Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

STUDI KRITIS ALIRAN-ALIRAN TAREKAT YANG BERKEMBANG


DI MASA KINI

Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf


Dosen Pengampu : Bukhori, M.Ag

Disusun oleh:
Kelompok 12
Aprian Nur Rohman NIM 1217050018
Fadil Taufiqurohmat NIM 1217050048
Fahmi Hasan Baihaqi NIM 1217050050

Teknik Informatika A

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2023
KATA PENGANTAR

Pertama-tama, kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas rahmat dan karunia-
Nya, kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan
salam kami curahkan kepada junjungan, Nabi Muhammad Saw. serta keluarga dan sahabatnya.
Semoga kita sebagai umatnya mendapatkan syafaat di hari kiamat.

Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Dosen Mata Kuliah Akhlak Tasawuf yang telah memberikan tugas terhadap Penulis. Penulis
juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
pembuatan Makalah ini.

Demikian Makalah ini Penulis buat dengan mengambil referensi dari beberapa buku dan
sumber internet. Penulis meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan ataupun
ketidaksesuaian materi yang penulis tulis dalam Makalah ini. Oleh karena itu, Penulis
menerima kritik dan saran yang membangun agar penulis dapat membuat tulisan selanjutnya
menjadi lebih baik.

Bandung, 12 Juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………1

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………..2

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………..3

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………...4

BAB III PENUTUP …………………………………………………………………..18

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………...19


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada awalnya, seseorang menggunakan filsafat sebagai sarana untuk memahami
makna eksistensi secara mendalam, termasuk alam, diri, dan Tuhan. Mereka
melakukannya dengan cara bertanya kepada diri sendiri atau orang lain. Namun, seiring
dengan perkembangan zaman, pemikiran filsafat mengenai eksistensi Tuhan tidak
sepenuhnya dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Bagaimana kita dapat
memahami hakikat diri dalam hubungannya dengan Tuhan? Bagaimana kita dapat
mencapai tingkat pengetahuan yang komprehensif tentang Tuhan? Inilah alasan mengapa
para ulama Sufi menawarkan suatu jalan alternatif, yaitu melalui tarekat, untuk
menemukan eksistensi tersebut.
Dalam ilmu tasawuf, tarekat adalah suatu jalan atau metode untuk melakukan
ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan
dilakukan oleh para sahabat, tabi'in, dan tabi' tabi'in secara turun-temurun hingga saat ini
oleh para ulama yang meneruskannya. Pada awalnya, tarekat belum ada dalam agama
Islam. Namun, untuk memasuki dunia tasawuf dan mencapai tujuan utama dalam
tasawuf, seseorang membutuhkan suatu jalan atau cara. Dari sinilah muncul konsep
tarekat, yang merupakan cara untuk naik dari satu maqam ke maqam lainnya dalam
perjalanan spiritual.
Pada awal abad ke-20, munculnya gerakan pembaharuan Islam yang terinspirasi
oleh aliran-aliran dari Timur menyebabkan aliran keagamaan yang bersifat sufistik,
termasuk tarekat dalam Islam, menjadi kurang dihargai. Aliran-aliran ini dianggap
bertentangan dengan semangat pembaruan yang lebih condong ke arah modernis dan
terkadang terlihat revolusioner. Dalam konteks perubahan sosial dan pemikiran modern,
sufisme dan tarekat mulai dikritik dan ditolak.
Oleh karena itu, studi kritis terhadap aliran-aliran tarekat menjadi penting, untuk
memahami dinamika perkembangan dan transformasi spiritualitas Islam di era modern.
Melalui analisis ajaran-ajaran tarekat, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih luas
tentang tantangan dan peluang yang dihadapi umat Islam dalam menjalankan agama
mereka di tengah kompleksitas dunia modern.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja aliran-aliran tarekat yang berkembang di masa kini?
2. Bagaimana perkembangan aliran-aliran tarekat di masa kini?
3. Bagaimana pandangan Al-Qur’an dan Hadits terhadap praktik-praktik tarekat yang
diterapkan dalam konteks masa kini?
4. Bagaimana pandangan Ulama terhadap praktik-praktik tarekat yang diterapkan dalam
konteks masa kini?
C. Tujuan
1. Menganalisis aliran-aliran tarekat yang berkembang di masa kini.
2. Menjelaskan perkembangan aliran-aliran tarekat di masa kini.
3. Menganalisis pandangan Al-Qur'an dan Hadits terhadap praktik-praktik tarekat dalam
konteks masa kini.
4. Menganalisis pandangan ulama terhadap praktik-praktik tarekat dalam konteks masa
kini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Tarekat
Dalam sejarahnya, perkembangan tarekat telah dimulai sejak abad ke-3 dan ke-4.
Misalnya, ada al-Malamatiyah yang didirikan oleh Ahmadun al-Qashar, Ta‟rifiyah yang
terkait dengan Abu Yazid al-Busthami, serta alKhazzajiyah yang dikaitkan dengan Abu
Dzaid al-Khazzaz. Tarekat-tarekat ini dan lainnya pada waktu itu masih dalam bentuk
yang sangat sederhana. (Ahmad Najib Burhani, Tarekat tanpa Tarekat, Jalan Baru
Menjadi Sufi, cet. Ke-1, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 101-102)
Penting untuk diketahui sebelumnya bahwa pada abad pertama Hijriyah, telah
dimulai perdebatan tentang teologi, dan kemudian terjadi formalisasi syari'ah. Pada abad
kedua Hijriyah, munculnya tasawuf. Tasawuf terus berkembang dan menyebar, serta
mulai dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Salah satu pengaruh eksternal tersebut
adalah filsafat, baik dari Yunani, India, maupun Persia. Setelah abad ke-2 Hijriyah,
muncul kelompok sufi yang menerapkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa
untuk mencapai kedekatan dengan Allah. Para sufi kemudian membedakan pengertian-
pengertian tentang syari'ah, thariqat, haqiqat, dan ma'rifat. (Abu Bakar Aceh, Pengantar
Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik), (Jakarta: Fa H.M. Tawi & Son, 1966), hlm. 5.)
Pada abad kelima Hijriyah atau abad ketiga belas Masehi, tarekat-tarekat mulai
muncul sebagai kelanjutan dari aktivitas kaum sufi sebelumnya. Perkembangan ini dapat
dikenali dari fakta bahwa setiap silsilahtarekat selalu terkait dengan nama pendiri atau
tokoh sufi yang lahir pada periode tersebut. Awalnya, tarekat Qadiriyah muncul sebagai
yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir di Tibristan, wilayah Asia Tengah tempat
kelahiran dan pusat operasionalnya. Kemudian, tarekat ini berkembang ke Baghdad, Irak,
Turki, Arab Saudi, dan bahkan mencapai negara-negara seperti Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand, India, dan Tiongkok. Selain itu, tarekat Rifa'iyah juga muncul di
Maroko dan Aljazair, diikuti oleh tarekat Suhrawardiyah di wilayah Afrika Utara, Afrika
Tengah, Sudan, dan Nigeria. Tarekat-tarekat ini kemudian berkembang dengan cepat
melalui murid-murid yang diangkat menjadi khalifah, mereka mengajar dan
menyebarkannya ke berbagai negara Islam. Tarekat-tarekat ini bercabang dan beranting
secara luas, sehingga jumlahnya sangat banyak. (Sri Mulyati, dkk., Mengenal & Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 6-7.)
Perkembangan dan kemajuan tarekat sebenarnya terjadi pada abad keenam dan
ketujuh Hijriyah. Pada periode ini, Sheikh Abdul Qadir al-Jailani menjadi tokoh pertama
yang mendirikan sebuah tarekat pada awal abad keenam Hijriyah, diikuti oleh tarekat-
tarekat lainnya. Semua tarekat yang berkembang dalam periode ini merupakan kelanjutan
dari tasawuf Sunni al-Ghazali, dan dengan didirikannya berbagai tarekat tasawuf Sunni,
terjadi tahap perkembangan baru hingga saat ini. (Rahmat Setiawan, Anomali Tarekat; Studi
Pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka, ….. hlm. 37.)

Dari penelusuran historis tersebut, kita dapat membagi tahapan perkembangan


tarekat menjadi tiga fase sebagai berikut:

a. Tahap khanqah, di mana seorang syaikh memiliki sejumlah murid yang hidup
bersama di bawah peraturan yang tidak terlalu ketat. Pada tahap ini, belum
ada ajaran dan peraturan yang sangat eksklusif seperti pada tahap selanjutnya.
b. Tahap thariqah, di mana tasawuf telah membentuk ajaran-ajaran, peraturan,
dan metode yang sangat eksklusif. Pada tahap ini, tarekat memiliki struktur
yang lebih terorganisir dan formal.
c. Tahap tha'ifah, di mana terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada
pengikut. Tarekat berkembang dengan cepat ke berbagai belahan dunia
lainnya, dan pemujaan terhadap syaikh menjadi umum. Pada fase ini, tarekat
memiliki makna yang lebih luas, yaitu sebagai organisasi sufi yang menjaga
dan mempertahankan ajaran dari seorang syaikh tertentu. (Harun Nasution,
Aliran Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 366-367.)

Proses perjalanan ruhaniah yang dilakukan di dalam tarekat dimulai dengan


pengambilan “bai‟at” (sumpah) dari murid (salik) di hadapan syaikh setelah murid
menjalani penyucian diri. Setelah mencapai tahapan sempurna, murid akan memperoleh
“ijazah” dari mursyid dan setelah itu salik biasanya berhak menjadi mursyid. Dalam
tarekat ada tiga ciri umum yaitu: syaikh, murid dan bai‟at. (Rahmat Setiawan, Anomali
Tarekat; Studi Pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka, ….. hlm. 39.)

Proses perjalanan spiritual yang terjadi di dalam tarekat dimulai dengan proses
pengambilan "bai'at" (sumpah) dari murid (salik) di hadapan syaikh setelah murid
menjalani tahap penyucian diri. Setelah melalui tahap-tahap pembinaan dan pelatihan,
murid yang mencapai tingkat kesempurnaan tertentu akan diberikan "ijazah" oleh
mursyid. Setelah memperoleh ijazah tersebut, seorang salik biasanya memiliki hak untuk
menjadi seorang mursyid. Dalam tarekat, terdapat tiga ciri umum yang penting, yaitu
adanya syaikh sebagai guru spiritual, murid sebagai individu yang mengikuti petunjuk
syaikh, dan proses bai'at sebagai sumpah pengabdian dan kesetiaan murid kepada syaikh.
(Rahmat Setiawan, Anomali Tarekat; Studi Pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka, ….. hlm. 39)

Salah satu ciri khas tarekat adalah otoritas mutlak yang dimiliki oleh mursyid
terhadap murid-muridnya dalam masalah-masalah spiritual maupun material. Oleh
karena itu, dalam tarekat, mursyid-lah yang melakukan proses bai'at terhadap muridnya.
Hal ini mengakibatkan munculnya kultus individu atau "idiolatri" terhadap mursyid oleh
para muridnya. Karena sifatnya yang terstruktur dan eksklusif, serta memiliki ajaran yang
khas, tarekat kemudian menjadi seperti agama palsu atau pseudo religion, dengan
struktur ide, praktik, dan organisasi yang eksklusif. (Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Al-
Ma`arif, 1984), hlm. 217.)

Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa tarekat yang memiliki keterkaitan dengan


tarekat dari luar negeri maupun tarekat lokal. Beberapa di antaranya adalah tarekat
Qodariyah, Naqshbandiyah, Wahidiyah, Shiddiqiyah, Syahadatain, Tijaniyah, dan
Sanusiyah. (Muhamad Nur, Neo Sufisme Nurcholish Madjid; Menyegarkan Kembali Pemikiran
Tasawuf, (Kendal: Pustaka Amanah, 2016), hlm. 117.).

Namun, tarekat pertama yang sampai ke Nusantara dan orang pertama yang
membawa serta mengajarkan tarekat di Nusantara dapat ditelusuri melalui syair-syair
Hamzah Fansuri. Berdasarkan penelusuran Martin Van Bruneissen, Hamzah Fansuri
dapat dipastikan sebagai orang Melayu yang secara pasti menganut tarekat Qadiriyah.
Dengan penemuan ini, dapat disimpulkan bahwa tarekat Qadiriyah adalah tarekat
pertama yang sampai ke Nusantara. (Muhammad Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial
Politik, Tafsir Sosial Sufi Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 74.).

B. Aliran-Aliran dalam Tarekat


Menurut Prof. Dr. Syeikh H. Djalaluddin, ada 40 aliran tarekat yang berkembang
di masyarakat di seluruh dunia, termasuk Tarekat Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah,
Syaziliyyah, Rifa’iyyah, Ahmadiyyah, Dasukiyyah, Akbariyyah, Maulawiyyah,
Qurabiyyah, Suhrawadiyyah, Khalwatiyyah, Jalutiyyah, Bakdasiyyah, Ghazaliyyah,
Rumiyyah, Jastiyyah, Sya’baniyyah, Kaisaniyyah, Hamzawiyyah, ‘Alwiyyah,
‘Usyaqiyyah, Bakriyyah, ‘Umariyyah, ‘Usmaniyyah, ‘Aliyyah, Abbasiyyah,
Haddadiyah, Maghribiyyah, Ghaibiyyah, Hadiriyyah, Syattariyyah, Bayumiyyah,
Aidrusiyyah, Sanbliyyah, Malawiyyah, Anfasiyyah, Samaniyyah, Sanusiyyah,
Idrisiyyah, dan Tarekat Badawiyyah. (Atjeh, Aboebakar. Tarekat Dalam Tasawuf.
Prof.Dr.H. Aboebakar Atjeh, hlm. 45.).
Di Indonesia, terdapat 7 aliran tarekat mu'tabarah yang telah ditetapkan oleh
JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah) yang
diantaranya:
1. Tarekat Qadiriyyah
Tarekat Qadiriyyah adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam yang
berasal dari pengajarannya Syekh Abdul Qadir al-Jilani (1077-1166 M), seorang sufi
terkenal dari Persia. Tarekat ini dinamakan sesuai dengan nama pendirinya.
Tarekat Qadiriyyah menekankan pentingnya hubungan langsung antara seorang
individu dengan Tuhan melalui praktik-praktik spiritual dan pengembangan batin.
Mereka mempraktikkan zikir, meditasi, renungan, dan praktik-praktik mistik lainnya
untuk mencapai pengalaman langsung dengan Tuhan. (Atjeh, Aboebakar. Tarekat Dalam
Tasawuf. Prof.Dr.H. Aboebakar Atjeh, hlm. 70.).
Tarekat Qadiriyyah juga menekankan pentingnya moralitas, kejujuran, dan kasih
sayang sebagai bagian dari perjalanan spiritual mereka. Para pengikut tarekat ini
berusaha untuk hidup dengan mempraktikkan sifat-sifat yang dianggap sebagai contoh
teladan dari ajaran Islam.
Tarekat Qadiriyyah sendiri memiliki sejarah yang panjang dan memiliki pengikut
di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Tarekat Qadiriyyah di Indonesia telah
memberikan kontribusi dalam pengembangan Islam di negeri ini dan telah menciptakan
jaringan pesantren dan lembaga pendidikan Islam yang berkaitan dengan tarekat ini.
Beberapa tokoh yang terkait dengan Tarekat Qadiriyyah di Indonesia adalah Habib
Abdullah bin Alwi Al-Haddad dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
2. Tarekat Syaziliyyah
Tarekat Syaziliyah, adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam. Tarekat
ini didirikan oleh Syekh Abu al-Hasan al-Syazili (593-656 H / 1197-1258 M), seorang
sufi terkenal dari Maroko
Tarekat Syaziliyyah menekankan pentingnya pencarian cinta dan pengalaman
spiritual langsung dengan Tuhan. Mereka mengajarkan praktik-praktik zikir, meditasi,
dan dzikir-dzikir khusus yang dirancang untuk memperdalam hubungan spiritual dengan
Tuhan. Tarekat ini juga mengajarkan nilai-nilai seperti zuhud (menjauhi dunia material)
dan kasih sayang yang meluas kepada semua makhluk. (Atjeh, Aboebakar. Tarekat
Dalam Tasawuf. Prof.Dr.H. Aboebakar Atjeh, hlm. 54.).
Tarekat Syaziliyyah memiliki metode pengajaran yang melibatkan guru dan
murid dalam suatu hubungan spiritual yang erat. Guru tarekat, yang disebut sebagai
"Syekh"atau "Mursyid", memainkan peran penting dalam membimbing murid dalam
perjalanan spiritual mereka.
Tarekat Syaziliyyah juga memiliki pengikut dan jaringan pesantren yang
mengajarkan ajaran-ajaran tarekat ini. Beberapa tokoh dan ulama terkenal yang terkait
dengan Tarekat Syaziliyyah di Indonesia adalah Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh
Muhammad Zaini bin Abdul Ghani.
Tarekat Syadziliyah mulai tersebar dan berkembang pesat di beberapa wilayah.
Tarekat ini mendapat pengikut yang banyak di negara-negara seperti Tunisia, Mesir,
Aljazair, Sudan, Suriah, Semenanjung Arab, dan Indonesia, khususnya di wilayah Jawa
Tengah dan Jawa Timur.

3. Tarekat Naqsyabandiyah

Tarekat Naqsyabandiyah adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam.
Tarekat ini dinamakan sesuai dengan nama pendirinya, Syekh Bahauddin Naqshband
(1318-1389 M), seorang sufi terkenal dari Asia Tengah.

Tarekat Naqsyabandiyah menekankan pentingnya dzikir dan meditasi batin


dalam mencapai kesadaran spiritual. Mereka mengajarkan metode dzikir khusus, yang
dikenal sebagai "dzikir hati", di mana pengikutnya mengulang-ulang lafadz zikir secara
dalam hati mereka sendiri dengan fokus pada Tuhan.

Tarekat ini juga menekankan pentingnya hubungan langsung dengan seorang


guru spiritual yang disebut sebagai "Mursyid". Guru tarekat membimbing murid dalam
perjalanan spiritual, memberikan nasihat dan pengajaran yang diperlukan untuk
mencapai kedekatan dengan Tuhan. (Atjeh, Aboebakar. Tarekat Dalam Tasawuf.
Prof.Dr.H. Aboebakar Atjeh, hlm. 78.).

Tarekat Naqsyabandiyah memiliki pengikut yang luas di berbagai negara,


terutama di wilayah Asia Tengah, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Di Indonesia, Tarekat
Naqsyabandiyah juga memiliki pengikut yang signifikan. Beberapa tokoh dan ulama
terkenal yang terkait dengan Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia adalah KH Maimun
Zubair dan KH Bisri Syansuri.

4. Tarekat Khalwatiyah

Tarekat Khalwatiyah adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam.
Tarekat ini dinamakan sesuai dengan nama pendirinya, Syekh Umar al-Khalwati (1271-
1352 M), seorang sufi terkenal dari Persia.

Tarekat Khalwatiyah menekankan praktik-praktik spiritual yang melibatkan


isolasi dan kontemplasi pribadi, terutama dalam bentuk khalwa, yang berarti penyendiran
atau isolasi diri dari dunia. Praktik khalwa ini dilakukan oleh para pengikut tarekat
dengan tujuan mencapai kesatuan dan kedekatan dengan Tuhan.

Selain praktik khalwat, Tarekat ini juga melibatkan praktik dzikir dan meditasi,
serta penekanan pada kesalehan dan moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
mengajarkan pentingnya introspeksi, penyucian hati, dan mencari ilmu spiritual.

Tarekat Khalwatiyah memiliki perkembangan yang luas di Mesir dan


diperkenalkan oleh seorang sufi penyair bernama Musthafa al-Bakri (nama lengkapnya
Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri al-Shiddiqi) yang berasal dari Damaskus,
Suriah. Musthafa al-Bakri memperoleh tarekat tersebut dari gurunya, yaitu Syekh Abdul
Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya pertumbuhan tarekat ini di
Mesir, Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir utama dalam aliran Khalwatiyah
oleh para pengikutnya. Selain aktif dalam menyebarkan ajaran Khalwatiyah, ia juga
dikenal sebagai seorang penulis yang melahirkan banyak karya sastra sufi. Salah satu
karyanya yang paling terkenal adalah "Tasliyat al-Ahzan" (Pelipur Duka).

Orang yang pertama kali membawa tarekat Khalwatiyah ke Negara Indonesia


adalah Syaikh Yasuf al-Makassari pada tahun 1670 M. Tarekat Khalwatiyah di Negara
Indonesia banyak dianut oleh suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan dan di
tempat-tempat lain dimana suku itu berada seperti di Riau, Tanjung Pinang, Malaysia,
Kalimantan Timur, Ambon, dan Irian Barat. (Sri Mulyati, dkk., Mengenal & Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia,…., hlm. 117.).

Tarekat Khalwatiyah memiliki pengikut di berbagai negara, terutama di wilayah


Timur Tengah, Turki, dan Balkan. Di Indonesia, Tarekat Khalwatiyah juga memiliki
pengikut dan jaringan pesantren yang mengajarkan ajaran-ajaran tarekat ini. Beberapa
tokoh dan ulama terkenal yang terkait dengan Tarekat Khalwatiyah di Indonesia adalah
Syekh Yusuf al-Makassari dan KH Ahmad Rifai Rif'an.

5. Tarekat Syattariyyah

Tarekat Syattariyyah adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam.
Tarekat ini dinamakan sesuai dengan nama pendirinya, Syekh Abdullah al-Shattar (wafat
1346 M), seorang sufi terkenal dari Persia.

Tarekat Syattariyyah menekankan praktik dzikir dan meditasi yang melibatkan


gerakan tubuh dan napas untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih dalam. Mereka
menggunakan teknik dzikir khusus yang disebut "dzikir taḥqīqī", yang melibatkan
perpaduan antara gerakan-gerakan fisik, ritme napas, dan pengulangan lafadz dzikir.

Praktik-praktik dzikir dalam Tarekat Syattariyyah bertujuan untuk


menghubungkan pengikut dengan Tuhan secara langsung dan meningkatkan kesadaran
mereka tentang keberadaan-Nya. Mereka juga mengajarkan pentingnya zuhud (menjauhi
kehidupan duniawi) dan penekanan pada moralitas yang tinggi.

Tarekat Syattariyyah memiliki pengikut di berbagai negara, terutama di wilayah


Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Di Indonesia, Tarekat Syattariyyah juga
memiliki pengikut dan jaringan pesantren yang mengajarkan ajaran-ajaran tarekat ini.
Beberapa tokoh dan ulama terkenal yang terkait dengan Tarekat Syattariyyah di
Indonesia adalah Syekh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri dan Syekh Muhammad bin Ahmad
Khatib Langien.

Awal perkembangan tarekat Syattariyyah di wilayah MelayuIndonesia tidak


dapat dipisahkan dari masa kembalinya Abdurrauf al-Sinkili dari Haramayn (Saudi
Arabia) pada awal paruh kedua abad 17 tepatnya pada tahun 1661 M setelah setahun guru
utamanya al-Qusyasyi wafat. Masa kembalinya al-Sinkili dari Haramayn ini dapat
dianggap sebagai awal masuknya tarekat Syattariyyah ke dunia Melayu-Indonesia.
Sejauh ini tidak ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa tarekat Syattariyyah ini telah
hadir sebelumnya. (Sri Mulyati, dkk., Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat
Muktabarah Di Indonesia, …., hlm. 162.).

6. Tarekat Sammaniyyah
Tarekat Samamiyyah adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam.
Tarekat ini dinamakan sesuai dengan nama pendirinya, Muhammad bin Abd al-karim al-
Madani al-Syafi’i al- Samman (1130-1189/1718-1775), seorang ulama dan tokoh Sufi
yang terkenal dari Yaman.

Tarekat Samamiyyah mengajarkan jalan menuju pencapaian kehadiran Allah


melalui ibadah, meditasi, dan pengembangan batin. Tarekat ini memiliki amaliyah
khusus seperti Ratib Samman. Wirid Sahur, Hizb Nawawi, dan Hizb Barh. Tarekat ini
mengkombinasikan ajaran Sufi dengan praktik-praktik yang berakar dalam tradisi Islam.
(Atjeh, Aboebakar. Tarekat Dalam Tasawuf. Prof.Dr.H. Aboebakar Atjeh, hlm. 106.).

Tarekat Sammaniyah memiliki pengikut yang cukup signifikan di Yaman,


dengan pusat-pusat spiritual dan pesantren yang didirikan untuk melanjutkan ajaran-
ajarannya. Selain itu, tarekat ini juga menyebar ke beberapa negara di kawasan Timur
Tengah.

Di Indonesia, Samamiyyah juga memiliki pengikut dan jaringan pesantren yang


mengajarkan ajaran-ajaran tarekat ini. Beberapa tokoh dan ulama terkenal yang terkait
dengan Tarekat Samamiyyah di Indonesia adalah Syekh Abdurrahman al-Batawi dan
Syekh Abdul Wahab Bugis.

Tarekat ini berkembang di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Tarekat


Sammaniyah masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-18 dan mendapatkan banyak
pengikut karena popularitas Imam Samman. Sehingga manaqib (kisah kehidupan) Syekh
Samman dan dzikir Ratib Samman sering dibaca dengan gerakan tertentu. Di Palembang,
misalnya, terdapat tiga ulama tarekat yang pernah belajar langsung dari Syekh Samman,
yaitu Syekh Abd Shamad, Syekh Muhammad Muhyiddin bin Syekh Syihabuddin, dan
Syekh Kemas Muhammad bin Ahmad. Di Aceh, juga terkenal dengan apa yang disebut
Ratib Samman yang selalu dibaca sebagai dzikir dalam majelis dzikir Al Mihrab.

7. Tarekat Tijaniyyah

Tarekat Tijaniyah adalah salah satu aliran atau tarekat Sufi dalam Islam. Tarekat
ini dinamakan sesuai dengan nama pendirinya, Syekh Ahmad al-Tijani al-Hassani (1737-
1815 M). seorang ulama dan tokoh Sufi yang terkenal dari Aljazair.
Tarekat Tijaniyah menekankan pentingnya dzikir dan penghormatan kepada Nabi
Muhammad SAW. Mereka mengajarkan metode dzikir khusus yang disebut "Wird
Tijani", yang melibatkan pengulangan istighfar (memohon ampunan) dan salawat (doa
untuk Nabi Muhammad SAW) secara rutin.

Tarekat ini juga menekankan pentingnya pengamalan ajaran Islam secara


menyeluruh, mencakup aspek ibadah, moralitas, dan perilaku dalam kehidupan sehari-
hari. Mereka mengajarkan pentingnya mencintai Allah, Rasulullah, dan seluruh umat
muslim.

Tarekat Tijaniyah memiliki pengikut yang luas di berbagai negara, terutama di


wilayah Afrika Barat, seperti Maroko, Senegal, Nigeria, dan Aljazair. Di Indonesia,
Tarekat Tijaniyah juga memiliki pengikut yang signifikan, terutama di daerah Aceh dan
Sumatera Utara. Beberapa tokoh dan ulama terkenal yang terkait dengan Tarekat
Tijaniyah di Indonesia adalah Kiayi Badri Mashduqi. (Atjeh, Aboebakar. Tarekat Dalam
Tasawuf. Prof.Dr.H. Aboebakar Atjeh, hlm. 142.).

8. Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah

Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah ialah sebuah tarekat gabungan dari tarekat


Qadiriyah dan tarekat Naqsyabandiyah (TQN). Tarekat ini didirikan oleh syaikh Ahmad
Khatib Sambas (1802-1872) yang dikenal sebagai penulis kitab Fath al-Arifin. Sambas
adalah nama sebuah kota di sebelah utara pontianak, kalimantan barat. TQN tampil
sebagai sebuah tarekat gabungan karena syaikh Sambas adalah seorang syaikh dari kedua
tarekat dan mengajarkannya dalam satu versi yaitu mengajarkan dua jenis zikir sekaligus
yaitu zikir yang dibaca dengan keras dalam tarekat Qadiriyah dan zikir yang dilakukan
didalam hati dalam tarekat Naqsyabandiyah. ( Sri Mulyati, dkk., Mengenal & Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia,…., hlm. 253.).

Syaikh Ahmad Khatib Sambas, setelah belajar pendidikan agama dasar di


kampungnya, pergi ke Makkah pada usia 19 tahun untuk melanjutkan studinya dan
menetap di sana hingga wafat pada tahun 1289 H/1872. Di Makkah, beliau mempelajari
ilmu-ilmu Islam termasuk tasawuf, dan mencapai posisi yang sangat dihormati di antara
para ulama sejawatnya. Syaikh Sambas kemudian menjadi seorang tokoh yang
berpengaruh di seluruh Indonesia.
Kitab yang dianggap sebagai sumber ajaran tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah
(TQN) adalah kitab Fath al-'Arifin yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Kitab
ini berisi garis besar ajaran TQN, yang merupakan kombinasi unsur-unsur ajaran
Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.

Pengembangan ajaran TQN yang terlihat baru dikenal di Asia Tenggara memang
dimulai dari kitab Fath al-'Arifin tersebut. Meskipun murid utama Syaikh Sambas, yaitu
Syaikh Abd al-Karim Banten (lahir 1840), tampaknya tidak mengembangkan ajaran
TQN secara luas, namun generasi berikutnya, terutama di pusat-pusat TQN di Jawa, TQN
berkembang pesat dan maju.

C. Pandangan Al-Qur’an dan Hadits

Al-Qur'an dan Hadits tidak secara khusus membahas praktik-praktik tarekat yang
diterapkan dalam konteks masa kini karena tarekat sebagai lembaga atau kelompok
khusus berkembang setelah zaman pengungkapan Al-Qur'an. Namun, prinsip-prinsip
yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadits memberikan panduan umum bagi praktik
spiritual dalam Islam. Berikut adalah beberapa prinsip utama yang relevan dengan
praktik-praktik tarekat: (Mutawakkil Mubarak, Tarekat Dalam Al-Qur’an)

1. Tauhid (Ketuhanan)

Al-Qur'an menekankan pentingnya memahami dan mengamalkan konsep tawhid


(keesaan Allah) dalam praktik spiritual. Allah adalah satu-satunya yang berhak
disembah, dan praktik-praktik spiritual harus mengarahkan individu untuk mendekatkan
diri kepada-Nya. Allah berfirman dalam Surah Al-An'am ayat 162:

﴾١٦٢ ﴿ َ‫ﻗُﻞْ ﺇِﻥَّ ﺻَﻼَﺗِﻲ ﻭَﻧُﺴُﻜِﻲ ﻭَﻣَﺤْﻴَﺎﻱَ ﻭَﻣَﻤَﺎﺗِﻲ ﻟِﻠَّﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦ‬

“Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah


untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An'am ayat 162)

2. Ikhlas (Kehendak Murni)

Al-Qur'an menekankan pentingnya ikhlas dalam melakukan amal ibadah.


Praktik-praktik spiritual harus dilakukan semata-mata karena mencari keridhaan Allah,
tanpa mencari pujian atau pengakuan dari orang lain. Allah berfirman dalam Surah Al-
Zumar ayat 11-14:
ُ‫﴾ ﻗُﻞْ ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﺧَﺎﻑ‬١٢ ﴿ َ‫﴾ ﻭَﺃُﻣِﺮْﺕُ ﻷَِﻥْ ﺃَﻛُﻮﻥَ ﺃَﻭَّﻝَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴﻦ‬١١ ﴿ َ‫ﻗُﻞْ ﺇِﻧِّﻲ ﺃُﻣِﺮْﺕُ ﺃَﻥْ ﺃَﻋْﺒُﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣُﺨْﻠِﺼًﺎ ﻟَﻪُ ﺍﻟﺪِّﻳﻦ‬
﴾١٤ ﴿ ‫﴾ ﻗُﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺃَﻋْﺒُﺪُ ﻣُﺨْﻠِﺼًﺎ ﻟَﻪُ ﺩِﻳﻨِﻲ‬١٣ ﴿ ٍ‫ﺇِﻥْ ﻋَﺼَﻴْﺖُ ﺭَﺑِّﻲ ﻋَﺬَﺍﺏَ ﻳَﻮْﻡٍ ﻋَﻈِﻴﻢ‬

"Katakanlah: 'Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah


dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.
Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama tunduk patuh (kepada
Allah).' Katakanlah: 'Sesungguhnya aku takut, jika aku mendurhakai Tuhanku, azab hari
yang besar.' Katakanlah: 'Allah-lah yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.' Maka sembahlah apa yang kamu
sembah selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.'"

3. Taqwa (Ketakwaan)

Al-Qur'an mendorong praktik spiritual yang didasarkan pada ketakwaan kepada


Allah. Tarekat yang benar harus mengarahkan individu untuk meningkatkan kesalehan
dan menjauhi dosa serta perilaku yang dilarang oleh agama. Allah berfirman dalam Surah
Al-Hujurat ayat 13:

َّ‫ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇِﻧَّﺎ ﺧَﻠَﻘْﻨَﺎﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺫَﻛَﺮٍ ﻭَﺃُﻧْﺜَﻰٰ ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻛُﻢْ ﺷُﻌُﻮﺑًﺎ ﻭَﻗَﺒَﺎﺋِﻞَ ﻟِﺘَﻌَﺎﺭَﻓُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ ﺇِﻥ‬
﴾١٣ ﴿ ٌ‫ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻋَﻠِﻴﻢٌ ﺧَﺒِﻴﺮ‬

"Ya manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS. Al-Hujurat ayat 13)

4. Sunnah Rasulullah SAW

Praktik-praktik spiritual harus senantiasa merujuk pada contoh dan ajaran


Rasulullah Muhammad SAW. Sunnah Rasulullah menjadi panduan utama dalam
mengamalkan ibadah dan berinteraksi dengan sesama. Rasulullah SAW bersabda dalam
sebuah hadits riwayat Muslim:

ٌّ‫ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩ‬

"Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang bukan dari urusan kami (agama
Islam), maka amalannya itu tertolak." (HR. Muslim no. 1718)

5. Keadilan dan Akhlak Mulia


Praktik-praktik spiritual harus mencerminkan keadilan dan akhlak mulia dalam
hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Allah berfirman dalam Surah Al-
Mumtahanah ayat 8:

َ‫ﻻَ ﻳَﻨْﻬَﺎﻛُﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻦِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻟَﻢْ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻛُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻭَﻟَﻢْ ﻳُﺨْﺮِﺟُﻮﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺩِﻳَﺎﺭِﻛُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﺒَﺮُّﻭﻫُﻢْ ﻭَﺗُﻘْﺴِﻄُﻮﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬِﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪ‬
﴾٨ ﴿ َ‫ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻤُﻘْﺴِﻄِﻴﻦ‬

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-
orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-
Mumtahanah ayat 8)

D. Pandangan Ulama
1. Kritik Wahabisme Terhadap Aliran Tarekat

Sejak munculnya gerakan pembaharuan Islam yang diilhami oleh gerakan


Wahabisme dari timur pada awal abad ke- 20, aliran keagamaan yang cendrung sufistik
termasuk tarekat dalam islam terus terpojokan pada posisi yang kurang menguntungkan.
Aliran ini dipandang bertentangan dengan semangat pembeharuan yang cendrung
mondernis dan bahkan terkesan revolusioner. (Akhmad Muhaini, dkk, Takhrij Hadits
Tarekat Dalam Kitab Al-Mukhtasor Fi Ulumuddin Karya Sheikh Abdul Qadir Al Jailani)

Sufisme dan tarekat mulai dipojokan, setidak-tidaknya atas tiga tuduhan :


Pertama, karena watak yang dianggap terlalu longgar pada ajaran ajaran keagamaan yang
dinilai palsu. Para penganut aliran ini dinilai banyak melakukan kompromi ajaran secara
teologis dapat mengotori kemiurnian ajaran ibadah umat islam. Kedua, sikap
pembawanya cendrung mengingkari dunia berikut segala symbol kehidupanya. Mereka
dianggap melakukan perlakuan yang tidak seimbang antara dimensi dunia dan akhirat.
Ketiga, paham keagamaan ini lebih jauh dinilai telah merusak umat islam karena watak
yang tidak berpihak pada dimensi Intelektualisme dan tradisionalisme yang dibutuhkan,
terutama dalam membangun bebagai kemajuan dikalangan umat Islam. (Akhmad
Muhaini, dkk, Takhrij Hadits Tarekat Dalam Kitab Al-Mukhtasor Fi Ulumuddin Karya
Sheikh Abdul Qadir Al Jailani)

Gerakan pembaharuan memperoleh sambutan umat yang cukup antusias. Hampir


separo abad terakhir, umat islam digiring untuk beranjak dari satu titik kehidupan yang
diselimuti kecendrungan serba sufistik ketimuran ke titik kehidupan lain yang serta
rasionalistis kebaratbaratan. Seolah olah semangat sufisitik dan rasionalistik itu
merupakan dua titik ekstrim yang mustahil bias bertemu. dengan alas an inilah, tarekat
kemudian terpojokan pada satu posisi yang kurang menguntungkan, khususnya bagi
perjlanan sejarah berkembangnya. (Akhmad Muhaini, dkk, Takhrij Hadits Tarekat
Dalam Kitab Al-Mukhtasor Fi Ulumuddin Karya Sheikh Abdul Qadir Al Jailani)

2. Kritik tiga Organisasi sosial Keagamaan di Indonesia


Khusus di Indonesia, sejak munculnya berbagai gerakan pembaharuan islam,
yang ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi sosial keagamaan yang
dilatarbelakangi semangat modernisme. Penghujatan terhadap tarekat dan tasawuf gencar
dilaksanakan. Muhammadiyah, Persatuan Islam ( Persis ) , dan Nahdlotul Ulama ( NU),
adalah tiga diantara organisasi Islam yang mensponsori gerakan tersebut. Sebagai
organisasi puritan yang berslogan “ memurnikan “ kembali ajaran islam dalam semangat
kembali kepada Al-Quran dan AsSunnah, ketiga organisasi masa islam itu mengeluarkan
kritik terhadap keberadaan tarekat dan tasawuf walaupun dengan variasi kritikan yang
berbeda. (MA Samsidar, Persepsi Muhammadiyah Dalam Memahami Tasawuf)

Pengikut Persatuan Islam ( Persis ), umpamanya, adalah kelompok masyarakat


muslim yang relatif paling keras menentang keberadaan tasawuf dan tarekat. Mereka
mengklaim bahwa kedua ibadah tersebut merupakan bukti penyimpangan dari ajaran
islam yang dicontohkan Nabi Muhammad. (MA Samsidar, Persepsi Muhammadiyah
Dalam Memahami Tasawuf)

Sementara itu Muhammadiyah menganggap tasawuf dan tarekat sebagai


penghalang bagi kemajuan umat islam, terutama dalam ikhtiar mengejar
ketertinggalanya dari umat lain. Menurutnya, kontemplasi dapat menyebabkan seorang
pengikut tarekat menjadi lemah dalam berusaha dan beramal saleh. (MA Samsidar,
Persepsi Muhammadiyah Dalam Memahami Tasawuf)

Bagi Pengikut Nahdlotul Uama ( NU), tarekat itu tidak semuanya buruk, ada yang
Mu’tabarah, ada yang Ghaeru mu’tabarah, ada yang sesuai dengan sunnah Nabi
Muhammad, ada pula yang sesat. (MA Samsidar, Persepsi Muhammadiyah Dalam
Memahami Tasawuf)

3. Kritik Dari Tokoh-tokoh Organisasi Islam di Indonesia

Dalam pandangan salah seorang tokoh Persatuan Islam, tasawuf dan tarekat yang
diabut umat islam mempunyai landasan pemikiran yang bercorak pantaesis, yaitu corak
pemikiran yang memandang Tuhan berada di setiap benda di alam ini. Semua aliran
tasawuf dan tarekat mengajarkan wihdatul al ittihad, al-hulul, dan al-liqa.’. Inti ajaran
semua bersifat panteistis. pandangan tersebut merupakan hasil dari konsepsi filsafat
monisme, yaitu konsepsi yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu. kemudian
beliau juga nengatakan bahwa secara historis, monisme, dan panteisme merupakan esensi
dari ajaran agama Hindu. Dalam kitab agama Hindu, Rig Weda, disebut dengan jelas
bahwa Tuhan menjelma diberbagai bentuk kehidupan di bumi dan langit, baik dalam
bentuk benda-benda yang ada di sekitar manusia, maupun yang terdapat pada diri
manusianya sendiri. (Munandar, dkk, Tawassut Attitude Relevance Nadhlatul Ulama In
Preventing Extremism)

Lebih tegas lagi, para aktivis ormas Islam modernis ini mengatakan bahwa “
istilah-istilah yang digunakan dalam tarekat dan tasawuf seperti: syariat, tarikat, hakikat,
dan ma’riat, sama sekali tidak didasarkan pada dalildalil Al-Quran dan As-Sunnah
(hadits) yang kokoh. bahkan metode khalawat dan zikir dibatasi oleh bilangan tertentu
hingga mencapai ekstase pun tidak pernah ada ketentuan dalam ajaran islam. (Munandar,
dkk, Tawassut Attitude Relevance Nadhlatul Ulama In Preventing Extremism)

Pandangan Abdul Razak, salah seorang tokoh muda Nahdlotul Ulama, beberapa
ajaran tarekat yang dianggap menyimpang, antara lain: adanya kultus yang berlebihan
kepada seorang mursid. mereka para penganut menganggap Syekh atau guru sebagai
seorang wali yang melebihi kesucianya Rosulullah. mungkin hal itu engaruh dari budaya
yang sering mengagungkan orangorang sakti dan ini muncul biasanya di Indonesia dari
kalangan pendeta hindu atau mitologi jawa kuno. selanjutnya, dia juga memandang
masalah taklid sebagai suatu sikap menerima apa adanya tanpa sikap yang kritis terhadap
ajaran dari syekh mursid, akibat dari pengultusan kepadanya. Sebab talkid dalam ajaran
islam sangat dilarang selama orang itu mampu menelusuri kebenaran suatu agama.
Tersebarnya legenda tentang kehebatan Syekh serta karamah-nya menjadi keyakinan dari
para jamaah tarekat, mereka juga berkeyakinan bahwa syekh lebih mulia daripada
sahabat-sahabat Rosulullah. (Munandar, dkk, Tawassut Attitude Relevance Nadhlatul
Ulama In Preventing Extremism)

Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, dalam buku (Ilmu Tasawuf Hal . 400-401
pengantar: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A.) mengenai tradisi tarekat ada prilaku
yang menyimpang dari syariat Islam, misalnya beliau tidak suka di hormati secara
berlebihan sehingga mengakibatkan pengkultusan individu terhadapnya, biasa
dihubungkan terekat, yang di tunjukan kepada seorang mursyid yang dianggap mampu
menghubungkan manusia dengan tuhan, mengakibatkan munculnya bahwa seorang guru
tarekat orang kramat yang jauh dari kesesatan. Dalam masalah tarekat beliau sangat
selektif mengenai pemberian predikat wali kepada mursyid beliau sangat menentang dan
tidak pernah mengenal kompromi, pernyataan berikut “ Wali tidak akan memamerkan
diri meskipun dipaksa membakar diri mereka “ barang siapa yang mengaku dirinya wali
tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rosul, orang tersebut adalah pendusta yang
membuat-buat perkara tentang Allah. (Munandar, dkk, Tawassut Attitude Relevance
Nadhlatul Ulama In Preventing Extremism)

Pemikiran Hasyim tentang tarekat sangat moderat. Ia tidak segan-segan


mengkritik tarekat yang pengamalanya menyalahi prinsif ajaran tasawuf itu sendiri.
misalnya, memberikan otoritas yang berlebihan kepada mursyid. sejalan dengan itu, buku
Ad-Durar Al-Muntasyirah ditulis untuk meluruskan prinsip tasawuf atau tarekat yang
menyimpang. (Munandar, dkk, Tawassut Attitude Relevance Nadhlatul Ulama In
Preventing Extremism)

Menurut Hasyim, dengan mungutip pendapat Suhrawardi “ Jalan kaum sufi


adalah membersihkan jiwa ; menjaga nafsu, serta melepaskan diri dari berbagai bentuk
sifat buruk, seperti ujub, takabbur, riya, dan hub addunya. Selain itu menjalin budi pekerti
yang bersifat kerohanian, seperti ikhlas, tawadhu ( rendah hati ), tawakkal (bersandar dan
percaya kepada tuhan), memperkenankan hati kepada orang lain dan setiap kewajiban (
ridha), serta memperoleh ma’rifat dari Allah.” (Munandar, dkk, Tawassut Attitude
Relevance Nadhlatul Ulama In Preventing Extremism)
Hasyim merupakan sufi yang moderat. Ia memang pengikut tasawuf, tetapi
bersikap kritis dalam beberapa hal. Ia berharap tasawuf dapat tetap berjalan sesuai
dengan syariat dan pokok-pokok nilai ajaran islam. Demikianlah kritik-kritik terhadap
ajaran tarekat yang dianggap bertentangan dan menyalahi ajaran Islam . Bagaimanapun
harus diakui pengamalan agama haruslah sesuai dengan sumber aslinya, yaitu Alquran
dan hadis. Rasulullah bersabda : “ Aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Engkau tidak
akan sesat selamanya jika engkau berpegang kepada duan perkara tersebut, yaitu Alquran
dan asunnah Nabi-Nya.” (HR. AlHakim). (Munandar, dkk, Tawassut Attitude Relevance
Nadhlatul Ulama In Preventing Extremism)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan materi-materi yang telah disampaikan dalam makalah ini, berikut
adalah kesimpulannya, yaitu:
1. Perkembangan tarekat dimulai pada abad ke-3 dan ke-4 dengan tarekat seperti al-
Malamatiyah, Ta'rifiyah, dan al-Khazzajiyah. Tasawuf berkembang dan
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti filsafat Yunani, India, dan Persia.
Pada abad ke-5 Hijriyah, tarekat-tarekat seperti Qadiriyah, Rifa'iyah, dan
Suhrawardiyah mulai muncul dan menyebar melalui murid-murid yang menjadi
khalifah. Di Indonesia, tarekat pertama yang sampai ke Nusantara adalah tarekat
Qadiriyah yang diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri.
2. Di Indonesia terdapat 8 aliran-aliran tarekat mu'tabarah yang ditetapkan oleh
JATMAN yaitu Tarekat Qadiriyyah, Syaziliyyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah,
Syattariyyah, Samamiyyah, dan Tarekat Badawiyyah. Setiap tarekat memiliki
praktik-praktik spiritual dan nilai-nilai yang diajarkan dalam Islam, serta
memiliki pengikut dan jaringan pesantren yang berkaitan dengan ajaran mereka.
3. Pandangan Al-Qur'an dan Hadits terhadap praktik-praktik tarekat dalam konteks
masa kini membawa pemahaman yang penting. Al-Qur'an dan Hadits
memberikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang mendasari praktik-praktik
tarekat. Pengabdian kepada Allah, peningkatan spiritual, introspeksi, dan
pemurnian diri adalah beberapa konsep yang menjadi dasar praktik-praktik
tarekat. Dengan memahami pandangan Al-Qur'an dan Hadits terhadap tarekat,
kita dapat menilai kecocokan praktik-praktik tersebut dengan ajaran agama Islam.
4. Pandangan ulama terhadap praktik-praktik tarekat dalam konteks masa kini
bervariasi tergantung pada pendekatan individu masing-masing ulama. Beberapa
ulama mendukung praktik-praktik tarekat yang sesuai dengan ajaran Islam dan
melihatnya sebagai sarana untuk mencapai kedekatan dengan Allah. Mereka
menghargai peran tarekat dalam membangun spiritualitas dan kualitas kehidupan
seorang Muslim. Namun, ada juga ulama yang melihat praktik-praktik tarekat
dengan skeptisisme, terutama jika ada elemen yang bertentangan dengan ajaran
agama atau praktik yang dapat menyesatkan umat. Pandangan ulama ini
memberikan kerangka evaluasi kritis terhadap praktik-praktik tarekat dalam
konteks masa kini.
B. Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, maka selaku penulis
menyarankan bagi pembaca agar melakukan studi lebih lanjut melalui wawancara
dengan praktisi tarekat, kajian literatur terbaru, dan observasi langsung terhadap
praktik-praktik tarekat untuk mendapatkan pemahaman komprehensif tentang aliran-
aliran tarekat di masa kini. Analisis faktor-faktor sosial, budaya, dan politik yang
mempengaruhi perkembangan tarekat serta melibatkan pemikiran tokoh kontemporer
dapat memberikan perspektif yang mendalam. Kajian tafsir Al-Qur'an dan hadits yang
relevan serta pemikiran ulama terkemuka tentang praktik-praktik tarekat dalam konteks
masa kini perlu dilakukan untuk memperdalam pemahaman. Melibatkan perspektif
praktisi tarekat dan pihak terkait lainnya akan memberikan sudut pandang yang lebih
lengkap. Dengan melakukan penelitian yang mendalam dan komprehensif, akan
tercipta pemahaman yang lebih baik tentang aliran-aliran tarekat dan evaluasi kritis
terhadap praktik-praktik tarekat dalam konteks masa kini.
DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik), Jakarta: Fa H.M. Tawi & Son,
1996.

Mulyati, Sri, dkk., Mengenal & Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006.

Setiawan, Rahmat, Anomali Tarekat; Studi Pemikiran Ibnu Taimiyah dan Hamka, Kendal: Pustaka
Amanah, 2016.

Nasution, Harun, Aliran Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.

Nur, Muhamad, Neo Sufisme Nurcholish Madjid; Menyegarkan Kembali Pemikiran Tasawuf, Kendal:
Pustaka Amanah, 2016.

A. Aziz Masyhuri, 22 aliran tarekat dalam tasawuf, (Surabaya: imtiyaz, 2014), 119

Jamil, M. Muhsin, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik, Tafsir Sosial Sufi Nusantara, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.

Haeri, Syekh Fadhlullah, Belajar Mudah Tasawuf, cet. Ke-1 Terj. Muhammad Hasyim Assagaf,
Jakarta: Lentera, 1998.

https://muslim.or.id/11456-hadits-hadits-tentang-bidah.html

https://www.mushaf.id/

Atjeh, Aboebakar. Tarekat Dalam Tasawuf. Bandung: Sega Arsy, 2017

Mubarak, Mutawakkil, Tarekat Dalam Al Qur'an, Tafsere (2019)

Akhmad Muhaini, Naqiyah Mukhtar, Takhrij Hadits Tarekat Dalam Kitab Al Mukhtasor Fi Ulumiddin
Karya Sheikh Abdul Qadir Al Jailani, Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur'an dan al-Hadits (2022)

Samsidar MA, PERSEPSI MUHAMMADIYAH DALAM MEMAHAMI TASAWUF, Al-Muaddib :


Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial & Keislaman (2017)

Munandar S, Kubro U, TAWASSUT ATTITUDE RELEVANCE NAHDLATUL ULAMA IN


PREVENTING EXTREMISM, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat (2021)
LAPORAN JALANNYA DISKUSI
1. Apakah dari tiap aliran² ada inovasi baru?
(Evandika)
2. Apakah ada gabungan tarekat selain tarekat tqn?
(Dian Saputra)
3. Bagaimana aliran² beradaptasi dengan perubahan zaman?
(Anis)
4. Mengapa sufisme dan tarekat dikritik dengan 3 tuduhan (makalah)?
(elman)
5. Bagaimana tarekat membantah tuduhan yang ditujukan oleh 3 organisasi keagamaan di
Indonesia tersebut?
(Azzam)

Anda mungkin juga menyukai