Disusun oleh:
Kelompok 12
Aprian Nur Rohman NIM 1217050018
Fadil Taufiqurohmat NIM 1217050048
Fahmi Hasan Baihaqi NIM 1217050050
Teknik Informatika A
2023
KATA PENGANTAR
Pertama-tama, kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas rahmat dan karunia-
Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan
salam kami curahkan kepada junjungan, Nabi Muhammad Saw. serta keluarga dan sahabatnya.
Semoga kita sebagai umatnya mendapatkan syafaat di hari kiamat.
Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Dosen Mata Kuliah Akhlak Tasawuf yang telah memberikan tugas terhadap Penulis. Penulis
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
pembuatan Makalah ini.
Demikian Makalah ini Penulis buat dengan mengambil referensi dari beberapa buku dan
sumber internet. Penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan ataupun
ketidaksesuaian materi yang penulis tulis dalam Makalah ini. Oleh karena itu, Penulis
menerima kritik dan saran yang membangun agar penulis dapat membuat tulisan selanjutnya
menjadi lebih baik.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………1
A. Latar Belakang
Pada awalnya, seseorang menggunakan filsafat sebagai sarana untuk memahami
makna eksistensi secara mendalam, termasuk alam, diri, dan Tuhan. Mereka
melakukannya dengan cara bertanya kepada diri sendiri atau orang lain. Namun, seiring
dengan perkembangan zaman, pemikiran filsafat mengenai eksistensi Tuhan tidak
sepenuhnya dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Bagaimana kita dapat
memahami hakikat diri dalam hubungannya dengan Tuhan? Bagaimana kita dapat
mencapai tingkat pengetahuan yang komprehensif tentang Tuhan? Inilah alasan mengapa
para ulama Sufi menawarkan suatu jalan alternatif, yaitu melalui tarekat, untuk
menemukan eksistensi tersebut.
Dalam ilmu tasawuf, tarekat adalah suatu jalan atau metode untuk melakukan
ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan
dilakukan oleh para sahabat, tabi'in, dan tabi' tabi'in secara turun-temurun hingga saat ini
oleh para ulama yang meneruskannya. Pada awalnya, tarekat belum ada dalam agama
Islam. Namun, untuk memasuki dunia tasawuf dan mencapai tujuan utama dalam
tasawuf, seseorang membutuhkan suatu jalan atau cara. Dari sinilah muncul konsep
tarekat, yang merupakan cara untuk naik dari satu maqam ke maqam lainnya dalam
perjalanan spiritual.
Pada awal abad ke-20, munculnya gerakan pembaharuan Islam yang terinspirasi
oleh aliran-aliran dari Timur menyebabkan aliran keagamaan yang bersifat sufistik,
termasuk tarekat dalam Islam, menjadi kurang dihargai. Aliran-aliran ini dianggap
bertentangan dengan semangat pembaruan yang lebih condong ke arah modernis dan
terkadang terlihat revolusioner. Dalam konteks perubahan sosial dan pemikiran modern,
sufisme dan tarekat mulai dikritik dan ditolak.
Oleh karena itu, studi kritis terhadap aliran-aliran tarekat menjadi penting, untuk
memahami dinamika perkembangan dan transformasi spiritualitas Islam di era modern.
Melalui analisis ajaran-ajaran tarekat, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih luas
tentang tantangan dan peluang yang dihadapi umat Islam dalam menjalankan agama
mereka di tengah kompleksitas dunia modern.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja aliran-aliran tarekat yang berkembang di masa kini?
2. Bagaimana perkembangan aliran-aliran tarekat di masa kini?
3. Bagaimana pandangan Al-Qur’an dan Hadits terhadap praktik-praktik tarekat yang
diterapkan dalam konteks masa kini?
4. Bagaimana pandangan Ulama terhadap praktik-praktik tarekat yang diterapkan dalam
konteks masa kini?
C. Tujuan
1. Menganalisis aliran-aliran tarekat yang berkembang di masa kini.
2. Menjelaskan perkembangan aliran-aliran tarekat di masa kini.
3. Menganalisis pandangan Al-Qur'an dan Hadits terhadap praktik-praktik tarekat dalam
konteks masa kini.
4. Menganalisis pandangan ulama terhadap praktik-praktik tarekat dalam konteks masa
kini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Tarekat
Dalam sejarahnya, perkembangan tarekat telah dimulai sejak abad ke-3 dan ke-4.
Misalnya, ada al-Malamatiyah yang didirikan oleh Ahmadun al-Qashar, Ta‟rifiyah yang
terkait dengan Abu Yazid al-Busthami, serta alKhazzajiyah yang dikaitkan dengan Abu
Dzaid al-Khazzaz. Tarekat-tarekat ini dan lainnya pada waktu itu masih dalam bentuk
yang sangat sederhana. (Ahmad Najib Burhani, Tarekat tanpa Tarekat, Jalan Baru
Menjadi Sufi, cet. Ke-1, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 101-102)
Penting untuk diketahui sebelumnya bahwa pada abad pertama Hijriyah, telah
dimulai perdebatan tentang teologi, dan kemudian terjadi formalisasi syari'ah. Pada abad
kedua Hijriyah, munculnya tasawuf. Tasawuf terus berkembang dan menyebar, serta
mulai dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Salah satu pengaruh eksternal tersebut
adalah filsafat, baik dari Yunani, India, maupun Persia. Setelah abad ke-2 Hijriyah,
muncul kelompok sufi yang menerapkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa
untuk mencapai kedekatan dengan Allah. Para sufi kemudian membedakan pengertian-
pengertian tentang syari'ah, thariqat, haqiqat, dan ma'rifat. (Abu Bakar Aceh, Pengantar
Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik), (Jakarta: Fa H.M. Tawi & Son, 1966), hlm. 5.)
Pada abad kelima Hijriyah atau abad ketiga belas Masehi, tarekat-tarekat mulai
muncul sebagai kelanjutan dari aktivitas kaum sufi sebelumnya. Perkembangan ini dapat
dikenali dari fakta bahwa setiap silsilahtarekat selalu terkait dengan nama pendiri atau
tokoh sufi yang lahir pada periode tersebut. Awalnya, tarekat Qadiriyah muncul sebagai
yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir di Tibristan, wilayah Asia Tengah tempat
kelahiran dan pusat operasionalnya. Kemudian, tarekat ini berkembang ke Baghdad, Irak,
Turki, Arab Saudi, dan bahkan mencapai negara-negara seperti Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand, India, dan Tiongkok. Selain itu, tarekat Rifa'iyah juga muncul di
Maroko dan Aljazair, diikuti oleh tarekat Suhrawardiyah di wilayah Afrika Utara, Afrika
Tengah, Sudan, dan Nigeria. Tarekat-tarekat ini kemudian berkembang dengan cepat
melalui murid-murid yang diangkat menjadi khalifah, mereka mengajar dan
menyebarkannya ke berbagai negara Islam. Tarekat-tarekat ini bercabang dan beranting
secara luas, sehingga jumlahnya sangat banyak. (Sri Mulyati, dkk., Mengenal & Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 6-7.)
Perkembangan dan kemajuan tarekat sebenarnya terjadi pada abad keenam dan
ketujuh Hijriyah. Pada periode ini, Sheikh Abdul Qadir al-Jailani menjadi tokoh pertama
yang mendirikan sebuah tarekat pada awal abad keenam Hijriyah, diikuti oleh tarekat-
tarekat lainnya. Semua tarekat yang berkembang dalam periode ini merupakan kelanjutan
dari tasawuf Sunni al-Ghazali, dan dengan didirikannya berbagai tarekat tasawuf Sunni,
terjadi tahap perkembangan baru hingga saat ini. (Rahmat Setiawan, Anomali Tarekat; Studi
Pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka, ….. hlm. 37.)
a. Tahap khanqah, di mana seorang syaikh memiliki sejumlah murid yang hidup
bersama di bawah peraturan yang tidak terlalu ketat. Pada tahap ini, belum
ada ajaran dan peraturan yang sangat eksklusif seperti pada tahap selanjutnya.
b. Tahap thariqah, di mana tasawuf telah membentuk ajaran-ajaran, peraturan,
dan metode yang sangat eksklusif. Pada tahap ini, tarekat memiliki struktur
yang lebih terorganisir dan formal.
c. Tahap tha'ifah, di mana terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada
pengikut. Tarekat berkembang dengan cepat ke berbagai belahan dunia
lainnya, dan pemujaan terhadap syaikh menjadi umum. Pada fase ini, tarekat
memiliki makna yang lebih luas, yaitu sebagai organisasi sufi yang menjaga
dan mempertahankan ajaran dari seorang syaikh tertentu. (Harun Nasution,
Aliran Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 366-367.)
Proses perjalanan spiritual yang terjadi di dalam tarekat dimulai dengan proses
pengambilan "bai'at" (sumpah) dari murid (salik) di hadapan syaikh setelah murid
menjalani tahap penyucian diri. Setelah melalui tahap-tahap pembinaan dan pelatihan,
murid yang mencapai tingkat kesempurnaan tertentu akan diberikan "ijazah" oleh
mursyid. Setelah memperoleh ijazah tersebut, seorang salik biasanya memiliki hak untuk
menjadi seorang mursyid. Dalam tarekat, terdapat tiga ciri umum yang penting, yaitu
adanya syaikh sebagai guru spiritual, murid sebagai individu yang mengikuti petunjuk
syaikh, dan proses bai'at sebagai sumpah pengabdian dan kesetiaan murid kepada syaikh.
(Rahmat Setiawan, Anomali Tarekat; Studi Pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka, ….. hlm. 39)
Salah satu ciri khas tarekat adalah otoritas mutlak yang dimiliki oleh mursyid
terhadap murid-muridnya dalam masalah-masalah spiritual maupun material. Oleh
karena itu, dalam tarekat, mursyid-lah yang melakukan proses bai'at terhadap muridnya.
Hal ini mengakibatkan munculnya kultus individu atau "idiolatri" terhadap mursyid oleh
para muridnya. Karena sifatnya yang terstruktur dan eksklusif, serta memiliki ajaran yang
khas, tarekat kemudian menjadi seperti agama palsu atau pseudo religion, dengan
struktur ide, praktik, dan organisasi yang eksklusif. (Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Al-
Ma`arif, 1984), hlm. 217.)
Namun, tarekat pertama yang sampai ke Nusantara dan orang pertama yang
membawa serta mengajarkan tarekat di Nusantara dapat ditelusuri melalui syair-syair
Hamzah Fansuri. Berdasarkan penelusuran Martin Van Bruneissen, Hamzah Fansuri
dapat dipastikan sebagai orang Melayu yang secara pasti menganut tarekat Qadiriyah.
Dengan penemuan ini, dapat disimpulkan bahwa tarekat Qadiriyah adalah tarekat
pertama yang sampai ke Nusantara. (Muhammad Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial
Politik, Tafsir Sosial Sufi Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 74.).
3. Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam.
Tarekat ini dinamakan sesuai dengan nama pendirinya, Syekh Bahauddin Naqshband
(1318-1389 M), seorang sufi terkenal dari Asia Tengah.
4. Tarekat Khalwatiyah
Tarekat Khalwatiyah adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam.
Tarekat ini dinamakan sesuai dengan nama pendirinya, Syekh Umar al-Khalwati (1271-
1352 M), seorang sufi terkenal dari Persia.
Selain praktik khalwat, Tarekat ini juga melibatkan praktik dzikir dan meditasi,
serta penekanan pada kesalehan dan moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
mengajarkan pentingnya introspeksi, penyucian hati, dan mencari ilmu spiritual.
5. Tarekat Syattariyyah
Tarekat Syattariyyah adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam.
Tarekat ini dinamakan sesuai dengan nama pendirinya, Syekh Abdullah al-Shattar (wafat
1346 M), seorang sufi terkenal dari Persia.
6. Tarekat Sammaniyyah
Tarekat Samamiyyah adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam.
Tarekat ini dinamakan sesuai dengan nama pendirinya, Muhammad bin Abd al-karim al-
Madani al-Syafi’i al- Samman (1130-1189/1718-1775), seorang ulama dan tokoh Sufi
yang terkenal dari Yaman.
7. Tarekat Tijaniyyah
Tarekat Tijaniyah adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam. Tarekat
ini dinamakan sesuai dengan nama pendirinya, Syekh Ahmad al-Tijani al-Hassani (1737-
1815 M). seorang ulama dan tokoh Sufi yang terkenal dari Aljazair.
Tarekat Tijaniyah menekankan pentingnya dzikir dan penghormatan kepada Nabi
Muhammad SAW. Mereka mengajarkan metode dzikir khusus yang disebut "Wird
Tijani", yang melibatkan pengulangan istighfar (memohon ampunan) dan salawat (doa
untuk Nabi Muhammad SAW) secara rutin.
Pengembangan ajaran TQN yang terlihat baru dikenal di Asia Tenggara memang
dimulai dari kitab Fath al-'Arifin tersebut. Meskipun murid utama Syaikh Sambas, yaitu
Syaikh Abd al-Karim Banten (lahir 1840), tampaknya tidak mengembangkan ajaran
TQN secara luas, namun generasi berikutnya, terutama di pusat-pusat TQN di Jawa, TQN
berkembang pesat dan maju.
Al-Qur'an dan Hadits tidak secara khusus membahas praktik-praktik tarekat yang
diterapkan dalam konteks masa kini karena tarekat sebagai lembaga atau kelompok
khusus berkembang setelah zaman pengungkapan Al-Qur'an. Namun, prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadits memberikan panduan umum bagi praktik
spiritual dalam Islam. Berikut adalah beberapa prinsip utama yang relevan dengan
praktik-praktik tarekat: (Mutawakkil Mubarak, Tarekat Dalam Al-Qur’an)
1. Tauhid (Ketuhanan)
﴾١٦٢ ﴿ َﻗُﻞْ ﺇِﻥَّ ﺻَﻼَﺗِﻲ ﻭَﻧُﺴُﻜِﻲ ﻭَﻣَﺤْﻴَﺎﻱَ ﻭَﻣَﻤَﺎﺗِﻲ ﻟِﻠَّﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦ
3. Taqwa (Ketakwaan)
َّﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇِﻧَّﺎ ﺧَﻠَﻘْﻨَﺎﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺫَﻛَﺮٍ ﻭَﺃُﻧْﺜَﻰٰ ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻛُﻢْ ﺷُﻌُﻮﺑًﺎ ﻭَﻗَﺒَﺎﺋِﻞَ ﻟِﺘَﻌَﺎﺭَﻓُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ ﺇِﻥ
﴾١٣ ﴿ ٌﺍﻟﻠَّﻪَ ﻋَﻠِﻴﻢٌ ﺧَﺒِﻴﺮ
"Ya manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat ayat 13)
"Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang bukan dari urusan kami (agama
Islam), maka amalannya itu tertolak." (HR. Muslim no. 1718)
َﻻَ ﻳَﻨْﻬَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻦِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻟَﻢْ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻛُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺨْﺮِﺟُﻮﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺩِﻳَﺎﺭِﻛُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﺒَﺮُّﻭﻫُﻢْ ﻭَﺗُﻘْﺴِﻄُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪ
﴾٨ ﴿ َﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﻘْﺴِﻄِﻴﻦ
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-
orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-
Mumtahanah ayat 8)
D. Pandangan Ulama
1. Kritik Wahabisme Terhadap Aliran Tarekat
Bagi Pengikut Nahdlotul Uama ( NU), tarekat itu tidak semuanya buruk, ada yang
Mu’tabarah, ada yang Ghaeru mu’tabarah, ada yang sesuai dengan sunnah Nabi
Muhammad, ada pula yang sesat. (MA Samsidar, Persepsi Muhammadiyah Dalam
Memahami Tasawuf)
Dalam pandangan salah seorang tokoh Persatuan Islam, tasawuf dan tarekat yang
diabut umat islam mempunyai landasan pemikiran yang bercorak pantaesis, yaitu corak
pemikiran yang memandang Tuhan berada di setiap benda di alam ini. Semua aliran
tasawuf dan tarekat mengajarkan wihdatul al ittihad, al-hulul, dan al-liqa.’. Inti ajaran
semua bersifat panteistis. pandangan tersebut merupakan hasil dari konsepsi filsafat
monisme, yaitu konsepsi yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu. kemudian
beliau juga nengatakan bahwa secara historis, monisme, dan panteisme merupakan esensi
dari ajaran agama Hindu. Dalam kitab agama Hindu, Rig Weda, disebut dengan jelas
bahwa Tuhan menjelma diberbagai bentuk kehidupan di bumi dan langit, baik dalam
bentuk benda-benda yang ada di sekitar manusia, maupun yang terdapat pada diri
manusianya sendiri. (Munandar, dkk, Tawassut Attitude Relevance Nadhlatul Ulama In
Preventing Extremism)
Lebih tegas lagi, para aktivis ormas Islam modernis ini mengatakan bahwa “
istilah-istilah yang digunakan dalam tarekat dan tasawuf seperti: syariat, tarikat, hakikat,
dan ma’riat, sama sekali tidak didasarkan pada dalildalil Al-Quran dan As-Sunnah
(hadits) yang kokoh. bahkan metode khalawat dan zikir dibatasi oleh bilangan tertentu
hingga mencapai ekstase pun tidak pernah ada ketentuan dalam ajaran islam. (Munandar,
dkk, Tawassut Attitude Relevance Nadhlatul Ulama In Preventing Extremism)
Pandangan Abdul Razak, salah seorang tokoh muda Nahdlotul Ulama, beberapa
ajaran tarekat yang dianggap menyimpang, antara lain: adanya kultus yang berlebihan
kepada seorang mursid. mereka para penganut menganggap Syekh atau guru sebagai
seorang wali yang melebihi kesucianya Rosulullah. mungkin hal itu engaruh dari budaya
yang sering mengagungkan orangorang sakti dan ini muncul biasanya di Indonesia dari
kalangan pendeta hindu atau mitologi jawa kuno. selanjutnya, dia juga memandang
masalah taklid sebagai suatu sikap menerima apa adanya tanpa sikap yang kritis terhadap
ajaran dari syekh mursid, akibat dari pengultusan kepadanya. Sebab talkid dalam ajaran
islam sangat dilarang selama orang itu mampu menelusuri kebenaran suatu agama.
Tersebarnya legenda tentang kehebatan Syekh serta karamah-nya menjadi keyakinan dari
para jamaah tarekat, mereka juga berkeyakinan bahwa syekh lebih mulia daripada
sahabat-sahabat Rosulullah. (Munandar, dkk, Tawassut Attitude Relevance Nadhlatul
Ulama In Preventing Extremism)
Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, dalam buku (Ilmu Tasawuf Hal . 400-401
pengantar: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A.) mengenai tradisi tarekat ada prilaku
yang menyimpang dari syariat Islam, misalnya beliau tidak suka di hormati secara
berlebihan sehingga mengakibatkan pengkultusan individu terhadapnya, biasa
dihubungkan terekat, yang di tunjukan kepada seorang mursyid yang dianggap mampu
menghubungkan manusia dengan tuhan, mengakibatkan munculnya bahwa seorang guru
tarekat orang kramat yang jauh dari kesesatan. Dalam masalah tarekat beliau sangat
selektif mengenai pemberian predikat wali kepada mursyid beliau sangat menentang dan
tidak pernah mengenal kompromi, pernyataan berikut “ Wali tidak akan memamerkan
diri meskipun dipaksa membakar diri mereka “ barang siapa yang mengaku dirinya wali
tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rosul, orang tersebut adalah pendusta yang
membuat-buat perkara tentang Allah. (Munandar, dkk, Tawassut Attitude Relevance
Nadhlatul Ulama In Preventing Extremism)
Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik), Jakarta: Fa H.M. Tawi & Son,
1996.
Mulyati, Sri, dkk., Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006.
Setiawan, Rahmat, Anomali Tarekat; Studi Pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka, Kendal: Pustaka
Amanah, 2016.
Nasution, Harun, Aliran Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Nur, Muhamad, Neo Sufisme Nurcholish Madjid; Menyegarkan Kembali Pemikiran Tasawuf, Kendal:
Pustaka Amanah, 2016.
A. Aziz Masyhuri, 22 aliran tarekat dalam tasawuf, (Surabaya: imtiyaz, 2014), 119
Jamil, M. Muhsin, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik, Tafsir Sosial Sufi Nusantara, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Haeri, Syekh Fadhlullah, Belajar Mudah Tasawuf, cet. Ke-1 Terj. Muhammad Hasyim Assagaf,
Jakarta: Lentera, 1998.
https://muslim.or.id/11456-hadits-hadits-tentang-bidah.html
https://www.mushaf.id/
Akhmad Muhaini, Naqiyah Mukhtar, Takhrij Hadits Tarekat Dalam Kitab Al Mukhtasor Fi Ulumiddin
Karya Sheikh Abdul Qadir Al Jailani, Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur'an dan al-Hadits (2022)