Georgi V. Plekaniv dalam bukunya Art and Social Live  (1912),
mengembangkan estetika materialisme dialektika dan menyerang doktrin “seni untuk seni”
yang telah berkembang di Eropa.

7. Eksistensialisme
Pandangan mengenai kekuatan otonomi sebagai kualitas obyektif yang ada dalam
dirinya sendiri telah dicetuskan oleh para filosof Eksistensialisme.
J.P. Satre membedakan antara obyek estetik dengan benda-benda lainnya di dunia.
Perbedaannya terletak pada "ekspresi dunia", bahwa setiap benda estetis secara personal
adalah "ada dalam dirinya sendiri" (pour soi). Dalam hal ini Satre telah memberikan jalan
untuk adanya suatu konsep tentang "kebenaran otentik" dari eksistensi seni.

BAB III
NILAI ESTETIK

A.  Pengertian Nilai Estetik


Dalam rangka teori umum tentang nilai, pengertian keindahan dianggap sebagai salah
satu jenis nlai seperti halnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai-nilai yang lain. Nilai yang
berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai
estetis.
Pada prinsipnya masalah estetika selalu bertumpu pada dua hal, yaitu keindahan dan
seni,tetapi dari kedua hal tersebut berkaitan dengan masalah nilai, pengalaman estetis dan
pencipta seni (seniman). Keindahan dan seni merupakan dua hal yang saling berhubungan.
Salah satu bentuk perwujudan keindahan adalah dalam bentuk karya seni.
Bagaimana hubungan keindahan dengan seni, telah dijawab oleh para filsuf sepanjang
zaman. Beberapa ahli berpendapat bahwa seni dan keindahan tidak terpisahkan. Sedangkan
yang lainnya berpendapat seni tidak selalu harus indah atau bertujuan untuk keindahan.
Pendapat bahwa seni tidak terpisahkan dengan keindahan terutama oleh Baumgarten sebagai
pelopor ilmu estetika. Menurut Baumgarten, tujuan dari keindahan untuk menyenangkan dan
menimbulkan keinginan. Manifestasi keindahan tertinggi tercermin pada alam, maka tujuan
seni adalah keindahan dan mencontoh alam.
Para ahli seni yang berpendapat, bahwa seni tidak selalu indah menunjuk karya-karya
seni kontemporer dewasa ini (lukisan dan patung) menampilkan gambar-gambar kotor
bahkan menjijikkan dan menunjuk pula pada karya manusia purba yang menampilkan wujud
yang kadangkala menyeramkan. Mereka berpendapat bahwa seni bukan produk keindahan,
tetapi produk problem seniman.
Seni memang bukan produk keindahan, tetapi keindahan itu merupakan suatu idealisasi
yang sebaiknya melekat pada media seni itu.Keindahan bukan hanya kesenangan inderawi,
tetapi juga terletak di dalam hati.

 B.  Aliran dalam Filsafat Nilai


Ada beberapa aliran dalam filsafat nilai, yaitu : 
1. Aliran objektifisme, mengatakan bahwa nilai itu terletak pada objek itu sendiri, sama sekali
lepas atau tidak tergantung dari keinginan subjek atau kesukaan manusia. Nilai itu sudah ada
sebelum orang itu menilai. Jadi nilai itu adanya absolut.  (Parmono, 1991:9). Salah seorang
tokoh dari aliran ini adalah Plato, yang mengatakan bahwa nilai merupakan dunia yang tetap
dan ternyata, nilai berada di dalam dunia konsep, dunia ide. Sedangkan Prof. E.C Spoulding
mengatakan bahwa : nilai-nilai adalah "subsistens" yang berexistensi dalam ruang dan waktu,
karena subsisten nilai-nilai itu bebas dari keinginan dan kesukaan manusia (Parmono,
1991:10).

2. Aliran subjektifisme, mengatakan bahwa nilai sama sekali tergantung atau ditentukan oleh
subjek. Edmund Burke mengatakan bahwa keindahan ditentukan oleh selera. Suatu objek
baru bernilai apabila diinginkan atau didambakan oleh subjek. Subjeklah yang memasukkan
nilai ke dalam objek, sehingga objek itu bernilai (Parmono, 1991:10).
                 Dengan kedua aliran yang mempunyai sudut pandang yang berbeda, dimana
objektifisme mendasarkan pandangan pada objek yang berdiri sendiri, terlepas dari pengaruh
subjek, sedangkan subjektifisme memfokuskan pada peranan dan pengaruh subjek semata.

3. Oleh karena setiap aliran mempunyai kelemahan, maka lahirlah aliran ketiga yaitu
aliran yang berprinsip menyatakan bahwa nilai itu tidak semata-mata terletak pada objek dan
juga tidak terletak pada subjek, artinya hanya kepunyaan dunia batin. Salah seorang tokoh
aliran ini,  George Santayana mengatakan keindahan tidak hanya mempunyai nilai, tetapi
juga dinikmati oleh yang melihatnya. Nilai itu merupakan hasil interaksi antara subjek dan
objeknya.

4. Aliran Pragmatisme, Sesuatu itu bernilai apabila dapat memberikan manfaat atau


kegunaan, misalnya lembu. Bagi seorang petani lembu mempunyai fungsi sebagai teman
bekerja mengerjakan sawah dan ladangnya. Bagi seorang pedagang, lembu merupakan aset
dalam bidang ekonomi. Dan bagi umat beragama Hindhu, lembu menjadi binatang kendaraan
dewa Wisnu yang dikeramatkan.

5. Aliran Esensi,
 sesuatu dikatakan bernilai indah, misalnya  karena hanya itu sendiri. Bunga mawar itu indah
karena memang di dalam bendanya itu sendiri mmpunyai sifat indah.

C. Jenis dan Ragam Nilai


The Liang Gie membedakan empat macam jenis nilai, yaitu : 
1.  kekudusan (holiness)
yaitu kebaikan yang sekaligus merupakan kebenaran. Maksudnya yang memiliki
kepercayaan maka sesuatu yang dianggap kudus atau suci pastilah merupakan suatu kebaikan
yang dikejar dan sekaligus diyakini sebagai kebenaran.

2.  Kebaikan (goodness)
yaitu kekudusan yang sekaligus merupakan keindahan. Maksudnya kebaikan biasanya
merupakan sesuau hal yang dianggap luhur atau kudus dan sekaligus dirasakan sebagai hal
yang indah, sehingga perlu diulang-ulang melakukannya untuk memperbesar atau
melangsungkan terus perasaan senang yang diperoleh.

3.  Kebenaran (thruth)
yaitu keindahan yang sekaligus merupakan kekudusan. Maksudnya kebenaran
merupakan sesuatu hal yang menyenangkan karena indah dan dengan kekudusan sebagai
keberhargaan yang universal dan patut dimiliki terus-menerus.

4.  Keindahan (beauty)
yaitu kebenaran yang sekaligus merupakan kebaikan. Maksudnya sesuatu yang betul-
betul indah merupakan suatu kebenaran bagi yang dapat menikmati dan sekaligus juga
sesuatu hal yang baik sehingga ingin dinikmati terus (The Liang Gie, 1976:162).

Dari empat jenis nilai yang diuraikan di atas, masing-masing mewujudkan menjadi :
a.  kekudusan menjadi nilai religius
b.  Kebaikan menjadi nilai etis
c.  Kebenaran menjadi nilai intelektual
d.  Keindahan menjadi nilai estetis

Dari jenis-jenis nilai tersebut, ternyata nilai mempunyai ragam nilai yang menurut The
Liang Gie dalam bukunya Dari Administrasi ke Filsafat dapat diklasifikasikan menjadi : 
1.  Nilai Instrumental
Yaitu nilai yang berfungsi sebagai suasana atau alat untuk mencapai sesuatu hal lain,
termasuk sesuatu nilai apapun yang lain. Ragam nilai ini pada umumnya terdapat pada benda.
2.  Nilai Inheren
Yaitu nilai yang umumnya hanya melekat pada benda yang mampu secara langsung dan
sekaligus menimbulkan sesuatu pengalaman yang berharga atau baik, seperti kepuasan.

3.  Nilai Kontributif
Yaitu nilai dari sesuatu hal atau pengalaman sebagai bagian dari keseluruhan menyumbang
pada keberhargaan dari  keseluruhan itu.
4.  Nilai Intrinsik
Yaitu nilai dari suatu pengalaman yang bersifat baik atau patut dimiliki sebagai tujuan
tersendiri dan untuk pengalaman itu sendiri (The Liang gie, 1978:170).

D. Katagori Nilai Estetik


Nilai estetis sebagai salah satu jenis nilai manusiawi (nilai religius, nilai etis, nilai
intelektual) menurut The Liang Gie, tersusun dari sejumlah nilai yang dalam estetika dikenal
sebagai kategori-kategori keindahan atau kategori-kategori estetis. Pada umumnya filsuf
membedakan adanya tiga pasang, yaitu :  
1. Kategori yang agung dan yang elok
2.  Kategori yang komis dan yang tragis
3.  Kategori yang indah dan yang jelek
akhirnya Kaplan menambahkan kecabulan (obscenity) sebagai suatu kategori estetis.  (The
Liang Gie, 1978:169).
Ahli estetika Jerman dari abad ke-19 Adolf Zeising mengemukakan pensistematisan
kategori-kategori keindahan menjadi 6 ragam yang disusun menurut lingkaran warna primer
dan sekunder sebagai berikut : 
1.  Merah                           :  murni indah
2.  Charming Orange         :  menarik 
3.  Comic (komis)             :  kuning
4.  Humoris                      :  hijau 
5.  Tragis                           :  biru (tragis)
6.  Ungu sublime               :  (agung)
Menurut Zeising kategori yang murni indah bersifat menyenangkan atau menimbulkan
perasaan senang pada orang. Kategoti yang menarik membangkitkan antara lain kekaguman.
Kategori yang komis dapat menggelikan hati orang. Kategori yang humoristis dapat
menimbulkan rasa terhibur atau lucu. Kategori yang tragis mengakibatkan perasaan yang
sedih, sedang kategori yang agung membuat orang sangat terkesan karena kemegahan atau
kedahsyatan.
Kategori yang agung baru disebut-sebut oleh para ahli keindahan dalam abad ke-18.
Berlainan dengan kategori yang murni indah, kategori yang agung diakui membangkitkan
pada orang yang mengamatinya suatu perasaan takjub karena sifat-sifatnya yang impressive,
majestic, glorius (keren mengesankan, megah hebat, meriah gemilang), dan bahkan kadang-
kadang dahsyat. Kebanyakan ahli estetika berpendapat bahwa kategori yang agung dan
kategori yang indah dapat ada secara bersamaan. Tetapi tokoh pemikir Inggris, Edmund
Burke (172-1797) menyatakan bahwa kedua kategori itu saling menyisihkan dan berlawanan.

Teori-teori humor
Kategori yang komis dan kategori yang humoris membangkitkan pada orang perasaan
yang menggelikan, yang membuat tertawa, yang menghibur dan yang lucu. Khusus pada
kategori yang humoris selain membuat orang tertawa atau tersenyum, juga dapat dijadikan
sarana untuk secara halus atau secara tak langsung menyindir, mengejek, menghantam, dan
melakukan pembalasan kepada pihak lain kawan atau lawan.
Lelucon yang humoris kini banyak diciptakan orang dalam masyarakat sebagai sarana
untuk mencapai suatu tujuan atau menyampaikan suatu maksud. Dengan demikian lahirlah
berbagai humor. Istilah humor menurut Martin Eshleman dewasa ini dipakai secara luas
untuk menunjuk pada setiap hal yang merangsang kecenderungan orang pada tertawa yang
lucu (everything that appelas to man's disposition toward comic laughter). Para ahli estetika
kini telah mengembangkan berbagai teori humor untuk menunjukkan dan menerangkan apa
sesungguhnya yang terdapat pada sesuatu hal yang membangkitkan gelak tertawa lucu pada
orang-orang. Dalam garis besarnya berbagai teori humor itu dapat digolongkan menjadi tiga
macam : 
1.  Teori Keunggulan  (Superiority theory)
2.  Teori ketaksesuaian (Incongruity theory)
3.  Teori pembebasan (Relief theory)

1).    Teori keunggulan menekankan bahwa inti humor ialah rasa lebih baik, lebih tinggi, atau
lebih sempurna pada seseorang dalam menghadapi sesuatu keadaan yang mengandung
kekurangan atau kelemahan. Menurut teori ini, seseorang akan tertawa bilamana mendadak
memperoleh perasaan unggul karena dihadapkan pada pihak lain yang melakukan kekeliruan
atau mengalami hal tak menguntungkan. Teori ini dapat dipakai untuk menerangkan mengapa
para penonton tertawa terbahak-bahak melihat badut sirkus yang terbentur tiang, jatuh
tersandung, melakukan aneka kekeliruan, atau perilakunya menunjukkan berbagai ketololan.

2).    Teori ketaksesuaian menjelaskan bahwa humor timbul karena perubahan yang sekonyong-
konyong dari sesuatu situssi yang sangat diharapka mejadi suatu hal yang sama sekali tidak
diduga atau tidak pada tempatnya. Tertawa terjadi karena harapan yang
dikacaukan (frustated expectation) sehingga seseorang dari suatu sikap mental dilontarkan ke
dalam sikap mental yang sama sekali berlainan.

3).    Menurut teori pembebasan, inti dari humor ialah pembebasan atau pelepasan dari kekangan
yang terdapat pada diri seseorang. Karena berbagai pembatasan dan larangan yang ditentukan
oleh masyarakat, dorongan-dorongan batin alamiah dalam diri seseorang mendapat kekangan
atau tekanan. Bilamana kekangan/tekanan itu dapat dilepaskan atau dikendorkan oleh
misalnya lelucon sex, sindiran jenaka, atau ucapan nonsense, maka meledaklah perasaan
orang dalam bentuk tawa.

Menurut tokoh psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), lelucon memiliki kimiripan


dengan impian, yakni kedua-duanya pada dasarnya merupakan sarana untuk mengatasi
kekangan (censor) yang datang dari luar atau telah tumbuh dalam diri seseorang. Dalam
impian, ide-ide yang terlarang dapat diserongkan atau diselubungi, sedang dalam kelakar
orang bisa menyelipkan kecaman, cacian, atau pelepasan diri dari apa saja secara tidak begitu
keras dan langsung.
Menurut Hans Eyeseck dan Glen Wilson, segenap humor dapat dibedakan menjadi 4
ragam atau kategori, yaitu :
1.      Humor yang disebut "nonsense". Ragam humor ini tidak berisi sindiran, serangan dan
lelucon sex, melainkan menggunakan berbagai teknik permainan kata atau unsur-unsur yang
tak sesuai untuk membangkitkan gelak tertawa pada orang .

2.      Humor yang disebut "satire" dan berisi sindiran terhadap orang, pejabat, kelompok atau
lembaga. Ini merupakan semacam serangan tak langsung atau kecaman halus yang ditujukan
kepada suatu pihak tertentu.

3.      Humor agresi secara langsung yang berisi kekerasn fisik, kebiadaban, penghinaan dan
penyiksaan yang sadis.

4.      Humor berisi sesuatu lelucon sex yang bisa ditampilkan secara kasar sekali atau amat halus.

Terakhir perlu dibahas tentang kategori yang jelek. Tampaknya memang agak janggal
bahwa salah satu kategori keindahan adalah kejelekan. Hal yang jelek bersifat kontradiktif
terhadap hal yang indah. Kejelekkan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang
membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan mengacu pada sifat-sifat yang nyata-nyata
bertentangan dengan sifat indah. Misalnya kalau ketertiban pada sesuatu hal dianggap
menimbulkan perasaan senang sehingga hal itu dinyatakan indah, maka hal yang jelek
bukanlah kecilnya ketertiban melainkan suatu keadaan yang amat kacau balau. Kejelekkan
menimbulkan pada orang perasaan muak dan mual. Hal yang jelek kini dianggap mempunyai
nilai estetis karena dapat membangkitkan sesuatu emosi tertentu yang negatif, suatu nilai
estetis yang negatif,yang bertentangan dengan sifat-sifat indah. Oleh karena itu, dapatlah
dimengerti kalau belakangan ini ada produser film yang menyajikan tokoh-tokoh jelek atau
seniman yang menciptakan sesuatu karya seni menjijikkan yang tergolong pada kategori yang
jelek.

BAB IV
PENGALAMAN ESTETIK
A. Pengertian Pengalaman Estetik
Pengalaman estetik adalah tanggapan seseorang terhadap benda yang bernilai estetis. Hal
ini merupakan persoalan psikologis sehingga pendekatan penelaahan menggunakan metode
psikologi. Ada tiga pengertian yang dapat dirangkum daripara ahli, yaitu :
1.      Pengalaman estetis terjadi karena adanya penyeimbangan antara dorongan dorongan hati
dalam menikmati karya seni.
2.      Pengalaman estetis adalah suatu keselarasan dinamis dari perenungan yang menyenangkan,
menimbulkan perasaan-perasaan seimbang dan tenang terhadap karya seni yang diamatinya
atau terhadap suatu objek yang dihayatinya,sehingga tidak merasa ada dirinya
sendiri.Pengalaman estetis jenis ini berhubungan dengan pengalaman mistis.
3.      Pengalaman estetis adalah suatu pengalaman yang utuh dalam dirinya sendiri tanpa
berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya, bersifat tidak berkepentingan (disinterested) dari
pengamatan yang bersangkutan. Pengalaman tersebut adalah pencerapan itu sendiri dan
merupakan nilai intrinsik.

John Hospers menyebut perbuatan yang demikian ini mencerap demi pencerapan
(perceive for perceiving's) atau juga pencerapan demi untuk pencerapan itu sendiri
(perceiving for its own sake) dan tidak untuk keperluan suatu maksud yang lebih jauh (The
Liang Gie, 1976).

B. Teori Pengalaman Estetik


1. Teori Jarak Psikis (psyhical distance) dari E. Bullough. Teori ini ditulis dalam
bukunya yang berjudul “Psyhical Distance as factor in Art and Aesthetic Principle”. Bullough
mempergunakan metode introspeksi dari psikologi yakni pengamatan diri dengan jalan
merenungkan pengalaman-pengalaman sendiri. Bullough berpendapat bahwa untuk
menumbuhkan pengalaman yang berhubungan dengan seni, orang justru harus menciptakan
jarak psikis diantara dirinya dengan hal-hal apapun yang dapat mempengaruhi dirinya itu.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi diri seseorang misalnya adalah segi-segi kegunaan dari
sesuatu benda untuk keperluan/tujuan orang itu. Kebutuhan dan tujuan praktis itu harus
dikeluarka agar perenungan dan tinjauan seseorang secara estetis terhadap bendanya itu
semata-mata menjadi mungkin.

2. Teori Einfuhlung  (teori tentang pemancaran perasaan diri sendiri ke dalam benda


estetis) yang dikemukakan oleh Friederich T. Vischer (1807-1887).
Menurut Vischer seorang pengamat karya seni (benda estetis apapun) cenderung untuk
memancarkan (memproyeksikan) perasaannya ke dalam benda itu, menjelajahi secara khayal
bentuk dari benda tersebut dan dari kegiatan itu menikmati sesuatu yang menyenangkan.

Teori ini dikembangkan oleh Lipps di dalam bukunya Aesthetic yang terdiri 2


jilid. Dalam garis besarnya teori Lipps menyatakan bahwa kegiatan estetis adalah kegiatan
seseorang yang dari situ timbul suatu emosi estetis khas yang terjadi karena perasaan itu
menemukan suatu kepuasan atau kesenangan yang disebabkan oleh bentuk objektif dari karya
seni tersebut. Nilai dari tanggapan objektif orang tergantung pada kwalitas objektif dari
benda estetis yang bersangkutan.
Teori Lipps ini dalam buku E.F Carritt (The Theory of Beauty) dirumuskan sebagai
kesenangan estetis adalah suatu kenikmatan dari kegiatan kita sendiri didalam suatu benda.
Pernyataan ini yang kelihatannya merupakan suatu pertentangan dalam kata-kata,
sebagaimana diterangkan berarti bahwa kita menikmati diri kita sendiri bilamana
diobjektifkan atau menikmati suatu benda sejauh kita hidup di dalamnya (The Liang Gie,
1976;54).

C. Rintangan Pengalaman Estetik


Dalam pengalaman estetik, mengalami hambatan jika di dalam diri si pengamat terdapat
sikap:
1.      Sikap Praktis: apabila seseorang mengamati pemandangan yang indah dengan tujuan untuk
kepentingan praktis, misalnya membangun hotel, rumah makan dan lain-lain.
2.      Sikap ilmiah: apabila seseorang mendengarkan lagu klasik yang diselidiki adalah asal
usulnya, diciptakan oleh siapa, dimana dan kapan lagu itu dibuat.
3.      Sikap melibatkan diri: apabila seseorang mempersamakan nasipnya dengan nasip seseorang
yang ada dalam buku novel yang baru saja ia baca atau fim yang baru saja ia tonton.
4.      Sikap emosional: apabila ada seseorang terdapat hasrat yang menyala-nyala untuk menikmati
karya seni, atau kesadaran diri yang berlebih-lebihan dalam penikmatan itu.
Menurut Stephen Pepper, musuh-musuh daripada pengalaman estetis adalah adanya
kesenadaan (monoton) dan kekacau-balauan (confusion). Dan hal yang merusak pengalaman
estetis itu, dalam karya seni yang baik, harus diusahakan adanya keanekaan (variety) dan
kesatuan (unity) yang seimbang (The Liang Gie, 1976). 

BAB V
FILSAFAT SENI

A. Pengertian Filsafat Seni


        Filsafat seni merupakan salah satu cabang dari rumpun estetik filsafati yang khusus
menelaah tentang seni. Lucius Garvin memberikan batasan tentang filsafat seni sebagai "the
branch of philosophy which deals with the theory of art creation, art experience, and art
criticism". (cabang filsafat yang berhubungan dengan teori tentang penciptaan seni,
pengalaman seni dan kritik seni). Sedang definisi Joseph Brennan merumuskan sebagai "the
study of general principles of artistic creation and appreciation." (penelaahan mengenai asas-
asas umum dari penciptaan dan penghargaan seni).
Pengertian seni ini dipakai dalam bermacam-macam arti, antara lain :
1.      Sei sebagai kemahiran (skill) dilawankan dengan ilmu (science). Sering dikatakan bahwa
ilmu mengajar seseorang untuk mengetahui dan seni mengajar seseorang untuk berbuat,
keduanya saling melengkapi.
2.      Seni sebagai kegiatan manusia atau (human activities) dilawankan dengan kerajinan (craft).
Ciri-ciri yang membedakan art dan craft ialah bahwa sni bersifat perlambang dan
menciptakan realita baru, sedangkan kerajinan merupakan pekerjaan rutin yang disesuaikan
dengan kegunaan praktis.
3.      Seni sebagai karya seni (work of art atau artwork) dilawankan dengan benda-benda alamiah.
Karya seniadaalah merupakan produk dari kegiatan manusia. Dalam artian yang seluas-
luasnya seni meliputi setiap benda yang dibuat manusia utnuk dilawankan dengan benda-
benda alamiah. 
4.      Seni sebagai seni indah ( fine art) dilawankan dengan seni berguna (useful art). Seni indah
dinyatakan sebagai seni yang terutama bertalian dengan pembikinan benda-benda dengan
kepentingan estetis, sehingga berbeda dari seni berguna atau terapan yang maksudnya untuk
kefaedahan.
5.      Seni sebagai seni penglihatan (visual art) dilawankan dengan seni pendengaran.
B. Teori Lahirnya Seni
Teori lahirnya seni membahas mengenai dorongan yang menyebabkan lahirnya seni.
Abdul Kadir (1975: 3-4) mengemukakan bahwa berdasarkan sejarah estetika terdapat tiga
teori tentang dorongan-dorongan manusia menciptakan seni. Ketiga teori itu adalah : 
1.      Teori Bermain (Theory of Play)
Berdasarkan teori ini lahirnya seni adalah semata-mata untuk kesenangan mengisi waktu
yang terluang belaka.
2.      Teori Kegunaan (Theory of Utility)
Teori ini juga mengungkapkan bahwa semua aktifitas artistik seluruhnya ditujukan untuk
kepentingan praktis dan kebutuhan sosial. Jadi teori ini berdasarkan pada aspek kegunaan.
3.      Teori Magis dan Religi (Theory of Magic and Religion)
Teori Magis dan Religi tentang lahirnya seni antara lain mengungkapkan bahwa kehadiran
seni adalah untuk mendapatkan tenaga-tenaga gaib untuk keperluan berburu dan sebagainya.
Pendapat ini disampaikan oleh Salmon Reinoch.

Pendukung teori magis dan religi lainnya adalah S. Gideon. Gideon berpendapat bahwa
seni merupakan jalan atau cara yang lazim untuk mendapatkan kekuatan dalam memperoleh
kekuasaan. Usaha untuk memperoleh kekuatan tersebut ditempuh dengan cara mendapatkan
kemahiran membuat garis-garis batas (outline) gambar-gambar dari binatang yang akan
ditangkap.

C. Aliran-aliran dalam Seni


Seni sebagai hasil kreasi akal budi dan rasa manusia menciptakan sesuatu yang baru
mempunyai bentuk dan corak yang    beraneka ragam. Aliran-aliran dalam seni ini biasanya
untuk seni lukis, diantaranya :
1.      Aliran Naturalisme
Bertujuan untuk melukiskan bentuk-bentuk alam yang sewajarnya sesuai dengan keadaan
alam (nature). Manusia beserta fenomenanya diungkapkan sebagaimana adanya seperti
tangkapan mata, sehingga karya yang dilukiskan seperti hasil foto atau tangkapan lensa
kamera. Jika yang dilukiskan sebuah pohon kelapa, maka lukisan tersebut berusaha
menggambarkan secara persis pohon kelapa yang ada di alam dengan susunan, perbandingan,
perspektif, tekstur, pewarnaan dan lain-lainnya disamakan setepat mungkin sesuai dengan
pandangan mata ketika melihat pohon kelapa tersebut apa adanya (Nooryan Bahari,
2008:119).

2.      Aliran Ekspressionisme
Aliran ini bermaksud mengungkapkan perasaan-perasaan dan penderitaan batin yang timbul
dari pengalaman diluar, yang ditanggapi tidak hanya dengan panca indra tetapi juga dengan
jiwa. Seniman Belanda, Vincent van Goh (1853-1890),dianggap sebagai pelopor aliran
ekspresionisme bahkan dia dianggap sebagai bapak seni lukis modern. Tema lukisannya yang
awal banyak melukiskan kesibukan pekerja-pekerja tambang kasar dengan segala suka
dukanya. Ia lebih menitik beratkan watak, menangkap kesan secara langsung, kemudian
diungkapkannya dengan warna berat.

3.      Aliran Impressionisme
Dalam bahasa Indonesia, arti impression adalah kesan, jadi karya impressionisme adalah
karya seni lukis yang ingin mengungkap kesan. Sekelompok pelukis di Prancis pada akhir
abad ke-18, mulai tidak senang dengan cara melukis akademi yang selalu menggambar di
studio. Jika ingin melukis sapi di padang rumput, mereka mengambil sapi sebagai model dan
dibawa ke studio. Kelompok pembaharu mempunyai anggapan bahwa alam sebagai guru
yang terbaik, membuat mereka menghambur ke jalan-jalannya, ke ladang, ke pinggir sungai
untuk menggambar secara langsung. Lantaran di luar matahari mulai menyengat, mereka
menjadi blingsatan karena kepanasan, sehingga mereka melukis dengan cepat baik karena
panas maupun karena perjalanan matahari dari timur ke barat mempengaruhi banyangan dan
pewarnaan. Secara otomatis, mereka memperhatikan keberadaan dan gerakan cahaya. Lambat
laun mereka monomersatukan cahaya, dan menomerduakan unsur-unsur yang lain ( Nooryan
Bahari, 2008:120-121).
Lukisan Claude Monet (1840-1926) yang berjudul Impresi : Fajar Menyingsing yang
dipamerkan pada tahun 1874. Lukisan Monet yang berupa kesan benda berwarna ditolak oelh
kritikus seni pada waktu itu dan diejek sebagai lukisan kesan yang belum selesai (bahasa
Perancis : Impresion). Melukiskan kesan alam yang diterima dengan spontan, cepat dan pasti,
bagian-bagian yang kecil tidak diindahkan, yang dipentingkan keseluruhannya hingga
suasana bentuk, gerak dan sinar itu dilukiskan  tidak terpisah.

4.      Aliran Romantisme
Romantisme adalah gaya atau aliran seni yang menitikberatkan pada curahan perasaan, reaksi
emosional terhadap fenomena alam, dan penolakan terhadap realisme. Dalam seni lukis
gerakan ini menghasilkan kebebasan baru dalam menata komposisi, melahirkan citra goresan
kuas terbuka, pembaharuan dan tingkatan warna yang lembut.
Tokoh romantik yang terkenal dari Perancis adalah Theodore Gericault (1791-1924) dan
Eugene Delacroix (1798-1863). Mereka senatiasa melukiskan kejadian-kejadian yang
dahsyat, kegemilangan sejarah serta peristiwa yang sangat menggugah perasaan.

5.      Aliran Realisme
Aliran ini tumbuh di Perancis pada tahun 1850an. Realisme melukiskan kenyataan hidup
pada jaman itu dan biasanya memperhatikan kaum malang di dalam masyarakat dan tidak
pernah menyembunyikan kesusahan. Pelopor realisme adalah Gustave Courbet, seorang yang
sederhana penduduk Ornans di Perancis timur. Courbet(1819-1877) menentang aliran
klassisisme yang dianggapnya penuh dengan kepalsuan dan mengecam kelompok
romantisme karena mencampurbaurkan doktrin politik dengan doktrin seni sehingga
mengabaikan segi seni demi tercapainya tujuan politik bagi seniman.

6.      Aliran Kubisme
Seni rupa yang kubistis, mempunyai wujud tang bersegi-segi dan berkesan monumental,
terutama untuk seniu patung. Bapak aliran kubisme adalah Pablo Picasso dan G. Braque.
Pada perkembangannya ada dua tingkatan kubisme. Yang pertama, kubisme analitis. Pada
tahap ini pelukisnya memecahkan setiap objek yang kita kenal seperti wajah orang, biola,
meja, dan lain-lain sampai menjadi kubus-kubus yang kemudian menyerupai susunan balok-
balok dalam bentuk semacam patung yang berkesan tiga dimensi.Yang kedua, kubisme
sintetik. Setelah merobek-robek objek menjadi bentuk yang paling dasar, kemudian
menjelmakan kembali pada suatu struktur yng mungkin mirip atau tidak terhadap objek yang
semula. Sesudah itu objek dilukis secara realistis dalam susunan komposisi tertentu. Kesan
lukisan ini akhirnya menjadi dua dimensional.

7.      Aliran Dadaisme
Aliran ini lahir di Jerman pada tahun 1916, dengan maksud sebagai reaksi atas kekejaman
perang dunia pertama yang berakibat keputusasaan pada seniman-seniman Jerman,
khususnya dan kemudian menjalar ke Perancis, bahkan sampai ke Amerika. Aliran ini
mengetengahkan lukisan yang bersifat kekanak-kanakan. Kadang-kadang lucu dan
menggelikan, bombastis, naif, tetapi mengandung keindahan kanak-kanak yang murni.
Pelopor aliran ini adalah Picasso.

8.      Aliran Surealisme
Surealisme pada awalnya adalah gerakan dalam sastra yang ditemukan oleh Apollinaire
untuk menyebut dramanya.  Pada tahun 1924 istilah ini diambil alih oleh Andre Beton untuk
manifesto kaum surealis. Dalam kreatifitas seninya, kaum surealis berusaha mambebaskan
diri dari kontrol kesadaran, menghendaki kebebasan besar, sebebas orang bermimpi.
Aliran ini muncul pada tahun 1924. aliran ini mengawinkan dunia yang tidak nyata dengan
dunia nyata. Teori dan tekhnik dari psychoanalitis Freud telah menjadi dasar tekhnik dasar
pengungkapan aliran ini, yaitu :
me Fotografis : disini bentuk objeknya masih kita kenal walaupun tidak  dalam bentuk yang wajar .
me morphic  :  aliran ini tidak bersumber pada ingatan sebagai “tempat objek”. Lukisannya hampir abstrak
(Budhy Raharjo J 1986;166-192).
       
D. Nilai Seni
Karya  seni sebagai hasil cipta manusia memiliki nilai untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Jika seni tidak bernilai maka seni tidak akan diciptakan orang dan tidak mungkin
berkembang hingga dewasa ini. Seni tidak hanya menyajikan bentuk-bentuk yang dapat
diserap indera manusia semata, tetapi juga mengandung tujuan abstrak yang bersifat
rohaniah, yaitu suatu makna yang dapat memberi arti bagi manusia.
Karya Seni yang mengandung makna inilah yang disebut seni bernilai. Nilai-nilai
tersebut :
1.      Nilai Kehidupan
Nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan manusia yang bersifat mendasar sesuai harkat dan
cita-cita manusia ditampilkan dalam media seni. Misalnya ide kebahagiaan, ide kebaikan, ide
keadilan, ide kebenaran dan lain-lain.

2.      Nilai Pengetahuan
Karya seni dapat memberikan suatu pemahaman terhadap alam sekitarnya dan berbagai aspek
kehidupan yang melingkupinya. Misalnya karakteristik tata budaya atau adat kebiasaan suatu
masyarakat. Hal ini bersifat informative yang akan menimbulkan pengetahuan terhadap tata
kehidupan yang ada.
3.      Nilai Keindahan
Dalam hal ini pengertiannya menyangkut perasaan manusia. Dalam realitasnya memang tidak
semua seni itu indah, seni tidak hanya mencoba untuk menyatakan keindahan. Keindahan
hanya merupakan salah satu diantara hal-hal yang dicoba untuk dinyatakan oleh seni.

4.      Nilai Inderawi dan Nilai Bentuk 


Nilai Inderawi menyebabkan seseorang pengamat menikmati atau memperoleh kepuasan dari
ciri-ciri inderawi yang disajikan oleh suatu karya seni. Nilai bentuk menyebabkan seseorang
mengagumi bentuk besar (struktur) dan bentuk kecil (tekstur).

5.      Nilai Kepribadian
Perlunya watak atau karakteristik tertentu yang dapat membedakan yang satu dengan yang
lain. Artinya sebuah karya seni seharusnya memiliki gaya (style) tersendiri yang didukung
oleh unsur-unsur atau ciri-ciri tertentu yang tersusun secara keseluruhan dan bersifat tetap,
misalnya dalam hal seni bangunan (arsitektur). Gaya arsitektur rumah adat Minangkabau
akan berbeda dengan gaya arsitektur rumah adat Toraja.

6.      Nilai keindahan Inderawi dan nilai bentuk


Nilai keindahan inderawi menyebabkan seorang pengamat menikmati atau memperoleh
kepuasan dari ciri-ciri inderawi yang disajikan oleh suatu karya seni. Nilai keindahan bentuk
menyebabkan seseorang mengagumi bentuk besar (struktur) dan bentuk kecil (texture).

E.  Sifat Dasar Seni


Seni merupakan hasil kreasi akal budi dan rasa manusia yang hidup sepanjang masa dan
dikagumi oleh manusia yang tidak terbatas pada ruang dan waktu. Sifat dasar seni itu adalah 
1.      Seni bersifat kreatif
Seni yang sesungguhnya senantiasa kreatif, selalu menghasilkan sesuatu yang baru. Seni
sebagai suatu rangkaian kegiatan manusia selalu menciptakan suatu realitas  yang baru,
sesuatu apapun yang tadinya belum ada atau belum pernah muncul dalam gagasan seseorang.
2.      Seni bercorak individualis
Seni senantiasa dilakukan oleh seseorang individu tertentu dan hasilnya juga merupakan
suatu individualitas tertentu yang khas.

3.      Seni adalah ekspresif  


Seni menyangkut perasaan manusia dan karena itu penilaiannya juga harus memakai ukuran
perasaan estetis.

4.      Seni adalah abadi


Sekali suatu karya seni telah selesai diciptakan sebagai suatu relitas baru, karya itu akan tetap
langgeng sepanjang zaman walaupun seniman penciptanya sudah tidak ada lagi.

5.      Seni bersifat semesta


Seni berkembang di seluruh dunia dan tumbuh sepanjang masa, karena manusia memiliki
perasaan dan seni adalah bahasanya yang melakukan komunikasi  antar mausia dengan
bahasa perasaan(The Liang Gie;1996,46).

F. Kritik Seni
    Kritik seni termasuk dalam filsafat seni. Sifatnya memang dapat mendua, yakni
sebagai bidang pengetahuan dan sebagai proses kegiatan. Tapi dalam arti umum
sesungguhnya kritik adalah suatu penafsiran yang beralasan dan penghargaan terhadap
sesuatu hal berdasarkan pengetahuan, ukuran baku dan cita rasa yang bertalian dengan hal itu
dari orang yang melakukannya. Jadi kritik lebih merupakan suatu perbuatan yang bersifat
pribadi, berdasarkan keyakinan subyektif dan cita rasa perseorangan.
     Kritik seni adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada satu karya seni tertentu (atau
paling banyak kepada sekumpulan karya seni yang tergolong dalam style yang sama,
misalnya sejumlah patung yang dibuat oleh seorang seniman saat itu). Jadi hasil kritik itu
tidak bisa berlaku umum untuk karya-karya seni lainnya dari orang yang sama, apalagi dari
seniman lainnya. Kini para ahli estetik umumnya sepaham bahwa peranan kritik seni
bukanlah untuk memberi nilai A, B, C dan D atau angka 1 sampai 10 terhadap sesuatu karya
seni seperti halnya memeriksa kertas ujian, melainkan memperbesar pemahaman,
meningkatkan apresiasi atau membuka mata dari publik terhadap sesuatu yang bermutu yang
mungkin terluput dari pengamatan mereka. Dalam hubungan ini maka kritik seni dapatlah
dipandang sebagai penerapan dari estetik terhadap karya seni satu per satu. Untuk menjadi
ahli kritik seni yang baik sehingga dapat memberikan tafsiran yang tepat dan penilaian yang
beralasan kuat, seseorang harus memilliki pengetahuan filsafat seni dan mungkin juga
cabang-cabang estetik lainnya (The Liang Gie:1976,32).

BAB VI
SENIMAN

A. Pengertian
Jika dilihat dari profesinya, seniman mempunyai kelebihan atau perbedaan khusus dalam
cara memandang terhadap hal-hal disekelilingnya.
Louis O.Kattsoff dalam bukunya Element of Philosophy menganggap, bahwa dorongan-
dorongan artistic seniman dalam mengungkapkan perasaan-perasaan merupakan masalah
psikologis yang bersifat suigeneris.  (L.O>Kattsoff, 1970).
Dilihat dari uraian di atas, ternyata seniman dalam mengungkapkan persepsinya lebih
mengutamakan perasaan terhadap diri dan lingkunganya. Pandangan seperti ini sesuai dengan
unsur kodrati manusia, bahwa keindahan hanya dapat dirasakan. Seniman adalah insan yang
menturutkan kata hatinya, orang yang menganak-emaskan emosinya dan mengabaikan
rasionya.  (Sudarso, 1977).
Pendapat yang mengabaikan rasio dalam karya seni tidak selalu benar. Banyak karya seni
yang dibuat dengan pertimbangan rasio. Misalkan dalam seni lukis, sebuah pemandangan
alam yang naturalistik harus memperhitungkan perspektif dan bentuk buah dan pohon dibagi
dengan petimbangan logis. Walaupun demikian diakui penekanan perasaan sangat dominan
dalam proses penciptaan karya seni.
Pada masa lalu, tidak ada perbedaan yang tegas antara seniman dengan pengrajin atau
tukang.      Tetapi dengan adanya perkembangan seni, para ahli mulai memperhatikan bahwa
terdapat perbedaan antara seniman dengan tukang atau pengrajin. Seniman dalam berkarya
selalu berubah dan berkembang, yang lebih khusus lagi mereka mempertahankan bahwa
karya seninya itu adalah ekspresi pribadi. Sedangkan tukang atau pengrajin dalam berkarya
selalu tetap, kontinyu dan lambat perkembangnnya dan yang lebih khusus lagi kesemuanya
itu ditujukan hanya untuk kegunaan semata.
Perbedaan lainnya ialah tukang atau pegrajin adalah seorang dengan kemahiran mata dan
tangan, sedangkan seniman memiliki kelebihan pengkhayalan yang kreatif.
Suatu ciri khas seniman, dia disamping memiliki kemampuan tersebut, juga memiliki
kepekaan terhadap gejala-gejala yang ada di dalam lingkungannya. Kemampuan seperti ini
menurut J. Kets seorang penyair Romantik (1795-1882) ialah "Negative Capability", yaitu
kemampuan untuk selalu dalam keadaan ragu-ragu, tidak menentu dan misterius tanpa
mengganggu keseimbangan jiwa (Suyadi, 1985).
Kemampuan negative capability identik dengan proses mencari. Proses inilah yang
menyebabkan seorang seniman seluruh hidupnya penuh rasa ingin tahu, mendalaminya dan
mendambakan keindahan yang ideal.

B. Teori Penciptaan Karya Seni


        Seniman, dalam menciptakan hasil karyanya ada beberapa teori, diantaranya adalah teori
metafisis, ekspresi/pengungkapan dan teori psikologik.
1.      Teori Metafisis
Teori seni yang bercorak metafisis merupakan salah satu teori yang tertua, yakni
berasal dari Plato yang dikembangkan oleh Schopenhauer. Mengenai sumber seni, Plato
mengemukakan suatu teori peniruan (imitation theory). Ini sesuai dengan metafisika Plato
yang mendalilkan adanya dunia ide pada taraf yang tertinggi sebagai realita Illahi. Pada taraf
yang lebih rendah terdapat realita dunia ini yang merupakan cerminan semu dan mirip
dengan realita Illahi itu. Karya seni yang dibuat manusia hanyalah merupakan mimesis
(tiruan) dari realita dunia  (The Liang Gie. 1976).

2.      Teori Ekspresi (pengungkapan)


Tokoh teori ekspresi yang paling terkenal ialah filsuf Italia, Beneditto Croce (1886-
1952) dengan karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris "Aesthetics as
Sciences of Expression and General Linguistyic".
Beliau antara lain menyatakan bahwa "art is expression of impression" (seni adalah
mengungkapkan dari kesan-kesan). Expression adalah sama dengan intuition, yaitu
pengetahuan intuitif yang diperoleh melalui pengkhayalan tentang hal-hal individual yang
menghasilkan gambaran angan-angan (image).
Dengan demikian pengungkapan itu terwujud pelbagai gambaran angan-angan seperti
misalnya : image warna, garis dan kata.
Bagi seseorang mengungkapkan berarti menciptakan seni dalam dirinya tanpa perlu
adanya kegiatan jasmaniah keluar. Pengalaman estetis seseorang tidak lain adalah ekspresi
dalam gambaran angan-angan.  (The Liang Gie. 1976).

3.      Teori Psikologis
Teori-teori metafisis dari para filsuf yang bergerak di atas taraf manusiawi dengan
konsepsi-konsepsi tentang ide tertinggi atau kehendak semesta umumnya tidak memuaskan,
karena terlampau abstrak dan spekulatif. Sebagian ahli estetik dalam abad modern menelaah
teori-teori seni dari sudut hubungan karya seni dan alam pikiran penciptanya dengan
mempergunakan metode-metode psikologis. Misalnya berdasarkan psikoanalisa keinginan-
keinginan bawah sadar dari seorang seniman.
Sedang karya seninya itu merupakan bentuk terselubung atau diperhalus yang
diwujudkan keluar dari keinginan-keinginan itu.

4.      Teori Permainan
Suatu teori lain tentang sumber seni adalah teori permainan (play theory) yang
dikemukakan oleh F.Schiller. Asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main
(play impulse) yang ada dalam diri seseorang. Seni merupakan semacam permainan
menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan
energi yang harus dikeluarkan.
Seseorang yang semakin meningkat taraf kehidupannya tidak memakai habis
energinya untuk keperluan sehari-hari, kelebihan tenaga itu lalu menciptakan kebutuhan dan
kesempatan untuk melakukan rangkaian permainan imaginative dan kegiatan yang akhirnya
menghasilkan karya seni  (The Liang Gie, 1976).

BAB VII
PERWUJUDAN KEINDAHAN

Ada banyak keindahan di dunia ini. Manusia suka dengan keindahan, dari keindahan
tersebut maka manusia mengapresiasikannya  menjadi berbagai bentuk “nilai”. Dalam
perkembangannya nilai-nilai yang terkandung dalam keindahan tersebut membuat suatu
kehidupan menjadi lebih bermakna dan berati. Dari berbagai bentuk keindahan yang ada,
maka keindahan tersebut dapat dibedakan menjadi beberapa perwujudan, yaitu:
1.  Keindahan alam
2.  Keindahan seni
3.  Keindahan moral
4.  Keindahan intelektual
5.  Keindahan absolut (mutlak)

A. Keindahan Alam
Keindahan alam menampakkan diri pada :
1. Keselarasan (harmony)
2. Ketakselarasan yang luar biasa (extreme disharmony)
3. Kewarna-warnian (coloruful)
4. Ketenangan (calm, idyllic)
5. Keluasan tak terpahami

      Keindahan alam dapat bertalian dengan bentuk, ukuran, perimbangan dan warna.
      Perilaku alam mengikuti hukum-hukum tertentu, misalkan hukum tentang permukaan
pembungkus    yang minimum (lawn of the minimum enclosing area), hal ini nampak pada :
1. bola  :  kelapa, semangka
2. lingkaran :  sarang tawon
3. pilin  :  nebula, pakis, keong
Menur Eric Newton  :  hal-hal yang indah dalam alam merupakan suatu hasil dari perilaku
alam dan perilaku itu mematuhi hukum-hukum tertentu. Hasil perilaku itu menampakkan diri
dalam suatu pola  dan pola-pola yang rumit itu akan terjadi/tercipta bilamana terjadi interaksi
dari berbagai fungsi.
Pola yang rumit itu dapat  pula mewujudkan keindahan alamiah.

Perbedaan antara keindahan alam dan karya seni  : 


Keindahan alam
1.  Hanya salah satu atribut dari alam, karena alam diciptakan untuk berbagai kemanfaatan.
2.  Sukar dinikmati secara estetis saja, karena memungkinkan pertimbangan-pertimbangan
lain.  
3.  Dalam menyerapan keindahan alamiah, pengamat memindahkan perasaannya kepada benda
alam yang bersangkutan.
4.  Keindahan alamiah merupakan hasil tambahan dari fungsi pada sesuatu benda alam.

Keindahan seni
1.  Merupakan asensi dari karya seni
2.  Khusus diciptakan untuk dinikmati nilai estetisnya tanpa banyak pertimbangan lain.
3.  Dalam mencipta karyanya, seniman memindahkan perasaan estetis pada benda
ciptaannya    untuk kemudian diteruskan kepada si pengamat.
4.  Keindahan seni merupakan hasil dari cinta seniman dan pemahamannya terhadap pola alam.

B.  Keindahan dalam Seni


Pada jamanYunani bentuk keindahan dalam karya seni terdapat pada unsur :  symmetria
( untuk seni penglihatan  dan harmonia untuk seni pendengaran).

Secara umum keindahan seni terdapat dalam : unity, harmony, balance,


contras  dan  disharmony.  

C. Keindahan Moral
Keindahan moral terdapat pada Ide kebaikan :menurut  Plato terdapat pada watak yang
indah dan hukum yang indah.
Keindahan moral juga mempunyai arti sesuatu yang baik.dilihat dari segi tingkah laku.

D. Keindahan Intelektual
Plotinus  berpendapat bahwa keindahan moral terdapat pada:  ilmu yang indah dan
kebajikan yang indah. Keindahan intelektual juga berarti ;buah pikiran yang indah dan adat
kebiasaan yang indah.

E. Keindahan Absolut (mutlak)


1 .Ada pada Tuhan
2. Tuhan itu indah dan menyengi hal-hal yang indah
3. Tugas seniman adalah untuk lebih mendekatkan diri sendiri dan
pengamat pada Tuhan
BAB VIII
UNSUR-UNSUR ESTETIKA INDONESIA

Konsep (pemikiran) tentang keindahan di Indonesia sudah ada pada jaman dahulu,
pada waktu kehidupan manusia masih primitif. Secara sadar atau tidak, mereka sudah
memberi hiasan pada perabot rumah tangga, alat pertanian, alat berburu, dan menghias
dirinya bila ada kegiaatan yang dianggap penting(berburu, upacara adat, pemilihan kepala
suku). Walaupun masih sangat sederhana, hiasan itu tidak sekedar umsur pelengkap/penghias
belaka, tetapi mengandung unsur magis yamg dianggap sakral. 
Hal ini nampak dalam perilaku mereka yang menghiasi wajah ataupun tubuhnya
dengan goresan-goresan berwarna hitam dan putih (tolak bala) bila mereka akan melakukan
pekerjaan yang dipandang mempunyai makna, maksud dan tujuan yang dianggap mulia.
Mereka juga menghias senjatanya bila akan berburu dengan maksud dan tujuan memberikan
kekuatan magis pada senjatanya itu agar hasil buruannya dapat bermanfaat bagi keluarganya.
Dalam upacara keagamaan mereka membuat sesaji, berdoa, berpakaian dan menghias diri,
bernyanyi, menari dan memukul gendang.Hal ini menunjukkan bahwa estetika lahir karena
pemenuhan kebutuhan kerohanian. Estetika tradisonal ini dalam perkembangannya tidak
sama antar suku dan daerah, ada yang punah, ada yang mengalami pembauran dan ada yang
mengalami perubahan.

Unsur-unsur estetika Indonesia


Unsur-unsur estetika Indonesia terkandung dalam seni budaya, adat-istiadat, dan
kegiatan ritual  diantaranya secara konkrit terdapat pada : ragam hias, batik, candi, musik,
wayang, seni tari dan upacara adat.

A. Ragam Hias
Ragam hias tradisional merupakan peninggalan nenek moyang dan merupakan hasil dari
seni budaya bangsa yang mempunyai nilai tinggi. Dalam motif-motif yang digoreskannya,
mengandung makna (arti) yang dalam.  Motif-motif itu biasanya berkaitan dengan pandangan
hidup dari sesuatu daerah/suku bangsa dimana ragam hias itu diciptakan. Oleh karena itu
perlu dicari apa arti (makna) yang tersembunyi di dalamnya dan untuk apa motif-motif itu
dibuat. Dalam ragam hias tradisonal, terkandung unsur-unsur filsafati yang tercermin dalam
bentuknya yang indah dan mengandung makna simbolis, religius, etis dan  filosofis.
Dalam ragam hias itu biasanya menggunakan motif ; fauna, flora, alam semesta, dan
manusia atau gabungan dari unsur-unsur itu.
Di dalam unsur-unsur itu terkandung makna/ajaran bagaimana manusia itu seharusnya
berbuat dan bertingkah laku yang baik agar selamat di dunia dan di akhirat.
Ragam hias juga digunakan untuk sengkalan-sengkalan (sengkalan memed), yang ada
pada bangunan-bangunan kraton maupun gapura-gapura, yang berisi kapan bangungan itu
didirikan dan siapa raja yang berkuasa saat itu. 
Dalam perkembangannya ragam hias tradisional perlu dilestarikan, jangan sampai
kehilangan maknanya sehingga yang tinggal hanya fungsi dekoratifnya saja.

Untuk melestarikan ragam hias tradisional tersebut ,ada tantangan yang perlu untuk
diantisipasi diantaranya: 
1.      Sikap praktis dan efisien: dengan digunakannya mesin bubut  dan alat bantu yang lain (cap)
akan menghemat tenaga dan beaya,sehingga yang dikerjakan secara tradisional memakan
beaya ekonomi tinggi
2.      Sikap kreatif:  ragam hias tradisional mempunyai pola yang baku, sehingga kreatifitas
dikawatirkan akan menjadi penghambat karena akan menghilangkan nilai simboliknya.
3.      Ekonomis: cenderung beaya ekonomi tinggi,sehingga menjadi kendala.

Oleh karena itu,ragam hias tradisional perlu dilestarikan,     disamping itu, kreasi baru
dari para seniman juga wajib untuk ditingkatkan, karena keduanya merupakan dua hal yang
saling melengkapi dan akan berguna untuk melestarikan  seni budaya bangsa.

B. Batik
      Batik sebagai karya seni termasuk seni indah dan seni berguna yang didalamnya sarat
kandungan makna filosofi. Hal ini terdapat pada  Seni batik klasik dan tradisional. Dikatakan
dengan istilah “klasik” karena batik merupakan suatu karya yang bernilai seni tinggi,
berkadar keindahan dan langgeng, artinya tidak akan luntur sepanjang masa. Sedangkan
pengertian “tradisional” bahwa batik dikerjakan dengan cara-cara dan kebiasaan yang
berlangsung secara turun temurun.
Sejarah dan Perkembangan Batik
   Pada awalnya, batik tulis hanya dikerjakan oleh putri-putri keraton sebagai pengisi
waktu luang, kemudian menyebar juga kepada “abdi dalem” atau orang-orang yang dekat
dengan keluarga keraton (Amri Yahya,1971;24).
Batik sebagai salah satu karya seni budaya bangsa Indonesia telah mengalami
perkembangan seiring dengan perjalanan waktu. Perkembangan yang terjadi membuktikan
bahwa batik sangat dinamis dapat menyesuaikan dirinya baik dalam dimensi ruang, waktu,
dan bentuk. Dimensi ruang adalah dimensi yang berkaitan dengan wilayah persebaran batik
di Nusantara yang akhirnya menghasulkan sebuah gaya kedaerahan misalnya batik Jambi,
batik Bengkulu, batik Yogyakarta, batik Pekalongan. Dimensi waktu adalah dimensi yang
berkaitan dengan perkembangan dari masa lalu sampai sekarang. Sedangkan dimensi bentuk
terinspirasi dan diilhami oleh motif-motif tradisional, terciptalah motif-motif yang indah
tanpa kehilangan makna filosofinya, misalnya Sekar Jagat, Udan Liris dan Tambal.

Pada waktu batik tradisional diciptakan tidak lepas dari pengaruh adat istiadat,
kebudayaan daerah maupun pendatang, kepercayaan serta budaya dalam agama. Pengaruh
budaya Hindu terlihat pada motif meru, sawat, gurda, dan semen yang merupakan simbol-
simbol dalam kepercayaan Hindu. Pengaruh budaya Islam terlihat adanya perubahan, dimana
tidak ada bentuk binatang dan lambang dewa-dewa. Meskipun unsur simbolisme jaman
Hindu tetap ada, tetapi sudah distilir, sehingga menjadi unsur dekoratif. Pengaruh Tionghoa,
batik dengan motif Lok Chan dan Encim. Pengaruh dari India dengan motif Cinde, Belanda
dengan motif Buketan dan Jepang dengan motif Hokokai. Sedangkan Pengaruh adat terlihat
pada batik tulis Irian Jaya dengan ragam hias suku Asmat. Pengaruh adat juga terlihat pada
batik tulis Kalimantan Timur dengan ragam hias lambang perdamaian suku Dayak Bahau dan
ragam hias Tongkonan Toraja, Sulawesi Selatan.
Berbicara masalah batik klasik dan tradisional tidak lepas dari makna simbolik.
Menurut Ernst Cassirer, manusia adalah animal symbolicum, (Cassirer, 1987 : 40) makhluk
yang dapat mengerti dan menggunakan simbol-simbol (tanda-tanda). Manusia juga dapat
menciptakan dan memahami makna dari simbol-simbol itu, sehingga dapat dipakai sebagai
norma, penuntun (petunjuk) ke arah tingkah laku dan perbuatan yang baik.
Batik sebagai karya seni, mengandung makna filosofi yang menarik untuk diteliti baik
dari segi proses,motif,warna,ornament,fungsi dan nilai dari sehelai batik yang sarat akan
kandungan makna simbolik.

a.      Proses
Berbicara masalah proses pembuatan sehelai kain batik klasik/tradisional melalui
suatu rangkaian yang panjang mulai dari “membatik” sampai dengan “mbabar”. Berbeda
dengan batik cap dan printing.
       b.   Motif
Pada pokoknya, motif batik terdiri atas empat macam, yaitu :
1.                  Ceplok, misalnya Kawung, Ceplok Manggis dan Ceplok Mendut.
2.                  Garis miring, misalnya motif Parang, Udan Liris, dan Rujak
            Senthe
3.                  Geometris, misalnya Truntum, Grompol, dan Tirtatejo.
4.                  Semen, misalnya Semen Rama, Semen Condro, Sido Mukti, dan
            Sido Luhur.

Makna Simbolis dalam motif batik tradisional itu, diantaranya :


1).  Kawung
Menurut sejarah, motif Kawung diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma di
Mataram. Beliau menciptakan dengan mengambil bahan-bahan dari alam atau hal-hal yang
sederhana dan kemudian diangkat menjadi motif yang baik (Koeswadji, 1981 : 112).
Motif  Kawung diilhami oleh pohon aren atau palem yang buahnya berbentuk bulat
lonjong berwarna putih jernih atau disebut kolang kaling.
Bila ditinjau menurut gambaran buah aren atau kolang kaling, maka motif Kawung
mempunyai makna simbolis sebagai berikut : pohon aren sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia dari batang, daun, ijuk, nira, buah, secara keseluruhan dapat dimanfaatkan bagi
kehidupan manusia. Hal ini mengingatkan agar manusia dalam hidupnya dapat berdaya guna
bagi bangsa dan negaranya seperti pohon aren.
Motif  Kawung mempunyai makna simbolis yang dalam, agar pemakai motif tersebut
menjadi manusia unggul dan kehidupannya bermanfaat dan bermakna.
2). Parang Rusak
Motif batik tradisional Parang Rusak diciptakan oleh Sultan Agung di Mataram.
Sesuai dengan arti kata, Parang Rusak mempunyai arti perang atau menyingkirkan segala
yang rusak, atau melawan segala macam godaan (Koeswadji, 1985 : 25).
Motif  batik tradisional Parang Rusak mempunyai makna agar manusia di dalam
hidupnya dapat mengendalikan nafsunya, sehingga mempunyai watak dan perilaku yang
luhur.
3). Truntum
Motif Truntum merupakan simbolisasi istri yang bijaksana. Motif ini juga dipakai
oleh kedua orang tua dari kedua mempelai pada waktu upacara adat pernikahan anaknya. Hal
ini bermakna sebagai orang tua berkewajiban untuk menuntun kedua mempelai memasuki
hidup baru berumah trangga yang banyak liku-likunya. Dalam pengertian yang lain, motif
batik tradisional dengan ragam hias Truntum merupakan lambang cinta yang bersemi
kembali. (Nian S. Djumena, 1986 : 57).
4).  Semen
Motif batik Semen mempunyai corak yang beraneka ragam. Semen dari kata semi-
semian, yang berarti berbagai macam tumbuhan dan suluran. Pada motif ini sangat luas
kemungkinannya dipadukan dengan ornamen lainnya, antara lain: naga, burung, candi,
gunung, lidah api dan sawat atau sayap. Apabila ditinjau dan dirangkai secara keseluruhan
dalam bentuk motif Semen mempunyai makna bahwa hidup manusia
dikuasai (diwengku)  oleh penguasa tertinggi.
Kehidupan berasal empat unsur yaitu: bumi, air, api, dan angin yang memberikan
watak dasar pada hidup itu sendiri. Bila jalan hidupnya sesat, pada hidup yang akan datang
berada di dunia bawah atau lembah kesengsaraan. Sebaliknya jika jalan hidupnya penuh
dengan kebaikan akan masuk ke dunia atas (kemuliaan). Kesimpulan ornamen penyusun
motif Semen adalah bahwa hidup tidak mudah, sengsara atau mulia tergantung dari perbuatan
dan pengendalian hidup manusia itu sendiri. Batik dengan ragam hias tumbuhan seperti motif
Semen Remeng, cirinya: latar belakang berwarna hitam. Batik Semen dengan latar belakang
putih disebut batik Semen latar putih. Remeng berarti samar-samar dengan kata lain keadaan
diantara terang dan gelap. Maksud dari Semen Remeng adalah pemakai diharapkan mampu
melihat atau membedakan yang terang dan yang gelap atau yang baik dan yang buruk
(Depdikbud, 1995: 167).
Diantara motif-motif batik tradisional yang ada dan dipakai oleh golongan masyarakat
luas adalah motif  batik Semen Rama dan Ratu Ratih. Motif ini merupakan simbolisasi istri
yang baik, yang melambangkan kesetiaan seorang istri kepada suami (Nian
S.Djumeno,1986:12). Apapun kedudukan seorang istri, di dalam kehidupan rumah tangga
yang menjadi kepala rumah tangga adalah suami. Istri harus taat dan setia kepada norma yang
ada dalam kehidupan rumah tangga, tidak dibenarkan terlalu menuntut.

5).  Tambal
Motif batik Tambal sebagai simbolisasi wanita karier. Motif ini dipakai oleh Ni Sedah
Mirah sebagai busana kerja (jarik).Dia bekerka sebagai pegawai pamong praja yang
rajin,tertib,cekatan,disiplin,cerdas dan selalu dapat menyelesaikan tuganya dengan baik.
Motif batik ini juga mempunyai makna menambah atau memperbaiki sesuatu yang kurang.
Kekurangan itu harus ditutup (ditambal). Ragam hias ini juga mempunyai nilai mitos, yaitu
dianggap dapat menolak bahaya dan digunakan sebagai selimut orang yang sakit (Nian
S.Djumeno,1986:26). Dengan menggunakan motif ini, memberikan sugesti kepada orang
yang sakit supaya cepat sembuh.
6). Tritik
Motif ini dipakai oleh anak gadis kalangan Ningrat yang sudah tetesan dan terapan
tetapi belum dewasa (Nian S.Djumeno,1986:75). Dengan memakai motif ini maka harus
berhati-hati dalam mengarungi kehidupan remaja dan bisa membawa diri dalam hidup
pergaulan yang penuh dengan liku-likunya, jangan sampai terpelosok ke dalam pergaulan
yang sesat.
7). Cindhe (Patola)
Motif ini dulu hanya boleh dimiliki dan dipakai oleh kalangan Ningrat dan merupakan
lambang kehidupan seseorang. Kain ini dianggap sakral dan merupakan pusaka turun
temurun (Nian S.Djumeno,1990:104). Motif ini sekarang sudah tidak menjadi milik Ningrat
lagi, tetapi sudah menjadi milik masyarakat. Motif ini biasanya  dipakai sebagai busana
pengantin dengan dandanan paes ageng
8).  Udan Liris
Motif ini artinya hujan gerimis atau hujan rintik-rintik. Motif ini tersusun atas :
1.                  Motif api, yang berarti kesaktian dan ambisi
2.                  Setengah kawung, menggambarkan sesuatu yang berguna
3.                  Banji Sawat, melambangkan kebahagiaan dan kesuburan
4.                  Mlinjon, melambangkan salah satu unsur kehidupan
5.                  Tritis, melambangkan adanya ketabahan hati
6.                  Ada-ada, melambangkan adanya prakarsa
7.                  Untu Walang, melambangkan adanya kesinambungan
Dalam hal ini motif  batik Udan Liris diartikan sebagai pengharapan agar si pemakai
dapat selamat sejahtera, tabah, berprakarsa dalam menunaikan kewajiban demi kepentingan
nusa dan bangsa (Mari S. Condronegoro,1995:21).
9).  Mega Mendhung
Motif ini berbentuk awan (mendhung) di langit sebagai pertanda akan datangnya
hujan. Oleh karena itu diberi warna biru tua untuk menggambarkan awan gelap. Air adalah
lambing kehidupan. Dalam mitologi Hindu dikenal air amerta yang dapat memberi
kehidupan dan dapat menyebabkan hidup abadi (langgeng). Dalam penggambaran mendhung
yang biru tua, ada degradasi warna kea rah warna biru yang cerah (biru muda) dengan
harapan simbolik akan memperoleh kehidpan yang cerah. (Timbul Haryono, 2008: 13).
10).  Kapal Kandas
Dilukiskan kapal-kapal yang kandas dengan binatang laut disekitarnya dan burung
yang terbang di udara diatasnya, seolah-olah tidak peduli dengan musibah kapal-kapal
tersebut. Hal ini bermakna bahwa kegagalan dalam perjuangan mengarungi lautan kehidupan
merupakan hal yang biasa dialami oleh manusia, banyak teman senasip, namun manusia
harus tetap tegar bahkan tak boleh terlalu mengharapkan pertolongan orang lain
(Kushardjanti, 2008: 33).

c.       Warna Batik
Warna batik mempunyai arti simbolis, bahkan dianggap mempunyai kekuatan magis
dan sakral. Warna itu adalah :
1.      Warna coklat soga/merah
Warna coklat soga/merah termasuk warna hangat. Warna ini berasosiasi dengan tipe
pribadi yang hangat, terang, alami, bersahabat, kebersamaan, tenang, sentosa, dan rendah
hati. Menurut Magnis Suseno (1984 : 133).
2.      Warna putih
Warna putih makna simboliknya adalah lambang kesucian, jujur, bersih, spiritual,
pemaaf, cinta, dan terang. Putih dalam arti yang positif yaitu kesucian dan jujur merupakan
karakter dari orang maupun kelompok masyarakat yang yakin pada kebenaran yang mutlak
bahwa kebenaran hanya dapat dicapai apabila diawali dengan kejujuran.
3.      Warna hitam (biru tua), Indigo
Warna ini bermakna keabadian, kesemprnaan, misteri, kegelapan, kukuh, formal,
keahlian. Secara positif, hitam berarti mencerminkan kekukuhan dan keahlian. Sifat ini
berarti manusia harus mempunyai ketegasan dalam mengambil keputusan, kukuh dalam
pendirian, dan sanggup melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. Warna
hitam dalam konotasi negatif berarti misteri dan kegelapan.
4.      Warna kuning emas
adalah simbol ketentraman, dari segala sesuatu yang mengandung makna Ke-Tuhanan
(keagamaan) atau kebesaran.
5.      Warna kuning adalah simbol ketentraman.
6.      Warna merah melambangkan keberanian dan kegembiraan.
7.      Warna biru melambangkan kesetiaan.
8.      Warna hijau merupakan lambang ketentraman dan ramah tamah, kesuburan, harapan.
9.      Warna ungu melambangkan keagungan.
10.  Warna orange melambangkan kegembiraan dan menarik.
11.  Warna coklat adalah lambang tunas (Budhy Raharja, 1986 : 40).

d.      Simbolisme dalam Ornamen


Menurut Sewan Susanto, ornamen utama dari motif batik tradisional Yogyakarta yang
mempunyai makna simbolis ialah :
“Meru melambangkan gunung atau tanah yang disebut juga bumi. Api atau lidah api
melambangkan nyala api yang disebut juga agni  atau geni. Ular atau naga melambangkan air
atau banyu disebut juga tirta (udhaka). Burung melambangkan angin atau maruta. Garuda
atau lar garuda melambangkan mahkota atau penguasa tertinggi, yaitu penguasa jagad dan
isinya (Sewan Susanto, 1980 : 212).”
  Unsur-unsur motif tersebut diatas menurut kepercayaan Jawa Kuno menggambarkan
kehidupan manusia yang berasal dari empat unsur hidup, yaitu tanah, api, air, dan udara yang
dikuasai oleh Penguasa Tertinggi, yang tidak lain adalah Tuhan. Disamping ornamen utama
yang menggambarkan unsur-unsur kehidupan sangkan paraning dumadi, juga mengandung
ajaran-ajaran keutamaan. Melalui unsur-unsur dasar kehidupan tersebut, manusia dapat
mengembangkan dan mengendalikan dirinya dengan segala kemungkinan tentang baik buruk.
Bahagia dan sengsara manusia itu tergantung bagaimana ia dapat berbuat serta
mengendalikan dirinya sendiri (Sewan Susanto, 1980 : 28).

1.      Ornamen Garuda
Burung garuda adalah sejenis burung rajawali raksasa yang gagah perkasa, di dalam
mitos merupakan makhluk khayal yang ajaib. Di dalam ornamen motif kadang-kadang
digambarkan bentuk badannya seperti manusia, kepalanya seperti burung raksasa, dan
mempunyai sayap.
Garuda adalah suatu makhluk khayalan atau mitos yang melambangkan sifat perkasa dan
sakti.Kadang-kadang digambarkan dengan bentuk dan badannya seperti manusia,kepalanya
seperti burung raksasa dan bersayap. Garuda juga gambaran kendaraan Dewa Wisnu.Di
dalam motif batik, ornamen garuda digambarkan sebagai bentuk stilir dari burung garuda,
suatu bentuk burung yang perkasa seperti rajawali,tapi kadang-kadang juga distilirkan dengan
burung merak. Bentuk ornamen burung garuda digambarkan beberapa macam,antara lain :
a.      Bentuk dengan dua sayap lengkap dengan ekor, seperti gambaran burung merak-ngigel yang
dilihat dari depan. Bentuk semacam ini disebut pula  “sawat”.
b.      Bentuk garuda disusun dengan dua sayap. Bentuk semacam ini disebut pula “mirong”.
c.       Garuda digambarkan dengan satu sayap. Bentuk ini seolah-olah menggambarkan makhluk
bersayap dari samping. Sebagai variasinya, pada pangkal sayap digambarkan kepala burung
atau kepala burung raksasa atau bentuk yang lain. Bentuk sayap garuda dapat dibedakan atas
dua macam, yaitu sayap terbuka dan sayap tertutup. Ornamen garuda dalam motif batik
sangat terkenal, bahkan hampir menjadi ciri umum dan  khas batik Indonesia berornamen
garuda (Sewan Susanto, 1973 : 265).
Dalam perkembangannya, ornamen garuda mengalami banyak perubahan dan sangat
bervariasi. Seringkali dijumpai ornamennya bukan lagi sebagai bentuk garuda, tetapi lebih
menyerupai bentuk-bentuk burung, binatang, atau tumbuhan yang lebih abstrak.

2.      Ornamen Meru
Meru merupakan gambaran gunung yang tampak dari sebelah samping, biasanya
digambarkan tiga buah gunung yang dirangkai menjadi satu dan yang di tengah sebagai
puncaknya. Ornamen meru juga digambarkan dalam bentuk yang bermacam-macam
tergantung selera dan daerah pembatiknya. Kadang-kadang ornamen meru digabungkan
dengan bentuk ornamen tumbuh-tumbuhan yang menjalar di bagian atas maupun di
bawahnya, sehingga hampir-hampir tidak tampak lagi ornamen aslinya. Dapat juga berbentuk
rangkaian tiga buah gunung dengan hiasan daun-daunan di puncaknya, atau hanya sebuah
gunung dengan variasi di bagian sampingnya.
Dalam kebudayaan Jawa-Hindu, meru untuk melambangkan puncak gunung yang tinggi,
tempat bersemayamnya para dewa. Pada motif batik, meru untuk menyimbolkan unsur tanah
atau bumi dan menggambarkan proses hidup tumbuh di atas tanah, proses hidup tumbuh ini
disebut “semi” (Jawa), dan hal yang menggambarkan semi disebut semen. Maka motif batik
yang tersusun atas ornamen meru, timbuhan dan lain-lain disebut semen. Motif batik secara
turun temurun atau tradisi memiliki arti, apabila para pembuat pola kurang memahami setiap
ornamen, maka bentuk meru juga mengalami perubahan-perubahan. Antara lain
bentuk meru yang digabung dengan bentuk tumbuhan (Sewan Susanto, 1973 : 261).

3.      Ornamen Lidah Api


Ornamen Lidah Api dalam motif batik biasanya digambarkan sebagai deretan nyala api.
Ornamen ini kadang-kadang untuk hiasan pinggir atau batas antara bidang yang bermotif
dengan bidang yang tidak bermotif. Ornamen Lidah Api juga disebut
ornamen cemukiran atau modang. Bentuk lain bisa juga berupa deretan ujung lidah api dan
diantaranya membentuk seperti blumbangan memanjang. Bentuk ornamen lidah api ditinjau
dari makna simboliknya berarti kesaktian atau ambisi.

4.      Ornamen Ular atau Naga


Naga atau ular besar di dalam mitos, mempunyai kekuatan yang luar biasa dan sakti.
Ornamen ini biasanya digambarkan dengan bentuk kepala raksasa yang aneh memakai
mahkota, badannya berupa ular yang berkaki dan kadang-kadang bersayap. Bentuk lain
berupa gambaran dua buah ornamen naga yang disusun berhadapan atau bertolak arah secara
simetris. Ornamen naga juga merupakan bentuk-bentuk khayalan dan banyak dijumpai pada
motif batik Semen.

5.      Ornamen Burung
            Ornamen burung ini selain berfungsi sebagai ornamen utama, juga dipakai sebagai
pengisi bidang yang digambarkan seperti bentuk burung kecil-kecil. Ornamen burung yang
utama bentuknya seperti burung merak berjengger dan sayapnya terbuka dengan bulu yang
tidak bergelombang. Dalam agama Hindu, burung merak dikenal sebagai wahana dewa
perang bernama Dewa Skanda dan Dewi Parwati. Banyak arca Dewa Skanda digambarkan
menunggang burung merak. Seringkali orang keliru melihat arca Dewa Skanda itu
mengendarai burung unta, setelah diteliti burung berjambul itu adalah lambang burung
merak. Ragam hias burung merak sebagai lambang kesucian dan dunia atas. Biasanya burung
merak dalam ragam hias pada batik ditampilkan dengan ekor yang mekar dengan bulu
merapat satu sama lain (Hamzuri, 2000 : 156). Dapat juga berbentuk seperti burung phoenix
dengan bulu ekor dan sayap panjang dan bergelombang, kadang-kadang terdapat bulu di
kepala berbentuk jambul. Burung phonix hanya dikenal di Cina. Burung ini dipandang
sebagai burung surga, juga sebagai lambang dunia atas atau langit. Bentuk lain berupa burung
khayal dan aneh, misalnya : burung dengan kepala naga, burung berkepala dua dan
mempunyai jengger atau bentuk burung yang badannya melingkar. Ornamen burung banyak
terdapat pada motif batik Semen tradisional.

e.       Fungsi Batik
1.      Busana
Batik sebagai busana harian,resmi dan adat. Berbicara masalah busana adat, tidak akan
lepas dengan batik. Menurut Melati Listyorini (Kedaulatan Rakyat,1 Mei 2002), busana adat
kaya akan makna simbolik, berisi piwulang sinandhi dan kaya akan ajaran yang bernilai
luhur. Ajaran dalam busana ini merupakan ajaran untuk melakukan segala sesuatu di dunia
ini secara harmoni yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, baik dalam berhubungan
dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa,
pencipta segala sesuatu  di muka bumi ini.
2.      Upacara adat/tradisi
Batik selalu ada dan dibutuhkan dalam kegiatan upacara adat/tradisi, misalnya tradisi
pernikahan. Di dalam tradisi ini dibutuhkan motif batik yang sesuai dengan pandangan hidup
masyarakat setempat terkandung harapan bagaimana hidup bahagia, sejahtera dan selamat di
dunia dan akhirat.
3.         Interior
Interior yang menggunakan motif batik mempunyai pesona dan daya tarik yang banyak
diminati, baik di rumah pribadi, kantor maupun hotel-hotel berbintang.
4.         Cenderamata
Berupa dompet, tas, kipas, pernik-pernik yang menjadi aset komoditas ekonomi dan
pariwisata.
C. Candi
   Candi merupakan peninggalan budaya Hindhu dan Budha. Relief-relief yang
dipahatkan pada arca-arca yang berdiri serta pola penempatan bangunan juga berorientasi
pada budaya Hindhu dan Budha. Sebuah bangunan candi menarik bukan hanya disebabkan
candi merupakan bangunan keagamaan, melainkan mengandung nilai estetis. Nilai ini dapat
terlihat pada kehalusan serta keagungan seni yang terpancar dari bentuk bangunan serta
relief-relief yang melekat atau terpahat pada bangunannya itu. Relief sebagai media visual
memiliki beberapa fungsi, antara lain : sebagai ungkapan historis, filosofis dan edukatif.
Fungsi historis dari suatu relief dapat ditunjukkan dengan penggambaran candra
sengkala, angka tahun suatu pendirian bangunan,serta prasasti-prasasti. Fungsi filosofis suatu
relief antara lain dapat ditunjukkan lewat penggambaran obyek-obyek yang secara
keseluruhan memiliki makna filsafati yang dalam. Sedangkan fungsi edukatif ditunjukkan
dari arti filosofis penggambaran relief yang berisikan tuntunan atau pendidikan moral bagi
kehidupan  manusia.  Banyaknya hiasan yang terdapat pada bagian candi disesuaikan dengan
tingkat ketertiban yang ada di alam semesta. Pada bagian kaki candi, merupakan simbol dari
kehidupan alam nyata dipenuhi dengan bermacam-macam hiasan, tubuh candi yang
merupakan gambaran dari kehidupan alam roh hanya terdapat sedikit hiasan, sedangkan pada
atap candi yang merupakan simbol dari alam dewata  hanya terdapat satu macam hiasan,
yaitu hiasan mahkota atau gentha.
Dalam bangunan candi, terdapat keindahan visual dan keindahan simbolik.
Keindahan visual terdapat pada :
1. Pengaturan tinggi rendah bangunan
2. Pengaturan hiasan bidang
3. Pengaturan hiasan konstruktif
4. Area-area yang diatur secara selaras dan harmonis

Keindahan Simbolik : 
         Berisi makna simbolik dari relief-relief yang berguna bagi kehidupan manusia ke arah
kehidupan yang lebih baik.
          Ditinjau dari ukuran keindahan dalam estetika Hindhu, candi memenuhi ke enam unsur
keindahan, yang disebut dengan istilah Sad-Angga. Ke enam unsur keindahan itu adalah :
1. Rupabedha, artinya perbedaan bentuk.
2. Sadresya, artinya kesamaan dalam hal penglihatan.
3. Pramana, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat.
4. Warnikabhangga, artinya penguraian dan pembuatan perbedaan
     warna.
5. Bhawa, artinya keindahan daya pesona yang muncul  
             (Djelantik,1999: 195).
D. Seni Musik
Seni musik pada jaman dahulu lahir dengan hasrat orang pada waktu itu ingin memiliki
bahasa khas, yang berlainan dengan bahasa tutur, untuk komunikasi dengan dunia
supranatural, atau alam para arwah leluhur. Kata-kata ini tepat karena sebagai seni yang
berlainan dari bahasa, musik ternyata mampu mengungkapkan pengalaman batin yang tak
mungkin dideskripsikan. Musik mampu menuntun orang ke arah kebersamaan, atau
komunikasi berbagai perasaan dan pengalaman hidup, sehingga dapat disebut sebagai suatu
bentuk tingkah laku sosial dan mempersatukan kelompok lewat suatu cara simbolik dan dapat
diingat-ingat, sehingga dapat diulang-ulang dan dirasakan bersama (Suhardjo Parto,
1983:11).
Menurut Ki Ageng Suryamentaram, seni musik mempunyai pengaruh untuk
memperhalus budi pekerti manusia. Seni musik dapat dibedakan menjadi :
1.      Lagu-lagu rendah misalnya lagu yang berirama marah,dan jorok.
2.      Lagu-lagu sedang, misalnya lagu yang bernuansa gembira, susah dan ngelangut.
3.      Lagu-lagu luhur, yaitu lagu-lagu cinta alam, Tuhan dan hidup yang baik.

Musik tradisional di Indonesia sebagian besar alatnya dimainkan dengan dipukul (musik
perkusi). Hanya beberapa alat saja yang cara memainkannya dengan ditiup.

E. Wayang
Wayang mempunyai fungsi sebagai tontonan dan tuntunan, yang di dalamnya terdapat
"keindahan bentuk" dan "keindahan isi". Macam-macam wayang dianrtaranya :
a. wayang kulit/purwo
b. wayang golek
c.wayang klitik
d. wayang orang
e. wayang topeng
f.  wayang beber
g. wayang ukur

Wayang kulit dalam arti lahir sebagai tontonan, dapat menjadi wayang purwo dalam arti
bathin, yang berisi tuntunan. Hal ini dibedakan karena fungsi kelir sebagai latar depan atau
sebagai latar belakang.
Wayang kulit dalam artian lahir yaitu kulit yang diprada dengan warna-warni. Kelir
merupakan tempat Dalang dan menjadi latar belakang boneka kulit yang warna-warni itu dan
menjadi tontonan di siang hari serta penonton bebas berkomentar.
Wayang Purwa dalam artian bathin merupakan tontonan dan tuntunan. Kelir menjadi
latar depan yang transparan dan menjadikan wayang kulit menjadi bayang-bayang kehidupan.
Dalang dan wayang ada di balik kelir.Kelir diibaratkan sebagai hati nurani rakyat, yang perlu
didengar dan ditanggapi secara positip.
Salah satu senjata yang ampuh dalam dunia pewayangan adalah :Layang Kalimasada
merupakan Serat (tulisan) yang sakti dan disakralkan. Dalam lakon Baratayudha, Pandhawa
yang memiliki layang Kalimasada (mungkin Kalimah Syahadat (dan disimpan di Udheng
Prabu Darmo Kusumo.

F. Seni Tari
Hakekat seni tari adalah gerak, dan gerak itu ditempatkan   pada perspektif yang luas
sebagai salah satu aspek kebudayaan.
Menurut John Martin, seorang ahli tari dari Amerika memberikan tekanan bahwa gerak
betul-betul merupakan substansi baku dari tari (Soedarsono, 1972:2). Gerak adalah
pengalaman fisik yang paling elementer dan pengalaman emosional dari kehidupan manusia.
Seni tari pada dasarnya merupakan ekspresi jiwa manusia yang diwujudkan dalam gerak-
gerak yang ritmis.
Kamaladevi, seorang ahli tari dari India berpendapat bahwa seni tari berlandaskan pada
insting manusia, dan materi dasar dari tari adalah gerak dan ritme. Tari dapat dikatakan
sebagai insting, suatu desakan emosi di dalam diri kita yang mendorong kita untuk
berekspresi yaitu gerakan-gerakan luar yang ritmis dan lama-kelamaan nampak mengarah
kepada bentuk-bentuk tertentu (Iyus Rusliana, 1986:10). Sedangkam menurut Soedarsono,
ahli tari Indonesia, mendefinisikan tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak
ritmis yang indah (Soedarsono, 1972:4). Dalam definisi ini, Soedarsono memakai gerak dan
ritme sebagai substansi dasar, tetapi gerak-gerak itu bukanlah tari apabila gerak-gerak itu
adalah gerak-gerak sehari-hari atau natural. Gerak-gerak ritmis itu distilir supaya indah.Istilah
indah bukan hanya berarti bagus, tetapi dapat memberi kepuasan kepada orang lain. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa gerak-gerak ritmis yang indah itu merupakan pancaran jiwa manusia.

Di dalam tari Jawa, tari mempunyai tiga unsur pokok yang saling berkaitan dan tidak
dapat dipisahkan, yaitu :
1.      Wiraga, yakni keseluruhan gerak tubuh yang diperhalus dan diperindah ,sehingga
merupakan bentukkan tari tertentu.
2.      Wirama, yakni wiraga tari tersebut diiringi suara gamelan atau musik dan tersusun menurut
ragam irama lagu gendhing.
3.      Wirasa, artinya wiraga yang berirama dan mengandung arti, maksud dan rasa tertentu, yang
diungkapkan secara simbolik atau perlambang.

Dilihat dari fungsinya, tari digolongkan menjadi :


1.      Tri upacara, misalnya tari Kecak, tari Bedhaya Ketawang
2.      Tari sosial/tari pergaulan, misalnya tari Poco-poco. 
3.      Tari tontonan, misalnya saja tari Gambyong.

Dilihat dari penggarapannya, tari dibedakan menjadi :


1.      Tari tradisonal, yaitu seni tari yang mempunyai sifat turun-temurun dan mempunyai sifat
tetap.
2.      Tari klasik, yaitu seni tari yang sudah ada di puncak kesempurnaan dalam pola gerak seni
tari tradisional.
3.      Tari kreasi baru, yaitu seni tari yang mempunyai sifat bebas dalam berkreasi dan
memadukan gerak-gerak tari tradisional dan tari klasik dengan irama musik yang bebas pula.

G. Upacara Adat
     Di Indonesia adat di tiap-tiap daerah tidak sama. Hal ini disebabkan kebudayaan dan
sifat-sifat dari tiap-tiap kelompok masyarakat tersebut berbeda-beda. Adat senantiasa tumbuh
dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup yang keseluruhannya merupakan
kebudayaan masyarakat tempat adat itu berlaku. Dalam hal ini tidak mungkin dibuat suatu
adat yang baru, bila adat tersebut bertentangan dengan kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan.
Menurut FD. Hellman, adat di Indonesia mempunyai 4 sifat umum yang merupakan satu
kesatuan,yaitu :
a)      Sifat religio magis (magisch-religiuos) yang merupakan pembulatan atau pembedaan kata
yang mendukung unsur beberapa sifat atau cara berfikir seperti frelogika, animisme, ilmu
gaib dan lain-lain.
b)      Sifat komun (commun) artinya sifat yang mendahulukan kepentingan umum daripada
kepentingan sendiri.
c)      Sifat konstan (constant) yaitu prestasi dan kontraprestasi, dilakukan sekaligus bersama-sama
pada waktu itu juga.
d)     Sifat-sifat konkret (visual). Pada umumnya masyarakat Indonesia kalau mengadakan
(melakukan) perbuatan hukum itu selalu konkret (nyata)  (Imam Sudiyat, 1982:30-33).

Upacara adat mempunyai :


1.  Nilai estetis dan simbolis
2.  Berlatar belakang kepercayaan agama

Misalnya upacara adat pernikahan menurut agama Islam.Secara agama sahnya


pernikahan adalah proses ijab-kabul.Secara adat,pesta walimahan tiap daerah dan suku
bangsa mempunyai tradisi yang berbeda.Kegiatan ritual itu tujuannya semuanya sama ,yaitu
agar nanti menjadi keluarga bahagia ,lahir dan bathin.

BAB IX
ESTETIKA TIMUR

A. Estetika India
    1. Natyasastra : 
Natyasastra merupakan karya sastra pertama tentang Estetika di India yang ditulis pada
abad ke-VI oleh Bharata, yaitu merupakan kitab tentang pentas dan memandang seni drama
sebagai seni yang bermutu tinggi.Disini diuraikan tentang , "rasa" lahir dari manunggalnya
situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang
senantiasa berubah (Agus Sachari,1989:27).
Rasa dalam bahasa Sanskerta dinamakan "bhava"yang jumlahnya menurut kitab
Natyasastra  ada delapan yaitu emosi senang, kegembiraan, kesedihan, kemurkaan, kebulatan
tekad, ketakutan, kebencian dan emosi kagum. Inilah delapan keadaan jiwa yang pokok dan
baku, yang tertera dalam jiwa manusia dan sewaktu-waktu dapat tumbuh dan disadarinya.
Kedelapan  bhava ini tidak selalu nampak dalam keadaan yang murni tetapi sering tercampur,
saling berhubungan dan bersifat sementara.
Dalam estetika India masalah "rasa" juga dibahas oleh;    
a)      Batta Lollata (abad ke 9); "rasa",merupakan tingkat spiritual,yang ditingkatkan sampai
ketitik   puncak tertinggi ,yang sebanding dengan situasi yang direpretansentasikan,reaksi-
reaksi siaktor dan lain-lain.
b)      Sankuka; "rasa bukanlah tingkat spiritual yang ditingkatkan ketitik puncak tertinggi, tetapi
"rasa" adalah suatu duplikasi dari suatu tingkat spiritual ,yang ditarik oleh penonton dari
pertunjukan itu, dari tingkah laku si aktor, dan selanjutnya.pengertian tentang imitasi keadaan
spirituil yang dinamakan sebagai "rasa"oleh penonton, bagi Sankuka adalah lain dari semua
bentuk kesadaran. Seekor kuda yang diimitasi oleh seorangpelukis kataya, bagi yang
melihatnya tampak bukan asli dan bukan palsu, sekedar sebagai image, dan setiap penilaian
baik tentang realitasnya atau tentang tidak realitasnya, sama sekali tidak dapat diterima.
c)      Batta Nayaka, "rasa"bukannnya berada pada intensifikasi atau imitasi keadaan spiritual, ia
tumbuh dari kenyataan, bahwa di dalam pengalaman-pengalaman estetika, realita tidak
dipandang ada hubungannya dengan segala bentuk dari ego, tetapi telah di "awamkan"
dengan kata lain, drama yang dipergelarkan atau puisi yang sedang di deklamasikan,
mempunyayi kemampuan untukmembangkitkan didalam diri penonton, dalam satu saat
tertentu , sesuatu yang melampaui egonya sendiri atau melampaui perhatian-perhatian
praktisnya yang didalam kehidupan sehari-hari disebut dengan "suatu lapisan tebal dari
kebabalan mental" dari yang membatasi dan meredepkan kesadarannya.

     2. Silpa sastra : 


Pedoman seniman dalam berkarya. Karya sastra dinilai berkualitas dan indah apabila
mematuhi aturan yang ada dalam silpa sastra.
Kecintaan terhadap alam merupakan unsur yang memberikan inspirasi bagi seniman
untuk berkarya .Seniman dalam menciptakan hasil karya seninya ,bersifat naturalis dan
bernuansa religi, yang tidak realistis, yang menggambarkan bentuk kesempurnaan dari bentuk
alam.
Misalnya  :  Dewa Durga mempunyai 10 tangan.
                 :  Dewa Siwa mempunyai 4 kepala.

Pengalaman Estetis
Menurut Sankuka yang hidup pada abad ke 10, berpendapat bahwa pengalaman estetis
berada di luar bidang kebenaran dan ketidak benaran. Pendapat ini jika dibandingkan dengan
pemikiran estetika di Barat, mirip dengan pendapat Immanuel Kant. Pendapat Sankuka ini
dikritik oleh Abhinavagupta, yang menyatakan bahwa bila hidup nyata ditiru, efeknya bukan
kenikmatan estetik, tetapi suatu kelucuan belaka.
Bhatta Nayaka berpendapat bahwa pengalam estetik adalah semacam jatuhnya wahyu,
artinya bahwa dengan menerima wahyu berarti kebekuan rohani kita tersingkirkan, sehingga
kita dapat melihat kenyataan dengan suatu cakrawala yang meluas. Menurut Nayaka, hakekat
rasa bukanlah menirunya, melainkan melepaskan kenyataan dari keterikatan ego seseorang
dan menjadikannya pengalaman umum. Lewat penglaman estetika rasa yang diwahyukan itu
bukan persepsi  akal budi, melainkan suatu pengalaman yang penuh kebahagiaan, akhirnya
kesadaran pribadi melenyap, maka ia akan sampai pada Brahma Tertinggi (Agus
Sachari,1989:29).

Menurut teori Sankkya, seniman harus dapat : 


1).  Mencipta kemiripan/ekspresi
2).  Mengekspresikan jiwa manusia yang menjadi idealnya
Tugas seorang seniman harus dapat mengungkapkan ekspresi kejiwaan.

B. Estetika Tiongkok
Estetika Tiongkok dilandasi oleh kepercayaan :  Taoisme, Budhisme, dan
Konfusianisme. Dalam kepercayaan Taoisme mengajarkan hubungan antara manusia dan
alam semesta. Budhisme mengajarkan bagaimana hubungan antara  manusia dengan yang
mutlak, dan Konfusianisme mengajarkan hubungan antara manusia dengan masyarakat.
Berdasarkan kepercayaan ini konsep estetika Tiongkok bersifat naturalisme. Segala sesuatu
harus bercermin pada alam, termasuk hukum-hukumnya.

Tao  :  prinsip absolut yang menjadi sumber semua nilai-nilai dan kehidupan. Tao berarti
sinar terang dan sumber segala yang sensasional. Manusia dianggap sempurna jika hidupnya
diterangi oleh Tao. Tao adalah kemutlakkan , sesuatu yang memberikan keberadaan,
kehidupan dan gerak serta membuat sesuatu serba tertib dan damai (Agus Sachari,1989:21).

Seniman 
Seniman harus dapat menangkap Tao (roh yang tersembunyi di dalamnya) dan
menampilkannya lewat karya seni. Untuk dapat menampilkan karya seni yang baik,
inderanya harus disucikan.
Menurut Hsieh Ho, yang hidup di akhir abad ke-V Masehi, ada 6 prinsip dasar bagi seniman.
1.      Dapat menangkap gema spiritual dalam barang-barang dan menampilkan hidup dan geraknya
dalam karya-karyanya.
2.      Seniman harus dapat menangkap ch'I (ekspresi gerak hidup).
3.      Menempatkan "alam nyata" sebagai titik pangkal.
4.      Keselarasan dalam warna-warna.
5.      Perencanaan matang dalam pembuatan karya seni.
6.      Meneruskan pengalaman seniman kepada si pengamat dalam rangka pendidikan dan
penerusan nilai-nilai budaya (Dick Hartoko, 1984: 73-75)

Para seniman tradisional di Cina (Tiongkok) kebanyakan pelukis dan sastrawan. Ia


mempunyai kedudukan dan kewibawaan yang besar di masyarakat dan berdaulat penuh
terhadap hasil karya seninya. Ia juga mengembangkan seni kaligrafi kearah seni lukis dengan
rasa cinta terhadap alam. Unsur-unsur utama estetika cina dalam seni rupa adalah:
1.      kebebasan dan kedaulatan. Tidak tergantung dari kemauan atau selera orang lain, selera
pemesan.
2.      Perfeksi (penyempurnaan wujud). Bakat dan tenaga sepenuhnya diarahkan kepada hasil
pekerjaan yang sesempurna mungkin.
3.      Cinta alam. Selalu diusahakan agar jiwa seniman bersatu dengan alam dilingkungannya
dalam rasa cinta yang intensif.

     Keramik di jaman dinasti Han terbuat dari jenis tanah kaolin, yang berbentuk:
1.      Bejana  : sebagai tempat untuk abu jenazah,air suci dan ada yang khusus untuk
hiasan                           
2.      Kaligrafi Cina  :  merupakan seni nasional pada dinasti Chou. Pada jaman ini keramik
menjadi berkurang nilai religiusnya. Pada jaman dinasti Ch'ng, pada abad ke-XVII seni
merupakan bagian hidup manusia, tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kejiwaan,
dinamisme kreatif yang memanivestasikan keaktifan-keaktifan tidak permanen dari Tao.

Seni lukis, ukiran, sastra, sulam menyulam, arsitektur tradisional, merupakan bagian
hidup para biarawan, seniman dan bangsawan.
Etika dan estetika selalu berkaitan dan merupakan subyek dari peraturan-peraturan
konstan dalam kehidupan yang bersifat alami. Dalam tahun 1924, Kaisar Ts'ai Yuan Pei
(1867-1940) didalam bukunya berjudul "Elemen Filsafat" (Chih Hsuah Kangyao) ,
menyodorkan sebuah teori tentang seni sebagai suatu substitusi agama. Pertanyaannya,
apakah tak mungkin bagi seseorang yang telah menyingkirkan diri dari agama, pada akhirnya
dia akan menemukan suatu kenikmatan hidup dari kesenangan kepada keindahan? Pertanyaan
ini dijawab oleh Hsú Ching-yu, dalam bukunya yang berjudul "Filsafat tentang yang indah"
( Mei-ti chih- hsueh).
Menurut Fung Tung Sien, memandang seni sebagai jiwa manusia hidup dan sebagai
manivestasi kemajuan manusia menuju dunia yang lebih sempurna, lebih baik dan  lebih
indah. 
Jadi pemikiran-pemikiran estetika cina dari dulu sampai saat ini tetap tunduk dan taan
kepada ide-ide kuno yang meminta kepada seni untuk merefleksikan transendentasi jiwa dan
mengungkapkan tuntutan-tuntutan yang lebih tinggi dari jiwa (Abdul Kadir, 1974: 43-44)

C. Estetika Jepang
Konsep estetika Jepang adalah merupakan perpaduan antara tradisi, kepercayaan dan
alam. Ketiga hal ini hidup, tumbuh dan berkembang sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Titik tolak estetika Jepang adalah alam. Mereka mempunyai keyakinan bahwa fenomena-
fenomena alam sehari-hari seperti matahati, bulan, gunung, air terjun dan pepohonan diyakini
mempunyai roh atau "kami". Alam merupakan tempat para pendekar menimba semangat
perang dan alam pulalah yang menginspirasikan seseorang untuk memperoleh semangat dan
makna hidup. Agama/kepercayaan di Jepang adalah Shinto dan Budha yang mengajarkan
agar manusia dekat dengan alam. Menurut kepecayaan Shinto, alam ini dianggap penuh
dengan roh nenek moyang, sehingga ada suatu kewajiban untuk memelihara kelestarian dan
keselarasan dengan alam. Hal ini dibuktikan dengan kecintaan yang dalam pada alam dan
pemahaman akan perubahan pada gejala musim yang selalu berganti. Kebudayaan menikmati
alam dikenal dengan nama "furyu" . Mereka yang tidak mempunyai naluri furyu digolongkan
sebagai orang yang sangat tidak berbudaya. Naluri ini tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga
mengandung makna religius.
Kepercayaan Budha berkembang di Jepang dengan ciri yang khusus, dikenal dengan
kepercayaan Zen Budha. Zen Budha ini menghasilkan suatu adat istiadat (tradisi) Jepang
yang khusus yaitu "upacara minum teh" dan dianggap sakral, sejajar dengan upacara
keagamaan. Pengaruh Budhisme yang lain adalah "ketidaksimetrisan" yang  menjadi unsur
yang memberi guratan dalam estetika Jepang . Seniman Jepang secara naluri tidak menyukai
simetris yang itu-itu saja dan sedapat mungkin menghindari keteraturan. Simetri dipandang
menimbulkan kejenuhan dan kekakuan. Oleh karena itu seniman Jepang menembusnya
dengan gaya konvensional yang dapat menerobos kekakuan dengan sentuhan warna yang
lembut dan halus. Pengaruh Zen Budha dalam bidang militer memungkinkan tinbulnya
kelompok baru yang dinamai "Samurai", dengan semangat Bushido. Golongan Samurai ini
dilambangkan sebagai bunga Sakura (bunga yang dianggap terindah di Jepang) yang rela
mati untuk mengabdi pada raja ( tuannya) walaupun di usia muda.

Hasil karya seni di Jepang bersifat naturalis (mencotoh alam), karena itu bangsa Jepang
ingin selalu dekat, hidup selaras dan serasi dengan alam.
Konsep estetika dalam kehampaan dan asimitris:
1.      Kehampaan (kekosongan)
konsep estetika di Jepang dapat dilihat dari sudut perbandingan Barat dan Timur
mengenai kehampaan. Salah satu dasar pemikiran Barat ialah bahwa yang kosong  (hampa)
dianggap tidak menarik.  Hanya yang "berisi' atau "penuh' yang menarik. Kehampaan
(kekosongan) dianggap bisa menampilkan sesuatu. Kekosongan itu dapat diisi informasi yang
lain, dan mungkin lebih dari itu, tidak hanya sekedar informasi. Kekosongan (kehampaan)
bersifat positif dan dinamis.
Estetika Timur bagaimanapun juga menganggap bahwa keindahan itu mempunyai arti
memiliki sesuatu yang menarik perhatian. Misalnya dalam hal merangkai bunga Ikebana,
ruang kosong diantara tangkai-tangkai atau rantin-ranting mempertegas ruang dari tangkai
atau ranting yang terisi. Hal demikian itu, merupakan kombinasi atau gabungan yang terisi
penuh dan kosong atau hampa yang akan menciptakan pengalaman estetis. Seni merangkai
bungan Ikebana merupakan simbolisasi hubungan antara Ten, Chi dan Jin (alam, bumi dan
manusia) yang harmonis.

2.      Asimitris
Asimitris menjadi unsur yang menjadi guratan mendalam dalam estetika Jepang, hasil
pengaruh dari Budhisme. Dalam kuil-kuil Budha yang terdiri dari beberapa bangunan atau
wisma dapat ditari sebuah garis lurus antara wisma Dharma, wisma Budha, dan Pintu
Gerbang, yang biasa diistilahkan dengan Gerbang Gunung, dan di sekitar tiga bangunan itu
ada beberapa bangunan yang tidak diatur secara asimetris. Asimetris juga terdapat dalam
ruangan tempat upacara minum teh berlangsung dan dalam taman yang nyata dalam batu-
batuan untuk jalan setapak (Muji Sutrisno dan Chist Verhaak, 1993)
Seniman Jepang secara naluri tidak menyukai simetris dan sedapat mungkin
menghindari keteraturan. Simetris dipandang menimbulkan kejunehan dan kekakuan. Oleh
karena itu, seniman menmbusnya dengan gaya konvensional (asimetris)  yang dianggap dapat
menerobos kekakuan.
Masuknya aliran Zen dari Budhisme ke Jepang pada akhir abad ke-11 terjadi
perubahan-perubahan sesuai dengan kepribadian masyarakat setempat. Zennisme yang lebih
cocok dengan kepribadian rakyat Jepang membangkitkan kecenderungan masyarakat kembali
ke agama aslinya, yakni Shinto. Pada tahun 1868, Shinto dijadikan agama resmi Jepang.
Tanpa meninggalkan Budhisme, kebudayaan Jepang menjadi perkawinan antara agama Buda
dan Shinto disebut "Ryobo-Shinto" yang mengandung pengaruh besar dari aliran Zen.
Berdasarkan Sintese ini berkembanglah esteika Jepang yang sampai dengan masa
industrialisasi modern masih sangat menonjolkan ciri khasnya, yaitu:

a)      Kesederhanaan (pengaruh Budha). Perwujudan agar sepolos mungkin, tidak banyak


perhiasan. Kepribadian Jepang mencar kesungguhan dan kebenaran dengan kehidupan dalam
kesederhanaan.
b)      Disiplin yang keras pada dirinya sendiri (pengaruh Shinto). Disiplin yang sangat menonjol
dalam kehidupansehari-hari, menyerap dalam perwujudan kesenian, hingga merupakan unsur
estetik yang khas Jepang yait disiplin dalam goresan dan disiplin dalam kesederhanaan.
c)      Logika. Semua perwujudan seni harus memenuuhi syarat penggunaan yang praktis. Sebagai
akibat dari unsur logika ini, Jepang menjadi unggul dalam "industrial design" modern dalam
masa kini. Mereka erhasil mewujudkan seni, juga dalam bentuk-bentuk mesin, mobil, kereta
api, pesawat terbangm alat televisi, telepon, radio dan komputer.
d)     Hemat Ruang. Keterbatasan ruang dalam kehidupan sehari-hari memaksa mereka
menggunakan sedikit mungkin ruang. Kebiasaan ini menjadi unsur kebudayaan tersendiri
yang meresap kedalam konsep estetika mereka (Djelantik, 1999: 199-200)/

D. Estetika Mesir
Kepercayaan bangsa Mesir pada dewa-dewa, telah dikenal semenjak jaman "Mina",
yaitu kepala keluarga Fir'aun yang pertama, kira-kira sekirat tahun 3300 sebelum masehi.
Dewa-dewa cosmos itu, hidup subur dalam alam kepecayaan bangsa Mesir, memberi bentuk
dan corak yang tertentu dalam pertumbuhan kebudayaan mereka. Sekalipun pada masa
keruntuhan kerajaan Mesir, bangsa Persi telah datang menaklukkan lembah Nil dan kemudian
berpindah tangan pada bangsa Romawi, namun kepercayaan kepada dewa-dewa itu masih
tetap merupkan satu-satunanya agama resmi dari bangsa mesir. Dalam abad ke 2 dan 3
masehi, agama nasrani telah meluan dalam lingkungan keluarga kerajaan. Sudah banyak
orang yang memeluk agam aitu namun bangsa mesir masih tetap dengan kepercayaab
mereka, walaupn mereka di bawah jajahan bangsa romawi. Bangsa Mesir kono semenjak
jaman pra sejarah sudah mengenal dan memuja dewa alam. Diantara dewa-dewa yang
terbesar dan pernah mempunyai kedudukan yang tertinggi dalam kepercayaan rakyat adalah
Dewa Ra atau Re dan Dewa Osiris.

Kesenian di Mesir mempunyai dua bentuk, yaitu :


1.      Seni hieratis, yaitu seni yang berdasarkan pada kepercayaan yang bersifat religius.
2.      Seni rakyat, yaitu seni yang berdasarkan kerajinan.
Kedua jenis seni itu bisa hidup secara berdampingan.

Seni arsitektur mempunyai tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat dan
kehidupan religius, hal ini nampak dalam bangunan :
a)      Makam  : dengan bentuk mastaba (pola geometris),untuk tempat jenasah,dan juga tempat
untuk menyimpan              harta kekayaan.                 
b)      Kuil/candi :  kuil makam, misalnya Ratu Hatshepsut, Kuil dewa, misalnya Amon di Karnak,
di tepi sungai Nil.
c)      Piramida : merupakan lambang kebesaran seni Mesir purbakala yang sampai sekarang masih
tetap dikagumi, karena bentuknya yang sangat besar .Bentuk bangun segi  banyak piramid
dipandang sebagai bentuk bangun segi banyak yang unik dan dianggap sakral.

Dalam bidang seni pahat/seni patung : 


a)      Patung potret wajah Tutabkhamon (berlapis emas)
b)      Ratu Nefretete (arca sedada), merupakan lambang kecantikan timur.

Sphinx  ;  manusia singa.
Seni relief  :  Fir'aun diperlihatkan sebagai raksasa yang ada diantara orang-orang yang
dipahat sangat kecil.
Tari perut merupakan seni tari  yang sangat terkenal dan berasal dari Mesir. Dalam
bidang seni lukis, pewarnaan dengan menggunakan lilin (pernis bening) sudah digunakan
pada jaman Mesir kuno, yang mempunyai kualitas tahan lama.
    
Keagungan seni Mesir ada pada mutu kelanggengan seni itu sendiri,terdapat pada :
1). Simetri, misalnya pada Mastaba.
2). Ukuran raksasa/keagungan, misalnya pada Piramida.
3) Kerumitan, ada pada patung-patung.
4). Keindahan, terdapat pada relief, lukisan dan seni tari.

E. Estetika Islam
 Ada persepsi bahwa menikmati keindahan itu akan merusak keimanan atau
menyebabkan terperosok terhadap kesombongan yang dibenci Allah dan seluruh manusia.
Hal ini tidak benar karena di dalam sebuah hadist, Ibnnu Mas'ud meriwayatkan bahwa
Rasulullah s.a.w bersabda : "innallaaha jamiilun yyuhibbul jamaal, yang artinya
sesungguhnya Allah Maha Indah dan Dia menyukai keindahan". Keindahan yang sempurna
hanya ada pada Allah. 
Sudut pandang Islam Ortodok ,terutama yang bersandar kepada mistik, tercermin pada
pandangan Al-Qhazzali dalam buku Kimiya-i Sa'adat (Kimiyatus sa'adah = uraian tentang
kebahagiaan) yang ditulisnya sekitar tahun 1106. Menurut al-Ghazzali, keindahan sesuatu
benda terletak di dalam perwujudan dari kesempurnaan, yang dapat dikenalai kembali dan
sesuai dengan sifat benda itu. Bagi al-Ghazalli "jiwa" (roh) , spirit, jantung, pemikiran,
cahaya yang dapat merasakan keindahan dalam dunia yang lebih dalam (inner world), yaitu
nilai-nilai spiritual, moral dan agama. Konsep tentang pengertian hakiki ini memberikan
suatu segi pemandangan baru atas keindahan dan seni, yang dapat memuaskan hati. Sebuah
lukisan atau bangunan yang indah juga mengungkapkan tentang keindahan hakiki pada diri si
pelukis atau arsitekya. Keindahan hakiki ini terkandung dalam tiga prinsip:
1.      Pengetahuan : pengetahuan yang sempurna hanya ada pada Tuhan
2.      Kekuatan :  yaitu kekuatan untuk membawa diri sendiri dan orang lain kepada kehidupan
yang lebih baik.   
3.      Kemampuan :  yaitu kemampuan untuk menyingkirkan kesalahan-kesalahan dan ketidak-
mampuan.

Karena pengetahuan, kekuatan dan kemampuan untuk menyingkirkan kesalahan yang


absolut hanya pada Tuhan, dan karena sifat-sifat demikian itu ada pada manusia dengan
ukuran manusiawi dan juga berasal dari Tuhan, maka berikutnya adalah : cinta pada
manifestasi tentang keindahan hakiki yang disuguhkan oleh seniman (artis) yang sempurna,
akan membawa manusia kepada Tuhan (Abdul Kadir, 1974:56).

Hubungan antara Islam, Seni dan Seniman


Islam dan seni tidak ada hubungan. Islam sebagai agama adalah tata hubungan manusia
dengan Tuhan dalam beribadat yang diperlukan kekhusyukkan dan takwa. Seni merupakan
bidang kebudayaan. Agama dan kebudayaan, membentuk din Islam. Jadi, meskipun seni
tidak masuk agama islam, namun ia tetap bagian dalam diin Islam, karena ia merupakan
bidang kebudayaan Islam.
Bagi Islam, seni dan moral berjalan sejajar. Seni itu halal sejauh mengandung nilai moral
religius dan haram bila mendatangkan nilai mudhorot. Seni yang baik, seperti halnya rejeki
maka manusia wajib menikmatinya. Lewat seni yang diajarkan oleh Islam, manusia dapat
mengambil hikmahnya karena di dalam seni Islam terkandung ajaran bagaimana manusia itu
harus bertingkah laku yang baik dan mensyukuri karunia Allah untuk lebih dekat dengan-
Nya.
Islam tidak menganut paham "seni untuk seni", tetapi seni untuk mengabdi kepada
agama. Hal ini nampak dalam hasil karya seni yang  bernafaskan Islam, seperti halnya
kaligrafi, seni musik dan arsitektur. Contohnya di dalam seni arsitektur masjid. Masjid
dibangun untuk tempat beribadah. Masjid tidak hanya indah , misalnya dengan permadani
yang tebal,mimbar yang bagus, cat yang selaras, tulisan ayat-ayat suci al-Qur'an yang indah
pada dinding dan tiang masjid. Memperindah masjid dikehendaki, tetapi tidak
memegahkannya, masjid tidak kenal perabot, dindingnya tidak digantungi dengan gambar
atau lukisan.Seni patung/pahat yang menggunakan objek makluk bernyawa tidak dibenarkan
oleh agama Islam. Bermegah-megah dengan masjid dilarang, karena hal itu melewati batas.
  
Seniman
Tugas dari seniman adalah untuk dapat membawa atau mendekatkan manusia kepada
Tuhan lewat hasil karya seninya. Bagi Islam, seniman yang baik adalah seniman yang
mampu menyuguhkan keindahan sebagai karunia Allah, yang akan mengantarkan untuk lebih
dekat dengan Tuhan-Nya.
BAB X
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir, 1974, Diktat Estetika Timur (terjemahan dari Enciklopedia of the World Art)
ASRI, Yogyakarta

Abdul Kadir, 1974, Diktat Estetika Barat (terjemahan dari Enciklopedia of the World Art)
ASRI, Yogyakarta

Abdul Kadir, 1975, Pengantar Estetika (terjemahan dari Enciklopedia of the World Art)
ASRI, Yogyakarta
Agus Sachari, 1989, Estetika Terapan, NOVA, Bandung

Amri Yahya, 1971, Seni Lukis Batik sebagai Sarana Peningkatan Apresiasi Seni Lukis
Kontemporer, IKIP, Yogyakarta

Beardley, Manroe, 1967, Aesthetic Inquiry : Essayon Art Critism and The Philosophy of Art,
Belmountm California

Budhy Raharja,J, 1986, Seni Rupa, C.V. Irama Bandung

Cassirer Ernts, 1987, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Isei tenta Manusia. Alih Bahasa
Alois A. Nugroho, PT. Gramedia, Jakarta

Dick Hartaka, 1984, Manusia dan Seni, Yayasan Kanisius, Yogyakarta

Dickie, George T, 1973, Aesthetics, The Encyclopedia Americana, Vol. I, Americans


Corortion, New York

Djelantik, 1999, Estetika, Sebuah Pengantar, Masyarakat seni Pertunjukkan Indonesia,


Bandung

Francis J. Kovack, 1974, Philosophy of Beauty, The University of Oklahoma Press, Norman

Frondizi, Risieri, 2001, Pengantar Filsafat Nilai, Pustaka Belajar,Yogyakarta

Hamsuri, 1994, Batik Klasik (Classical Batik), Djambatan, Jakarta

Hassan Shadily, 1980, Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta

Herbert Read, 1954, The Philosophy of Modern Art, The World Publishing
Company, Cleveland and New York

Humar Sahman, 1993, Estetika, Telaah Sistemik dan Historik, IKIP Semarang,Press,
Semarang

Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta

Iyus Rusliana, B.A, 1986, Pendidikan Seni Tari, Angkasa, Bandung

Jacobus, LA, 1968, Aesthetick and Art, Mc Crow Hill Book Company (Inv), New York

Kattsoff, LO, 1986, Pengantar Filsafat (terjemahan), Tiara Wacana, Yogyakarta

Koeswadji K, 1981, Mengenal Seni Batik di Yogyakarta, Proyek


Pengembangan Perindustrian, Yogyakarta

Loren Bagus, 1991, Metafisika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Mari S. Condronegoro, 1995, Budaya Adat kraton Yogyakarta Makna dan Fungsi dalam
Berbagai Wacana, Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta

Mudji Sutrisno, Chist Verhaak, 1993, Estetika Filasafat Keindahan, Kanisius, Yogyakarta


Nian S. Djumena, 1986, Ungkapan Sehelai Batik, Djambatan, Jakarta, 1990, Batik dan Mitra,
Djambatan, Jakarta

Nooryan Bahari, 2008, Kritik Seni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Parmono R, 1985, Menggali Unsur-unsur Filsafat Indonesia, Andi Offset,Yogyakarta

Sewan Susanto, 1973, Seni Kerajinan Batik Indonesia, Departemen Pendidikan RI, Jakarta

Soedarso SP,1987, Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Saku Dayan
Sama, Yogyakarta

Soedarsono, RM.,1972, Djawa dan Bali : Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional
di Indonesia, Akademi Seni rupa Indonesia, Yogyakarta

Suhardjo Parta, 1983, Pathet-pathet dalam Gamelan Jawa, Prinsip-prinsip Pembentukannya,


Latar Belakang dan Alasannya, AMI, Yogyakarta

Suyadi, M.P. Drs.,1985, Manusia dan Keindahan dalam Ilmu Budaya Dasar Modul 1-3,
Universitas Terbuka, Departemen P&K

Susane K. Langer, 1953, Feeling and form, A theory of Art Develped from Philosophy in a
New key, Charles Scribner's Sons, New York

The Liang Gie, 1976, Garis Besar estetika (Filsafat Keindahan), Karya        Kencana,
Yogyakarta
           …........, 1996, Filsafat Seni, Sebuah Pengantar, Pusat Belajar Ilmu Berguna
(PUBIB) Yogyakarta
          ……......, 1996, Filsafat Keindahan, Pusat Belajar Ilmu berguna (PUBIB)
Yogyakarta

Wadjiz Anwar, L.Th., 1980, Filsafat Estetika, Nur Cahaya, Yogyakarta

Wiryomartono Bagoes P, 2001, Seni dan Keindahan dari Plato, sampai       Derrida,


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Pengertian, Definisi  dan Pendekatan Studi


     1.  Pengertian Estetika
           Istilah estetika berasal dari kata Yunani:
a.       Aistetika yang berarti hal-hal yang dapat dicerap dengan panca indra
b.  Aisthesis yang berarti pencerapan panca indra (sense percepstion)
               (The Liang Gie, 1976:15)
 Jadi, estetika menurut arti etimologis, adalah teori tentang ilmu penginderaan.
Pencerapan panca indra sebagai titik tolak dari pembahasan Estetika didasarkan pada asumsi
bahwa timbulnya rasa keindahan itu pada awalnya melalui rangsangan panca indra.
Istilah estetika sebagai ”ilmu tentang seni dan keindahan” pertama kali diperkenalkan
oleh Alexander Gottlieb Baumgarten, seorang filsuf Jerman yang hidup pada tahun 1714-
1762. Walaupun pembahasan estetika sebagai ilmu baru dimulai pada abad ke XVII namun
pemikiran tentang keindahan dan seni sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, yang disebut
dengan istilah ”beauty” yang diterjemahkan dengan istilah ”Filsafat Keindahan”.      
Keindahan, menurut luasnya lingkupan dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
1. Keindahan dalam arti yang terluas, meliputi keindahan alam, keindahan seni, keindahan moral,
keindahan intelektual dan keindahan mutlak (absolut)
2.      Keindahan dalam arti estetis murni : menyangkut pengalaman esetetis dari seseorang dalam
hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya.
3.      Keindahan dalam arti terbatas hanya menyangkut benda-benda yang dicerap dengan
penglihatan, yakni berupa kiendahan bentuk dan warna (The Linag Gie, 1996:17-18).  
Dalam kenyataanya, pencerapan indra penglihatan hanya bersifat terbatas yang
menyangkut cahaya, warna dan bentuk. Keindahan dalam arti pengertian inderawi
sebenarnya lebih luas daripada yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan, sebab beberapa
karya seni dapat pula dicerap oleh indera pendengaran, misalnya seni suara.
Keindahan dalam arti luas mengandung pengertian idea kebaikan, misalnya Plato
menyebut watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan
keindahan sebagai sesuatu yang baik dan juga menyenangkan.
Plotinus mengatakan tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang  indah.

2. Definisi
Definisi estetika itu beragam. Tiap-tiap filsuf mempunyai pendapat yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Tetapi pada prinsipnya, mereka sependapat bahwa estetika adalah
cabang ilmu filsafat yang membahas tentang keindahan/hal yang indah, yang terdapat dalam
alam dan seni. Definisi-definisi itu diantaranya:

a.      Definisi umum :
Estetika adalah cabang filsafat yang membahas mengenai keindahan/hal yang indah, yang
terdapat pada alam dan seni.
b.      Luis O. Kattoff:
Cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan dan peranan keindahan, khususnya di
dalam seni.

c.       Dictionary of Philosophy (dagobert D. Runes):


Cabang filsafat yang berhubungan dengan keindahan atau hal yang indah, khusunya dalam
seni serta citarasa dan ukuran-ukuran nilai baku dalam menilai seni.
d.      The Encyclopedia of Philosophy
Estetik adalah cabang Filsafat yang bertalian dengan penguraian pengertian-pengertian dan
pemecahan persoalan-persoalan yang timbul bilamana seseorang merenungkan tentang
benda-benda estetis. Pada gilirannya benda-benda estetis adalah semua benda yang tekena
oleh pengalaman estetis; dengan demikian hanyalah setelah pengemalan estetis dapat
secukupnya dinyarakan ciri-ciri bisalah seseorang menentukan batasnya golongan benda-
benda estetis tersebut.

e.       William Halverson
Cabang filsafat (axciology)yang bertalian dengan sifat dasa dari nilai-nilai non-moral
khususnya keindahan dan nilai-nilai lainya apapun yang mempunyai sangkutan istimewa
dengan seni.

f.       Van meter Ames (Collier's Encyclopedia)


Penelaahan tentang apa yang tersangkut dalam penciptaan, penghargaan dan kritik seni,
dalam ubungan seni dengan peranan yang berubah dari sei dalam suatu dunia pancaroba.
g.      Gerome Stolnitz (The Encyclopedia of Phylosophy)
Estetika dilukiskan sebagai penelaahan filsafati tentang keindahan dan kejelekan. Keindahan
mempunyai nilai estetis yang bersifat positif, sedangkan kejelekan mempunyai nilai estetis
yang bersifat negatif. Hal yang jelek bukan berarti tidak adanya unsur keindahan.

h.      The american Society for aestheties


Semua penelaahan menenai seni dan bermacam-macam pengalaman yang berhubungan
dengan itu dari suatu sudut pandang filsafati, ilmiah dan teoritis lainnya, termasuk dari
psikologi, sosiologi, anthropology, sejarah kebudayaan kritik seni dan pendidikan (The Liang
Gie,1976,16-31).
3.  Ruang Lingkup Filsafat keindahan dan Estetika
Ruang lingkup yang dibahas dengaan estetika meliputi:
1.      Persoalan tentang nilai estetis (estheic value)
2.      Pengalaman estetis ( esthetic experience)
3.      seni (art)
4.      seniman
Hal ini dipelajari secara historis, ilmiah, teoritis, informatif dan filosofis.

Secara historis artinya estetika dipelajari dari segi sejarahnya dan diharapkan dapat
memberikan informasi dan manfaat bagi keidupan manusia. Secara ilmiah artinya estetika
dipelajari diuji dan dikaji seperti halnya ilmu pengetahuan. Secara teoritis artinya dengan
menggunakan teori-teori atau dalil-dalil serta  pendapat-pendapat dari para filsuf atau
ilmuwan di dalam pembahasan estetika secara empiris dan ilmiah. Pendekatan studi secara
informatif yaitu dengan mendapatkan masukan atau informasi mengenai sesuatu hal ,baik
lewat media massa, ilmu pengetahuan, empiri maupun pendapat  masyarakat. Pendekatan
studi filosofis diharapkan mampu mencari dan menemukan esensi atau substansi dari
keindahan itu.

Persoalan tentang Nilai Estetis (nilai keindahan)


Dalam rangka teori umum tentang nilai, pengertian keindahan dianggap sebagai salah
satu jenis nilai seperti halnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai-nilai yang lain. Nilai yang
berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai
estetis.
Mengenai nilai, ada pendapat yang membedakan antara nilai subjektif dan nilai objektif.
Pembedaan lainnya ialah antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakat. Dilihat dari
segi  ragamnya nilai dibedakan menjadi nilai intrinsik, nilai instrumental,  nilai inheren dan
nilai kontributif.
Nilai estetis sebagai salah satu jenis nilai manusiawi (nilai religius,etis dan intelektual)
menurut The Liang Gie, tersusun dari sejumlah nilai yang dalam estetika dikenal dengan
kategori-kategori nilai estetis atau kategori-kategori nilai keindahan.Pada umumnya filsuf
membedakan adanya tiga pasang yaitu:
a. kategori-kategori yang agung dan yang elok
b. kategori-kategori yang indah dan yang jelek
c. kategorI-kategori yang komis dan yang tragis
Akhirnya Kaplan menambahkan kecabulan (obscennity) sebagai kategori nilai estetis
(The Liang Gie, 1978 : 169).

Kecabulan (obscennity) lebih condong pada pendekatan secara etik atau moral. Dalam
bidang seni dan keindahan, lebih tepat dengan istilah erotis.

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN ESTETIKA

            Sejarah perkembangan estetika didasarkan pada sejarah perkembangan estetika di


Barat yang dimulai dari filsafat Yunani Kuno. Hal ini dikarenakan estetika telah dibahas
secara terperinci berabad-abad lamanya dan dikembangkan dalam lingkungan Filsafat
Barat. Hal ini bukan berarti di Timur tidak ada pemikiran estetika.
            Secara garis besarnya, tingkatan/tahapan periodisasi estetika disusun dalam delapan
periode, yaitu:
1.Periode  Klasik (dogmatik)
2.Periode Skolastik
3.Periode Renaisance
4.Periode Aufklarung
5.Periode Idealis
6.Periode Romantik
7.Periode Positifistik
8.Periode Kontemporer

A. Periode Klasik (Dogmatik)


Dalam periode ini para folosof yang membahas estetika diantaranya adalah Socrates,
Plato dan Aristoteles. Dari ketiga filosof ini dapat dikatakan bahwa Socrates sebagai perintis,
Plato yang meletakkan dasar-dasar estetika dan Aristoteles yang meneruskan ajaran-ajaran
Plato.
Dalam periode ini ada beberapa ciri mengenai pandangan estetikanya, yaitu :
1. Bersifat metafisik
Keindahan adalah ide, identik dengan ide kebenaran dan ide kebaikan. Keindahan itu
mempunyai tingkatan kualitas, dan yang tertinggi adalah keindahan Tuhan.
2. Bersifat objektifistik
Setiap benda yang memiliki keindahan sesungguhnya berad dalam keindahan Tuhan. Alam
menjadi indah karena mengambil peranannya atau berpartisipasi dalam keindahan Tuhan.
3. Bersifat fungsional
Pandangan tentang seni dan keindahan haruslah berkaitan dengan kesusilaan (moral),
kesenangan, kebenaran dan keadilan.

        Socrates: 468-399SM
          Socrates sebagai seorang perintis yang meletakkan batu pertama bagi fundamen
estetika, sebelum ilmu itu diberi nama. Dia adalah anak dari seorang pemahat yang bernama
Sophromiscos dan ibunya bernama Phainarete adalah seorang bidan
          Jalan pikiran yang dipergunakan Socrates dalam mencari hakekat keindahan ialah
dengan menggunakan cara dialog. Socrates menamakan metodenya ”maeutika tehnic (seni
kebidanan)” yang berusaha menolong  mengeluarkan pengertian-pemgertian atau kebenaran.
Socrates mencoba mencari pengertian umum dengan jalan dioalog.
          Dalam dialog-dialognya Socrates membuka persoalan dengan mempertanyakan
sesuatu itu disebut indah dan sesuatu itu disebut buruk. Apakah sesuatu yang disebut indah
itu memiliki keindahan? Lantas apakah keindahan itu? Disini Socrates mencoba merumuskan
arti keindahan dari jawaban-jawaban lawan dialognya.
          Menurut Socrates, keindahan yang sejati itu ada di dalam jiwa (roch). Raga  hanya
merupakan pembungkus keindahan. Keindahan bukan merupakan sifat tertentu dari suatu
benda, tetapi sesuatu yang ada dibalik bendanya itu yang bersifat kejiwaan.

Plato: 427-347SM.
        Menurut Plato keindahan itu bertingkat., untuk mencapai keindahan yang tertinggi
(keindahan yang absolut) melalui fase-fase tertentu (Wajiz Anwar, 1980).
        Fase pertama, orang akan tertarik pada suatu benda/tubuh yang indah. Disini manusia
akan sadar bahwa kesenangan pada bentuk keindahan keragaan (indrawi) tidak dapat
memberikan kepuasan pada jiwa kita. Setelah  kita sadar bahwa keindahan dalam
benda/tubuh itu hanya pembungkus yang bersifat lahiriah, maka kita tidak lagi terpengaruh
oleh hal-hal yang lahiriah.            Manusia akan meningkatkan perhatiannya pada tingkah
laku hal yang dicintai, yaitu pada norma-norma kesusilaan (noma moral) secara konkrit. Hal
ini terlihat dalam tingkah laku dari orang/hal-hal yang kita cintai.
        Dalam fase kedua, maka kecintaan terhadap norma moral secara konkrit  ini
berkembang menjadi kecintaan akan norma moral secara absolut yang berupa ajaran-ajaran
tentang kesusilaan/bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku yang baik.
        Dalam fase ketiga, orang akan mengetahui jurang yang memisahkan antara moral dan
pengetahuan, dan orang akan berusaha untuk mencari keindahan dalam berbagai
pengetahuan. Orang Yunani dulu berbicara tentang buah pikiran yang indah dan adat
kebiasaan yang indah. Kalaui manusia sudah sampai pada fase yang ketiga ini maka akan
mengantarkan manusia pada fase  yang keempat yaitu keindahan yang mutlak/absulut.
        Disinilah orang berhasil melihat keindahan mutlak, yang sesungguhnya indah,
keindahan universal dan maha tingggi. Dan disinilah  segala sesuatu berasal dan kesitu pula
segala sesuatu harus kembali.

Seni
        Seni yang baik menurut Plato adalah seni musik.  Musik mempunyai peranan yang
penting dalam negara yaitu dapat mempengaruhi dalam bidang moral dan politik. Di bidang
moral, musik dapat memperhalus perasaan manusia (musik yang sentimentil) dan dapat juga
sebaliknya.
        Dibidang politik, musik dapat mengubah jiwa patriotik dan kecintaan terhadap tanah air.
Selain seni musik, maka retorik atau seni berpidato merupakan seni utilitary (seni dimana
segi kegunaanya diutamakan, bukan keindahan, kebenaran atau kebijaksanaanya) maka seni
ini lebih berguna bagi kaum politisi, yang bertujuan untuk menggalakkan orang lain dalam
mengikuti tujuan akhirnya. ”Selalu pergunakanlah retorik dengan keadilan” adalah suatu
anjuran yang akhirnya  Plato mengakui  untuk eksistensinya, yakni untuk kemungkunan-
kemungkinan didaktif. Problem hubungan antara seni dan pendidikan telah diungkapkan
dalam bukunya Republik, tetapi ketika timbul lagi dalam Laws, tidak ada lagi sugesti untuk
mengutuknya. Malah sebaliknya disini Plato secara tegas menguatkan keterangan hubungan
satu sama lainnya. Musik, tarian dan nyanyan koor sangat terpuji karena nilai pendidikannya,
dan tanpa banyak kesusahan lagi seni kini menjadi guru utama kehidupan. Pembalikan yang
sangat tajam konsep Plato ini disebabkan adanya hubungan harmonis antara seni dan
kehidupan, sebagai akibatnya dia membukakan pintu perhatian adanya kemampuan mendidik
pada retorik dan adanya sintesis dalam instruksi dan kesenangan, yang kemudian mewataki
teori paedagogik seni. Konsekueninya tentang konsepsi seni sebagai gabungan antara yang
baik, benar dan yang indah  (Abdul Kadir, 1974:10).

Seniman
        Di dalam bukunya ”Republik”, Plato mempunyai pendapat yang tidak begitu ramah
terhadap seniman. Negarawan mendapat tempat (penghargaan) yang lebih tinggi diantara
manusia-manusia pencipta atau seniman, karena mereka menimbang masyarakat berdasar ide
kebaikan, keadilan, kebenaran, dan keindahan. Seniman hanyalah meniru ide keindahan yang
ada di dunia ini yang merupakan penjelmaan dari keindahan absolut/illahi yang ada di dunia
idea. Seniman yang sejati adalah Demiurgus (Tuhan) yang menciptakan alam semesta
sebagai imitasi dari idea bentuk yang abadi. Diantara seniman-seniman yang ada, Plato
mempunyai pandangan positif terhadap sastrawan dan penyair.

Sastrawan
        Tulisan-tulisan Plato termasuk sastra Yunani Klasik yang ditulis dengan gaya bahasa
yang indah sekali. Dalam dialog yang berjudul ”Symposium” ia berpendapat bahwa suatu
uraian lisan yang memakai gaya bahasa yang indah disebabkan oleh karena pengaruh seorang
dewa,si pembicara itu sedang kemasukan roch seorang dewa.Disini Plato secara implisit
menyinggung teori ”partisipasi”,seorang sastrawan dapat menulis dan berdendang dengan
indah sekali karena ia ”ämbil bagian”dalam pandangan dan alam para dewa,ia seolah-olah
diangkat diluar dirinya sendiri(ekstasis),diatas awan,dialam idea-idea ,melihat keadaan yang
sebenarnya (Dick Hartoko,1983:31-32).

Penyair
        Syair-syair yang indah itu bukan karya manusia, tetapi adalah syair surgawi dan ciptaan
Tuhan.Parapenyair tersebut hanyalah merupakan penafsir Tuhan.Lewat teori
”partisipasi”maka seorang penyair yang rendah martabatnya dapat membawakan nyanyian-
nyanyian yang terindah.Para penyair memiliki ”kekuatan misterius”yang bersifat
Illahiah.Seniman tidak lagi mengimitasi ,tetapi sebaliknya ia memperoleh inspirasi yang
karenanya merupakan bagian dari Illahi(Abdul Kadir,1976:7).

Aristoteles: 384-322 SM.


        Keindahan dianggap sebagai suatu kekuatan yang memiliki berbagai unsur yang
membuat sesuatu hal yang indah.       Dalam bukunya Poetics, Aristoteles
mengatakan  ”untuk menjadi indah, suatu makhluk hidup dan setiap kebulatan yang terdiri
atas bagian-bagian harus tidak hanya menyajikan suatu ketertiban tertentu dalam
pengaturannya dari bagian-bagian, melainkan juga merupakan suatu besaran tertentu yang
pasti. Menurut Aristoteles unsur-unsur keindahan dalam alam maupun pada karya manusia
adalah suatu ketertiban dan suatu besaran/ukuran tertentu (The Liang Gie, 1996:41).

Seni
        Menurut Aristoteles, seni adalah kemampuan menciptakan sesuatu hal atas pikiran akal.
Seni adalah tiruan (imitasi) dari alam, tetapi imitasi yang membawa kepada kebaikan.
Walaupun seni itu tiruan dari alam seperti apa adanya, tetapi merupakan hasil kreasi (akal)
manusia. Seni harus dapat menciptakan bentuk keindahan yang sempurna, yang dapat
mengantarkan manusia menuju keindahan pada keindahan yang mutlak.

B.  Periode Skolastik
Dalam sejarah Filsafat Barat abad pertengahan adalah masa timbulnya filsafat baru. Hal
ini dikarenakan kefilsafatan itu dilakukan oleh bangsa Eropa Barat dengan para filosofnya
yang umumnya pemimpin gereja atau penganut Kristiani yang taat. Filsafat abad pertengahan
ini dikenal dengan sebutan Filsafat Skolastik.
Dalam abad pertengahan ini masalah theologia mendapat perhatian utama dari para
filosof.
Masalah estetika dikemukakan oleh Thomas Aquinas: 1225-1274.  Filsuf ini adalah
pengagum Aristoteles. Menurut Thomas Aquinas keindahan itu terdapat dalam 3 kondisi,
yaitu :
1.      Integrity or perfection  (keutuhan atau kesempurnaan)
2.      Proportion or harmony  (perimbangan atau keserasian)
3.      Brightness or clarity  (kecermelangan atau kejelasan)

Munurut Thomas Aquinas, hal-hal yang cacat (tidak utuh, tidak sempurna) adalah jelek,
sedangkan hal-hal yang berwarna cemerlang atau terang adalah indah. Tiga unsur keindahan
itu oleh para ahli modern disebut kesatuan, perimbangan dan kejelasan.

C.   Periode Renaissance
Kata Renaissance berarti kelahiran kembali, yaitu membagun kembali semangat
kehidupan klasik Yunani dan Romawi dalam bidang ilmu pengetahuan dan seni. Gerakan
pembaharuan ini dilakukan terutama oleh para humauis Italia yang dimulai kurang lebih abad
ke XIV. Gerakan ini hampir disegala bidang ilmu pengetahuan, kesenian dan filsafat. Tetapi
yang paling semarak gerakan ini adalah pada bidang seni.
Pada periode ini masalah seni menjadi titik perhatian. Uraian mengenaai estetika secara
luas ditulis oleh Massilimo Visimo, sedangkan penulis-penulis lainnya banyak mengulas
teori-teori seni. Leon Batista dan Albert Durer dalam bidang seni rupa,Giosefe Zarlino dan
Wincenzo Galilei dalam bidang musik,serta Lodovia Castelvetro dalam bidang puisi.

D.   Periode Aufklarung
Pencerahan merupakan gerakan lanjutan dari Renaissance. Dalam periode ini masih
terlihat pengaruh rationalisme Descartes dan Empirisme Bacon dalam pembahasan Estetika.
Baumgarten (Alexander Gotlieb Baumgarten), dia seorang filsuf Jerman yang hidup
tahun 1714-1762. dialah orang pertama yang memperkenalkan istilah ”estetika” sebagai ilmu
tentang seni dan keindahan.
Baumgarten membedakan pengetahuan itu menjadi 2 macam:
1. Pengetahuan intelektual (intellectual knowledge)
2. Pengetahuan indrawi (sension knowledge)
     (The liang Gie, 1980)
   
Pengetahuan intelektual itu disebut juga pengetahuan tegas, sedangkan pengetahuan
indrawi dianggap sebagai pengetahuan kabur. Estetika adalah ilmu tentang pengetahuan
indrawi yang tujuannya adalah keindahan. Tujuan daripada keindahan adalah untuk
menyenangkan dan menimbulkan keinginan. Manifestasi keindahan tertinggi tercermin pada
alam, maka tujuan utama dari seni adalah mencontoh alam.
Pengaruh Empirisme Bacon nampak dalam hal imajinasi rasa estetis atau cita rasa. Hal
ini terlihat dalam pendapat Edmund Burke dan Lord Kaimes. Menurut Edmud Burke (1729-
1798) masalah selera itu tidak dapat dijadikan hakim dalam keindahan (Wajiz Anwar,
1980). Sedangkan Lord Kaimes dalam karyanya Elements of Criticism yang terbit pada tahun
1961 sependapat dengan Burke. Keindahan adalah sesuatu yang dapat menyenangkan selera.
Dia mengemukakan suatu titik tolak baru, bahwa pengalaman mengenai suatu emosi
walaupun sangat pedih  seperti emosi takut atau kesengsaraan adalah menyenangkan. Emosi
yang menyedihkan adalah menyenangkan bila direnungkan. Perang, bencana alam
adalah  menyedihkan, tetapi menyenangkan bila kita melihatnya dipanggung sandiwara atau
dalam seni film. Kejadian yang paling dahsyat dan mengerikan justru paling mengesankan
dan menggembirakan bila diingat. Keindahahan ialah menyenangkan. Oleh karena itu
keindahan ditentukan oleh selera semata-mata.

E.   Periode Idealis
Sejalan dengan perkembangan filsafat, idealisme  mempengaruhi pendangan estetika di
Jerman. Immanuel Kant merupakan filsuf pertama yang mengemukakan teori estetika dari
pandangan objektif. Maka penyelidikan estetika berubah, dari penelaahan ontologis beralih
ke bidang ilmu jiwa, yang sebelumnya telah dirintis oleh rationalime dan empirisme.
Filsuf-filsuf yang termasuk dalam peroide ini diantraanya adalah: Immanuel kant,
Schiler, Scheling dan Hegel.

1.  Immanuel Kant:1724-1804
Estetika Kant berdasarkan pada ajaran bahwa manusia itu mempunyai pengetahuan
tentang ”nature di luar dirinya” dan ”dirinya di dalam nature” (Abdul Kadir, 1975).
Pada ”nature di luar dirinya”, manusia mencari kebenaran dan pada “dirinya di dalam
nature”, manusia mencari kebaikan yang pertama. Kebaikan yang pertama
ini  merupakan “pure reason” dan kebaikan yang kedua merupakan “practical reason” (free
will). Disamping itu, masih ada lagi yaitu kemampuan untuk memberi keputusan (judgement)
ialah yang membentuk putusan tanpa pamrih dan menghasilkan kenikmatan tanpa keinginan.
Keindahan dalam seni mempunyai hubungan erat dengan kemampuan manusia dalam menilai
karya seni yang bersangkutan. Kemampuan ini disebutnya dengan istilah “cita rasa” (taste).
Immanuel Kant membedakan adanya dua macam keindahan, yaitu keindahan bebas
(pulchritudevoga) dan keindahan bersyarat yang semata-mata tergantung (pulchritudo
adhaerens). (Abdul Kadir, 1974:37). Keindahan bebas tidak mempunyai konsep preposisi
tentang bagaimana seharusnya benda itu. Contoh bunga sebagai keindahan natural ada
perbedaan dalam penilaian tentang selera terhadap bunga itu, bagi botani dan yang bukan
botani. Disamping bunga, ia juga menunjukkan barang-barang sebagai contoh (burung betet,
burung cendrawasih, humming bird) dan keong-keong laut.
Keindahan yang semata-mata tergantung (pulchritudo adhaerens) membutuhkan konsep
demikian serta penyempurnaan benda itu sesuai dengan konsepnya (keindahan bersyarat),
yang tergantung pada konsep-konsep yang berasal juga dari sebuah konsep yang mempunyai
tujuan tertentu.
Dari keindahan natural ia melangkah ke keindahan artistik dengan memberikan contoh
hiasan-hiasan tepi atau kertas hiasan dinding dan fantasi-fantasi musik (Abdul Kadir,
197:38).
Hubungan antara keindahan natural dan keindahan artistik ternyata mengalami
kontradiksi-kontradiksi. Immanuel Kant memandang artis (seniman) sebagai seorang yang
dilengkapi dengan imajinasi yang juga merupakan pusat produksi ilmu pengetahuan, seperti
halnya “talent” (bakat natural) yang mempengaruhi (memperkarsai hukum-hukum seni.
Karena talent   yang merupakan pusat produksi seorang artis yang dibawanya sejak lahir itu
sendiri sebagai bagian dari nature. Menurut Immanuel Kant genius adalah talent, genius
adalah disposisi mental yang memang ada sejak lahir (ingenium) dan melaluinyalah alam
(nature) memberikan hukum-hukum seni. Bagi Immanuel Kant, genius seorang artis tidak
dapat sejajar dengan selera murni dan karenanya merupakan preposisi sebuah konsep yang
pasti tentang karyanya sejauh karya itu mempunyai tujuan (Abdul Kadir, 1974:40).
Berdasarkan teorinya tentang keindahan bebas, Immanuel Kant dapat dianggap sebagai
perintis seniman anti-konsep yang sekarang termasuk aliran abstrak. Immanuel Kant
berusaha unutk mengkoeksistensikan antara keindahan natural dengan keindahan bersyarat
dan mensejajarkan dari bentuk nyata tentang keindahan dan seni, ternyata hasilnya sampai
pada keraguan yang  gersang. Immanuel Kant memaksakan pertentangan antra keindahan
bersyarat dengan keindahan bebas. Konsekuensi dualisme ini ialah dalam menilai keindahan
yang murni, maka penilaian terhadap selera juga murni, sedangkan sebuah penilaian tentang
selera yang terkait pada sebuah obyek ,yang mempunyai tujuan inti tertentu.
Analisa tentang penilaian estetis dibagi menjadi 2, yaitu: analisa tentang keindahan
analisa tentang kengungan
Pada analisa tentang keindahan, pandangan Immanuel Kant memaparkannya dalam 4
pertimbangan yaitu: berdasarkan pada segi kualitas, kuantitas, hubungan dan modalitas.
a. Pertimbangan dari segi kualitas
    Keindahan ialah kesenangan total yang terjadi tanpa konsep.
b. Pertimbangan dari segi kuantitas
Keindahan berwujud tanpa konsep, sebagai objek dari pemuasan hidup yang
mendesak.Keindahan merupakan suatu  kesenangan yang menyeluruh.
c. Pertimbangan dari segi hubungan
Putusan selera bersandar pada prinsip-prinsip dasar yang bebas dari daya tarik dan emosi
serta bebas dari konsep kesempurnaan.Hal ini berarti bahwa keindahan ialah konsep tentang
adanya tujuan pada objek, tetapi tujuan itu tidak terwujud dengan tegas.
d. Pertimbangan dari segi modalitas
Putusan selera menurut kesenangan yang timbul dari objek tertentu.Kesenangan merupakan
keharusan subjektip,tetapi berwujud dalam bentuk objektip ketika dicerap oleh indera
manusia.Keindahan ialah apa yang diakui sebagai objek pemuasan darurat yang tidak
berkonsep (Wadjiz Anwar,1980:23).

Analisanya tentang keagungan terdapat adanya perbedaan antara keindahan dan


keagungan. Keindahan termasuk putusan selera sedangkan keagungan mempunyai akar di
dalam kecerdasan (geistesgefuehl). Keindahan selamanya bertalian dengan bentuk (forma),
sedangkan keagungan ada kalanya bergantung kepada forma dan non forma yang
menyangkut tidak adanya forma dan cacat.Kant membedakan antara dua bentuk
keagungan,bentuk matematis yang statis dan bentuk dinamis(Wadjiz Anwar,1980:23).

Pengalaman Estetik.
Bagi Immanuel Kant alam merupakan sumber utama bagi pengalaman estetik(Dick
Hartoko,1983,12-13).Immanuel Kant membedakan putusan estetik dari putusan cognitif
semata-mata disatu pihak dan putusan moral dilain pihak.Pengalaman estetik itu tidak
hanya  ingin tahu (bersifat cognitif), tetapi mengikut sertakan daya-daya lain dalam diri
kita,seperti misalnya kemauan, daya penilaian emosi,bahkan seluruh diri kita (Dick
Hartoko:1911,8).
Dalam hal mempertahankan pengalaman estetik berbeda dengan pengalaman
moral.Dalam keyakinan moral, kalau kita yakin bahwa suatu perbuatan jahat,maka kita
sanggup mempertaruhkan nyawa kita, lebih baik mati dari pada berbuat serong.Dalam
pengalaman estetik walaupun menyangkut seluruh diri kita, namun untuk mempertahankan
suatu penilaian estetik kita tidak sanggup mempertahankan nyawa kita. (Dick
Hartoko;1911;8).

2. Hegel ; 1770-1831.
Menurut Hegel, seluruh bidang keindahan merupakan suatu moment (unsur dialektis)
dalam perkembangan roh (Geist, spirit) menuju kesempurnaan. Hal itu dapat ditemukan
dalam pengalaman manusia. Kedudukannya diambang antara yang jasmani dan yang rohani
(materi menuju roh, roh menjelma dalam materi tepat pada saat peralihan yang bermuka
ganda itu dialami) dan bukan itu saja, karena sekaligus merupakan moment atau saat
kebenaran (pengertian) dan kebaikan (penghendakan) bersentuhan satu sama lain (maka tidak
wajar masalah ”arti” atau ”nilai etis” dikemukakan dalam konteks kesenian). Moment itu
tidak pernah dialami atau dapat ditunjukkan dalam bentuk yang ”sempurna”, hanya dalam
bentuk ”penyimpangan-penyimpangan yang indah” dari moment keseimbangan penyentuhan
atau peralihan itu. Dengan demikian muncullah kategori-kategori estetis, seperti ”yang
sublim (roh 'menang' atas materi)”, ”yang lucu” atau ”yang humor” (arti 'menang' atas nilai),
”yang jelita” atau ”gracious” (nilai 'mengalahkan' arti), tentu saja semua itu dalam batas
keindahan itu sendiri, malahan yang sublim mempunyai unsur tragisnya dan sebaliknya, yang
lucu dan yang jelita, yang pertama dilihat juga sebagai yang mewakili kepriaan, yang kedua
kewanitaan (Mudji sutrisno, 1993:48).
Karya seni merupakan bidang dimana keindahan mempunyai manifestasi yang khusus.
Karya seni menunjukkan kemampuan manusia menangkap keindahan alam dan merupakan
kesaksian tersempurna mengenai fakta bahwa manusia mengintuisi keindahan, karena kalau
manusia secara khusus mempunyai intuisi yang tidak mati mengenai keindahan, ia
mengungkapkannya dalam karya seni. Kelebihan seniman bahwa ia mempunyai kemampuan
mengungkapkan, karena ia terlibat lebih banyak dari pada yang kita lihat (Lorens Bagus,
1991:117).
Bagi Hegel, seniman adalah jenius, selain yang bersangkutan memiliki bakat alami,
maka bakat itu harus direnungi dan dikembangkan lewat kerja praktek dan penguasaan
keterampilan menampilkan sesuatu. Jika genius harus dapat menampilkan sesuatu yang
original, maka artinya sama saja dengan menampilkan yang obyektif. Agar bisa original dan
obyektif, maka yang bersangkutan harus memiliki kebebasan dalam mencipta. Kebebasan itu
ditunjukkan oleh kamampunanya mengobyektifikasi imajinasinya lewat medium dan teknik
yang serasi, yang akan membawanya kepada tujuan yang ingin dicapai. Mencipta karya seni
dan menghayatinya dalam medium seperti itu boleh dilihat sebagai upaya agar tidak terjadi
”pengendapan” perasaan. Yang inderawi itu harus menjadi wadah obyektifikasi roh. Seni
mengacu kepada perasaan, disamping kepada imajinasi (Humar Sahman, 1993:189-190).
Kebenaran dan keindahan menurut Hegel adalah satu dan dari hal yang sama. Bedanya
hanya terletak pada kebenaran adalah idea itu sendiri dan adanya ada dan pada idea itu
sendiri dan dapat difikirkan. Manifestasinya keluar, tidak hanya  kebenaaran saja, tetapi juga
keindahan.     
Bagi Hegel keindahan adalah sesuatu yang transedental.Dia membedakan

F. Periode Romantik
Aliran romantik merupakan reaksi terhadap rasionalisme yang mendewakan rasio. Kini
perasaan menjadi dominan. Kalai sebelumnya sang seniman tunduk pada kaidah-kaidah yang
ketat, kini sang seniman berdaulat dengan merdeka, asal meluapkan secara spontan dan
otomatis emosi-emosinya.
Aliran inidirintis oleh J.J Rousseau yang hidup pada pertengahan abad ke-XVIII.
Rousseau bertitik tolak pada suatu pandangan dasar, yaitu bahwa alam murni itu baik dan
ndah sehingga segala sesuatu yang dekat pada alam murni juga baik dan indah (Dick
Hartoko, 1984)
Dalam hal seni Roesseau berpendapat bahwa bakat alam hendaknya dikembangjan
secara bebas, jangan sampai datur oleh macam-macam teori dan guru. Asal, emosi yang
spontan diluapkan maka hasilnya pasti indah.
Pada tingkat awal, gerakan romantik berada pada pemikiran Schellingdan bentuk-bentuk
baru kesusastraan baru di Jerman dan Inggris pada tahun 1890-1891. Ada 4 hal yang menjadi
pusat perhatian dari penulis-penulis estetika pada periode ini adalah: ekspresi, imajinasi,
organisasi dan simbolisasi.
Salah seorang filsuf besar pada periode ini adalah Arthur Schopenhauer dan Nietzche.
Menurut  Schopenhauer, hakekat yang terdalam dari kenyataan adalah kehendak (karsa).
Dalam diri manusia,  kehendak yang bersifat itu tidak dapat dipuaskan. Sebagai akibatnya
manusia mengalami kesengsaraan. Untuk mengatasi keadaan itu, tersedia dua jalan yaitu
jalan etis dan estetis. Jalan etis yaitu dengan berbuat dan bertingkah laku baik sedangkan
jalan estetis, dengan menikmati kesenian khusususnya musik. Tetapi musik hanya dapat
dinikmati dan melupakan kesengsaraan yang sementara.
Jika kehendak itu memilukan atau kehendak untuk hidup itu menyedihkan, maka seni
adalah hiburan yang terbaik dan merupakan tempat istirahat yang terjamin. Disatu pihaj, seni
membangkitkan kekuatan dan menghilangkan rasa lelah, tetapi dipihak lain ia juga
mendatangkan semangat keindahan yang menghapuskan krisis-krisis dalam hidup.

G. Periode Positifistik.
Dalam periode ini estetika dipelajari secara empiris dan ilmiah yang berdasarkan
pengalaman-pengalaman riil yang nyata dalam kehudupan sehari-hari. Estetika dibahas dalam
hubungannya dengan ilmu lain,misalnya psikilogi dan matematika.Para filsuf yang
membahas estetika diantaranya Fehner,George Birkhof, A.Moles dan Edward Bullough      .   

1. Gustaf T.Fecner (1801-1887 ) 


Dia berpendapat bahwa estetika yang dikembangkan oleh para filsuf sebelumnya sebagai
estetika ''dari atas'' (The Liang Gie,1976). Fechner berpendapat bahwa sebaiknya estetik itu
dihampiri ''dari bawah'' dengan mempergunakan pengamatan secara empiris dan percobaan
secara laboratorium terhadap sesuatu hal yang nyata.Metode yang dipakainya adalah metode
Experimentil.Tujuan yang ingin dicapai adalah berusaha untuk menemukan kaidah-kaidah
/dalil-dalil mengapa orang lebih menyukai sesuatu hal yang indah tertentu, dan kurang
menyukai yang lain.

2.A.Moles 
Percobaan-percobaanng dilakukan menunjukkan bahwa proses-proses dalam otak
manusia dipengaruhi oleh sifat-sifat struktural dari pola-pola perangsang seperti misalnya
:sesuatu yang baru, sesuatu yang rumit dan sesuatu yang mengagetkan. Sifat-sifat yang
merangsang ini dapat dipandang sebagai unsur-unsur penyusun dari bentuk atau struktur seni.

3.Edward Bullough
Dia menerapkan psikologi introspeksi dan teori sikap dengan melakukan penyelidikan
terhadap apa yang dinamakan kesadaran estetis (aesthetic consciousness)(The Liang
Gie,1976).Psikoanalisa dengan teori-teorinya memberikan penjelasan bahwa karya seni
sebagai mana halnya dengan impian dan mitologi merupakan perwujudan dari keinginan
manusia yang paling dalam.Keinginan ini memperoleh kepuasan lebih besar dalam bentuk
seni dari pada dalam realitas kehidupan biasa.Penggunaan hasil-hasil dari ilmu jiwa anak
(child psychology) dianggap dapat memberikan keterangan-keterangan yang memadai
mengenai pertumbuhan dorongan batin dalam mencipta seni.Dorongan batin ini mencakup
semua dinamika kejiwaan yang tidak bersifat intelektualistis, misalnya hasrat untuk meniru,
kecenderungan untuk memamerkan, kesediaan untuk menyenangkan pihak lain, keinginan
bermain-main, pemanfaatan energi yang berlebihan dan peluapan perasaan yang ada
dalam   diri setiap orang.Dalam periode  positifistis ini, walaupun pembahasan estetika sudah
bersifat ilmiah, tetapi bukan berarti bahwa pendekatan secara filsafati sudah tidak
dipergunakan lagi.

H.  Periode Kontemporer.
Dalam periode ini, muncul sejumlah pandangan estetika dalam waktu yang relatif
bersamaandan sampai kini masih banyak pengikutnya.Pandangan estetika yang banyak ini
(multi isme), tumbuh pada awal abad ke 19 dan menjadi lebih semarak lagi pada abad ke 20.
berikut ini tujuh pandangan yang menonjol dalam periode ini.
1.   Seni untuk seni (lárt pour l'art)
Semboyan  L'art pour L'art yang termashur ini pertama kali dipergunakan oleh
seorang filosof Victor Cousin (1792-1867). Pandangan ini menganggap bahwa seni
merupakan deklarasi artistik yang independen sebagai suatu tanggung jawab professional.
Seniman ditempatkan sebagai suatu pribadi yang bebas dan terpisah dari kepentingan
masyarakat. Tujuan seni hanya untuk seni, tidak mengabdi kepada kepentingan politik,
ekonomi, sosial dan agama. Pandangan ini merupakan suatu reaksi terhadap kondisi pada
waktu itu untuk mengembalikan kemurnian status seni.
      
       2. Realisme
Realisme menganggap bahwa karya seni harus  menampilkan kenyataan yang
sesungguhnya, seperti sebuah gambar reproduksi (seperti photo). Salah seorang tokoh dari
pandangan ini ialah Nicolay C. Chernyshevski dengan karyanya The Aestheics Relation or
Art to Reality (1865).

3. Sosialisme (Tanggungjawab sosial)


Suatu pandangan yang sangat bertentangan dengan pandangan seni untuk seni, bahwa
seni merupakan kekuatan sosial dan refleksi dari kenyataan sosial. Seniman adalah bagian
dari masyarakat dan mempunyai tanggungjawab sosial.

Estetikus terbesar yang termasuk dalam pandangan ini ialah Nikkolayevitch Tolstoy (1982-
1910). Di dalam karyanya yang terkenal what is art (1898) Tolstoy mengulas persoalan seni
dan keindahn secara lebih luas. Menurut Tolstoy, dalam arti subyektif, apa yang dinamakan
keindahan adalah apa yang memberikan kita suatu kenikmatan atau kesenangan. Sedangkan
dalam arti obyektif, keindahan adalah sesuatu yang absolut dan sempurna, karena kita
menerima manifestasi dari kesempurnaan tersebut . Bagi Tolstoy seni yang ialah seni yang
dapat memindahakna perasaan arus hidup manusia scara sama dan seirama. Nilai-nilai agama
dianjurkan dalam ekspresi seni, kaena persepsi keagamaan tidak lain adalah gejala pertama
dari manusia dengan dunia sekitarnya. Tolstoy telah membahas estetika dari sudut
kekristenan yang penuh kritik terhadap kepincangan sosial, negara, gereja dan kebodohan
kaum bangsawan (Hassan Sadily;1984).
4. Ekspresionisme
Estetikus Benedetto Croce (1866-1952) telah meninggalkan pengaruh besar pada abad
ke 20 ini. Pandangannya ditulis dalam bukunya Aesthetics as Science of Expression and
Generale Linguistic (1902).
Menurut Groce, Estetika  ilmu tentang image atau sebagai pengetahuan intuitif dan
bersifat objektif. Bagi Crocekeindahan tergantung pada keinginan imajinasi, yaitu
kemampuan seseorang untuk memahami serta mengalami hasil kegiatan intuisi dalam
bentuknya yang murni.Croce termasuk penganut “seni untuk seni”. Seni tidak benar kalau
dicampuri oleh berbagai kepentingan,misalnya ilmu pengetahuan,hiburan ataupun moral.

5. Naturalisme
Pandangan estetika naturalisme para filosof Amerika lebih menekankan pada
ketenangan hidup untuk kelangsungan budaya manusia.
Salah satu tokohnya George Santayana. Dia berpendapat bahwa nilai keindahan
terletak pada hasrat alami untuk mengalami keselarasan sosial dan untuk merenungkan
keindahan menciptakan moralitas, seni, puisi dan agama, yang ada dalam imajinasi dan
berusaha untuk mewujudkan secara konkret dengan tindakan, kombinasi dari esensi-esensi
dan semata-mata ideal. Estetika berhubungan dengan penceraapan nilai-nilai. Keindahan
sebagai nilai intristik dan diobjektifkan, artinya sebagai kualitas yang ada pada suatu benda.

6. Marxisme
Marxisme telah memberikan pengaruh kepada para estetikus terutama di negara-
negara sosialis dan komunis. Prinsip dasar estetikanya ialah seni dan semua kegitan manusia
yang  tertinggi merupakan budaya "super struktur" yang ditetapkan oleh kondisi sejarah
masyarakat, terutama kondisi ekonomi.
Estetika Rusia Georgi V. Plekaniv dalam bukunya Art and Social Live  (1912),
mengembangkan estetika materialisme dialektika dan menyerang doktrin “seni untuk seni”
yang telah berkembang di Eropa.

7. Eksistensialisme
Pandangan mengenai kekuatan otonomi sebagai kualitas obyektif yang ada dalam
dirinya sendiri telah dicetuskan oleh para filosof Eksistensialisme.
J.P. Satre membedakan antara obyek estetik dengan benda-benda lainnya di dunia.
Perbedaannya terletak pada "ekspresi dunia", bahwa setiap benda estetis secara personal
adalah "ada dalam dirinya sendiri" (pour soi). Dalam hal ini Satre telah memberikan jalan
untuk adanya suatu konsep tentang "kebenaran otentik" dari eksistensi seni.

BAB III
NILAI ESTETIK

A.  Pengertian Nilai Estetik


Dalam rangka teori umum tentang nilai, pengertian keindahan dianggap sebagai salah
satu jenis nlai seperti halnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai-nilai yang lain. Nilai yang
berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai
estetis.
Pada prinsipnya masalah estetika selalu bertumpu pada dua hal, yaitu keindahan dan
seni,tetapi dari kedua hal tersebut berkaitan dengan masalah nilai, pengalaman estetis dan
pencipta seni (seniman). Keindahan dan seni merupakan dua hal yang saling berhubungan.
Salah satu bentuk perwujudan keindahan adalah dalam bentuk karya seni.
Bagaimana hubungan keindahan dengan seni, telah dijawab oleh para filsuf sepanjang
zaman. Beberapa ahli berpendapat bahwa seni dan keindahan tidak terpisahkan. Sedangkan
yang lainnya berpendapat seni tidak selalu harus indah atau bertujuan untuk keindahan.
Pendapat bahwa seni tidak terpisahkan dengan keindahan terutama oleh Baumgarten sebagai
pelopor ilmu estetika. Menurut Baumgarten, tujuan dari keindahan untuk menyenangkan dan
menimbulkan keinginan. Manifestasi keindahan tertinggi tercermin pada alam, maka tujuan
seni adalah keindahan dan mencontoh alam.
Para ahli seni yang berpendapat, bahwa seni tidak selalu indah menunjuk karya-karya
seni kontemporer dewasa ini (lukisan dan patung) menampilkan gambar-gambar kotor
bahkan menjijikkan dan menunjuk pula pada karya manusia purba yang menampilkan wujud
yang kadangkala menyeramkan. Mereka berpendapat bahwa seni bukan produk keindahan,
tetapi produk problem seniman.
Seni memang bukan produk keindahan, tetapi keindahan itu merupakan suatu idealisasi
yang sebaiknya melekat pada media seni itu.Keindahan bukan hanya kesenangan inderawi,
tetapi juga terletak di dalam hati.

 B.  Aliran dalam Filsafat Nilai


Ada beberapa aliran dalam filsafat nilai, yaitu : 
1. Aliran objektifisme, mengatakan bahwa nilai itu terletak pada objek itu sendiri, sama sekali
lepas atau tidak tergantung dari keinginan subjek atau kesukaan manusia. Nilai itu sudah ada
sebelum orang itu menilai. Jadi nilai itu adanya absolut.  (Parmono, 1991:9). Salah seorang
tokoh dari aliran ini adalah Plato, yang mengatakan bahwa nilai merupakan dunia yang tetap
dan ternyata, nilai berada di dalam dunia konsep, dunia ide. Sedangkan Prof. E.C Spoulding
mengatakan bahwa : nilai-nilai adalah "subsistens" yang berexistensi dalam ruang dan waktu,
karena subsisten nilai-nilai itu bebas dari keinginan dan kesukaan manusia (Parmono,
1991:10).

2. Aliran subjektifisme, mengatakan bahwa nilai sama sekali tergantung atau ditentukan oleh
subjek. Edmund Burke mengatakan bahwa keindahan ditentukan oleh selera. Suatu objek
baru bernilai apabila diinginkan atau didambakan oleh subjek. Subjeklah yang memasukkan
nilai ke dalam objek, sehingga objek itu bernilai (Parmono, 1991:10).
                 Dengan kedua aliran yang mempunyai sudut pandang yang berbeda, dimana
objektifisme mendasarkan pandangan pada objek yang berdiri sendiri, terlepas dari pengaruh
subjek, sedangkan subjektifisme memfokuskan pada peranan dan pengaruh subjek semata.

3. Oleh karena setiap aliran mempunyai kelemahan, maka lahirlah aliran ketiga yaitu
aliran yang berprinsip menyatakan bahwa nilai itu tidak semata-mata terletak pada objek dan
juga tidak terletak pada subjek, artinya hanya kepunyaan dunia batin. Salah seorang tokoh
aliran ini,  George Santayana mengatakan keindahan tidak hanya mempunyai nilai, tetapi
juga dinikmati oleh yang melihatnya. Nilai itu merupakan hasil interaksi antara subjek dan
objeknya.

4. Aliran Pragmatisme, Sesuatu itu bernilai apabila dapat memberikan manfaat atau


kegunaan, misalnya lembu. Bagi seorang petani lembu mempunyai fungsi sebagai teman
bekerja mengerjakan sawah dan ladangnya. Bagi seorang pedagang, lembu merupakan aset
dalam bidang ekonomi. Dan bagi umat beragama Hindhu, lembu menjadi binatang kendaraan
dewa Wisnu yang dikeramatkan.

5. Aliran Esensi,
 sesuatu dikatakan bernilai indah, misalnya  karena hanya itu sendiri. Bunga mawar itu indah
karena memang di dalam bendanya itu sendiri mmpunyai sifat indah.

C. Jenis dan Ragam Nilai


The Liang Gie membedakan empat macam jenis nilai, yaitu : 
1.  kekudusan (holiness)
yaitu kebaikan yang sekaligus merupakan kebenaran. Maksudnya yang memiliki
kepercayaan maka sesuatu yang dianggap kudus atau suci pastilah merupakan suatu kebaikan
yang dikejar dan sekaligus diyakini sebagai kebenaran.

2.  Kebaikan (goodness)
yaitu kekudusan yang sekaligus merupakan keindahan. Maksudnya kebaikan biasanya
merupakan sesuau hal yang dianggap luhur atau kudus dan sekaligus dirasakan sebagai hal
yang indah, sehingga perlu diulang-ulang melakukannya untuk memperbesar atau
melangsungkan terus perasaan senang yang diperoleh.

3.  Kebenaran (thruth)
yaitu keindahan yang sekaligus merupakan kekudusan. Maksudnya kebenaran
merupakan sesuatu hal yang menyenangkan karena indah dan dengan kekudusan sebagai
keberhargaan yang universal dan patut dimiliki terus-menerus.

4.  Keindahan (beauty)
yaitu kebenaran yang sekaligus merupakan kebaikan. Maksudnya sesuatu yang betul-
betul indah merupakan suatu kebenaran bagi yang dapat menikmati dan sekaligus juga
sesuatu hal yang baik sehingga ingin dinikmati terus (The Liang Gie, 1976:162).

Dari empat jenis nilai yang diuraikan di atas, masing-masing mewujudkan menjadi :
a.  kekudusan menjadi nilai religius
b.  Kebaikan menjadi nilai etis
c.  Kebenaran menjadi nilai intelektual
d.  Keindahan menjadi nilai estetis
Dari jenis-jenis nilai tersebut, ternyata nilai mempunyai ragam nilai yang menurut The
Liang Gie dalam bukunya Dari Administrasi ke Filsafat dapat diklasifikasikan menjadi : 
1.  Nilai Instrumental
Yaitu nilai yang berfungsi sebagai suasana atau alat untuk mencapai sesuatu hal lain,
termasuk sesuatu nilai apapun yang lain. Ragam nilai ini pada umumnya terdapat pada benda.
2.  Nilai Inheren
Yaitu nilai yang umumnya hanya melekat pada benda yang mampu secara langsung dan
sekaligus menimbulkan sesuatu pengalaman yang berharga atau baik, seperti kepuasan.

3.  Nilai Kontributif
Yaitu nilai dari sesuatu hal atau pengalaman sebagai bagian dari keseluruhan menyumbang
pada keberhargaan dari  keseluruhan itu.
4.  Nilai Intrinsik
Yaitu nilai dari suatu pengalaman yang bersifat baik atau patut dimiliki sebagai tujuan
tersendiri dan untuk pengalaman itu sendiri (The Liang gie, 1978:170).

D. Katagori Nilai Estetik


Nilai estetis sebagai salah satu jenis nilai manusiawi (nilai religius, nilai etis, nilai
intelektual) menurut The Liang Gie, tersusun dari sejumlah nilai yang dalam estetika dikenal
sebagai kategori-kategori keindahan atau kategori-kategori estetis. Pada umumnya filsuf
membedakan adanya tiga pasang, yaitu :  
1. Kategori yang agung dan yang elok
2.  Kategori yang komis dan yang tragis
3.  Kategori yang indah dan yang jelek
akhirnya Kaplan menambahkan kecabulan (obscenity) sebagai suatu kategori estetis.  (The
Liang Gie, 1978:169).

Ahli estetika Jerman dari abad ke-19 Adolf Zeising mengemukakan pensistematisan
kategori-kategori keindahan menjadi 6 ragam yang disusun menurut lingkaran warna primer
dan sekunder sebagai berikut : 
1.  Merah                           :  murni indah
2.  Charming Orange         :  menarik 
3.  Comic (komis)             :  kuning
4.  Humoris                      :  hijau 
5.  Tragis                           :  biru (tragis)
6.  Ungu sublime               :  (agung)
Menurut Zeising kategori yang murni indah bersifat menyenangkan atau menimbulkan
perasaan senang pada orang. Kategoti yang menarik membangkitkan antara lain kekaguman.
Kategori yang komis dapat menggelikan hati orang. Kategori yang humoristis dapat
menimbulkan rasa terhibur atau lucu. Kategori yang tragis mengakibatkan perasaan yang
sedih, sedang kategori yang agung membuat orang sangat terkesan karena kemegahan atau
kedahsyatan.
Kategori yang agung baru disebut-sebut oleh para ahli keindahan dalam abad ke-18.
Berlainan dengan kategori yang murni indah, kategori yang agung diakui membangkitkan
pada orang yang mengamatinya suatu perasaan takjub karena sifat-sifatnya yang impressive,
majestic, glorius (keren mengesankan, megah hebat, meriah gemilang), dan bahkan kadang-
kadang dahsyat. Kebanyakan ahli estetika berpendapat bahwa kategori yang agung dan
kategori yang indah dapat ada secara bersamaan. Tetapi tokoh pemikir Inggris, Edmund
Burke (172-1797) menyatakan bahwa kedua kategori itu saling menyisihkan dan berlawanan.

Teori-teori humor
Kategori yang komis dan kategori yang humoris membangkitkan pada orang perasaan
yang menggelikan, yang membuat tertawa, yang menghibur dan yang lucu. Khusus pada
kategori yang humoris selain membuat orang tertawa atau tersenyum, juga dapat dijadikan
sarana untuk secara halus atau secara tak langsung menyindir, mengejek, menghantam, dan
melakukan pembalasan kepada pihak lain kawan atau lawan.
Lelucon yang humoris kini banyak diciptakan orang dalam masyarakat sebagai sarana
untuk mencapai suatu tujuan atau menyampaikan suatu maksud. Dengan demikian lahirlah
berbagai humor. Istilah humor menurut Martin Eshleman dewasa ini dipakai secara luas
untuk menunjuk pada setiap hal yang merangsang kecenderungan orang pada tertawa yang
lucu (everything that appelas to man's disposition toward comic laughter). Para ahli estetika
kini telah mengembangkan berbagai teori humor untuk menunjukkan dan menerangkan apa
sesungguhnya yang terdapat pada sesuatu hal yang membangkitkan gelak tertawa lucu pada
orang-orang. Dalam garis besarnya berbagai teori humor itu dapat digolongkan menjadi tiga
macam : 
1.  Teori Keunggulan  (Superiority theory)
2.  Teori ketaksesuaian (Incongruity theory)
3.  Teori pembebasan (Relief theory)
1).    Teori keunggulan menekankan bahwa inti humor ialah rasa lebih baik, lebih tinggi, atau
lebih sempurna pada seseorang dalam menghadapi sesuatu keadaan yang mengandung
kekurangan atau kelemahan. Menurut teori ini, seseorang akan tertawa bilamana mendadak
memperoleh perasaan unggul karena dihadapkan pada pihak lain yang melakukan kekeliruan
atau mengalami hal tak menguntungkan. Teori ini dapat dipakai untuk menerangkan mengapa
para penonton tertawa terbahak-bahak melihat badut sirkus yang terbentur tiang, jatuh
tersandung, melakukan aneka kekeliruan, atau perilakunya menunjukkan berbagai ketololan.

2).    Teori ketaksesuaian menjelaskan bahwa humor timbul karena perubahan yang sekonyong-
konyong dari sesuatu situssi yang sangat diharapka mejadi suatu hal yang sama sekali tidak
diduga atau tidak pada tempatnya. Tertawa terjadi karena harapan yang
dikacaukan (frustated expectation) sehingga seseorang dari suatu sikap mental dilontarkan ke
dalam sikap mental yang sama sekali berlainan.

3).    Menurut teori pembebasan, inti dari humor ialah pembebasan atau pelepasan dari kekangan
yang terdapat pada diri seseorang. Karena berbagai pembatasan dan larangan yang ditentukan
oleh masyarakat, dorongan-dorongan batin alamiah dalam diri seseorang mendapat kekangan
atau tekanan. Bilamana kekangan/tekanan itu dapat dilepaskan atau dikendorkan oleh
misalnya lelucon sex, sindiran jenaka, atau ucapan nonsense, maka meledaklah perasaan
orang dalam bentuk tawa.

Menurut tokoh psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939), lelucon memiliki kimiripan


dengan impian, yakni kedua-duanya pada dasarnya merupakan sarana untuk mengatasi
kekangan (censor) yang datang dari luar atau telah tumbuh dalam diri seseorang. Dalam
impian, ide-ide yang terlarang dapat diserongkan atau diselubungi, sedang dalam kelakar
orang bisa menyelipkan kecaman, cacian, atau pelepasan diri dari apa saja secara tidak begitu
keras dan langsung.
Menurut Hans Eyeseck dan Glen Wilson, segenap humor dapat dibedakan menjadi 4
ragam atau kategori, yaitu :
1.      Humor yang disebut "nonsense". Ragam humor ini tidak berisi sindiran, serangan dan
lelucon sex, melainkan menggunakan berbagai teknik permainan kata atau unsur-unsur yang
tak sesuai untuk membangkitkan gelak tertawa pada orang .
2.      Humor yang disebut "satire" dan berisi sindiran terhadap orang, pejabat, kelompok atau
lembaga. Ini merupakan semacam serangan tak langsung atau kecaman halus yang ditujukan
kepada suatu pihak tertentu.

3.      Humor agresi secara langsung yang berisi kekerasn fisik, kebiadaban, penghinaan dan
penyiksaan yang sadis.

4.      Humor berisi sesuatu lelucon sex yang bisa ditampilkan secara kasar sekali atau amat halus.

Terakhir perlu dibahas tentang kategori yang jelek. Tampaknya memang agak janggal
bahwa salah satu kategori keindahan adalah kejelekan. Hal yang jelek bersifat kontradiktif
terhadap hal yang indah. Kejelekkan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang
membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan mengacu pada sifat-sifat yang nyata-nyata
bertentangan dengan sifat indah. Misalnya kalau ketertiban pada sesuatu hal dianggap
menimbulkan perasaan senang sehingga hal itu dinyatakan indah, maka hal yang jelek
bukanlah kecilnya ketertiban melainkan suatu keadaan yang amat kacau balau. Kejelekkan
menimbulkan pada orang perasaan muak dan mual. Hal yang jelek kini dianggap mempunyai
nilai estetis karena dapat membangkitkan sesuatu emosi tertentu yang negatif, suatu nilai
estetis yang negatif,yang bertentangan dengan sifat-sifat indah. Oleh karena itu, dapatlah
dimengerti kalau belakangan ini ada produser film yang menyajikan tokoh-tokoh jelek atau
seniman yang menciptakan sesuatu karya seni menjijikkan yang tergolong pada kategori yang
jelek.

BAB IV
PENGALAMAN ESTETIK

A. Pengertian Pengalaman Estetik


Pengalaman estetik adalah tanggapan seseorang terhadap benda yang bernilai estetis. Hal
ini merupakan persoalan psikologis sehingga pendekatan penelaahan menggunakan metode
psikologi. Ada tiga pengertian yang dapat dirangkum daripara ahli, yaitu :
1.      Pengalaman estetis terjadi karena adanya penyeimbangan antara dorongan dorongan hati
dalam menikmati karya seni.
2.      Pengalaman estetis adalah suatu keselarasan dinamis dari perenungan yang menyenangkan,
menimbulkan perasaan-perasaan seimbang dan tenang terhadap karya seni yang diamatinya
atau terhadap suatu objek yang dihayatinya,sehingga tidak merasa ada dirinya
sendiri.Pengalaman estetis jenis ini berhubungan dengan pengalaman mistis.
3.      Pengalaman estetis adalah suatu pengalaman yang utuh dalam dirinya sendiri tanpa
berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya, bersifat tidak berkepentingan (disinterested) dari
pengamatan yang bersangkutan. Pengalaman tersebut adalah pencerapan itu sendiri dan
merupakan nilai intrinsik.

John Hospers menyebut perbuatan yang demikian ini mencerap demi pencerapan
(perceive for perceiving's) atau juga pencerapan demi untuk pencerapan itu sendiri
(perceiving for its own sake) dan tidak untuk keperluan suatu maksud yang lebih jauh (The
Liang Gie, 1976).

B. Teori Pengalaman Estetik


1. Teori Jarak Psikis (psyhical distance) dari E. Bullough. Teori ini ditulis dalam
bukunya yang berjudul “Psyhical Distance as factor in Art and Aesthetic Principle”. Bullough
mempergunakan metode introspeksi dari psikologi yakni pengamatan diri dengan jalan
merenungkan pengalaman-pengalaman sendiri. Bullough berpendapat bahwa untuk
menumbuhkan pengalaman yang berhubungan dengan seni, orang justru harus menciptakan
jarak psikis diantara dirinya dengan hal-hal apapun yang dapat mempengaruhi dirinya itu.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi diri seseorang misalnya adalah segi-segi kegunaan dari
sesuatu benda untuk keperluan/tujuan orang itu. Kebutuhan dan tujuan praktis itu harus
dikeluarka agar perenungan dan tinjauan seseorang secara estetis terhadap bendanya itu
semata-mata menjadi mungkin.

2. Teori Einfuhlung  (teori tentang pemancaran perasaan diri sendiri ke dalam benda


estetis) yang dikemukakan oleh Friederich T. Vischer (1807-1887).
Menurut Vischer seorang pengamat karya seni (benda estetis apapun) cenderung untuk
memancarkan (memproyeksikan) perasaannya ke dalam benda itu, menjelajahi secara khayal
bentuk dari benda tersebut dan dari kegiatan itu menikmati sesuatu yang menyenangkan.
Teori ini dikembangkan oleh Lipps di dalam bukunya Aesthetic yang terdiri 2
jilid. Dalam garis besarnya teori Lipps menyatakan bahwa kegiatan estetis adalah kegiatan
seseorang yang dari situ timbul suatu emosi estetis khas yang terjadi karena perasaan itu
menemukan suatu kepuasan atau kesenangan yang disebabkan oleh bentuk objektif dari karya
seni tersebut. Nilai dari tanggapan objektif orang tergantung pada kwalitas objektif dari
benda estetis yang bersangkutan.
Teori Lipps ini dalam buku E.F Carritt (The Theory of Beauty) dirumuskan sebagai
kesenangan estetis adalah suatu kenikmatan dari kegiatan kita sendiri didalam suatu benda.
Pernyataan ini yang kelihatannya merupakan suatu pertentangan dalam kata-kata,
sebagaimana diterangkan berarti bahwa kita menikmati diri kita sendiri bilamana
diobjektifkan atau menikmati suatu benda sejauh kita hidup di dalamnya (The Liang Gie,
1976;54).

C. Rintangan Pengalaman Estetik


Dalam pengalaman estetik, mengalami hambatan jika di dalam diri si pengamat terdapat
sikap:
1.      Sikap Praktis: apabila seseorang mengamati pemandangan yang indah dengan tujuan untuk
kepentingan praktis, misalnya membangun hotel, rumah makan dan lain-lain.
2.      Sikap ilmiah: apabila seseorang mendengarkan lagu klasik yang diselidiki adalah asal
usulnya, diciptakan oleh siapa, dimana dan kapan lagu itu dibuat.
3.      Sikap melibatkan diri: apabila seseorang mempersamakan nasipnya dengan nasip seseorang
yang ada dalam buku novel yang baru saja ia baca atau fim yang baru saja ia tonton.
4.      Sikap emosional: apabila ada seseorang terdapat hasrat yang menyala-nyala untuk menikmati
karya seni, atau kesadaran diri yang berlebih-lebihan dalam penikmatan itu.
Menurut Stephen Pepper, musuh-musuh daripada pengalaman estetis adalah adanya
kesenadaan (monoton) dan kekacau-balauan (confusion). Dan hal yang merusak pengalaman
estetis itu, dalam karya seni yang baik, harus diusahakan adanya keanekaan (variety) dan
kesatuan (unity) yang seimbang (The Liang Gie, 1976). 

BAB V
FILSAFAT SENI

A. Pengertian Filsafat Seni


        Filsafat seni merupakan salah satu cabang dari rumpun estetik filsafati yang khusus
menelaah tentang seni. Lucius Garvin memberikan batasan tentang filsafat seni sebagai "the
branch of philosophy which deals with the theory of art creation, art experience, and art
criticism". (cabang filsafat yang berhubungan dengan teori tentang penciptaan seni,
pengalaman seni dan kritik seni). Sedang definisi Joseph Brennan merumuskan sebagai "the
study of general principles of artistic creation and appreciation." (penelaahan mengenai asas-
asas umum dari penciptaan dan penghargaan seni).
Pengertian seni ini dipakai dalam bermacam-macam arti, antara lain :
1.      Sei sebagai kemahiran (skill) dilawankan dengan ilmu (science). Sering dikatakan bahwa
ilmu mengajar seseorang untuk mengetahui dan seni mengajar seseorang untuk berbuat,
keduanya saling melengkapi.
2.      Seni sebagai kegiatan manusia atau (human activities) dilawankan dengan kerajinan (craft).
Ciri-ciri yang membedakan art dan craft ialah bahwa sni bersifat perlambang dan
menciptakan realita baru, sedangkan kerajinan merupakan pekerjaan rutin yang disesuaikan
dengan kegunaan praktis.
3.      Seni sebagai karya seni (work of art atau artwork) dilawankan dengan benda-benda alamiah.
Karya seniadaalah merupakan produk dari kegiatan manusia. Dalam artian yang seluas-
luasnya seni meliputi setiap benda yang dibuat manusia utnuk dilawankan dengan benda-
benda alamiah. 
4.      Seni sebagai seni indah ( fine art) dilawankan dengan seni berguna (useful art). Seni indah
dinyatakan sebagai seni yang terutama bertalian dengan pembikinan benda-benda dengan
kepentingan estetis, sehingga berbeda dari seni berguna atau terapan yang maksudnya untuk
kefaedahan.
5.      Seni sebagai seni penglihatan (visual art) dilawankan dengan seni pendengaran.

B. Teori Lahirnya Seni


Teori lahirnya seni membahas mengenai dorongan yang menyebabkan lahirnya seni.
Abdul Kadir (1975: 3-4) mengemukakan bahwa berdasarkan sejarah estetika terdapat tiga
teori tentang dorongan-dorongan manusia menciptakan seni. Ketiga teori itu adalah : 
1.      Teori Bermain (Theory of Play)
Berdasarkan teori ini lahirnya seni adalah semata-mata untuk kesenangan mengisi waktu
yang terluang belaka.
2.      Teori Kegunaan (Theory of Utility)
Teori ini juga mengungkapkan bahwa semua aktifitas artistik seluruhnya ditujukan untuk
kepentingan praktis dan kebutuhan sosial. Jadi teori ini berdasarkan pada aspek kegunaan.
3.      Teori Magis dan Religi (Theory of Magic and Religion)
Teori Magis dan Religi tentang lahirnya seni antara lain mengungkapkan bahwa kehadiran
seni adalah untuk mendapatkan tenaga-tenaga gaib untuk keperluan berburu dan sebagainya.
Pendapat ini disampaikan oleh Salmon Reinoch.

Pendukung teori magis dan religi lainnya adalah S. Gideon. Gideon berpendapat bahwa
seni merupakan jalan atau cara yang lazim untuk mendapatkan kekuatan dalam memperoleh
kekuasaan. Usaha untuk memperoleh kekuatan tersebut ditempuh dengan cara mendapatkan
kemahiran membuat garis-garis batas (outline) gambar-gambar dari binatang yang akan
ditangkap.

C. Aliran-aliran dalam Seni


Seni sebagai hasil kreasi akal budi dan rasa manusia menciptakan sesuatu yang baru
mempunyai bentuk dan corak yang    beraneka ragam. Aliran-aliran dalam seni ini biasanya
untuk seni lukis, diantaranya :
1.      Aliran Naturalisme
Bertujuan untuk melukiskan bentuk-bentuk alam yang sewajarnya sesuai dengan keadaan
alam (nature). Manusia beserta fenomenanya diungkapkan sebagaimana adanya seperti
tangkapan mata, sehingga karya yang dilukiskan seperti hasil foto atau tangkapan lensa
kamera. Jika yang dilukiskan sebuah pohon kelapa, maka lukisan tersebut berusaha
menggambarkan secara persis pohon kelapa yang ada di alam dengan susunan, perbandingan,
perspektif, tekstur, pewarnaan dan lain-lainnya disamakan setepat mungkin sesuai dengan
pandangan mata ketika melihat pohon kelapa tersebut apa adanya (Nooryan Bahari,
2008:119).

2.      Aliran Ekspressionisme
Aliran ini bermaksud mengungkapkan perasaan-perasaan dan penderitaan batin yang timbul
dari pengalaman diluar, yang ditanggapi tidak hanya dengan panca indra tetapi juga dengan
jiwa. Seniman Belanda, Vincent van Goh (1853-1890),dianggap sebagai pelopor aliran
ekspresionisme bahkan dia dianggap sebagai bapak seni lukis modern. Tema lukisannya yang
awal banyak melukiskan kesibukan pekerja-pekerja tambang kasar dengan segala suka
dukanya. Ia lebih menitik beratkan watak, menangkap kesan secara langsung, kemudian
diungkapkannya dengan warna berat.

3.      Aliran Impressionisme
Dalam bahasa Indonesia, arti impression adalah kesan, jadi karya impressionisme adalah
karya seni lukis yang ingin mengungkap kesan. Sekelompok pelukis di Prancis pada akhir
abad ke-18, mulai tidak senang dengan cara melukis akademi yang selalu menggambar di
studio. Jika ingin melukis sapi di padang rumput, mereka mengambil sapi sebagai model dan
dibawa ke studio. Kelompok pembaharu mempunyai anggapan bahwa alam sebagai guru
yang terbaik, membuat mereka menghambur ke jalan-jalannya, ke ladang, ke pinggir sungai
untuk menggambar secara langsung. Lantaran di luar matahari mulai menyengat, mereka
menjadi blingsatan karena kepanasan, sehingga mereka melukis dengan cepat baik karena
panas maupun karena perjalanan matahari dari timur ke barat mempengaruhi banyangan dan
pewarnaan. Secara otomatis, mereka memperhatikan keberadaan dan gerakan cahaya. Lambat
laun mereka monomersatukan cahaya, dan menomerduakan unsur-unsur yang lain ( Nooryan
Bahari, 2008:120-121).
Lukisan Claude Monet (1840-1926) yang berjudul Impresi : Fajar Menyingsing yang
dipamerkan pada tahun 1874. Lukisan Monet yang berupa kesan benda berwarna ditolak oelh
kritikus seni pada waktu itu dan diejek sebagai lukisan kesan yang belum selesai (bahasa
Perancis : Impresion). Melukiskan kesan alam yang diterima dengan spontan, cepat dan pasti,
bagian-bagian yang kecil tidak diindahkan, yang dipentingkan keseluruhannya hingga
suasana bentuk, gerak dan sinar itu dilukiskan  tidak terpisah.

4.      Aliran Romantisme
Romantisme adalah gaya atau aliran seni yang menitikberatkan pada curahan perasaan, reaksi
emosional terhadap fenomena alam, dan penolakan terhadap realisme. Dalam seni lukis
gerakan ini menghasilkan kebebasan baru dalam menata komposisi, melahirkan citra goresan
kuas terbuka, pembaharuan dan tingkatan warna yang lembut.
Tokoh romantik yang terkenal dari Perancis adalah Theodore Gericault (1791-1924) dan
Eugene Delacroix (1798-1863). Mereka senatiasa melukiskan kejadian-kejadian yang
dahsyat, kegemilangan sejarah serta peristiwa yang sangat menggugah perasaan.

5.      Aliran Realisme
Aliran ini tumbuh di Perancis pada tahun 1850an. Realisme melukiskan kenyataan hidup
pada jaman itu dan biasanya memperhatikan kaum malang di dalam masyarakat dan tidak
pernah menyembunyikan kesusahan. Pelopor realisme adalah Gustave Courbet, seorang yang
sederhana penduduk Ornans di Perancis timur. Courbet(1819-1877) menentang aliran
klassisisme yang dianggapnya penuh dengan kepalsuan dan mengecam kelompok
romantisme karena mencampurbaurkan doktrin politik dengan doktrin seni sehingga
mengabaikan segi seni demi tercapainya tujuan politik bagi seniman.

6.      Aliran Kubisme
Seni rupa yang kubistis, mempunyai wujud tang bersegi-segi dan berkesan monumental,
terutama untuk seniu patung. Bapak aliran kubisme adalah Pablo Picasso dan G. Braque.
Pada perkembangannya ada dua tingkatan kubisme. Yang pertama, kubisme analitis. Pada
tahap ini pelukisnya memecahkan setiap objek yang kita kenal seperti wajah orang, biola,
meja, dan lain-lain sampai menjadi kubus-kubus yang kemudian menyerupai susunan balok-
balok dalam bentuk semacam patung yang berkesan tiga dimensi.Yang kedua, kubisme
sintetik. Setelah merobek-robek objek menjadi bentuk yang paling dasar, kemudian
menjelmakan kembali pada suatu struktur yng mungkin mirip atau tidak terhadap objek yang
semula. Sesudah itu objek dilukis secara realistis dalam susunan komposisi tertentu. Kesan
lukisan ini akhirnya menjadi dua dimensional.

7.      Aliran Dadaisme
Aliran ini lahir di Jerman pada tahun 1916, dengan maksud sebagai reaksi atas kekejaman
perang dunia pertama yang berakibat keputusasaan pada seniman-seniman Jerman,
khususnya dan kemudian menjalar ke Perancis, bahkan sampai ke Amerika. Aliran ini
mengetengahkan lukisan yang bersifat kekanak-kanakan. Kadang-kadang lucu dan
menggelikan, bombastis, naif, tetapi mengandung keindahan kanak-kanak yang murni.
Pelopor aliran ini adalah Picasso.

8.      Aliran Surealisme
Surealisme pada awalnya adalah gerakan dalam sastra yang ditemukan oleh Apollinaire
untuk menyebut dramanya.  Pada tahun 1924 istilah ini diambil alih oleh Andre Beton untuk
manifesto kaum surealis. Dalam kreatifitas seninya, kaum surealis berusaha mambebaskan
diri dari kontrol kesadaran, menghendaki kebebasan besar, sebebas orang bermimpi.
Aliran ini muncul pada tahun 1924. aliran ini mengawinkan dunia yang tidak nyata dengan
dunia nyata. Teori dan tekhnik dari psychoanalitis Freud telah menjadi dasar tekhnik dasar
pengungkapan aliran ini, yaitu :
me Fotografis : disini bentuk objeknya masih kita kenal walaupun tidak  dalam bentuk yang wajar .
me morphic  :  aliran ini tidak bersumber pada ingatan sebagai “tempat objek”. Lukisannya hampir abstrak
(Budhy Raharjo J 1986;166-192).
       
D. Nilai Seni
Karya  seni sebagai hasil cipta manusia memiliki nilai untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Jika seni tidak bernilai maka seni tidak akan diciptakan orang dan tidak mungkin
berkembang hingga dewasa ini. Seni tidak hanya menyajikan bentuk-bentuk yang dapat
diserap indera manusia semata, tetapi juga mengandung tujuan abstrak yang bersifat
rohaniah, yaitu suatu makna yang dapat memberi arti bagi manusia.
Karya Seni yang mengandung makna inilah yang disebut seni bernilai. Nilai-nilai
tersebut :
1.      Nilai Kehidupan
Nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan manusia yang bersifat mendasar sesuai harkat dan
cita-cita manusia ditampilkan dalam media seni. Misalnya ide kebahagiaan, ide kebaikan, ide
keadilan, ide kebenaran dan lain-lain.

2.      Nilai Pengetahuan
Karya seni dapat memberikan suatu pemahaman terhadap alam sekitarnya dan berbagai aspek
kehidupan yang melingkupinya. Misalnya karakteristik tata budaya atau adat kebiasaan suatu
masyarakat. Hal ini bersifat informative yang akan menimbulkan pengetahuan terhadap tata
kehidupan yang ada.

3.      Nilai Keindahan
Dalam hal ini pengertiannya menyangkut perasaan manusia. Dalam realitasnya memang tidak
semua seni itu indah, seni tidak hanya mencoba untuk menyatakan keindahan. Keindahan
hanya merupakan salah satu diantara hal-hal yang dicoba untuk dinyatakan oleh seni.

4.      Nilai Inderawi dan Nilai Bentuk 


Nilai Inderawi menyebabkan seseorang pengamat menikmati atau memperoleh kepuasan dari
ciri-ciri inderawi yang disajikan oleh suatu karya seni. Nilai bentuk menyebabkan seseorang
mengagumi bentuk besar (struktur) dan bentuk kecil (tekstur).

5.      Nilai Kepribadian
Perlunya watak atau karakteristik tertentu yang dapat membedakan yang satu dengan yang
lain. Artinya sebuah karya seni seharusnya memiliki gaya (style) tersendiri yang didukung
oleh unsur-unsur atau ciri-ciri tertentu yang tersusun secara keseluruhan dan bersifat tetap,
misalnya dalam hal seni bangunan (arsitektur). Gaya arsitektur rumah adat Minangkabau
akan berbeda dengan gaya arsitektur rumah adat Toraja.

6.      Nilai keindahan Inderawi dan nilai bentuk


Nilai keindahan inderawi menyebabkan seorang pengamat menikmati atau memperoleh
kepuasan dari ciri-ciri inderawi yang disajikan oleh suatu karya seni. Nilai keindahan bentuk
menyebabkan seseorang mengagumi bentuk besar (struktur) dan bentuk kecil (texture).

E.  Sifat Dasar Seni


Seni merupakan hasil kreasi akal budi dan rasa manusia yang hidup sepanjang masa dan
dikagumi oleh manusia yang tidak terbatas pada ruang dan waktu. Sifat dasar seni itu adalah 
1.      Seni bersifat kreatif
Seni yang sesungguhnya senantiasa kreatif, selalu menghasilkan sesuatu yang baru. Seni
sebagai suatu rangkaian kegiatan manusia selalu menciptakan suatu realitas  yang baru,
sesuatu apapun yang tadinya belum ada atau belum pernah muncul dalam gagasan seseorang.
2.      Seni bercorak individualis
Seni senantiasa dilakukan oleh seseorang individu tertentu dan hasilnya juga merupakan
suatu individualitas tertentu yang khas.

3.      Seni adalah ekspresif  


Seni menyangkut perasaan manusia dan karena itu penilaiannya juga harus memakai ukuran
perasaan estetis.
4.      Seni adalah abadi
Sekali suatu karya seni telah selesai diciptakan sebagai suatu relitas baru, karya itu akan tetap
langgeng sepanjang zaman walaupun seniman penciptanya sudah tidak ada lagi.

5.      Seni bersifat semesta


Seni berkembang di seluruh dunia dan tumbuh sepanjang masa, karena manusia memiliki
perasaan dan seni adalah bahasanya yang melakukan komunikasi  antar mausia dengan
bahasa perasaan(The Liang Gie;1996,46).

F. Kritik Seni
    Kritik seni termasuk dalam filsafat seni. Sifatnya memang dapat mendua, yakni
sebagai bidang pengetahuan dan sebagai proses kegiatan. Tapi dalam arti umum
sesungguhnya kritik adalah suatu penafsiran yang beralasan dan penghargaan terhadap
sesuatu hal berdasarkan pengetahuan, ukuran baku dan cita rasa yang bertalian dengan hal itu
dari orang yang melakukannya. Jadi kritik lebih merupakan suatu perbuatan yang bersifat
pribadi, berdasarkan keyakinan subyektif dan cita rasa perseorangan.
     Kritik seni adalah suatu kegiatan yang ditujukan kepada satu karya seni tertentu (atau
paling banyak kepada sekumpulan karya seni yang tergolong dalam style yang sama,
misalnya sejumlah patung yang dibuat oleh seorang seniman saat itu). Jadi hasil kritik itu
tidak bisa berlaku umum untuk karya-karya seni lainnya dari orang yang sama, apalagi dari
seniman lainnya. Kini para ahli estetik umumnya sepaham bahwa peranan kritik seni
bukanlah untuk memberi nilai A, B, C dan D atau angka 1 sampai 10 terhadap sesuatu karya
seni seperti halnya memeriksa kertas ujian, melainkan memperbesar pemahaman,
meningkatkan apresiasi atau membuka mata dari publik terhadap sesuatu yang bermutu yang
mungkin terluput dari pengamatan mereka. Dalam hubungan ini maka kritik seni dapatlah
dipandang sebagai penerapan dari estetik terhadap karya seni satu per satu. Untuk menjadi
ahli kritik seni yang baik sehingga dapat memberikan tafsiran yang tepat dan penilaian yang
beralasan kuat, seseorang harus memilliki pengetahuan filsafat seni dan mungkin juga
cabang-cabang estetik lainnya (The Liang Gie:1976,32).

BAB VI
SENIMAN
A. Pengertian
Jika dilihat dari profesinya, seniman mempunyai kelebihan atau perbedaan khusus dalam
cara memandang terhadap hal-hal disekelilingnya.
Louis O.Kattsoff dalam bukunya Element of Philosophy menganggap, bahwa dorongan-
dorongan artistic seniman dalam mengungkapkan perasaan-perasaan merupakan masalah
psikologis yang bersifat suigeneris.  (L.O>Kattsoff, 1970).
Dilihat dari uraian di atas, ternyata seniman dalam mengungkapkan persepsinya lebih
mengutamakan perasaan terhadap diri dan lingkunganya. Pandangan seperti ini sesuai dengan
unsur kodrati manusia, bahwa keindahan hanya dapat dirasakan. Seniman adalah insan yang
menturutkan kata hatinya, orang yang menganak-emaskan emosinya dan mengabaikan
rasionya.  (Sudarso, 1977).
Pendapat yang mengabaikan rasio dalam karya seni tidak selalu benar. Banyak karya seni
yang dibuat dengan pertimbangan rasio. Misalkan dalam seni lukis, sebuah pemandangan
alam yang naturalistik harus memperhitungkan perspektif dan bentuk buah dan pohon dibagi
dengan petimbangan logis. Walaupun demikian diakui penekanan perasaan sangat dominan
dalam proses penciptaan karya seni.
Pada masa lalu, tidak ada perbedaan yang tegas antara seniman dengan pengrajin atau
tukang.      Tetapi dengan adanya perkembangan seni, para ahli mulai memperhatikan bahwa
terdapat perbedaan antara seniman dengan tukang atau pengrajin. Seniman dalam berkarya
selalu berubah dan berkembang, yang lebih khusus lagi mereka mempertahankan bahwa
karya seninya itu adalah ekspresi pribadi. Sedangkan tukang atau pengrajin dalam berkarya
selalu tetap, kontinyu dan lambat perkembangnnya dan yang lebih khusus lagi kesemuanya
itu ditujukan hanya untuk kegunaan semata.
Perbedaan lainnya ialah tukang atau pegrajin adalah seorang dengan kemahiran mata dan
tangan, sedangkan seniman memiliki kelebihan pengkhayalan yang kreatif.
Suatu ciri khas seniman, dia disamping memiliki kemampuan tersebut, juga memiliki
kepekaan terhadap gejala-gejala yang ada di dalam lingkungannya. Kemampuan seperti ini
menurut J. Kets seorang penyair Romantik (1795-1882) ialah "Negative Capability", yaitu
kemampuan untuk selalu dalam keadaan ragu-ragu, tidak menentu dan misterius tanpa
mengganggu keseimbangan jiwa (Suyadi, 1985).
Kemampuan negative capability identik dengan proses mencari. Proses inilah yang
menyebabkan seorang seniman seluruh hidupnya penuh rasa ingin tahu, mendalaminya dan
mendambakan keindahan yang ideal.
B. Teori Penciptaan Karya Seni
        Seniman, dalam menciptakan hasil karyanya ada beberapa teori, diantaranya adalah teori
metafisis, ekspresi/pengungkapan dan teori psikologik.
1.      Teori Metafisis
Teori seni yang bercorak metafisis merupakan salah satu teori yang tertua, yakni
berasal dari Plato yang dikembangkan oleh Schopenhauer. Mengenai sumber seni, Plato
mengemukakan suatu teori peniruan (imitation theory). Ini sesuai dengan metafisika Plato
yang mendalilkan adanya dunia ide pada taraf yang tertinggi sebagai realita Illahi. Pada taraf
yang lebih rendah terdapat realita dunia ini yang merupakan cerminan semu dan mirip
dengan realita Illahi itu. Karya seni yang dibuat manusia hanyalah merupakan mimesis
(tiruan) dari realita dunia  (The Liang Gie. 1976).

2.      Teori Ekspresi (pengungkapan)


Tokoh teori ekspresi yang paling terkenal ialah filsuf Italia, Beneditto Croce (1886-
1952) dengan karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris "Aesthetics as
Sciences of Expression and General Linguistyic".
Beliau antara lain menyatakan bahwa "art is expression of impression" (seni adalah
mengungkapkan dari kesan-kesan). Expression adalah sama dengan intuition, yaitu
pengetahuan intuitif yang diperoleh melalui pengkhayalan tentang hal-hal individual yang
menghasilkan gambaran angan-angan (image).
Dengan demikian pengungkapan itu terwujud pelbagai gambaran angan-angan seperti
misalnya : image warna, garis dan kata.
Bagi seseorang mengungkapkan berarti menciptakan seni dalam dirinya tanpa perlu
adanya kegiatan jasmaniah keluar. Pengalaman estetis seseorang tidak lain adalah ekspresi
dalam gambaran angan-angan.  (The Liang Gie. 1976).

3.      Teori Psikologis
Teori-teori metafisis dari para filsuf yang bergerak di atas taraf manusiawi dengan
konsepsi-konsepsi tentang ide tertinggi atau kehendak semesta umumnya tidak memuaskan,
karena terlampau abstrak dan spekulatif. Sebagian ahli estetik dalam abad modern menelaah
teori-teori seni dari sudut hubungan karya seni dan alam pikiran penciptanya dengan
mempergunakan metode-metode psikologis. Misalnya berdasarkan psikoanalisa keinginan-
keinginan bawah sadar dari seorang seniman.
Sedang karya seninya itu merupakan bentuk terselubung atau diperhalus yang
diwujudkan keluar dari keinginan-keinginan itu.

4.      Teori Permainan
Suatu teori lain tentang sumber seni adalah teori permainan (play theory) yang
dikemukakan oleh F.Schiller. Asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main
(play impulse) yang ada dalam diri seseorang. Seni merupakan semacam permainan
menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan
energi yang harus dikeluarkan.
Seseorang yang semakin meningkat taraf kehidupannya tidak memakai habis
energinya untuk keperluan sehari-hari, kelebihan tenaga itu lalu menciptakan kebutuhan dan
kesempatan untuk melakukan rangkaian permainan imaginative dan kegiatan yang akhirnya
menghasilkan karya seni  (The Liang Gie, 1976).

BAB VII
PERWUJUDAN KEINDAHAN

Ada banyak keindahan di dunia ini. Manusia suka dengan keindahan, dari keindahan
tersebut maka manusia mengapresiasikannya  menjadi berbagai bentuk “nilai”. Dalam
perkembangannya nilai-nilai yang terkandung dalam keindahan tersebut membuat suatu
kehidupan menjadi lebih bermakna dan berati. Dari berbagai bentuk keindahan yang ada,
maka keindahan tersebut dapat dibedakan menjadi beberapa perwujudan, yaitu:
1.  Keindahan alam
2.  Keindahan seni
3.  Keindahan moral
4.  Keindahan intelektual
5.  Keindahan absolut (mutlak)

A. Keindahan Alam
Keindahan alam menampakkan diri pada :
1. Keselarasan (harmony)
2. Ketakselarasan yang luar biasa (extreme disharmony)
3. Kewarna-warnian (coloruful)
4. Ketenangan (calm, idyllic)
5. Keluasan tak terpahami

      Keindahan alam dapat bertalian dengan bentuk, ukuran, perimbangan dan warna.
      Perilaku alam mengikuti hukum-hukum tertentu, misalkan hukum tentang permukaan
pembungkus    yang minimum (lawn of the minimum enclosing area), hal ini nampak pada :
1. bola  :  kelapa, semangka
2. lingkaran :  sarang tawon
3. pilin  :  nebula, pakis, keong
Menur Eric Newton  :  hal-hal yang indah dalam alam merupakan suatu hasil dari perilaku
alam dan perilaku itu mematuhi hukum-hukum tertentu. Hasil perilaku itu menampakkan diri
dalam suatu pola  dan pola-pola yang rumit itu akan terjadi/tercipta bilamana terjadi interaksi
dari berbagai fungsi.
Pola yang rumit itu dapat  pula mewujudkan keindahan alamiah.

Perbedaan antara keindahan alam dan karya seni  : 


Keindahan alam
1.  Hanya salah satu atribut dari alam, karena alam diciptakan untuk berbagai kemanfaatan.
2.  Sukar dinikmati secara estetis saja, karena memungkinkan pertimbangan-pertimbangan
lain.  
3.  Dalam menyerapan keindahan alamiah, pengamat memindahkan perasaannya kepada benda
alam yang bersangkutan.
4.  Keindahan alamiah merupakan hasil tambahan dari fungsi pada sesuatu benda alam.

Keindahan seni
1.  Merupakan asensi dari karya seni
2.  Khusus diciptakan untuk dinikmati nilai estetisnya tanpa banyak pertimbangan lain.
3.  Dalam mencipta karyanya, seniman memindahkan perasaan estetis pada benda
ciptaannya    untuk kemudian diteruskan kepada si pengamat.
4.  Keindahan seni merupakan hasil dari cinta seniman dan pemahamannya terhadap pola alam.
B.  Keindahan dalam Seni
Pada jamanYunani bentuk keindahan dalam karya seni terdapat pada unsur :  symmetria
( untuk seni penglihatan  dan harmonia untuk seni pendengaran).

Secara umum keindahan seni terdapat dalam : unity, harmony, balance,


contras  dan  disharmony.  

C. Keindahan Moral
Keindahan moral terdapat pada Ide kebaikan :menurut  Plato terdapat pada watak yang
indah dan hukum yang indah.
Keindahan moral juga mempunyai arti sesuatu yang baik.dilihat dari segi tingkah laku.

D. Keindahan Intelektual
Plotinus  berpendapat bahwa keindahan moral terdapat pada:  ilmu yang indah dan
kebajikan yang indah. Keindahan intelektual juga berarti ;buah pikiran yang indah dan adat
kebiasaan yang indah.

E. Keindahan Absolut (mutlak)


1 .Ada pada Tuhan
2. Tuhan itu indah dan menyengi hal-hal yang indah
3. Tugas seniman adalah untuk lebih mendekatkan diri sendiri dan
pengamat pada Tuhan

BAB VIII
UNSUR-UNSUR ESTETIKA INDONESIA

Konsep (pemikiran) tentang keindahan di Indonesia sudah ada pada jaman dahulu,
pada waktu kehidupan manusia masih primitif. Secara sadar atau tidak, mereka sudah
memberi hiasan pada perabot rumah tangga, alat pertanian, alat berburu, dan menghias
dirinya bila ada kegiaatan yang dianggap penting(berburu, upacara adat, pemilihan kepala
suku). Walaupun masih sangat sederhana, hiasan itu tidak sekedar umsur pelengkap/penghias
belaka, tetapi mengandung unsur magis yamg dianggap sakral. 
Hal ini nampak dalam perilaku mereka yang menghiasi wajah ataupun tubuhnya
dengan goresan-goresan berwarna hitam dan putih (tolak bala) bila mereka akan melakukan
pekerjaan yang dipandang mempunyai makna, maksud dan tujuan yang dianggap mulia.
Mereka juga menghias senjatanya bila akan berburu dengan maksud dan tujuan memberikan
kekuatan magis pada senjatanya itu agar hasil buruannya dapat bermanfaat bagi keluarganya.
Dalam upacara keagamaan mereka membuat sesaji, berdoa, berpakaian dan menghias diri,
bernyanyi, menari dan memukul gendang.Hal ini menunjukkan bahwa estetika lahir karena
pemenuhan kebutuhan kerohanian. Estetika tradisonal ini dalam perkembangannya tidak
sama antar suku dan daerah, ada yang punah, ada yang mengalami pembauran dan ada yang
mengalami perubahan.

Unsur-unsur estetika Indonesia


Unsur-unsur estetika Indonesia terkandung dalam seni budaya, adat-istiadat, dan
kegiatan ritual  diantaranya secara konkrit terdapat pada : ragam hias, batik, candi, musik,
wayang, seni tari dan upacara adat.

A. Ragam Hias
Ragam hias tradisional merupakan peninggalan nenek moyang dan merupakan hasil dari
seni budaya bangsa yang mempunyai nilai tinggi. Dalam motif-motif yang digoreskannya,
mengandung makna (arti) yang dalam.  Motif-motif itu biasanya berkaitan dengan pandangan
hidup dari sesuatu daerah/suku bangsa dimana ragam hias itu diciptakan. Oleh karena itu
perlu dicari apa arti (makna) yang tersembunyi di dalamnya dan untuk apa motif-motif itu
dibuat. Dalam ragam hias tradisonal, terkandung unsur-unsur filsafati yang tercermin dalam
bentuknya yang indah dan mengandung makna simbolis, religius, etis dan  filosofis.
Dalam ragam hias itu biasanya menggunakan motif ; fauna, flora, alam semesta, dan
manusia atau gabungan dari unsur-unsur itu.
Di dalam unsur-unsur itu terkandung makna/ajaran bagaimana manusia itu seharusnya
berbuat dan bertingkah laku yang baik agar selamat di dunia dan di akhirat.
Ragam hias juga digunakan untuk sengkalan-sengkalan (sengkalan memed), yang ada
pada bangunan-bangunan kraton maupun gapura-gapura, yang berisi kapan bangungan itu
didirikan dan siapa raja yang berkuasa saat itu. 
Dalam perkembangannya ragam hias tradisional perlu dilestarikan, jangan sampai
kehilangan maknanya sehingga yang tinggal hanya fungsi dekoratifnya saja.

Untuk melestarikan ragam hias tradisional tersebut ,ada tantangan yang perlu untuk
diantisipasi diantaranya: 
1.      Sikap praktis dan efisien: dengan digunakannya mesin bubut  dan alat bantu yang lain (cap)
akan menghemat tenaga dan beaya,sehingga yang dikerjakan secara tradisional memakan
beaya ekonomi tinggi
2.      Sikap kreatif:  ragam hias tradisional mempunyai pola yang baku, sehingga kreatifitas
dikawatirkan akan menjadi penghambat karena akan menghilangkan nilai simboliknya.
3.      Ekonomis: cenderung beaya ekonomi tinggi,sehingga menjadi kendala.

Oleh karena itu,ragam hias tradisional perlu dilestarikan,     disamping itu, kreasi baru
dari para seniman juga wajib untuk ditingkatkan, karena keduanya merupakan dua hal yang
saling melengkapi dan akan berguna untuk melestarikan  seni budaya bangsa.

B. Batik
      Batik sebagai karya seni termasuk seni indah dan seni berguna yang didalamnya sarat
kandungan makna filosofi. Hal ini terdapat pada  Seni batik klasik dan tradisional. Dikatakan
dengan istilah “klasik” karena batik merupakan suatu karya yang bernilai seni tinggi,
berkadar keindahan dan langgeng, artinya tidak akan luntur sepanjang masa. Sedangkan
pengertian “tradisional” bahwa batik dikerjakan dengan cara-cara dan kebiasaan yang
berlangsung secara turun temurun.

Sejarah dan Perkembangan Batik


   Pada awalnya, batik tulis hanya dikerjakan oleh putri-putri keraton sebagai pengisi
waktu luang, kemudian menyebar juga kepada “abdi dalem” atau orang-orang yang dekat
dengan keluarga keraton (Amri Yahya,1971;24).
Batik sebagai salah satu karya seni budaya bangsa Indonesia telah mengalami
perkembangan seiring dengan perjalanan waktu. Perkembangan yang terjadi membuktikan
bahwa batik sangat dinamis dapat menyesuaikan dirinya baik dalam dimensi ruang, waktu,
dan bentuk. Dimensi ruang adalah dimensi yang berkaitan dengan wilayah persebaran batik
di Nusantara yang akhirnya menghasulkan sebuah gaya kedaerahan misalnya batik Jambi,
batik Bengkulu, batik Yogyakarta, batik Pekalongan. Dimensi waktu adalah dimensi yang
berkaitan dengan perkembangan dari masa lalu sampai sekarang. Sedangkan dimensi bentuk
terinspirasi dan diilhami oleh motif-motif tradisional, terciptalah motif-motif yang indah
tanpa kehilangan makna filosofinya, misalnya Sekar Jagat, Udan Liris dan Tambal.

Pada waktu batik tradisional diciptakan tidak lepas dari pengaruh adat istiadat,
kebudayaan daerah maupun pendatang, kepercayaan serta budaya dalam agama. Pengaruh
budaya Hindu terlihat pada motif meru, sawat, gurda, dan semen yang merupakan simbol-
simbol dalam kepercayaan Hindu. Pengaruh budaya Islam terlihat adanya perubahan, dimana
tidak ada bentuk binatang dan lambang dewa-dewa. Meskipun unsur simbolisme jaman
Hindu tetap ada, tetapi sudah distilir, sehingga menjadi unsur dekoratif. Pengaruh Tionghoa,
batik dengan motif Lok Chan dan Encim. Pengaruh dari India dengan motif Cinde, Belanda
dengan motif Buketan dan Jepang dengan motif Hokokai. Sedangkan Pengaruh adat terlihat
pada batik tulis Irian Jaya dengan ragam hias suku Asmat. Pengaruh adat juga terlihat pada
batik tulis Kalimantan Timur dengan ragam hias lambang perdamaian suku Dayak Bahau dan
ragam hias Tongkonan Toraja, Sulawesi Selatan.
Berbicara masalah batik klasik dan tradisional tidak lepas dari makna simbolik.
Menurut Ernst Cassirer, manusia adalah animal symbolicum, (Cassirer, 1987 : 40) makhluk
yang dapat mengerti dan menggunakan simbol-simbol (tanda-tanda). Manusia juga dapat
menciptakan dan memahami makna dari simbol-simbol itu, sehingga dapat dipakai sebagai
norma, penuntun (petunjuk) ke arah tingkah laku dan perbuatan yang baik.
Batik sebagai karya seni, mengandung makna filosofi yang menarik untuk diteliti baik
dari segi proses,motif,warna,ornament,fungsi dan nilai dari sehelai batik yang sarat akan
kandungan makna simbolik.

a.      Proses
Berbicara masalah proses pembuatan sehelai kain batik klasik/tradisional melalui
suatu rangkaian yang panjang mulai dari “membatik” sampai dengan “mbabar”. Berbeda
dengan batik cap dan printing.
       b.   Motif

Pada pokoknya, motif batik terdiri atas empat macam, yaitu :


1.                  Ceplok, misalnya Kawung, Ceplok Manggis dan Ceplok Mendut.
2.                  Garis miring, misalnya motif Parang, Udan Liris, dan Rujak
            Senthe
3.                  Geometris, misalnya Truntum, Grompol, dan Tirtatejo.
4.                  Semen, misalnya Semen Rama, Semen Condro, Sido Mukti, dan
            Sido Luhur.
Makna Simbolis dalam motif batik tradisional itu, diantaranya :
1).  Kawung
Menurut sejarah, motif Kawung diciptakan oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma di
Mataram. Beliau menciptakan dengan mengambil bahan-bahan dari alam atau hal-hal yang
sederhana dan kemudian diangkat menjadi motif yang baik (Koeswadji, 1981 : 112).
Motif  Kawung diilhami oleh pohon aren atau palem yang buahnya berbentuk bulat
lonjong berwarna putih jernih atau disebut kolang kaling.
Bila ditinjau menurut gambaran buah aren atau kolang kaling, maka motif Kawung
mempunyai makna simbolis sebagai berikut : pohon aren sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia dari batang, daun, ijuk, nira, buah, secara keseluruhan dapat dimanfaatkan bagi
kehidupan manusia. Hal ini mengingatkan agar manusia dalam hidupnya dapat berdaya guna
bagi bangsa dan negaranya seperti pohon aren.
Motif  Kawung mempunyai makna simbolis yang dalam, agar pemakai motif tersebut
menjadi manusia unggul dan kehidupannya bermanfaat dan bermakna.
2). Parang Rusak
Motif batik tradisional Parang Rusak diciptakan oleh Sultan Agung di Mataram.
Sesuai dengan arti kata, Parang Rusak mempunyai arti perang atau menyingkirkan segala
yang rusak, atau melawan segala macam godaan (Koeswadji, 1985 : 25).
Motif  batik tradisional Parang Rusak mempunyai makna agar manusia di dalam
hidupnya dapat mengendalikan nafsunya, sehingga mempunyai watak dan perilaku yang
luhur.
3). Truntum
Motif Truntum merupakan simbolisasi istri yang bijaksana. Motif ini juga dipakai
oleh kedua orang tua dari kedua mempelai pada waktu upacara adat pernikahan anaknya. Hal
ini bermakna sebagai orang tua berkewajiban untuk menuntun kedua mempelai memasuki
hidup baru berumah trangga yang banyak liku-likunya. Dalam pengertian yang lain, motif
batik tradisional dengan ragam hias Truntum merupakan lambang cinta yang bersemi
kembali. (Nian S. Djumena, 1986 : 57).
4).  Semen
Motif batik Semen mempunyai corak yang beraneka ragam. Semen dari kata semi-
semian, yang berarti berbagai macam tumbuhan dan suluran. Pada motif ini sangat luas
kemungkinannya dipadukan dengan ornamen lainnya, antara lain: naga, burung, candi,
gunung, lidah api dan sawat atau sayap. Apabila ditinjau dan dirangkai secara keseluruhan
dalam bentuk motif Semen mempunyai makna bahwa hidup manusia
dikuasai (diwengku)  oleh penguasa tertinggi.
Kehidupan berasal empat unsur yaitu: bumi, air, api, dan angin yang memberikan
watak dasar pada hidup itu sendiri. Bila jalan hidupnya sesat, pada hidup yang akan datang
berada di dunia bawah atau lembah kesengsaraan. Sebaliknya jika jalan hidupnya penuh
dengan kebaikan akan masuk ke dunia atas (kemuliaan). Kesimpulan ornamen penyusun
motif Semen adalah bahwa hidup tidak mudah, sengsara atau mulia tergantung dari perbuatan
dan pengendalian hidup manusia itu sendiri. Batik dengan ragam hias tumbuhan seperti motif
Semen Remeng, cirinya: latar belakang berwarna hitam. Batik Semen dengan latar belakang
putih disebut batik Semen latar putih. Remeng berarti samar-samar dengan kata lain keadaan
diantara terang dan gelap. Maksud dari Semen Remeng adalah pemakai diharapkan mampu
melihat atau membedakan yang terang dan yang gelap atau yang baik dan yang buruk
(Depdikbud, 1995: 167).
Diantara motif-motif batik tradisional yang ada dan dipakai oleh golongan masyarakat
luas adalah motif  batik Semen Rama dan Ratu Ratih. Motif ini merupakan simbolisasi istri
yang baik, yang melambangkan kesetiaan seorang istri kepada suami (Nian
S.Djumeno,1986:12). Apapun kedudukan seorang istri, di dalam kehidupan rumah tangga
yang menjadi kepala rumah tangga adalah suami. Istri harus taat dan setia kepada norma yang
ada dalam kehidupan rumah tangga, tidak dibenarkan terlalu menuntut.

5).  Tambal
Motif batik Tambal sebagai simbolisasi wanita karier. Motif ini dipakai oleh Ni Sedah
Mirah sebagai busana kerja (jarik).Dia bekerka sebagai pegawai pamong praja yang
rajin,tertib,cekatan,disiplin,cerdas dan selalu dapat menyelesaikan tuganya dengan baik.
Motif batik ini juga mempunyai makna menambah atau memperbaiki sesuatu yang kurang.
Kekurangan itu harus ditutup (ditambal). Ragam hias ini juga mempunyai nilai mitos, yaitu
dianggap dapat menolak bahaya dan digunakan sebagai selimut orang yang sakit (Nian
S.Djumeno,1986:26). Dengan menggunakan motif ini, memberikan sugesti kepada orang
yang sakit supaya cepat sembuh.
6). Tritik
Motif ini dipakai oleh anak gadis kalangan Ningrat yang sudah tetesan dan terapan
tetapi belum dewasa (Nian S.Djumeno,1986:75). Dengan memakai motif ini maka harus
berhati-hati dalam mengarungi kehidupan remaja dan bisa membawa diri dalam hidup
pergaulan yang penuh dengan liku-likunya, jangan sampai terpelosok ke dalam pergaulan
yang sesat.
7). Cindhe (Patola)
Motif ini dulu hanya boleh dimiliki dan dipakai oleh kalangan Ningrat dan merupakan
lambang kehidupan seseorang. Kain ini dianggap sakral dan merupakan pusaka turun
temurun (Nian S.Djumeno,1990:104). Motif ini sekarang sudah tidak menjadi milik Ningrat
lagi, tetapi sudah menjadi milik masyarakat. Motif ini biasanya  dipakai sebagai busana
pengantin dengan dandanan paes ageng
8).  Udan Liris
Motif ini artinya hujan gerimis atau hujan rintik-rintik. Motif ini tersusun atas :
1.                  Motif api, yang berarti kesaktian dan ambisi
2.                  Setengah kawung, menggambarkan sesuatu yang berguna
3.                  Banji Sawat, melambangkan kebahagiaan dan kesuburan
4.                  Mlinjon, melambangkan salah satu unsur kehidupan
5.                  Tritis, melambangkan adanya ketabahan hati
6.                  Ada-ada, melambangkan adanya prakarsa
7.                  Untu Walang, melambangkan adanya kesinambungan
Dalam hal ini motif  batik Udan Liris diartikan sebagai pengharapan agar si pemakai
dapat selamat sejahtera, tabah, berprakarsa dalam menunaikan kewajiban demi kepentingan
nusa dan bangsa (Mari S. Condronegoro,1995:21).
9).  Mega Mendhung
Motif ini berbentuk awan (mendhung) di langit sebagai pertanda akan datangnya
hujan. Oleh karena itu diberi warna biru tua untuk menggambarkan awan gelap. Air adalah
lambing kehidupan. Dalam mitologi Hindu dikenal air amerta yang dapat memberi
kehidupan dan dapat menyebabkan hidup abadi (langgeng). Dalam penggambaran mendhung
yang biru tua, ada degradasi warna kea rah warna biru yang cerah (biru muda) dengan
harapan simbolik akan memperoleh kehidpan yang cerah. (Timbul Haryono, 2008: 13).
10).  Kapal Kandas
Dilukiskan kapal-kapal yang kandas dengan binatang laut disekitarnya dan burung
yang terbang di udara diatasnya, seolah-olah tidak peduli dengan musibah kapal-kapal
tersebut. Hal ini bermakna bahwa kegagalan dalam perjuangan mengarungi lautan kehidupan
merupakan hal yang biasa dialami oleh manusia, banyak teman senasip, namun manusia
harus tetap tegar bahkan tak boleh terlalu mengharapkan pertolongan orang lain
(Kushardjanti, 2008: 33).

c.       Warna Batik
Warna batik mempunyai arti simbolis, bahkan dianggap mempunyai kekuatan magis
dan sakral. Warna itu adalah :
1.      Warna coklat soga/merah
Warna coklat soga/merah termasuk warna hangat. Warna ini berasosiasi dengan tipe
pribadi yang hangat, terang, alami, bersahabat, kebersamaan, tenang, sentosa, dan rendah
hati. Menurut Magnis Suseno (1984 : 133).
2.      Warna putih
Warna putih makna simboliknya adalah lambang kesucian, jujur, bersih, spiritual,
pemaaf, cinta, dan terang. Putih dalam arti yang positif yaitu kesucian dan jujur merupakan
karakter dari orang maupun kelompok masyarakat yang yakin pada kebenaran yang mutlak
bahwa kebenaran hanya dapat dicapai apabila diawali dengan kejujuran.
3.      Warna hitam (biru tua), Indigo
Warna ini bermakna keabadian, kesemprnaan, misteri, kegelapan, kukuh, formal,
keahlian. Secara positif, hitam berarti mencerminkan kekukuhan dan keahlian. Sifat ini
berarti manusia harus mempunyai ketegasan dalam mengambil keputusan, kukuh dalam
pendirian, dan sanggup melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik. Warna
hitam dalam konotasi negatif berarti misteri dan kegelapan.
4.      Warna kuning emas
adalah simbol ketentraman, dari segala sesuatu yang mengandung makna Ke-Tuhanan
(keagamaan) atau kebesaran.
5.      Warna kuning adalah simbol ketentraman.
6.      Warna merah melambangkan keberanian dan kegembiraan.
7.      Warna biru melambangkan kesetiaan.
8.      Warna hijau merupakan lambang ketentraman dan ramah tamah, kesuburan, harapan.
9.      Warna ungu melambangkan keagungan.
10.  Warna orange melambangkan kegembiraan dan menarik.
11.  Warna coklat adalah lambang tunas (Budhy Raharja, 1986 : 40).

d.      Simbolisme dalam Ornamen


Menurut Sewan Susanto, ornamen utama dari motif batik tradisional Yogyakarta yang
mempunyai makna simbolis ialah :
“Meru melambangkan gunung atau tanah yang disebut juga bumi. Api atau lidah api
melambangkan nyala api yang disebut juga agni  atau geni. Ular atau naga melambangkan air
atau banyu disebut juga tirta (udhaka). Burung melambangkan angin atau maruta. Garuda
atau lar garuda melambangkan mahkota atau penguasa tertinggi, yaitu penguasa jagad dan
isinya (Sewan Susanto, 1980 : 212).”
  Unsur-unsur motif tersebut diatas menurut kepercayaan Jawa Kuno menggambarkan
kehidupan manusia yang berasal dari empat unsur hidup, yaitu tanah, api, air, dan udara yang
dikuasai oleh Penguasa Tertinggi, yang tidak lain adalah Tuhan. Disamping ornamen utama
yang menggambarkan unsur-unsur kehidupan sangkan paraning dumadi, juga mengandung
ajaran-ajaran keutamaan. Melalui unsur-unsur dasar kehidupan tersebut, manusia dapat
mengembangkan dan mengendalikan dirinya dengan segala kemungkinan tentang baik buruk.
Bahagia dan sengsara manusia itu tergantung bagaimana ia dapat berbuat serta
mengendalikan dirinya sendiri (Sewan Susanto, 1980 : 28).

1.      Ornamen Garuda
Burung garuda adalah sejenis burung rajawali raksasa yang gagah perkasa, di dalam
mitos merupakan makhluk khayal yang ajaib. Di dalam ornamen motif kadang-kadang
digambarkan bentuk badannya seperti manusia, kepalanya seperti burung raksasa, dan
mempunyai sayap.
Garuda adalah suatu makhluk khayalan atau mitos yang melambangkan sifat perkasa dan
sakti.Kadang-kadang digambarkan dengan bentuk dan badannya seperti manusia,kepalanya
seperti burung raksasa dan bersayap. Garuda juga gambaran kendaraan Dewa Wisnu.Di
dalam motif batik, ornamen garuda digambarkan sebagai bentuk stilir dari burung garuda,
suatu bentuk burung yang perkasa seperti rajawali,tapi kadang-kadang juga distilirkan dengan
burung merak. Bentuk ornamen burung garuda digambarkan beberapa macam,antara lain :
a.      Bentuk dengan dua sayap lengkap dengan ekor, seperti gambaran burung merak-ngigel yang
dilihat dari depan. Bentuk semacam ini disebut pula  “sawat”.
b.      Bentuk garuda disusun dengan dua sayap. Bentuk semacam ini disebut pula “mirong”.
c.       Garuda digambarkan dengan satu sayap. Bentuk ini seolah-olah menggambarkan makhluk
bersayap dari samping. Sebagai variasinya, pada pangkal sayap digambarkan kepala burung
atau kepala burung raksasa atau bentuk yang lain. Bentuk sayap garuda dapat dibedakan atas
dua macam, yaitu sayap terbuka dan sayap tertutup. Ornamen garuda dalam motif batik
sangat terkenal, bahkan hampir menjadi ciri umum dan  khas batik Indonesia berornamen
garuda (Sewan Susanto, 1973 : 265).

Dalam perkembangannya, ornamen garuda mengalami banyak perubahan dan sangat


bervariasi. Seringkali dijumpai ornamennya bukan lagi sebagai bentuk garuda, tetapi lebih
menyerupai bentuk-bentuk burung, binatang, atau tumbuhan yang lebih abstrak.

2.      Ornamen Meru
Meru merupakan gambaran gunung yang tampak dari sebelah samping, biasanya
digambarkan tiga buah gunung yang dirangkai menjadi satu dan yang di tengah sebagai
puncaknya. Ornamen meru juga digambarkan dalam bentuk yang bermacam-macam
tergantung selera dan daerah pembatiknya. Kadang-kadang ornamen meru digabungkan
dengan bentuk ornamen tumbuh-tumbuhan yang menjalar di bagian atas maupun di
bawahnya, sehingga hampir-hampir tidak tampak lagi ornamen aslinya. Dapat juga berbentuk
rangkaian tiga buah gunung dengan hiasan daun-daunan di puncaknya, atau hanya sebuah
gunung dengan variasi di bagian sampingnya.
Dalam kebudayaan Jawa-Hindu, meru untuk melambangkan puncak gunung yang tinggi,
tempat bersemayamnya para dewa. Pada motif batik, meru untuk menyimbolkan unsur tanah
atau bumi dan menggambarkan proses hidup tumbuh di atas tanah, proses hidup tumbuh ini
disebut “semi” (Jawa), dan hal yang menggambarkan semi disebut semen. Maka motif batik
yang tersusun atas ornamen meru, timbuhan dan lain-lain disebut semen. Motif batik secara
turun temurun atau tradisi memiliki arti, apabila para pembuat pola kurang memahami setiap
ornamen, maka bentuk meru juga mengalami perubahan-perubahan. Antara lain
bentuk meru yang digabung dengan bentuk tumbuhan (Sewan Susanto, 1973 : 261).

3.      Ornamen Lidah Api


Ornamen Lidah Api dalam motif batik biasanya digambarkan sebagai deretan nyala api.
Ornamen ini kadang-kadang untuk hiasan pinggir atau batas antara bidang yang bermotif
dengan bidang yang tidak bermotif. Ornamen Lidah Api juga disebut
ornamen cemukiran atau modang. Bentuk lain bisa juga berupa deretan ujung lidah api dan
diantaranya membentuk seperti blumbangan memanjang. Bentuk ornamen lidah api ditinjau
dari makna simboliknya berarti kesaktian atau ambisi.

4.      Ornamen Ular atau Naga


Naga atau ular besar di dalam mitos, mempunyai kekuatan yang luar biasa dan sakti.
Ornamen ini biasanya digambarkan dengan bentuk kepala raksasa yang aneh memakai
mahkota, badannya berupa ular yang berkaki dan kadang-kadang bersayap. Bentuk lain
berupa gambaran dua buah ornamen naga yang disusun berhadapan atau bertolak arah secara
simetris. Ornamen naga juga merupakan bentuk-bentuk khayalan dan banyak dijumpai pada
motif batik Semen.

5.      Ornamen Burung
            Ornamen burung ini selain berfungsi sebagai ornamen utama, juga dipakai sebagai
pengisi bidang yang digambarkan seperti bentuk burung kecil-kecil. Ornamen burung yang
utama bentuknya seperti burung merak berjengger dan sayapnya terbuka dengan bulu yang
tidak bergelombang. Dalam agama Hindu, burung merak dikenal sebagai wahana dewa
perang bernama Dewa Skanda dan Dewi Parwati. Banyak arca Dewa Skanda digambarkan
menunggang burung merak. Seringkali orang keliru melihat arca Dewa Skanda itu
mengendarai burung unta, setelah diteliti burung berjambul itu adalah lambang burung
merak. Ragam hias burung merak sebagai lambang kesucian dan dunia atas. Biasanya burung
merak dalam ragam hias pada batik ditampilkan dengan ekor yang mekar dengan bulu
merapat satu sama lain (Hamzuri, 2000 : 156). Dapat juga berbentuk seperti burung phoenix
dengan bulu ekor dan sayap panjang dan bergelombang, kadang-kadang terdapat bulu di
kepala berbentuk jambul. Burung phonix hanya dikenal di Cina. Burung ini dipandang
sebagai burung surga, juga sebagai lambang dunia atas atau langit. Bentuk lain berupa burung
khayal dan aneh, misalnya : burung dengan kepala naga, burung berkepala dua dan
mempunyai jengger atau bentuk burung yang badannya melingkar. Ornamen burung banyak
terdapat pada motif batik Semen tradisional.

e.       Fungsi Batik
1.      Busana
Batik sebagai busana harian,resmi dan adat. Berbicara masalah busana adat, tidak akan
lepas dengan batik. Menurut Melati Listyorini (Kedaulatan Rakyat,1 Mei 2002), busana adat
kaya akan makna simbolik, berisi piwulang sinandhi dan kaya akan ajaran yang bernilai
luhur. Ajaran dalam busana ini merupakan ajaran untuk melakukan segala sesuatu di dunia
ini secara harmoni yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, baik dalam berhubungan
dengan diri sendiri, dengan sesama manusia, maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa,
pencipta segala sesuatu  di muka bumi ini.
2.      Upacara adat/tradisi
Batik selalu ada dan dibutuhkan dalam kegiatan upacara adat/tradisi, misalnya tradisi
pernikahan. Di dalam tradisi ini dibutuhkan motif batik yang sesuai dengan pandangan hidup
masyarakat setempat terkandung harapan bagaimana hidup bahagia, sejahtera dan selamat di
dunia dan akhirat.
3.         Interior
Interior yang menggunakan motif batik mempunyai pesona dan daya tarik yang banyak
diminati, baik di rumah pribadi, kantor maupun hotel-hotel berbintang.
4.         Cenderamata
Berupa dompet, tas, kipas, pernik-pernik yang menjadi aset komoditas ekonomi dan
pariwisata.
C. Candi
   Candi merupakan peninggalan budaya Hindhu dan Budha. Relief-relief yang
dipahatkan pada arca-arca yang berdiri serta pola penempatan bangunan juga berorientasi
pada budaya Hindhu dan Budha. Sebuah bangunan candi menarik bukan hanya disebabkan
candi merupakan bangunan keagamaan, melainkan mengandung nilai estetis. Nilai ini dapat
terlihat pada kehalusan serta keagungan seni yang terpancar dari bentuk bangunan serta
relief-relief yang melekat atau terpahat pada bangunannya itu. Relief sebagai media visual
memiliki beberapa fungsi, antara lain : sebagai ungkapan historis, filosofis dan edukatif.
Fungsi historis dari suatu relief dapat ditunjukkan dengan penggambaran candra
sengkala, angka tahun suatu pendirian bangunan,serta prasasti-prasasti. Fungsi filosofis suatu
relief antara lain dapat ditunjukkan lewat penggambaran obyek-obyek yang secara
keseluruhan memiliki makna filsafati yang dalam. Sedangkan fungsi edukatif ditunjukkan
dari arti filosofis penggambaran relief yang berisikan tuntunan atau pendidikan moral bagi
kehidupan  manusia.  Banyaknya hiasan yang terdapat pada bagian candi disesuaikan dengan
tingkat ketertiban yang ada di alam semesta. Pada bagian kaki candi, merupakan simbol dari
kehidupan alam nyata dipenuhi dengan bermacam-macam hiasan, tubuh candi yang
merupakan gambaran dari kehidupan alam roh hanya terdapat sedikit hiasan, sedangkan pada
atap candi yang merupakan simbol dari alam dewata  hanya terdapat satu macam hiasan,
yaitu hiasan mahkota atau gentha.
Dalam bangunan candi, terdapat keindahan visual dan keindahan simbolik.
Keindahan visual terdapat pada :
1. Pengaturan tinggi rendah bangunan
2. Pengaturan hiasan bidang
3. Pengaturan hiasan konstruktif
4. Area-area yang diatur secara selaras dan harmonis

Keindahan Simbolik : 
         Berisi makna simbolik dari relief-relief yang berguna bagi kehidupan manusia ke arah
kehidupan yang lebih baik.
          Ditinjau dari ukuran keindahan dalam estetika Hindhu, candi memenuhi ke enam unsur
keindahan, yang disebut dengan istilah Sad-Angga. Ke enam unsur keindahan itu adalah :
1. Rupabedha, artinya perbedaan bentuk.
2. Sadresya, artinya kesamaan dalam hal penglihatan.
3. Pramana, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat.
4. Warnikabhangga, artinya penguraian dan pembuatan perbedaan
     warna.
5. Bhawa, artinya keindahan daya pesona yang muncul  
             (Djelantik,1999: 195).

D. Seni Musik
Seni musik pada jaman dahulu lahir dengan hasrat orang pada waktu itu ingin memiliki
bahasa khas, yang berlainan dengan bahasa tutur, untuk komunikasi dengan dunia
supranatural, atau alam para arwah leluhur. Kata-kata ini tepat karena sebagai seni yang
berlainan dari bahasa, musik ternyata mampu mengungkapkan pengalaman batin yang tak
mungkin dideskripsikan. Musik mampu menuntun orang ke arah kebersamaan, atau
komunikasi berbagai perasaan dan pengalaman hidup, sehingga dapat disebut sebagai suatu
bentuk tingkah laku sosial dan mempersatukan kelompok lewat suatu cara simbolik dan dapat
diingat-ingat, sehingga dapat diulang-ulang dan dirasakan bersama (Suhardjo Parto,
1983:11).
Menurut Ki Ageng Suryamentaram, seni musik mempunyai pengaruh untuk
memperhalus budi pekerti manusia. Seni musik dapat dibedakan menjadi :
1.      Lagu-lagu rendah misalnya lagu yang berirama marah,dan jorok.
2.      Lagu-lagu sedang, misalnya lagu yang bernuansa gembira, susah dan ngelangut.
3.      Lagu-lagu luhur, yaitu lagu-lagu cinta alam, Tuhan dan hidup yang baik.

Musik tradisional di Indonesia sebagian besar alatnya dimainkan dengan dipukul (musik
perkusi). Hanya beberapa alat saja yang cara memainkannya dengan ditiup.

E. Wayang
Wayang mempunyai fungsi sebagai tontonan dan tuntunan, yang di dalamnya terdapat
"keindahan bentuk" dan "keindahan isi". Macam-macam wayang dianrtaranya :
a. wayang kulit/purwo
b. wayang golek
c.wayang klitik
d. wayang orang
e. wayang topeng
f.  wayang beber
g. wayang ukur

Wayang kulit dalam arti lahir sebagai tontonan, dapat menjadi wayang purwo dalam arti
bathin, yang berisi tuntunan. Hal ini dibedakan karena fungsi kelir sebagai latar depan atau
sebagai latar belakang.
Wayang kulit dalam artian lahir yaitu kulit yang diprada dengan warna-warni. Kelir
merupakan tempat Dalang dan menjadi latar belakang boneka kulit yang warna-warni itu dan
menjadi tontonan di siang hari serta penonton bebas berkomentar.
Wayang Purwa dalam artian bathin merupakan tontonan dan tuntunan. Kelir menjadi
latar depan yang transparan dan menjadikan wayang kulit menjadi bayang-bayang kehidupan.
Dalang dan wayang ada di balik kelir.Kelir diibaratkan sebagai hati nurani rakyat, yang perlu
didengar dan ditanggapi secara positip.
Salah satu senjata yang ampuh dalam dunia pewayangan adalah :Layang Kalimasada
merupakan Serat (tulisan) yang sakti dan disakralkan. Dalam lakon Baratayudha, Pandhawa
yang memiliki layang Kalimasada (mungkin Kalimah Syahadat (dan disimpan di Udheng
Prabu Darmo Kusumo.

F. Seni Tari
Hakekat seni tari adalah gerak, dan gerak itu ditempatkan   pada perspektif yang luas
sebagai salah satu aspek kebudayaan.
Menurut John Martin, seorang ahli tari dari Amerika memberikan tekanan bahwa gerak
betul-betul merupakan substansi baku dari tari (Soedarsono, 1972:2). Gerak adalah
pengalaman fisik yang paling elementer dan pengalaman emosional dari kehidupan manusia.
Seni tari pada dasarnya merupakan ekspresi jiwa manusia yang diwujudkan dalam gerak-
gerak yang ritmis.
Kamaladevi, seorang ahli tari dari India berpendapat bahwa seni tari berlandaskan pada
insting manusia, dan materi dasar dari tari adalah gerak dan ritme. Tari dapat dikatakan
sebagai insting, suatu desakan emosi di dalam diri kita yang mendorong kita untuk
berekspresi yaitu gerakan-gerakan luar yang ritmis dan lama-kelamaan nampak mengarah
kepada bentuk-bentuk tertentu (Iyus Rusliana, 1986:10). Sedangkam menurut Soedarsono,
ahli tari Indonesia, mendefinisikan tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak
ritmis yang indah (Soedarsono, 1972:4). Dalam definisi ini, Soedarsono memakai gerak dan
ritme sebagai substansi dasar, tetapi gerak-gerak itu bukanlah tari apabila gerak-gerak itu
adalah gerak-gerak sehari-hari atau natural. Gerak-gerak ritmis itu distilir supaya indah.Istilah
indah bukan hanya berarti bagus, tetapi dapat memberi kepuasan kepada orang lain. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa gerak-gerak ritmis yang indah itu merupakan pancaran jiwa manusia.

Di dalam tari Jawa, tari mempunyai tiga unsur pokok yang saling berkaitan dan tidak
dapat dipisahkan, yaitu :
1.      Wiraga, yakni keseluruhan gerak tubuh yang diperhalus dan diperindah ,sehingga
merupakan bentukkan tari tertentu.
2.      Wirama, yakni wiraga tari tersebut diiringi suara gamelan atau musik dan tersusun menurut
ragam irama lagu gendhing.
3.      Wirasa, artinya wiraga yang berirama dan mengandung arti, maksud dan rasa tertentu, yang
diungkapkan secara simbolik atau perlambang.

Dilihat dari fungsinya, tari digolongkan menjadi :


1.      Tri upacara, misalnya tari Kecak, tari Bedhaya Ketawang
2.      Tari sosial/tari pergaulan, misalnya tari Poco-poco. 
3.      Tari tontonan, misalnya saja tari Gambyong.

Dilihat dari penggarapannya, tari dibedakan menjadi :


1.      Tari tradisonal, yaitu seni tari yang mempunyai sifat turun-temurun dan mempunyai sifat
tetap.
2.      Tari klasik, yaitu seni tari yang sudah ada di puncak kesempurnaan dalam pola gerak seni
tari tradisional.
3.      Tari kreasi baru, yaitu seni tari yang mempunyai sifat bebas dalam berkreasi dan
memadukan gerak-gerak tari tradisional dan tari klasik dengan irama musik yang bebas pula.

G. Upacara Adat
     Di Indonesia adat di tiap-tiap daerah tidak sama. Hal ini disebabkan kebudayaan dan
sifat-sifat dari tiap-tiap kelompok masyarakat tersebut berbeda-beda. Adat senantiasa tumbuh
dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup yang keseluruhannya merupakan
kebudayaan masyarakat tempat adat itu berlaku. Dalam hal ini tidak mungkin dibuat suatu
adat yang baru, bila adat tersebut bertentangan dengan kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan.
Menurut FD. Hellman, adat di Indonesia mempunyai 4 sifat umum yang merupakan satu
kesatuan,yaitu :
a)      Sifat religio magis (magisch-religiuos) yang merupakan pembulatan atau pembedaan kata
yang mendukung unsur beberapa sifat atau cara berfikir seperti frelogika, animisme, ilmu
gaib dan lain-lain.
b)      Sifat komun (commun) artinya sifat yang mendahulukan kepentingan umum daripada
kepentingan sendiri.
c)      Sifat konstan (constant) yaitu prestasi dan kontraprestasi, dilakukan sekaligus bersama-sama
pada waktu itu juga.
d)     Sifat-sifat konkret (visual). Pada umumnya masyarakat Indonesia kalau mengadakan
(melakukan) perbuatan hukum itu selalu konkret (nyata)  (Imam Sudiyat, 1982:30-33).

Upacara adat mempunyai :


1.  Nilai estetis dan simbolis
2.  Berlatar belakang kepercayaan agama
Misalnya upacara adat pernikahan menurut agama Islam.Secara agama sahnya
pernikahan adalah proses ijab-kabul.Secara adat,pesta walimahan tiap daerah dan suku
bangsa mempunyai tradisi yang berbeda.Kegiatan ritual itu tujuannya semuanya sama ,yaitu
agar nanti menjadi keluarga bahagia ,lahir dan bathin.

BAB IX
ESTETIKA TIMUR

A. Estetika India
    1. Natyasastra : 
Natyasastra merupakan karya sastra pertama tentang Estetika di India yang ditulis pada
abad ke-VI oleh Bharata, yaitu merupakan kitab tentang pentas dan memandang seni drama
sebagai seni yang bermutu tinggi.Disini diuraikan tentang , "rasa" lahir dari manunggalnya
situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang
senantiasa berubah (Agus Sachari,1989:27).
Rasa dalam bahasa Sanskerta dinamakan "bhava"yang jumlahnya menurut kitab
Natyasastra  ada delapan yaitu emosi senang, kegembiraan, kesedihan, kemurkaan, kebulatan
tekad, ketakutan, kebencian dan emosi kagum. Inilah delapan keadaan jiwa yang pokok dan
baku, yang tertera dalam jiwa manusia dan sewaktu-waktu dapat tumbuh dan disadarinya.
Kedelapan  bhava ini tidak selalu nampak dalam keadaan yang murni tetapi sering tercampur,
saling berhubungan dan bersifat sementara.
Dalam estetika India masalah "rasa" juga dibahas oleh;    
a)      Batta Lollata (abad ke 9); "rasa",merupakan tingkat spiritual,yang ditingkatkan sampai
ketitik   puncak tertinggi ,yang sebanding dengan situasi yang direpretansentasikan,reaksi-
reaksi siaktor dan lain-lain.
b)      Sankuka; "rasa bukanlah tingkat spiritual yang ditingkatkan ketitik puncak tertinggi, tetapi
"rasa" adalah suatu duplikasi dari suatu tingkat spiritual ,yang ditarik oleh penonton dari
pertunjukan itu, dari tingkah laku si aktor, dan selanjutnya.pengertian tentang imitasi keadaan
spirituil yang dinamakan sebagai "rasa"oleh penonton, bagi Sankuka adalah lain dari semua
bentuk kesadaran. Seekor kuda yang diimitasi oleh seorangpelukis kataya, bagi yang
melihatnya tampak bukan asli dan bukan palsu, sekedar sebagai image, dan setiap penilaian
baik tentang realitasnya atau tentang tidak realitasnya, sama sekali tidak dapat diterima.
c)      Batta Nayaka, "rasa"bukannnya berada pada intensifikasi atau imitasi keadaan spiritual, ia
tumbuh dari kenyataan, bahwa di dalam pengalaman-pengalaman estetika, realita tidak
dipandang ada hubungannya dengan segala bentuk dari ego, tetapi telah di "awamkan"
dengan kata lain, drama yang dipergelarkan atau puisi yang sedang di deklamasikan,
mempunyayi kemampuan untukmembangkitkan didalam diri penonton, dalam satu saat
tertentu , sesuatu yang melampaui egonya sendiri atau melampaui perhatian-perhatian
praktisnya yang didalam kehidupan sehari-hari disebut dengan "suatu lapisan tebal dari
kebabalan mental" dari yang membatasi dan meredepkan kesadarannya.

     2. Silpa sastra : 


Pedoman seniman dalam berkarya. Karya sastra dinilai berkualitas dan indah apabila
mematuhi aturan yang ada dalam silpa sastra.
Kecintaan terhadap alam merupakan unsur yang memberikan inspirasi bagi seniman
untuk berkarya .Seniman dalam menciptakan hasil karya seninya ,bersifat naturalis dan
bernuansa religi, yang tidak realistis, yang menggambarkan bentuk kesempurnaan dari bentuk
alam.
Misalnya  :  Dewa Durga mempunyai 10 tangan.
                 :  Dewa Siwa mempunyai 4 kepala.

Pengalaman Estetis
Menurut Sankuka yang hidup pada abad ke 10, berpendapat bahwa pengalaman estetis
berada di luar bidang kebenaran dan ketidak benaran. Pendapat ini jika dibandingkan dengan
pemikiran estetika di Barat, mirip dengan pendapat Immanuel Kant. Pendapat Sankuka ini
dikritik oleh Abhinavagupta, yang menyatakan bahwa bila hidup nyata ditiru, efeknya bukan
kenikmatan estetik, tetapi suatu kelucuan belaka.
Bhatta Nayaka berpendapat bahwa pengalam estetik adalah semacam jatuhnya wahyu,
artinya bahwa dengan menerima wahyu berarti kebekuan rohani kita tersingkirkan, sehingga
kita dapat melihat kenyataan dengan suatu cakrawala yang meluas. Menurut Nayaka, hakekat
rasa bukanlah menirunya, melainkan melepaskan kenyataan dari keterikatan ego seseorang
dan menjadikannya pengalaman umum. Lewat penglaman estetika rasa yang diwahyukan itu
bukan persepsi  akal budi, melainkan suatu pengalaman yang penuh kebahagiaan, akhirnya
kesadaran pribadi melenyap, maka ia akan sampai pada Brahma Tertinggi (Agus
Sachari,1989:29).
Menurut teori Sankkya, seniman harus dapat : 
1).  Mencipta kemiripan/ekspresi
2).  Mengekspresikan jiwa manusia yang menjadi idealnya
Tugas seorang seniman harus dapat mengungkapkan ekspresi kejiwaan.

B. Estetika Tiongkok
Estetika Tiongkok dilandasi oleh kepercayaan :  Taoisme, Budhisme, dan
Konfusianisme. Dalam kepercayaan Taoisme mengajarkan hubungan antara manusia dan
alam semesta. Budhisme mengajarkan bagaimana hubungan antara  manusia dengan yang
mutlak, dan Konfusianisme mengajarkan hubungan antara manusia dengan masyarakat.
Berdasarkan kepercayaan ini konsep estetika Tiongkok bersifat naturalisme. Segala sesuatu
harus bercermin pada alam, termasuk hukum-hukumnya.

Tao  :  prinsip absolut yang menjadi sumber semua nilai-nilai dan kehidupan. Tao berarti
sinar terang dan sumber segala yang sensasional. Manusia dianggap sempurna jika hidupnya
diterangi oleh Tao. Tao adalah kemutlakkan , sesuatu yang memberikan keberadaan,
kehidupan dan gerak serta membuat sesuatu serba tertib dan damai (Agus Sachari,1989:21).

Seniman 
Seniman harus dapat menangkap Tao (roh yang tersembunyi di dalamnya) dan
menampilkannya lewat karya seni. Untuk dapat menampilkan karya seni yang baik,
inderanya harus disucikan.
Menurut Hsieh Ho, yang hidup di akhir abad ke-V Masehi, ada 6 prinsip dasar bagi seniman.
1.      Dapat menangkap gema spiritual dalam barang-barang dan menampilkan hidup dan geraknya
dalam karya-karyanya.
2.      Seniman harus dapat menangkap ch'I (ekspresi gerak hidup).
3.      Menempatkan "alam nyata" sebagai titik pangkal.
4.      Keselarasan dalam warna-warna.
5.      Perencanaan matang dalam pembuatan karya seni.
6.      Meneruskan pengalaman seniman kepada si pengamat dalam rangka pendidikan dan
penerusan nilai-nilai budaya (Dick Hartoko, 1984: 73-75)

Para seniman tradisional di Cina (Tiongkok) kebanyakan pelukis dan sastrawan. Ia


mempunyai kedudukan dan kewibawaan yang besar di masyarakat dan berdaulat penuh
terhadap hasil karya seninya. Ia juga mengembangkan seni kaligrafi kearah seni lukis dengan
rasa cinta terhadap alam. Unsur-unsur utama estetika cina dalam seni rupa adalah:
1.      kebebasan dan kedaulatan. Tidak tergantung dari kemauan atau selera orang lain, selera
pemesan.
2.      Perfeksi (penyempurnaan wujud). Bakat dan tenaga sepenuhnya diarahkan kepada hasil
pekerjaan yang sesempurna mungkin.
3.      Cinta alam. Selalu diusahakan agar jiwa seniman bersatu dengan alam dilingkungannya
dalam rasa cinta yang intensif.

     Keramik di jaman dinasti Han terbuat dari jenis tanah kaolin, yang berbentuk:
1.      Bejana  : sebagai tempat untuk abu jenazah,air suci dan ada yang khusus untuk
hiasan                           
2.      Kaligrafi Cina  :  merupakan seni nasional pada dinasti Chou. Pada jaman ini keramik
menjadi berkurang nilai religiusnya. Pada jaman dinasti Ch'ng, pada abad ke-XVII seni
merupakan bagian hidup manusia, tidak dapat dilepaskan dari kehidupan kejiwaan,
dinamisme kreatif yang memanivestasikan keaktifan-keaktifan tidak permanen dari Tao.

Seni lukis, ukiran, sastra, sulam menyulam, arsitektur tradisional, merupakan bagian
hidup para biarawan, seniman dan bangsawan.
Etika dan estetika selalu berkaitan dan merupakan subyek dari peraturan-peraturan
konstan dalam kehidupan yang bersifat alami. Dalam tahun 1924, Kaisar Ts'ai Yuan Pei
(1867-1940) didalam bukunya berjudul "Elemen Filsafat" (Chih Hsuah Kangyao) ,
menyodorkan sebuah teori tentang seni sebagai suatu substitusi agama. Pertanyaannya,
apakah tak mungkin bagi seseorang yang telah menyingkirkan diri dari agama, pada akhirnya
dia akan menemukan suatu kenikmatan hidup dari kesenangan kepada keindahan? Pertanyaan
ini dijawab oleh Hsú Ching-yu, dalam bukunya yang berjudul "Filsafat tentang yang indah"
( Mei-ti chih- hsueh).
Menurut Fung Tung Sien, memandang seni sebagai jiwa manusia hidup dan sebagai
manivestasi kemajuan manusia menuju dunia yang lebih sempurna, lebih baik dan  lebih
indah. 
Jadi pemikiran-pemikiran estetika cina dari dulu sampai saat ini tetap tunduk dan taan
kepada ide-ide kuno yang meminta kepada seni untuk merefleksikan transendentasi jiwa dan
mengungkapkan tuntutan-tuntutan yang lebih tinggi dari jiwa (Abdul Kadir, 1974: 43-44)
C. Estetika Jepang
Konsep estetika Jepang adalah merupakan perpaduan antara tradisi, kepercayaan dan
alam. Ketiga hal ini hidup, tumbuh dan berkembang sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Titik tolak estetika Jepang adalah alam. Mereka mempunyai keyakinan bahwa fenomena-
fenomena alam sehari-hari seperti matahati, bulan, gunung, air terjun dan pepohonan diyakini
mempunyai roh atau "kami". Alam merupakan tempat para pendekar menimba semangat
perang dan alam pulalah yang menginspirasikan seseorang untuk memperoleh semangat dan
makna hidup. Agama/kepercayaan di Jepang adalah Shinto dan Budha yang mengajarkan
agar manusia dekat dengan alam. Menurut kepecayaan Shinto, alam ini dianggap penuh
dengan roh nenek moyang, sehingga ada suatu kewajiban untuk memelihara kelestarian dan
keselarasan dengan alam. Hal ini dibuktikan dengan kecintaan yang dalam pada alam dan
pemahaman akan perubahan pada gejala musim yang selalu berganti. Kebudayaan menikmati
alam dikenal dengan nama "furyu" . Mereka yang tidak mempunyai naluri furyu digolongkan
sebagai orang yang sangat tidak berbudaya. Naluri ini tidak hanya bersifat estetis, tetapi juga
mengandung makna religius.
Kepercayaan Budha berkembang di Jepang dengan ciri yang khusus, dikenal dengan
kepercayaan Zen Budha. Zen Budha ini menghasilkan suatu adat istiadat (tradisi) Jepang
yang khusus yaitu "upacara minum teh" dan dianggap sakral, sejajar dengan upacara
keagamaan. Pengaruh Budhisme yang lain adalah "ketidaksimetrisan" yang  menjadi unsur
yang memberi guratan dalam estetika Jepang . Seniman Jepang secara naluri tidak menyukai
simetris yang itu-itu saja dan sedapat mungkin menghindari keteraturan. Simetri dipandang
menimbulkan kejenuhan dan kekakuan. Oleh karena itu seniman Jepang menembusnya
dengan gaya konvensional yang dapat menerobos kekakuan dengan sentuhan warna yang
lembut dan halus. Pengaruh Zen Budha dalam bidang militer memungkinkan tinbulnya
kelompok baru yang dinamai "Samurai", dengan semangat Bushido. Golongan Samurai ini
dilambangkan sebagai bunga Sakura (bunga yang dianggap terindah di Jepang) yang rela
mati untuk mengabdi pada raja ( tuannya) walaupun di usia muda.

Hasil karya seni di Jepang bersifat naturalis (mencotoh alam), karena itu bangsa Jepang
ingin selalu dekat, hidup selaras dan serasi dengan alam.
Konsep estetika dalam kehampaan dan asimitris:
1.      Kehampaan (kekosongan)
konsep estetika di Jepang dapat dilihat dari sudut perbandingan Barat dan Timur
mengenai kehampaan. Salah satu dasar pemikiran Barat ialah bahwa yang kosong  (hampa)
dianggap tidak menarik.  Hanya yang "berisi' atau "penuh' yang menarik. Kehampaan
(kekosongan) dianggap bisa menampilkan sesuatu. Kekosongan itu dapat diisi informasi yang
lain, dan mungkin lebih dari itu, tidak hanya sekedar informasi. Kekosongan (kehampaan)
bersifat positif dan dinamis.
Estetika Timur bagaimanapun juga menganggap bahwa keindahan itu mempunyai arti
memiliki sesuatu yang menarik perhatian. Misalnya dalam hal merangkai bunga Ikebana,
ruang kosong diantara tangkai-tangkai atau rantin-ranting mempertegas ruang dari tangkai
atau ranting yang terisi. Hal demikian itu, merupakan kombinasi atau gabungan yang terisi
penuh dan kosong atau hampa yang akan menciptakan pengalaman estetis. Seni merangkai
bungan Ikebana merupakan simbolisasi hubungan antara Ten, Chi dan Jin (alam, bumi dan
manusia) yang harmonis.

2.      Asimitris
Asimitris menjadi unsur yang menjadi guratan mendalam dalam estetika Jepang, hasil
pengaruh dari Budhisme. Dalam kuil-kuil Budha yang terdiri dari beberapa bangunan atau
wisma dapat ditari sebuah garis lurus antara wisma Dharma, wisma Budha, dan Pintu
Gerbang, yang biasa diistilahkan dengan Gerbang Gunung, dan di sekitar tiga bangunan itu
ada beberapa bangunan yang tidak diatur secara asimetris. Asimetris juga terdapat dalam
ruangan tempat upacara minum teh berlangsung dan dalam taman yang nyata dalam batu-
batuan untuk jalan setapak (Muji Sutrisno dan Chist Verhaak, 1993)
Seniman Jepang secara naluri tidak menyukai simetris dan sedapat mungkin
menghindari keteraturan. Simetris dipandang menimbulkan kejunehan dan kekakuan. Oleh
karena itu, seniman menmbusnya dengan gaya konvensional (asimetris)  yang dianggap dapat
menerobos kekakuan.
Masuknya aliran Zen dari Budhisme ke Jepang pada akhir abad ke-11 terjadi
perubahan-perubahan sesuai dengan kepribadian masyarakat setempat. Zennisme yang lebih
cocok dengan kepribadian rakyat Jepang membangkitkan kecenderungan masyarakat kembali
ke agama aslinya, yakni Shinto. Pada tahun 1868, Shinto dijadikan agama resmi Jepang.
Tanpa meninggalkan Budhisme, kebudayaan Jepang menjadi perkawinan antara agama Buda
dan Shinto disebut "Ryobo-Shinto" yang mengandung pengaruh besar dari aliran Zen.
Berdasarkan Sintese ini berkembanglah esteika Jepang yang sampai dengan masa
industrialisasi modern masih sangat menonjolkan ciri khasnya, yaitu:
a)      Kesederhanaan (pengaruh Budha). Perwujudan agar sepolos mungkin, tidak banyak
perhiasan. Kepribadian Jepang mencar kesungguhan dan kebenaran dengan kehidupan dalam
kesederhanaan.
b)      Disiplin yang keras pada dirinya sendiri (pengaruh Shinto). Disiplin yang sangat menonjol
dalam kehidupansehari-hari, menyerap dalam perwujudan kesenian, hingga merupakan unsur
estetik yang khas Jepang yait disiplin dalam goresan dan disiplin dalam kesederhanaan.
c)      Logika. Semua perwujudan seni harus memenuuhi syarat penggunaan yang praktis. Sebagai
akibat dari unsur logika ini, Jepang menjadi unggul dalam "industrial design" modern dalam
masa kini. Mereka erhasil mewujudkan seni, juga dalam bentuk-bentuk mesin, mobil, kereta
api, pesawat terbangm alat televisi, telepon, radio dan komputer.
d)     Hemat Ruang. Keterbatasan ruang dalam kehidupan sehari-hari memaksa mereka
menggunakan sedikit mungkin ruang. Kebiasaan ini menjadi unsur kebudayaan tersendiri
yang meresap kedalam konsep estetika mereka (Djelantik, 1999: 199-200)/

D. Estetika Mesir
Kepercayaan bangsa Mesir pada dewa-dewa, telah dikenal semenjak jaman "Mina",
yaitu kepala keluarga Fir'aun yang pertama, kira-kira sekirat tahun 3300 sebelum masehi.
Dewa-dewa cosmos itu, hidup subur dalam alam kepecayaan bangsa Mesir, memberi bentuk
dan corak yang tertentu dalam pertumbuhan kebudayaan mereka. Sekalipun pada masa
keruntuhan kerajaan Mesir, bangsa Persi telah datang menaklukkan lembah Nil dan kemudian
berpindah tangan pada bangsa Romawi, namun kepercayaan kepada dewa-dewa itu masih
tetap merupkan satu-satunanya agama resmi dari bangsa mesir. Dalam abad ke 2 dan 3
masehi, agama nasrani telah meluan dalam lingkungan keluarga kerajaan. Sudah banyak
orang yang memeluk agam aitu namun bangsa mesir masih tetap dengan kepercayaab
mereka, walaupn mereka di bawah jajahan bangsa romawi. Bangsa Mesir kono semenjak
jaman pra sejarah sudah mengenal dan memuja dewa alam. Diantara dewa-dewa yang
terbesar dan pernah mempunyai kedudukan yang tertinggi dalam kepercayaan rakyat adalah
Dewa Ra atau Re dan Dewa Osiris.

Kesenian di Mesir mempunyai dua bentuk, yaitu :


1.      Seni hieratis, yaitu seni yang berdasarkan pada kepercayaan yang bersifat religius.
2.      Seni rakyat, yaitu seni yang berdasarkan kerajinan.
Kedua jenis seni itu bisa hidup secara berdampingan.
Seni arsitektur mempunyai tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat dan
kehidupan religius, hal ini nampak dalam bangunan :
a)      Makam  : dengan bentuk mastaba (pola geometris),untuk tempat jenasah,dan juga tempat
untuk menyimpan              harta kekayaan.                 
b)      Kuil/candi :  kuil makam, misalnya Ratu Hatshepsut, Kuil dewa, misalnya Amon di Karnak,
di tepi sungai Nil.
c)      Piramida : merupakan lambang kebesaran seni Mesir purbakala yang sampai sekarang masih
tetap dikagumi, karena bentuknya yang sangat besar .Bentuk bangun segi  banyak piramid
dipandang sebagai bentuk bangun segi banyak yang unik dan dianggap sakral.

Dalam bidang seni pahat/seni patung : 


a)      Patung potret wajah Tutabkhamon (berlapis emas)
b)      Ratu Nefretete (arca sedada), merupakan lambang kecantikan timur.

Sphinx  ;  manusia singa.
Seni relief  :  Fir'aun diperlihatkan sebagai raksasa yang ada diantara orang-orang yang
dipahat sangat kecil.
Tari perut merupakan seni tari  yang sangat terkenal dan berasal dari Mesir. Dalam
bidang seni lukis, pewarnaan dengan menggunakan lilin (pernis bening) sudah digunakan
pada jaman Mesir kuno, yang mempunyai kualitas tahan lama.
    
Keagungan seni Mesir ada pada mutu kelanggengan seni itu sendiri,terdapat pada :
1). Simetri, misalnya pada Mastaba.
2). Ukuran raksasa/keagungan, misalnya pada Piramida.
3) Kerumitan, ada pada patung-patung.
4). Keindahan, terdapat pada relief, lukisan dan seni tari.

E. Estetika Islam
 Ada persepsi bahwa menikmati keindahan itu akan merusak keimanan atau
menyebabkan terperosok terhadap kesombongan yang dibenci Allah dan seluruh manusia.
Hal ini tidak benar karena di dalam sebuah hadist, Ibnnu Mas'ud meriwayatkan bahwa
Rasulullah s.a.w bersabda : "innallaaha jamiilun yyuhibbul jamaal, yang artinya
sesungguhnya Allah Maha Indah dan Dia menyukai keindahan". Keindahan yang sempurna
hanya ada pada Allah. 
Sudut pandang Islam Ortodok ,terutama yang bersandar kepada mistik, tercermin pada
pandangan Al-Qhazzali dalam buku Kimiya-i Sa'adat (Kimiyatus sa'adah = uraian tentang
kebahagiaan) yang ditulisnya sekitar tahun 1106. Menurut al-Ghazzali, keindahan sesuatu
benda terletak di dalam perwujudan dari kesempurnaan, yang dapat dikenalai kembali dan
sesuai dengan sifat benda itu. Bagi al-Ghazalli "jiwa" (roh) , spirit, jantung, pemikiran,
cahaya yang dapat merasakan keindahan dalam dunia yang lebih dalam (inner world), yaitu
nilai-nilai spiritual, moral dan agama. Konsep tentang pengertian hakiki ini memberikan
suatu segi pemandangan baru atas keindahan dan seni, yang dapat memuaskan hati. Sebuah
lukisan atau bangunan yang indah juga mengungkapkan tentang keindahan hakiki pada diri si
pelukis atau arsitekya. Keindahan hakiki ini terkandung dalam tiga prinsip:
1.      Pengetahuan : pengetahuan yang sempurna hanya ada pada Tuhan
2.      Kekuatan :  yaitu kekuatan untuk membawa diri sendiri dan orang lain kepada kehidupan
yang lebih baik.   
3.      Kemampuan :  yaitu kemampuan untuk menyingkirkan kesalahan-kesalahan dan ketidak-
mampuan.

Karena pengetahuan, kekuatan dan kemampuan untuk menyingkirkan kesalahan yang


absolut hanya pada Tuhan, dan karena sifat-sifat demikian itu ada pada manusia dengan
ukuran manusiawi dan juga berasal dari Tuhan, maka berikutnya adalah : cinta pada
manifestasi tentang keindahan hakiki yang disuguhkan oleh seniman (artis) yang sempurna,
akan membawa manusia kepada Tuhan (Abdul Kadir, 1974:56).

Hubungan antara Islam, Seni dan Seniman


Islam dan seni tidak ada hubungan. Islam sebagai agama adalah tata hubungan manusia
dengan Tuhan dalam beribadat yang diperlukan kekhusyukkan dan takwa. Seni merupakan
bidang kebudayaan. Agama dan kebudayaan, membentuk din Islam. Jadi, meskipun seni
tidak masuk agama islam, namun ia tetap bagian dalam diin Islam, karena ia merupakan
bidang kebudayaan Islam.
Bagi Islam, seni dan moral berjalan sejajar. Seni itu halal sejauh mengandung nilai moral
religius dan haram bila mendatangkan nilai mudhorot. Seni yang baik, seperti halnya rejeki
maka manusia wajib menikmatinya. Lewat seni yang diajarkan oleh Islam, manusia dapat
mengambil hikmahnya karena di dalam seni Islam terkandung ajaran bagaimana manusia itu
harus bertingkah laku yang baik dan mensyukuri karunia Allah untuk lebih dekat dengan-
Nya.
Islam tidak menganut paham "seni untuk seni", tetapi seni untuk mengabdi kepada
agama. Hal ini nampak dalam hasil karya seni yang  bernafaskan Islam, seperti halnya
kaligrafi, seni musik dan arsitektur. Contohnya di dalam seni arsitektur masjid. Masjid
dibangun untuk tempat beribadah. Masjid tidak hanya indah , misalnya dengan permadani
yang tebal,mimbar yang bagus, cat yang selaras, tulisan ayat-ayat suci al-Qur'an yang indah
pada dinding dan tiang masjid. Memperindah masjid dikehendaki, tetapi tidak
memegahkannya, masjid tidak kenal perabot, dindingnya tidak digantungi dengan gambar
atau lukisan.Seni patung/pahat yang menggunakan objek makluk bernyawa tidak dibenarkan
oleh agama Islam. Bermegah-megah dengan masjid dilarang, karena hal itu melewati batas.
  
Seniman
Tugas dari seniman adalah untuk dapat membawa atau mendekatkan manusia kepada
Tuhan lewat hasil karya seninya. Bagi Islam, seniman yang baik adalah seniman yang
mampu menyuguhkan keindahan sebagai karunia Allah, yang akan mengantarkan untuk lebih
dekat dengan Tuhan-Nya.
BAB X
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir, 1974, Diktat Estetika Timur (terjemahan dari Enciklopedia of the World Art)
ASRI, Yogyakarta

Abdul Kadir, 1974, Diktat Estetika Barat (terjemahan dari Enciklopedia of the World Art)
ASRI, Yogyakarta

Abdul Kadir, 1975, Pengantar Estetika (terjemahan dari Enciklopedia of the World Art)
ASRI, Yogyakarta

Agus Sachari, 1989, Estetika Terapan, NOVA, Bandung

Amri Yahya, 1971, Seni Lukis Batik sebagai Sarana Peningkatan Apresiasi Seni Lukis
Kontemporer, IKIP, Yogyakarta

Beardley, Manroe, 1967, Aesthetic Inquiry : Essayon Art Critism and The Philosophy of Art,
Belmountm California

Budhy Raharja,J, 1986, Seni Rupa, C.V. Irama Bandung

Cassirer Ernts, 1987, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Isei tenta Manusia. Alih Bahasa
Alois A. Nugroho, PT. Gramedia, Jakarta

Dick Hartaka, 1984, Manusia dan Seni, Yayasan Kanisius, Yogyakarta

Dickie, George T, 1973, Aesthetics, The Encyclopedia Americana, Vol. I, Americans


Corortion, New York
Djelantik, 1999, Estetika, Sebuah Pengantar, Masyarakat seni Pertunjukkan Indonesia,
Bandung

Francis J. Kovack, 1974, Philosophy of Beauty, The University of Oklahoma Press, Norman

Frondizi, Risieri, 2001, Pengantar Filsafat Nilai, Pustaka Belajar,Yogyakarta

Hamsuri, 1994, Batik Klasik (Classical Batik), Djambatan, Jakarta

Hassan Shadily, 1980, Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru, Van Hoeve, Jakarta

Herbert Read, 1954, The Philosophy of Modern Art, The World Publishing
Company, Cleveland and New York

Humar Sahman, 1993, Estetika, Telaah Sistemik dan Historik, IKIP Semarang,Press,
Semarang

Imam Sudiyat, 1981, Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta

Iyus Rusliana, B.A, 1986, Pendidikan Seni Tari, Angkasa, Bandung

Jacobus, LA, 1968, Aesthetick and Art, Mc Crow Hill Book Company (Inv), New York

Kattsoff, LO, 1986, Pengantar Filsafat (terjemahan), Tiara Wacana, Yogyakarta

Koeswadji K, 1981, Mengenal Seni Batik di Yogyakarta, Proyek


Pengembangan Perindustrian, Yogyakarta

Loren Bagus, 1991, Metafisika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Mari S. Condronegoro, 1995, Budaya Adat kraton Yogyakarta Makna dan Fungsi dalam
Berbagai Wacana, Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta

Mudji Sutrisno, Chist Verhaak, 1993, Estetika Filasafat Keindahan, Kanisius, Yogyakarta

Nian S. Djumena, 1986, Ungkapan Sehelai Batik, Djambatan, Jakarta, 1990, Batik dan Mitra,
Djambatan, Jakarta

Nooryan Bahari, 2008, Kritik Seni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Parmono R, 1985, Menggali Unsur-unsur Filsafat Indonesia, Andi Offset,Yogyakarta

Sewan Susanto, 1973, Seni Kerajinan Batik Indonesia, Departemen Pendidikan RI, Jakarta

Soedarso SP,1987, Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Saku Dayan
Sama, Yogyakarta

Soedarsono, RM.,1972, Djawa dan Bali : Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional
di Indonesia, Akademi Seni rupa Indonesia, Yogyakarta

Suhardjo Parta, 1983, Pathet-pathet dalam Gamelan Jawa, Prinsip-prinsip Pembentukannya,


Latar Belakang dan Alasannya, AMI, Yogyakarta
Suyadi, M.P. Drs.,1985, Manusia dan Keindahan dalam Ilmu Budaya Dasar Modul 1-3,
Universitas Terbuka, Departemen P&K

Susane K. Langer, 1953, Feeling and form, A theory of Art Develped from Philosophy in a
New key, Charles Scribner's Sons, New York

The Liang Gie, 1976, Garis Besar estetika (Filsafat Keindahan), Karya        Kencana,
Yogyakarta
           …........, 1996, Filsafat Seni, Sebuah Pengantar, Pusat Belajar Ilmu Berguna
(PUBIB) Yogyakarta
          ……......, 1996, Filsafat Keindahan, Pusat Belajar Ilmu berguna (PUBIB)
Yogyakarta

Wadjiz Anwar, L.Th., 1980, Filsafat Estetika, Nur Cahaya, Yogyakarta

Wiryomartono Bagoes P, 2001, Seni dan Keindahan dari Plato, sampai       Derrida,


Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
ONTOLOGI, LOGIKA, ETIKA DAN ESTETIKA DALAM FILSAFAT ILMU

BAB I
PENDAHULUAN
Pada mulanya ontologi dan metafisika adalah satu, yaitu dibahas dalam kajian metafisika. Kemudian
pada abad ke-17 para filsuf membedakan antara metafisika dan ontologi pada pemilahan kajian atau
objek yang ditelaah. Secara garis besar ontologi dan metafisika mempunyai perbedaan arti secara
etimologi yaitu; ontologi berasal dari kata ta onta dan logia. Ta onta berarti segala sesuatu yang ada
dan logia berarti ajaran/ilmu pengetahuan, jadi ontologi berarti ajaran mengenai yang ada atau
segala  sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika adalah sesuatu yang ada pada sesudah fisika.

Prof. B. Delfgaauw membedakan antar ontologi dan metafisika melihat dari objeknya. Objek yang
bisa ditangkap dengan panca indra termasuk masalah ontologi, sedangkan objek yang tidak dapat
ditangkap denga panca indra termasuk bidang metasifika.

Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan
mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu,
ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu
proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu
pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.

Sementara itu penjelasan deskriptif mengenai ontologi dibahas sebagaimana akan diuraikan
dimakalah ini dari pengertian ontologi, pendapat tokoh-tokoh filsafat terhadap ontologi, objek
formal ontologi, aliran-aliran dalam ontologi, serta metode-metode yang dipakai dalam ontologi.

Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal


pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa, Logika adalah salah satu
cabang filsafat.

Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika
(ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan
teratur.

Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu
pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis
yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.

Posisi estetika tak berbeda dari atau tak perlu dibeda-bedakan dengan wilayah-wilayah studi filsafat
yang lainnya, entah itu epistemology, etika dan sebagainya. Demikian juga dengan cabang-cabang
keilmuan yang lain. Ia tidak lebih utama, tidak lebih superior dari yang lain, biasa-biasa saja.
Masalahnya adalah tidak ada satu ilmu pun, termasuk estetika pada khususnya dan filsafat pada
umumnya, yang mampu menjadi ilmu dengan posisi “tersendiri”, seberapa tinggi atau rendah pun
status yang diberikan oleh komunitas akademik terhadap keberadaan ilmu tersebut. Tidak ada satu
ilmu yang “tersendiri”, yang posisinya terisolasi dari ilmu-ilmu yang lainnya. Apalagi untuk masa tiga
dasawarsa terakhir ini sekat-sekat ketat yang memberi batas yang tegas antara satu ilmu dengan
ilmu yang lain sudah runtuh, atau sudah waktunya untuk diruntuhkan. Inilah yang disebut oleh
Clifford Geertz sebagai gejala Blurred Genre, yakni ketika kita dengan background keilmuan apapun
mengadopsi sebuah lingua franca yang sama. Karya-karya Sigmund Freud atau Jacques Lacan, untuk
sekedar contoh, tidak lagi dibaca oleh psikoanalisis semata, tetapi oleh kita semua. Juga Roland
Barthes, karyanya tidak cuma dibaca oleh kalangan kritikus sastra, tapi oleh lebih banyak lagi orang.
Merembes keluar dari sekat-sekat disipliner yang kaku. Ahli ilmu politik, filsuf, linguis, kritikus seni,
arsitek, psikolog, atau sosiolog tidak lagi peduli pada sekat-sekat tersebut, lalu sama-sama membaca
Jacques Derrida atau Pierre Bourdieu. Ini yang disebut tadi sebagai lingua franca. Begitu pula halnya
dengan estetika, ia telah kehilangan sekat-sekatnya, batas-batas yang dahulu telah membuatnya
menjadi sebuah ruang yang esoterik. Ia menyebar, membaur dengan disiplin-disiplin yang lain. Kalau
ia sudah menyebar seperti itu, berarti ia bisa ada dimana saja dan kapan saja, seperti coca cola. Itu
juga sekaligus berarti bahwa estetika tidak lagi punya posisi yang penting, apalagi yanng “tersendiri”.
Tetntu saja estetika pernah dan, pada ruang lingkup tertentu, masih memiliki prestise tertentu. Itu
kalau kita pahami estetika bukan melulu sebagai bidang filsafat, melainkan lebih sebagai
seperangkat prinsip normatif yang meminjam istilah Pierre Bourdieu, mendisposisikan praktik-
praktik berkesenian. Jadi, secara lebih restricted, pengertian estetika yang terakhir ini adalah
estetika sebagai sesuatu yang dijadikan landasan normatif untuk menilai karya seni. Karena dalam
pergaulan keseni(man)an, yang dimaksud dengan estetika cenderung seperti itu. Bukan filsafat
estetika, melainkan hanya sebagai alat untuk mengevaluasi, membuat hierarki, dan semacamnya.
Misalnya dengan dalih estetika, seorang seniman bisa berbuat apa saja dan produknya tetap disebut
sebagai karya seni. Seorang perupa meletakkan beberapa keranjang sampah disebuah galeri, dan itu
disebut karya seni instalasi oleh kritikus. Seorang penyair menuliskan sebaris kalimat, “Bulan di atas
kuburan,” dan itu disebut sebagai puisi, yang bahkan pernah menimbulkan perdebatan tafsir yang
prestisius di tingkat elit kritikus sastra. Di sini estetika tidak lebih sebagai modal simbolik yang
diinfestasikan sebagai pemarkah kelas sosial seniman atau kritikus seni. Dalam hubungannya dengan
praktik kritik seni, sampai sejauh ini estetika pun lebih cenderung diperlakukan oleh para kritikus
sebagai prinsip-prinsip normatif yang meregulasi apa dan bagaimana (berke)seni(an), dengan
standarisasi-standarisasi atau semacamnya. Seorang kritikus membuat penilaian atas sebuah karya
seni dengan legitimaasi paham-paham estetis tertentu, misalnya. Maka tidak heran kalau keranjang-
keranjang sampah yang dicontohkan di atas disebut sebagai karya seni hanya lantaran ia menjadi
bagian dari komunitas wacana tertentu, sementara perabot dapur ibu-ibu petani jawa tidak pernah
sekalipun dihargai seperti itu, lalu karya seni X dinilai lebih baik, lebih sublim, lebih menukik, lebih
indah, lebih menyentuh, dan sebagainya, dibandingkan dengan yang lain. Oleh karena itu, andai kata
ada orang berbicara perkara estetika, kita perlu segera menegaskan posisi pemahamannya : estetika
dalam pengertian yang bagaimana ?

BAB II
PEMBAHASAN
       I.            ONTOLOGI
A.    Pengertian ontologi

Ontologi menurut bahasa Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontosada, dan Logosilmu.


Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.Sedangkan menurut istilah Ontologi adalah ilmu yang
membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate realiti baik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.

Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari
hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup
cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah
sesuai dengan berjalannya waktu.

Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap
representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan
sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai
landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang
makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi
pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang
sesuatu yang ada.

Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:

1.      kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?

2.      Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas
tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.

Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan
konkret secara kritis.

B.    Ontologi menurut Tokoh-tokoh filsafat

Tokoh yang membuat istilah pertma ontologi adlah cristian wolff (1679-1714). Istilah ontologi
berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta berarti “ yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan
atau ajaran. Dengan demikian ontolgi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang ada.

Berikut adalah pendapat tokoh filsafat mengenai ontologi diantaranya:


1.      Aristoteles mengatakan The first Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda.

2.      Noeng Muhajir dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan ontology membahas tentang yang ada yang
universal dan tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.

3.      Lorens Bagus menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

4.      Jujun S. Suriasumatri dalam Pengantar ilmu dalam Perspektif mengatakan, ontologi membahas apa
yang kita ingin ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian
mengenai teori tentang ada.

5.      A. Dardiri  dalam bukunya Humaniora, Filsafat dan Logika mengatakan ontologi adalah menyelidiki
sifat dasar dari apa yang  nyata secara fundamental dan cara yang berbeda dimana entitas dari
kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal,abstraksi) dapat
dikatakan ada.

6.      Sidi Gazalba dalam bukunya Sistematika Filsafat mengatakan, ontologi mempersoalkan sifat dan
keadaan terakhir dari kenyataan.

7.      Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan, ontologi adalah teori/ilmu tetang
wujud, tentang hakikat yang ada.

8.      Menurut Suriasumantri (1985), Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa
jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah
ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :

a.       apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,

b.      bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan

c.       bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan
mengindera) yang membuahkan pengetahuan.

9.      Menurut Soetriono & Hanafie (2007), Ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas atau
ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari
pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek
formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh
pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.

10.  Menurut Pandangan The Liang Gie, Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap
makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan :

  Apakah artinya ada, hal ada ?

  Apakah golongan-golongan dari hal yang ada ?

  Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada ?


  Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan
(misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada ?

11.  Menurut Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles, Ontologi Yaitu teori
atau studi tentang being / wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim
dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari
suatu benda untuk menentukan arti , struktur dan prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan
oleh Aristoteles abad ke-4 SM).

C.    Objek formal Ontologi

Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil
dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-
aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu
penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural
ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam
bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari
alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.

D.  Pandangan Pokok-pokok pemikiran Ontologi Dibagi tiga bagian

1)      Keberadaan ontologi dipandang dari segi jumlah

a. Monoisme, yaitu aliran yang mengatkan bahwa hanya ada satu kenyataan fundamental.
Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, tuhan atau subtansi lainnya yang tidak dapat
diketahui. Tokonya antara lain: thales (625-545 SM), yang berpendapat bahwa kenyataan yang
terdalam adalah satu subtansi, yaiut air. Anaximander (610-547 SM)berkeyakina bahwa yang
merupak kenyataan terdalam adalah aperion, yiut segala sesuatu yang tanpa batas, tidak dapat
ditentukan dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia.
Anaximenes (585-528 SM), berkeyakina bahwa yang merupakan unsur kenyataan yang sedalam
dalamnya adalah udara. Flisuf modern yang termasuk penganut monoisme adalah B. Spinoza,
berpendapat bahwa hanya ada satu satu substansi, yaitu tuhan. Dealam hal ini tuhan diidentikkan
dengan alam (naturans naturata). Dengan demikian monoisme adalah bagian pemahaman ontologi
yang mendeskripsikan bahwa hanya ada satu hakikat sebagai sumber asal ini, tyidak ada yang selian
selain satu tersebut.
b. Dualisme, yaitu aliran yang menganggap adanya dua subtansi yang masin-masing berdiri
sendiri. Aliran ini menganggap bahwa hakikat asal usul sesutau itu terdiri adri dua subtansi, bukan
satu subtansi yang dijelaskan oleh aliran monoisme. Tokoh-tokoh yang termasuk aliran ini adalah
plato (428-348 SM), yang membedakan dua dunia, yaitu dunia indra (dunia bayang-bayang) dan
dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene descartes (1596-1650 M), yang
membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan. Leibniz (1646-1716), yang membedakan
antara dunia yang sesungguhnya dan dunia yang mungkin. Immanuel Kant (1724-1804), yang
membedakan antar dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena).
c. Pluralisme, Adalah paham yang menganggap bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan dan semuanya nyata.Menyatakan  bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur. Tokoh masa Yunani kuno aliran ini adalah Anaxagoras dan Ampedocles.Dan tokoh modern
adalah William James (1842-1910 M) yang terkenal sebagai psykolog dan filosof Amerika.
2)      Keberadaan ontologi dipandang dari segi sifatnya
a. Materialisme, adalah pandangan yang menyatakan bhwa tidak ada sesuatu yang nyata
kecuali materi. Pikiran dan kesadaran hanyalah penjelmaan dari materi yang adapat dikembalikan
pada unsur-unsur fisik. Materi adalah sesuatu yang nampak, dapat diraba, berbenruk, dan
menempati ruang. Hal-hal yang bersifta kerohanian seperti jiwa, keyakinan, rasa sedih, dan rasa
senang tidak lain hanyalah ungkapan proses kebendaan. Tokoh aliran ini adalah demokritos (460-370
SM), berkeyakinan bahwa alam semesta tersusun atas atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan
badan. Atom ini mempunyai sifat yang sama, perbedaannya hanya tentang besar, bentuk, dan
letaknya. Jiwa pun menurut demokritos dikatakan terjadi dari atom-atom, hanya saja atom-atom
jiwa itu berbentuk kecil, bulat, dan bergerak.Thomas Hobbes (1588-1679), berpendapat bahwa
segala  sesuatu yang terjadi di dunia merupakan gerak dari materi. Termasuk juga pikiran, perasaan
adalah gerak materi belaka karena segala sesuatu yang terjadi dari bernda-benda kecil.
b. Spiritualisme
Spiritualisme mengandung beberapa arti, yaitu:
1. Ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah roh ( pneuma, nous,
reason, logos), yakni roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam. Spiritualisme dalam arti ini
dilawankan dengan materialisme.
2. Kadang-kadang dikenakan pada pandangan idealistis yang menyatakan adanya roh mutlak.
Dunia indra dalam pengertian ini dipandang sebagai dunia ide.
3. Dipakai dalam istilah keagamaan untuk menekankan pengaruh langsung dari roh suci dalam
bidang agama.
4. Kepercayaan bahwa roh orang mati berkomunikasi dengan yang Masih hidup melalui
perantara atau orang tertentu dan lewat bentuk wujud yang lain. Istilah spiritualisme lebih tepat
dikenakan kepercayaan semacam ini.
Aliran spiritualisme juga disebut idealisme (serba cita). Tokoh aliran ini antaranya Plato dengan
ajrannya tentang Idea (cita) dan jiwa. Idea atau cita adalah gambaran asli segala benda. Semua yang
ada dalam dunia hanyalah penjelmaan atau bayangan saja. Idea atau cita tidak  dapat ditangkap
dengan indra (dicerap), tetapi dapat dipikirkan, sedangkan yang ditangkap oleh indra manusia
hanyalah bayang-bayang.
3)      Keberadaan ontologi dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
a. Mekanisme, adalah aliran yang menyatakan bhwa semua gejala dapat dijelaskan berdasrkan
asas-asas mekanik ( mesin). Semua peristiwa adalah hasil dari materi yang bergerak dan dapat
dijelaskan menurut kaidahnya. Aliran ini juga menerangkan semua peristiwa berdasar pada sebab
kerja, yang dilawankan dengan sebab-tujuan. Alam dianggap seperti sebuah mesin yang keseluruhan
fungsinya ditentukan secara otomatis oleh bagian-bagiannya. Pandangan yang bercorak mekanistik
dalam kosmologi pertama kali diajukan oleh Leucippus dan Democritos yang berpendirian bahwa
alam dapat diterangkan berdasarkan pada atom-atom yang bergerak dalam ruang kosong.
Pandangan ini dianut oleh Galileo Galilei (1564-1641) dan filsuf lainnya abad ke-17 sebagai filsafat
mekanik. Rene Descartes menganggap bahwa hakikat materi adalah keluasan (extension), dan
semua gejla fisik dapat diterangkan dengan kaidah mekanik. Bagi Immauel kant, kepastian dari suatu
kejadian sesuai dengan kaidah sebab-akibat (cousality) sebagai suatu kaidah alam.
b. Teleologi (serba-tujuan), adalah aliran yang berpendapat bahwa yang berlaku daalam
kejadian alam bukanlah kaidah sebab-akibat, akan tetapi sejak semula memang ada sesuatu
kemauan atau kekuatan  yang mengarahkan alam ke suatu tujuan. menurut Aristoteles, untuk
melihat kenyataan yang ysesungguhnya kita harus memahami empat sebab, yaitu sebab bahan
(material cause), sebab bentuk (formal cause), sebab kerja (efficient couse), dan sebab tujuan (final
couse).sebab bahan adalah bahan yang menjadikan sesuatu itu ada; sebab bentuk adalah yang
menjadikan sesuatu itu berbentuk; sebab kerja adalah yang menyebabkan bentuk itu bekerja atas
bahan; sebab tujuan adalah yang menyebabkan semata-mata karena perubahan tempat atau gerak
c. Vitalisme, adalah aliran yang memandang bahwa kehidupan tidak sepenuhnya dijelaskan
secara fisika-kimiawi, karena hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup. Filsuf vitalisme seperti
Henry Bergson (1859-1941) menyebutkan elan vital. Dikatakannya bahwa elan vital meruapakan
sumber dari sebab kerja dan perkembangan dalam alam. Asas hidup ini memimpin dan mengatur
gejala hidup dan menyesuaikannya dengan tujuan hidup. Oleh karena itu, vitalisme sering juga
disebit finalisme.
4.     Aliran Lain yang berkaitan antara ontologi dan Metafisika
a.      Nihilisme, Berasal dari bahasa Latin yang berarti nothingatau tidak ada.Adalah sebuah doktrin
yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif.Istilah ini diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev
dalam novelnya Fathers and Childern yang ditulis pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin ini sudah ada
semenjak zaman Yunani  kuno pada pandangan Georgias (483-360 SM).

b.     Agnostisesme, Adalah paham yang mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui


hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnosticisme berasal dari
bahasa Grik Agnotos yang berarti unknown.A artinya not, Gno artinya know.Aliran ini dengan tegas
selalu menyangkal adanya suatu kenyataan muthlak yang bersifat transcendent.Tokoh aliran ini
seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) Bapak Filsafat Eksistensialisme, Heidegger, Sartre, dan
Jaspers.

E.     Metode Dalam Ontologi

Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik,
abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas
sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua
sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari
semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.

Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu :
pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.

Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan
pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.

Contoh :          Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana                       (Tt-P)

                        Badan itu sesuatu yang lahiri                         (S-Tt)

                        Jadi, badan itu fana’                                       (S-P)

Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan;
dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara
pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:

Contoh :          Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaur                  (Tt-S)

                        Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan            (Tt-P)

                        Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan                   (S-P)

Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari
term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran
kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan
subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.

Sementara Jujun S. Suriasumantri dalam pembahasan tentang ontologi memaparkan juga tentang
asumsi dan peluang. Sementara dalam tugas ini penulis tidak hendak ingin membahas dua point
tersebut.

    II.            LOGIKA
A.    Logika Sebagai Ilmu Pengetahuan

Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana obyek materialnya adalah berpikir
(khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran
yang ditinjau dari segi ketepatannya.

B.     Logika Sebagai Cabang Filsafat


Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini berarti logika dapat
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk


memasarkan pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak
jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan
penalarannya.

Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang


bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai
cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika. logika tidak bisa
dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran

C.    Dasar-dasar Logika

Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas)


sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi
alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti
yang diberikan (premis). Logika silogistik tradisional Aristoteles dan logika simbolik modern adalah
contoh-contoh dari logika formal.

Dasar penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif—kadang
disebut logika deduktif—adalah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif.
Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi
logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau
salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan
konsekuensi logis dari premis-premisnya.

Contoh argumen deduktif:

1.     Setiap mamalia punya sebuah jantung

2.     Semua kuda adalah mamalia

3.     ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung

Penalaran induktif—kadang disebut logika induktif—adalah penalaran yang berangkat dari


serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.

Contoh argumen induktif:

1.     Kuda Sumba punya sebuah jantung

2.     Kuda Australia punya sebuah jantung


3.     Kuda Amerika punya sebuah jantung

4.     Kuda Inggris punya sebuah jantung

5.     ∴ Setiap kuda punya sebuah jantung

Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa ciri utama yang membedakan penalaran induktif dan
deduktif.

Deduktif Induktif

Jika semua premis benar maka kesimpulan Jika premis benar, kesimpulan mungkin
pasti benar benar, tapi tak pasti benar.

Semua informasi atau fakta pada kesimpulan Kesimpulan memuat informasi yang tak
sudah ada, sekurangnya secara implisit, dalam ada, bahkan secara implisit, dalam
premis. premis.

D.    Sejarah Logika
Masa Yunani Kuno
Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala
dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk
memecahkan rahasia alam semesta.

Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam
semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.

Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica.


Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta
dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu.

Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:

         Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)

         Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia


         Air jugalah uap

         Air jugalah es

Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.

Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum
Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang
ini.

Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti
berbagai argumentasi yang berangkat dariproposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus
meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari
logika Aristoteles adalah silogisme.

Buku Aristoteles to Oraganon (alat) berjumlah enam, yaitu:

1.     Categoriae menguraikan pengertian-pengertian

2.     De interpretatione tentang keputusan-keputusan

3.     Analytica Posteriora tentang pembuktian.

4.     Analytica Priora tentang  Silogisme.

5.     Topica tentang argumentasi dan metode berdebat.

6.     De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir.

Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum,


melanjutkan pengembangn logika.

Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM - 226
SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M - 201 M) dan Sextus
Empiricus 200 M, dua orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode
geometri.

Porohyus (232 - 305) membuat suatu pengantar (eisagoge) pada Categoriae, salah satu buku
Aristoteles.

Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan


komentar- komentarnya.

Johanes Damascenus (674 - 749) menerbitkan Fons Scienteae.

E.   Abad pertengahan dan logika modern


Pada abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge oleh
Porphyus dan karya Boethius masih digunakan.

Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika.

Lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti:


         Petrus Hispanus (1210 - 1278)

         Roger Bacon (1214-1292)

         Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika baru yang dinamakan Ars Magna,
yang merupakan semacamaljabar pengertian.

         William Ocham (1295 - 1349)

Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes
(1588 - 1679) dengan karyanyaLeviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning
Human Understanding

Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan logika induktif yang diperkenalkan dalam


bukunya Novum Organum Scientiarum.

J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam
bukunya System of Logic

Lalu logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti:

         Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari
Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih
mempertajam kepastian.

         George Boole (1815-1864)

         John Venn (1834-1923)

         Gottlob Frege (1848 - 1925)

Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar
di John Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia
memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai
tanda (general theory of signs)

Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia


Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan
Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970).

Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970),
Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain.

III.            ETIKA DAN ESTETIKA


Mempelajari filsafat berarti include mempelajari sederet tokoh ahli dan pikiran-pikiran yang
diproklamirkannya. Namun perlu ditegaskan pikiran-pikiran dimaksud adalah suatu pikiran yang
disebut pikiran filsafat. Karena tidak semua aktifitas berfikir tidak bisa disebut berfikir filsafat.
Profesor Cecep Sumarna dalam bukunya, Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju  Nilai, telah memberikan
batasan-batasan suatu pikiran disebut berfikir filsafat, yaitu: [1]

1. Radikal

2. Sistemik

3. Universal

Melalui berfikir filsafat seperti itulah banyak persoalan dan pertanyaan-prtanyaan dari yang ada dan
yang tidak ada tapi ada bisa dicarikan jawabannya. Dalam tataran ini cukup dimengerti apabila
produk pemikiran filsafat mempengaruhi dan menjadi idiologi suatu masyarakat dari yang terkecil
sampai dalam bentuknya yang paling besar yaitu Negara. Nalar ini dapat dilihat dari makna filsafat
yang diurmuskan kepada dua hal: Pertama,  filsafat sebagai teori dan, Kedua,  filsafat sebagai jalan
hidup.[2]

Dalam maknanya seperti itu, dapatlah dijelaskan bahwa filsafat telah memberikan konsep-kosep
metafisik dan kosmis yang bergerak di jagat raya ini dan merupakan dasar dari perenungan,
pencarian dalam filsafat. Sebagaiman telah menjadi dasar pemikiran filsafat, bahwa ada tiga hal
besar dan cabang utama dalam filsafat yaitu; ontology, efistimologi dan aksiologi.

Bagaimanakah persoalan filsafat ini memberi makna teoritis dan makna jalan hidup bagi manusia
dalam tulisan ini akan dicoba untuk menguraikannya, namun demikian pembahasan lebih
dikhususkan dalam persoalan aksiologinya. Berikut ini uraiannya.

        ETIKA

Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa kajian filsafat telah mencakup persoalan-persoalan metafisik
dan juga kosmis. Apabila dirumuskan ruang lingkup kajian filsafat itu tentu akan ditemukan adanya
keragaman.MJ.Langeveld menulis: Maka filsafat dapat kita berikan sebagai suatu kesatuan yang
terdiri dari:

1.      Lingkungan masalah-masalah keadaan (metafisika manusia, alam danseterusnya)

2.      Lingkungan masalah-masalah pengetahuan (wissenschaft slehre: teorikebenaran, teori pengetahuan,


logika)

3.      Lingkungan masalah-masalah nilai (teori nilai, etika, estetika yang bernilaiberdasarkan religi)

Adapula yang mengajukan penggolongan filsafat kedalam tujuh persoalan, seperti H. De Vos sebagai
berikut:

1.      Metafisika
2.      Logika

3.      Ajaran tentang ilmu pengetahuan

4.      Filsafat alam Filsafat kebudayaan Filsafat sejarah

5.      Etika

Ahmad tafsir, membuat penggolongan filsafat dengan istilah sistematiak filsafat, menjelaskan
sistematika filsafat biasanya terbagi atas tiga cabang yaitu: Teori pengetahuan, teori hakikat dan
teori nilai (etika).

Tentu masih banyak rumusan lainnya mengenai ruang lingkup filsafat, dan tidak mungkin untuk
dituliskan semuanya dalam tulisan ini. Tetapi kalaudirumuskan secara simple seperti dalam rumusan
fakar filsafat Cecep Sumarna, ruang lingkup filsafat adalah: Fokus utama kajian filsafat akan berkisar
pada : ontology atau metafisika (di dalamnya termasuk bagaimana manusia melakukan hubungan
dengan Tuhandan bagaimana manusia mengkaji aspek-aspek eskatologis), epistimologi didalamnya
termasuk persoalan logika dan aksiologi) dan aksiologi ( di dalamnya termasuk etika dan estetika).

Dengan rumusan ruanglingkup filsafat sebagaimana diuraikan di atas, menjelaskan bahwa salah satu
kajian besar dalam filsafat adalah persoalan etikadan juga estetika, yang dalam beberapa hal sering
pula disepadankan dengan sopan santun atau moral.

B. Makna teoritis tentang etika.


Teori yang menjadi tolak ukur dari persoalan ini adalah bahwa etika merupakan salah satu bidang
kajian dari salah satu cabang filsafat yaitu aksiologi. Adapaun bidang kajian lainnya adalah estetika.
Adalah membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Disebut demikian karena cabang
ini dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang sangat
fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. Etika menghendaki adanya
ukuran yang universal. Dalam hal ini berarti berlaku untuk semua orang dan setiap sa’at. Jadi tidak
dibatasi ruang dan waktu.
Etika itu sendiri apabila ditelusuri maknanya ada yang mensepadankan dengan persoalan nilai
lainnya yaitu moral. Bisa dipastikan pensepadanan ini menimbulkan keberagaman
pandangan. Dalam Melacak Jejak Filsafat, K. Bertens menjelaskan : Etika yang dalam bahasa Yunani
disebut ethos adalah berarti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaaan, adat,
akhlaq dan watak, perasaan, sikap dan cara berpikir.

Pada wilayah praktis dan dikaitkan dengan nilai guna suatu hal dalam kehidupan, maka ditemukan
berbagai pengertian. Frans Maginis Suseno misalnya, menguraikan bahwa etika merupakan filsafat
atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran, norma-norma, nilai-nilai serta kebiasaa-
kebiasaan dan pandangan moral secara kritis. etika dalam artian ini dimaknai sebagai cabang ilmu
filsafat (pikiran kritis tentang suatu ajaran). Selain itu adalah sebagai sebuah ilmu bukan suatu
ajaran. Louis O. Kattsoff, juga menegaskan, bahwa etika suatu ilmu pengetahuan yang menetapkan
ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang mendasari pemberian tanggapan atau penilaian terhadap
perbuatan. Ilmu pengetahuan ini lanjut Louis, adalah juga membicarakan apa yang seharusnya
dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi, dan yang memungkinkan orang untuk menetapkan
apayang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Ilmu pengetahuan seperti disebut dingan
etika normative. Dapat ditegaskan sebagai ilmu pengetahuan, etika jelas membahas asas-asas akhlaq
(moral) masyarakat. Ia dapat pula diartikan sebagai ilmu yang membahas apa yang baik dan apa
yang buruk. Apa yang hak dan bagaimana manuisia meaksanakan kewajiban berdasarkan etis dan
nilai yang dianut masyarakat. K. bertens, dalam memberi ulasan etikanya Aristoteles, bahwa dalam
etika aristoteles menjelaskan:

a)Kebahahagiaan sebagai tujuan

b)               Kebahagiaan menurut isinya

c)Ajaran tentang keutamaan dan ini terdiri dari:

         Keutamaan moral

         Keutamaan intelektual

d) Kehidupan ideal

Kattsoff sebetulya telah memberikan makna etika ke dalam beberapa hal yaitu:

Pertama, etika dimaksudkan sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan manusia.Kedua, etika sebagai predikat yang dipergunakan untuk membedakan
hal-hal, perbuatan-perbuata, atau manusia-manusia tertentu dengan hal-hal, perbuatan-perbuatan
atau manusia-manusia yang lain di sini ada istila bersfat etik atau juga susila.Ketiga, etika
kefilsafatan, yaitu analisa mengenai makna apakah yang dikandung oleh predikat-predikat
kesusilaan. Dalam hal ini mengajarkan kenapa dan bagaimana manusia musti bermoral. Etika
sifatnya ideal dan hanya terkait dengan ide-ide.

Menurut Sutardjo A. Wiramihardja, etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang
membicarakan prilaku orang . Masih menurutnya, bahwa etika disebut juga sebagai fisafat
kesusilaan atau moral. Pada dasarnya lanjut Sutardjo, etika berhubungan dengan nilai dan penilaian
terhadap prilaku. Pertanyaan selanjutnya adalah prilaku seperti apakah yang dianggap baik dan jahat
atau lebih tepatnya wacana apakah yang menentukan suatu prilaku dinilai baik atau jahat? Suatu
prilaku disebut jahat karena perbuatan buruk manusia memberikan akaibat kerusakan pada manusia
lain atau umumnya.

Dalam kedudukannya bahwa etika lebih sebagai filsafat moral, etika melingkupi empat pengertian
yaitu:

Pertama,  system-sistem nilai kebiasaan yang penting dalammkehidupan kelomppk khusus manusia
yang digambarkan sebagai etika kelompok. Kedua, etika digunakan pada satu diantara system-sistem
khusus tersebut, yaitu moralitas yang melibatkan makna dari kebenaran dan kesalahan, seperti salah
dan malu. Ketiga, etika dalam system moralitas itu sendiri mengacu kepada prinsip-prinsip moral
actual, misalnya mengapa anda mengembalikan buku pnjaman itu? Keempat,  etika adalah suatu
daerah dalam filsafatyang memperbincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain.

C. Pokok Persoalan Etika


Dalam etika Aristoteles telah disebutkan, bahwa di dalamnya memuat
a)      Kebahahagiaan sebagai tujuan

b)      Kebahagiaan menurut isinya

c)      Ajaran tentang keutamaan dan ini terdiri dari:

1.       Keutamaan moral

2.       Keutamaan intelektual

d)     Kehidupan ideal

Ahmad Amin membagi perbuatan manusia kepada tiga bentuk; Pertama, perbuatan yang tidak
disengaja dan dari sini manusia tidak berdaya untuk melakukan atau menghindarinya. 

Kedua, perbuatan tersembunyi. Ketiga,perbuatan karna iktiar dan hasil pertimbangan akal yang
sehat. Dari berbagai bentuk perbuatan manusia ini maka, yang menjadi persoalan etika adalah:

Segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan iktiar dan sengaja , dan ia
mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat,. Inilah yang dapat kita beri hokum baik dan
buruk, demikian juga segala perbuatan yang timbul tiada dengan kehendak tetapi dapat diikhtiarkan
penjagaan sewaktu sadar. Adapun apa yang timbul bukan dengan kehendak, dan dapat dijaga
sebelumya maka ia bukan pokok dari persoalan etika. [18]

D. Macam-macam etika
Berbagai keterangan di atas, telah menjelaskan pemaknaan etika yang mencakupi tataran filosofis
hal ini karena etika adalah merupakan bagian kajian kefilsaftan. Dalam waktu yang bersamaan kajian
tidak bias dilakukan tanpa menyangkutkannya dengan tataran prksisnya yaitu tindakan manusia itu
sendiri. Dalam konteksnya yang seperti itu, studi etika atau fisafat moral ini, dikatagorikan kedalam
rumusan-rumusansebagai berikut:
Cecep sumarna membagi kajian filsafat etika kedalam:

a. Etika normatif, etika yang mengkaji tentang baik buruknya tingkah laku.

b. Etika praktis,  kajian etika biasanya menyangkut soal tindakan yang harus dilakukan oleh manusia.

Louis O. Kattsoff bahkan telah megkatagorikan kajian filsafat etika ini menjadi tiga macam. 

a. Etika deskriptif, yaitu melukiskan predikat-predikat dan tanggapantanggapan kesusilaan yang


telah diterima dan dipergunakan

b. Etika Normatif, yaitu yang bersangkutan degan penyaringan ukuran-ukuran kesusilaan yang khas.
c. Etika praktis, yaitu menyangkut hal yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat berdasarkan
pilihan terbaik dalam melakukan suatu tindakan. Macam ini lebih mirip dengan apa yang disebut
dengan etika terapan.

E. Aliran-Aliran Etika
Ada beberapa teori etika, Endang saefuddin Anshari misalnya menyebutkan ada enam aliran penting
dalam persoalan etika yaitu:
1. Aliran etika Naturalisme, ialah aliran aliran yang beranggapan bahwa
kebahagiaan manusia itu didapatkan dengan menurutkan panggilan natura
(fitrah) kejadian manusia sendiri.
2. Aliran etika hedonism, ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan
susila itu adalah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan
kelezatan)
3. Aliran etka utilitarianisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya
perbuatan manusia itu ditinjau dari besar kecil dan besarnya manfa’at bagi
manusia.
4. Aliran etika idealism, yaitu aliran yang berpendirian bahwa perbuatan
manusia janganlah terikat pada sebab musabab lahir, tetapi haruslah
berdasarkan pada prinsif kerohanian (idea) yang lebih tinggi.
5. Aliran etika vitalisme, yaitu aliran yang menilai baik dan buruknya
perbuatan manusia itu ada tidak adanya daya hidup (vital) yang maksimum
mengendalikan perbuatan itu.
6. Aliran etika theologies, yaitu aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran
baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai dan
tidaknyasesuainya dengan perinah Tuhan(Theos=tuhan). Nilai dalam hal ini
ditentukan oleh Tuhan (Islam).
Tidak begitu berbeda dengan Endang, Ahmad Tafsir mengelompokkan aliran teori nilai itu ada
empat, yaitu;
a.       Hedonisme

b.      Vitalisme, manusia yang baik adalah manusia yang kuat, ulet cerdas. manusia yang memiliki daya
hidup yang besar itulah manusia yang baik.

c.       Utilitarianisme, utiliarisme dibagi dua: utilitarianisme pribadi dan social.

d.      Prgmatisme, suatu aliran yang segolongan darah dengan utilirianesme, prinsip yang diajrkan oleh
aliran ini adalah yang baik adalah yang berguna secara praktis dalam kehidupan. [22]

F. Etika dan moral


Seperti banyak disinggung sebelumnya, ada penyepadanan antara etika dengan moral, norma-
norma dan juga etikat. Penyepadanan ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Pada
kenyataannya pada masing-masing istilah khususnya moral dan etika terdapat perbedaan yang
justru cukup signifikan. Dalam buku Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani,
K.Bertens seperti dikutip oleh Amril M. menuliskan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-
norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Seperti K.Bertans, Loren Bagus juga menuliskan bahwa moral diantaranya menyangkut persoalan
kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik-dan buruk, benar salah, tepat tidak tepat,
atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.

Sama seperti pengertian di atas. Frans Magis Suseno, seperti di ulas oleh Cecep Sumarna
menjelaskan bahwa moral dengan etika itu berbeda. Moral lebih cenderung parsial dan biasanya
dianut dan diikuti oleh setiap komunitas masyarakat yang juga parsial. Lebih luas lagi dijelaskan
bahwa moral selalu mengacu pada benar salahnya manusia dalam melakukan tindakanperilakunya
sebagai manusia. Moral adalah bidang kehidupan diloihat dari segi kebaikan dan keburukannya
sebagai manusia.

Sedangkan etika memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan moral. Etika atau filsafat
moral selain seorang dituntut dapat berprilaku sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai tertentu,
melainkan juga dituntut mampu mengetahui dan memahami system, alas an-alasan dan dasar-dasar
moral serta konsep-konsep secara rasional guna mencapai kehidupan yang lebih baik.

Etika bedanya dari moral adalah merupakan konsepsi metaetika(pemikiran kritis yang mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan mengenai moral), ia adalah ilmu bukan suatu
ajaran, etika tidak mengajarkan bagaimana bagaimana manusia hidup melainkan memberikan
pengertian-pengertian mengapa manusia harus mengakui suatu moral tertentu. Oleh karena itu
disini letak fungsinya etika yaitu untuk mensistematisasi moralitas atau dapat juga disebut metode
untuk memahami ajaran moral. Oleh karena itu yang dihasilkan etika bukan kebaikan secara
langsung melainkan suatu pengertian yang mendasar dan kritis.

 ESTETIKA
Nilai baik seseorang dengan nilai indah, tetapi kata “indah” lebih sering dikenakan pada seni,
sedangkan “baik” pada perbuatan. Di dalam kehidupan, indah lebih berpengaruh ketimbang baik.
Orang lebih tertarik pada rupa ketimbang pada tingkah laku. Orang yang tingkah lakunya baik (etika),
tetapi kurang indah (estetika), akan dipilih belakangan;yang di pilih lebih dahulu adalah orang yang
indah, sekalipun kurang baik.
Ukuran indah tidak dan indah sama dengan baik dan tidak baik:membingungkan, bermacam-macam,
subjektif, sering diperdebatkan. Meskipun demikian, estetika berusaha menemukan ukuran yang
dapat berlaku umum. Akan tetapi sama dengan dalam etika, usaha itu tidak berhasil. Memang
ditemukan begitu banyak, pakarnya sendiri tidak mampu bersepakat.

Teori lama tentang keindahan bersifar metafisis, teori modern berarti psikologis. Menurut Plato,
keindahan adalah realitas yang sungguh-sungguh, suatu hakikat yang abadi, tidak berubah.
Sekalipun ia menyatakan bahwa harmoni, proposi dan simetri adalah yang membentuk keindahan, ia
tetap berpendapat bahwa unsur metafisik dalam keindahan. Baginya keindahan suatu objek bukan
berasal dari objek itu;keindahan itu menyertai objek tersebut. Pandang ini benar-benar metafisis.
Bagi Plotinus, keindahan adalah pancaran akal Ilahi;bila Ilahi memancarkan diri-Nya atau
memancarkan sinar-Nya, tangkapnya yang dapat menangkap sinar Ilahi. Di dalam Islam disebutkan
bahwa Tuhan itu indah dan mencintai keindahan.

Kant memulai studi psikologi tentang keindahan. Menurut pendapatnya, jiwa kita memiliki indera
ketiga diatas piker dan kemauan, yaitu indera rasa. Ia mampu menikmati keindahan tanpa
kepentingan, jadi bukan seperti menilai manisnya gula karena ia mempunyai hubungan dengan gula
itu.

Persoalan tadi, apakah nilai indah-tidak indah itu sifat objek atau terletak di luar objek (sebagaimana
kata plato)? Kalau melekat pada objek, mestinya semua orang akan memberikan nilai yang sama
terhadap objek itu; kalau nilai terletak pada subjek (yang menilai), berarti sifat objek tidak menentu.
Dalam hal ini Kant berpendapat bahwa indah itu sifat objek. Aljisr berpendapat bahwa nilai berada
pada objek. Memang perasaan kita kadang-kadang mengubah nilai suatu objek, tetapi perasaan itu
masih tetap bersih pada objek itu. Oleh karena itu, anak dan orang dewasa, orang pintar dan orang
bodoh dapat mempunyai nilai yang sama terhadap indahnya bunga, indahnya kicau burung dan
sebagainya (Aljisr, 1970, II: 133).  Mengenai unsure yang membangun keindahan ia mengatakan:
ketelitian, kelurusan, keseimbangan, keserasian dan koordinasi (Aljisr,II:134).

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

-          Ontologi menurut bahasa Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontosada, dan Logosilmu.


Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan menurut istilah Ontologi adalah ilmu yang
membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate realitybaik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstra.

Tokoh yang membuat istilah pertma ontologi adalah cristian wolff (1679-1714). Istilah ontologi
berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta berarti “ yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan
atau ajaran. Dengan demikian ontolgi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang ada.

-          Logika berasal dari kata Yunani kuno (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran
yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah salah satu
cabang filsafat.

Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika
(ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan
teratur
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu
pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis
yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.

-          Etika (Nilai), terdiri dari:

a.       Hedodisme, sesuatu dianggap baik apabila mengandung kenikmatan, kepuasan bagi manusia.

b.      Vitalisme, baik buruk ditentukan oleh ada atau tidaknya kekuatan hidup yang dikandung oleh objek
yang di nilai.

c.       Pragmatisme, yang baik adalah berguna dalam kehidupan praktis(Charles P. Pierce, dkk).

d.      Utilitarianisme (Kemanfaatan), terbagi menjadi dua bagian yaitu :

~ Utilitarianisme Pribadi

~ Utilitarianisme Sosial

Rumus etika adalah jumlah kenikmatan-penderitaan=nilai perbuatan

-          Estetika (keindahan), terdiri dari:

a.       Plato (keindahan) “realitas, abadi” terdapat unsur metafisik keindahan suatu objek bukan berasal
dari objek itu; keindahan itu menyertai objek itu.

b.      Plotinus, Keindahan adalah pancaran akal Illahi.

c.       Kant, indah itu sifat objek.

d.      Aljisr, nilai berada pada objek.

 Daftar Pustaka

Surajito, Drs. 2005. Pengantar ilmu filsafat.Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Louis O. Kattsouff, Pengantar filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta

Suhartono, Suparlan. 2000. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Ar-Ruzz

Ahmad Tafsir, Prof. DR. 2000. Filsafat Ilmu.Bandung:Remaja Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai