Anda di halaman 1dari 8

Karakteristik Sunnah Nabi

As-Sunnah merupakan penafsiran dari al-Qur`an secara faktual. Tentu saja ini karena
dalam diri Nabi saw ada perwujudan al-Qur`an dalam tindakan nyata. Beliau adalah manifestasi
ajaran Islam yang dijabarkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diceritakan
dalam sebuah hadis dari ‘Aisyah ra, dengan kefakihan dan kepandaiannya serta pengalaman
hidupnya bersama Rasulullah saw, ketika ia ditanya mengenai Rasulullah saw, ia menjawab:
. َ‫َكانَ ُخلُقُهُ ْالقُرْ آن‬
“Akhlaknya adalah al-Qur`an”.[1]
Bangunan pemahaman terhadap sunah akan sangat dipengaruhi oleh Bangunan
pemahaman terhadap sunah akan sangat dipengaruhi oleh persepsi seseorang terhadap sunah itu
sendiri. Oleh karena itu sebagai langkah awal dalam memahami sunah dengan benar, pengenalan
terhadap karakteristik-karakteristik sunah sangat penting, sebab hal itu akan mengantarkan pada
persepsi yang benar terhadap sunah. Menurut al-Qaradhāwī   sunah memiliki karakteristik-
karakteristik tertentu dimana mengenalinya menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
pemahaman terhadap sunah. Berikut ini karakteristik-karateristik itu akan dibahas secara
terperinci.
1.   Syumūlī
Syumūl berarti komprehensif dan mencakup segala aspek kehidupan, karakteristik ini
kembali kepada salah satu fungsi sunah yakni sebagai penjelas bagi Al-Quran. Al-Quran adalah
kitab yang berisi segala aspek kehidupan, Allah SWT berfirman ;
َ ‫ك ْال ِكت‬
‫َاب تِ ْبيَانًا لِّ ُك ِّل َش ْي ٍء‬ َ ‫َونَ َّز ْلنَا َعلَ ْي‬
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.”[2]
Oleh karena itu sebagai penjelas bagi Al-Quran, sunah juga mencakup seluruh segi
kehidupan manusia. Dalam menjelaskan karakterisrik sunah ini, al-Qaradhāwī  memakai tiga
isitlah yakni ṭaulan, ‘ardhan, dan ‘amqan[3]. ṭaulan maksudnya adalah sunah mengatur peri
kehidupan manusia sepanjang usianya, mulai dari segala sesuatu yang menyangkut kelahiran
sampai kepada wafatnya. Sunah bahkan mencakup masa manusia masih di dalam kandungan
ibunya sebagai janin hingga ia meninggal.
Makna ‘ardhan adalah sunah menyertai manusia di dalam seluruh interaksinya dengan
pihak lain. Sunah memberikan tuntunan kepada manusia mengenai kehidupannya di rumah, di
pasar, di masjid, sekolah dan seterusnya. Maka kita menemui sunah yang mengatur tentang
hubungan dengan keluarga, etika berbisnis, hubungan dengan Allah SWT bahkan dengan hewan
dan tumbuh-tumbuhan.  ‘Amqan bermakna sunah menjadi pegangan hidup bagi manusia pada
seluruh dimensi kehidupannya. Sunah tidak hanya meberikan tuntunan jasmani, tetapi juga
mencakup rohani, jiwa dan raga. Sunah mengatur perbuatan, perkataan bahkan niat. Menurut al-
Qaradhāwī sifat syumūli dari sunah inilah yang banyak dilupakan orang, sehingga terdapat
sebagian kaum muslimin yang jika berbicara mengenai sunah hanya berkutat pada
memanjangkan jenggot, memakai cadar atau tidak memanjangkan kain sampai menutupi mata
kaki[4].
2.   Tawāzun
Tawāzun berarti seimbang atau moderat, karakteristik ini masih berkaitan erat dengan
karakteristik sebelumnya. Sebagaimana diuraikan di atas, tuntunan sunah mencakup semua aspek
kehidupan manusia, keseluruhan aspek tersebut diatur dengan tidak berlebihan pada satu sisi dan
kekurangan pada sisi yang lain. Sunah mengatur segalanya dengan mengikuti
prinsip wasaṭan, pertengahan atau moderat, karena umat ini memang disifati sebagai umat yang
moderat. Allah SWT berfirman ;
ٰ
ِ َّ‫َو َك َذلِكَ َج َع ْلنَا ُك ْم أُ َّمةً َو َسطًا لِّتَ ُكونُوا ُشهَدَا َء َعلَى الن‬
‫اس َويَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدًا‬
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan
(wasaṭan).”[5]
‫ فَ َمن‬، ‫ا َء‬jj‫ وأتَ َز َّو ُج النِّس‬، ‫وأصلِّي وأرْ قُ ُد‬
َ ، ‫ ولكني أصُو ُم وأ ْف ِط ُر‬، ‫ وأتقاكم له‬، ‫ألخشاكم هلل‬
ْ ‫ إنِّي‬، ‫أنتم الذين قُلتم كذا وكذا ؟ أ َما وهللا‬
‫ب ع َْن ُسنَّتِي فليس منِّي‬
َ ‫رغ‬
ِ

“Kalian kah  orang-orang yang telah berkata begini dan begini ?. Demi Allah,
sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah di antara kalian,
tetapi aku berpuasa dan tetap berbuka, aku salat dan juga beristirahat, dan aku pun menikahi
wanita. Maka barang siapa yang membenci sunahku, dia bukanlah bagian dari umatku.”[6]
Rasulullah juga pernah menegur Ibnu ‘Umar ketika beliau sudah keterlaluan dalam
melaksanakan puasa, salat malam, dan membaca Al-Quran. Rasulullah mengingatkan Ibnu
‘Umar bahwa tubuh, mata, keluarga dan istrinya memiliki hak yang harus ia tunaikan. Rasulullah
saw bersabda ;
‫ك َعلَ ْيكَ َحقًّا‬
َ ‫ َوإِ َّن لِزَ وْ ِر‬،‫ َعلَ ْيكَ َحقًّا‬ ‫ َوإِ َّن لِأهلك‬،‫ك َحقًّا‬ َ ِ‫ َوإِ َّن لِ َع ْين‬،‫ك َحقًّا‬
َ ‫ك َعلَ ْي‬ َ ‫ فَإ ِ َّن لِ َج َس ِدكَ َعلَ ْي‬،‫ َوقُ ْم َونَ ْم‬، ْ‫ص ْم َوأَ ْف ِطر‬
ُ ْ‫فَالَ تَ ْف َعل‬
“Janganlah kau lakukan hal itu. Puasalah dan berbukalah, dirikanlah salat malam namun
tidurlah. Karena sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu, begitu juga matamu memiliki hak
atasmu, dan sesungguhnya keluarga dan istrimu memiliki hak atasmu.”[7]
Demikianlah, kegagalan mengenali sunah sebagai tuntunan hidup yang moderat akan
menjatuhkan seseorang kedalam ekstrimisme yang oleh Al-Quran dan sunah disebut  ghulūw.
[8]
   Padahal Rasulullah telah memperingtkan umatnya agar tidak termakan sifat ini, beliau
bersabda ;
‫ك ْال ُمتَنَطِّعُونَ قَالَهَا ثَاَل ثًا‬
َ َ‫ هَل‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ قَا َل َرسُو ُل هللا‬:‫ قَا َل‬،ِ‫ع َْن َع ْب ِد هللا‬
“Dari ‘Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda ; celakalah orang-orang
yang ekstrem. Beliau menyatakan itu sebanyak tiga kali.”[9]

3.   Takāmulī
Sunah adalah tuntunan  yang mencakup  semua aspek kehidupan (syumūl), kesemua aspek
tersebut diatur dengan seimbang, moderat dan tidak berlebihan pada salah satu sisi saja
(tawāzun), selain itu, sunah menjadikan aspek-aspek dalam kehidupan mausia itu beriringan dan
saling melengkapi (takāmul).[10]  Sunah menjadikan iman dan ilmu atau wahyu dan akal menjadi
dua hal yang saling melengkapi, sehingga tercapai “cahaya di atas cahaya.” Pengetahuan yang
sempurna.
  Dalam membangun masyarakat, sunah harus dipahami dengan memperhatikan sifatnya
ini. Sunah mengatur agar legislasi (tasyri’) dan pembinaan moral masyarakat saling melengkapi.
Sayyid Quṭb, kolega Al-Qaradhāwī  dari pergerakan al-Ikhwan, menjelaskan bagaimana
-dibawah bimbingan Allah- Nabi Muhammad dengan konsisten membangun basis moral dengan
akidah tauhid selama 13 tahun pada periode Mekah. Beliau tidak “tergoda” untuk melakukan
revolusi moral atau menggalang Pan-Arabisme untuk menetang kolonialisme Romawi dan
Persia. Proses legislasi dan pembangunan negara baru benar-benar berjalan pada periode
Madinah setelah basis akidah umat Islam telah mapan. Karakteristik ini disebut oleh Sayyid Quṭb
sebagai karakteristik gerakan Qur’ani (Manhaj al-Qur’ānī).[11] Dalam hal ini, Al-Quran
membimbing sunah kepada karakteristik  takāmulī-nya.
Ketika umat telah terbina, sunah juga menunjukan bahwa harus tetap ada sinergitas antara 
dakwah dan kekusaan (daulah).  Di dalam sunah tidak pernah didapati perintah untuk
“memberikan kuasa bumi kepada kaisar, dan langit kepada Tuhan.”[12] Al-Imām  Ibn at-Taimiyah
menyatakan
‫لبد لناس من كتاب هاد و حديد ناصر‬
“Manusia membutuhkan kitab (syariat) sebagai pemberi petunjuk dan besi (kekuasaan)
sebagai penolong.”
Sunah juga menuntunkan agar antara rakyat dan pemimpin mereka tetap terjalin saling
melengkapi serta sinergitas dan komunikasi yang lancar. Rasulullah membaur dengan umatnya
untuk membangun parit pada perang khandak dan banyak contoh lainnya. Dibawah naungan
sunah yang berkarakteristik takāmulī, orang-orang beriman juga saling melengkapi kekurangan
mereka. Allah SWT berfirman ;
َ‫ون‬jj‫اةَ َوي ُِطي ُع‬jj‫ونَ ال َّز َك‬jjُ‫صاَل ةَ َوي ُْؤت‬ ِ ‫ يَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬ ‫ْض‬
َّ ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُمن َك ِر َويُقِي ُمونَ ال‬ ٍ ‫ضهُ ْم أَوْ لِيَا ُء بَع‬ ُ ‫َو ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َو ْال ُم ْؤ ِمن‬
ُ ‫َات بَ ْع‬
ٰ ُ
ِ ‫ إِ َّن هَّللا َ ع‬ ُ ‫ أولَئِكَ َسيَرْ َح ُمهُ ُم هَّللا‬ ُ‫هَّللا َ َو َرسُولَه‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”[13]
4.   Waqi’ī
Tuntunan yang diberikan sunah adalah tuntunan yang waqi’ī, tuntunan yang relaistis. Al-
Qaradhāwi berulang kali menejelaskan hal ini di dalam beberapa karyanya. Di dalam Madkhal li
Dirāsah asy-Syari’ah al-Islāmiyah beliau menuliskan ;
“Sesungguhnya syariat ini (dimana sunah adalah salah satu pondasinya) tidak berenang di
lautan imajnasi, atau mengawang-awang di tataran idealitas sehingga ia tidak menetapkan
kepada manusia sesuatu yang tidak ada di dunia manusia, sebagaimana yang dilakukan Plato
dengan konsep republik-nya, al-Farābi di dalam Madīnah al-Fādhilah-nya atau utopia orang-
orang sosialis yang mengangankan suatu masyarakat tanda perbedaan, tiada hak milik individu,
tidak butuh polisi dan penjara. Syariat ini mengatur manusia dengan kemanusiaannya,
sebagaimana ia diciptakan oleh Allah, dengan tubuhnya yang membumi dan jiwanya yang
membumbung ke langit, dengnan perasaan-perasaannya, dorongan-dorogan untuk berbuat buruk
dan potensi-potensi dalam dirinya untuk bertakwa.”[14]
Karakterisrik realistis yang ada pada sunah terlihat jelas dari aturan-aturannya yang sangat
manusiawi. Rasulullah saw sebagai sumber sunah adalah juga manusia biasa, Allah SWT
berfirman ;
‫ي أَنَّ َما إِ ٰلَهُ ُك ْم إِ ٰلَهٌ َوا ِح ٌد‬
َّ َ‫قُلْ إِنَّ َما أَنَا بَ َش ٌر ِّم ْثلُ ُك ْم يُو َح ٰى إِل‬
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa."[15]
Oleh karena itu sunah sangat mengakomodasi sifat-sifat dasar manusia. Sunah memaklumi
sifat manusia yang semangat beragamanya fluktuatif.  Ketika beberapa sahabat Nabi menyangka
mereka telah menjadi munafik karena ketika bersama beliau mereka benar-benar merasakan
ketakutan terhadap siksa neraka namun ketika mereka telah kembali kepada keluarga masing-
masing ketakutan itu pun pudar karena kebersamaan itu, Rasulullah saw bersabda kepada mereka
;
‫ُق‬ ُّ ‫ َحتَّ ٰى تُ َسلِّ َم َعلَ ْي ُك ْم فِي‬،ُ‫صافَ َح ْت ُك ُم ْال َمالَئِ َكة‬
ِ ‫الطر‬ َ َ‫ ل‬،‫َت تَ ُكونُ قُلُوبُ ُك ْم َك َما تَ ُكونُ ِع ْن َد ال ِّذ ْك ِر‬
ْ ‫ َولَوْ َكان‬.ً‫يَا َح ْنظَلَةُ َسا َعةً َو َسا َعة‬

“Wahai Hanzalah sedikit demi sedikit. Sekiranya kalian tetap dalam keadaan berzikir
sebagaimana jika kalian di sisiku, maka kalian akan disalami oleh malaikat, hingga mereka
mengucakan salam kepada kalian di jalan-jalan.”[16]
Sunah juga mengakomodir sikap manusia yang lemah, sehingga perkara-perkara yang di
haramkan jauh lebih sedikit dari pada yang dibolehkan. Bahkan asal dari segala sesuatu adalah
halal atau mubah kecuali jika ada dalil sahih dan tegas dari pembuat syariat yang menunjukan
keharamnnya.[17] Disamping itu, jika dalam keadaan darurat yang memaksa, maka perkara-
perkara yang haram pun dihalalkan sekedar untuk menanggulangi kerterpaksaan itu dan
menghindarkannya dari kebinasaan.[18]
Perbedaan kebudayaan pada setiap suku bangsa adalah salah satu realitas manusia yang
sangat diperhatikan oleh sunah, misalnya ketika Rasulullah saw mengizinkan orang-orang suku
Habasyah untuk memainkan alat musik tabuhan mereka di Masjid Nabawi ketika hari ‘Ied.
Beliau juga mengizinkan ‘Aisyah ra untuk melihatnya dan membiarkannya bermain dengan
beberapa anak kecil, karena umur Ummul Mukminin ketika itu memang masih belia.
Para ulama yang memahami sunah dengan benar dan selalu memperhatikan
karakteristiknya yang realisitis kemudian meneruskan manhaj Rasulullah dalam memecahkan
persoalan umat dengan memperhatikan realitas kehidupan mereka. Para ulama itu memberikan
fatwa dengan memperhatikan keadaan si mustafi sehingga Ibn al-Qayyim menjeskan bahwa
fatwa bisa saja berubah dan berbeda-beda berdasarkan perbedaan atau perubahan waktu, tempat,
keadaan, niat, atau adat-kebiasaan.[19]
5.   Taisīr.
Kemudahan adalah salah satu karakteristik utama sunah Rasulullah saw dan syariat Islam
sebagai sistem yang dibangun di atasnya. Kemudahan ini adalah buah dari karakteistiknya yang
realistis dan manusiawi. Di dalam sunah ada banyak sekali contoh dan anjuran dari Rasulullah
untuk mempermudah agama tentu saja dengan  juga tidak memudah-mudahkannya. Ketika
mengutus  Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda ;
‫يَس َِّرا َواَل تُ َعس َِّرا َوبَ ِّش َرا َواَل تُنَفِّ َرا َوتَطَا َوعَا َواَل ت َْختَلِفَا‬
“Mudahkanlah dan jangan persulit, gembirakanlah dan jangan buat orang-orang
menjauh, saling tolong menolonglah dan jangan berselisih.”[20]
Kemudahan juga ditunjukan oleh adanya rukhsah atau keringanan yang ada pada amal-
amal ibadah seperti bersuci, salat, puasa dan haji.  Semangat kemudahan yang ada pada sunah ini
lah –disamping dalil-dalil Al-Quran[21]—yang diformulasikan oleh Al-Imām  asy-Syāfi’i menjadi
salah satu dari  lima kaidah induk. Kaidah tersebut berbunyi[22] ;
‫ْال َم َشقَّةُ تَجْ لُبُ التَّي ِْسي َر‬
“Kesukaran akan mendatangkan kemudahan .”
Menurut al-Qaradhāwī karakteristik kemudahan yang ada pada sunah terkadang diabaikan
oleh orang-orang yang memahami sunah dengan kecendrungan literalis. Mereka lebih memilih
“kesulitan-kesulitan Ibn ‘Umar” dari pada “kemudahan-kemudahan Ibn ‘Abbas”. Jika
dihadapkan kepada dua pilihan hukum mereka senantiasa memilih yang sulit. [23]  Padahal
‘Aisyah ra menjelaskan bahwa Rasulullah senantiasa memilih yang termudah dari dua pilihan,
asalkan pilihan tersebut buka merupakan dosa, ‘Aisyah berkata ;
ِ َّ‫ َكانَ أَ ْب َع َد الن‬،ً‫ َما لَ ْم يَ ُك ْن ِإ ْثما ً فَإ ِ ْن َكانَ إِ ْثما‬.‫اختَا َر أَ ْي َس َرهُ َما‬
.ُ‫اس ِم ْنه‬ ِ ‫ أَ َح ُدهُ َما أَ ْي َس ُر ِمنَ اآلخ‬،‫َما ُخي َِّر َرسُو ُل هّللا ِ بَ ْينَ أَ ْم َر ْي ِن‬
ْ َّ‫ إِال‬،‫َر‬

“Rasulullah saw selalu memilih perkara yang paling mudah dari dua perkara. Dan jika
hal itu memang dosa, maka beliaulah orang yang paling jauh dari dosa”[24]

[1] Hadis riwayat Muslim dengan lafal ‫”"خلقه كان القرآن‬. Dan juga diriwayatkan oleh Ahmad, Abu
Daud, dan Nasa’i sebagaimana terdapat dalam Tafsir Ibnu Katsir.
[2] An-Nahl (16) : 89
[3] Yūsuf al-Qaradhāwī  , Kaifa Nata’āmal Ma’a as-Sunnah an-Nabawīyah,  (Kairo : Dar as-
Syuruk, 2002), hal 26.  Secara etimologis Ṭaulan , ‘ardhan , ‘amqan berarti fertikal, horizontal
dan mendalam.
[4] Ibid, hal 26
[5] Al-Baqarah (2) : 143
[6] Bukhari, Sahih Bukhari, Edisi Raid ibnu Shabari ibnu Abī ‘Ulfah (Riyad: Maktabah ar-Rusydi,
1426/2005) Hadis No 5063 hal 517 Bab at Targib fi Nikah,  Hadis dari Sa’id bin Abī Maryam,
dari Muhammad bin Ja’far dari Humaid bin Abī Humaid ini sanadnya bersambung sampai NAbī.
[7]Al- Bukhārī, Sahih Bukhari, Edisi Raid ibnu Shabari ibnu Abī ‘Ulfah (Riyad: Maktabah ar-
Rusydi, 1426/2005) Hadis No 5199 hal 529 bab Lizaujika Alaika Haqqun, dan No 1975, hal 196,
bab Haq al Jism fi Shaum Hadis dari Muhammad bin Muqhatil dari Abdullah dari al Auza’i ini
sanadnya bersambung sampai NAbī.
[8] An-Nisa (4) : 171, al-Maidah (5) : 77. Ayat-ayat tersebut berisi peringatan kepada ahli kitab
agar tidak berlebihan di dalam agama mereka, sebagai ibrah bagi kaum mukminin.
[9] Muslim, Sahih Muslim, Edisi Raid ibnu Shabari ibnu Abī ‘Ulfah (Riyad: Maktabah ar-Rusydi,
1426/2005), No 2670 hal 1290, Bab Halaka al Mutanathoun, Hadis dari Abu Bakar bin Abī
Syaibah dari Hafs bin Ghiyas dan Yahya bin Sa’ad ini bersambung sampai NAbī.

[10] Yūsuf  al-Qaradhāwī  , Kaifa Nata’āmal ...hal 28


[11] Lihat Sayyid QuṬb, Ma’alim fi at-Ṭariq Petunjuk Jalan yang Menggetarkan Iman, alih
bahasa M. H. Muchtarom, cet. ke-1, (Yogyakarta: Uswah, 2009), hal 48-104.
[12] Perintah tersebut terdapat di dalam kitab Perjanjian Baru, Matius, 22:21 dengan bunyi
"Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa
yang wajib kamu berikan kepada Allah."
[13] At-Taubah (9): 71
[14] Yūsuf al-Qaradhāwi, Madkhal li Dirāsah asy-Syariy’ah al-Islāmiyah,(Kairo: Maktabah
Wahbah, 1997), hal 119.
[15] Al-Kahfi (18) : 110
[16] Muslim, Sahih Muslim, Edisi Raid ibnu Shabari ibnu Abī ‘Ulfah (Riyad: Maktabah ar-
Rusydi, 1426/2005) , No 2750, hal 1290 , Bab Fadlu Dawami adz Dzikri wa al Fikr fi Umuri al
Akhirati wa al Muraqabati wa Jawazi Tarki Dzalika fi Ba’di  al-Auqāti  wa  al-Isytighāli bī
Dunya,  Hadis dari Ishāq bin Mansūr dari ‘Abd  as-Şamad dari ayahnya, ini bersambung juga
sampai NAbī.
[17] Yūsuf al-Qaradhāwi, Halal dan Haram dalam Islam, alih bahasa Abu Sa’id al-Falahi dan A.
R. Saleh Tamhid, cet. ke-1, (Jakarta: Robbani Press, 2000), hal 20.
[18] Ibid, hal 41.
[19] Ibn al-Qayyim al-Jauzīyah, I’lām al-Muwaqqi’īn ‘An Rabb al-‘Ᾱlamīn, (Beirut: Dar al-Jīl,
1973), III : 3.
[20] Bukhārī, Sahih Bukhari Edisi Rāid ibnu Shabāri ibn Abī ‘Ulfah (Riyad: Maktabah ar-Rusydi,
1426/2005) No 3038 juz 4 hal 65, Bab Ma Yukrihu min at Tanaja’i wa al Ikhtilafi fi al Harb wa
‘Uqūbati Man A’Şā Imamihi, Bukhari 4344-4345, hal 429, bab Ba’aṡ Abī Musa wa Mu’adz ila
Yaman Qabla Hajjatil Wada’, Muslim No 1733 hal
[21] Antara lain al-Baqarah (2) : 185, 286, aṬ-Ṭalāq (65) : 7, al-Hajj (22) : 78, aṬ-Ṭagābun (64) :
16. 
[22] Penyandaran ini menurut al-KhaṬābī sebagaimana dituliskan oleh as-Subkī, lihat Tajj ad-Dīn
as-Subkī, al-Asybāh wa an-Nazāir, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991), I : 47.
[23] Yūsuf al-Qaradhāwī, Fiqih Maqashid Syariah Moderasi antara Aliran Tekstual dan Aliran
Liberal, alih bahasa Arif Munandar Riswanto, cet. ke-1, (Jakarta : Pustaka al-Kauṡar , 2007), hal
60.
[24] Muslim, Sahih Muslim, Edisi Raid ibnu Shabari ibnu Abī ‘Ulfah (Riyad: Maktabah ar-
Rusydi, 1426/2005) No 2327 hal 1215 Bab Muba’adatihi li al Asami wa al Ikhtiyarihi min al
Mubahi Ishalahu wa an Tiqamihi li Allah ‘inda in Tihaki Hurumatihi,  Hadis dari Abī Kuraib
dari Abī Usamah dari Hisyam, sanadnya bersambung sampai NAbī.

Anda mungkin juga menyukai