Anda di halaman 1dari 5

K.

H Abdul Muqim (1942-2017)

Ditulis oleh : Achsanul Fikri Arrizki


K.H Abdul Muqim merupakan seorang sosok kyai kharismatik yang ada di sebuah
desa pinggir bengawan solo kecamatan Malo kabupaten Bojonegoro. Beliau merupakan
sosok yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Keilmuan dan akhlak yang dimilikinya
tak perlu diragukan lagi. Dari tulisan ini saya akan mencoba untuk sedikit menulis biografi
beliau yang sudah saya dapatkan dari beberapa narasumber mulai adik, menantu, partner
kerja dan murid atau santrinya.
K.H Abdul Muqim lahir pada tahun 1942 bersamaan dengan kedatangannya Jepang
ke Indonesia dan menjajah Indonesia, tepatnya pada tanggal 03 bulan november 1942. Beliau
bagai mutiara kecil untuk ibu dan ayahnya, dimana pada saat itu sedang terjadinya gejolak
hebat di Indonesia, dan beliau datang bagaikan pelipur lara ditengah ombak besar yang
menerpa. Beliau merupakan anak pertama dari keluarga sederhana bapak Mustajib dan ibu
Sukeni. Beliau lahir di desa Ngelebak kecamatan Malo Bojonegoro. Beliau merupakan anak
pertama dari 4 bersaudara. (1) Abdul Muqim (2) Abdul Rozak (3) Abdul Malik (4)
Mukarromah.
Abdul Muqim kecil merupakan seorang anak yang ceria, beliau merupakan seorang
anak yang suka bermain layang-layang. Namun, selayaknya anak kecil yang lain, beliau juga
merupakan seorang anak yang sedikit nakal. Beliau pernah merusak dagangan tahu seseorang
dengan menghambur-hamburkannya dijalan, sampai akhirnya ayahnya lah yang harus
mengganti rugi atas apa yang dilakukannya. Namun meskipun begitu, beliau merupakan
seorang anak yang terkenal paling pintar dari saudara-saudara yang lain.
Seperti halnya anak kecil pada umumnya, beliau juga menempuh pendidikan dasar
yang dulu masih bernama SL. Saya tidak begitu mengetahui tentang sekolah SL ini. Namun
dari narasumber yang saya wawancarai, beliau mengatakan bahwa SL ini merupakan sekolah
dasar (SD) pada masa dahulu. Karena di desa Ngelebak pada masa itu belum ada sekolah
dasar, maka Abdul Muqim kecil sekolah didesa Ngujung kecamatan Malo Bojonegoro.
Layaknya anak yang lain, pada pagi hari beliau mengikuti kegiatan belajar disekolah
SL dan dilanjutkan mengaji pada sore hari. Pada sore hari, beliau mengaji pada seorang kyai
yang ada didesa Tegaron. Di desa tegaron ini, beliau mengaji pada kyai bernama K.H Abdul
Aziz. Pada semasa mengaji kepada K.H Abdul Aziz merupakan masa yang dibilang cukup
butuh perjuangan, karena Abdul Muqim kecil harus menyebrangi bengawan solo terlebih
dahulu untuk sampai ke desa Tegaron.
Selepas beliau lulus dari sekolah SL di desa Ngujung, beliau melanjutkan
pendidikannya disebuah pondok pesantren di desa Bringan. Di desa Bringan beliau belajar
pada seorang kyai bernama pak haji Jaelani. Ketika beliau mengaji di Bringan ada sebuah
cerita bahwa jika tidak bisa menghafal jus ‘amma maka Abdul Muqim diancam akan
disembelih. Namun, ini tentu hanya sebuah ungkapan untuk menyemangati Abdul Muqim
untuk lebih semangat dalam belajar, dan dengan kecerdasan yang Abdul Muqim miliki ini,
tentu saja menghafal jus ‘amma merupakan suatu hal yang bisa dibilang mudah untuk
dilakukannya. Beliau mengaji di Bringan kurang lebih sekitar 6 tahun. Kemudian beliau
melanjutkan di Langitan.
Selepas beliau mondok di Bringan, beliau melanjutkan mengajinya di Langitan. Pada
periode ini, merupakan periode mondok yang paling lama. Dimana, beliau mondok di
Langitan sekitar 9 tahun lamanya. Dimasa mondok di Langitan inilah juga ada beberapa
cerita menarik tentang sosok Abdul Muqim ini. Mulai dimarahi oleh seorang petani, sampai
disantet oleh seseorang yang iri. Semua itu terjadi ketika beliau mondok di Langitan.
Cerita pertama adalah ketika beliau dimarahi oleh seorang petani. Ini bermula ketika
beliau selepas pulang dan ingin kembali ke Langitan. Seperti hal pada umumnya, ketika
liburan tiba, banyak sekali santri yang pulang tak terkecuali Abdul Muqim. Pada masa itu,
belum ada jembatan yang menghubungkan antara Langitan dan Pasar Babat, yang ada pada
saat itu adalah sawah-sawah yang masih hijau ditumbuhi tanaman padi. Karena belum ada
fasilitas seperti sekarang, maka untuk mempercepat perjalanan selepasnya turun dari bus di
Pasar Babat beliau berjalan kaki melewati persawahan.
Dalam perjalanan melewati persawahan itu, tidak sengaja beliau merusak tanaman
padi disana, dan tentu saja itu mengundang amarah pak petani. Ketika itu, pak petani sudah
naik pitam dan ingin mencangkul kepala Abdul Muqim. Namun dengan sigap beliau meminta
maaf kepada pak tani dan anehnya pak tani yang awalnya sudah naik darah justru memafkan
beliau. Selepas kejadian saat itu, bukan permusuhan yang terjadi antara Abdul Muqim dengan
pak Tani, yang ada hubungan mereka semakin erat sampai akhir hayat.
Cerita selanjutnya juga tak kalah menarik dengan cerita sebelumnya, dimana pada
masa itu, Abdul Muqim pernah disantet oleh orang yang katanya adalah seseorang yang iri
dengan keilmuan beliau. Beliau memang terkenal sangat pintar dengan ilmu-ilmu agama,
namun bukan hanya ilmu agama yang beliau kuasai, tetapi juga ilmu-ilmu jawa atau kejawen
yang didapat dari ayahnya. Berbekal dari ilmu jawa itulah beliau dapat mengatasi santet yang
dikirim oleh seseorang kepadanya.
Cerita ini berawal ketika beliau mondok di Langitan, beliau terkenal pintar dan
tawadhu’ di pondok. Karena merasa iri inilah ada seseorang yang ingin menyantet beliau,
namun tentu saja santet ini gagal. Beliau berhasil menghalau santet yang dikirim, bahkan
beliau meletakkannya didalam sebuah mangkok, dan dari narasumber berkata bahwa santet
itu bergerak-gerak didalam mangkok layaknya hewan yang terkurung dan ingin melepaskan
dirinya.
Dari kealiman beiau ini juga, beliau mendapat nama panggilan khusus di pondoknya.
Beliau mendapat nama baru Abdul Halim Rosyidi. Sebuah gelar yang diberikan oleh gurunya
kepada beliau, dan semua teman-temannya dipondok pun memanggilnya dengan nama
tersebut, bukan lagi dengan nama Abdul Muqim.
Selepasnya selesai dari mondok di Langitan, beliau kemudian kembali pulang
kekampung halamannya. Dikampung halamannya beliau mendirikan sekolah Madrasah
Ibtidaiyah (MI) dan sekolah Diniyah disore harinya. Beliau merupakan perinis pertama MI di
desanya, yang mana sekolah itu masih berjalan sampai sekarang.
Selayaknya pemuda lain yang sudah selesai menempuh pendidikannya disebuah
pondok pesantren, banyak sekali yang berusaha untuk menjodohkannya dengan seorang
wanita. Namun sayang, pernikahan yang pertama ini tidak berlangsung lama karena ketidak
cocokan diantara keduanya, dan mempelai perempuan merasa bahwa dia masih terlalu muda
untuk menikah. Akhirnya, mereka bercerai dan Kyai Abdul Muqim menikah lagi. Istri
pertama beliau bernama Hasanah, anak dari bapak Yasir dari desa Ngelebak.
Selepas pernikahan pertama gagal, beliau hanya fokus mengajar di MI dan
mencurahkan segalanya disana. Sembari sesekali beliau pergi ke pondok Bringan sekedar
menyambung silaturahmi dengan Kyainya dulu dan melepaskan kerinduan kepada
pondoknya.
Tak lama kemudian, karena kepintaran beliau, ada seorang kyai di Malo yang ingin
menjadikannya sebagai menantu. Dari sinilah mulai perjalanan beliau untuk mengembangkan
pondok pesantren, beliau ditunjuk untuk melanjutkan estafet perjuangan kyai sebelumnya
untuk meneruskan perjuangan mendidik putra putri bangsa.
Beliau kemudian diambil menantu oleh kyai Khusnan dan dinikahkan dengan
anaknya yang bernama Siti Rufi’ah pada tanggal 09 Oktober 1969. Pada saat menikahi putri
kyai Khusnan, kyai Abdul Muqim berumur 27 tahun dan istrinya berumur 16 tahun. Kyai
Abdul Muqim yang statusnya ketika duda talak kemudian menikah kembali dengan seorang
gadis yang merupakan anak dari seorang kyai pendiri pondok pesantren bernama Al-Husna
(nama pesantren).
Selepas menikahi seorang putri kyai didesa Malo, beliau kemudian mendedikasikan
dirinya untuk mengabdi di pondok pesantren tersebut. Beliau hanya menghabiskan
kesehariannya hanya untuk mengajar dan mengajar. Beliau merupakan seorang yang tidak
pernah melakukan pekerjaan yang kasar dan berat dalam hidupnya.
Pada suatu hari beliau pernah melakukan kegiatan menimba air disumur, karena untuk
pertama kalinya beliau melakukan hal itu dan itu dilakukan karena merasa sungkan dengan
mertuanya, karena tubuhnya yang kecil dan tidak pernah terlatih untuk melakukan pekerjaan
yang berat, tak heran maka sekali melakukan pekerjaan berat beliau langsung merasa sakit
disekujur tubuhnya. Mulai sejak saat itulah beliau sudah tidak pernah melakukan pekerjaan
yang berat lagi dan hanya fokus untuk mengajar para santri.
Beliau termasuk guru yang sabar dalam mendidik muridnya, beliau juga termasuk
guru yang humoris yang suka bercanda dengan muridnya. Banyak murid dikelas maupun
diluar kelas yang kagum terhadap kepribadian beliau. Pernah suatu ketika beliau pernah
melempar penghapus papan tulis karena merasa bahwa itu sudah tidak layak dipakai, tentu
saja ini membuat kaget para murid, namun tak butuh waktu lama para murid sadar bahwa ini
hanyalah candaan beliau untuk mencairkan suasana yang sudah tegang karena seharian
belajar. Tentu saja semua murid tertawa lepas melihat gestur beliau ketika melempar
penghapus.
Beliau juga termasuk guru yang totalitas dalam mendidik. Pernah pada suatu hari
ketika beliau harus mengikuti suatu partai tertentu hanya untuk mempertahankan pondok
pesantren agar terus beridiri, karena ketika tidak berkenan mengikuti ppartai tersebut, maka
resiko yang diterima adalah penggusuran pondok pesantren tersebut. Tentu saja, ini menjadi
suatu kekhawatiran beliau. Mau tidak mau beliau harus mengikuti partai tersebut, meskipun
hati menolak, namun demi kemaslahatan pondok beliau rela melakukan hal tersebut. Tidak
sedikit orang yang mengolok-olok beliau karena mengikuti ppartai tersebut. Namun, demi
mempertahankan pesantren tersebut beliau rela dihina oleh masyarakat setempat.
Perlahan tapi pasti, masyarakat mulai mengerti niat baik dari kyai Abdul Muqim.
Sudah banyak masyarakat yang mau memahami keadaan beliau, dan ini juga memiliki
dampak kepada pesantren yang mendapat bantuan dari partai dan bisa lebih membangun
pondok pesantren.
Didalam kehidupan keluarga pun beliau terkenal seorang sosok yang sabar dan tekun
mendidik anak-anaknya. Beliau berhasil mendidik anak-anaknya menjadi anak yang sholih
dan sholihah. Terbukti sekarang putra putri beliau mampu meneruskan estafet perjuangan dan
mampu membesarkan pondok pesantren.
Didalam dunia kerja, beliau termasuk orang yang jujur dan bisa dipercaya. Namun
sayang, ketika beliau melakukan suatu bisnis tertentu, beliau banyak ditipu orang karena
beliau termasuk orang yang mudah berhusnudzon kepada seseorang. Sehingga, banyak orang
yang memanfaatkan kebaikan beliau dalam berbisnis. Namun berangkat dari pengalaman
inilah beliau kemudian kembali fokus mengajar dan mendidik santri di pondok. Bisa jadi jika
beliau berhasil dalam berbisnis, bukan tak mungkin beliau akan fokus dalam bisnisnya dan
melupakan para santrinya. Takdir sang kuasa yang mengharuskan beliau fokus untuk
mendidik santrinya saja tanpa harus memikirkan darimana jalan rizki itu datang. Terbukti
kehidupan beliau lebih tenang dan tentram setelahnya.
Dimasa akhir kehidupan beliau, beliau mengidap penyakit stroke. Sehingga sebagian
dari tubuh beliau lumpuh dan tidak bisa berfungsi dengan baik. Namun meskipun dalam
keadaan demikian, beliau tetap semangat mengajar dan beribadah. Sampai akhirnya beliau
hanya sanggup berbaring diatas kasur dan menjalankan ibadah diatas kasur.
Ada hal yang luar biasa ditunjukkan oleh beliau. Meskipun dalam keadaan sakit pun
beliau selalu menunaikan ibadahnya meskipun harus dituntun bacaannya oleh anaknya.
Beliau juga selalu bersemangat untuk menunaikan ibadah sholat jumat setiap minggunya,
meskipun harus digendong oleh santri-santrinya. Karena semangat beliau ini jugalah yang
mendorong keluarganya untuk membeli sebuah becak, agar bisa digunakan beliau untuk
beribadah sholat jumat. Begitu semangatnya beliau dalam menunaikan kewajiban, meskipun
sudah dalam keadaan lemah dan tidak kuat berjalan pun beliau masih menunaikan
kewajibannya untuk sholat jumat dimasjid.
Pada tahun 2017, beliau kemudian menutup mata untuk selama-lamanya. Sebuah
duka yang mendalam terjadi bagi semua santri dan keluarganya, karena harus kehilangan
seorang sosok yang begitu mulia didunia. Seorang sosok yang selalu menjadi panutan untuk
insan disekitarnya. Ketika beliau wafat, banyak sekali orang yang berdatangan untuk
mensholati jenazah beliau. Jasa beliau akan selalu terkenang dalam ingatan, karena sejatinya
orang ‘alim meskipun jasadnya sudah berada dalam dekaman tanah, namun jejaknya akan
selalu hidup didunia.
Itulah sedikit biografi dari seorang kyai bernama Abdul Muqim. Seorang kyai yang
selalu akan terkenang dalam ingatan, yang jasanya tak pernah terlupakan. Semoga biografi
yang singkat ini dapat memberi pelajaran berharga bagi kita khususnya saya pribadi sebagai
penulis, dan tak lupa bagi keluarganya semoga selalu diberi kemudahan dalam urusan dunia
maupun akhiratnya. Terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai