Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS SOSIAL TEORI "FUNGSIONAL STRUKTURAL"

MENYIBAK KASUS TAWURAN DI KALANGAN PESERTA DIDIK (SISWA)


SEBUAH TINJAUAN TEORI FUNGSIONLISME STRUKTURAL

MAKALAH

Oleh: Ilin Solehudin


Disampaikan Pada Kuliah Tatap Muka Teori Ilmu Sosial (TIS) dengan Dosen
Pengampu Bapak Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si

A. Sekelumit Penomena Yang Terjadi


Tawuran antar pelajar intra lembaga atau antar lembaga sudah lama dan sering
terjadi. Perkelahian yang melibatkan individu dengan individu kelompok dengan
kelompok semacam ini terus terjadi hingga dewasa ini. Dari beberapa peristiwa
yang amat sangat memilukan jika kita amati, kalangan manusia terdidik yang
semestinya menjadi potret bangsa mulai dari se-usia SD, SLTP, SLTA bahkan
Perguruan tinggi sekalipun, dewasa ini sering dipertontonkan dengan berbagai
aktivitas-aktivitas nya yang kurang bahkan sangat memilukan dan memalukan
yaitu terlibat pada tindakan kriminalitas dalam hal ini tawuran antar
pelajar/peserta didik /siswa.
Tawuran yang kini menjadi sajian hampir pada setiap berita yang ditayangkan
berbagai media, mempertontonkan mereka anak-anak bangsa yang ikut terjerat
ramainya persaingan yang amat dahsyat sampai-sampai lupa terhadap jati dirinya
sebagai kaum terdidik lebih tertarik pada tindakan yang kurang bahkan tidak sesuai
dengan nilai dan norma-norma yang berlaku. Hal ini terbukti dengan kenyataan
yang memperlihatkan kegembiraan mereka siswa kalangan terdidik tersebut
ketika ikut terlibat pada pertikaian yang tidak hanya melibatkan, otak, otot bahkan
sampai mengorbankan nyawa sekalipun. Sebagai salah satu contoh, belum begitu
lama dan mungkin masih teringat dengan ramainya pemberitaan yang ditayangkan
oleh media-media yang ada, terkait tawuran yang terjadi anatar siswa SMA di
Jakarta yang diakhiri dengan hilangnya nyawa salah satu siswa.

Melihat kondisi yang terjadi sebagaimana diungkap diatas, maka penulis melihat
terjadi ketidak serasian antara yang seharusnya terjadi dengan fakta yang benarbenar terjadi. Kalau kita melihat siswa-siswa sebagai kaum terdidik dari lembaga
pendidikan, maka jelas sesuai dengan salah satu pengertian pendidikan ialah
usaha memanusiakan manusia. Tentunya out put yang dihasilkanpun mesti
menjadi manusia. Dalam hal ini manusia yang dimaksud setidaknya memiliki tiga
syarat. Pertama, memiliki kemampuan dalam mengendalikan diri. Kedua, cinta
tanah air, dan. Ketiga, berpengetahuan[1].
Dari tiga syarat manusia yang disodorkan tersebut, satu yang akan penulis amati.
Siswa sebagai kaum terdidik harus memiliki kemampuan mengendalikan diri. Jika
diinternalisasikan dengan kejadian yang disampaikan diatas, maka terdapat
masalah dimana sejauh ini masih banyak terdapat siswa yang belum menjadi
manusia karena belum mampu mengendalikan dirinya.
Kondisi atau fakta yang terjadi tersebut diatas, jika dilihat dari kacamata sosiologi
sangat menarik untuk diamati, diteliti bahkan diobati. Mengapa di obati? Karena
salah satu tujuan dari ilmu sosiologi ialah menciptakan kondusifitas (masyarakat
yang aman). Sosiologi sebagai ilmu sosial yang mempelajari berbagai hal
mengenai peristiwa sosial (kehidupan masyarakat), dengan begitu banyak dan
beragamnya objek kajian (ruang lingkup) sosiologi seperti halnya, struktur sosial,
realitas sosial, dan masalah sosial. Karena peristiwa yang sedang dibahas ialah
mengenai tawuran antar pelajar (siswa), sedangkan siswa merupakan bagian dari
masyarakat. Maka penulis akan mencoba mengamati, meneliti, dan mengkaji
masalah ini dengan menggunakan pendekatan teori Fungsionalisme Struktural.
Dimana teori ini memandang masyarakat sebagai suatu jaringan institusi-institusi
sehingga perubahan dalam suatu institusi menyebabkan perubahan pada institusi
lain.[2]

B. Mengenal Teori Fungsionalisme struktural


Fungsionalisme struktural jika dilihat dari segi etimologi terdiri dari fungsi/fungsional
berarti penggunaan sesuatu hal (tambah isme) faham mengenai penggunaan atas
sesuatu hal, dan strukturak berkenaan dengan struktur berarti susunan atau
bangunan yang disusun dengan pola tertentu[3]. Teori fungsionalisme pertama kali
dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott Parsons. Talcott Parsons adalah
seorang sosiolog yang lahir pada tahun 1902 di Colorado. Dia lahir dalam sebuah
keluarga yang memiliki latar belakang yang saleh dan intelek. Ayahnya adalah
seorang pendeta gereja Kongregasional, seorang profesor dan presiden dari sebuah
kampus kecil. Parsons mendapat gelar sarjana dari Amherst College tahun 1924 dan
melanjutkan kuliah pascasarjana di London School of Economics. Pada tahun
berikutnya, dia pindah ke Heidelberg, Jerman. MaxWeber menghabiskan sebagian
kariernya di Heidelberg, dan meski dia wafat lima tahun sebelum kedatangan

Parsons, Weber tetap meninggalkan pengaruh mendalam terhadap kampus tersebut


dan jandanya meneruskan pertemuan-pertemuan di rumahnya, yang juga diikuti
oleh Parsons. Parsons sangat dipengaruhi oleh karya Weber dan sebagian disertasi
doktoralnya di Heidelberg membahas karya Weber.[4]
Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang
menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang
menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya
keteraturan masyarakat yang ada di Amerika juga dipengaruhi oleh pemikiran Max
Weber, Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo dan Pareto. Hal tersebutlah yang
menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks.

C. Konsep Pemikiran
Teori Fungsionalisme Struktural dipengaruhi oleh adanya asumsi kesamaan antara
kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial tentang adanya keteraturan
dan keseimbangan dalam masyarakat.
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat
terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaanperbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang
secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian
masyarakat merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain
berhubungan dan saling ketergantungan.[5]

D. Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif


Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh
para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan
ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya
karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan
nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki
kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu
dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut
dikendalikan oleh nilai dan norma.
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu
diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang

unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan
dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa
tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang
unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan norma.
Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu
sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai
macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu
dalam memilih tujuan yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta
norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu
manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi
motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu
tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur
sebagaimana dikemukakan di atas.

E. Analisis Fungsional Struktural dan Diferensiasi Struktural


Sebagaimana telah diuraikan bahwa Teori Fungsionalisme Struktural beranggapan
bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang secara fungsional terintegrasi ke
dalam bentuk keseimbangan.
Menurut Talcott Parsons dinyatakan bahwa yang menjadi persyaratan fungsional
dalam sistem di masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut struktur
maupun tindakan sosial, adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian dengan
lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan fungsional.[6]
Perlu diketahui ada fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi agar ada kelestarian
sistem, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan latent. Empat
persyaratan fungsional yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem yang
ada. Berkenaan hal tersebut di atas, empat fungsi tersebut terpatri secara kokoh
dalam setiap dasar yang hidup pada seluruh tingkat organisme tingkat
perkembangan evolusioner. Perlu diketahui bahwa sekalipun sejak semula Talcott
Parsons ingin membangun suatu teori yang besar, akan tetapi akhirnya mengarah
pada suatu kecenderungan yang tidak sesuai dengan niatnya. Hal tersebut karena
adanya penemuan-penemuan mengenai hubungan-hubungan dan hal-hal baru,
yaitu yang berupa perubahan perilaku pergeseran prinsip keseimbangan yang
bersifat dinamis yang menunjuk pada sibernetika teori sistem yang umum. Dalam
hal ini, dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat itu melewati empat proses

perubahan struktural, yaitu pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian


evolusinya Talcott Parsons menghubungkannya dengan empat persyaratan
fungsional di atas untuk menganalisis proses perubahan.

F. Internalisasi Teori Fungsionalisme Struktural terhadap tawuran pelajar


Berangkat dari asumsi dasar bahwa pelajar sebagai masyarakat terintegrasi atas
dasar kesepakatan, akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai
kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga para siswa tersebut
dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu
keseimbangan. Dengan demikian para siswa merupakan kumpulan sistem-sistem
sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Ini menjelaskan bahwa ketika telah disepakati sebagai seorang peserta didik (siswa)
dengan berbagai hal yang terkait seperti mengenai hak dan kewajiban siswa
sebagai kaum terdidik ialah merasa bersatu antara satu dengan yang lainnya,
saling berhubungan dan saling ketergantungan. Hendaknya dari sudut pandang
teori ini mampu mencapai tujuan yakni menciptakan kultur persatuan dan
kebersamaan, tidak malah saling menyerang, menyalahkan dan terjadi perpecahan.

G. Analisis teori Fungsionalisme Struktural terhadap tawuran pelajar


Melihat tawuran yang terjadi antar pelajar ini dapat dianalisis melalaui struktur dan
tindakan. Ini melalui perwujudan nilai dan penyesuaian dengan lingkungan yang
melibatkan persyaratan pungsional tersebut. Berdasarkan teori ini hendaknya
terjadi suatu kesadaran diantara pelajar karena berdasarka ide dan nilai (normanorma) untuk mencapai tujuan tertentu.
Selanjutnya tindakan terjadi dengan kondisi yang unsurnya sudah pasti. Tawuran
sebagai tindakan pada suatu kondisi yang mungkin unsur-unsur yang terdapat
diantara alat, tujuan, situasi, dan norma ada yang tidak benar (salah). Dalam
kejadiannya individu siswa tidak hanya dipengaruhi oleh unsur tersebut namun juga
oleh orientasi subjektifny masing-masing.

H. Kesimpulan

Teori fungsional struktural secara ideal menganggap organisasi biologis dan


struktural sosial merupakan sebuah asumsi yang sama saling berhubungan dan
saling ketergantungan serta terintegrasi berdasarkan, ide, nilai dan norma yang
dipengaruhi oleh fungsi dan syarat dalam mencapai tujuan yang disepakati yaitu
kesadaran dan kebersamaan dalam masyarakat.
Terjadinya tawuran merupakan sebuah tindakan menyimpang karena individu
maupun kelompok lupa atau tidak menyadari terhadap fungsi yang telah
disepakatinya sebagai pelajar dalam mengindahkan nilai, ide dan norma yang
disepakati. Hal ini dapat dipengaruhi oleh unsur tindakan yang menyeleweng atau
dari diri (orientasi subjektifnya) sendiri.

I.

Solusi terhadap Tawuran Peserta Didik atas Teori Fungsionalisme Struktural

Melihat tawuran merupakan bagian dari prilaku sosial yang meyimpang oleh karena
beberapa faktor, maka maka bagaimanapun harus merubahnya menjadi suatu
tindakan sosial yang disadari. Secara sederhana dapat dikategorikan menjadi;
a. Senantisasa menanamkan sadar sebagai masyarakat yang saling
ketergantungan dan butuh akan kebersamaan.
b. Menanamkan selalu nilai-nilai positif, kesadaran akan norma dan kesepakan
sosial (norma sosial).
c. Antara organ biologis dengan struktur sosila harus dapat terintegrasi serta
terarahkan dengan baik sehingga memberikan dampak yang baik.
d. Yang sering terlupakan ialah menumbuhkembangkan nilaia-nilai keagamaan
terhadap peserta didik sejak usia dini hingga masyarakat tua.

Referensi :
Talcott Parsons, Social Systems and The Evolution of Action Theory New York: The
Free Press, 1975.
Sciulli, David and Gerstein Dean. 1985. Social Theory and Talcott Parsons in the
1980s.
Mister Goolge.

Anda mungkin juga menyukai