Anda di halaman 1dari 6

TEORI INTERTEKSTUAL

“Memahami Teori Intertekstual dalam Karya Sastra”

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Teori Sastra
I

Disusun Oleh:

Nurul Alifiah

121811133034

DEPT. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2019
Pendekatan intertekstual pertama kali digagas oleh pemikiran Mikhail
Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar pada sastra. Menurut
Baktin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra
dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra
lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutpan (Noor 2007: 4-5)

Kemudian, pendekatan intertekstual tersebut diperkenalkan atau


dikembanngkan oleh Julia Kristeva. Menurut Kristeva, Intertekstualitas merupakan
sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva(Worton 1990:1). Istilah
intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu teksdengan teks
lain. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan,
tiapteks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain (1980: 66).
Kristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, peresapan, dan
transformasi teks-teks lain.Sewaktu pengarang menulis, pengarang akan
mengambil komponen-komponen teks yang lainsebagai bahan dasar untuk
penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna denganpenyesuaian, dan
jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh.

Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua alasan.


Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses
penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis
rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses
pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada
pengarang melalui proses pembacaan (Worton, 1990: 1).

Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip dan kaidah tersendiri


dalam penelitian karya sastra, antara lain: (1) interteks melihat hakikat sebuah teks
yang di dalamnya terdapat berbagai teks; (2) interteks menganalisis sebuah karya
itu berdasarkan aspek yang membina karya tersebut, yaitu unsur-unsur struktur
seperti tema, plot, watak, dan bahasa, serta unsur-unsur diluar struktur seperti unsur
sejarah, budaya, agama yang menjadi bagian dari komposisi teks; (3) interteks
mengkaji keseimbangan antara aspek dalaman dan aspek luaran dengan melihat
fungsi dan tujuan kehadiran teks-teks tersebut; (4) teori interteks juga menyebut
bahwa sebuah teks itu tercipta berdasarkan karya-karya yang lain. Kajian tidak
hanya tertumpu pada teks yang dibaca, tetapi meneliti teks-teks lainnya untuk
melihat aspek-aspek yang meresap ke dalam teks yang ditulis atau dibaca atau
dikaji; (5) yang dipentingkan dalam interteks adalah menghargai pengambilan,
kehadiran, dan masuknya unsur-unsur lain ke dalam sebuah karya (melalui Napiah,
1994: xv).

Pada hakikatnya, teori intertekstual lebih mudah dipahami dan digunakan


sebagai metode pendekatan dalam penelitian sastra. Hal yang paling mendasari
ialah dalam pengambilan objek penelitian cukup mudah. Hampir sebagian novel
atau karya sastra popular lahir karena adanya pengaruh atau acuan dari karya-karya
sastra sebelumnya. Baik itu dalam bentuk kerangka, alur atau inti cerita, satu
peristiwa, kemudian berdasa pada sebuah ideologi atau faham yang sama. Karena,
tidak dapat dipungkiri seorang penulis adalah seorang pembaca sebelumnya.

Suatu teks menurut teori intertektual dipercaya tidak dapat berdiri sendiri.
Maksudnya ialah dalam penciptaannya diyakini memiliki sisipan atau merupakan
hubungan dari suatu karya di masa lampau. Lain halnya dengan plagiarism,
intertekstual dianggap sebagai trasformasi teks-teks lain dan sebagai sebuah
tindakan interpretasi, maka dapat dikatakan bahwa persoalan transformasi
meruapakan bagian esensial dalam teori intertekstual.

Sebagaimana yang dapat saya pahami. Suatu karya seperti puisi atau prosa
merupakan suatu aktivitas-aktivitas bahasa yang demikian itu dapat memungkinkan
terjadinya pemaknaan-pemaknaan yang bermacam-macam. Karya sastra kapan
pun itu ditulis kecil kemungkinan lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra akan
muncul pada masyarakat yang telah memiliki konvensi, tradisi, pandangan tentang
estetika, tujuan berseni, dan lain-lain, yang kesemuanya dapat dipandang sebagai
wujud kebudayaan.

Dalam hal ini, yang dapat dipahami sastra dipandang sebagai “rekaman”
terhadap pandangan masyarakat berkenaan dengan segala sesuatu yang melingkupi
kehidupannya. Teori intertekstual memandang bahwa sebuah teks yang ditulis
lebih kemudian mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang
sebelumnya. Dalam arti tidak ada sebuah teks yang benr-benar mandiri, teks lahir
melalui proses penciptaan yang dapat dirunut hubungannya dengan teks-teks lain
baik langsung maupun tidak langsung.

Tujuan kajian intertekstual dalam pemaknaannya ialah untuk memberikan


makna secara lebih penuh terhadap karya yang ditelaah. Sebuah karya sastra tidak
dapat dilepaskan kaitannya dengan teks-teks lain yang telah ada, sehingga dalam
upaya memahami sebuah karya sastra kita juga harus mengenal dan memahami
karya atau teks-teks lain yang terkait. Mayorita penulisan sebuah karya sering
dikaitkan dengan unsur kesejaharan sehingga pemberian makna akan lebih lengkap
jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan tersebut.

Penilaian terhadap ada tidaknya hubungan antarteks erat kaitannya dengan


niata pengarang dan tafsiran pembaca. Entah itu pengarang ataupun pembaca akan
mendasarkan dirii dan mengaitkan dengan teks-teks lain. Kembali pada point
utama, itertekstual sangat dipengaruhi dengan sikap pembaca dalam membaca teks
sastra. Intertekstual dapat memberi bimbingan kepada pembaca untuk memandang
teks-teks terdahulu sebagai sumbangan pada suatu kode yang memungkinkan efek
signifikan yang bermacam-macam.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimiliki pembaca, maka


dengan tidak langsung setiap membaca suatu teks, pembaca akan dapat
mengidentifikasi unsur-unsur teks lain pada karya yang baru. Dengan demikian,
dalam proses pembacaan nya, seorang pembaca akan “membongkar” teks-teks
yang pernah dikenalnya yang kemudian dihubungkan dengan teks yang dihadapi.

Berhadapan dengan sebuah teks pada hakikatnya pembaca tidak hanya


membaca teks yang dibaca saja, melainkan “berdampingan” dengan teks-teks lain
sehingga interpretasi terhadapnya tidak dapat dilepaskan dari teks-teks lain
tersebut. Prinsip intertekstual yang utama adalah prinsip memahami dan
memberikan makna karya yang bersangkutan secara hipogram berdasarkan
persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain
sebelumnya. Jika dalam pemaknaan suatu karya ditemukan unsur-unsur suatu karya
pada masa lampau maka kedua karya tersebut dapat diperbandingkan. Tugas utama
pembaca adalah mengetahui dengan jelas perbedaan dan persamaan dalam teks
yang diteliti menggunakan metode pendekatan intertekstual.

Dari beberapa sumber yang terdapat dalam website ataupun blog berisi
artikel ilmiah tentang teori intertekstual terdapat 10 tesis intertekstual yang
dirangkum oleh beberapa pendapat tokoh ataupun buku. Salah satunya ialah
konsep intertekstual menghendaki bahwa teks harus dipahami bukan sebagai
sebuah struktur yang dipertahankan oleh dirinya sendri, tetapi sebagai sesuatu yang
bersifat historis dan berbeda-beda. Teks dibentuk bukan melalui waktu yang
immanen, tetapi melalui permainan temporalitas yang terpisah-pisah.

Maksudnya ialah cukup sulit ditemukan suatu karya yang dalam


penciptaannya berdiri sendiri tanpa diikuti suatu unsur dari karya atau teks yang
lampau.

Kesimpulannya ialah tiap-tiap teks atau karya sastra yang hadir dalam
penciptaannya sangat erat kaitannya dengan karya atau teks yang lampau, baik itu
dalam bentuk kerangka, latar belakang sejarah, latar belakang faham ataau
ideologi,ataupun hal-hal yang lain yang dapat membentuk suatu teks. Dalam
prinsipnya intertekstual menganggap bahwa tiap pengarang merupakn pembaca
sebelumnya, sehingga tidak dapat dipungkiri setiap periode ataupun rentang waktu
pati terdapat suatu karya yang memiliki kesamaan.
Daftar Rujukan

Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics, Structuralism, Linguistics, and the Study of
Literature.London: Routledge & Kegan Paul.

Jabrohim (ed.) 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language a Semiotic Approach to Literature and Art. Oxford: Basil
Blackwell.

Napiah, Abdul Rahman. 1994. Tuah Jebat dalam Drama melayu: Satu Kajian Intertekstualiti.
KualaLumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.

Noor, Redyanto. 2007. “Perspektif Resepsi Novel Chiklit dan Teenlit Indonesia” Makalah Diskusi
Program Studi S3 Sastra.

Prodopo, Rachmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Riffaterre. Michael. 1978. Semiotic of Poetry. London: Metheun & Co. Ltd.

Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Worton, Michael dan Judith Still. 1990. Intertextuality and Practices. New York: Manchester
University Press.

Anda mungkin juga menyukai