Anda di halaman 1dari 6

DALALAH SHAUTIYAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Linguistik


Dosen Pengampu: Dr. Zam-Zam Affandi

Disusun oleh:
Ihza Sabila Rasyada
(20201012013)

PROGRAM STUDI MAGISTER


BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAN DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Ilmu ad-dalalah merupakan salah satu cabang ilmu bahasa.
Beberapa ahli bahasa juga menyebutnya ilmu al-ma’na. Ilmu ini
mempelajari tentang makna bahasa atau kata dan hal-hal yang berkaitan
dengannya. Sedangkan ilmu makna dengan penyebutan “semantik” baru
muncul di abad 19 M.
Kajian tentang semantik awalnya tidak terlalu menjadi perhatian
para ahli bahasa. Mungkin karena kaitan antara kata dan bendanya atau
rujukannya seringkali memiliki makna yang tidak langsung. Atau bahkan
tidak ada kaitannya. Tidak seperti nama orang yang biasanya memiliki
arti, singkatan, atau cerita alasan tertentu. Sedangkan penyebutan “sendok”
pada sebuah alat makan, tidak memiliki alasan mengapa dinamai
“sendok”. Penyebutan alat makan dengan kata “sendok” secara serentak
disepakati oleh masyarakat penggunanya, dan kemudian digunakan dalam
bahasa sehari-hari.
Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, semantik
semakin banyak dibahas dan dijadikan pedang analisis bahasa. Menurut
Chaer (2009, h. 3), pembahasan dalam semantik mencakup antara kata dan
hubungannya dengan konsep dan atau makna dari kata tersebut, dan benda
atau hal-hal yang menjadi rujukan dari kata tersebut.
PEMBAHASAN
A. Ilmu Ad-dalalah
Ilmu ad-dalalah diambil dari kata dalla yang artinya menunjukkan,
atau mengarahkan, yakni mengarahkan kepada makna. Sehingga ilmu ad-
dalalah artinya ilmu tentang makna. Ilmu ini merupkan cabang dari kajian
fiqh al-lughah atau linguistik Arab. Sedangkan dalam bahasa Indonesia
disebut semantik atau semantics dalam bahasa Inggris, yang berasal dari
bahasa Yunan yaitu “semeon”, yang artinya tanda atau menandai. Secara
umum istilah ilmu ad-dalalah dan semantik tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Keduanya sama-sama mengkaji tentang tanda dan makna (Chaer,
2002, h. 2).
Istilah makna sudah sempat disinggung oleh Aristoteles dan Plato
melalui pembahasan kata. Yaitu tentang definisinya mengenai kata adalah
satuan bahasa terkecil yang mengandung makna. Demikian juga di India,
pembahasan tentang makna sudah diperkenalkan oleh ahli bahasa India
melalui pembahasan terkait karakteristik kosakata dan kalimat. Sedang ahli
bahasa Arab sudah banyak mengkaji tentang makna lebih dulu, yaitu ketika
mengkaji tengtang makna ayat-ayat Al-Quran (Matsna, 2016, h. 5). Kendati
demikian, istilah semantik belum ada yang memunculkan dan mengkaji
secara rinci dan belum berdiri sendiri sebagai ilmu.
Pada abad 19 M, istilah semantic baru muncul di Barat. Istilah semantik
diperkenalkan leh linguis Paris bernama Michael Breal. Lewat karyanya Les Lois
Intelectuallis du Langage dan esai De Semantique. Sejak saat itu kajian semantik
menjadi lebih dalam dan terarah, serta s emakin banyak dan banyak toeri
semantik yang digagas oleh para linguis. Sedangkan linguis Arab yang
memberi perhatian terhadap semantik adalah Ibrahim Anis. Salah satu
penjelasannya adalah tentang hubungan antara lafadz dan makna serta jenis
kaitan dari keduanya (Matsna, 2016, h. 6). Ibrahim Anis membagi Ilmu ad-
dalalah menjadi empat macam, yaitu: dalalah shautiyah, dalalah sharfiyah,
dalalah nahwiyah, dan dalalah mu’jamiyah.
B. Dalalah Shautiyah
Dalalah shautiyah dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
makna suara/makna fonologi. Secara umum fonologi mencakup dua
pembahasan, yaitu fonetik dan fonemik. Fonetik membahas tentang bunyi
bahasa, tanpa memperhatikan makna. Sedangkan fonemik membahas tentang
bunyi bahasa dan perbedaan makna yang dihasilkannya. Pada dalalah
shautiyah lebih condong ke pembahasan fonemik. Meskippun pada dasarnya
fonetik dan fonemik tidak dapat dipisahkan.
Dalalah shautiyah adalah ilmu semantik yang mengkaji makna dalam
suatu bunyi bahasa atau karakter pada suatu suara dalam bahasa. Objeknya
adalah satuan bunyi dalam bahasa. Pada bahasa Indonesia kajian ini mirip
dengan apa yang disebut sebagai homograf, yaitu satu kata yang bunyinya
mirip namun beda makna. Seperti kata “apel” dalam kalimat “aku menyukai
buah apel” berbeda dengan kata “apel” dalam kalimat “apel pagi hari ini akan
dilaksanakan pukul tujuh”. Satu kata diatas memiliki bunyi yang beda tipis,
tetapi nyatanya perbedaan bunyi tersebut membedakan sebuah makna.
Demikian pula dalam bahasa Arab, meskipun tidak sama persis
dengan homograf. Sebab dalam bahasa Arab berbeda bunyi maka berbeda
huruf, tidak ada satu huruf dengan dua bentuk bunyi. Kata ‫ نضخ‬dan ‫نضح‬
memiliki bunyi yang mirip. Namun ternyata memiliki arti yang berbeda,
meski masih berkaitan. Kedua kata diatas merujuk pada makna aliran air,
namun kata ‫ نضح‬dengan akhir kata yang berbunyi huruf ringan yaitu “ḥa”
berarti air yang mengalir dengan tenang atau lambat. Sedangkan pada kata
‫ نضخ‬dengan akhir kata menggunakan huruf “kha” yang karakternya lebih
berat dari “ḥa” menandakan adanya perbedaaan makna, yaitu ‫ نضخ‬artinya
aliran air yang memancar dengan kuat dan tidak beraturan.
Kemudian ada yang disebut dengan tsanaiyatu al-alfadz, yaitu dalam
beberapa kata yang terdiri dari tiga huruf. Diantara tiga hurufnya ada dua
huruf dan harokat yang sama. Contoh: ‫ نفع‬،‫ نفس‬،‫ نفد‬،‫ نفذ‬،‫ نفخ‬،‫نفت‬. Kata-kata
tersebut memiliki dua huruf yang sama dan berurutan. Meski artinya berbeda
tetapi memiliki keterkaitan makna secara umum, yaitu keluar atau berpindah
(Mausu’atul ‘Ulum, 2015, 07.00).
Bagian lain dari dalalah shautiyah adalah an-nabr atau nada, yaitu
tinggi rendahnya suatu kata. Nabr juga dapat mempengaruhi makna kata.
Seperti pada kalimat ‫ ”"هل يعقل أن نضخ العين فى وسط الصخراء فى ثوان؟‬, jika

kata “‫ الصخراء‬e‫ ”وسط‬diberi penekanan lebih, maka akan menimbulkan makna


bahwa penutur sedang mengungkapkan rasa heran terhadap “tengah padang
pasir”, tentang bagaimana bisa ada mata air di tengah padang pasir (Anis, h.
46).
Bagian lain kedua dari dalalah shautiyah adalah an-naghmah al-
kalamiyah atau intonasi, yaitu tinggi rendahnya suatu kalimat. Seperti
"‫"ال يا شيخ‬
yang dapat berbeda makna tergantung intonasi penuturnya. Maknanya bisa
pertanyaan, menghakimi, atau ungkapan keheranan. Perubahan intonasi juga
banyak mempengaruhi makna dari beberapa bahasa lainnya (Anis, h. 47).

SIMPULAN

Dalalah Shautiyah adalah cabang ilmu makna yang yang mengkaji


makna dalam suatu bunyi bahasa atau karakter pada suatu suara dalam
bahasa. Dengan satuan bunyi dalam bahasa sebagai objeknya. Terdapat
beberapa kategori dalam bahasa yang dapat mempengaruhi makna.
Diantaranya adalah 1) kata yang bunyinya mirip, hanya dibedakan oleh satu
bunyi huruf. Mempengaruhi intensitas makna; 2) Tsanaiyatu Al-alfadz:
beberapa kata yang terdiri dari tiga huruf. Diantara tiga hurufnya ada dua
huruf dan harokat yang sama. Maknanya berbeda tetapi masih saling
berkaitan. 3) An-Nabr dan An-Naghmah Al-Kalamiyah: naik turunnya nada
kata dan kalimat dapat mempengaruhi makna kalimat secara keseluruhan.
Daftar Pustaka

Anis, Ibrahim. (1976). Dalalatu al-alfadz. Mesir: Maktabah Anjlu


Chaer, Abdul. (2002). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta
Matsna. (2016). Kajian Semantik Arab: Klasik dan Kontemporer. Jakarta:
Kencana
https://www.youtube.com/watch?v=O3lRoPK2CO0

Anda mungkin juga menyukai