Anda di halaman 1dari 18

PERGERAKAN SUBJEK TOKOH UTAMA

DALAM NOVEL DI BAWAH DULI TUANKU


KARYA NAJIB MAHFUDZ

Tugas Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Sosiologi Sastra

Dosen pengampu:
Dr. Aprinus Salam, M. Hum.

Disusun oleh:
Ardilla Islamiyah
18/434503/PSA/08480

PROGRAM STUDI ILMU SASTRA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
Abstrak
Masalah penelitian ini berkaitan dengan subjek dalam novel. Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui pergerakan subjek dalam novel terjemahan “Di bawah Duli
Tuanku” karya Najib Mahfudz dengan menggunakan teori subjek Slavoj Žižek.
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan. Pertama, penentuan objek material
dan objek formal penelitian. Objek material penelitian ini adalah “Di bawah Duli
Tuanku” karya Najib Mahfudz. Sementara itu, objek formal penelitian berkaitan
dengan subjek Žižekian. Kedua, melakukan pengumpulan data mencakup narasi
dan elemen-elemen pembentuk narasi seperti dialog berserta pencarian data
sekunder sebagai penunjang penelitian yang didapat dari literatur-literatur yang
berhubungan dengan pemikiran Slavoj Žižek. Ketiga, penganalisisan data. Data
dianalisis dengan menggunakan metode analisis wacana kritis, yakni analisis
dengan menggunakan seluruh perangkat kebahasaan dan menghubungkan data
temuan dengan kerangka teoretis Slavoj Žižek. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa subjek melakukan tindakan radikal dengan melakukan hubungan seks di
luar nikah yang secara akal sehat (common sense) itu melawan dimensi simbolik.
Tindakan radikal dipicu oleh subjek yang mengalami momen kekosongan yang
menyebabkan subjek mengejar ‘yang riil’. Dalam upayanya meraih‘yang riil’,
subjek mengalami kesadaran sinisme, yaitu tahu hal yang salah tetapi tetap
melakukannya. Namun, tindakan subjek diakhiri dengan kegagalan dalam
melawan yang simbolik yaitu dengan menikah. Maka dari penelitian ini diperoleh
simpulan bahwa subjek pada akhirnya tidak mampu melawan yang simbolik.

Kata kunci: Dimensi Simbolik, Tindakan Radikal, Žižek.

Abstract
This research problem is related to the subject in the novel. The purpose of this
research is to understand the movement of the subject the NajibMahfudz’s
translation novel of "Di Bawah Duli Tuanku" by using the subject theory of
Slavoj Žižek. This research was conducted in three stages. First, establishing
material objects and formal object of research. The material object of this
research is the NajibMahfudz’s translation novel of "Di Bawah Duli Tuanku".
Meanwhile, the formal object of the research related to the Žižekian’s subject.
Second, conducting data collection includes narratives and elements forming
narratives such as dialogue along with the search for secondary data to support
the research obtained from the literature related to the thoughts of Slavoj Žižek.
Third, analyzing data. Data were analyzed using the method of critical discourse
analysis, namely analysis by using all linguistic tools and connecting findings
data with Slavoj Žižek's theoretical framework. The results showed that subjects
took radical action by having sex outside of marriage who were against a
symbolic dimension. Radical actions are triggered by subjects who experience a
moment of emptiness which causes the subject to pursue 'the real'. In an effort to
achieve the 'real thing', the subject experiences a sense of cynicism, which is
knowing the wrong thing but still doing it. However, the subject's action ends with
a failure to fight the symbolic, namely by getting married. This study concludes
that the subject ultimately unable to resist the symbolic.

Keywords: Symbolic Dimension, Radical Action, Žižek

Pendahuluan
Najib Mahfudz merupakan sastrawan Arab berkebangsaan Mesir yang tidak
asing di telinga masyarakat Arab maupun masyarakat dunia penggiat sastra.
Namanya menggema ke seluruh dunia karena pencapaiannya sebagai orang Afrika
pertama yang berhasil menyabet Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1988.
Kehadiran Najib Mahfudz dalam kesusastraan Arab memiliki peran penting
sebagai puncak representasi karya sastra Arab modern terutama pada novel
karangannya yang berjudul “Masjid di Lorong Sempit”.
Najib Mahfudz dinilai sebagai seorang novelis yang memiliki kreatifitas
tinggi yang tidak kalah dengan para penulis di Inggris, Rusia, Prancis, Amerika
dan negara lain. Hal ini ditunjukkan pada kepiawaannya dalam mempengaruhi
pembaca untuk hanyut dalam perasaan-perasaan yang disuguhkan dalam setiap
karya sastranya. Najib menggiring para pembaca untuk melihat realitas dan
perubahan kepribadian pada manusia dengan ‘mata kepala’ mereka sendiri
(Sakkut, 2000: 26-27).
Dalam pengantar novel “Di bawah Duli Tuanku” disebutkan bahwa secara
umum perjalanan sastra Najib Mahfudz melewati empat fase, fase pertama dimana
gaya kepenulisannya masih mengikuti gaya lama yang mementingkan keindahan
bahasa sehingga bersifat romantis. Pada fase ini karya yang lahir di antaranya, Al-
Qadar (1939), Radoubiez (1943), Kifah Thibbah (1944). Fase kedua Najib
berpindah ke bentuk yang lebih realis seperti pada ketiga triloginya berjudul
Bainal-Qashraini (1956), Qasrusy-Syauq (1957), dan As-Sukkariyah (1957). Fase
selanjutnya, Najib Mahfudz mengambil bentuk simbolis filosofis yang tertuang
dalam karyanya berjudul Al-Liss wal-Kila>b (1961), As-Summan wal-Khari>f
(1962), Ath-Thari>q (1964) dan beberapa karya lainnya. Pada fase terakhir Najib
Mahfudz memiliki kecenderungan sufistik.
Sebagian besar karya sastra Najib Mahfudz yang sering diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia adalah karya sastra yang mengangkat permasalahan-
permasalahan sosial seperti perjuangan orang-orang kelas bawah terhadap kelas
atas (read: penguasa). Secara epik, Najib Mahfudz mengemas sebuah realita ke
dalam cerita fiksi yang mewakilinya sebagai subjek nyata dalam subjek imajiner
yang berusaha melepaskan diri dari jerat yang simbolik. Salah satu contohya
adalah novel Hari terbunuhnya Presiden, menceritakan kemelut dan gejolak
politik yang berujung pada penderitaan rakyat, terpuruknya ekonomi dam korupsi
yang merajalela. Hal ini digambarkan melalui tokoh dua pasang kekasih yang
telah enam tahun menjalin hati harus terpisah karena janji-janji cinta tak kuasa
menahan deraan perut lapar yang melilit perih.
Novel “Di bawah Duli Tuanku” sendiri merupakan terjemahan dari novel
berjudul chadratul-muchtaram yang menunjukkan kecenderungan sufistik Najib
Mahfudz yang mengalir dari perenungan, pemikiran serta pencarian kebersalahan
dalam diri tokoh utama. Melalui tokoh utamanya pula, Najib melakukan kritik
sosial terhadap peristiwa yang terjadi pada masa itu. Tokoh utama bernama
Usman Bayomi digambarkan sebagai figur rakyat kecil yang harus berjuang
seorang diri melawan penyakit yang sudah berakar-urat menjangkiti politik dan
birokrasi di Mesir, yang menjadi setting cerita ini. Kolusi dan nepotisme, di
manapun di dunia ini selalu menjadi biang kerok bobroknya suatu negara, menjadi
penghambat kemajuan dan pembangunan.
Novel tersebut mengisahkan cerita kehidupan yang sangat kompleks dan
fokus utama dalam penelitian ini adalah tokoh utama Usman Bayomi kaitannya
dengan kisah cinta dirinya terhadap beberapa wanita yang hadir dalam hidupnya.
Yang menarik disini adalah Usman dikenal sebagai sosok religius. Artinya,
Usman menjadi subjek yang terkonstruksi oleh dimensi simbolik yang
mengungkungnya sehingga tindakan yang akan ia lakukan menjadi menarik untuk
diperbincangkan. Benturan antara dimensi simbolik dengan hasrat bercinta
seorang lelaki terhadap perempuan.
Dari uraian ringkas tersebut, subjek menjadi perhatian utama dalam
penelitian ini. Masalah utama penelitian ini selanjutnya diformulasikan dengan
pertanyaan berikut, bagaimana subjek melakukan pergerakan-pergerakan subjek
dalam dunia simbolik yang melingkupinya.
Dalam mengungkap subjek, penelitian ini menggunakan teori Slavoj Žižek
sebagai pisau analisis. Sealur dengan teori Slavoj Žižek, telah ada penelitian yang
menerapkan teori tersebut, di antaranya “Membaca Sinisme Seorang Absurd
dalam Novel Orang Asing Karya Albert Camus: Perspektif Subjek Imanen Slavoj
Žižek (Arifin, 2016), Cerpen Matinya Seorang Penari Telanjang Karya Seno
Gumira Ajidarma Dalam Perspektif Subjek Slavoj Žižek (Zamzuri, 2018)
“Kekerasan Sistemik Pada Masyarakat Modern Tinjauan Filsafat Slavoj Žižek”
(Indah, 2018). Pada kedua penelitian pertema memiliki kesamaan dalam hal
pengoperasian teori Slavoj Žižek, yaitu membahas pergerakan subjek dalam ruang
simbolik. Sedangkan pada penelitian yang terakhir teori Slavoj Žižek digunakan
untuk mengungkap kekerasaan sistemik. Hal yang membedakan dengan penelitian
ini adalah objek material dan objek formal penelitian. Sementara itu, penelitian ini
fokus pada objek material berupa novel terjemahan “Di bawah Duli Tuanku”
karya Najib Mahfudz yang selanjutnya disebut DBDT.
Secara garis besar, teori Žižek disebut sebagai psikoanalisis historis. Istilah
ini hadir karena Žižek menggabungkan pemikiran Lacan untuk menggapai cita-
cita historis seperti yang diidamkan Marx (Akmal, 2018, hlm. 29). Di samping
Lacan-Marx, Žižek juga mendasari pemikiran tentang subjek terhadap definisi
Hegel tentang dialektika (substansi) dan subjek sosial. Dari ketiganya –Hegel,
Lacan, Marx—melandasi lahirnya subjek Žižekian.
Dalam upaya mencapai cita-cita historis Marx melalui subjek Žižekian,
Žižek meletakkan dasar pemikiran dari Triad Lacanian, yakni ‘yang riil’, ‘yang
imajiner’, dan ‘yang simbolik’. ‘Yang riil’ dimaknai sebagai tatanan atau ruang
atau duniaa atau wilayah yang tidak atau belum terbahasakan atau tersimbolkan
(Žižek, 2008, hlm. 182). Fase ini merupakan wilayah psikis yang pada awalnya
menempatkan subjek pada posisi yang tidak berkekurangan karena pada saat itu,
ego mengalami pemenuhan yang sempurna tanpa meminta untuk dipenuhi. “Yang
Riil” tidak dapat dijelaskan keberadaannya kecuali dalam dunia simbolik.
Dari tahap “yang riil” inilah, subjek bergerak pada tahap “yang imajiner”, yaitu
tahap subjek belum dapat membedakan antara dirinya dan the other, tetapi subjek
mulai menjumpai citra yang lain, yang bisa berarti orang lain dan dirinya dalam
bentuk lain. Pada tahapan “yang imajiner” ini, subjek masih seorang individu/ego
yang sejatinya belum menjadi subjek karena belum adanya simbol-simbol yang
merepresentasikan dirinya. Tahapan “yang imajiner” ini sering dianalogikan
dengan tahapan cermin yang menghadirkan citra atas diri secara tidak penuh
karena selalu terjadi misrecognition terhadap pengenalan diri (Sarup, 2003, hlm.
36-38). Dari misrecognition inilah kemudian pengenalan diri sebagai subjek
secara penuh terjadi pada tahapan “yang simbolik”, yaitu ketika diri telah
bersinggungan dengan bahasa. Bahasa menempatkan diri (subjek) dalam posisi
tertentu menjadi subjek tertentu. Subjek bernegosiasi dengan bahasa sehingga
identifikasi imajinernya ditundukkan oleh identifikasi simbolik. Dalam tahapan
simbolik, bahasa mengikat subjek menjadi subjek terbelah, di satu sisi harus
memenuhi panggilan the other dan di sisi lain harus menjadi keinginan the other
melaui jalan negatif, walau berakhir pada kekosongan (Žižek, 2008, hlm. 202).
Dalam kekosongan itu, subjek memiliki pilihan untuk tetap terjerat atau bergerak
menuju sesuatu “yang riil” yang sesuai pengetahuannya.
Tindakan terkategorikan menjadi radikal karena kontingensi yang
menstimulasikan aktifasi tindakan tersebut berada yang melampaui simbolik.,
tatanan sosial, tatanan ideologis dan lain sebagainya, sebagaimana hal ini seperti
melepaskan diri dari segala moralitas yang konstruktif, dan oleh karena itu
tindakan ini lebih korelatif dengan etika daripada moral. Dari sini, Žižek mulai
memasukkan ranah Kant mengenai moral dan nilai-nilai otentisnya. Bagi Žižek,
Kant memisahkan tindakan menjadi dua prioritas, pertama tindakan dilakukan
atas dasar korporasi dengan entitas lain seperti kepentingan, kebanggan, maksud
lain, dan lain sebagainya. Kedua, tindakan yang dilakukan atas dasar tindakan itu
sendiri (Žižek, 1992, hlm. 90).
Sinisme adalah jawaban dari budaya yang berkuasa ke subversi sinis:
mengakui dan memperhitungkan, minat khusus di balik universalitas ideologis,
jarak antara topeng ideologis dan kenyataan, tetapi masih menemukan alasan
untuk mempertahankan topeng. Sinisme ini tidak posisi langsung dari imoralitas,
lebih seperti moralitas yang dimasukkan ke dalam pelayanan imoralitas - model
kebijaksanaan sinis adalah untuk memahami kejujuran, integritas, sebagai bentuk
ketidakjujuran tertinggi, dan moral sebagai bentuk tertinggi dari pemborosan,
kebenaran sebagai bentuk kebohongan yang paling efektif. Oleh karena itu,
sinisme semacam ini merupakan semacam 'negasi negasi' dari ideologi resmi:
dihadapkan dengan pengayaan ilegal, dengan perampokan, reaksi sinis dengan
mengatakan bahwa pengayaan hukum jauh lebih efektif dan, apalagi, dilindungi
oleh hukum (Žižek, 2008, hlm. 27). .
Metode Penelitian
Penelitian ini didasarkan pada bentuk penelitian kualitatif dengan metode
riset pustaka. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilandasi strategi
pikir fenomenologis yang bersifat lentur dan terbuka dengan menekankan analisis
induktif (Sutopo, 2002: 47). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah novel terjemahan berjudul “Di bawah Duli Tuanku” (2000) karya Najib
Mahfudz. Data yang digunakan mencakup narasi dan elemen-elemen pembentuk
narasi seperti dialog. Selain itu, data-data sekunder didapat dari literatur-literatur
yang berhubungan dengan pemikiran Slavoj Žižek terkait subjek. Setelah tahap
pengumpulan data, tahap berikutnya adalah analisis data. Pada tahap analisis, data
akan dianalisis menggunakan metode analisis wacana kritis, yakni analisis dengan
menggunakan seluruh perangkat kebahasaan dan menghubungkan data temuan
dengan kerangka teoretik Slavoj Žižek. Hal pertama yang dilakukan dalam
analisis adalah menemukan tokoh cerita dan ruang simbolik yang melingkupi
tokoh. Kedua, menemukan keinginan dan menggolongkan jenis tindakan subjek
yang direlasikan dengan subjek dalam perspektif Slavoj Žižek. Setelah tahapan
analisis data, hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk deskripsi.

Hasil dan Pembahasan


Dimensi Simbolik: Agama, Sosial dan Status Pekerjaan
Dalam pembacaan novel DBDT karya Najib Mahfudz. Usman digambarkan
sebagai sosok religius yang senantiasa mengingat nama Allah SWT dalam setiap
langkah kehidupannya, Susah atau pun bahagia. Religiusitas itu hadir karena sejak
kecil Usman hidup dalam lingkungan dan budaya Islami. Religiusitas juga
didukung oleh peran ayah dan ibu Usman yang senantiasa menanamkan nilai-nilai
islam dalam diri Usman.
“Ayahnya bingung dan ragu, tapi dia masih belum mampu menghafal beberapa
ayat al-Qur’an yang biasa dibaca ketika sholat” (Mahfudz, 2000, hlm. 11).
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa sejak kecil Usman sudah
dibiasakan melaksakan sholat. Dalam agama Islam sholat merupakan ‘tiang’
agama. Ketika seseorang menjaga sholat dengan baik maka ia sedang berusaha
menjaga kekokohan iman dalam dirinya. Selain itu Usman juga mendapatkan
pengajaran al-Qur’an, sebuah kitab suci sebagai pedoman hidup bagi umat
muslim sedunia. Melaksanakan sholat, mempelajari al-Qur’an serta
menghafalkannya merupakan jalan untuk menjadi seorang muslim yang taat.
“Usman menyerahkan segalanya kepada Allah, sehingga ia tidak pernah
meninggalkan kewajiban, khususnya shalat jum’at di masjid al-Husaini.
Sebagaimana keimanan para penghuni kampung lain, dia tidak memisahkan antara
agama dan dunia” (Mahfudz, 2000, hlm. 13).
Kebiasaan Usman di waktu kecil membawa Usman dewasa hidup dalam
ketaatan dan kepatuhan terhadap Rabb-nya. Semakin dewasa ia semakin mengerti
kewajiban yang harus dijalani sebagai seorang muslim, khususnya bagi laki-laki
yang memiliki kewajiban untuk menunaikan shalat Jum’at di masjid. Bahkan
untuk senantiasa memegang teguh nilai-nilai islam, Usman pernah membuat
catatan prinsip hidup yang harus dipenuhi, di antaranya adalah melaksanakan
kewajiban dengan sungguh-sungguh dan jujur, memanfaatkan waktu sebaik-
baiknya untuk hal-hal yang bermanfaat dengan tetap menjaga kehormatan, seperti
menolong orang lain, hubungan yang saling memberi manfaat, menikahi istri yang
se-ide dan sejalan guna menempuh jalan kesuksesan.
Selain melaksanakan hal-hal yang wajib, Usman juga mengerjakan hal-hal
sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW seperti rajin sedekah kepada orang yang
membutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa konstruksi agama mengakar kuat dan
terinterpretasikan dengan baik dalam kehidupannya sehari-hari.
Agama sebagai suatu ‘bawaan’ dari orang tua yang melebur dalam jiwa
Usman menjadi dimensi simbolik pertama yang mengonstruksi subjek menjadi
individu religius. Agama telah mengikat subjek dengan norma dan aturannya
dalam seluruh aspek kehidupan. Sejauh yang disampaikan sebelumnya subjek
masih berada dalam keadaan tunduk dan patuh pada dimensi simbolik berupa
agama yang mengikatnya. Namun, secara tidak langsung konstruksi dimensi
simbolik tersebut berperan dalam memberi tekanan subjek serta mengarahkannya
untuk menjadi sesuatu sesuai kelaziman konstruksi dalam lingkup yang lebih luas.
Dimensi simbolik bergeser ke arah dimensi simbolik yang lebih luas. Jika
agama adalah sebuah kepercayaan yang mengikat hamba dengan Tuhannya (the
Other). Usman juga berada dalam tananan simbolik yang mengikat dirinya
dengan yang lain (the other). Subjek dideskripsikan sebagai rakyat pribumi yang
hidup dalam kemiskinan dengan ekonomi yang sangat terpuruk. ‘Rakyat pribumi’,
‘kemiskinan’, ‘ekonomi terpuruk’ dalam ideologi kapitalisme menempatkan
subjek sebagai bagian dari kaum bawah, kaum yang tertindas.
Keadaan tersebut berdampak pada kehidupan Usman meliputi pendidikan
dan pekerjaan. Kemiskinan yang menyelimuti keluarganya menempatkan
pendidikan jauh berada di level bawah yang terkalahkan oleh ‘penghidupan’.
Dibanding harus mengeluarkan biaya untuk sekolah, lebih baik untuk makan
sebagai jalan bertahan hidup. Hal ini menyebabkan Usman tidak memiliki banyak
pilihan untuk kehidupannya. Namun terdapat kontradiktif antara ayah dan ibunya.
Ibunya menginginkan Usman untuk sekolah dan kelak menjadi orang sukses agar
ia tidak menjadi seperti dirinya yang hanya bertenggar pada posisi kelas bawah.
Ibunya selalu mendukung dan tiada henti mendoakan kesuksesan hidup Usman.
Berbeda dengan ibunya, Ayah Usman yang tidak menghendakinya untuk
bersekolah justru menginginkan dirinya meneruskan profesi sebagai sopir mobil.
Kegigihan Ayah Usman bahkan tetap terlihat saat dirinya sedang berjuang antara
hidup dan mati. Penyesalan bukan karena dosa tapi karena tidak adanya harapan
penerus dirinya yang berprofesi sebagai sopir mobil karena Usman yang telah
bersekolah.
“Dalam sakitnya paman Bayomi menyesali apa yang telah dia perbuat untuk
anaknya. Anakku! Aku akan meninggalkan seorang pelajar yang lemah dan tak
punya kekuatan apa-apa. Lantas siapakah yang akan mengemudikan Karu? Juga
siapa yang akan menjaga rumah ini?” (Mahfudz, 2000, hlm. 12).
Selain keadaan demikian, Usman juga harus menelan pil pahit karena di
antara keluarganya hanya dirinyalah yang tersisa. Sepeninggal ayah dan ibunya,
kakak-kakak dan adiknya juga meninggal dengan berbagai penyebab yang
berbeda. Tentunya hal ini memberikan tekanan psikologis dalam diri Usman.
Kemiskinan, kesendirian dan ketidakberdayaan Usman menempatkan dirinya
dalam dimensi simbolik sosial yang menjerat dirinya untuk tunduk pada norma
dan aturan yang ada.
Jerat simbolik dalam agama dan sosial pada tahap selanjutnya menjadi
landasan hadirnya jeratan dalam dunia simbolik selanjutnya. Perjalanan
pendidikan yang dramatis menghantarkan Usman sebagai lulusan terbaik pada
jenjang diploma dan keberhasilannya meraih lisensi Sarjana lengkap. Usman
tumbuh sebagai orang terdidik. Ia sangat menyadari pentingnya sebuah
pengetahuan untuk bekal hidup menuju kesuksesan dan sebagai jalan untuk
mendapatkan pekerjaan.
Dalam usahanya mencari pekerjaan, Usman di hadapkan pada realitas sosial
yang sebelumnya telah di jelaskan. Dalam novel tersebut dijelaskan bahwa cita-
cita terbesar seorang pribumi dalam hal pekerjaan adalah bekerja sebagai pegawai
negeri. Hal ini adalah sebuah kewajaran karena kecenderungan kelas bawah
memang merangkak naik menuju kelas atas. Begitu pun dengan Usman,
masuknya Usman sebagai pegawai negeri di Direktorat Jendral mengincar jabatan
tertinggi yaitu Direktur Jenderal. Untuk sampai pada jabatan itu dia harus
berjuang keras melewati delapan eselon untuk mencapai jabatan tertinggi.
Perjuangan tersebut diperlihatkan Usman melalui perilaku dan kinerjanya selama
bekerja. Usman terkenal sebagai pekerja yang ulet dan giat serta selalu dipercaya
untuk membantu menyelesaikan tugas atasan. Namun kegigihannya tidak
membuat segalanya menjadi lancar, latar belakangnya sebagai kelas bawah selalu
‘menghantui’ setiap jengkal kehidupannya. Berbagai halangan datang ketika ia
hendak dinaikkan pangkat, salah satunya adalah kerabat Menteri yang tidak
mempunyai kemampuan dan kapasitas justru dipilih untuk mengisi jabatan yang
kosong. Bagaimana pun, statusnya sebagai pegawai negeri merupakan jerat
simbolik baru yang nantinya turut mengekang subjek. Dari keterbelengguan
dalam ruang simbolik tersebut, subjek selanjutnya diasumsikan melakukan
pergerakan-pergerakan untuk lepas dari jerat “yang simbolik”.
Pergerakan Subjek
Momen kekosongan adalah hal krusial sebagai titik dimana tindakan radikal
berasal. Tindakan radikal tidak akan menjadi tindakan radikal jika tindakan
tersebut masih terkelabui oleh tatanan simbolik. Artinya adalah bahwa tindakan
radikal harus benar-benar mengindikasikan suatu pelepasan tatanan simbolik,
tatanan yang terbahasakan dan oleh karena itu tindakan radikal menjadi tindakan
melampaui pemahaman serta pengetahuan, tidak dapat dimengerti, gila, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, yang Real hadir dalam suatu momentum, tidak
dihadirkan (disengaja), dan meledak begitu saja untuk mengubah suatu tatanan,
struktur atau apapun itu istilahnya. Hal yang menarik untuk dilihat disini adalah
bahwa momen kekosongan menjelaskan bagaimana suatu ‘denyut’ berdetak,
tanpa dipengaruhi dan mempengaruhi, tanpa adanya tekanan dari eksterioritas,
dan bahkan menolak untuk ditekan (Setiawan, 2016:97).
Dalam pembacaan novel DBDT, subjek adalah seorang laki-laki yang
secara ‘alamiah’memiliki hasrat ketertarikan kepada lawan jenis. Subjek yang
telah dewasa dan memiliki pekerjaan semakin membuat dirinya ‘matang’ untuk
membangun hubungan serius dengan seorang perempuan. Perempuan pertama
yang berhasil membuat subjek jatuh cinta adalah Nufi. Seorang gadis yang telah
dikenalnya sejak kecil. Subjek mendeskripsikan Nufi sebagai seorang perempuan
cantik dengan rambut terurai panjang, badan berkelok anggun serta bibir yang
memukau. Hubungan keduanya berjalan dengan sangat baik walaupun Subjek
belum berniat untuk segera menikahinya. Hingga datang suatu waktu dimana
subjek mendapat kabar buruk bahwa Nufi telah menerima pinangan orang lain.
Nufi adalah anak orang kaya bahkan telah mendapat jatah satu rumah yang siap
ditinggali jika kelak ia menikah. Sebelumnya, Nufi telah mengungkapkan
kebanggaannya terhadap subjek karena telah diterima sebagai pegawai negeri.
Namun, ketidakpastian ‘hubungan serius’ yang ditawarkan subjek serta barangkali
‘asal status sosial’ yang tidak bisa terlepas dari dirinya membuat hal itu terjadi
begitu saja. Subjek mengalami ‘goncangan’ dalam diri yang ditandai dengan sakit
hati yang teramat sangat. Subjek begitu mencintai Nufi sehingga sulit dirasa untuk
melepasnya bahagia dengan orang lain.
Dari situlah sebuah momentum muncul yang membuat subjek terlepas dari
eksterioritas yang menghakiminya. Momentum ini menjadi langkah awal seorang
subjek untuk melakukan tindakan yang tidak dapat dipahami, dan mungkin di luar
‘moralitas’ konstruktif yang dimiliki oleh tatanan sosial. Siksaan batin ditinggal
seorang kekasih mengantarkan subjek, seorang yang religius mengenal ‘barang
haram’ yang dilarang agama yaitu minuman keras. Subjek terlepas dari jeratan
simbolik agama yang sebelumnya sangat mengakar kuat dalam dirinya, karena
seorang wanita.
“Segelas anggur al-jahannamy, seharga setengah qirsy, cukup untuk membutakan
pikiran dan membangkitkan kegilaan dalam dirinya” (Mahfudz, 2000, hlm. 45).
Minuman keras telah menjadi momok yang membawa subjek menuju
‘kegelapan-kegelapan’ berikutnya. Demi melupakan Nufi, subjek menjalin
hubungan dengan Qadariyah, wanita lain yang seusia dengannya. Namun jalinan
ini bukan didasarkan pada rasa cinta melainkan hasrat pelampiasan atas
pemenuhan jiwa subjek yang tak terpenuhi. Qadariyah bukan wanita ‘biasa’
karena dia tinggal di lingkungan prostitusi. Qadariyah adalah seorang pelacur
yang melayani kebringasan hasrat dari para lelaki yang merasa ‘haus’ akan
seksualitas.
“Qadariyah bertanya, “Apakah kamu senang kalau kita menghabiskan waktu
Jum’at pagi besok dengan bersenang-senang?”
Usman terkejut lalu menjawab, “Lho, aku ingin mengunjungimu bagaikan pencuri
yang takut kegelapan”
“Apa yang kamu takutkan?”
Apa yang dikatakan itu? Dia seolah tidak paham apa yang dimaksudkan Usman.
Dengan takut, Usman menjawab. Aku ini tidak boleh terlihat oleh siapa pun.
“Apa kamu telah berbuat salah?”
Manusia
Qadariyah menanggapi acuh tak acuh, “Ah! Kamu ini seperti sapi yang memikul
bola bumi di atas tanduknya”
Sesungguhnya Usman memiliki agama, kepribadian dan reputasi baik serta harus
dijaga. Qadariyah membujuk, “Ya, kalau begitu mungkin kamu bsa bersenang-
senang bersamaku satu malam penuh, atau lain waktu saja”
Dengan hati-hati, Usman menimpali, “Lalu tarifnya?”
“Hanya 50 qirsy”
Usman berpikir serius. Itu emang akan memberinya istirahat tapi terlalu mahal.
Namun sekali lagi, dia butuh istirahat. Lalu ia mengangguk setuju. “Ok, pikiran
yang bagus, bisa dibuat sekali dalam satu bulan”
(Mahfudz, 2000, hlm. 60)
Dari percakapan antara subjek dengan Qadariyah, ada ledakan dalam diri
subjek yang masih tertunda dalam keraguan. Ketika subjek mengatakan bahwa
tidak ada orang lain yang boleh tahu bahwa dirinya sering menemui Qadariyah di
‘tempat terlarang’. Sejatinya, subjek hendak mencapai ‘yang riil’ melalui
Qadariyah. Akan tetapi, keragu-raguan masih melingkupi seluruh jiwa dan raga
subjek dan hal ini menunjukkan bahwa masih ada kesadaran dalam diri subjek
yang menolak atau menutupi realitas yang akan hadir, atau dengan istilah
kompleksnya, masih ada pengaruh tatanan simbolik yang menjaring subjek untuk
tidak melakukan tindakan yang melampaui tatanan tersebut. Keraguan subjek
berupa kesadaran dirinya sebagai orang yang beragama dan paham terhadap
balasan atas tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam serta
kesadarannya sebagai pegawai negeri level rendahan yang tidak memiliki banyak
uang untuk membeli ‘kenikmatan’.
Belum selesai Qadariyah, datang lagi seorang wanita yang mengisi hari
Usman. Anasiah Ramadhan wanita pertama yang mencari kerja di bagian
kearsipan dan wanita pertama yang mendatangi Usman sejak dia menjadi kepala
di bagian kearsipan. Naasnya, kedatangan Anasiah berbarengan dengan kondisi
Usman yang sedang mabuk karena kebanyakan minum soda. Keadaan tersebut
membuat nyala api hasrat seorang Usman berkobar-kobar seiring dengan
semerbak wangi parfum Anasiah yang menusuk hidung. Usman menatapnya
penuh nafsu, namun ia masih dalam kesadaran penuh oleh dimensi simbolik
sebagai seorang pegawai negeri dan pada saat itu posisinya sedang berada di
ruang kerja. Ledakan dalam diri subjek lagi-lagi tertunda namun ditujukan pada
the other yang berbeda.
“Usman merasa sesuatu yang ganjil berkobar dalam jiwanya, ketika sikunya tanpa
sengaja menyentuh sesuatu yang lunak milik Anasiah Ramadhan. Dia merasa ada
suatu getaran aneh menjalari perasaannya., ia melihat sekeliling dengan rasa was-
was. Suasana di kebun binatang itu memang sepi, langsung saja lelaki itu mencium
pipi dan leher Anasiah. Ciuman Usman mengusik naluri kewanitaan Anasiah, dan
tanpa disadari mereka sudah saling berciuman” (Mahfudz, 2000: 118).
Letupan dalam diri subjek akhirnya meledak setelah subjek berusaha
melepaskan jerat simbolik yang mengekangnya. Usman bersama Anasiah pergi ke
kebun binatang. Tempat yang menurut Usman jauh dari tempat kerjanya dan tidak
akan terpergoki oleh rekan kerjanya. Pengetahuan dasar mengenai tindakan
radikal sebagai suatu tindakan tanpa pikir panjang, tanpa terencana atau lebih
tepatnya spontanitas juga tercermin dalam tindakan subjek kepada Anasiah.
Subjek mulai terbiasa dengan perpindahan dirinya dari dimensi simboliknya yang
lama menuju dimensi simboliknya yang baru. Berbeda dengan sebelumnya,
subjek tidak lagi merasakan keragu-raguan untuk meluapkan hasrat, walaupun ia
sempat merasakan rasa was-was selama sesaat. Luapan hasrat yang dengan mudah
dituangkan oleh seorang Usman sebagai atasan yang memiliki ‘kuasa’ atas
Anasiah Ramadhan sebagai seorang bawahan. Namun hubungan antara subjek
dengan Anasiah Ramadhan juga turut kandas sebagaimana hubungannya dengan
Nufi, kekasih pertamanya. Kali ini subjek dikalahkan oleh rekan kerjanya yang
memiliki jabatan lebih tinggi dibanding dirinya.
Ashilah Hijazi, pengawas perusahaan menjadi wanita kesekian yang akan
menjadi bagian dari pergerakan subjek. Hubungan antara Usman dengan Ashilah
memiliki perbedaan alur dengan kisah cinta sebelumnya. Ashilah seorang wanita
dengan tubuh yang padat nan indah serta lekuk pinggang yang sempurna justru
menaruh hati lebih dulu kepada Usman. Namun, kini Usman tak lagi mendamba
cinta terhadap seorang wanita karena perasaan ‘traumatis’ yang melingkupi
dirinya sedangkan ‘tekanan’ untuk menikah hadir dari keluarga. Usman yang
sudah mulai beruban menandai bahwa dirinya tidak lagi muda dan secara tidak
langsung turut menghadirkan desakan dari orang-orang di sekitarnya. Kehidupan
dalam dunia kerja yang ‘berpihak’ pada kaum atas membuat dirinya juga semakin
terpuruk. Ketiga faktor tersebutlah yang semakin mendesak subjek untuk mencari
‘yang riil’. Pada akhirnya Traumatis yang ia derita membuat Usman tidak bisa
menerima cinta Ashilah. Namun Ashilah selalu datang dan mengiba cinta
terhadap Usman
“Ashilah masih ingin bicara, tapi tiba-tiba Usman mengecup bibirnya dengan
kecupan yang penuh nafsu, Nanti saja kita bicarakan masalah itu, pinta Usman
lembut”
“Kemudian dua insan berlainan jenis itu ‘berdendang’ mengikuti ritme tubuh
mereka dengan penuh luapan nafsu, merasakan kenikmatan yang mereka peroleh.
Gerak-gerak ritmis Usman itu terhenti, ketika menyadari Ashilah telah tertidur
pulas. Usman merasakan kenikmatan yang luar biasa, yang selalu ia bayangkan
dalam hidup. Karena lelah ia pun langsung jatuh tertidur”
(Mahfudz, 2000, hlm. 132)
Dalam diri subjek terdapat hasrat dan nafsu yang terus bergejolak, Ashilah
sebagai pengawas perusahaan terposisikan sebagai atasan dan sebaliknya Usman
adalah seorang bawahan. Atau dengan kata lain, secara tidak langsung terdapat
relasi Majikan-Budak yang keduanya selalu melakukan pertukaran ‘substansi’.
Majikan membutuhkan budak. Budak membutuhkan Majikan. Walaupun hasrat
dalam diri Usman bergejolak, Usman masih memandang Ashilah sebagai
perempuan terhormat yang harus dijaga kesuciannya. Namun, di sisi lain juga
terdapat perasaan ‘traumatis’ atas kejadian yang berkaitan dengan para wanita
yang sebelumnya telah hinggap dalam kehidupannya.
Ashilah adalah wanita baik-baik yang sangat mencintai Usman, namun
justru kebaikan tersebutlah yang terus memenjarakan diri Usman untuk sellau
berada dalam bayang-bayang ketulusan Ashilah. Sementara itu, di sisi lain
Ashilah tetap berada dalam jarak yang tak dapat direduksim dikorosi atau bahkan
dikikis terkair proksimitasnya dengan Usman. Dengan begitu, dapat dikatakan
bahwa Ketulusan Ashilah justru menunjukkan bagaimana suatu ideologi bekerja
dan membunuh ‘intregitas’ subjek yang berada dalam naungannya, terutama
Usman. Untuk keluar dari situasi tersebut, Usman kemudian mencoba berpikir
dan dari sinilah kesadarannya terhadap ketulusan Ashilah terlepas, membuka
semua tabir ilusif yang menipu kesadarannya.
Usman tidak menerima cinta Ashilah tapi dia tidak menolak untuk
bersenggama dengan Ashilah. Terdapat keterpisahan antara keacuhan Usman dan
ketertarikan yang terselubung masuk di dalam dirinya. Hal ini menunjukkan
adanya keterpisahan dua entitas yang berlawanan atau oposisional dalam diri
Usman. Hal ini yang memicu sebuah ledakan, ledakan dari paradoksal yang tak
terselesaikan, ledakan dari dua komposisi yang berlawanan, mengarungi koridor
yang tersembunyi dalam diri Usman sehingga dia melepaskan segala keragu-
raguannya, sampai akhirnya dia menyetubuhi Ashilah.
“Usman sayang..” Kata Ashilah manja. Ia terdiam sejenak,”Apa pendapatmu
dengan apa yang telah kita lakukan malam ini?”
“Biasa saja”, Jawab Usman enteng.
“Bukankah engkau melakukannya dengan sepenuh hati?”
“Benar”
“Apakah engkau merasa menyesal dan bersalah?”
“Tidak”
(Mahfudz, 2000, hlm. 133)
Mengenai pertukaran ‘subtansi’ antara Majikan dan Budak. Ashilah telah
memberikan ‘harta’ paling berharga dalam dirinya. Namun Usman tidak
melaksanakan kewajibannya untuk berbalik memberikan apa yang ‘Majikan’
butuhkan. Hal tersebut menggugurkan relasi antara Majikan-Budak. Dalam hal
ini, subjek dapat dikatakan sebagai subjek radikal karena telah melakukan
tindakan radikal. Subjek benar-benar terlepas dari jerat simbolik yang
mengukungnya. Tindakan Subjek untuk menyetubuhi Ashilah bukanlah suatu
tindakan yang dilatar belakangi oleh tujuan, melainkan diiringi oleh satu arah;
suatu pergerakan yang dilatar belakangi oleh pencapaian kebebasan, namun
menjadikan tindakan persenggamaan ini sebagai suatu ledakan kebebasan itu
sendiri yang merupakan suatu kemuakan yang sudah menghimpit dirinya dalam
posisi yang tidak dapat lagi diterima. Semenjak perkenalannya dengan Nufi
hingga Ashilah, subjek mengalami kesadaran sinisme, yakni melakukan tindakan
di luar batas yang dia ketahui salah namun dia terus melakukannya.
Perjalanan cinta yang selalu diselimuti kegagalan lambat laun terkikis oleh masa.
Usman tidak lagi memikirkan masa lalu, Usman lebih sering berpikir tentang
masa depannya. Membayangkan sebuah rumah yang berisik karena suara anak-
anak kecil saling bertaut suara serta istri yang akan senantiasa menyambut kala ia
datang dari lelahnya bekerja. Usman telah bosan hidup sendiri dan berniat untuk
menyempurnakan ‘separuh’ agamanya. Perjalanan cinta Usman diakhiri dengan
menikahi seorang gadis yang dia cintai setelah kekasih-kekasihnya terdahulu. Dia
menikahi Rodhiyah, sekretaris pribadinya. Pernikahan yang terjadi antara Usman
dan Rodhiyah telah mengembalikan subjek ke dalam dimensi simbolik yang lama
setelah sempat berpindah pada dimensi simbolik yang baru. Pada dimensi
simbolik yang baru dengan upayanya mencari ‘yang riil’ sejatinya adalah sebuah
kehampaan semata.
Simpulan
Pembacaan novel DBDT karya Najib Mahfudz menunjukkan bahwa subjek dalam
karya sastra terkungkung dalam dimensi simbolik agama, sosial dan status
pekerjaan yang mengitarinya. Subjek melakukan tindakan radikal dengan
melakukan hubungan seks di luar nikah yang didasari oleh sebuah momen
kekosongan. Dalam kekosongan itu, subjek memiliki pilihan untuk tetap terjerat
atau bergerak menuju sesuatu “yang riil” yang sesuai pengetahuannya. Subjek
memilih untuk melepaskan jerat simbolik namun dalam pencapaiannya menuju
‘yang riil’ sesungguhnya hanya mendapat kekosongan dan kehampaan semata.
Pada akhirnya, subjek tidak bertahan pada dimensi simbolik yang baru dan beralih
kembali menuju dimensi simbolik yang lama. Hal ini ditandai dengan adanya
pernikahan, yang dalam dimensi simbolik agama menyatakan bahwa menikah
adalah penyempurnaan separuh agama.

Daftar Pustaka
Akmal, R. (2018). Melawan Takdir: Subjektivitas Pramodya Ananta Toer dalam
Perspektif Psikoanalisis Historis Slavoj Žižek. (Adhe, Ed.) (I).
Yogyakarta: Octopus Publishing.

Arifin, M. Z. (2016). Membaca Sinisme Seorang Absurd Dalam Novel Orang


Asing Karya Albert Camus: Perspektif Subjek Imanen Slavoj Žižek.
Jurnal Bebasan, 3(1), hlm. 41-55.

Indah, Veranita Astrid. (2018). Kekerasan Sistemik Pada Masyarakat Modern


Tinjauan Filsafat Slavoj Žižek. Jurnal Zawiyah. Vol 4. No. 1

Mahfudz, Najib. 2000. Di bawah Duli Tuanku. Yogyakarta: Navila Press.


Sakkut, Hamdi. 2000. The Arabic Novel Bibliography and Critical Introduction
1865-1995. Mesir: Da>rul-Kutub
Sarup, M. (2003). Post-Strukturalism and Posmodernism: Sebuah Pengantar
Kritis. (Y. Martanto, Ed.) (I). Yogyakarta: Jendela.

Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret


University Press.

Zamzuri, Ahmad. (2018). Cerpen Matinya Seorang Penari Telanjang Karya Seno
Gumira Ajidarma Dalam Perspektif Subjek Slavoj Žižek. Jurnal Aksara,
V.30il226, hlm. 1-16.

Žižek, Slavoj. (1992). Everything You Always Wanted to Know About Lacan (But
Where Afraid to Ask Hitchcock. London and New York: Verso

__________ (2008). The Sublime Object of Ideology. London and New York:
Verso.

Anda mungkin juga menyukai