PENDAHULUAN
2. Bagaimana kajian empirik, logika, etika, estetika, dan metafisika dalam penelitian
ilmiah?
3. Bagaimana pertanggungjawaban etika dari para ilmuwan?
1.3 Tujuan
Penyusunan makalah ini memiliki tujuan :
1. Memahami tingkatan kebenaran yang perlu dicapai dalam penelitian ilmiah
2. Memahami kajian empirik, logika, etika, estetika, dan metafisika dalam penelitian
ilmiah
3. Memahami pertanggungjawaban etika dari para ilmuwan
BAB 2
TINGKATAN KEBENARAN DALAM PENELITIAN ILMIAH
2.1.
Empirik
Penelitian ilmiah pada tahap empiris menitikberatkan pada bagaimana penelitian ilmiah
dapat dikatakan benar apabila bisa dibuktikan dengan empiris atau sesuai dengan pengamatan
indera. Tahapan pembahasannya adalah dimulai dengan teori kebenaran, selanjutnya membahas
mengenai penelitian ilmiah, kemudian kebenaraan penelitian ilmiah pada tahap empiris.
Kebenaran
Kebenaran kata yang begitu unik untuk dikaji dalam lingkup filsafat. Kebenaran berasal
dari kata dasar benar yang berarti 1) sesuai sebagaimana adanya (seharusnya); betul; tidak salah;
2) tidak berat sebelah; adil; 3) lurus (hati); 4) dapat dipercaya (cocok dengan keadaan
sesungguhnya); tidak bohong; 5) sah; 6) sangat; sekali; sungguh, (KBBI). Inilah yang menjadi
dasar pengertian kebenaran. Lantas apa yang menjadi pengertian dari kebenaran dalam ranah
filsafat ilmu (Ontologi)? Epistemologi, cara mendapatkan pengetahuan yang benar dengan
sarana berpikir ilmiah sehingga mempunyai nilai kegunaan (aksiologi). Dari ketiga paradigma
filsafat ilmu tentang kebenaran lahirlah empat teori kebenaran, yaitu:
a. Teori Korespondensi, kebenaran atau sesuatu keadaan benar itu terbukti benar bila ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan/pendapat dengan objek yang
dituju/dimaksud oleh pernyataan/pendapat tersebut.
b. Teori Koherensi, Menganggap suatu pernyataan benar bila didalamnya tidak ada
pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah
dianggap benar
c. Teori Pragmatisme, menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memiliki
kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia
d. Teori Kebenaran Illahiah atau agama, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren
dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
Dari kempat teori kebenaran tersebut penulis berpendapat bahwa sesungguhnya
kebenaran Illahiyah lah yang mengakomodir semua teori yang lain. Bukankah kebenaran teori
Illahiyah termasuk pada tataran keempat teori tersebut. Tentulah bijak apabila dalam dunia
Islam teori kebenaran pengetahuan berpangkal pada teori ini, karena sesungguhnya tidak
bertentangan dengan Teori kebenaran Korespondensi, Koherensi dan Pragmatisme. Dalam
Islam tidak ada satu wahyupun yang bertentangan dengan realitaas yang ada, tidak juga
ditemukan dalam Wahyu (Al-Quran) antara satu dengan lainnya dan juga dalam wahyu telah
banyak diinformasikan pengetahuan yang didasarkan pada kemanfaatan bagi kehidupan
manusia.
Karena Setiap orang menginginkan suatu kebenaran. Kebenaran menjadi sebuah
kebutuhan pokok untuk meyakinkan seseorang ketika diambang sebuah kebingungan dari
sebuah konsep yang masih meragukan. Lalu apa sebenarnya sebuah kebenaran itu? Secara jelas
Depdikbud (1995) menyatakan bahwa kebenaran merupakan keadaan (hal dan sebagainya) yang
cocok dengan keadaan yang sesungguhnya atau sesuatu yang sungguh-sungguh. Dari penjelasan
itu dapat dikatakan bahwa kebenaran adalah soal kesesuaian sebagai kenyataan yang
sesungguhnya. Benar atau salahnya sesuatu adalah masalah sesuai atau tidaknya tantang apa
yang dikatakan dengan kenyataan sebagaimana adanya. Pandangan lain tentang kebenaran
3
dinyatakan oleh Mudyahardjo (2002:49) bahwa kebenaran terletak pada kesesuaian antara
subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realita sebagaimana adanya. Misalnya,
setiap orang mengatakan bahwa matahari merupakan sumber energi adalah suatu pernyataan
yang benar, karena pernyataan itu dapat didukung oleh kesesuaian terhadap kenyataan.
Makna kebenaran dibatasi pada kekhususan makna kebenaran keilmuan (ilmiah).
Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif),
sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239). Sedangkan
Davis (J.S. Sumantri:76) kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan, dan diturunkan dari
kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut.
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu
dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan
demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian
kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah
semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni,
1985:235). Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian
antara pengetahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus
yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat
akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian
seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden, dengan
kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini
terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu
terdapat diluar jangkauan manusia.
Mouly (Sumantri, 2009:96) konsep ilmu sebagai suatu rangkaian dari perkiraan
kebenaran, di mana kebenaran ini jarang sekali, bahkan mungkin takkan pernah, dapat dicapai,
tidaklah memuaskan bagi mereka yang memandang ilmu sebagai sesuatu yang absolut dan
mereka yang tidak bisa menghargai bahwa apa yang mampu dilakukan oleh ilmu hanyalah
memberikan kita pengertian yang lebih dalam.
Penelitian ilmiah
Tugas manusia pada dasarnya adalah mengerti segenap gejala yang ditemuinya dalam
kehidupan untuk mampu menghadapi masalah-masalah yang ditimbukannya, Mouly (Sumantri,
2009:91). Dimulai dengan animisme, dimana manusia primitif ketika mendengar petir dan
melihat kilat yang menyambar-nyambar diikuti dengan hujan deras serta mungkin disertai
dengan banjir, harus merenung dengan penuh kebingungan kapan semua ini berhenti dan
apakah sebenarnya yang sedang terjadi. Kegaiban penuh pekat dalam setiap gejala yang terjadi.
Dasar kegaiban itulah yang hanya dijadikan patokan manusia primitif pada zamannya. Lambat
laun beralih pada proses memahami dengan menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan
sebab-musabab alam, suatu langkah yang paling penting yang menandai permulaan ilmu
sebagai suatu pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah.
Penelitian dapat digolongkan menjadi dua, sesuai dengan ukuran kualitasnya yaitu
penelitian tidak ilmiah dan penelitian ilmiah. Penelitian tidak ilmiah mempunyai ciri-ciri
dilakukan tidak sistematik, data yang dikumpulkan dan cara-cara pengumpulan data bersifat
subyektif yang sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan dari si peneliti. Karena itu
penelitian tidak ilmiah adalah penelitian yang coraknya subyektif. Sedangkan penelitian ilmiah
adalah suatu kegiatan yang sistematik dan obyektif untuk mengkaji suatu masalah dalam usaha
untuk mencapai suatu pengertian mengenai prinsip-prinsipnya yang mendasar dan berlaku
umum (teori) mengenai masalah tersebut. Penelitian yang dilakukan, berpedoman pada berbagai
informasi (yang terwujud sebagai teori-teori) yang telah dihasilkan dalam penelitian-penelitian
terdahulu, dan tujuannya adalah untuk menambah atau menyempurnakan teori yang telah ada
mengenai masalah yang menjadi sasaran kajian.
4
Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu
penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian
ilmiah. Umumnya ada lima karakteristik penelitian ilmiah, yaitu sistematik, logik, empirik,
objektif, replikatif. Mengacu pada karakteristik penelitian ilmiah pastilah memakai metode
penelitian. Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan
dan kegunaan tertentu.
Tingkatan kebenaran empirik dalam penelitian ilmiah
Zaman Aristoteles mempunyai tradisi epistemologi yang kuat untuk mendasarkan diri
kepada pengalaman manusia, dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang
mutlak tersebut. Pengalaman menjadi pegangan yang teguh tentang pengetahuan yang didapat
oleh manusia, dengan kata lain manusia memiliki pengetahuan ketika dia mengalami. Jika
kitaingn memberitahu tentang kejadiaan tertentu maka harus disiapkan fakta-fakta yang akan
membuat mereka berterima dengan cara
Mengacu pada karakteristik penelitian ilmiah salah satunya empirik, artinya suatu
penelitian biasanya didasarkan pada pengalaman sehari-hari (fakta aposteriori, yaitu fakta dari
kesan indra) yang ditemukan atau melalui hasil coba-coba yang kemudian diangkat sebagai
hasil penelitian. Adapun landasan penelitian penelitian empirik ini diantaranya: hal-hal empirik
selalu memiliki persamaan dan perbedaan (ada penggolongan atau perbandingan satu sama
lain); hal-hal empirik selalu berubah-ubah sesuai dengan waktu; hal-hal empirik tidak bisa
secara kebetulan, melainkan ada penyebabnya (ada hubungan sebab akibat).
2.2.
Logika
Logika berasal dari bahasa Yunani, dari kata sifat "logike" yang berhubungan dengan
kata benda "logos" yang berarti 'perkataan' atau 'kata' sebagai manifestasi dari pikiran manusia.
Dengan demikian terdapatlah suatu jalinan yang kuat antara pikiran dan kata yang
dimanifestasikan dalam bahasa. Secara etimologis dapatlah diartikan bahwa logika itu adalah
ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
Logika adalah ilmu yang merumuskan tentang hukum-hukum, asas-asas, aturan-aturan
atau kaidah-kaidah tentang berpikir yang harus ditaati supaya kita dapat berpikir tepat dan
mencapai kebenaran. Atau dapat pula didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
mempelajari aktivitas akal atau rasio manusia dipandang dari segi benar atau salah (Salam,
1988: 2). Dari sini dapat diketahui bahwa tugas logika adalah memberikan penerangan
bagaimana orang seharusnya berpikir, dan obyek formal logika adalah mencari jawaban tentang
bagaimana manusia dapat berpikir dengan semestinya (Poedjawijatna, 1986: 15).
Dari definisi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa, dilihat dari metodenya dapat
dibedakan atas logika tradisional dan logika modern (Harjosatoto dan Asydi, 1979: 16-23).
Logika tradisional adalah logika Aristoteles dan logika dari logika logikus yang lebih kemudian,
tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para logikus sesudah Aristoteles tidak
membuat perubahan atau menciptakan sistem baru dalam logika kecuali hanya membuat
komentar yang menjadikan logika Aristoteles lebih elegan dengan sekadar mengadakan
perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak penting dari logika Aristoteles. Logika
modern tumbuh dan dimulai pada abad VIII. Mulai abad ini ditemukan sistem baru, metode
baru yang berlainan dengan sistem logika Aristoteles.
Apabila logika tersebut dilihat dari obyeknya akan dikenal sebagai logika formal dan
logika material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda, yakni
cara berfikir dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut
berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian
5
(tidak adanya pertetangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumusrumus, patokan-patokan berfikir benar. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam logika
material, yang mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil
pekerjaan logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris. Cabang logika
formal disebut juga logika minor, logika material disebut logika mayor. Hal inilah yang
merupakan inti daripada logika.
Proses berfikir yang ada pada diri manusia adalah berdialog dengan diri sendiri dalam
batin dengan manifestasinya adalah mempertimbangkan merenungkan, menganalisis,
menunjukan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, menggolong-golongkan, membandingbandingkan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan pikiran, mencari kausalitasnya,
membahas secara realitas dan sebagainya (Salam, 1997: 1).
Dengan berpikir, merupakan suatu bentuk kegiatan akal atau rasio manusia dengan
pengetahuan yang kita terima melalui pancaindera diolah dan ditujukan untuk mencapai suatu
kebenaran. Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan
manifestasinya yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, menunjukkan alasanalasan, membuktikan sesuatu, menggolong-golongkan, membanding-bandingkan, menarik
kesimpulan, meneliti suatu jalam pikiran, mecari kausalitasnya, membahas secara realitas dan
lain-lain.
Di dalam aktivitas berpikir itulah ditunjukkan dalam logika wawasan berpikir yang tepat
atau ketepatan pemikiran/kebenaran berpikir yang sesuai dengan penggarisan logika yang
disebut berpikir logis.
Agar pemikiran dan penalaran kita dapat berdaya guna dengan membuahkan
kesimpulan-kesimpulan yang benar, valid dan sahih, ada tiga syarat pokok yang harus dipenuhi,
yaitu sebagai berikut:
1) pemikiran haruslah berpangkal pada kenyataan atau kebenaran;
2) alasan-alasan yang dikemukakan haruslah tepat dan kuat; dan
3) jalan pikiran haruslah logis.
Berkaitan dengan hal tersebut, logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa
golongan tergantung dari mana kita meninjaunya. Dilihat dari segi kualitasnya, logika dapat
dibedakan menjadi logika naturalis, yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akan
bawaan manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan
hukum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat
membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua
kenyataan yang bertetangan tidaklah sama.
Kemampuan berlogika naturalis pada tiap-tiap orang berbeda-beda tergantung dari
tingkatan pengetahuannnya. Kita dapati para ahli pidato politikus dan mereka yang terbiasa
bertukar pikiran dapat mengutarakan jalan pikiran dengan logis, meskipun barangkali mereka
belum pernah membuka buku logika sekalipun. Tetapi dalam menghadapi yang rumit dan dalam
berfikir manusia banyak dipengaruhi oleh kecenderungan pribadi, disamping bahwa
pengetahuan manusia terbatas mengakibatkan tidak mungkin terhindar dari kesalahan. Untuk
mengatasi kenytaan yang tidak dapat ditanggulangi oleh logika naturalis, manusia menyususn
hukum-hukum, patokan-patokan, rumus-rumus berfikir lurus. Logika ini disebut logika
artifisialis atau logika ilmia yang bertugas membantu logika naturalis. Logika ini memperluas,
mempertajam serta menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien,
mudah dan aman sehingga tercapai tujuan dari apa yang diinginkan.
Dari hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa logika adalah salah satu cabang atau
bagian dari filsafat ilmu yang mempelajari tentang aktivitas akal atau rasio manusia dipandang
dari segi benar atau salah. Atau dengan kata lain, filsafat ilmu sebagai penopang dalam
kerangka menggunakan rasio guna berpikir agar tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah etika,
moral dan kesusilaan. Dengan kata lain hubungan filsafat ilmu dengan logika adalah filsafat
ilmu sebagai tolak ukur atau alat penilaian dari proses menggunakan rasio.
6
Model Logika
Secara historis, istilah logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium (Russel,
1974: 206). Kaum sofis Skortes dan Plato harus dicatat sebagai perintis lahirnya logika. Logika
lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprotus dan kaum Stoa.
Dalam perjalanannya, istilah logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan
tergantung dari mana kita meninjaunya. Dilihat dari segi kualitasnya, logika dapat dibedakan
menjadi logika naturalis, yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akan bawaan
manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai dengan hukum-hukum
logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat membedakan bahwa
sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan yang
bertetangan tidaklah sama.
Adapun jika dilihat dari metodenya dapat dibedakan atas logika tradisional dan logika
modern. Logika tradisional adalah logika Aristoteles, dan logika dari logika logikus yang lebih
kemudian, tetapi masih mengikuti sistem logika Aristoteles. Para logikus sesudah Aristoteles
tidak membuat perubahan atau menciptakan sistem baru dalam logika kecuali hanya membuat
komentar yang menjadikan logika Aristoteles lebih elegan dengan sekedar melakukan
perbaikan-perbaikan dan membuang hal-hal yang tidak penting dari logika Aristoteles
Jika dilihat dari obyeknya dikenal sebagai logika formal dan logika material. Pemikiran
yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda, yakni cara berfikir dari umum ke
khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif
dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya
pertetangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokanpatokan berfikir benar.
Logika formal Aristoteles, yang dikenal dengan nama "syllogisme". Syllogisme adalah
suatu bentuk penarikan kesimpulan atau konklusi secara deduktif dan tidak langusng yang
kesimpulan atau konklusinya ditarik dari dua buah premis yang disediakan sekaligus. Yang
penting kita ketahui dari syllogisme dan bentuk-bentuk inferensi atau penalaran deduktif yang
lain adalah bahwa masalah-masalah kebenaran dan ketidak benaran pada premis-premis yang
selalu diambil adalah yang benar. Ini berarti bahwa konklusi memang sudah didasari oleh
kondisi kebenaran. Jadi syllogisme hanya mempersoalkan 'kebenaran formal' (kebenaran
bentuk) tanpa mempersoalkan 'kebenaran material' (kebenaran isi).
Sebuah sylogisme terdiri atas tiga buah proposisi, yaitu dua buah proposisi yang
diberikan atau disajikan dan sebuah proposisi yang ditarik dari kedua proposisi yang disajikan
itu. Proposisi yang disajikan disebut 'premis mayor' dan 'premis minor' dan kesimpulan yang
ditarik disebut 'konklusi'.
Disamping logika tersebut ada pula logika deduktif yaitu bertolak dari asumsi
umum(teori) menuju kepembuktian secara khusus (fakta empiris). Penalaran deduktif adalah
kegiatan berpikir yang berlawanan dengan penalaran induktif. Deduksi adalah penalaran atau
cara berpikir yang bertola dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum, menarik kesimpulan
yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya memakai pola berpikir
yang disebut syllogisme. Syllogisme tersusun dari dua buah pernyataan (premise) dan sebuah
kesimpulan (konklusi).
Logika induktif yaitu berdasarkan fenomena khusus (fakta empiris), menuju kesimpulan
secara umum (teori yang berlaku umum). Induksi sangat erat hubungannya dengan metode
ilmiah (scientific method), bahkan merupakan dasar daripada metode ilmiah.
Induktif atau logika induktif adalah penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata
(khusus) menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Penalaran ini diawali dengan
mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas
dalam menyusun argumentasi dan diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.
Ilmuan dan keilmuan, karenanya, perlu didasarkan pada sebuah sikap kesadaran etis yang kuat.
Kesadaran etis dalam keilmuan berlangsung, baik mulai dari tahap upaya pencaharian dan
penentuan kebenaran maupun sampai pada tahap penerapan hasilnya dalam bentuk
pembangunan. Ciri etis yang mendasari proses tersebut merupakan sebuah kategori moral
keilmuan yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Sikap etis yang demikian bukan saja
merupakan sebuah jalan pemikiran bagi sang ilmuwan, tetapi justru lebih merupakan totalitas
jalan hidupnya, dalam sebuah tanggung jawab keilmuan yang utuh. Etika keilmuan dan moral
keilmuan, meskipun berbeda, karena etika keilmuan mendasari diri pada sikap kritis dalam
melakukan keputusan secara bebas sementara moral keilmuan mendasari diri pada perintah
moral atau kewajiban-kewajiban yang patut diikuti, namun keduanya memiliki kesamaan dalam
hal kemutlakan sikap keilmuan yang tegas terhadap kebenaran.
Etika keilmuan merupakan sesuatu dorongan kejiwaan yang nyata-nyata mempengaruhi
dan menentukan bagaimana ilmuwan mendekati dan melakukan kegiatan keilmuannya
(memproses kebenaran dan menerapkan kebenaran keilmuan) secara kritis dan bertanggung
jawab. Etika keilmuan, dalam hal ini, sangat berhubungan dengan semangat dan sikap batin
(kehendak batin) para ilmuwan yang bersifat tetap dalam dirinya untuk bersikap; adil, benar,
jujur, bertanggung jawab, setia, dan tahan uji dalam mengembangkan ilmu, baik untuk
kepentingan keilmuan secara luas maupun untuk penerapannya dalam membangun kehidupan.
Jadi, etika keilmuan mengandaikan adanya kehendak batin yang kuat sebagai sebuah tuntutan
moral yang harus direalisasikan dalam rangka tugas keilmuan,
Khazanah pengetahuan yang sangat banyak isinya seharusnya dipandang sebagai
informasi tambahan untuk menafsirkan norma-norma etika secara lebih benar dan relevan.
Tetapi semakin nayak ilmuwan yang menganggap mereka sungguh-sungguh tunamoral, tak
beretika dan tak bertanggung jawab terhadap masyarakat , jika terjerat oleh rayuan dana
penelitian dan penggembangan yangb sangat besar, contonya yang disediakan oleh angkatan
bersenjata dan perusahaan multinasional raksasa, asal ia mau pura-pura buta terhadap
penyalahgunaan hasilhasil keilmuannya
Contoh kongkrit terjadi pada saat perang dunia yaitu tak lain dari Einstein sendiri
sarjana yang pertama menunjukan kemungkinan untuk memperoleh tenaga yang sangat besar
dengan menyadapnya dari massa yang sangat kecil yang dengan pedasnya mengecam penerapan
dan penyalahgunaan senjata nuklir. Ia melancarkan kecamannya dalam tahun 1950: Kita telah
muncul (sebagai pemenang pen.) dari suatu peperangan yang telah memaksa kita menerima
standar etika musuh yang begitu merendahkan martabat manusia. Tetapi sebaliknya daripada
merasa terbebaskan dari standar musuh itu sehingga leluasa memulihkan kekudusan jiwa
manusia dan keamanan rakyat yang tak bertempur, pada hakekatnya kita justru mengambil alih
standar yang rendah itu menjadi standar kita sendiri (Christianson, 1971). Ikut merasakan
kemuakan seperti Einstein, Robert Oppenheimer menentang pengembangan bom, suatu sikap
etis yang berani, yang menyebabkannya diinterogasi bagaikan terdakwa oleh Koloni Tenaga
Atom, sehingga kemudian dicap sebagai Risiko Keamanan dan dikucilkan dari segala
kegiatan penelitian nuklir. (Jujun S. Suriasumantri, 2001;242).
Seorang ilmuan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan
untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannnya itu adalah bangsanya sendiri.
Sejarah telah mencatat bahwa ilmuan telah bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya
yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soalsoal menyangkut kemanusiaan para ilmuan tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan
bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal dalam
mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama dan rintangan-rintangan lainnya yang
bersifat sosial.
Diantara para pengecam ini kita kenal, misalnya Jacques Monod (dan 2100 ilmuwan lain
yang menandatangani Deklarasi Menton), Robert March (yang meskipun kalah tetapi sempat
dan masih terus berjuang melawan Himpunan Fisika Amerika (American Physical Society) yang
9
berkuasa dan sok legalistis) dan beberapa belas ilmuwan di Kampus Berkerley (yang
menyelenggarakan rangkaian kuliah tentang tanggung jawab kemasyarakatan para ilmuwan;
Brown, 1971). Di samping itu masih ada lagi, misalnya : para pengikut Summer Science
Institute pertama tentang hubungan timbal balik antara ilmu dan masyarakat (yang
diselenggarakan di Knox College dan menghasilkan seperangkat resolusi tajam), Jonas Salk
yang melontarkan gagasannya tentang sikap humanologis dan berpuluh-puluh ilmuwan dai 50
negara yang bersama membentuk wadah kegiatannya, yakni Perkumpulan demi Tanggung
jawab Keilmuan (Association for Sceintific Responsibility).
Hanya dengan bersikap penuh tanggung jawab etis terhadap masyarakat (baik
masyarakat dewasa ini maupun angkatan-angkatan yang akan datang) ilmu dapat
menghindarkan dirinya dari kehilangan hak istimewanya untuk mengabdi kepada kemanusiaan.
Kalau tidak demikian, maka membayanglah risiko bahwa ilmu akan terkutuk menjadi perkakas
yang berbahaya, yang bergiat demi penghambaannya kepada jenderal-jenderal yang gila perang
dan gembong-gembong kekaisaran industri yang rakus. (Jujun S. Suriasumantri, 2001;243).
Etika keilmuan, sebagai aspek mendasar dalam rangka keilmuan, menjaungkau hal yang
lebih jauh dan mendorong untuk menyelami semakin dalam kemungkinan-kemungkinan
terakhir mengenai hakikat manusia sebagai subyek maupun obyek dalam keilmuan. seorang
ilmuwan, secara moral tidak akan membiarkan kebenaran ilmunya atau hasil penelitiannya
untuk membunuh dan menindas sesama manusia dan merusak alam lingkungannya.
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan
informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat
objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang
dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, beserta sifatsifat lainnya yang tak disebutkan di sini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan
kebenaran secara ilmiah. Di tengah situasi di mana segenap nilai mengalami kegoncangan maka
seorang ilmuwan harus tampil ke depan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan
yang akan memberikan keberanian. Demikian juga dalam masyarakat yang sedang membangun
maka dia harus bersifat sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri teladan.
Aspek etika dari hakikat keilmuan ini kurang mendapatkan perhatian baik dari para
pendidik maupun dari para ilmuwan itu sendiri. Kita cenderung untuk mendidik anak-anak kita
menjadi cerdas tanpa mempersiapkan mereka dengan seksama agar kecerdasan itu dilengkapi
dengan nilai-nilai moral yang luhur. Salah satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan
teknologi. masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia
yang baik. Demikian juga terdapat kebenaran-kebenaran lain di samping kebenaran keilmuan
yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki. Namun bila kaum ilmuwan konsekuen
dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral, maka salah satu
penyangga masyarakat modern itu akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga
keilmuan ini merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuwan. Kita tidak bisa lari
daripadanya sebab hal ini merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun
kita tidak akan pernah kita melarikan diri dari diri kita sendiri.
2.4 Estetika
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang
membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa
merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang
mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan
rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi. Dalam bahasa lain estetika
disebut juga filosophy of art.
10
Keindahan nilai estetis murni ini terdapat pada garis, bentuk, warna dalam seni rupa. Gerak,
tempo, irama dalam seni tari. Suara, metrum, irama dalam seni musik. Dialog, gerak dalam seni
drama. Kedua, nilai ekstra estetis atau nilai tambahan. Nilai ekstra estetis (nilai luar estetis)
yang merupakan nilai tambahan terdapat pada bentuk-bentuk manusia, alam, dan binatang.
Sedangkan nilai seni terdiri dari: nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik, nilai musikal, nilai makna.
Pengalaman Estetis (Aesthetic Experience) pengalaman estetik adalah pengalaman yang
dirasakan oleh penikmat terhadap karya estetik (keindahan). Konteksnya bisa ditujukan untuk
penikmatan karya seni dan keindahan alam. Kant dan beberapa filsuf lain menandaskan bahwa
pengalaman estetik bersifat tanpa pamrih, manusia tidak mencari keuntungan, tidak terdorong
pertimbangan praktis.
2.5 Metafisika
Istilah metafisika juga berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata meta dan
physika. Meta berarti sesudah, selain atau sebaliknya dan physika berarti nyata atau alam. Jadi
metafisika dapat diartikan dibalik alam semesta atau selain yang nyata.
Ada beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang
dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supernatural)
dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata.
Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang
misalnya animisme.
Selain paham di atas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. paham ini amat
bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejalagejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang
terdapat dalam benda itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang
menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka
gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal
yang bersifat gaib itu.
Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa
alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460370 S.M). Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul
dua tafsiran yang saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum
mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika
semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara
substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata.
Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh, metafisika adalah ilmu yang memikirkan
atau membahas hakikat sesuatu di balik alam nyata. Metafisika biasanya dibagi kepada :
metafisika umum atau ontologi dan metafisika khusus yang terdiri dari kosmologi, teologi
metafisik dan filsafat antroplogi (Jan Hendrik Rapar, 1996:44)
Metafisika Umum atau Ontologi
Metafisika umum atau ontologi ini membahas segala sesuatu yang ada secara
menyeluruh dan sekaligus. Pembahasan itu dilakukan dengan membedakan dan memisahkan
eksistensi yang sesungguhnya dari penampakkan atau penampilan eksistensi itu. Pertanyaanpertanyaan ontologis yang utama dan sering diajukan adalah apakah realitas atau ada yang
begitu beraneka ragam dan berbeda-beda itu pada hakikatnya satu atau tidak ?, kalau memang
satu, apakah gerangan yang satu itu ? dan apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala
sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang nampak atau tidak ?. Dalam hal ini ada tiga teori
ontologi yang terkenal, yaitu :
a. Idealisme
12
Teori ini mengajarkan bahwa eksistensi atau ada yang sesungguhnya berada di dunia ide.
Segala sesuatu yang nampak dan maujud dalam alam inderawi hanya merupakan gambaran atau
bayangan dari yang sesungguhnya yang berada di alam ide. Dengan kata lain bahwa realitas
yang sesungguhnya bukanlah yang kelihatan, melainkan yang tidak nampak. Tokoh idealisme
subyektif, George Berkeley (1685-1753) mengatakan bahwa satu-satunya realitas yang
sesungguhnya adalah aku subyektif yang spritual. Baginya tidak ada substansi material dan
sebagainya, seperti kursi dan meja, karena semua itu hanya merupakan koleksi ide yang ada
dalam alam pikiran sejauh yang dapat diserap. G. Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831)
menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada adalah satu bentuk dari satu pikiran.
b. Materialisme
Bagi materialisme ada atau esksitensi yang sesungguhnya adalah sesuatu yang bersifat
material. Artinya realitas yang sesungguhnya adalah kebendaan. Karena itu seluruh realitas
hanya mungkin dijelaskan secara materialistis. Leukippos dan Demokritos mengatakan bahwa
seluruh realitas bukan hanya satu, tetapi terdiri dari banyak unsur, dan unsur-unsur itu tidak
terbagi lagi atau disebut atom (tidak dapat dibagi). Atom itu merupakan bagian materi sangat
kecil yang tidak berkualitas dan senantiasa bergerak karena adanya ruang kosong. Jiwa manusia
pun terdiri dari atom-atom. Sementara Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa seluruh
realitas adalah materi yang tidak bergantung pada gagasan dan pikiran. Setiap kejadian adalah
gerak yang terjadi oleh keharusan, maka seluruh realitas yang tidak lain dari materi itu
senantiasa berada di dalam gerak. Sedangkan Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872)
mengemukakan bahwa materi haruslah menjadi titik pangkal dari segala sesuatu. Baginya, alam
materi adalah realitas yang sesungguhnya. Adapun karena manusia adalah bagian dari alam
material itu, maka manusia adalah satu realitas yang konkret. Agama dan Tuhan, lanjut dia,
hanyalah impian manusia yang begitu egoistis demi meraih kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
c. Dualisme
Ini mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua tipe fundamental yang
berbeda dan tak dapat disatukan kepada yang lainnya, yaitu material dan mental. Dengan
demikian, dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi (yang ada secara fisik) dan
mental (yang ada tidak kelihatan secara fisik).
Ontologi adalah filsafat umum yang juga sering disebut metafisika umum. Ontologi
dapat dipahami sebagai pohon filsafat atau filsafat itu sendiri. Sebagai pohon filsafat, maka
ontologi atau metafisika umum ini mempersoalkan apa yang ada di balik yang ada (hakikat
yang ada), yaitu meliputi pertanyaan tantang hakikat Tuhan sebagai Sang Pencipta alam beserta
isinya.
Cakupan ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah ilmu tentang manusia dan masyarakat,
ilmu alam dan ilmu ketuhanan. Oleh karena itu, filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai
obyek yang sama yaitu sama-sama menyelidiki manusia, alam dan Tuhan, hanya saja
perbedaannya terletak pada kualitas sasaran yang dituju. Kualitas sasaran filsafat bersifat
metafisik (hakikat) secara utuh dan menyeluruh, sedangkan kualitas ilmu pengetahuan hanya
menyelidiki jenis, bentuk, sifat dan susunan fisik menurut bagian-bagian tertentu secara
terpisah.
Tokoh yang membuat istilah ontologi populer adalah Christian Wolff (1679-1714).
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti yang ada dan logi berarti
ilmu pengetahua atau ajran. Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahaun atau ajaran
tentang yang ada. Dalam ontologi ini terdapat beberapa aliran yang penting, yaitu antara lain :
1) dualisme, yang memandang alam ini terdiri dari dua macam hakikat sebagai sumbernya, 2)
monisme (materialisme) yang memandang bahwa sumber yang asal itu hanya tunggal, 3)
idealisme yang memandang segala sesuatu serba-cita atau serba roh, dan 4) aguosticisme yang
mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat seperti yang dikehendaki oleh
ilmu metafisik. (Sudarsono, 2001 : 118)
13
Metafisika Khusus
a. Kosmologi
Kosmologi berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari kata kosmos dan logos. Kosmos
berarti dunia, alam atau ketertiban (lawan dari chaos = kacau balau) dan logos berarti kata atau
ilmu. Jadi kosmologi berarti pembicaraan atau ilmu tentang alam semesta dan ketertiban yang
paling fundamental dari seluruh realitas. Kosmologi memandang alam semesta sebagai suatu
totalitas dari fenomena dan berupaya untuk memadukan spekulasi metafisika dengan evidensi
ilmiah di dalam suatu kerangka yang koheran. Hal-hal yang biasa disoroti dan dipersoalkan
adalah mengenai ruang dan waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan dan
keabadian. Metode yang digunakan bersifat rasional dan justru hal itulah yang membedakannya
dari berbagai kisah asal mula struktur alam.
b. Teologi Metafisik
Teologi metafisik mempersoalkan eksistensi Tuhan, yang dibahas secara terlepas dari
keprcayaan agama. Eksistensi Tuhan hendak dipahami secara rasional. Konsekwensinya, Tuhan
menjadi sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode ilmiah. Apabila
Tuhan dilepaskan dari kepercayaan agama, maka hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh
bisa berupa satu dari beberapa kemungkinan sebagai berikut : (a). Tuhan tidak ada. (b). Tidak
dapat dipastikan apakah Tuhan ada atau tidak. (c). Tuhan ada tanpa dapat dibuktikan secara
rasional. (d). Tuhan ada, dengan bukti rasional
Para filsuf terkenal seperti Anselmus, Descartes, Thomas Aquinas dan Immanuel Kant
telah mebuktikan bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Bukti-bukti rasional yang diutarakan
adalah:
1) Argumen Ontologis. Semua manusia memiliki ide tentang Tuhan. Sementara itu, diketahui
pula bahwa kenyataan atau realitas senantiasa lebih sempurna daripada ide. Dengan demikian,
Tuhan pasti ada dan realitas adaNya pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
2) Argumen Kosmologi. Setiap akibat pasti ada sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat, karena itu
pasti memiliki sebab di luar dirinya sendiri. Penyebab adanya dunia itulah Tuhan.
3) Argumen Teleologis. Segala sesuatu ada tujuannya. Sebagai contoh, mata untuk melihat,
telinga untuk mendengar dan kaki untuk berjalan. Karena segala sesuatu memiliki tujuan, itu
berarti seluruh realitas tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dijadikan oleh yang mengatur
tujuan itu. Pengatur tujuan itu adalah Tuhan.
4) Argumen Moral. Manusia bermoral karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk,
yang benar dan yang salah, dan seterusnya. Itu menunjukkan bahwa ada dasar dan sumber
moralitas. Dasar dan sumber moralitas itu adalah Tuhan.
Skeptisisme secara umum meragukan segala keyakinan yang telah digenggam selama
ini. Menurut aliran ini sesungguhnya tak dapat dipastikan apakah Tuhan itu benar-benar ada
atau tidak mungkin saja ada tapi mungkin juga tidak ada. Skepteisisme merupakan pintu yang
terbuka lebar ke arah ateisme (dalam arti teoritis), yaitu suatu paham yang berupaya
mempertanggungjawabkan secara falsafati keyakinan bahwa Tuhan tidak ada. Karena itu, David
Hume menegaskan bahwa tidak ada bukti yang benar-benar shahih tentang adanya Tuhan dan
bahwa Dia menyelenggarakan dunia ini. Hume menolak eksistensi Tuhan dan kebenaran agama,
bahkan menolak gagasan tentang Tuhan serta menganggap bahwa moralitas semata-mata hanya
perasaan manusia belaka. Terhadap perasaan sendiri, akal sehat tidak memiliki wewenang untuk
mengendalikan atau mengawasinya.
Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa Tuhan memiliki tiga fungsi utama bagi
kehidupan praktis manusia di dunia, yaitu :
a. Tuhan dianggap penguasa alam. Oleh karena itu dengan menyembahNya, manusia akan
dapat mengatasi kecemasannya terhadap alam yang begitu dahsyat.
b. Keyakinan agama memperdamaikan manusia dengan nasibnya yang mengerikan,
terutama setelah kematian
14
c. Tuhan memelihara dan menjaga agar ketentuan dan peraturan kultur akan dilaksanakan.
Kehidupan moral merupakan tempat bagi Tuhan untuk berperan. Segala perbuatan yang
baik akan memperoleh ganjaran dan segala perbuatan yang jahat akan dihukum. Hukuman itu
akan berlangsung nanti setelah kematian, karena di sanalah segala ganti rugi terhadap kesusahan
dan penderitaan akan diperoleh dan kejahatan akan dibalas setimpal dengan perbuatn manusia.
Filsafat Antropologi
Filsafat antropologi adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan apakah
manusia itu?, apakah hakikat manusia? dan bagaimana hubungan dengan alam dan sesamanya?.
Maka filsafat antropologi berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut sebagaimana
adanya, baik menyangkut esensi, eksistensi, status maupun relasi-relasinya.
Kebenaran penelitian Penelitian Ilmiah
Penelitian ilmiah merupakan suatu penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan
sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk
menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. Hakekat penelitian dapat dipahami
dengan mempelajari berbagai aspek yang mendorong penelitian untuk melakukan penelitian.
Setiap orang mempunyai motivasi yang berbeda, di antaranya dipengaruhi oleh tujuan dan
profesi masing-masing. Motivasi dan tujuan penelitian secara umum pada dasarnya adalah
sama, yaitu bahwa penelitian merupakan refleksi dari keinginan manusia yang selalu berusaha
untuk mengetahui sesuatu. Keinginan untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan
merupakan kebutuhan dasar manusia yang umumnya menjadi motivasi untuk melakukan
penelitian.
Dengan uraian mengenai ilmu metafisika di atas, dalam aplikasinya untuk pelaksanaan
penelitian ilmiah maka dapat dijadikan tolak ukur pencapaian tujuan dari sebuah penelitian
ilmiah. Subjek-subjek rasional Habermasian termasuk didalamnya penelitian ilmiah harus
memenuhi prinsip-prinsip universal kebenaran, sebagai subjek metafisik. Subjek metafisik
yakin ada kebenaran objektif, dan filsafat bertugas membuat kategori-kategori kebenaran itu.
Kebenaran menurut mereka bukan sekedar masalah kosa kata, melainkan kebenaran objektif di
luar bahasa.
2.6. Pertanggungjawaban Moral Para Ilmuwan
Perkembangan ilmu bertanggung jawab atas perubahan-perubahan kemasyarakatan yang
terjadi dalam zaman yang baru. Berbicara tentang pertanggungjawaban ilmu atas perubahanperubahan kemasyarakatan tidak hanya terbatas pada pernyataan bahwa ilmu telah
menyebabkan perubahan-perubahan. Ia juga berati bahwa ilmu tetap bertanggung jawab atas
perkembangan selanjutnya. Pertanggung jawaban masa lalu dan masa depan.
Pertanggungjawaban ilmu terhadap hari depan, pertama-tama menyangkut masalah
memperbaiki kembali apa yang oleh campur tangan ilmu telah terganggu. Karena campur
tangan terhadap dunia kenyataan dengan penggunaan ilmu selalu bersifat sepihak. Hal ini
membawa konsekuensi, bahwa pertanggungjawaban ilmiah juga meliputi segala hal lain yang
tidak didasarkan pada ilmu, tetapi yang telah terjadi oleh perbuatan manusia.
Pertanggungjawaban ilmu menimbulkan masalah etikal sekitar tegangan antara
kenyataan yang ada dan kenyataan yang seharusnya ada dan yang tidak secara otomatis terjadi.
Untuk dapat menjalankan dan mengembangkan karya ilmiah, maka para pelakunya,
yakni para ilmuan perlu memiliki sikap rohani tertentu, yakni sikap ilmiah. Prof. Harsoyo
menyebutkan enam sikap yang perlu dimiliki oleh seorang ilmuan yaitu :
1. Obyektifitas, yakni sikap mementingkan obyek penelitiannya secara jujur menjauhkan
karyanya dari faktor-faktor subjektif, kepercayaan, pertimbangan rasional, moral dan
politik.
15
kategori dan criteria yang murni ilmiah. Dimana yang berbicara ialah data dan fakta apa adanya
serta keabsahan metode ilmiah yang dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan
pertimbangan lain diluar itu. Segala faktor ekstra ilmiah harus ditinggalkan. Atau lebih jelasnya
dalam konteks ini ilmu pengetahuan mau tidak mau akan bebas nilai, berkebalikan dengan
Context of discovery. Seorang ilmuwan seharusnya lebih mementingkan Context of
justicication, karena meskipun dalam proses penemuan sebuah hukum ilmiah atau teori ada
berbagai nilai, faktor, dan pertimbangan ekstra ilmiah yang ikut menentukan, tetapi ketika
sampai pada tahap pengujiannya, kebenaran hukum atau teori itu tidak bolehditentukan oleh
faktor di luar ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, pada tahap penemuan ilmu pengetahuan
memang tidak otonom seratu persen. Tetapi pada tahap pengujian, ilmu pengetahuan harus
otonom mutlak.
Watak ilmuwan
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, Karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi dengan cepat dan menjadi lebih mudah. Dan
kenyataan yang tak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu.
Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan,
kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga
manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pendidikan, komunikasi dan
lain sebagainnya. Singkatan ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai
tujuan hidupnya.
Disisi lain ilmu pengetahuan tidak hanya dapat merupakan berkah dan penyelamat bagi
manusia, tetapi juga dapat bersifat negatif yang akhirnya menimbulkan malapetaka. Dengan
kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi yang pada
awalnya untuk memudahkan kerja manusia namun pada akhirnya justru menyulitkan bahkan
menimbulkan malapetaka bagi manusia. Sebagai contoh dalam pembuatan bom kuman yang
dipakai sebahgai alat untuk membunuh sesama manusia. Untuk menghindari berbagai
kemungkinan hal yang bersifat negatif tersebut diperlukan pemahaman tentang ilmu
pengetahuan yang berpihak pada nilai-nilai.
Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat tentu saja tidak lepas dari si Ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan
dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah masyarakat akan membawa pada
persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Maka dari itu, tanggung jawab seorang
ilmuwan haruslah berdasarkan pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung
jawab moral.
Dalam perkembangan keilmuan, seorang ilmuwan harus memahami etika, baik itu
sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan
manusia maupun sebagai suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatanperbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Dari pemahaman tersebut dapat dikatakan bahwa
objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa
etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik dalam suatu
kondisi yang melibatkan norma-norma.
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur
dan teliti. Jalan pikirannya tidak hanya mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga
segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dan diteliti. Hal inilah yang
membedakan antara ilmuwan dengan orang awam. Disinilah ilmuwan sebagai pemeran penting
dalam meluruskan segala pemikiran orang awam yang pada umumnya keliru dalam membuat
suatu asumsi maupun suatu keputusan.
Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi yang etis bagi
seorang ilmuwan. Karakteristik tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis
seorang ilmuwan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan akan
18
berpengaruh pada pandangan moral. Selain memberikan suatu informasi, ilmuwan juga harus
bisa memberikan contoh. Dalam hal ini ilmuwan harus bisa berlaku obyektif, terbuka,
menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar
dan harus bisa mengakui kesalahan.
Landasan moral yang fundamental sangat perlu diperhatikan oleh seorang ilmuwan.
Ilmu harus bersifat netral seperti yang dimaksud oleh Keraf dan Dua bahwa ilmu pengetahuan
harus dikembangkan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan ilmiah murni. Di samping
itu ilmu pengetahuan juga harus berpihak kepada kemanusiaan yang besar dan tidak mengenal
batas geografis, sistem politik, atau sistem kemasyarakatan lainnya. Sebagai kesimpulan,
diperlukan landasan moral yang kukuh untuk mempergunakan ilmu pengetahuan secara
konstruktif terutama untuk para ilmuwan.
19
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standar yang berlaku bagi
semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam pengetahuan.
Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara
umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran
ilmiah yang demikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan
tidak pernah mencapai kesempurnaan, hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan
komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak
mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah.
Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan
dukungan metode serta sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu
benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan
kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta (Lorens Bagus, 1991: 93).
Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu asumsi
metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu cara atau metode yang
sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan
konsekuensi logis dari watak objek. Oleh karena itu pemaksaan standar tunggal pengetahuan
dengan paradigma (metode, dan kebenaran) tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya,
apakah itu demi kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan.
Secara epistemologis kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai
diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran
terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas
sebagaimana adanya (Sonny Keraf, 2002:66).
3.2 Saran
Sebagai saran dari makalah ini adalah sbb:
1. Penelitian ilmiah yang dilakukan mahasiswa dari berbagai jenjang hendaknya betul-betul
memperhatikan aspek empirik, logika, etika, estetika, dan metafisik sehingga hasil penelitian
lebih holistik dan komprehensif.
2. Pertanggungjawaban etika atau moral para ilmuwan adalah aspek terpenting dalam dunia
ilmu pengetahuan dan pendidikan, maka seharusnya para peneliti dan pendidik
memperhatikan betul aspek kejujuran ilmiah dalam setiap karyanya.
3. Bagi mahasiswa pascasarjana hendaknya turut ambil bagian dan selalu melibatkan diri dalam
penelitian-penelitian ilmiah yang berbasis filsafat ilmu.
20
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens. 1991. Kamus Filsafat.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bertran, Russel. 1974. History of Western Philosophy.
London: George Allen dan Unwin.
Burhanuddin, Salam. 1997. Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Rineka Cipta
Gie, The Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu.
Yogyakarta : Liberty.
Jan Hendrik, Rapar. 2001. Pengantar Filsafat.
Yogyakarta: Penerbit Kansius.
K, Bertens.2000. Etika.
Jakarta: Gramedia.
Keraf, A.Sony dan M. Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Nasution, A.H. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains.
Jakarta: Litera AntarNusa
Poedjawijatna. 1986. Logika: Filsafat Berpikir.
Jakarta: Bina Aksara.
Sumartoyo, Harjosatoto dan Endang Daruni Asydi. 1979. Pengantar Logika Modern Jilid I.
Yogyakarta: Karya Kencana.
Suriasumantri, Jujun.S. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
21