Anda di halaman 1dari 9

TUGAS TUTORIAL MATA SOSIO ANTROPOLOGI

MAKALAH KEBENARAN ILMIAH

Dosen Pengampu : Sri Winarsih, S.Pd, S.SiT, M.Kes

Disusun oleh:
Nama : Rini Dwi Mulyani

Disusun oleh:

Nama : Rini Dwi Mulyani


NIM : P1337424519048
Kelas : Eugenia 5

PROGRAM DIPLOMA SARJANA TERAPAN KEBIDANAN MAGELANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Pada dasarnya semua manusia terlahir dalam keadaan tidak tahu, hanya dibekali akal, fisik, jiwa
(roh), di dalam mempertahankan dan melanjutkan hidup dan kehidupannya. Selain daripada itu,
manusia di dalam mempertahankan kehidupannya manusia sangat tergantung pada manusia lain,
itulah sehingga manusia di katakan sebagai makhluk sosial (zoon politicon), dimana manusia
tidak dapat hidup tanpa bantuan dan pertolongan orang lain. Sudah menjadi kodrat manusia di
mana dalam kehidupannya memiliki rasa ingin tahu atas segala yang ada disekelilingnya,
manusia mempunyai rasa ingin tahu yang begitu besar baik pada dirinya, orang lain,
lingkungannya, bahkan pada sesuatu yang mungkin ada (ghaib).
Rasa ingin tahu manusia berakhir pada kesimpulan bahwa suatu obyek sesuai dengan akal
fikiran yang ia miliki (rasional). Tatkala suatu obyek tidak rasional maka rasa ingin tahu tersebut
akan senantiasa berjalan. Terkadang, sampai pada menggunakan metode (cara) tersendiri hingga
ada kepuasan atas suatu obyek tersebut. Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang
sistematis, maka pengetahuan dapat di peroleh secara rasional melalui metodologi ilmu dalam
mengungkap kebenaran suatu obyek tertentu. Maka pada prinsipnya bahwa ilmu dan
pengetahuan adalah masingmasing tujuannya adalah mencari kebenaran. Ketika di pahami
bahwa pengetahan dan ilmu merupakan kodrat yang dimiliki manusia, berarti dapat dipastikan
bahwa kehidupana manusia yang sesungguhya adalah mencari kebenaran. Kebenaran tersebut
paling tidak menjadi jawaban atas rasa ingin tahu yang ia miliki, dan dapat memastikannya
bahwa apa yang ditemukan terhadap suatu obyek tidak lagi menimbulakn suatu keraguan-raguan
(skeptis). Dalam menemukan suatu kebenaran adalah didasari oleh suatu pengetahuan dan
metodologi ilmu yang dimiliki. Maka kualitas kebenaran adalah sangat di tentukan oleh kualitas
pengetahuan dan ilmu yang dimiliki oleh manusia itu sendiri. Pada realitasnya pikiran manusia
sangat berfariasi, adalah sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti; alam, lingkungan,
doktrin yang ada pada setiap individu maupun kelompok masyarakat. Maka dalam mengungkap
suatau kebenaran melalui ilmu juga di tentukan oleh faktor pikiran manusia yang relatif tersebut.
Dari variasi berfikir manusia maka dimungkinkan adanya perbedaan cara bepikir, yang tentunya
dalam memahami kebenaran akan sangat bervariasi pula. Sehingga menemukan arti dari pada
kebenaran selain dilakukan dengan pendekatan metodologi oleh seseorang, maka harus
membuka diri (toleransi) terhadap refleksi pikiran orang lain di dalam menangkap makna dari
pada kebenaran tersebut. Bahasa sangat menetukan metodologi dalam menemukan makna dari
kebenaran, karena bahasa adalah media di dalam menghantar maksud dari pada apa yang
manusia maksud kepada orang lain, baik kepada satu orang maupun kepada banyak orang. Dari
pengantar tersebut di atas menimbulkan pertanyaan yaitu; apa itu kebenaran?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Teori dan Kebenaran

a. Definisisi Teori dan Kebenaran

Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling
berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan
menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan
maksud menjelaskan fenomena alamiah. Labovitz dan Hagedorn mendefinisikan teori
sebagai ide pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan”
bagaimana dan mengapa variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling
berhubungan. Sementara salah satu pokok yang fundamental dan senantiasa aktual dalam
pergumulan hidup manusia merupakan upaya mempertanyakan dan membahasakan
kebenaran. Kebenaran boleh dikata merupakan tema yang tak pernah tuntas untuk diangkat
ke ranah akal (dan batin) manusia. Kebenaran menurut arti leksikalnya adalah keadaan (hal)
yang cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya. Itu berarti kebenaran merupakan tanda
yang dihasilkan oleh pemahaman Kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan
fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di
samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kebenaran dapat dipahami berdasarkan tiga hal yakni, kualitas pengetahuan,
sifat/karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun
pengetahuan itu, dan nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan
terjadinya pengetahuan itu. Kualitas pengetahuan dapat dibagi dalam empat macam, yaitu:
Pengetahuan biasa: sifatnya subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang
mengenal; memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memeperoleh pengetahuan
bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
Pengetahuan ilmiah: bersifat realtif, artinya kandungan kebenaran ini selalu
mendapatkan revisi atau diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir.
Pengetahuan filsafati: bersifat absolut-intersubjektif, artinya selalu merupakan
pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu serta selalu
mendapt pembenaran dari filsuf kemudian yang mengunakan metodologi pemikiran yang
sama pula.
Pengetahuan agama: bersifat dogmatis, artinya pernyataan dalam agama selalu
dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan-pernyataan dalam kitab-
kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk
memahaminya itu.

b. Cara Memperoleh Kebenaran


Kebenaran dapat diperoleh melalui pengetahuan indrawi, pengetahuan akal budi,
pengetahuan intuitif, dan pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif.

c. Nilai kebenaran
Bagi positivis, benar substantif menjadi identik dengan benar faktual sesuai dengan
empiri. Bagi realis, benar substantif identik dengan benar riil objektif, benar sesuai dengan
konstruk skema rasional tertentu. Sedangkan benar epistemologik berbeda, terkait pada
pendekatan yang digunakan dalam mencari kebenaran. Kebenaran positivistik dilandaskan
pada diketemukannya frekuensi tinggi atau variansi besar, sedangkan pada fenomenologik
kebenaran dibuktikan berdasar diketemukan yang esensial, pilah dari yang non-esensial atau
eksemplar, dan sesuai dengan skema moral tertentu.
Dengan demikian, benar epistemologik menjadi berbeda dengan benar substantif.
Benar positivistik berbeda dengan benar fenomenologik, berbeda dengan benar realisme
metafisik. Bagi positivisme sesuatu itu benar bila ada korespondensi antara fakta yang satu
dengan fakta yang lain. Bagi fenomena baru dapat dinyatakan benar setelah diuji
korespondensinya dengan yang dipercayainya (belief).
II. Beberapa Teori Tentang Kebenaran
Beberapa teori-teori kebenaran Secara umum para ahli mengelompokkan kebenaran
itu pada tiga komponen teori yaitu. Korespondensi, koherensi, dan pragmatis. namun
demikian akan selalu menuai permasalahan di mana ketiga hal tersebut tidak mampu menjadi
jawaban dari suatu kebenaran yang ada. Penulis menganggap bahwa ketiga komponen teori
tersebut tidak dapat bertahan, hal ini dibuktikan dengan banyaknya kebenaran yang ada dan
tidak masuk pengetian dari kelompok kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatis,
contohnya:
a. Kebenaran Sintaksis Menurut Riwayati
Berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika vang dipakai oleh suatu
pernyataan atau tata-bahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan
memiliki nilai benar bila pernyataan itu mengi¬kuti aturan-aturan sintaksis yang baku.
Atau dengan kata lain apa¬bila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal
yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di
antara para filsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian
gramatika seperti Friederich Schleiermacher.
b. Kebenaran semantis
Manurut teori kebenaran semantik suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi
arti atau makna. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai
pengacu (referent) yang jelas Oleh karena itu teori ini memiliki tugas untuk menguak
kesyahan proposisi dalam referensinya itu.
c. Kebenaran Non deskriptif
Teori kebenaran non-deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.
Karena pada dasarnya suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar
yang amat ter¬gantung peran dan fungsi pernyataan itu.
d. Kebenaran Logika yang berlebihan (Logical-Superfluity Theory of Truth).
Teori ini dikembangkan oleh kaum Positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya
menurut teori kebenaran ini adalah bahwa problema kebenaran hanya merupakan
kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada
dasarnya apa pernyataan yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik
yang sama yang masing-masing saling melingkupinya.
Dari beberapa teori diatas menggambarkan bahwa berbagai teori-teori kebenaran yang
sebenarnya tidak masuk dalam golongan korespondensi, koherensi, dan pragmatis. Sehingga
memang perlu adanya pengelompokan teori guna memberikan pemahaman tentang teori-
teori kebenran yang dapat mengakomodir teori kebenaran yang ada. Beberapa teori lain yang
tidak tergolong dalam komponen teori koresponsensi, koherensi,dan pragmatis yaitu; teori
sintaksis, semantis, non deskriptif, kebenaran logika yang berlebihan, kebenaran performatif,
paradigmatik, proposisi, kebenaran konsensus (kesepakatan).

III. Sifat Kebenaran Ilmiah

Kebenaran ilmiah paling tidak memiliki tiga sifat dasar, yakni:

1. Struktur yang rasional-logis. Kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan logis atau
rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional,
maka semua orang yang rasional (yaitu yang dapat menggunakan akal budinya secara
baik), dapat memahami kebenaran ilmiah. Oleh sebab itu kebenaran ilmiah kemudian
dianggap sebagai kebenaran universal. Dalam memahami pernyataan di depan, perlu
membedakan  sifat rasional (rationality) dan sifat masuk akal (reasonable). Sifat rasional
terutama berlaku untuk kebenaran ilmiah, sedangkan masuk akal biasanya berlaku bagi
kebenaran tertentu di luar lingkup pengetahuan. Sebagai contoh: tindakan marah dan
menangis atau semacamnya, dapat dikatakan masuk akal sekalipun tindakan tersebut
mungkin tidak rasional.
2. Isi empiris. Kebenaran ilmiah perlu diuji dengan kenyataan yang ada, bahkan sebagian
besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah, berkaitan dengan kenyataan empiris di alam ini.
Hal ini tidak berarti bahwa dalam kebenaran ilmiah, spekulasi tetap ada namun sampai
tingkat tertentu spekulasi itu bisa dibayangkan sebagai nyata atau tidak karena sekalipun
suatu pernyataan dianggap benar secara logis, perlu dicek apakah pernyataan tersebut
juga benar secara empiris.
3. Dapat diterapkan (pragmatis). Sifat pragmatis, berusaha menggabungkan kedua sifat
kebenaran sebelumnya (logis dan empiris). Maksudnya, jika suatu “pernyataan benar”
dinyatakan “benar” secara logis dan empiris, maka pernyataan tersebut juga harus
berguna bagi kehidupan manusia. Berguna, berarti dapat untuk membantu manusia
memecahkan berbagai persoalan dalam hidupnya.

Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta dan mengandung isi
pengetahuan. Pada saat pembuktiannya kebenaran ilmiah harus kembali pada status ontologis
objek dan sikap epistemologis (dengan cara dan sikap bagaimana pengetahuan tejadi) yang
disesuaikan dengan metodologisnya. Hal yang penting dan perlu mendapat perhatian dalam
hal kebenaran ilmiah yaitu bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil
persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya masing-masing. Kebenaran
ditemukan dalam pernyataan-pertanyaan yang sah, dalam ketidak-tersembunyian (aleteia).
Kebenaran adalah kesatuan dari pengetahuan dengan yag diketahui, kesatuan subjek dengan
objek, dan kesatuan kehendak dan tindakan. Kebenaran sering dianggap sebagai sesuatu yang
harus “ditemukan” atau direbut melalui pembedaan antara kebenaran dengan ketidakbenaran.
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan

Beberapa teori-teori kebenaran secara umum para ahli mengelompokkan kebenaran itu
pada tiga komponen teori yaitu. Korespondensi, koherensi, dan pragmatis. namun demikian
akan selalu menuai permasalahan di mana ketiga hal tersebut tidak mampu menjadi jawaban
dari suatu kebenaran yang ada. Penulis menganggap bahwa ketiga komponen teori tersebut
tidak dapat bertahan, hal ini dibuktikan dengan banyaknya kebenaran yang ada dan tidak
masuk pengetian dari kelompok kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatis.
Berbagai teori-teori kebenaran yang sebenarnya tidak masuk dalam golongan korespondensi,
koherensi, dan pragmatis . sehingga memang perlu adanya pengelompokan teori guna
memberikan pemahaman tentang teori-teori kebenran yang dapat mengakomodir teori
kebenaran yang ada. Beberapa teori lain yang tidak tergolong dalam komponen teori
koresponsensi, koherensi,dan pragmatis yaitu; teori sintaksis, semantis, non deskriptif,
kebenaran logika yang berlebihan, kebenaran performatif, paradigmatik, proposisi, kebenaran
konsensus (kesepakatan).
II. Saran

Sebagai insan terpelajar maka sepatutnya kita mampu untuk turut berperan dalam
mengembangkan Kebenaran Ilmiah mengimplementasikan hal yang bersifat positif dari
Kebenran Ilmiah tersebut kepada masyarakat luas. Sepatutnya manusia dapat menjaga
lingkungan alam dan lingkungan sosial budaya tersebut tetap berkembang sesuai dengan
kodratnya, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk sosial budaya
DAFTAR PUSTAKA

Ferry Roen. 2011. Teori Kebenaran Ilmiah. http://perilakuorganisasi.com/teori-kebenaran-


ilmiah.html. Dikutip pada tanggal 9 November 2019 jam 3.50.
Sumber di update dari internet tanggal 2/12/2011 pada http://www.sodiycxacun. web.id
/2010/02/kebenaran-ilmiah.html#axzz1fTEn4CbR.

Patawari. Komponen Kebenaran Mutlak dan Kebenaran Relatif Antitesa Terhadap Komponen
Kebenaran Korespondensi, Koherensi, dan Pragmatis. Universitas Indonesia Timur.

https://osf.io › zjvb8 › download

Anda mungkin juga menyukai