Anda di halaman 1dari 17

Filsafat Politik Aristoteles

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Politik

Dosen Pengampu :
Helmi Umam

Penyusun :
NAMA :

-Uday Achmad Al Hazmi


-Maslahatul Habibah Tami

NIM :

-I91214020
-I01214002

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

I.1.

Latar Belakang
Filsafat politik adalah bagian dari studi filsafat yang merupakan awal dari ilmu politik

dengan seluruh cabang dan bagiannya. Filsafat politik membahas masalah-masalah politik
yang fundamental secara rasional dan sistemati, karena itu sangat penting dipelajari o;eh
semua orang yang meminati bidang politik atau memang terlibat dalam kegiatan politik, baik
secara teoritis maupun secara praktis.
Filsafat politik Aristoteles mengetengahkan pikiran filsafati yang dikembangkan
Aristoteles di tengah-tengah krisis politik Yunani dan dunia pada masa itu, yang
dituangkannya ke dalam bukunya yang berjudul Politics. Politics mendiskusikan tentang
negara sebagai suatu persekutuan politik yang dibentuk guna mencapai kebaikan dan
kebahagiaan manusia yang menjadi warganya. Untuk mencapai ebaikan dan kebahagiaan itu,
hampir semua aspek kehidupan manusia di dalam negara itu sendiri mendapat sorotan. Dalam
upaya mennyoroti aspek-aspek kehidupan manusia dalam negara dan kehidupan negara,
Aristoteles cenderung bersikap empirik dan didaktik. Makalah ini akan menjelaskan filsafat
politik Aristoteles, muatan buku Politics Aristoteles, dampak pemikiran filsafat politik
Aristoteles terhadap dunia politik.

I.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah filsafat politik Aristoteles?
2. Apa muatan buku Politics Aristoteles?
3. Apa dampak pemikiran filsafat politik Aristoteles terhadap dunia politik?

I.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui filsafat politik Aristoteles.
2. Untuk mengetahui muatan buku Politics Aristoteles.
3. Untuk mengetahui dampak pemikiran filsafat Aristoteles terhadap dunia politik.

BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Filsafat Politik Aristoteles


II.1.1. Definisi Filsafat
Kata filsafat padanan dari bahasa Arab falsafah dan bahasa Inggrisnya philosophhy.
Kata filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani philosophia, yaknni gabungan dari kata
philos yang artinya cinta dan sophos berarti kebijaksanaan, dengan kata lain filsafat
adalah cinta pada kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan.1
Prof. Ir. Pudjawitna menerangkan bahwa filo artinya cinta dalam arti seluas-luasnya
yaitu ingin dan kerang ingin itu selalu berusaha mencapai yang diinginkannya, sofia artinya
kebijaksanaan artinya pandai, mengerti dengan mendalam.2 Harold H. Titus, mengemukakan
pengertian filsafat dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai
ilmu yang berhubungan dengan metode logis atau analisis logika bahasa dan makna-makna.
Filsafat diartikan sebagai science of science, dengan tugas utamanya memberikan analisis
kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep ilmu dan mensistematisasikan pengetahuan.
Dalam arti luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia dari berbagai
pengalaman manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yg komprehensif
tentang alam semesta, hidup, dan makna hidup.3
II.1.2. Definisi Politik
Politik adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan. Dan segala urusan dan
tindakan (kebiijakan, siasat) menganai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. 4 Dan
sebagaimana yang dikemukakan Aristoteles, pandangan klasik melihat politik sebagai suatu

1 Warsito, Loekisno Choiril, dkk. 2014. Pengantar Filsafat. Surabaya: UIN Sunan
Ampel Press.,2
2 Ibid., 3
3 Adib, H Mohammad. 2010. Filsafaat Ilmu. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.,38
4 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2008.

asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang
menyagkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat.5 Menurut Aristoteles, manusia
merupakan makhluk politik dan sudah menjadi hakikat manusia untuk hidup dalam polis.
Hanya dalam polis itu manusia dapat memperoleh sifat moral yang paling tinggi, karena
disana urusan-urusan yang berkenaan dengan seluruh masyarakat akan dibicarakan dan
diperdebatkan, dan tindakan-tindakan untuk mewujudkan kebaikan bersama akan diambil. Di
luar polis manusia dipandang sebagai makhluk yang berderajat di bawah manusia seperti
binatang atau sebagai makhluk yang berderajat di atas manusia seperti Dewa atau Tuhan. 6
Tapi definisi yang dikemukakan oleh Rod Hague, bahwa politik adalah kegiatan yang
menyangkut cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan kolektf dan mengikat
melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya.7
II.1.3. Teori Politik Aristoteles
Ada perbedaan menyangkut pendekatan-pendekatan intelektual yang umum terhadap realitas
yang diikuti Plato dan Aristoteles, suatu perbedaan yang mungkin menyebabkan perbedaan
lebih tajam menyangkut pemikiran politik mereka daripada dalam teori-teori pengetahuan
mereka yang memang berlainan. Aristoteles membedakan antara ilmu spekulatif dan ilmu
praktis. Ilmu spekulatif itu mencakup fisika, metafisika dan matematika, berhubungan dengan
hal penting yang tidak bisa dipraktikkan. Tujuan ilmu spekulatif adalah untuk mengetahui.
Ilmu-ilmu praktis yang mencakup etika dan politik, berhubungan dengan materi yang
mungkin dipengaruhi oleh tindakan-tindakan manusia. Sebagaimana yang dicatat Aristoteles,
campur tangan manusia bisa membuat semua ini menjadi sebaliknya. Tujuannya, oleh
karenanya bukan sekedar pengetahuan, melainkan tindakan, manfaat pengetahuan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Manusia mengkaji etika bukan semata-mata untuk mencari
tahu apa itu kebaikan, namun untuk bertindak dengan cara yang baik. Demikian pula, tujuan
ilmu politik bukanlah pengetahuan, melainkan tindakan.8

5 Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana


Indonesia.,2
6 Ibid.,2
7 Budiardjo, Miriam.2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.,16
8 Schamandt, J Henry. 2009. Filsafat Politik.Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.,87

Pendekatan Aristoteles terhadap teori politik terdapat dalam bukunya, politics dan
sedikit meluas dalam beberapa bagian yang relavan dalam karyanya nicomachean ethics,
rhetoric dan metaphysic. Menggaris bawahi pemikiran politiknya, ada empat premis etis dan
filosofis9 :
1. manusia adalah makhluk rasional yang memiliki kehendak bebas :
2. politik adalah ilmu praktis :
3. ada hukum moral universal yang harus di patuhi semua manusia :
4. dan negara adalah institusi alamiah.
Pemikiran politik Aristoteles memiliki feeling pada realitas. Ia mencari kemngkinan
dan makna, lebih daripada ketidakmungkinan dan ekstrim. Ini bermula pada hal partikular dan
individu, bukan pada hal universal dan keseluruhan. Dalam kenyataanya, dia bertanggung
jawab untuk pembentukan konsep ini ketiga ini. Plato mengajarkan bahwa manusia harus
mengikuti secarah utuh pola universal tindakan manusia jika ia ingin memperoleh
martabatnya. Idealismenya, bagaimanapun, mencegahnya dari mendasarkan hukum tersebut
pada struktur ontologis objek-objek yang bijak. Realismenya Aristoteles, di sisi lain,
memungkinkanya untuk membawanya turun dari langit dan memberinya makna untuk
penerapan yang objektif. Premis Aristoteles yang ke empat berhubungan erat dengan premis
yang ke tiga. Aristoteles memandang watak suatu objek sebagai sesuatu yang bisa menjadi.
Watak sesuatu berada pada tujuanya. Sebab setiap sesuatu ketika dikembangkan, kita
menyebutnya sebagai wataknya apakah kita berbicara mengenai manusia kuda atau keluarga.
Tujuan manusia sebagaimana semua manusia lainya, adalah pemenuhan wataknya. Jika
sendirian seseorang tidak akan mampu mencapai tujuan ini. Dia memerlukan bantuan agenagen dan institusi-institusi yang lain untuk memenuhi kebutuhan material dan intelektualnya.
Institusi-institusi tersebut yang sangat penting bagi perkembanganya, seperti keluarga dan
negara, merupakan hal yang alamiah baginya. Keduanya merupakan bagian dari pola
kehidupan yang universal. Aristoteles menekankan bahwa pelacakan yang sungguh-sungguh
kepada watak manusia merupakan hal pokok bagi teori politik. Sebab jika fungsi utama
negara adalah untuk membantu individu mencapai tujuan ini, maka penting bagi negarawan
untuk menyadari tujuan ini. Dan untuk melihat pengetahuan ini, dia pertama-tama harus
mengetahui watak manusia pengkajii politik harus tahu fakta-fakta mengenai jiwa, sama
sebagaimana orang yang akan menyembuhkan mata atau tubuh harus mengetahui persoalan

9Ibid.,89

mata dan tubuh, dia juga harus mengetahui ilmu tentang kejiwaan, sekali lagi kita ingatkan
bahwa pemikiran politik tergantung pada premis-premis filosofis umum dan kepercayaan
religius yang harus di pegang berkenaan watak manusia dan nasib manusia. Aristoteles juga
memberikan kejelasan bahwa ilmuan politik harus menguasai bidang yang lain semisal
psikologi dan ekonomi jika ia ingin memperoleh pemahaman tentang negara.10
a. Negara dan Bentuk Pemerintahannya
Dalam mengikuti perkembangn masyarakat, Aristoteles menyatakan bahwa banyak bentuk
organisasi sosial yang belum sempurna telah ada di tempat yang di situ manusia bisa
ditemukan. Mula-mula manusia hidup secara terpisah-pisah, kemudian kelompok-kelompok
keluarga bersama-sama dalam komunitas desa untuk saling membantu dan melindungi.
Bentuk asosiasi ini, bagaimanapun sangat terbatas untuk mencukupi kebutuhan watak
manusia yang paling tetap. Berkecukupan diri menjadi mungkin hanya ketika jumlah desa
menyatukan sumber-sumber daya mereka dan membentuk suatu negara kota. Kebutuhan
serupa yang memaksa keluarga-keluarga untuk bersatu menjadi desa dan desa-desa menjadi
suatu komunitas yang lebih besar yang mendekati percukupan diri merupakan proses
alamiah yang didirikan atas stuktur faktuan watak manusia. Politics mendeskripsikan polis
sebagai suatu himpunan sebagaimana halnya himpunan yang lain yang terdiri dari banyak
bagian himpunan yang masing-masing memiliki tempat dan fungsinya sendiri dan bekerja
sama dengan yang lain demi kebaikan struktur secarah keseluruhan.
Negara bermula dalam kebutuhan hidup yang nyata dan berlanjut dalam
keberadaan untuk memperoleh kehidupan yang baik dan bukan untuk kehidupan semata.
sebab jika kehidupan menjadi tujuan , budak-budak dan binatangpun bisa membentuk
neegara. Dengan tegas dia menyatakan bahwa komunitas politik tidak muncul hanya sebagai
seorang polisi guna melindungi aturan di kalangan para warga ataupun hanya sebagai prajurit
untuk menjaga rakyat terhadap invasi dari luar. negara bukan semata-mata masyarakat yang,
karenanya menjadi sebuah tempat umum, namun negara ada karena untuk mencegah apabila
terjadi perbuatan kejahatan dan tukar-menukar yang terjadi pada negara tersebut, memang,
semua itu merupakan syarat-syarat yang tanpanya negara tidak bisa berdiri . namun,
semuanya itu bukan merupakan negara itu sendiri.
Baris pembuka dari politics mendeskripsikan peran yang di berikan Aristoteles
kepada masyarakat sipil11 , yakni :

10Ibid, 86

Setiap negara merupakan suatu komunitas dari berbagai jenis, dan setiap komunitas
ada dengan suatu pandangan mengenai kebaikan : sebab manusia selalu bertindak untuk
mencapai apa yang mereka anggap baik. Namun, jika semua komunitas bertujuan untuk
kebaikan , negara atau komunitas politik yang merupakan komunitas tertinggi dan mencakup
yang lain bertujuan pada kebaikan dalam derajat yang lebih tinggi dibandingkan yang lain dan
pada kebaikan tertinggi.

Negara yang benar harus peduli dengan karakter warganya, ia harus mendidik dan
membiasakan mereka dalam kebajikan, ia juga harus memberikan kesempatan kepada mereka
untuk meraih hal-hal ekonomi, moral, intelektual, yang di butuhkan untuk kehidupan yang
baik. Aktivitas-aktivitas ini sangat esensial jika negara bertujuan untuk mencapai tujuan
finalnya yaitu kebajikan yang sempurna di kalangan warganya. Aristoteles mengatakan
bahwa. Sesungguhnya setiap negara itu merupakan suatu persekutuan hidup atau lebih
tepatnya suatu persekutuan hidup politis ungkapan negara adalah persekutuan hidup politis
sesungguhnya mengandung beberapa hal penting yang patut di pikirkan. 12
Aristoteles memaparkan tentang bentuk pmerintahan. Bentuk pemerintahan itu ada yang baik
dan ada yang buruk, yang oleh Aristoteles dikatakan sebagai penyimpangan dari yang
benar. Aristoteles mengklasifikasikan bentuk-bentuk pemerintahan ke dalam tiga bentuk
pemerintahan yang baik dan tiga bentuk pemerintahan yang buruk, yakni yang merupakan
penyimpangan dari bentuk pemerintahan yang baik. Bilamana kekuasaan tertinggi dalam
negara berada di tangan satu orang dan tujuan pemerintahan adalah untuk kepentingan,
kebaikan, dan kesejahteraan umum, maka bentuk pemerintahan yang demikian itu disebut :
monarki jika kekuasaan tertinggi berada di tangan beberapa orang dan tujuan pemerintahan
adalah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum, maka bentuk negara yang
demikian itu disebut : aristokrasi . apabila kekuasaan tertinggi berada di tangan banyak orang
dan tujuan pemerintahan adalah untuk kepentingan , kebaikan dan kesejahteraan umum maka
bentuk pemerintahan yang demikian itu disebut : politea
b. Sumber Kekuasaan
Aristoteles sangat menganjurkan politea (pemerintahan yang berkonstitusi) sebagai
bentuk pemerintah yang paling realistis dan praktis dan sebab itu paling baik , kendati tidak
ideal , maka ia berpendapat bahwa bagi setiap negara yang baik, hukumlah yang seyogyanya

11 Ibid hal,94
12 Rapar, J.H. 1993. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

mempunyai kedaulatan dan kewibawaan tertinggi. Dalam pemerintahan yang berkonstitusi


(politea) itu, hukum haruslah menjadi sumber kekuasaan bagi para penguasa agar
pemerintahan para penguasa itu terarah untuk kepentinagn, kebaikan, dan kesejahteraan
umum. Selanjutnya, Aristoteles menegaskan baha hukum sebagai sumber kekuasaan itu bukan
hanya memiliki kedaulatan dan kewibawaan yang tertinggi tetapi juga harus menjadi dasar
dan landasan kehidupan bernegara, baik bagi yang memerintah maupun yang diperintah
sehingga kedua belah pihak sama-sama memiliki kedudukan hukum. Apabila hukum yang
menjadi sumber ekuasaan bagi para penguasa negara, maka jelaslah bahwa para penguasa itu
akan menaklukkan diri di bawah hukum dan dalam keadaan yang demikian itu, hukum akan
sanggup menumbuhkan moralitas yang terpuji dan keadaban yang tinggi bagi para penguasa
negara dan dengan begitu dapat dipastikan bahwa kesewenangan takkan pernah terjadi.13
Jadi jelaslah bahwa menurut Aristoteles, bilamana hukum menjadi sumber kekuasaan, yang
berarti pula bahwa hukum memiliki kedaulatan dan kewibawaantertinggi, maka ada empat hal
yang akan terwujud dalam negara14:
1) Hukum akan menumbuhkan moralitas yang terpuji dan keadaban yang tinggi bagi
yang memerinah, tetapi juga bagi yang diperintah.
2) Tumbuhnya moralitas yang terpuji dan keadaban yang tinggi akan mencegah
pemerintahan yang sewenang-wenang.
3) Ketiadaan pemerintahan yang sewenang-wenang dari pihak penguasa akan
menumbuhkan peran serta yang positif serta persetujuan dan dukungan yang
menggembirakan dari pihak yang diperintah kepada pemerintah.
4) Pemerintah yang memiliki moralitas yang terpuji dan keadaban yang tinggi, yang
tidak sewenang-wenagn dan yang memperoleh persetujuan serta dukungan dari pihak
yang diperintah, akan memerintah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan
umum.

II.2. Muatan Buku Politics Aristoteles


Muatan pada buku the politics ada beberapa diantaranya adalah negara adalah persekutuan
hidup, asal mula negara, negara untuk kebaikan semua bukan untuk kelompok tertentu,
negara adalah untuk mamanusiakan manusia, bentuk pemerintahan negara15.

13 Ibid,54
14 Ibid, 54

II.2.1. Negara Adalah Persekutuan Hidup


Aristoteles mengatakan bahwa sesungguhnya setiap negara itu merupakan suatu
persekutuan hidup atau lebih tepat lagi suatu persekutuan hidup politis. Yang dalam bahasa
Yunani he koinonia politike; artinya suatu persekutuan hidup yang berbentuk polis(negara
kota). Ungkapan negara adalah hidup politis sesungguhnya mengandung beberapa hal penting
yang patut dipikirkan.
Pertama. Jika dikatakan bahwa negara itu adalah persekutuan hidup politis maka
Aristoteles hendak menegaskan bahwa negara itu bukan suatu instrumen belaka. Negara juga
bukan juga semata-mata kumpulan yang teratur atau organisasi, melainkan suatu persekutuan
hidup yang menunjukkan adanya suatu keterhubungan yang bersifat organik antara warga
negara satu dengan yang lainnya.
Kedua. Istilah kolonia (persekutuan) dalam bahasa Yunani klasik menunjukkan adanya
suatu hubungan antar manusia yang khusus, yang begitu erat, sangat akrab, amat mesra dan
lestari. Dengan mengatakan bahwa negara adalah persekutuan hidup politis maka itu
keterhubungan orang-orang yang berada dalam satu polis(negara kota), yang akrab, mesra dan
lestari. Itu berarti warga negara wajib merawat dan memelihara kekhususan, keakraban,
kemesraan dan kelestarian hubungan mereka satu sama lainnya sebagai warga dari
persekutuan polis itu.
Ketiga. Untuk menciptakan dan menjaga kesatuan dan keutuhan hidup bernegara,
bagi Aristoteles, apabila negara persekutuan hidup politis yang difahami dan dihayati selaku
satu organisme dan dalam pengalamannya keterhubungan warga negara satu sama lainnya
benar-benar diwarnai oleh kekhususan, keakraban dan kemesraan yang senantiasa dan dirawat
kelestariannya, maka dalam hal yang demikian, kesatuan dan keutuhan negara yang begitu
didamba-dambakan, dengan sendirinya akan tercipta, terpelihara dan terjamin.
Keempat. Bagi Aristoteles ukuran negara yang paling ideal adalah polis (negera kota)
dan bukan kerajaan yang seluas dunia. Dengan demikian, secara tidak langsung, Aristoteles
telah mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap ambisi Alexander yang Agung yang pada
masa itu sedang berjuang untuk membangun suatu kerajaan yang meliputi seluruh dunia.
II.2.2. Asal Mula Negara

15 Ibid, 33

Menurut Aristoteles, segala sesuatu yang hidup, yang menurut kodratnya adalah
berpasang-pasangan, hanya akan hidup sebagaimana mestinya bilamana ia menggabungkan
diri dengan pasangan yang sesuai dengan kodratnya itu. Bagi Aristoteles keluarga adalah
perdekutuan hidup yang pertama dan yang terendah. Keluarga selaku bentuk persekutuan
hidup yang paling awal itu, selanjutnya tumbuh dan berkembang menjadi kelompok keluarga
yang membentuk perseekutuan hidup yang kedua, yang disebut desa. Sesudah itu, desa
tumbuh dan berkembang terus dan akhirya membentuk polis (negara kota). Dari uraian
tersebut, jelas bahwa menurut Aristoteles, negara terbentuk oleh adanya pertumbuhan dan
perkembangan yang terjadi karena kodrat. Pandangan Aristoteles tentang asal mula negara itu
tidaklah berdasar fakta historis, melainkan lebih cenderung merupakan suatu rekonsruksi
imaginatif sebagai hasil dari penerapan metode analitik dan genetik yang digunakannya.16
II.2.3. Negara Untuk Kebaikan Semua, Bukan Untuk Kelompok Tertentu Saja
Negara sebagai bentuk persekutuan hidup yang paling tinggi, memiliki tujuan yang juga
paling tinggi, paling mulia dan paling luhur bila dibandingkan dengan tujuan yang dimiliki
oleh persekutuan hidup lainya, karena memang ia memiliki tujuan yang paling tinggi, paling
mulia dan paling luhur.
Sama seperti Plato, Aristoteles pun berpendapat bahwa negara ada dan terbentuk
bukan untuk negara itu sendiri. Tujuan akhir negara bukan untuk dirinya sendiri melainkan
untuk manusia yang menjadi warganya. Jadi tujuan utama pembentukan negara adalah untuk
manusia. Oleh sebab itu, kendati negara adalah suatu persekutuan hidup yang berada di
jenjang yang paling atas dan karena itu paling berdaulat, namun gagasan negara ideal
Aristoteles bukanlah negara absolut.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa negara adalah satu bentuk
persekutuan hidup yang paling tinggi, paling mulia dan paling luhur. Adapun tujuan yang
paling tinggi itu ialah kebaikan yang tertinggi (the highest good) bagi manusia dan bukan
sekedar kebaikan semata-mata. Itu berarti negara harus mengupayakan serta menjamin adanya
kebaikan yang semaksimal mungkin bagi para warganya, baik secara kualitas maupun
kuantitas. Aristoteles menegaskan lagi bahwa negara harus mengupayakan dan menjamin
kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya karena hanya di dalam kesejahteraan bersama
(kesejahteraan umum), kesejahteraan individual dapat di peroleh.)17

16 Ibid,39
17 Ibid,40

II.2.4 Negara Adalah Untuk Memanusiakan Manusia


Aristoteles mengatakan bahwa menurut kodratnya manusia adalah politikon zoon, yang
artinya : makluk hidup yang hidup dalam polis (negara kota), makhluk hidup yang kodratnya
tidak hidup dalam negara, jika bukan hewan , ia adalah dewa. Makluk yang demikian itu jika
tidak di bawah manusia (subhuman) maka pastilah ia di atas manusia (superhuman). Jadi jelas
terlihat bagi Aristoteles, manusia hanya memanusiakan apabila ia hidup di dalam negara,
karena di luar negara hanya ada makhluk hidup yang di bawah manusia atau yang di atas
manusia.
Menurut Aristoteles, negara yang ideal adalah negara yang memanusiakan manusia.
Di dalam dan lewat hidup bernegara, manusia dimampukan untuk mencapai tingkat
pertumbuhan dan perkembangan yang semaksimal mungkin. Itu berarti di dalam negara
manusia seyogyanya dapat mencapai tingkat kebajikan yang tertinggi. Keberhasilan manusia
mencapai tingkat kebajikan tertinggi itu, harus lah terlihat melalui moralitas yang terpuji,
karena manusia dari makhluk hidup lainya. Dengan kata lain, moralitas yang memberi
kualitas yang khusus bagi manusia sehingga manusia itu adalah manusia yang tidak sama
dengan makhluk yang lain. Manusia yang benar-benar bermoral dan yang berarti pula benarbenar berkualitas akan senaniasa siap sedia melakukan segala sesuatu yang terbaik dan yang
mulia.
II.2.5. Bentuk Pemerintahan Negara
Dari buku III sampai dengan buku IV (seluruhnya) dalam politika Aristoteles
memaparkan tentang bentuk pemerintahan. Bentuk pemerintahan itu ada yang baik yaitu yang
sanggup memanusiakan manusia, tetapi ada juga yang buruk, yang oleh Aristoteles di sebut
sebagi sebuah penyimpangan dari yang benar, kriteria yang di gunakan oleh Aristoteles untuk
menguraikan bentuk pemerintahan itu ada dua. Pertama, jumlah orang yang memegang
kekuasaan. Dalam hal itu perlu di teliti jumlah orang yang memegang kekuasaan tertinggi
dalam negara. Pertanyaan yang diajukan ialah, di tangan beberapa orangkah kekuasaan
tertinggi dalam negara itu berada? Pertanyaan itu dapat di jawab dengan beberapa
kemungkinan sebagai berikut : a) kekuasaan tertinggi berada di tangan satu orang atau b)
kekuasaan tertinggi berada di tangan beberapa orang, atau c) kekuasaan tertinggi berada di
tangan banyak orang. Kedua, tujuan pemerintahan. Perlu di pertanyakan apakah sebenarnya
yang menjadi tujuan pemerintahan dari pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara itu?
pertanyaan itu dapat dijawab dengan dua kemungkinan sebagai berikut : a)tujuan
pemerintahan adalah sebagi sebuah kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum, atau b)

tujuan pemerintahan adalah untuk kepentinagn, kebaikan dan kesejahteraan si pemegang


kekuasaan itu sendiri. Tujuan pemerintahan yang pertama itu baik, terlepas dari apakah
kekuasaan yang tertinggi dalam negara berada di tangan satu orang, beberapa orang ataupun
banyak orang, sedangkan tujuan pemerintahan yang kedua itu buruk atau merupakan suatu
penyimpangan, terlepas dari apakah kekuasaan yang tertinggi dalam negara berada di tangan
satu orang, beberapa rang ataupun banyak orang18

18 Ibid, 44

Sesuai denga kriteria di atas maka Aristoteles mengklasifikasikan bentuk bentuk


pemerintahan ke dalam tiga bentuk pemerintahan yang baik dan tiga bentuk pemerintahan
yang buruk, yakni yang merupakan penyimpangan dari bentuk pemerintahan yang baik.
Bilamana kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan satu orang dan tujuan
pemerintahan adalah untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum, maka bentuk
pemerintahan yang demikian itu disebut : monarki. Jika kekuasaan tertinggi berada di tangan
beberapa orang dan tujuan pemerintahan adalah untuk kepentingan, kebaikan, dan
kesejahteraan umum, maka bentuk negara yang demikian itu disebut : aristokrasi . apabila
kekuasaan tertinggi berada di tangan banyak orang dan tuuan pemerintahan adalah untuk
kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum maka bentuk pemerintahan yang demikian itu
disebut : politeia.
Menurut penelitian Aristoteles ada empat jenis monarki. Yang pertama ialah yang
terdapat di dalam konstitusi sparta yang kedua ialah monarki yang terdapat di antara bangsabangsa bukan Yunani. Yang ketiga ialah monarki yang terdapat di antara orang-orang yunani
dizaman purba yang keempat ialah monarki yang terdapat pada zaman kepahlaanan (heroic
times). Dalam monarki ke empat itu, raja bertindak selaku panglima perang, hakim dan
pimpinan agama.
Bagi Aristoteles, bentuk negara yang paling ideal ialah monarki. Dari monarki itu,
jenis idaman ialah monarki yang diperintahkan oleh filsuf-raja. Karena seorang filsuf raja
adalah yang paling unggul dalam kebajikan, maka negara yang diperintahkan oleh filsuf-raja
tidak memerlukan hukum, sebab kebajikan berada di atas hukum. Walaupun bagi Aristoteles,
bentuk monarki dengan sang filsuf-raja adalah yang paling ideal, namun kenyataanya,
sesungguhnya begitu sulit ditemukan seseorang yang benar-benar paling unggul dalam
kebajikan dan kearifan yang merupakan kualitas dari sang filsuf-raja itu.
Selain tiga bentuk pemerintahan yang baik, ada pula tiga bentuk pemerintahan yang
buruk yang dikatakan Aristoteles sebagai penyimpangan dari bentuk pemerintahan yang baik.
Penyimpangan dari monarki ialah tirani, dikatakan menyimpang karena apabila dalam bentun
monarki, kekuasaan yang berada di tangan satu orang digunakan untuk kepentingan, kebaikan
dan kesejahteraan umum, maka dalam bentuk tirani, kekuasaan tertinggi yang berbeda di
tangan satu orang

itu, digunakan sebagi kepentingan si penguasa itu sendiri. Penguasa

tunggal itu lalu bertindak seenang-wenang dzalim serta tidak segan-segan menindas rakyatnya
sendiri.

Penyimpangan dari aristokrasi ialah oligarki, oligarki berasal dari dua kata dalam
bahasa Yunani, yaitu oligos yang berarti sedikit atau beberapa dan arche yang berarti
kekuasaan atau pemerintahan, bentuk oligarki dikatakan menyimpang karena apabila dalam
bentuk aristokrasi, kekuasaan yang berada di tangan beberapa orang digunankan untuk
kepentingan, kebaikan dan kesejahteran umum, maka dalam bentuk oligarki , kekuasaan yang
berada di tangan beberapa orang kaya, digunakan untuk kepentingan para penguasa itu
sendiri, yaitu untuk menambah pengaruh dan kekayaan mereka dengan memeras rakyatnya.
Adapun bentuk penyimpangan yang terakhir ialah penyimpangan dari politea menjadi
demokrasi. Istilah demokrasi berasal dari dua kata dalam bahasa yunani, yaitu demos yang
berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan. Kata rakyat yang dimaksudkan oleh
Aristoteles ialah orang yang banyak yang miskin, yakni suatu glongan besar yang tak
berpunya. Bentuk demokrasi dikatakan menyimpang karena apabila dalam bentuk politiea,
kekuasaan berada di tangan banyak orang digunakan untuk kepentingan, kebaikan dan
kesejahteraa umum, maka dalam bentuk demokrasi, kekuasaan yang berada di tangan banyak
orang itu, yakni yang terdiri dari rakyat yang miskin, diunakan untuk kepentingan rakyat
miskin yang memegang kekuasaan itu.
Jadi jelas terlihat bahwa kekuasaan di dalam tiga bentuk pemerintahan yang buruk
yang merupakan penyimpangan dari tiga bentuk pemerintahan yang baik, semuanya tidak
digunakan untuk kepentingan, kebaikan dan kesejahteraan umum. Oleh ebab itu, ketiga
bentuk pemerintahan yang buruk itu akan gagal melaksanakan tugas negara yang amat mulia,
yaitu memanusiakan manusia guna mencapai tujuan negara, yakni mengupayakan dan
menjamin adanya kebaikan maksimal baik secara kualitas maupun kuantitas bagi seluruh arga
negara agar dengan demikian manusia dimungkinkan untuk mencapai kehidupan yang baik
dan berbahagia serta yang pnuh dengan kebajikan.

II.3. Dampak pemikiran filsafat politik Aristoteles terhadap dunia politik


Aristoteles memiliki dampak atau pengaruh yang besar dalam membentuk tradisi
politik barat. Kontribusinya yang melampaui batas waktu dan abadi sebagaimana disaksikan
para intelektual sepanjang masa. Ada beberapa aspek pemikiran sosial dan politiknya yang
akan di tolak oleh kalangan demokrat modern; ada pula yang lain, termasuk beberapa premis
dasarnya, yang diterima secara luas. Kajian pemikiran politik lebih dari sekedar latihan
akademik. Ia merupakan suatu jelajah ke dunia ide yang sangat relavan dengan masyarakat
modern.

Teori politik Aristoteles memperingatkan perlunya kehati-hatian dalam merencanakan


aktivitas negara. Ia mengingatkan akan upaya-upaya untuk merekontruksi masyarakat
menurut beberapa cetak biru besar feformasi sosial yang menunjukan sedikit respek terhadap
bijaknya pengalaman, tradisi, adat dan kapasitas manusia. Teori politik Aristoteles
menekankan bahwa pendekatan ini dapat dengan baik mendorong pada horornya Aldous
Huxley dalam karyanya brave new world dan dalam karya George Orwell, 1984, dimana elit
ilmiah memanipulasi manusia demi kepentingan masyarakat pengadu (complaisant).
marilah kita ingat, aristotelses memperingatkan, bahwa kita tidak boleh mengabaikan
pengalaman masa lalu, negarawan bukanlah seniman yang bisa membagi tanahnya menurut
bentuk yang dia anggap terbaik. Pada saat yang sama, pendekatan terhadap perubahan sosial
politik harus dinamis dan progresif sekalipun tidak radikal. Jika institusi-institusi politik ingin
bertahan, mereka harus mampu mengubah status quo.
Aristoteles benar-benar sadar akan peran yang dimaninkan dalam proses politik. Dia
mengakui bahwa pembuat kebijakan pemerintah sering tidak lebih dari sekedar ratifikasi atas
keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan ekonomi. Analisisnya juga
menunjukan hubungan yang dekat antara ekonomi dan stabilitas politik. Ketika perbedaan
kekayaan terjadi dalam negara, ketika kemiskinan meluas dan berdampingan dengan
kemiskinan, ini artinya masyarakat berada dalam kondisi tidak sehat. Ikatan keadilan dan
kehendak bersama yang akan menyatukan masyarakat yang lemah atau terlepas ke dalam
negara tersebut. Pemerintahan diktator bisa saja menghancurkan kerusuhan sosial dengan
kekuatan, namun pemerintahan demokratis tidak bisa mengabaikan kesejahteraan ekonomi
rakyatnya dari kelas manapun. Jika demikian, teori politik Aristoteles telah menyumbangkan
tujuan politiknya dan membuka pintu kepada filsafat pemerintahan yang kurang diinginkan.19

19 Schamandt, J Henry. 2009. Filsafat Politik.Yogyakarta: PUSTAKA


PELAJAR.,108

BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Kata filsafat padanan dari bahasa Arab falsafah dan bahasa Inggrisnya philosophhy. Kata
filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani philosophia, yaknni gabungan dari kata philos
yang artinya cinta dan sophos berarti kebijaksanaan, dengan kata lain filsafat adalah cinta
pada kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan. Politik adalah pengetahuan mengenai
ketatanegaraan atau kenegaraan. Dan segala urusan dan tindakan (kebiijakan, siasat)
menganai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Ilmu politik bukanlah pengetahuan,
melainkan tindakan. Karena tujuannya, bukan hanya sekedar pengetahuan, melainkan
tindakan, manfaat pengetahuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Aristoteles memiliki dampak atau pengaruh yang besar dalam membentuk tradisi
politik barat. Kontribusinya yang melampaui batas waktu dan abadi sebagaimana disaksikan
para intelektual sepanjang masa. Ada beberapa aspek pemikiran sosial dan politiknya yang
akan di tolak oleh kalangan demokrat modern; ada pula yang lain, termasuk beberapa premis
dasarnya, yang diterima secara luas. Teori politik Aristoteles memperingatkan perlunya
kehati-hatian dalam merencanakan aktivitas negara.

DAFTAR PUSTAKA

Adib, H Mohammad. 2010. Filsafaat Ilmu. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR


Budiardjo, Miriam.2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 2008.
Rapar, J.H. 1993. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Schamandt, J Henry. 2009. Filsafat Politik.Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Warsito, Loekisno Choiril, dkk. 2014. Pengantar Filsafat. Surabaya: UIN Sunan
Ampel Press.,

Anda mungkin juga menyukai