Anda di halaman 1dari 8

TUGAS FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran

NAMA : SEBASTIAN HARVEY


NIM : 191022001

UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL


SURYADARMA
PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN

A. Pengetahuan

Salah satu ciri khas manusia adalah sifatnya yang selalu ingin tahu
tentang sesuatu hal. Rasa ingin tahu ini tidak terbatas yang ada pada dirinya,
juga ingin tahu tentang lingkungan sekitar, bahkan sekarang ini rasa ingin
tahu berkembang ke arah dunia luar. Rasa ingin tahu ini tidak dibatasi oleh
peradaban. Semua umat manusia di dunia ini punya rasa ingin tahu
walaupun variasinya berbeda-beda. Orang yang tinggal di tempat peradaban
yang masih terbelakang, punya rasa ingin yang berbeda dibandingkan
dengan orang yang tinggal di tempat yang sudah maju.

Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam


sekitarnya dapat bersifat sederhana dan juga dapat bersifat kompleks. Rasa
ingin tahu yang bersifat sederhana didasari dengan rasa ingin tahu tentang
apa (ontologi), sedangkan rasa ingin tahu yang bersifat kompleks meliputi
bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan mengapa peristiwa itu terjadi
(epistemologi), serta untuk apa peristiwa tersebut dipelajari (aksiologi).

Ke tiga landasan tadi yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi


merupakan ciri spesifik dalam penyusunan pengetahuan. Ke tiga landasan
ini saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan
lainnya. Berbagai usaha orang untuk dapat mencapai atau memecahkan
peristiwa yang terjadi di alam atau lingkungan sekitarnya. Bila usaha
tersebut berhasil dicapai, maka diperoleh apa yang kita katakan sebagai
ketahuan atau pengetahuan.

Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya adalah


dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat.
Persoalan yang muncul tentang bagaimana proses terbentuknya
pengetahuan yang dimiliki oleh manusia dapat diperoleh melalui cara
pendekatan apriori maupun aposteriori. Pengetahuan yang diperoleh melalui

1
pendekatan apriori adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa mengetahui
proses pengalaman, baik pengalaman yang bersumber pada panca indra
maupun pengalaman batin atau jiwa. Sebaliknya, pengetahuan yang
diperoleh melalui pendekatan aposteriori adalah pengetahuan yang
diperolehnya melalui informasi dari orang lain atau pengalaman yang telah
ada sebelumnya.

Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan


berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini
ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan, antara lain:

1. Empirisme

Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui


pengalamannya, kebenaran pengetahuan hanya didasarkan pada fakta-
fakta yang ada dilapangan. Pengetahuan manusia itu dapat diperoleh
melalui pengalaman yang konkret karena gejala-gejala alamiah yang
terjadi dimuka bumi ini adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan
melalui pancaindra manusia.

Berdasarkan teori ini, akal hanya megelola konsep gagasan


inderawi. Sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data
empiris yang diperoleh dari panca indera. Akal tidak berfungsi banyak,
kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.

2. Rasionalisme

Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian


pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan
akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap
objek. Fungsi pancaindera hanya untuk memperoleh data-data dari
alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang
lain. Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional
atau ide-ide universal.

2
Spinoza memberikan penjelasan yang lebih mudah dengan
menyusunn sistem rasionalisme atas dasar ilmu ukur. Dalil ilmu ukur
merupakan dalil kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi. Contohnya
“sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat diantara dua titik”.

3. Intuisi

Intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan


bukan pengetahuan yang nisbi. Intuisi mengatasi sifat lahiriah
pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analisis,
menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara
simbolis. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika.

Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar


untuk menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat
diandalkan. Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesa
bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan
yang dikemukakan. Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling
membantu dalam menemukan kebenaran.

4. Wahyu

Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada


manusia lewat perantara para Nabi. Para Nabi memperoleh
pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa
memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan, mereka
terjadi atas kehendak Tuhan semesta.

Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai


kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang
mencakup masalah transendental. Kepercayaan ini yang merupakan
titik tolak dalam agama lewat pengkajian selanjutnya dapat
menigkatkan atau menurunkan kepercayaan itu.

3
B. Ukuran Kebenaran
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan
yang benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang belum tentu benar bagi
orang lain. Karena itu, kegiatan berpikir adalah usaha untuk menghasilkan
pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenenaran. Pada setiap jenis
pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya, karena sifat dan watak
pengetahuan itu berbeda.

Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan itu adalah


untuk mencapai kebenaran, namun kebenaran inilah yang memacu tumbuh
dan berkembangnya epistimologi (teori tentang hakikat dan ruang lingkup
pengetahuan). Telaah epistimologi terhadap kebenaran, membawa orang
kepada suatu kesimpulan bahwa perlu dibedakan adanya tiga jenis
kebenaran, yaitu Kebenaran epistimologis adalah kebenaran yang
berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis
adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala
sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantik adalah
kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa.

kebenaran ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan


mengenai objek. Sedangkan pengetahuan bersal mula dari banyak sumber.
Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran
kebenaran. Berikut ini adalah teori-teori kebenaran.

1. Teori kebenaran korespondensi (Correspondence Theory of Truth)

Correspondence Theory of Truth yang kadang disebut dengan


accordance theory of truth, adalah teori yang berpandangan bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap
fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan
tersebut. Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian
(correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau

4
pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyaan atau pendapat tersebut.
(Suriasumantri, 2000. h:57)

2. Teori kebenaran koheren (Coherence Theory of Truth)

Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan


kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut
benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-
pernyataan yang berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran
tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain,
yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusanputusan itu
sendiri. Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara
suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah
lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. (Bakhtiar,
2012. h:116)

3. Teori Pragmatisme (The pramagtic theory of truth.)

Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya yang


dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat
yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat. (Susanto,
2011. h: 86) Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan
bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah,
personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung
kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk
kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional
dalam kehidupan praktis. (Suriasumantri, 2000. h:58)

4. Teori Performati

Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar


jika ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah
pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi justeru dengan
pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam
pernyataan itu. Teori ini disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan

5
kebenaran satu tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan.
(Suriasumantri, 2000. h:59) Misalnya, “Dengan ini saya mengangkat
anda sebagai manager perusahaan “Species S3”. Dengan pernyataan itu
tercipta sebuah realitas baru yaitu anda sebagai manager perusahaan
“Species S3”, tentunya setelah SKnya turun. Di sini ada perbuatan yang
dilakukan bersamaan dengan pengucapan kata-kata itu. Dengan
pernyataan itu suatu penampilan atau perbuatan (performance)
dilakukan.

5. Agama sebagai Teori Kebenaran

Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai


makhluk yang suka mencari kebenaran. Salah satu cara untuk
menemukan suatu kebenaran adalah agama. Agama dengan
karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan
asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun
tentang Tuhan. Dalam mendapatkan kebenaran menurut teori agama
adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan. (Bakhtiar, 2012. h:121)

Manusia dalam mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam


agama denngan cara mempertanyakan atau mencari jawaban berbagai
masalah kepada kitab Suci. Dengan demikian, sesuatu hal dianggap
benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentuk
kebenaran mutlak.

Daftar Pustaka

Suriasumantri, Jujun S. (2000), Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.

Bakhtiar, Amsal. (2012). Filsafat Ilmu, Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

6
Susanto, A. (2011). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistemologis dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara.

Lubis, Akhyar Yusuf. (2014). Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontempore. Jakarta:
Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai