JUAL BELI
Disusun Oleh :
PAHRIANSYAH
NIM : 1904140038
RIMA YULI ANDANI
NIM : 1904140055
YUNI SAPUTRI
NIM : 1904140064
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan
seorang hamba dwngan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah
dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan
muamalah ma’annas. Hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu
cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqh Muamalah. Aspek kajiannya
adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat
satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang
piutang, dan lain-lain.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti
melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut jual beli. Si penjual menjual
barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan
sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika zaman dahulu
transaksi ini dilakukan dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman
sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan
teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kartu kredit, ATM, dan lain-lain
sehingga kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.
Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan sejahtera,
pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi lebih teguh. Akan tetapi sifat
loba dan tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya
hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga menjaga kemashalatan
umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu
agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya, karena dengan teraturnya
muamalat, maka penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya
sehingga pembantahan dan dendam-mendendam tidak akan terjadi.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa pengertian jual beli?
2. Bagaimana dasar hukum jual beli?
1
3. Apa saja rukun jual beli?
4. Apa saja syarat sah jual beli?
5. Apa saja macam-macam jual beli?
6. Bagaimana prinsip-prinsip jual beli?
7. Apa pengertian dan macam-macam khiyar?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mahasiswa mengetahui dan memahami pengertian jual beli
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami dasar hukum jual beli
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami rukun jual beli
4. Mahasiswa mengetahui dan memahami syarat sah jual beli
5. Mahasiswa mengetahui dan memahami macam-macam jual beli
6. Mahasiswa mengetahui dan memahami prinsip-prinsip jual beli
7. Mahasiswa mengetahui dan memahami pengertian dan macam-macam khiyar
D. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode pendekatan
kualitatif dengan menggunakan buku sebagai referensi dimana penulis mencari
literature yang berkaitan dengan karya tulis ilmiah yang penulis buat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jual Beli
Dari berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa jual beli ialah
pertukaran harta dari penjual kepada pembeli sesuai dengan harga yang
disepakati. Pada masa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam harga barang itu
1
Dr.Sri Sudiarti ,MA, FIQH MUAMALAH KONTEMPORER, Medan:FEBI UIN-SU Press, 2018, hal. 74
dibayar dengan mata uang yang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang
terbuat dari perak (dirham).2
Jual beli memiliki dasar hukum yang sangat kuat, baik dari Al_qur’an ,
hadis, maupun ijma’ ulama.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an cukup banyak berbicara tentang jual beli. Ayat-ayat
tersebut antara lain berbunyi:
“...........Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.....”(QS. Al-Baqarah:275)
2
Ibid., hal. 74-75
3
Ibid., hal. 75
4
Hadis lain yang menjadi dasar kebolehan jual beli diriwayatkan Ibn
Majah, bahwa Rasulullah bersabda:
“Dari ‘Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah shalallahu alaihi
wassalam bersabda, “Seseorang pedagang muslim yang jujur dan
amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-
orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat””.
(HR. Ibn Majah, Hakim, dan Daruquthni)4
3. Ijma’ Ulama
Dasar hukum jual beli yang selanjutnya adalah ijma’ ulama.
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alsan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhannya tanpa
bantuan orang lain. Namun bantuan atau barang milik orang lain yang
dibutuhkan tersebut harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Dengan demikian , dasar diperbolehkannya akad jual beli yaitu
Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama. Dengan tiga dasar hukum tersebut
maka status hukum jual-beli sangat kuat, karena ketiganya merupakan
sumber utama penggalian hukum islam.5
Sebagai salah satu dasar jual beli, rukun dan syarat merupakan hal yang
sangat penting, sebab tanpa rukun dan syarat maka jual beli tersebut tidak sah
hukumnya. Oleh karena itu Islam telah mengatur tentang rukun dan syarat jual
beli itu. Jual beli dianggap sah apabila sudah terpenuhi rukun dan syaratnya.
Maksudnya adalah, apabila seseorang akan melakukan jual beli harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Unsur-unsur yang menyebabkan sahnya jual beli terpenuhi.
Adapun rukun yang dimaksud dapat dilihat dari pendapat ulama di bawah ini,
yaitu:
5
3. Sighat (kalimat ijab qabul)6
Jadi sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa jika suatu pekerjaan
tidak terpenuhi rukun-rukunnya maka pekerjaan itu akan batalkarena tidak sesuai
dengan syara’, behitu juga dalam hal jual beli harus memenuhi ketiga rukun-
rukun tersebut.
6
Bahwa jual beli diperintahkan oleh Islam, namun bukan
berarti jual beli boleh dilakukan siapa saja, melainkan
mempunyai syarat-syarat tertentu, seperti dijelaskan dalam
hadis: “orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil
hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia berakal
(sembuh dari gilanya). Maksud tiga perkara ini adalah
sahnya dalam jual beli, apabila penjual dan pembeli dalam
keadaan sadar, tidak tidur, anak yang sudah cukup umur,
karena apabila diperbolehkannya anak kecil melakukan jual
beli, dia akan membuat kerusakan, seperti menjual barang
cacat, karena anak kecil tidak mengerti aturan dalam Islam.
Begitu juga sebaliknya orang gila yang tidak berakal
dilarang melakukan jual beli. Dapat disimpulkan jual beli
boleh dilakukan oleh orang-orang dalam keadaan sadar.
b. Tidak pemboros
Dalam hal ini dinyatakan oleh Allah subhannahu wa
ta’ala dalam firman-Nya dalam surah Al-Isra’ ayat 27.
Artinya:“sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya”.9
Maksud pada ayat diatas, Allah telah melarang
hambanya melakukan suatu pekerjaan dengan tujuan untuk
menghambur-hamburkan hartanya, karena perbuatan
tersebut merupakan sebuah pemborosan, yang telah
dijelaskan pada ayat diatas bagi orang yang melakukannya,
merupakan perbuatan syaitan. Maksud pemborosan disini,
suatu pekerjaan yang tidak bermanfaat.
c. Dengan kehendak sendiri (bukan paksaan)
Artinya yaitu, prinsip jual beli adalah suka sama suka
antara penjual dan pembeli, bila prinsip ini tidak tercapai
9
Departemen Agama RI., Op. Cit. Hal.282
7
jual beli tidak sah. Sebagaimana firman Allah surah An-Nisa
ayat 29.
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”.
Perkataan suka sama suka dalam ayat di atas menjadi
dasar bahwa jual beli harus merupakan kehendak sendiri
tanpa tipu daya dan paksaan.
2. Syarat untuk barang yang diperjual belikan
Untuk barang yang diperjual belikan hendaklah barang tersebut
bersih barangnya, dapat dimanfaatkan, milik orang ang melakukan
akad, antara lain mampu menyerahkan , mengetahui, dan barang yang
di akadkan ada ditangan.
3. Sighat atau lafaz ijab qabul
Ijab adalah perkataan penjual seperti saya jual barang ini harga
10
sekian. Qabul adalah perkataan pembeli, sepeti saya beli dengan
harga sekian. Ijab qabul adalah yang dilakukan oleh orang yang
melakukan tindakan akad, lafal akad berasal dari bahasa arab “Al-
aqdu” yang berarti perikatan atau perjanjian dan pemufakatan “Al-
ittifaq” secara bahasa atau etimologi fiqih akad didefinisikan dengan
pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’ah yang berpengaruh
pada obyek perikatan, maksudnya adalah seluruh perikatan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih, tidak dianggap sah
11
apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Jumhur ulama
menyatakan bahwa rukun akad terdiri atas empat macam. Pertama,
pernyataan untuk mengikat diri (pernyataan akad), kedua, pihak-pihak
yang berakad, ketiga, obyek akad, empat, tujuan akad.
10
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta:Rieneka Cipta, 1992, hal. 401
11
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah, Jakarta:Raja Grafindo Persad, 2010, hal. 69
8
E. Macam-Macam Jual Beli
12
Dr.Sri Sudiarti ,MA, FIQH MUAMALAH KONTEMPORER, Medan:FEBI UIN-SU Press, 2018, hal. 84
9
sehingga menimbulkan pertentangan. Menurut jumhur ulama fasid
(rusak) dan batal (haram) memiliki arti yang sama.
3. Jual beli batal (haram)
Jual beli batal (haram) adalah jual beli yang dilarang dan batal
hukumnya. Ulama Hanafiyah membedakan jal beli fasid dengan batal.
Jual beli fasid adalah akad yang secara asal disyariatkan, tetapi terdapat
masalah atas sifat akad tersebut. Seperti jual beli majhul (barang tidak
dispesifikasi secara jelas) yang dapat mendatangkan perselisihan,
menjual rumah tanpa menentukan rumah mana yang akan dijual dari
beberapa rumah yang dimiliki.13
Jual beli yang dilarang terbagi menjadi dua: pertama, jual beli
yang dilarang dan hukumnya tidak sah (batal), yaitu jual beli yang tidak
memenuhi syarat dan rukunnya. Kedua, jual beli yang hukumnya sah
tetapi dilarang, yaitu jual beli yang telah memenuhi syarat dan
rukunnya, tetapi ada beberapa faktor yang menghalangi kebolehan
proses jual beli.
a. Jual beli yang dilarang dan hukumnya tidak sah (batal) karena
tidak memenuhi rukun dan syarat. Bentuk jual beli yang
termasuk dalam kategori ini sebagai berikut:
1) Jual beli yang zatnya haram, najis, atau tidak boleh
diperjual belikan. Barang yang najis atau haram
dimakan haram juga untuk diperjual belikan, seperti
babi, berhala, bangkai, dan khamar (minuman yang
memabukkan).
2) Jual beli gharar, yaitu jual beli yang belum jelas,
sesuatu yang bersifat spekulasi atau samar-samar haram
untuk diperjual belikan, karena dapat merugikan salah
satu pihak, baik penjual, maupun pembeli.14
13
Ibid., hal. 84-85
14
Ibid., hal. 85
10
3) Jual beli yang bersyarat, jual beli yang ijab kabulnya
yang dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak
ada kaitannya dengan jual beli atau ada unsur-unsur
yang merugikan dilarang oleh agama.
4) Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, segala
sesuatu yang dapat menimbulkan namanya
kemudharatan, kemaksiatan, bahkan kemusyrikan
dilarang untuk diperjual belikan.
5) Jual beli yang dilarang karena dianiaya, segala bentuk
jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya
haram
6) Jual beli muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman yang
masih disawah atau diladang. Hal ini dilarang agama
karena jual beli ini masih samar-samar (tidak jelas) dan
mengandung tipuan.
7) Jual beli mukhadarah, yaitu mrnjual buah-buahan yang
masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil.
8) Jual beli mulamasah, yaitu jual beli secara sentuh –
menyentuh.15
9) Jual beli munabadzah, yaitu jual beli yang secara
lempar-melempar.
10)Jual beli muzabanah, yaitu menjual buah yang basah
dengan buah yang kering.
b. Jual beli yang hukumnya sah tetapi dilarang, yaitu jual beli
yang telah memenuhi syarat dan rukunnya, tetapi ada beberapa
faktor yang menghalangi kebolehan proses jual beli.
1) Jual beli yang masih dalam tawar-menawar.
2) Talaqqi rukban, yaitu juak beli dengan menghadang
dagangan diluar kota/pasar
15
Ibid., hal. 86
11
3) Ihtikar, yaitu membeli barang dengan memborong
untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik
karena kelangkaan barang tersebut.
4) Jual beli barang rampasan atau curian
5) Jual beli yang dapat menjauhkan dari ibadah
6) Jual beli ‘inah, yaitu seseorang menjual suatu barang
dagangan kepada orang lain dengan pembayaran tempo
(kredit) kemudian si penjual membeli kembali barang
itu secara tunai dengan harga lebih rendah.16
7) Jual beli najasy yaitu jual beli dimana penjual
menyuruh seseorang untuk menawar barang dengan
harga yang lebih tinggi ketika calon pembeli datang,
padahal dia tidak akan membelinya.
8) Melakukan penjualan atas penjualan orang lain yang
masih dalam masa khiyar.
9) Jual beli secara tadlis (penipuan) adalah apabila seorang
penjual menipu saudara semuslim dengan cara menjual
kepadanya barang dagangan yang didalamnya terdapat
kecacatan. Penjual itu mengetahui adanya cacat tetapi
tidak memberitahukannya kepada pembeli.17
12
Petuah yang begitu indah dan layak untuk dituliskan dengan tinta emas.
Betapa tidak, apalah yang akan menimpa kita bila kita beramal, baik urusan
agama atau dunia tanpa dasar ilmu yang cukup. Bila kita beramal dalam urusan
agama tanpa dasar ilmu, maka tak ayal lagi kita akan terjerumus ke dalam amalan
bid’ah. Dan bila dalam urusan dunia, niscaya kita terjerumus dalam perbuatan
haram, atau kebinasaan.
“Hendaknya tidaklah berdagang di pasar kita selain orang yang telah
faham (berilmu), bila tidak, niscaya ia akan memakan riba.” (Ucapan
beliau dengan teks demikian ini dinukilkan oleh Ibnu Abdil Bar Al
Maliky)
Dan ucapan beliau ini diriwayatkan oleh Imam Malik dan juga Imam At
Tirmizy dengan teks yang sedikit berbeda: “Hendaknya tidaklah berdagang di
pasar kita selain orang yang telah memiliki bekal ilmu agama.” (Riwayat ini
dihasankan oleh Al Albany).
13
Setiap masa dan daerah terjadi berbagai bentuk dan model interaksi
sesama mereka yang berbeda dengan bentuk interaksi pada masa dan
daerah lainnya. Oleh karena bukan suatu hal bijak bila hubungan
interaksi sesama mereka dikekang dan dibatasi dalam bentuk tertentu.
Karena itulah dalam syari’at Islam tidak pernah ada dalil yang
membatasi model interaksi sesama mereka. Ini adalah suatu hal yang
amat jelas dan diketahui oleh setiap orang yang memahami syari’at
islam, walau hanya sedikit. 19
2. Sebab-Sebab Diharamkannya Suatu Perniagaan
Bila telah dipahami bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah
halal, maka hal yang semestinya dikenali ialah hal-hal yang menjadikan
suatu perniagaan diharamkan dalam Islam. Karena hal-hal yang
menyebabkan suatu transaksi dilarang sedikit jumlahnya, berbeda
halnya dengan perniagaan yang dibolehkan, jumlahnya tidak terbatas.
Imam Ibnu Rusyud Al Maliky berkata: “Bila engkau meneliti
berbagai sebab yang karenanya suatu perniagaan dilarang dalam
syari’at, dan sebab-sebab itu berlaku pada seluruh jenis perniagaan,
niscaya engkau dapatkan sebab-sebab itu terangkaum dalam tiga hal:
Barang yang menjadi obyek perniagaan adalah barang yang
diharamkan.
a. Adanya unsur riba.
b. Adanya ketidak jelasan (gharar).
c. Adanya persyaratan yang memancing timbulnya dua hal di
atas (riba dan gharar).
Inilah hal-hal paling utama yang menjadikan suatu perniagaan
terlarang.
Perincian dari ketiga faktor di atas membutuhkan penjelasan
yang panjang dan lebar, sehingga pembahasannya pun membutuhkan
waktu yang lebih luas. Ketiga faktor yang disebutkan oleh imam Ibnu
19
Ibid., hal. 131
14
Rusyud di atas, adalah faktor penyebab terlarangnya suatu perniagaan
dan yang terdapat pada rangkaian perniagaan tersebut.20
1. Waktu
Dilarang bagi seorang muslim untuk mengadakan akap
perniagaan setelah muazzin mengumandangkan azan kedua pada hari
jum’at. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. Al
Jum’ah: 9)
2. Penipuan
Telah diketahui bersama bahwa penipuan diharamkan Allah,
dalam segala hal. Dan bila penipuan terjadi pada akad perniagaan, maka
tindakan ini menjadikan perniagan tersebut diharamkan:
“Kedua orang yang saling berniaga memiliki hak pilih (khiyar)
selama keduanya belum berpisah, dan bila keduanya berlaku
jujur dan menjelaskan, maka akan diberkahi untuk mereka
penjualannya, dan bila mereka berlaku dusta dan saling
menutup-nutupi, niscaya akan dihapuskan keberkahan
penjualannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
3. Merugikan orang lain
“Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia menuturkan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah
engkau saling hasad, janganlah saling menaikkan penawaran
barang (padahal tidak ingin membelinya), janganlah saling
20
Ibid., hal. 132
15
membenci, janganlah saling merencanakan kejelekan, janganlah
sebagian dariu kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya,
dan jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya, tidaklah
ia menzhalimi saudaranyanya, dan tidaklah ia membiarkannya
dianiaya orang lain, dan tidaklah ia menghinanya.” (Muttafaqun
‘alaih)21
21
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo, 1994, hlm. 154
16
meminta kembali uangnya walaupun dengan mengembalikan
barang.
Batasan Ketentuan berpisah ini disesuaikan dengan
kebiasaan masyarakat setempat. Di Indonesia misalnya,
masyarakatnya memilki kebiasaan bahwa jika sudah keluar
dari toko, maka telah dianggap berpisah dari majlis jual beli.
Sehingga tidak bisa lagi berlaku khiyar majlis. Salah satu
contoh dari macam-macam khiyar majlis dalam kehidupan
sehari-hari adalah persyaratan penjual bahwa “barang yang
sudah dibeli, tidak dapat dikembalikan.”
Selain pada akad jual beli, penerapan khiyar majlis
dapat juga digunakan untuk aktivitas muamalah lainnya,
seperti pada akad salam, akad sharf yang biasa digunakan
untuk pertukaran mata uang, dan juga akad ijarah.22
b. Khiyar Aibi
Macam-macam khiyar ini berlandaskan pada kisah
jual beli budak oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Waktu itu,
Ummul Mukminin membeli seorang budak. Setelah beberapa
lama tinggal di rumah beliau, diketahui budak tersebut
memiliki cacat. Habibatu Rasulillah tersebut kemudian
menyampaikan kepada Nabi muhammad Sallalahu ‘alaihi
Wassalam. Lalu baginda Nabi memutuskan bahwa budak
tersebut dikembalikan kepada penjualnya. Hadist riwayat Abu
Dawud ini sekaligus merupakan dalil khiyar ‘aibi.
Meskipun penjual telah memasang persyaratan khiyar
majlis, yang berisi ketentuan tidak boleh mengembalikan
barang yang telah dibeli. Namun, pembeli perlu
memperhatikan syarat dan ketentuan berikut, sebelum
melakukan khiyar ‘aibi kepada penjual23
22
S. Shobirin, Jual Beli Dalam Pandangan Islam, 2016
23
Ibid.,
17
1) Tidak ada khiyar ‘aibi untuk cacat yang telah
disampaikan penjual kepada pembeli
2) Cacat pada benda tersebut dapat diperiksa, jika
timbul perselisihan antara penjual dan pembeli
mengenai cacat benda, maka diselesaikan
berdasarkan ketetapan pengadilan
3) Penjual wajib mengembalikan uang pembelian, jika
cacat disebabkan oleh kelalaian penjual.
4) Jika cacat pada barang karena kelalaian pembeli,
maka tidak ada hak pembeli melakukan khiyar aib.
5) Jika membeli barang dalam jumlah besar. Pembeli
dapat menolak keseluruhan barang apabila
ditemukan beberapa stok yang cacat.24
c. Khiyar Syarat
Pengertian khiyar syarat adalah tidak sama dengan
syarat jual beli dalam islam. Khiyar syarat adalah hak pembeli
atau penjual, atau keduanya, untuk melanjutkan atau
membatalkan transaksi selama masih dalam masa tenggang
yang disepakati kedua belah pihak.
Batasan tenggat waktu khiyar syarat dibatasi selama 3
hari, sesuai dengan hadist khiyar syarat, yang diriwayatkan
oleh Baihaqi dan Ibnu majjah. “dibolehkan khiyar pada
setiap benda yang telah dibeli, selama tiga hari tiga malam”.
Oleh karena itu, salah satu macam-macam khiyar
dalam jual beli ini, dapat dipraktekkan dengan memperhatikan
beberapa ketentuan berikut ini:
1) Jika masa khiyar syarat telah lewat, otomatis
transaksi menjadi sah dan tidak dapat dilakukan
pembatalan jual beli atau transaksi
2) Hak khiyar syarat tidak dapat diwariskan
24
18
3) Sehingga, jika pembeli meninggal pada masa
khiyar, kepemilikan barang menjadi milik ahli
waris pembeli
4) Sedangkan jika penjual meninggal dalam masa
khiyar, kepemilikan otomatis menjadi hak pembeli.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Jual beli merupakan transaksi yang umum dilakukan masyarakat, baik untuk
memenuhi kebutuhan harian maupun untuk tujuan investasi. Bentuk
transaksinya juga beragam, mulai dari yang tradisional sampai dengan bentuk
modern melalui lembaga keuangan.
2. Sebagai salah satu dasar jual beli, rukun dan syarat merupakan hal yang
sangat penting, sebab tanpa rukun dan syarat maka jual beli tersebut tidak sah
hukumnya. Oleh karena itu Islam telah mengatur tentang rukun dan syarat jual
beli itu.
3. Jual beli dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk. Ditinjau dari
pertukaran menjelaskan ada empat, yaitu: jual beli salam (pesanan), jual beli
muqayyadah (barter), jual beli muthlaq, dan jual beli alat tukar dengan alat
tukar.
4. Khiyar menurut bahasa artinya “memilih yang terbaik”. Sedangkan pengertian
khiyar menurut istilah “penjual dan pembeli boleh memilih antara meneruskan
atau mengurungkan jual belinya.”. Tujuannya agar orang yang melakukan jual
beli tersebut saat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya
tidak terjadi penyesalan dikemudian hari, karena masing-masing merasa puas
terhadap jual beli yang mereka lakukan.
5. Macam-macam khiyar dalam jual beli, yaitu khiyar majlis,khiyar aibi, dan
khiyar syarat.