Anda di halaman 1dari 23

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

“KEBENARAN MATEMATIKA”

OLEH :

Weni Handayani (14030174003)

Eva Kurnia. Z. M (14030174032)

2014 A

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN MATEMATIKA

2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang

telah memberikan rahmat, hidayahnya, dan inayahnya kepada kami, sehingga dapat

menyelesaikan penyusunan makalah Filsafat Pendidikan Matematika yang bertopik

“KEBENARAN MATEMATIKA”.

Makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan kepada kami dalam

mengembangkan dasar ilmu filsafat pendidikan matematika yang berkaitan dengan kebenaran

matematika. Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan

tentang filsafat pendidikan matematika yang berkaitan dengan kebenaran matematika

sehingga besar harapan kami, makalah yang kami sajikan dapat menjadi kontribusi positif

bagi pengembang wawasan pembaca.

Kami menyadari dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena

itu, dengan segala kerendahan hati kami menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah

selanjutnya menjadi lebih baik.

Surabaya, 23 Maret 2016

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................ii

BAB I......................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................................................1

B. RumusanMasalah.......................................................................................................................2

C. Tujuan........................................................................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................................................3

PEMBAHASAN.......................................................................................................................................3

A. Pengertian Kebenaran................................................................................................................3

B. Teori Kebenaran Menurut Filsafat.............................................................................................4

C. Aspek Kebenaran Matematika.................................................................................................10

D. Sifat kebenaran matematika.....................................................................................................11

E. Matematika adalah sistem Deduktif Aksiomatis......................................................................13

F. Kebenaran Matematika Menurut Beberapa Aliran...................................................................16

BAB III..................................................................................................................................................19

PENUTUP.............................................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................20

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

“Kebenaran” tentu kita tidak asing dengan kata tersebut. Bahkan kita terkadang
mengucapkannya sendiri. Lalu apa itu kebenaran? selalu mengucapkan tetapi belum tentu
memahami makna kebenaran sendiri.

Manusia adalah makhluk yang selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa


cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, diantaranya adalah menggunakan rasio
(rasionalis) dan juga menggunakan pengalaman (empiris).

Dalam usaha mencari kebenaran tersebut, terkadang manusia melupakan hakikat


kebenaran yang sebenarnya. Kata “Kebenaran” sendiri memiliki makna yang berbeda-
beda bagi setiap individu tergantung dari sudut pandangnya. “Kebenaran itu adalah
kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan itu tidak selalu yang seharusnya terjadi. Kenyataan
yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Ketika kita telah dapat
membedakan antara benar dan salah, maka kita dapat memilih suatu hal berdasarkan
definisi kebenaran menurut pendapat kita. Karena benar menurut kita belum tentu benar
menurut orang lain. Lalu bagaimana dengan kebenaran didalam filsafat? bagaimana pula
kebenaran matematika.

Kebenaran menurut matematika yaitu ilmu pasti yang membutuhkan pembuktian


dan kesepakatan contoh teorema dan aksioma. Orang yang mendalami matematika
cenderung berpir ilmiah, logis dan realistis. Matematika menganut kebenaran konsistensi.
Kebenaran akan ditemukan dalam relasi antara pernyataan yang sudah ada. Suatu teori,
pernyataan hipotesis sebelumnya yang telah dianggap benar.

1
B. RumusanMasalah

Dari latar belakang diatas kami merumuskan beberapa masalah antara lain :

1. Apa pengertian kebenaran ?


2. Apa saja teori kebenaran filsafat ?
3. Bagaimana aspek kebenaran matematika ?
4. Bagaimana sifat kebenaran matematika ?

5. Bagaimana kebenaran matematika ditinjau dari beberapa aliran ?

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui pengertian dari kebenaran.


2. Dapat mengetahui teori kebenaran filsafat.
3. Dapat mengetahui aspek kebenaran matematika.
4. Dapat mengetahui sifat kebenaran matematika.
5. Dapat mengetahui kebenaran matematika dari beberapa aliran.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebenaran

Dalam kehidupan sehari - hari seringkali kita mendengar tentang kebenaran suatu
hal. Bukan hanya mendengar mungkin kita juga pernah mengucapkan kata “kebenaran”.
Kata “kebenaran” dapat didefinisikan bermacam – macam. Dalam kamus bahasa
Indonesia (dalam Purwadarminta), ditemukan arti kebenaran, yaitu :

1. keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya).


2. sesuatu yang benar (sungguh – sungguh ada, betul demikian halnya).
3. kejujuran, ketulusan hati.

4. selalu izin, perkenaan.

Jadi ada dua pengertian kebenaran yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di
satu pihak dan kebenaran dalam arti lawan dari ketidakbenaran (keburukan). Persesuaian
antara pengetahuan dan obyeknya itu disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus
yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan
yang obyektif.

Telaah kebenaran secara epistemologi membawa orang kepada suatu kesimpulan


bahwa ada 3 jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan
kebenaran semantis.
 Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan
pengetahuan manusia. Secara kritis : mempertanyakan atau menguji cara kerja,
pendekatan, kesimpulan yang ditarik dalam kegiatan kognitif manusia. Secara
normatif : menentukan tolok ukur/norma penalaran tentang kebenaran
pengetahuan. Secara evaluatif : menilai apakah suatu keyakinan, pendapatan suatu
teori pengetahuan dapat dipertanggung jawabkan dan dijamin kebenarannya
secara logis dan akurat.
 Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat
pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan dan merupakan kebenaran
yang terdapat dalam kenyataan, entah spiritual atau material, yang meskipun ada
kemungkinan untuk diketahui.

3
 Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat
dalam tutur kata dan bahasa.

Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam


kepribadian dan kesadarannya tak mungkin hidup tanpa kebenaran. Berdasarkan potensi
subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi:

1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingkatan yang paling sederhana


dan  pertama yang dialami manusia.
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping
melalui indera, diolah pula dengan rasio.
3. Tingkatan filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam
mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha
Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan
kepercayaan.

Keempat kebenaran ini berbeda – beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga
proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi
subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenaran itu.
Misalnya pada tingkat kebenaran indra, potensi subyek yang menangkapnya ialah
pancaindera. Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu
mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya
terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik psikologis. Karena di dalam kehidupan manusia
sesuatu yang harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang diajalaninya dan
manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana
selalu ditunjukkan oleh kebenaran.

B. Teori Kebenaran Menurut Filsafat

Matematika adalah ilmu yang menganut teori kebenaran sebagai keteguhan. Teori
ini dianut oleh kaum rasionalitas seperti Leibniz, Spinosa, Descrates, heggel, dan lainnya.
Kebenaran ditemukan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah
ada. Suatu pengetahuan, teori pernyataan, proposisi atau hipotesis dianggap benar kalau

4
sejalan dengan pengetahuan, teori proposisi atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi
itu meneguhkan dan konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar.
Matematika dan ilmu – ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran ini.

Adapun teori-teori kebenaran menurut filsafat adalah sebagai berikut:

1. Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Truth)

Teori korespondensi ini dianut oleh kaum realis dan mulai berkembang sejak
zaman Aristoteles – Yunani Kuno, kemudian dikembangkan oleh Ibnu Sina dan
Thomas Aquinas di abad Skolastik. Kebenaran adalah fidelity to objektive reality
(kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis yang
dipelopori oleh Plato, Aristotels dan Moore kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh
Ibnu Sina, Thomas Aquinas, serta oleh Berrand Russel. Menurut Bertrand Russell
(1872-1970), suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung
pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh
pernyataan tersebut.

Teori korespodensi (corespondence theory of


truth) berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan
adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan)
terhadap fakta yang ada. Kebenaran atau suatu
keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara
arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan
fakta. Suatu proposisi/ ungkapan atau keputusan
adalah benar apabila terdapat suatu faktayang
sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris
pengetahuan.
Jadi, secara
sederhana dapat

Bertrand Russell (1872-1970) disimpulkan


bahwa
berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan
adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung
pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dan
5
sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut (Suriasumantri, 1990:57)
Contoh dari teori kebenaran ini adalah nilai kebenaran dari pernyataan : Semua
besi bila dipanaskan akan memuai, Jakarta adalah ibu kota negara RI, Pancasila
adalah dasar negara RI, orang Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, Semarang
adalah ibu kota Jawa Tengah. Pernyataan ini bernilai benar sesuai dengan
kenyataannya. Dengan demikian ada lima unsur yang diperlukan, yaitu :

1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)

Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini.
Teori kebenaran menurut korespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga
pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral
yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan)
termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita,
obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.

2. Teori Konsistensi atau Koherensi

Penggagas teori ini adalah Plato (427-347


S.M.) dan Aristoteles (384-322 S.M.), selanjutnya
dikembangkan oleh Benediet Spinoza, George Hegel
dan F.H. Bradley (1864-1924). Meskipun demikian,
menurut Titus, Smith dan Nolan bahwa bibit-bibit
teori ini sebenarnya sudah ada sejak zaman
praSocrates. Spinoza kemudian mematangkan teorinya
ini dan terus dikembangkan oleh penganut aliran ini
seperti Francis Herbert Bradly, Brand Blanshard, Benediet Spinoza

Edgar Sheffied Brightman dan Rudolph Carnap. Teori ini dianut oleh kaum rasionalis
dan idealis.

Menurut teori konsistensi kebenaran adalah keruntutan pernyataan. Pernyataan-


pernyataan dikatakan benar apabila ada keruntutan di dalamnya, artinya pernyataan
6
satu tidak bertentangan secara logika dengan pernyataan yang lain. Teori
Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang
bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-
pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai
benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan
proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Dengan
demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran)
oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima dan
diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat
kebenaran. Disini derajat koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran.

Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering
dilakukan di dalam penelitian pendidikan khususnya di dalam bidang pengukuran
pendidikan. Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi.
Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan
kelanjutan yang teliti dan teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti
kebenaran. Teori konsistensi atau koherensi menganggap suatu pernyataan benar bila
di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan
pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu
pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang
konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.

Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan truth is


consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C.
Logika matematika yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika
ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan
juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Contoh dari teori ini adalah : Premis 1 : “Bilangan genap adalah bilangan yang
habis dibagi 2”  dan Premis 2 : “4 habis dibagi 2” maka kesimpulannya adalah : “4
adalah bilangan genap”

Teori ini sudah ada sejak Pra-Socrates, kemudian dikembangkan oleh Benedictus
Spinoza dan George Hegel Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan
(klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru
7
yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal
dengan sendirinya.

3. Teori Pragmatisme
Teori pragmatisme ini termasuk teori
kebenaran yang paling baru. Teori ini
muncul dengan background telah
berkembangnya kemajuan ilmu
pengetahuan pada abad ke-19, terutama
setelah adanya teori evolusi yang
dikembangkan oleh Charles Darwin yang
menempati posisi signifikan dalam
percaturan ilmu pengetahuan. Teori ini
dikembangan oleh William James di
Amerika Serikat. Menurut filsafat ini
William James
dinyatakan, bahwa sesuatu ucapan, hukum,
atau sebuah teori semata-mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap
benar jika mendatangkan manfaat.
Pragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik
sebagai metode project atau metode problem solving dalam pengajaran. Mereka akan
benar hanya jika mereka berguna dan mampu memecahkan problem yang ada.
Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalam
keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama
pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini
manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan,
teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi
kehidupan manusia. 
Salah satu contoh teori ini dalam matematika adalah pada trigonometri
pengukuran sudut berguna untuk menentukan arah, kemiringan bidang atau
mendesain dan membuat suatu bangun ruang. Pernyataan “Semua besi bila
dipanaskan akan memuai” mempunyai kebenaran pragmatis bagi tukang pandai besi
atau pabrik untuk mengolah besi sehingga menjadi alat-alat yang bermanfaat bagi
manusia. Contoh lain, misalnya, ada peristiwa kebakaran. Pernyataan tentang apa
8
sebab kebakaran tidak bermanfaat, maka tidak benar. Hal yang benar adalah tindakan
cepat untuk memadamkan api seperti mencari ember dan air, menelepon pemadam
kebakaran. Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan
(utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat yang memuaskan (satisfactor
consequence). Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak/ tetap, kebenarannya
tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/hasil yang memuaskan bagi kaum
pragmatis adalah :
1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan
2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap ada.
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filosuf Amerika tokohnya
adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey
(1852-1859).
Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada
konsekuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah
terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam
hubungan ide dengan konsekuensinya setelah
dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek
secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak
langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori
konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuatu
melalui praktek di dalam problem solving.

Charles S. Pierce
(1914-1939)

4. Teori Performatif

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh


pemegang otoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian
muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah,
sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh
pemegang otoritas tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut  bertentangan
dengan bukti-bukti empiris. 

9
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran
performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin
agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran
performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan
beragama yang tertib, adat yang stabil, dan sebagainya. Masyarakat yang mengikuti
kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang
inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas.
Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran
ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan
pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.

5. Teori Konsensus

Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung
paradigma tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena
adanya paradigma. Sebagai komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai
bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun
tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama.

Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-


nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan.
Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak
tertulis. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif
suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa
mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara
tuntas.

C. Aspek Kebenaran Matematika

Menurut Resnick ada dua aspek kebenaran matematika yaitu :

1. Kebenaran Imanen

Kebenaran imanen dapat diartikan bahwa sebuah kebenaran yang hanya berlaku
untuk pernyataan yang ada dalam lingkup matematika saja. Objek matematika
diyakini kebenarannya dalam konteks matematika saja. Dengan kata lain, pernyataan
10
diyakini benar secara matematika, belum tentu benar bila dilihat dari sudut pandang
yang lain. Kebenaran ini tidak bergantung pada hal – hal, hubungan, atau pengamatan
diluar bidang matematika.

2. Kebenaran Transenden

Kebenaran matematika imanen dapat dipertentangkan dengan kebenaran


matematika transenden, yang mencari dukungan mengacu pada korespondensi antara
objek matematika dan objek nonmatematika. Kebenaran transenden matematika
dibuktikan melalui eksperimen serta pembuktian. Contoh sebagai kebenaran

transenden matematika, membuat pernyataan tentang jumlah orang

didalam mobil saya setelah anak saya bertemu dan menjemput kakaknya. Kebenaran
persamaan itu dikonfirmasi melalui korespondensi untuk pengalaman saya. Saya

mempelajari bahwa adalah benar dalam kasus ini karena saya memahami

konsep dari himpunan dan logika dan akan berlaku bagi siapa saja yang bersedia
menerimanya.

D. Sifat kebenaran matematika

Teori sains empiris, misalnya fisika atau psikologi, dikatakan benar sejauh teori itu
cocok dengan bukti empiris atau kenyataan luar. Namun matematika tidak demikian,
kebenaran matematika tidak ada sangkut pautnya dengan bukti empiris. Kebenaran
matematika diperoleh dari makna kata – kata yang terkandung dalam proposisi yang
bersangkutan.

Karena dalam system matematika diawali dengan perangkat aksioma dari teori – teori
matematika diturunkan secara logis (dengan perangkat logika yang telah ditetapkan) dari
aksioma, kebenaran matematika disebut kebenaran kondisional.

Kebenaran perangkat aksioma bukanlah self-evident truth, dan bukan pula sains
empiris paling umum. Kebenaran matematika adalah kebenaran apriori, sedangkan
kebenaran sains empiris adalah postteori yakni teori itu benar selama masih cocok dengan
fakta actual, atau sampai ada bukti lain yang menolaknya.

a. Kebenaran Proposisi matematika bukan bersifat Self – Evident (Sudah Pasti)

Kebenaran matematika adalah self –Evident (terang benderang) oleh karena itu
tidak memerlukan bukti factual tidak pula atas dasar pertimbangan yang lain.
Pandangan tersebut dengan meletakkan keputusan – keputusan bahwa kebenaran

11
matematika pada semacam perasaan self-Evident akan menemui banyak kesulitan
karena :

1. Banyak teorema yang sulit dibangun bahkan oleh spesialis bidangnya, mereka
melihat sesuatu tetapi bukan self-Evident.
2. Sudah terkenal bahwa beberapa hasil matematika amat sangat menarik
terutama pada bidang – bidang abstrak seperti teori himpunan dan topologi
yang menunjang jauh ke akar intuisi yang bertentangan dengan semacam
perasaan self-Evident.

Adanya konjektur matematis seperti konjektur dari Goldbach setiap bilangan


genap adalah jumlah dari dua bilangan prima, misalnya : 8 = 3+5 dan, fermat (tak ada
bilangan bulat a, b, c yang memenuhi untuk ) yang sebenarnya
sangat elementer isinya belum ditentukan “benar-salahnya” sampai sekarang ini, tentu
hal ini menunjukkan bahwa tidak semua kebenaran matematika bersifat self-evident.

Akhirnya meskipun jika self-evident hanya diberikan kepada postulat-postulat


dasar matematika, dan dari postulat-postulat tersebut diturunkan proposisi-proposisi
matematika. Patut dicatat bahwa pertimbangan bahwa seperti apa yang dapat
dipandang sebagai self-evident adalah subjektif.

b. Matematika bukan Sains Empiris yang paling umum

Menurut John Stuart Mill, matematika dengan sendirinya merupakan sains empiris
yang berbeda dengan cabang-cabang lainnya seperti astronomi, fisika, kimia dan
sebagainya. Utamanya dalam dua aspek yaitu:

1. Substansinya lebih umum daripada substansi penelitian ilmiah yang lain


2. Proposisi-proposisinya telah diuji dan dikonfirmasikan jauh lebih luas dari
pada penelitian ilmiah yang paling canggih sekalipun seperti dalam astronomi
maupun fisika.

Menurut pandangan ini, sejauh mana hukum-hukum matematika telah di bawa


oleh pengalaman-pengalaman masa lampau dalam sejarah kemanusiaan yang panjang
sehingga tidak perlu dipertimbangkan lagi.

Teorema-teorema matematika secara kualitatif berlainan dari hipotesis-hipotesis


atau teori-teori dari cabang-cabang sains lainnya. Akan tetapi pandangan ini,
membuka keberatan serius. Dari suatu hipotesis yang bersifat empiris, misalnya :
hukum gravitasi Newton tetap saja masih ada kemungkinan membuat prediksi
terhadap pengaruh situasi dan kondisi tertentu suatu fenomena tertentu yang dapat
diamati akan dapat terjadi. Dari fenomena tersebut akan membangun bukti
konfirmasi, sedangkan dengan tidak terjadinya fenomena mengindikasi bukti tidak
konfirmasinya hipotesis.

12
Akibatnya khusus untuk hipotesis empirik secara teoritis tidak cocok yaitu karena
adanya kemungkinan mengindikasi jenis bukti apa, jika secara aktual bertentangan
akan menolak hipotesis.

Sebagai gambaran : Kita taruh beberapa mikroba pada sebuah slide film, taruhlah
mula-mula tiga mikroba kemudian dua mikroba yang lain.Setelah itu kita hitung
semua mikroba untuk menguji apakah dalam contoh ini 3 dan 2 benar-benar menjadi
5. Seumpama kita menghitung ternyata ada 6 mikroba. Kita tidak memandang hasil
ini sebagai bukti empiris tentang ketakcocokannya proposisi yang diberi atau
sekurang-kurangnya sebagai tidak dapat dipakainya proposisi itu untuk perhitungan
mikroba, melainkan kita memikirkan bahwa kita telah melakukan kesalahan dalam
perhitungan atau salah satu mikroba tersebut telah membelah diri menjadi dua. Dalam
pertimbangan apapun seperti yang telah dilukiskan itu tidak satu pun menyangkal
proposisi aritmetik dalam permasalahan itu.

Sebab proposisi tidak kena-mengena dengan tingkah laku mikroba, proposisi itu
semata-mata hanya menyatakan bahwa sebarang himpunan terdiri atas 3+2 objek
dapat juga dikatakan terdiri atas 5 objek. Dan memang demikian sebab lambang “3 +
2” dan”5” menyatakan bilangan yang sama.

Keduanya sinonim menurut fakta bahwa lambang-lambang “2”,”3”,”5”, dan”+”


didefinisikan (atau dipahami diam-diam) dengan cara demikian sehingga identitas di
atas berlaku sebagai konsekuensi dari makna yang terkandung di dalam konsep yang
terlibat di dalamnya.

E. Matematika adalah sistem Deduktif Aksiomatis

Validitas matematika tidak terletak pada pernyataan sifat self-evidentnya dan tidak
pula pada dasar empiris akan tetapi diturunkan dari persyaratan yang menentukan makna
konsep-konsep matematika serta proposisi-proposisi matematika dengan demikian adalah
“benar menurut definisi”.

Dalam perkembangannya teori matematika bukan perolehan mudah dari perangkat


definisi sederhana tetapi dari perangkat proposisi-proposisi nondefinisional yang tidak
dibuktikan dalam teori itu. Postulat-postulat sendiri sering dikatakan menyajikan “definisi
implisit” dari term-term primitive. Postulat-postulat tersebut terbatas dalam arti khusus
makna yang mungkin dapat diberikan kepada primitif-primitif sebarang postulat yang self
konsisten meskipun demikian banyak interpretasi berbeda-beda atas term primitif.
Sedangkan perangkat definisi dalam arti langsung dari kata-kata menentukan makna dari
yang didefinisikan dalam bentuk tunggal.

13
Setelah term-term positif dan postulat-postulat ditetapkan seluruh teori atau teorema
sudah tertentu dengan lengkap. Teori-teori dapat diturunkan dari landasan postulatsional
dengan cara: setiap term dari teori dapat didefinisikan dalam term primitif, dan setiap
proposisi dalam teori dapat dideduksi secara logis dari postulat-postulat. Agar seluruhnya
persis perlu mencirikan prinsip-prinsip logika. Prinsip-prinsip logika terbagi dalam dua
kelompok yakni kalimat primitif/ postulat dari logika dan aturan-aturan deduksi atau
penyimpulan.

Matematika dikenal sebagai ilmu deduktif. Ini berarti proses pengerjaan matematika
harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan
(induktif), tetapi harus berdasarkan pembuktian deduktif. Dasar pembuktian deduktif
yang berperan besar dalam matematika adalah kebenaran, suatu pernyataan haruslah
didasarkan pada kebenaran pernyataan-pernyataan sebelumnya. Penarikan kesimpulan
yang demikian ini sangat berbeda dengan penarikan kesimpulan pada penalaran induktif
yang dipaparkan pada hasil pengamatan atau eksperimen terbatas.

Dalam penalaran deduktif, kebenaran dalam setiap pernyataannya harus didasarkan


pada kebenaran pernyataan sebelumnya. Mungkin timbul pertanyaan bagaimana
menyatakan kebenaran dari pernyataan yang paling awal? Untuk mengatasi hal tersebut,
dalam penalaran deduktif diperlukan beberapa pernyataan awal atau pangkal sebagai
“kesepakatan” yang diterima kebenarannya tanpa pembuktian. Pernyataan awal atau
pernyataan pangkal dalam matematika dikenal dengan istilah aksioma atau postulat.

Dalam matematika, suatu generalisasi, sifat, teori atau dalil belum dapat diterima
kebenarannya sebelum dapat dibuktikan secara deduktif.

Sebagai contoh dalam Ilmu Pengetahuna Alam (IPA), bila seseorang melakukan
percobaan memanaskan sebatang logam, ternyata logam yang dipanaskan tersebut akan
memuai. Kemudian sebatang logam lainnya dipanaskan ternyata memuai juga, dan
seterusnya mengambil beberapa contoh jenis-jenis logam lainnya dan ternyata selalu
memuai jika dipanaskan. Dari percobaan ini dapat dibuat kesimpulan atau generalisasi
bahwa setiap logam yang dipanaskan itu memuai. Kesimpulan atau generalisasi seperti ini
merupakan hasil penalaran secara induktif. Generalisasi seperti ini dalam IPA dibenarkan.

14
Contoh dalam IPA seperti tersebut di atas, secara matematika belum dapat dianggap
sebagai generalisasi. Dalam matematika, contoh-contoh seperti itu baru dapat dianggap
sebagai generalisasi bila kebenarannya dapat dibuktikan secara deduktif.

Sekarang kita akan mengambil beberapa contoh generalisasi yang dibenarkan dan
yang tidak dibenarkan dalam matematika. Generalisasi yang dibenarkan dalam
matematika adalah generalisasi yang telah dapat dibuktikan secara deduktif.

Contoh1 :

Pernyataan: jumlah dua bilangan ganjil adalah bilangan genap.

Tabel 2.1 Penjumlahan Bilangan Ganjil

Z 1 3 5
1 2 4 6
7 8 10 12
9 10 12 14

Perhatikan hasil penjumlahan pada tabel 1. Apa yang bisa Anda katakan?
Tentunya Anda akan mengatakan bahwa setiap dua bilangan ganjil jika dijumlahkan
hasilnya selalu genap.

Dalam matematika tidak dibenarkan membuat generalisasi atau membuktikan


dengan cara demikian. Walaupun Anda menunjukkan sifat itu dengan mengambil
beberapa contoh yang lebih banyak lagi. Matematika tetap tidak membenarkan
membuat generalisasi yang mengatakan bahwa jumlah dua bilangan ganjil adalah
genap, sebelum membuktikannya secara deduktif.

Bukti deduktif :

1. Misalkan m dan n sebarang dua bilangan bulat,

2. maka 2m + 1 dan 2n + 1 masing-masing merupakan bilangan ganjil.

3. Jika kita jumlahkan:

(2m + 1) + (2n + 1) = 2(m + n + 1)

15
4. Karena m dan n bilangan bulat, maka (m + n + 1) bilangan bulat, sehingga 2 (m
+ n + 1) adalah bilangan genap

5. Jadi jumlah dua bilangan ganjil selalu genap.

Dari uraian-uraian di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa matematika itu merupakan
ilmu deduktif yang tidak menerima generalisasi yang didasarkan kepada observasi
(induktif) tetapi generalisasi yang didasarkan pada pembuktian secara deduktif.

F. Kebenaran Matematika Menurut Beberapa Aliran

Peran filsafat matematika adalah untuk memberikan landasan yang sistematis dan absolute
untuk pengetahuan matematika, yaitu dalam nilai kebenaran matematika.
Kebenaran matematika pada dasarnya tergantung pada pembenaran pembuktian
matematis. Hal ini pada gilirannya tergantung pada asumsi sejumlah pernyataan matematika
dasar (aksioma), serta pada logika yang mendasari. Secara umum, pengetahuan matematika
terdiri dari pernyataan yang dibenarkan oleh bukti, yang tergantung pada aksioma matematika
(dan logika yang mendasari).
Menurut aliran logisisme, Semua kebenaran matematika dapat dibuktikan dari aksioma
dan aturan inferensi logika sendiri. Tujuan dari klaim ini jelas. Jika matematika dapat
dinyatakan dalam istilah murni logis dan terbukti dari prinsip-prinsip logis saja, maka kepastian
pengetahuan matematika dapat dikurangi dengan logika. Logika dianggap untuk memberikan
landasan tertentu untuk kebenaran, terlepas dari upaya untuk memperluas logika. Jadi jika
dilakukan berdasarkan logisisme akan memberikan dasar-dasar logis tertentu untuk
pengetahuan matematika, membangun kembali kepastian yang mutlak dalam matematika.
Menurut aliran formalisme, sifat alami matematika adalah sebagai system lambang
yang formal. Matematika berhubungan dengan sifat-sifat structural dari simbol-simbol
dan proses pengolahan terhadap lambang-lambang gitu. Simbol-simbol dianggap
mewakili berbagai sasaran yang menjadi objek matematika. Misalnya bilangan, bilangan
dipandang sebagai sifat-sifat struktural yang paling sederhana. Dengan symbol abstrak
yang dilepaskan dari suatu sifat tertentu dan hanya bentuknya saja, aliran ini berusaha
menyelediki berbagai system matematika. Menurut pandangan aliran ini matematika
merupakan ilmu tentang sistem-sistem formal. Matematika murni dapat ditafsirkan sebagai
sistem formal, yang kebenaran matematika tersebut dapat dibuktikan oleh dalil formal. Teori
formalisme ini akan memberikan dukungan untuk pandangan kebenaran matematika yang
bersifat mutlak. Sebagai bukti formal yang mendasar, sistem matematika yang konsisten akan
16
memberikan pembuktian untuk kebenaran matematika. Tidak semua kebenaran matematika
dapat direpresentasikan sebagai teorema dalam sistem formal.
Menurut aliran konstruktivis, menyatakan bahwa kebenaran matematika dan
keberadaan objek matematika harus dibentuk dengan metode konstruktif. Ini berarti bahwa
tujuan konstruksi matematika adalah untuk mendirikan kebenaran atau keberadaan objek
matematika, sebagai lawan untuk metode yang bergantung pada pembuktian dengan
kontradiksi. Bagi konstruktivis pengetahuan harus ditetapkan melalui pembuktian konstruktif,
berdasarkan logika konstruktivis terbatas, dan makna dari istilah matematika / objek terdiri dari
prosedur formal dengan mana mereka dibangun.
Masing-masing dari tiga kelompok pemikiran baik logisisme, formalisme dan
konstruktivisme berupaya untuk menyediakan dasar yang kuat untuk kebenaran
matematis. Dalam setiap kasus ada yang meletakkan dasar yang untuk kebenaran mutlak.
Untuk logisisme, formalis dan konstruktivisme ini terdiri dari aksioma logika, secara
intuitif tertentu dari prinsip-prinsip matematika, dan aksioma jelas dari 'intuisi
primordial', masing-masing. Masing-masing aksioma atau prinsip-prinsip diasumsikan
tanpa demonstrasi. Selanjutnya masing-masing tetap terbuka untuk didiskusikan, untuk
menghilangkan keraguan. Selanjutnya masing-masing kelompok ini menggunakan logika
deduktif untuk membuktikan kebenaran teorema matematika dari dasar yang telah
diasumsikan mereka.
Akibatnya ketiga kelompok pemikiran gagal untuk menetapkan kepastian yang
mutlak tentang kebenaran matematika. Untuk logika deduktif hanya menyalurkan
kebenaran, tidak memasukkan kebenaran, dan kesimpulan dari pembuktian logis sangat
lemah.
Dapat dikatakan bahwa upaya ketiga kelompok juga gagal untuk memberikan
landasan untuk sepenuhnya kebenaran matematis dengan cara ini. Untuk menunjukkan
ketidaklengkapan teorema pertama Godel, bukti ini tidak cukup untuk menunjukkan
kebenaran semua. Jadi ada kebenaran matematika tidak ditangkap oleh sistem kelompok
ini.
Kebenaran matematika akhirnya tergantung pada tereduksinya seperangkat asumsi,
yang diadopsi tanpa demonstrasi tetapi untuk kualitas pengetahuan yang benar. Asumsi
memerlukan petunjuk untuk pernyataan mereka. Tidak ada petunjuk berlaku untuk
pengetahuan matematika selain demonstrasi atau bukti. untuk itu asumsi adalah
keyakinan, bukan pengetahuan, dan tetap terbuka untuk diperdebatkan, untuk menepis

17
keraguan.
Ini adalah argumen tengah melawan kemungkinan dalam pengetahuan matematika.
Secara langsung bertentangan dengan klaim kelompok pemikiran mendasar absolutis.
Diluar kelompok foundationist, itu dianggap sebagai sangkalan terjawab absolutisme oleh
beberapa penulis.

18
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan :

Matematika memiliki pendekatan tersendiri dalam memahami kebenaran. Matematika


telah memberikan banyak kebenaran untuk ilmu pengetahuan. Mempelajati matematika tidak
hanya monoton berkutat didalam angka-angka saja dan belajar matematika tidak hanya
menentukan hasil dari soal yang dikerjakan.

Teori sains empiris, misalnya fisika atau psikologi di katakan benar sejauh teori itu
cocok dengan bukti empiris/kenyataan diluar sedangkan matematika tidak ada sangkut
pautnya dengan bukti empiris.Kebenaran matematika diperoleh makna yang di kandung oleh
proposisi yang bersangkutan.

Kebenaran matematika diawali dengan aksioma dan teori matematika dditurunkan


secara logis dengan system logika maka kebenaran matematika disebut kebenran
kondisional.Kebenaran perangkat aksioma matematika bukan self evident truth bukan pula
sains empiris yang lebih umum tetapi apriori, benar sekali untuk selamanya.Kebenaran sains
empiris adalah posteriori, selama masih cocok dengan dunia luar atau sampai ada bukti
empiris yang menolak kebenaran itu.

19
DAFTAR PUSTAKA

Sukardjono. 2008. Hakekat dan Sejarah Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.

The Liang Gie. 1999. Filsafat Matematika. Edisi ke 2. Yogyakarta: Pusat Belajar Imu
Berguna.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka

Farhat, Boedi. 2015. Teori-teoriKebenaran: Korespondensi, Koherensi, Pragmatik,


StrukturalParadigmatik, danPerformatik. (Online)

http://www.kompasiana.com/boedis2/teori-teori-kebenaran-korepondensi-koherensi-
pragmatik-struktural-paradigmatik-dan-performatik.Diunduh pada 24 Maret 2016.

20

Anda mungkin juga menyukai