Tujuan
Berbeda dengan epistemologi Al Bayani yang mendasarkan diri pada teks dan Al Irfani
yang mendasarkan diri pada instuisi atau pengalaman spiritual, burhani menyadarkan diri
pada kekuatan rasio atau akal yang dilakukan lewat dalil-dali logika.
Secara spesifik pengertian epistemologi burhani, dalam bahasa Arab, berasal dari kata
“al-burhan” yang berarti argumen (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah) dan distinc (al-fashl),
dalam bahasa Inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa latin dari kata
demontratio (berarti memberi isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan). Dalam perspektif
logika (al-mantiq), burhani merupakan aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran melalui
metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut terhadap premis
yang lain dan dibenarkan oleh nalar atau telah terbukti kebenarannya.
Al Burhani juga berarti argumen yang pasti dan jelas. Dalam pengertian yang sempit,
burhani adalah aktivitas pikir untuk menetapkan kebenaran pernyataan melalui metode
penalaran, yakni dengan mengikat pada ikatan yang kuat lagi yang pasti dengan pernyataan
yang lain secara aksiomatik. Sedangkan dalam pengertian yang luas, burhani adalah setiap
aktivitas pikir untuk menetapkan kebenaran pernyataan.
Nalar burhani masuk pertama kali ke dalam peradaban Arab-Islam dibawa oleh al-Kindi
(185-252 H) melalui sebuah tulisannya, yaitu al-Falsafah al-Ula. Sebuah tulisan tentang
filsafat yang didasari oleh filsafat Aristoteles. Al-Kindi menghadiahkan tulisan ini kepada
khalifah al-Makmun (218 H-227 H). Di dalam al-Falsafah al-Ula, al-Kindi menegasakan
bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan manusia yang menempati posisi paling tinggi
dan paling agung, karena dengannya hakikat segala sesuatu dapat diketahui. Melalui tulisan
itu pula, al-Kindi menepis keraguan orang-orang yang selama ini menolak keberadaan filsafat
dan menyatakan bahwa filsafat adalah jalan mengetahui kebenaran.
Adapun kecakapan untuk berpikir lurus dalam penalaran dibedakan menjadi dua
kegiatan: analitika dan dialektika. Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran dan
argumentasi yang berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burhani
adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiyas al-jami`
yang tersusun dari beberapa proposisi. Dengan demikian, burhani (al-qiyas al-'ilmi)
menekankan tiga syarat, yaitu:
a. Mengetahui terma perantara yang 'illah (causa) bagi kesimpulan (ma'rifat al-hadd
al-ausatwa al-natijah)
b. Keserasian hubungan relasional antara terma-terma dan kesimpulan (tartib al-
`alaqah bayn al-illah wa al-ma'lul), antara terma perantara dan kesimpulan-
kesimpulan sebagai sistematika qiyas
c. Natijah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul
kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang sama dengan epistemologi burhani.
Dari uraian tersebut, jelas bahwa logika Aristoteles lebih memperlihatkan nilai
epistemologi dari pada logika formal. Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita
dewasa ini yang melihat persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan
proposisi metafisika karena epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan
pengetahuan yang valid dan konstruksi pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan
duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini dapat memilah masing-
masing pendekatan epistemologik: bayani dan `irfani karena masing-masing memiliki tipikal
satu sama lain, dan epistemologi burhani berada pada posisi penyempurna keserasian
hubungan antara kedua epistemologi tersebut.
Sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau instuisi. Rasio inilah yang
dengan dalil-dalil logika memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi
yang masuk lewat indera yang dikenal dengan istilah tasawuf dan tashdiq.
Dalam memandang proses keilmuan, kaum burhaniyun bertolak dari cara pikir filsafat
dimana hakikat sebenarnya adalah universal. Hal ini akan menempatkan “makna” dari
realitas pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat partikular hanya sebagai
penegasan atau ekspresinya. Hal ini tampak sejalan dengan penjelasan al-Farabi bahwa
“makna” datang lebih dahulu daripada “kata”, sebab makna datang dari sebuah
pengkonsepsian intelektual yang berada dalam tataran pemikiran atau rasio yang
diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi memberikan pengandaian bahwa seandainya
konsepsi intelektual itu letaknya dalam kata-kata itu sendiri, maka yang lahir selanjutnya
bukanlah makna-makna dan pemikiran-pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.
Oleh karena itu, ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhani bermula
dari proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang
makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga
disinilah ditempatkan kata-kata, dengan redaksi lain, kata-kata adalah sebagai alat
komunikasi dan sarana berpikir disamping sebagai simbol pernyataan makna.
Secara struktural, proses penalaran sampai munculnya makna terdiri dari tiga hal.
Pertama proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap realitas; kedua proses abstraksi,
yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran; ketiga, ekspresi yaitu
mengungkapkan realitas dalam kata-kata. Berkaitan dengan cara ketiga untuk mendapatkan
ilmu burhani di atas, pembahasan tentang silogisme demonstratif atau qiyas burhani menjadi
sangat signifikan. Ibn Rusyd mendefinisikan demonstrasi dengan ketentuan dari satu
argument yang konsisten, tidak diragukan lagi kebenarannya yang diperoleh dari premis yang
pasti sehingga kesimpulan yang akan diperoleh juga pasti, sementara bentuk dari argument
harus diliputi oleh fakta akali. Jadi silogisme demonstratif atau qiyas burhani yang dimaksud
adalah silogisme yang premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, yang
meyakinkan, sesuai dengan realitas (bukan nash) dan diterima oleh akal. Aplikasi dari
pembentukan silogisme ini harus melewati tiga tahap, yaitu: tahap pengertian (ma’qulat),
tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat)
Tahapan pengertian merupakan proses awal yang letaknya dalam pikiran sehingga di
sinilah sebenarnya terjadi pengabstraksian, yaitu merupakan aktivitas berpikir atas realitas
hasil pengalaman, pengindraan, dan penalaran untuk mendapatkan suatu gambaran.
Mengikuti Aristoteles, al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani
pasti silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme yang burhani
(silogisme demonstrative atau qiyah burhani) selalu bertujuan untuk mendapatkan
pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah
(sophis). Silogisme (al-qiyas) dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat:
pertama, mengetahui sebab yang menjadi alasan dalam penyusunan premis; kedua, adanya
hubungan yang logis antara sebab dan kesimpulan; dan ketiga, kesimpulan yang dihasilkan
harus bersifat pasti (dharuriyyah), sehingga tidak ada kesimpulan lain selain itu. Syarat
pertama dan kedua adalah yang terkait dengan silogisme (al-qiyas). Sedang syarat ketiga
merupakan karakteristik silogisme burhani, dimana kesimpulan (natijah) bersifat pasti, yang
tak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian yang lain. Hal ini dapat terjadi, jika
premis-premis tersebut benar dan kebenarannya telah terbukti lebih dulu ketimbang
kesimpulannya, tanpa adanya premis penengah (al-hadd al-awsath).
1) Ibnu Rusyd (kalam dan filsafat). Ibnu Rusyd berusaha menerapkannya dengan jalan/cara
membela argument secara kausalitas. Ia menolak pandangan asy’ariyah tentang prinsip tajwiz
(keserbabolehan) karena dianggap mengingkari hukum kausalitas, sama saja meruntuhkan
bangunan burhani pada ilmu-ilmu alam termasuk metafisika atau ilmu ketuhanan secara
burhani yang dibangun atas dasar proses penelusuran terhadap sebab-akibat sesuatu sebelum
menuju kepada keputusan akhir Allah swt.
2) Al-Syatibi (ushul fiqh). Al-Syatibi mengemukakan bahwa usul fiqh didasarkan pada
prinsip kulliyyah al-syari'ah (ajaran universal agama), dan prinsip al-maqasidal-Syari’, serupa
dengan sebab akhir sebagai pembentuk unsur penalaran burhani.
3) Ibn Khaldun (sejarah ilmiah). Sejarah ilmiah disini terdapat: penelitian, penyelidikan, dan
analisis yang mendalam akan sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu, selain itu
mengandung asal-usul, perkembangan, riwayat hidup dan matinya kisah peradaban manusia.