Anda di halaman 1dari 13

PENDEKATAN KRITIK SASTRA

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Naqd Al Adab
yang dibina oleh: M. Anwar Masadi, MA

Disusun Oleh:
Gilang Fauzi (15310135)
Raenza Agung Pratama (17310092)
Achsanul Fikri Arrizki (17310007)
Tyas Tsani Nugraha (17310106)

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM

FAKULTAS HUMANIORA

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB

2019
ABSTRAK
Pendekatan seperti yang akan di jelaskan adalah pandangan awal kritikus
terhadap karya sastra, yang mana akan menilai atau melihat apakah karya sastra
yang dihasilkan sebagai objek yang tidak terkait apapun atau terkait dengan
pengarang (pencipta), pembaca (penikmat), kondisi sosial yang melingkupinya.
Pendekatan pula merupakan pijakan atau pondasi dasar yang menentukan sikap
kritikus dalam pemilihan teori, penggunaan metode, dan penilaiannya melalui
analisis dan penafsiran. Pendekatan sastra sendiri di bagi menjadi dua, yaitu
intrinstik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinstik merupakan pendekatan yang
dilakukan melihat dari segi struktur atau materi yang terdapat didalam sebuah
karya sastra. Menurut Dina Gasong dalam buku Bahan Ajar Mata Kuliah Kritik
Sastra,“Pendekatan intrinstik adalah cara menelaah suatu artifact (karya sastra),
sedangkan sastra ekstrinsik berlandaskan pada teori-teorinya bukan pada
pengertian terhadap struktur dalam sebuah karya sastra. Pendekatan ini
menggunakan pengertian dan gagasan serta teori-teori tertentu untuk
menganalisis dan makna-makna di balik aspek atau unsur struktur dari unit
sastra tertentu. Dalam makalah ini akan di bahas mengenai dua poin tersebut.
Kata Kunci: Pendekatan sastra, intrinstik, ekstrinsik

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Pendekatan kritik sastra merupakan salah satu hal yang sangat penting
bagi pengkritik karya sastra, tanpa adanya ilmu pendekatan ini pengkritik
akan kesulitan bahkan akan tidak terbiasa untuk megkritik. Karena
mengkritik tidak semudah yang di bayangkan. Para peneliti sastra pun
sudah meneliti dari berbagai aspek dari pendekatan sastra. Mulai dari
pendekatan intrinstik dan ekstrinsik, keduanya meiliki pengertian yang
berbeda dan poin yang berbeda pula. makna dari pendekatan sendiri
adalah bukan berarti kita akan mendekati sastra seperti makna sebenarnya
akan tetapi pendekatan disini bermakna pandangan awal para kritikus
karya sastra pada karya sastra yang akan di kritiknya. Dari segi apa di
nilai nya karya sastra itu akan di kritik, apakah dari segi intrinstik atau
ekstrinsik
B. Rumusan Masalah

1. Apakah pendekatan kritik sastra itu?


2. Apa yang di maksud dengan kritik sastra intrinstik?
3. apa yang di maksud dengan kritik sastra ekstrinsik?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu pengertian dari pendekatan kritik sastra


2. Untuk mengetahui poin – poin dari kritik sastra intrinstik
3. Untuk mengetahui makna dan poin – poin dari pendekatan sastra
ekstrinsik

BAB II
PEMBAHASAN
Pendekatan (approach) adalah pandangan awal kritikus terhadap
karya sastra, yang mana menilai atau melihat apakah karya sastra yang
dihasilkan sebagai objek yang tidak terkait apapun atau terkait dengan
pengarang (pencipta), pembaca (penikmat), kondisi sosial yang
melingkupinya. Pendekatan pula merupakan pijakan atau pondasi dasar
yang menentukan sikap kritikus dalam pemilihan teori, penggunaan
metode, dan penilaiannya melalui analisis dan penafsiran. (Yudiono K. S,
Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, hlm: 43).
Dalam menganalisis, menilai, dan menafsirkan sebuah karya sastra
pastinya ada orientasi-orientasi atau pendekatan-pendekatan untuk
menentukan corak atau arah kritik sastra. Orientasi atau tipe sebuah karya
sastra mencakup alam (kehidupan), pembaca, penulis, dan karya sastra.
Berdasar hal itu Abramberpendapat ada empat orientasi atau tipe dilihat
dari pendekatannya, yaitu:
1. Tipe atau orientasi mimetik, yang mana melihat atau menilai
bahwa karya sastra sebagai tiruan, cerminan, ataupun representasi
alam ataupun kehidupan. Spesifikasi yang digunakan pada karya
sastra adalah “kebenaran” sesuatu yang digambarkan atau yang
akan digambarkan. (Rachmat Djoko Pradopo , Prinsip-Prinsip Kritik
Sastra, hlm:26). Orientasi atau tipe ini pertama kali dikemukakan
oleh filsuf Plato dan Aristoteles. Menurut Plato bahwa realitas
sosial dan ide memiliki nilai jauh diatas dibandingkan nilai seni
yang hanyalah tiruan alam. Menurut Aristoteles, seni merupakan
aktivitas manusia, yangmana tiruan tersebut yang membedakannya
dari segala sesuatu yang nyata dan umum.Pandangan ini telah
berkembang jauh hingga memunculkan sosiologi sastra atau
psikologi sastra yang memandang karya seni sebagai catatan-
catatan sosial atau penggambaran kehidupan masyarakat, atau
catatan-catatan dunia batin masyarakat yang terwujud di dalam
dunia batin pengarang dan tokoh-tokoh penciptanya. Menurut
penjelasan diatas, karya sastra merupakan bentuk persepsi
pengarang terhadap realitas atau kenyataan kehidupan sosial pada
suatu zaman yang memunculkan pemahaman sastra yang berarti
pengkajian hubungan antara karya sastra dengan ideologis yang
tumbuh di dalam masyarakat dan zamannya. ( Yudiono K. S,
Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, hlm: 42)
2. Tipe atau orientasi pragmatik, melihat atau menilai karya sastra
sebagai sarana atau fasilitas untuk membantu pembaca mencapai
tujuan yang mencakup keindahan, jenis-jenis emosi, pendidikan
atau efek-efek yang lainnya terhadap pembaca (penikmat) karya
sastra. (Rachmat Djoko Pradopo , Beberapa Teori Sastra,Metode Kritik,
dan Penerapannya, hlm: 94). Keberhasilan pembaca dalam
mendapatkan tujuan tadi adalah kecenderungan pengambilan nilai
dari karya tersebut. Tipe atau orientasi ini menguasai perdebatan
sastra dari jaman Romawi sampai abad ke-18, yang dihidupkan
kembali oleh kritik retorik sekarang ini, untuk menarik dan
mempengaruhi respon-respon pembaca kepada masalah yang
diperlihatkan dalam karya sastra butuh adanya penekanan dalm
strategi estetik. (Rachmat Djoko Pradopo , Prinsip-Prinsip Kritik
Sastra, hlm: 26)
3. Tipe atau orientasi ekpresif, melihat atau menilai karya sastra
sebagai ekspresi, ungkapan, luapan perasaan dari hasil imajinasi
pengarang, pikiran, dan perasaannya. Melihat atau menilai
keaslian, kemulusan, kesejatian, atau kecocokan dengan keadaan
pikiran dan kejiwaan pengarang adalah cara yang cenderung
digunakan dalam tipe atau orientasi ini. ( Rachmat Djoko Pradopo ,
Beberapa Teori Sastra,Metode Kritik, dan Penerapannya, hlm: 94). Tipe
atau orientasi ini menonjol pada abad ke-19 dan dikembangkang
terutama oleh kritikus romantik dan secara luas digunakan dan
diberlakukan hingga masa kini. (Yudiono K. S, Pengkajian Kritik
Sastra Indonesia, hlm: 43)
4. Tipe atau orientasi objektif, tipe ini memandang atau menilai karya
sastra sebagai dunia otonom yang dilepaskan dari dunia pengarang
dan latar belakangnya, yang mencakup sosial budaya menjadikan
karya sastra dapat dianalisis berdasar strukturnya sendiri atau karya
sastra ini dapat dipahami berdasar segi intrinstiknya. ( udiono K. S,
Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, hlm: 43) Yang menjadi
kecenderungan dalam orientasi ini adalah presepsi yang
memandang dan menilai karya sastra atas kompleksitas, koherensi,
keseimbangan, integritas, dan keterhubungan antara unsur yang
membentuk karya sastra. (Rachmat Djoko Pradopo , Beberapa Teori
Sastra,Metode Kritik, dan Penerapannya, hlm: 94). Dengan kata lain
karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari
penyair, audience, dan dunia yang mengelilinginya. Pendekatan ini
adalah pendekatan yang bersifat khusus yang digunakan sejumlah
kritikus sejak tahun 1920-an. (Prinsip-Prinsip Kritik Sastra, hlm: 27).

1.1 Pendekatan Intrinstik dalam Kritik Sastra

2. Pendekatan Intrinstik
Pendekatan intrinstik merupakan pendekatan yang dilakukan
melihat dari segi struktur atau materi yang terdapat didalam sebuah karya
sastra. Menurut Dina Gasong dalam buku Bahan Ajar Mata Kuliah Kritik
Sastra,“Pendekatan intrinstik adalah cara menelaah suatu artifact (karya
sastra) berdasarkan struktur atau materi sastra yang terdapat hanya
didalam naskah.” (2018 : 86). Pendekatan intrinstik ini mengacu pada
elemen-elemen internal dalam suatu karya sastra. Termasuk dalam
pendekatan intrinstik ini diantaranya pendekatan strukturalisme dan
formalisme serta pendekatan eksponensional.
a. Pengaluran (plot)
Jalannya sebuah kisah atau sebuah drama disebut alur. Pengaluran
adalah teknik penulisan alur yang merangkaikan peristiwa atau kejadian
demi kejadian atas dasar kaitan/hubungan sebab dan akibat (hubungan
kausalitet).1Seperti yang kita tahu bahwa alur atau pengaluran terdiri dari
tiga macam, yaitu alur maju, mundur, dan campuran.
Kehadiran alur ataupun plot dapat membantu mengidentifikasi
jawaban atas pertanyaan; mengapa suatu peristiwa sudah terjadi, sedang
terjadi, atau akan terjadi.
b. Penokohan
Tokoh adalah pemeran fiktif dalam sastra (literary work) yang mana
penokohan ini merupakan suatu teknik untuk mengungkap karakter tokoh
yang dilibatkan dalam suatu cerita. Penokohan ini menggambarkan
perwatakan dan penggambaran tampang luar tokoh tertentu seperti
rambut, mata, hidung, tinggi badan, dan lain sebagainya.
Karakter dalam sebuah cerita itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu flat
character (tokoh datar) dan round character (tokoh bulat/tokoh penuh
warna). Flat character menunjukkan karakter tokoh yang cenderung tetap
tanpa berubah dari awal cerita sampai akhir cerita. Sedangkan round
karakter merupakan kebalikan dari flat character yang mana perwatakan
dari tokoh senantiasa berubah dan berkembang dari awal sampai akhir
cerita.
Selain flat dan round dalam pembedaan tokoh, ada juga pembedaan
berdasarkan tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama ini mencakup

1
Dina Gasong , Bahan Ajar Mata Kuliah Kritik Sastra, Yogyakarta, 2018, hlm: 87
tokoh protagonis maupun antagonis. Sedangkan tokoh bawahan ini
mencakup tokoh kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.

c. Gaya (style)
Gaya atau style merupakan suatu ciri khas yang dimiliki oleh seorang
penulis. Dina Gasong berpendapat bahwa “Gaya atau style adalah cara
dan warna tertentu dari ungkapan khas dari seorang penulis. Bagaimana
dia menulis itulah gayanya: pemilihan kata (diksi), simbol-simbol yang
dipakainya, bentuk dan ukuran kalimat serta paragraf yang digunakan
dalam cara pengungkapan diri. Nada suara batin penulis dapat terasa
dalam gayanya. Gaya itu bisa bercorak bahasa ilmiah, puitik, emotif,
jurnalistik, atau corak lain” (2018 : 91-92)

d. Latar (setting)
Latar merupakan suatu indikasi yang menunjukkan tempat dan waktu
dari sebuah cerita. Biasanya dapat menjawab pertanyaan yang
menanyakan tentang “dimana” dan kapan”. Dalam sebuah puisi, novel,
cerpen dan lain sebagainya penulis mempunyai wewenang penuh untuk
menentukan latar sesuai dengan kehendak penulis.
e. Atmosfer/suasana (atmosphere)
Latar tak terpisahkan dari atmosfer atau suasana. Suatu peristiwa
biasanya terjadi pada suatu tempat dan waktu tertentu yang mengandung
suasana tertentu. Selain suasana lahir ada juga suasan batin. Suasana batin
biasanya lahir dari dalam diri pembaca setelah memasuki memasuki dunia
imaginasi pengarang lewat alur dan penokohan diatas latar tertentu.2
f. Tema (theme)
Tema adalah ide sentral yang diangkat menjadi pokok bahasan atau
ungkapan. Cemburu, dendam, benci, ambisi dapat dijadikan ide sentral
yang diangkat kedalam topik atau subjek (pokok masalah) yang ingin
diungkap. Tema dapat juga menjadi tujuan penulisan. Untuk apa sesuatu
itu ditulis? Itulah tema yang biasanya terjabar melalui pesan yang terbawa
dalam peranan tokoh atau peristiwa yang melibatkan berbagai tokoh.
Tema juga disebut motif pada saat dia difungsikan untuk menggerakkan
penulis dalam menulis. Dia menjadi jawaban atas pertanyaan ‘atas dasar
apa’ sesuatu itu ditulis. Tema biasa dapat ditemukan atau disimpulkan
setelah dibuat analisis terhadap komponen-komponenlain dalam struktur
cerita, terutama komponen alur dan penokohan.3

2
Dina Gasong , Bahan Ajar Mata Kuliah Kritik Sastra, hlm: 92-93
3
Dina Gasong , Bahan Ajar Mata Kuliah Kritik Sastra, hlm: 93
3. Pendekatan Struturalis dan Formalis (formalistik)/ New
Criticism
Komponen atau elemen internal yang membangun keutuhan sebuah
karya sudah dikemukakan didalam pendekatan intrinstik. Pendekatan
terhadap komponen-komponen bisa juga disebut sebagai pendekatan
secara struktural, dan ada pendekatan strukturalis. Pendekatan strukturalis
biasa juga disamakan dengan pendekatan formalistis yang mendasari
penelaahannya atas teori strutur sebuah karya. Pendekatan formalis (tik)
berusaha menjawab pertanyaan: apakah itu sebuah karya sastra?, apakah
bentuk dan efeknya, dan bagaimanakah bentuk serta efek yang bisa
ditimbulkannya. Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini
hanya ditemukan dalam teks. Termasuk dalam bentuk adalah simbol-
simbol, alegori, cerita sebagai satu struktur, dinamika atau dialektika
(flow of ideas) dalam alur dan penokohan.
Pendekatan formalistis akan senantiasa menekankan ‘form’ atau
bentuk atau struktur sebagai satu kesatuan yang yang melahirkan efek
estetik. Bila ada bagian tertentu tidak menunjang kesatuan, maka terjadi
destruksi pada bentuk, sehingga hilanglah efek estetik. Bagi seorang
kritikus formalis atau penganut new criticism atau strukturalism antara
bentuk dan isi tak ada perbedaan.4

4. Pendekatan Eksponensial
Pendekatan eksponensial ini bercorak formalistik, namun lebih
menekankan penelaahannya pada makna dibalik simbol-simbol dan imaji-
imaji dalam cerita. Tema dan berbagai pesan dalam kisah tidak sekedar
hasil ungkapan bahasa (language), melainkan ungkapan makna yang
justru terbawa oleh simboldan berbagai imaji yang meramu jalannya
kisah. Pendekatan ini mempelajari ‘exponents’ yaitu kata, benda-benda
bahkan orang-orang yang berfungsi sebagai simbol dalam membangung
pola cerita (patterns).5

1.2. Pendekatan Ekstrinsik dalam Kritik Sastra

Pendekatan kritik sastra ekstrinsik berlandaskan pada teori-


teorinya bukan pada pengertian terhadap struktur dalam sebuah karya
sastra. Pendekatan ini menggunakan pengertian dan gagasan serta teori-
teori tertentu untuk menganalisis dan makna-makna di balik aspek atau
unsur struktur dari unit sastra tertentu. Teori-teori inilah yang dijadikan
kriteria untuk menelaah apa yang terdapat di dalam teks naratif atau teks
puisidan dramatis.

4
Dina Gasong , Bahan Ajar Mata Kuliah Kritik Sastra, hlm: 94
5
Dina Gasong , Bahan Ajar Mata Kuliah Kritik Sastra, hlm: 95
1. Pendekatan Tradisional

Pendekatan mengarahkan analisisnya bukan pada hal-hal yang


intrinstik tekstual, melainkan menggunakan biografi, atau sejarah,
sang kritikus pun biasa menggunakan konsep moral dan filsafat yang
dianut masyarakat atau yang di pelajari dan di kuasainya untuk
menilai baik atau buruknya sebuah karya sastra.
Pendekatan biografis adalah penelaahan yang didasarkan pada
biografi pengarang atau seniman sastra. Terutama paham atau aliran
dan pandangan hidup yang di anutnya. Inilah yang dilihat dalam
makna yang tercermin dalam karya sastra sang seniman.
pendekatan historis mengandalkan bahan dan kebenaran dari fakta
sejarah sebagai tumpuan dan acuan yang dominan dalam penilaian
naskah. Sejarahlah yang yang menjadi hakim atas naskah.
hingga kini pendekatan tradisional masih di gunakan tapi tidak
sebagai penunjang pendekatan lain.
2. Pendekatan Psikologis

Pendekatan psikologis adalah suatu cara memasuki suatu karya


sastra kreatif dengan menggunakan pengetahuan dan pengalaman
kejiwaan untuk menangkap makna-makna kejiwaan para tokoh dan
latar belakang berbagai konflik yang telah menghadirkan dinamika
dalam alur. Berbagai aliran yang menyangkut disiplin ilmu jiwa atau
studi tentang manusia dapat membantu pendekatan yang bersifat
psikologis.
Pendekatan psikologis adalah sesuatu yang sangat berguna, namun
tetap kurang memadai sebagai alat (tool) untuk menelaah suatu karya
secara total. Dengan demikian pendekatan tradisional masih tetap bisa
memberi sesuatu tambahan yang melengkapi suatu cara pendekatan,
termaasuk pendekatan psikologis.
Freud (1852 – 1939) berteori bahwa seorang penulis adalah
manusia yang cenderung memberi kepuasan erotik pada dirinya
melalui karya, karena dalam dunia nyata hal itu tak mungkin
terpuaskan. Melalui imajinasi seorang penulis karya sastra
membangun suatru struktur rekaan (fantasi) dari suatu kehidupan
angan-angan. Dalam dunia angan-angan inilah ia menemukan
semacam kepuasan
Teori Freud tentu mempunyai kelemahan, dia terlalu memberi pola
yang sama pada para pelaku (generalisasi para pelaku), sehingga
setiap perwatakan yang seharusnya berbeda pada setiap tokoh
terlewati atau tak tergubris.
3. Pendekatan Rhetorik

Pendekatan Rhetorik adalah sebuah metode yang menelaah hal-hal


yang terdapat dari karya dalam hubungannya dengan aspek luar, yaitu
pengarang dan audiens pembaca / pendengar. Pendekatan inilah yang
secara jelas menggunakan cara penelaahan yang bertumpu pada aspek
intrinsic dan ekstrinsik dari sebuah karya. Dalam batasan tertentu
pendekatan ini menaruh minat pada karya sebagai ciptaan pengearang
yang dijabarkan dalam suatu proses yang menimbulkan efek dari segi
bahasa yang digunakan. Cerita rekaan yang diamati lewat pendekatan ini
memangdang karya sebagai alat komunikasi yang menyampaikan
informasi. Dan lebih ditekankan pada bagaimana efek yang ditimbulkan
oleh Bahasa dan teknik penulisan sebagai saran atau alat komunikasi yang
menyampaikan informasi tertentu. Pendekatan ini misalnya, akan
membahas metaphor, cara berpikir penulis dalam penuangan ide,
silogisme secara induktif fiktif, ironi, dan hal-hal lain yang menjadi
kekuatan suatu komunikasi rhetorik.
4. Pendekatan Linguistik
Pada abad ke-20 ilmu bahasa (Linguistik) sudah berkembang menjadi
disiplin studi tersendiri, bahkan tergolong “Science”, namun tak
terpisahkan dari studi atau ilmu sastra. Secara singkat dapat dirumuskan
bahwa pendekatan ini menggunakan linguistik sebagai kriteria untuk
meneliti dan menelaah sebuah karya sastra.
Pandangan para penelaah yang menggunakan pendekatan ini ialah
bahwa “Bahasa adalah medium sastra, sehingga semakin Bahasa itu
diketahui semakin sastra itu didalami, bahkan melalui kritik sastra dengan
pendekatan linguistic seseorang penelaah dapat jauh memasuki diri
pengarang dan karyanya sejauh dia mengamati dan menggumuli struktur,
dan berbagai komponen Bahasa yang digunakan pengarang dalam
karyanya.
Namun sulit diterima bahwa hal-hal estetik literer dapat dijangkau
oleh pendekatan ini. Ada nuansa dan suasana tertentu dibalik ungkapan
Bahasa yang sulit diamati secara jelas oleh linguistic sebagai science yang
terbatas pada hal-hal yang rasional tanpa menyentuh hal-hal yang
menyangkut “human subtle emotion and feelings” (emosi dan cita rasa
manusiawi yang halus)
5. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis dapat ditandai secara tradisional. Bila penelaah
mengutamakan masyarakat atau miliu sosial sebagai bahan kriteria untuk
menilai karya sastra tertentu, terutama novel atau prosa fiksi.
Bagaimanapun pendekatan ini juga telah mengalami perkembangan,
sehingga tidak terbatas pada kenyataan masyarakat. Melainkan juga pada
suatu ideology yang melatarbelakangi suatu warna dominan dalam
masyarakat tertentu yang diangkat pengarang ke dalam karya tulisnya.
Sebagai contoh, pendekatan sosiologis dapat menilai suatu karya
tertentu berdasarkan kacamata ideologi “marxisme” atau “Pancasila” atau
ideologi yang mengutamakan kemerdekaan dan hak-hak asasi manusia
atau paham lainnya yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Perjuangan klas (orientasi marxisme) dapat dibaca pada sebuah novel
tertentu yang terkenal pengaruhnya dan terbaca dalam karya tulis sastra.
Dalam konteks yang sempit ini pendekatan ini sering disamakan dengan
“Marxism ritism” meskipun tidaklah berarti penelaah yang
menggunakannya adalah Marxist.
6. Pendekatan Mitologis/Moral

Pendekatan mitologis lebih mengarah kepada pikiran dan perwatakan


umum manusia. Mitos – mitos berfungsi sebagai symbol-simbol dengan
makna yang berusaha menimbulkan harapan-harapan, impian-impian,
cita-cita dan berbagai rasa takut dan gelisah manusia pada umumnya.
Makna-makna mitologis itu terdapat antara lain di balik simbol-
simbol yang biasanya di terima manusia, lalu diangkat ke dalam dunia
fiksi oleh seniman sastra. Simbol- simbol itu antara lain, air (rahasia
penciptaan), termasuk sungai dan lautan, matahari, warna, lingkungan
(lambang kesempurnaan atau keutuhan, kesatuan),berbagai jenis binatang,
bilangan, pohon, gurun atau padang pasir, kematian dan keabadian,
musim, panas dan hujan serta simbol lain yang mengandung makna
tertentu lewat kepercayaan atau anutan budaya tertentu.
Bila pendekatan tradisional lebih menekankan kriterianya pada dasar
sejarah dan biografi penulis, maka pendekatan mitologis lebih pada pre
historis/pra-sejarah dan kisah para dewa.
7. Pendekatan Aristotelian

Pendekatan Aristotelian ini lebih sesuai penerapannya pada drama


tragedi. Aristoteles merumuskan drama sebagai peniruan akting atau
lakon yang serius, lengkap dan dalam batas tertentu di pandang agung.
Bahasanya diperindah oleh gaya bahasa yang kaya simbol (bahasa kiasan)
sebagai dalam berbagai naskah.
Dasar utama yang di ajukan dalam pendekatan ini ialah adanya unsur
logis atau adanya relasi logis antara awal-tengah-akhir dari suatu cerita
yang membangun suatu satu kesatuanpikiran logis yang urutannya pun
logis dan terpadu.
8. Pendekatan Phenomenologis

Pendekatan ini mencoba membahas realitas fiktif dalam cerita rekaan


sekaligus realitas nyata yang terbangun dalam dunia pengetahuan dan
pengalaman pengarang berdasarkan keanyataan yang dihidupinya dan
diangkatnya kedalam karyanya.
Oleh karena itu pendekatan ini menurut seorang penelaah untuk
membaca dan menemukan dunia pengetahuan dan pengalaman pengarang
sebagai acuan utama untuk memasuki realitas fiktif dalam karyanya
sebagai cermin balik dari phenomena nyata dalam kehidupan.
Dasar filosofi dari pendekatan ini adalah bahwa seni bukanlah upaya
untuk menyajikan sesuatu yang menyenangkan atau memberi
kenikmatan, melainkan suatu pembukaan tabir dari realitas yang ada.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Pendekatan (approach) adalah pandangan awal kritikus terhadap karya sastra,
yang mana menilai atau melihat apakah karya sastra yang dihasilkan sebagai
objek yang tidak terkait apapun atau terkait dengan pengarang (pencipta),
pembaca (penikmat), kondisi sosial yang melingkupinya.Pendekatan kritk di bagi
menjadi dua, intrinstik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinstik adalah merupakan
pendekatan yang dilakukan melihat dari segi struktur atau materi yang terdapat
didalam sebuah karya sastra. Sedangkan pendekatan ekstrinsik adalah pendekatan
yang berlandaskan pada teori-teorinya bukan pada pengertian terhadap struktur
dalam sebuah karya sastra.
Dari beberapa materi di yang telah di paparkan di atas memiliki banyak
kendala dan kekurangan, khusunya dalam memahami materi dan mencari
referensi. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi semua

Daftar Pustaka
Yudiono, K. S. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo
Djoko Pradodopo, Rachmat. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Djoko Pradopo, Rachmat. 1997. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Gasong, Dina. 2018. Kritik Sastra. Yogyakarta: Deepublish

Anda mungkin juga menyukai