PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaidh Ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, yang bertitik
tolak pada pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode dalam penggalian
hukum. Kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah lughawiyah.
Disebut kaidah istimbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut dipergunakan dalam rangka
mengistimbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya yang terinci. Disebut kaidah
lughawiyah karena kaidah ini merupakan kaidah yang dipakai ulama berdasarkan makna,
susunan, gaya bahasa, dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para
ahli bahasa arab.
Di dalam makalah ini kami menerangkan tentang kaidah ushuliyah 2, yaitu
muthlaq dan muqayyad, mantuq dan mafhum, muradif dan musytarak, nasihk dan
mansukh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Mutlaq dan muqayyad ? bagaimana hukum lafaz Muthlaq dan
muqayyad ?
2. Apa pengertian mantuq dan mafhum ? sebut dan jelaskan pembagian mantuq
dan mafhum !
3. Apa pengertian muradif dan musytarak ? bagaimana hukum lafaz muradif dan
musytarak ?
4. Apa pengertian nasikh dan mansukh ? sebut dan jelaskan pembagian nasikh ?
BAB II
PEMBAHASAN
Ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak mukmin atau hamba
sahaya yang mukmin.1
Menurut Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, muthlaq, ialah :
ً على َفَْرد َأَْو َأََف َْراد َشَاِئَعٍَة ِبدْوِن َقَيد مستَق ّل َلف
. ظا َ ما َ دَ َّل
“Lafad yang menunjuk kepada suatu benda, atau beberapa anggota benda
dengan jalan berganti-ganti.”
.على َفَْرد َأَْو َأََف َْراد َشَا ِئ ََعٍة ِبقَيد مستَق ّل
َ اَلمقَيَّد ماَدَ َّل
“Yang menunjuk kepada suatu benda, atau beberapa anggota benda dengan ada
suatu qaid.”
1
Drs. H. A. Syafi’I Karim, Fiqih/Ushul Fiqih, Bandung : pustia Studio, juli 1997, hal. 171
Menurut Drs. H. A. Syafi’I Karim, muqayyad ialah suatu lafal yang menunjukkan
atas pengertian yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan. Seperti firman Allah
SWT.:
{٩٢: …}النساء ير َرقَ َب ٖة ُّم ۡؤ ِمن َٖة َ َو َمن قَت َ َل ُم ۡؤ ِمنًا َخ
ُ طا فَت َۡح ِر
“dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”
Di sini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan tetapi ditentukan,
hanyalah hamba sahaya yang beriman.
2
Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,
agustus 2001, hal. 321 - 322
َ ارقَةُ فَٱ ۡق
طعُ ٓوا أ َ ۡي ِديَ ُه َما ِ سَّ ار ُق َوٱل
ِ سَّ َوٱل
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya .”
(QS. Al- Maidah : 38)
Muqayyad :
َّ ٰ َٓيأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُ ٓوا ِإ َذا قُمۡ ت ُ ۡم ِإلَى ٱل
ِ صلَ ٰوةِ فَٱ ۡغ ِسلُوا ُو ُجو َه ُك ۡم َوأ َ ۡي ِد َي ُك ۡم ِإلَى ٱ ۡل َم َرا ِف
ق
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.” (QS. Al-Maidah : 6)
Dalam pada itu, ada hadis Nabi yang menjelaskan bahwa pemotongan tangan pencuri
sampai pergelangan.
Ayat 6 Al Maidah yang muqayyad tidak bisa menjadi penjelasan ayat 38 Al Maidah yang
mutlak, karena berlainan sebab, yaitu hendak salat dan pencurian, dan berlainan pula
dalam hukum, yaitu wudhu dan pemotongan tangan. Dalam hal ini hadis Nabi SAW-lah
yang menjadi penjelasan ayat 38 Al Maidah, karena pembicaraannya (sebab dan hukum)
sama.
3. Berbeda hukum, tetapi sebabnya sama. Dalam hal ini masing-masing mutlak dan
muqayyad tetap pada tempatnya sendiri. Contoh mutlak:
َ اَلَتَّيَ َّمم
ضْرِبَه لل َوجه َْو ال َيدَين
Artinya : “Tayamum ialah sekali mungusap debu untuk muka dan kedua tangan”. (HR.
Ammar)
Muqayyad :
Contoh Mutlak:
َّ ٓ ير َرقَبَ ٖة ِمن قَ ۡب ِل أَن يَت َ َما
سا ُ سآئِ ِه ۡم ث ُ َّم يَعُودُونَ ِل َما قَالُوا فَت َۡح ِر َ ٰ َُوٱلَّذِينَ ي
َ ِظ ِه ُرونَ ِمن ن
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum
kedua suami isteri itu bercampur.” (Al-Mujadalah : 3)
ير َرقَ َب ٖة ُّم ۡؤ ِمنَة َ َو َمن قَت َ َل ُم ۡؤ ِمنًا َخ
ُ طا فَت َۡح ِر
“Dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.” (QS. An Nisa : 92)
Kedua ayat di atas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak, sedang sebabnya
berlainan, yang satu karena zhihar yang lain karena pembunuhan yang sengaja.3
3
Drs. H. A. Syafi’I Karim, Fiqih/Ushul Fiqih, Bandung : pustia Studio, juli 1997, hal.171-176.
4
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqih(satu dan dua), Jakarta: Kencana ,2010, hal.99
5
Drs. H. A. Syafi’I Karim, Fiqih/Ushul Fiqih, Bandung : pustia Studio, juli 1997, hal.177
6
Prof. Dr. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2008, hal. 214
“Sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz di luar teks ucapan itu.”7
Mafhum, sesuatu yang ditunjuk oleh lafal, tetapi bukan dari ucapan lafal itu
sendiri. Mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal tidak di tempat
pembicaraan, tetapi dari pemahaman terdapat ucapan tersebut.
Seperti firman Allah :
…
Artinya : “ maka jangan kamu katakana kepada dua orang ibu bapakmu perkataan
yang keji”. QS. Al Isra’: 23
Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian mantuq
yaitu ucapan lafal itu sendiri (yang nyata = uffin) jangan kamu katakana perkataan yang
keji kepada dua orang ibu bapakmu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu
memukul dan menyiksanya (juga dilarang), karena lafal-lafal yang mengandung kepada
arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut
mafhum.8
Jadi yang dinamakan lafaz adalah cetusan dari makna-makna. Terkadang maksud
dari suatu lafaz sesuai dengan yang terucap atau yang tersurat secara jelas, yang demikian
dinamakan “Mantuq”. Dan terkadang yang dimaksudkan oleh suatu lafaz, bukanlah yang
terucap atau yang tersurat, tetapi yang dimaksudkannya adalah yang tersirat, yang
demikian dinamakan “Mafhum”.
B. Pembagian Mantuq dan Mafhum
Pembagian Mantuq
Dilihat dari segi jenisnya, mantuq dapat dibagi dalam dua macam:
a. An-Nash ( )النسatau Sarih ( ) صْريحartinya Jelas atau Tegas.
Maksudnya adalah, lafaz yang tidak memungkinkan untuk di takwil.
Sebagai contoh, firman Allah hal kafarat sumpah bagi orang tidak mampu,
berbunyi :
…
…
…Maka hendaklah berpuasa tiga hari…(QS. Al-Maaidah :89).
7
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqih(satu dan dua), Jakarta: Kencana ,2010, hal.99
8
Drs. H. A. Syafi’I Karim, Fiqih/Ushul Fiqih, Bandung : pustia Studio, juli 1997, hal.177
Ayat tersebut tidak memungkinkan pemalingan artinya kepada arti
yang lain, karena jelas menunjukkan wajib puasa tiga hari.
b. Az Zahir ( )الظاهْرartinya yang tampak atau yang nyata.
Maksudnya adalah, lafaz yang memungkinkan untuk di takwil. Yang
demikian ini sering juga disebut dengan nama ghairu sarih ( ) غيْرصْريحartinya,
tidak jelas maksudnya. Sebagai contoh firman Allah :
…
Dan langit itu kamu bangun dengan tangan…(QS. Azd-Dzariyat: 47).
Arti “tangan” ( )ايدdi ayat tersebut itu ditakwilkan artinya dengan
“kekuasaan” atau “kekuatan”, karena tidak mungkin Allah bertangan seperti
manusia.9
Pembagian Mafhum
Mafhum juga dapat dibedakan kepada 2 bagian:
a. Mafhum Muwafaqah; yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan
lafal yang disebutkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibedakan kepada :
1. Fahwal khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh
hukumnya, firman Allah yang artinya: “jangan kamu katakana kata-kata
yang keji kepada dua orang ibu bapakmu.” Sedangkan kata-kata yang keji
saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
2. Lahnal khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan
yang diucapkan, seperti firman Allah SWT:
9
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqih(satu dan dua), Jakarta: Kencana ,2010, hal.99-101
…
Artinya: “sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak
yatim secara aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perut mereka.”
(QS. An-Nisa: 10).10
b. Mafhum Mukhalafah adalah, mafhum yang didapati dengan jalan mengambil
kebalikan dari mantuq-nya. Macam-macam Mafhum Mukhalafah :
1. Mafhum Sifat ( )مفهوم الصفٍةyakni hubungan hukum terhadap salah satu
sifat dari beberapa sifat sesuatu. Contoh : firman Allah yang berbunyi :
10
Drs. H. A. Syafi’I Karim, Fiqih/Ushul Fiqih, Bandung : pustia Studio, juli 1997, hal.178-179
4. Mafhum Ghayah ( )مفهوم الغايٍةyakni batas yang dijangkau oleh hukum.
Contoh firman Allah yang berbunyi :
...
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku…(QS. Al-Maidah: 6)
5. Mafhum Hashar ( )مفهوم الحصْرyakni pengkhususan hukum dengan
memakai alat pengkhususan, (alat pengkhusus antara lain adalah satu
kalimat naïf atau memindahkan, kemudian diiringi dengan istina’ atau
pengecualian). Sebagai contoh : firman Allah yang berbunyi :
11
…
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi …”(QS. Al-An’am: 145)
11
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqih(satu dan dua), Jakarta: Kencana ,2010, hal.102-107
Contoh: “ لليث = االسدsinga”
Musytarak artinya menurut bahasa adalah, berserikat, berkumpul. Musytarak
dalam ushul fiqih adalah : “lafaz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-
beda.”12
Muradif ialah lafalnya banyak sedang artinya sama (synonym). Seperti lafal asad
dan allaits (artinya singa), hintah dan qamhu (artinya gandum).
Musytarak, ialah suatu lafal yang mempunyai dua arti yang sebenarnya dan arti-
arti tersebut berbeda-beda. Seperti lafal jaun yang artinya putih atau hitam. Apabila arti
yang sebenarnya hanya satu dan yang lain ati majaz, maka tidak dikatakan musytarak.13
B. Hukum lafal
Hukum muradif
Hukum muradif yang dimaksudkan disini adalah tentang timbulnya persoalan
yang dikarenakan adanya lafaz-lafaz muradif, dalam hal demikian, para ulama
mempersoalkan hukumnya, seperti misalnya apakah boleh satu lafal diganti dengan lafal
lain yang maknanya sama. Seperti lafaz االسدdiganti dengan lafaz لليث.
Para ulama umunya berpendirian bahwa bacaan Al-Qur’an yang bersifat
TA’ABUDI, tidak boleh diganti dengan lafaz murafif-nya karena Al-Qur’an dan seluruh
lafaznya adalah mengandung mukjizat, sedang muradif satu lafaz dalam Al-Qur’an
bukanlah teks Al-Qur’an yang dengan sendirinya tidak mengandung mu’jizat.
Sehubungan dengan masalah muradif ada juga para ulama yang berselisih
pendapat dalam hal-hal tertentu, seperti dalam masalah zikir. Dalam masalah zikir itu pun
bagi golongan yang membenarkan muradif, memberikan dua syarat yang harus dipenuhi,
yakni :
1) Boleh dipakai lafaz muradif, bila penggantian lafaz muradif tersebut tidak
mendapat halangan dari Agama, baik secara jelas atau samar-samar.
2) Boleh dipakai lafaz muradif, bila penggantian lafaz boleh dipakai lafaz
muradif-nya itu berasal dari satu bahasa, yakni sama-sama bahasa Arab
misalnya.
Hukum Musytarak
12
Ibid, hal.116-117
13
Drs. H. A. Syafi’I Karim, Fiqih/Ushul Fiqih, Bandung : pustia Studio, juli 1997, hal.195
Yang dimaksudkan dengan hukum musytarak. Disini adalah tentang boleh
tidaknya menggunakan lafaz musytarak. Tentang hal ini para ulama berselisih, pendapat
satu pihak membolehkan, sedang di pihak lain sebaliknya.
Menurut jumhur ulama adalah :
14
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqih(satu dan dua), Jakarta: Kencana ,2010, hal.123
15
Drs. H. A. Syafi’I Karim, Fiqih/Ushul Fiqih, Bandung : pustia Studio, juli 1997, hal.203
…
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa
padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya
mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu
orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang.(QS. Al-
Anfal : 66)
Al-kitab dinasakh dengan As-sunnah
Firman Allah yang berbunyi :
…
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf ( QS. Al-baqarah : 180)
Ayat tersebut di atas, di nasakh oleh hadis nabi yang berbunyi :
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
16
Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul Fiqih(satu dan dua), Jakarta: Kencana ,2010, hal.124-131
1. Bila terdapat lafaz mutlak yang mempunyai dua muqayyad, dan kemungkinan tidak
dapat ditentukan muqayyad yang lebih kuat antara keduanya, maka tidak dapat
dibebankan mutlak pada yang muqayyad. Tapi terpakai kemutlakannya yakni kedua-
duanya terpakai. Contoh : menyamak bejana yang dijilat anjing harus dilakukan
dengan tanah. Dalam satu riwayat menyatakan bahwa pada samakan pertamalah
digunakan tanah. Sedang riwayat yang lain menyatakan bahwa tanah digunakan
samakan terakhir. Dalam hal demikian, maka kedua muqayyad dapat berlaku, yakni
samakan dengan tanah boleh digunakan pertama dan boleh terakhir.
2. Mafhum muwafaqah bisa menjadi hujjah (pegangan). Semua mafhum mukhalafah
bisa menjadi hujjah, kecuali mafhum laqab.
3. Quran dinasakh dengan hadis, dalam hal ini ada dua pendapat, yaitu
Pendapat Imam Syafi’I : Quran tidak dapat dinasakh kecuali dengan Quran pula,
Hadis tidak lain hanyalah mengikuti apa yang telah ditegaskan Quran dan
menjelaskan apa yang telah disebutkan dalam Quran secara ijmal (garus besar).(baca
QS. Yunus : 5).
Pendapat Jumhur Ulama : Hadis Nabi adalah syariat dari Tuhan juga sebagaimana
Quran. Apa yang dating dari Nabi sama dengan apa yang dating dari Quran, karena
apa yang dikatakan Nabi bukan ke luar dari hawa nafsunya.(baca QS. An-Najm : 3).
DAFTAR PUSTAKA
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih(satu dan dua). Jakarta: Kencana
Karim, Syafi’i. 1997. Fiqih/Ushul Fiqih. Bandung : pustia Studio
Ash Shiddieqy, Teungku. 2001. Pengantar Hukum Islam. Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra
Effendi, Satria dkk. 2008 .Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana