Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh


untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para
rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang
diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional,
kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus
dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk
pada instrumen-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan
adalah formulasi hasil aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas
fenomena tersebut.

Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya


mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan,
menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai
kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di
dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha
“memeluk” suatu kebenaran. Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek Instrumen
manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah
kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu.

Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong


pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman
tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-
tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di
2

bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran instrumen, ada
kebenaran mutlak (instrumen). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi,
ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kebenaran?
2. Apa saja jenis-jenis Kebenaran?
3. Apa saja ukuran-ukuran kebenaran?
4. Apa saja sifat-sifat Kebenaran?
5. Apa saja teori-teori Kebenaran?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kebenaran
2. Untuk mengetahui jenis-jenis kebenaran
3. Untuk mengetahui ukuran-ukuran kebenaran
4. Untuk mengetahui sifat-sifat kebenaran
5. Untuk mengetahui teori-teori kebenaran
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-
nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan
pertama yang dialami manusia
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui
indara, diolah pula dengan rasio
3. Tingkat filosofis, rasio dan instrumen murni, renungan yang mendalam mengolah
kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan instrumen, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha
Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan
kepercayaan.
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami
kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu.
Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan
konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis.
Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan
kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan
untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukan oleh
kebenaran. Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema sentral di dalam filsafat
ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai
4

kebenaran. Problematik mengenai kebenaran merupakan masalah yang mengacu pada


tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia (oleh Purwadarminta), ditemukan arti
kebenaran, yaitu:
1. Keadaan yang benar (cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya);
2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul demikian halnya);
3. kejujuran, ketulusan hati;
4. Selalu izin, perkenanan;
5. Jalan kebetulan

B. Jenis-jenis Kebenaran
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami arti
kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu.
Sebaliknya, jika pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksankan
konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis.
Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi
oleh kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan
bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang selalu ditunjukkan oleh
kebenaran tersebut. Dalam usaha mencari kebenaran, dapat dilakukan dengan
beberapa pendekatan dan terdapat beberapa jenis – jenis kebenaran yaitu:
1. Kebenaran epistomologikal
adalah kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia.
Maksudnya yakni kebenaran tersebut berasal dari kemampuan manusia dalam
mempelajari alam lewat panca indra dan pikirannya. Dalam menemukan kebenaran
tersebut, mereka menggabungkan segala kejadian yang ditemuinya bersifat rasional
maupun secara empiris.
Ada empat teori yang menjelaskan tentang kebenaran epistemologi yaitu yang
pertama adalah teori korespondensi, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah
5

kemanunggalan antara subyek (esensi yang diberikan) dengan obyek (esensi yang
melekat pada obyeknya). Kedua adalah teori koherensi yang menyatakan bahwa
kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-
putusan sebelumnya yang telah diketahui dan diakui kebenarannya terlebih dahulu.
Disebut koheren jika memenuhi empat syarat penegrtian yang bersifat psikologis,
logis, kepastian dan keyakinan tidak dapat dikoreksi dan kepastian yang dignakan
dalam pembicaraan umum. Teori kebenaran yang ketiga adalah pragmatisme
kebenaran yang menyatakan bahwa benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil semata-mata
bergantung pada azas manfaat (bersifat fungsional bagi manusia) dan teori terakhir
adalah agama sebagai teori kebenaran. Dalam teori ini sesuatu dinyatakan benar
apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak
Contohnya adalah seseorang melihat ikan yang sedang berenang, secara rasional ikan
tersebut hidup sehingga ia perlu melakukan aktivitas berenang untuk mendapatkan
makanan.
2. Kebenaran ontologikal
adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang
ada maupun diadakan. Maksudnya adalah kebenaran ontologis berkaitan dengan sifat
dasar atau kodrat dari objek. Misalnya kita mengatakan bahwa batu adalah benda
padat yang keras. Ini merupakan sebuah kebenaran yang ontologis, sebab pada
hakikatnya batu merupakan benda padat yang keras.
Manusia yang benar adalah manusia yang mengerti dan sesuai dengan kodrat
dasar kemanusiaanya. Kebenaran ontologis dapat dibedakan menjadi : kebenaran
ontologis essensialis ( menyangkut sifat dasar atau kodrat sesuatu), naturalis
( menyangkut kodrat yang diciptakan Tuhan), artifisial ( menyangkut kodrat yang
diciptakan manusia ).
3. Kebenaran semantikal
adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa.
Kebenaran ini berkaitan dengan pemakaian bahasa. Ini bergantung pada kebebasan
6

manusia sebagai mahluk yang bebas melakukan sesuatu. Bahasa merupakan


ungkapan dari kebenaran.

C. Ukuran kebenaran

Untuk dapat mengatakan sesuatu itu benar atau salah, maka sudahlah pasti
harus ada ukuran kebenarannya. Para tokoh yang berkompeten di bidang ini telah
menentukan ukuran tersebut, yaitu:
1. Koherensi
Teori ini dibangun oleh para pemikir rasional seperti Leibniz, Hegel, dan
Bradley. Pada teori ini suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan
tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang sudah dianggap benar.Secara singkat, paham ini mengatakan
bahwa suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut saling berhubungan
dengan proposisi – proposisi lain yang benar atau makna yang dikandungnya
dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Artinya suatu
proposisi atau makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar apabila
proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide – ide dari proposisi yang
sebelumnya dianggap bernilai benar.1
2. Korespondensi
Pada teori ini, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi pengetahuan
yang dikandungnya bersifat berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang
dituju. Teori ini dipelopori oleh pemikir Bertrand Rusell (1872-1970) dan
kebenaran merupakan kesesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan fakta
aktual atau antara putusan dengan situasi seputar yang diberi interpretasi. Jadi

1 Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, h. 105.
7

dapat dikatakan bahwa suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila


pengetahuan itu mempunyai kesesuaian dengan kenyataan yang diketahuinya.2
3. Pragmatis
Teori ini dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dan kemudian
dikembangkan oleh para ahli filsafat yang berkebangsaan Amerika diantaranya
William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead
(1863-1931), dan C.I. Lewis. Bagi seorang pragmatis mengatkan bahwa
kebenaran merupakan suatu pernyataan yang diukur dengan kriteria dengan
tujuan untuk mengetahui pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis atau tidak.Artinya, suatu pernyataan benar jika pernyataan itu mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Jadi menurut teori ini bahwa suatu
proposisi bernilai benar apabila proposisi itu mempunyai konsekuensi–
konsekuensi praktis seprti yang terdapat secara inhern dalam pernyataan tersebut.3
Meskipun ada pendapat yang lain tentang ukuran kebenaran, namun menurut
penulis tiga hal di atas lah yang lebih kuat pendapatnya.

2 Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, h. 105.
3 Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, h. 106.
8

D. Sifat-sifat Kebenaran
Karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat,
hubungan, dan nilai itu sendiri, maka setiap subjek yang memiliki pengetahuan
akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan yang
lainnya, dan disitu terlihat sifat-sifat dari kebenaran. Sifat kebenaran dapat
dibedakan menjadi tiga hal, yaitu:
1. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan,

Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, dimana setiap pengetahuan


yang dimiliki ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Pengetahuan itu
berupa:

a) Pengetahuan biasa atau disebut ordinary knowledge atau common sense


knowledge. Pengetahuan seperti ini memiliki inti kebenaran yang sifatnya
subjektif, artinya amat terikat pada subjek yang mengenal.
b) Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang
khas atau spesifik dengan menerapkan metodologi yang telah
mendapatkan kesepakatan para ahli sejenis. Kebenaran dalam pengetahuan
ilmiah selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang
penemuan mutakhir.
c) Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui
metodologi pemikiran filsafat, bersifat mendasar dan menyeluruh dengan
model pemikiran analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran yang
terkandung adalah absolute-intersubjektif.
d) Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama.
Pengetahuan agama bersifat dogmatis yang selalu dihampiri oleh
keyakinan yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam kitab suci agama
memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk
memahaminya.
9

2. Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara


atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya.

Implikasi dari penggunaan alat untuk memperoleh pengetahuan


akanmengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetahuan
akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya. Jadi jika membangun
pengetahuan melalui indera maka pembuktiannya harus melalui indera pula.

3. Kebenaran dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan.

Membangun pengetahuan tergantung dari hubungan antara subjek dan


objek, mana yang dominan. Jika subjek yang berperan, maka jenis pengetahuan
ini mengandung nilai kebenaran yang bersifat subjektif. Sebaliknya, jika objek
yang berperan, maka jenis pengetahuannya mengandung nilai kebenaran yang
sifatnya objektif.
Kebenaran dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret
maupun abstrak. Adapun kebenaran dapat berkaitan dengan:

1. Kualitas pengetahuan
Artinya bahwa setiap pengetahuan dimiliki seseorang yang mengetahui
suatu obyek ditinjau dari pengetahuan yang dibangun. Pengetahuan tersebut
berupa :
a) Pengetahuan biasa yang sifatnya subyektif
b) Pengetahuan ilmiah yang bersifat instrument
c) Pengetahuan filasafati yang sifatnya instrumen-intersubyektif
d) Pengetahuan agama yang bersifat instrument
2. Karakteristik cara membangun pengetahuan:
a) Penginderaan
b) Akal instrumen/ ratio/ intuisi
c) Keyakinan
3. Jenis pengetahuan menurut instrumen karakteristik:
a) Pengetahuan indrawi
b) Pengetahuan akal budi
c) Pengetahuan intuitif
10

d) Pengetahuan kepercayaan/ pengetahuan otoritatif


e) Pengetahuan lain-lain
4. Ketergantungan terjadinya pengetahuan, yang artinya bagaimana
hubungan subjek dan objek. Bila yang dominan subjek maka sifatnya
subjektif, sebaliknya bila yang dominan objek maka sifatnya objektif.

E. Teori-teori Kebenaran
Ilmu pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni
kebenaran ilmiah. Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun tidk
semua hal itu langsung kita golongkan sebagai ilmu pengetahuan. Hanya
pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan metode yang
sistematis, melalui penelitian, analisis dan pengujian data secara ilmiah, yang
dapat kita sebut sebagai ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat, terdapat
beberapa teori tentang kebenaran, yakni:
1. Teori Koresondensi / Teori Persesuaian (The Correspondence theory of truth)
Teori ini sampai tingkat tertentu sudah dimunculkan Aristoteles,
mengatakan hal yang ada sebagai tidak ada, atau yang tidak ada sebagai ada,
adalah salah. Sebaliknya, mengatakan yang ada sebagai ada, atau yang tidak ada
sebagai tidak ada, adalah benar. Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar
bagi teori kebenaran sebagai persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian
antara apa yang dikatakan dengan kenyataan.
Jadi suatu pernyataan dianggap benar jika apa yang dinyatakan memiliki
keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam
pernyataan itu. Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa
yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan
salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan
sebagaimana adanya. Atau dapat pula dikatakan bahwa kebenaran terletak pada
kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas
sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian juga disebut sebagai
11

kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan proposisi, atau teori,


ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau teori didukung fakta atau tidak.
Suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan relaitas yang
sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan
menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan
pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori ini, mengungkapkan realitas adalah
hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah. Dalam mengungkapkan realitas itu,
kebenaran akan muncul dengan sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai
benar memang sesuai dengan kenyataan. . Kebenaran adalah kesesuaian
pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi
instrumen.
Dengan demikian ada lima instrumen yang perlu yaitu :
a) Statemaent (pernyataan)
b) Persesuaian (instrumen)
c) Situasi (situation)
d) Kenyataan (realitas)
e) Putusan (judgements)
2. Teori Konsistensi atau Teori Koherensi (The Coherence Theory of Truth)
Jika teori kebenaran sebagai persesuaian dianut oleh kaum empiris, maka
teori yang kedua ini, yaitu teori kebenaran sebagai keteguhan, dianut oleh kaum
rasionalis seperti Leibniz, Benedictus Spinoza, Descartes, George Hegel, dlsb.
Menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara
proposisin dengan kenyataanmelainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan
proposisi yang sudah ada. Maka suatu pengetahuan, teori, pernyataan, proposisi,
atau hipotesis dianggap benar jika proposisi itu meneguhkan dan konsisten dengan
proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Bagi kaum rasionalis, pengetahuan
tidak mungkin instrumen keluar dari pikiran atau akal budi manusia untuk
berhadapan langsung dengan realitas, dan dari situ instrumen diketahui apakah
pengetahuan itu benar atau tidak.Matematika dan ilmu-ilmu pasti lainnya sangat
menekankan teori ini.
12

Menurut para penganut teori ini, mengatakan bahwa suatu pernyataan atau
proposisi benar atau salah, adalah mengatakan bahwa proposisi itu berkaitan dan
meneguhkan proposisi atau pernyataan yang lain atau tidak. Dengan kata lain,
pernyataan itu benar jika pernyataan itu cocok dengan instrumen pemikiran yang
ada. Maka kebenaran sesunguhnya hanya berkaitan dengan implikasi logis dari
instrumen pemikiran yang ada. Misalnya: (1) Semua manusia pasti mati; (2)
Sokrates adalah manusia; (3) Sokrates pasti mati.
3. Teori Pragmatisme (The Pragmatic Theory of Truth)
Teori pragmatis tentang kebenaran ini dikembangkan dan dianut oleh para
pilosof pragmatis dari Amerika seperti Charles Sanders Pierce dan William
James. Bagikaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan kegunaan. Jadi, ide,
konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang
benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang—berdasarkan ide
itu—melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna.
Dengan kata lain, berhasil dan berguna adalah instrumen utama untuk
menentukan apakah suatu ide benar atau tidak. Contohnya, ide bahwa kemacetan
di jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang
ditumpangi satu orang. Maka, konsep solusinya, “wajibkan kendaraan pribadi
ditumpangi minimal oleh tiga penumpang”. Ide tersebut benar jika ide itu berguna
atau berhasil memecahkan persoalan kemacetan.
Piecre mengatakan bahwa ide yang jelas dan benar mau tidak mau
mempunyai konsekuensi praktis pada tindakan tertentu. Artinya, jika ide itu
benar, maka ketika diterapkan akan berguna dan berhasil untuk memecahkan
suatu persoalan dan menentukan perilaku manusia. William James
mengembangkan teori pragmatisnya dengan berangkat dari pemikirannya tentang
“berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir bukan untuk menangkap kenyataan
tertentu, melainkan untuk membentuk ide tertentu demi memuaskan kebutuhan
atau kepentingan manusia.
Oleh karena itu, pernyataan penting bagi James adalah jika suatu ide
diangap benar, apa perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini dibandingkan
dengan ide yang tidak benar. Apa konsekuensi praktis yang berbeda dari ide yang
13

benar dibandingkan dengan ide yang keliru. Menurut William James, instrumen
teori yang benar adalah instrumen teori yang berguna dan berfungsi memenuhi
tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya, ide yang salah, adalah ide yang tidak
berguna atau tidak berfungsi membanu kita memenuhi kebutuhan kita.
Dengan demikian bagi William James, ide yang benar adalah ide yang
dalam penerapannya paling berguna dan paling behasil memungkinkan manusia
bertindak atau melakukan sesuatu. Artinya, jika ide tertentu itu benar, maka ide itu
akan berguna dan berhasil membantu manusia untuk bertindak secara tertentu.
Maka kebenaran, sama dengan berguna atau kebergunaan. Ide yang berguna
lalu berarti ide yang benar dan sebaliknya. Ini berarti pula, suatu ide yang benar
akan memungkinkan kita dan menuntun kita untuk sampai pada kbenaran, atau
memungkinkan kita untuk sampai pada apa yang diklaim dalam instrumen
pernyataan tersebut. Contohnya, ide tentang kinerja sebagai berbanding lurus
dengan reward atau appraisal. Ide ini benar jika naiknya jaminan bagi pekerja
ternyata meningkatkan kinerja atau produktifitas pekerja. Benar, dengan
demikian, sama artinya dengan berfungsi, berlaku.
Ide yang benar adalah ide yang berfungsi dan berlaku membantu manusia
bertindak secara tertentu secara berhasil. Maka menurut Jhon Dewey dan William
James, ide yang benar sesungguhnya adalah instrumen untuk bertindak secara
berhasil. Kebenaran yang terutama ditekankan oleh kaum pragmatis ini adalah
kebenaran yang menyangkut “pengetahuan bagaimana” (know-how).
Suatu ide yang benar adalah ide yang memungkinkan saya berhasil
memperbaiki atau menciptakan sesuatu. Dalam hal ini, kaum pragmatis
sesungguhnya tidak menolak teori kebenaran dari kaum rasionalis maupun teori
kebenaran kaum empiris. Hanya saja, bagi mereka suatu kebenaran apriori hanya
benar bila kalau kebenaran itu berguna dalam penerapannya yang memunginkan
manusia bertindak secara efektif. Demikian pula, tolok ukur kebenaran suatu ide
bukanlah realitas statis, melainkan realitas tindakan. Jadi, keseluruhan kenyataan
yang memperlihatkan kebergunaan ide tersebut.
14

4. Kebenaran Religius atau teori kebenaran performatif (The Performative


Theory of Thruth)
Teori ini terutama dianut oleh filsuf seperti Frank Ramsey, Jhon Austin,
dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori klasik bahwa “benar”
dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu (deskriptif).
Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang
dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun justeru inilah yang ingin ditolak
oleh para filsuf ini.
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan
realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan
realitas, tetapijusteru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang
diungkapkan dalam pernyataan itu. Misalnya, “Dengan ini saya mengangkat anda
sebagai manager perusahaan TX”. Dengan pernyataan itu tercipta sebuah realitas
baru yaitu anda sebagai manager perusahaan TX.
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan
antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan
maka itu benar. Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasion dan kemauan
individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat
manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari
Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Nilai kebenaran mutlak yang bersumber
dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional dan superindividual.
Bahkan bagi kaum instrumen kebenarn aillahi ini adalah kebenaran tertinggi.
5. Teori Kebenaran Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada instrumen atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung
instrumen tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan
bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh
kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang
telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini
disebut instrumen oleh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa
yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan
15

kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu instrumen
bersama.
Masyarakat sains mencapai instrumen yang kokoh karena adanya
instrumen. Pengujian suatu instrumen terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-
larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Falsifikasi terhadap
sesuatu akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya
instrume. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi .
Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan
kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau
ketidaksesuaian antara fakta dan teori.
16

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa kebenaran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian
pula tingkatan validitas. Kebenaran ditentukan oleh potensi subyek yang
berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu. Bahwa kebenaran itu adalah
perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu terutama
yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai
(norma dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum.
Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang
berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang
merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r asio, intelektual). Bahwa
substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam
semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang
menjangkaunya. Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di
dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam
kehidupan manusia.

B. SARAN

Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat


bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan
yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh
dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan
saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah
selanjutnya.
17

DAFTAR PUSTAKA

Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya Di Indonesia, Jakarta: Bumi


Aksara, 2010.

Anda mungkin juga menyukai