Anda di halaman 1dari 5

DILALAH SHAUTIYAH

Oleh:
Vera Nurfitriani
21201011024
Program Magister Bahasa dan Sastra Arab
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pendahuluan

Manusia sebagai makhluk sosial yang mampu mengungkapkan isi pikiran dan
perasaannya melalui bahasa perlu memahami isi makna dari apa yang akan dia sampaikan juga
memahami isi apa yang disampaikan oleh orang lain kepadanya. Tidak hanya itu, untuk
menghindari suatu kesalah pahaman kita harus mengetahui makna dari kata yang akan
dikombinasikan menjadi sebuah frase dan kalimat. Maka dari itu untuk memahami makna suatu
bahasa dengan baik, kita harus memahami ilmu yang mengkajinya. ‘ilmu al-dilalah adalah ilmu
yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan makna suatu bahasa. ‘ilmu al-dilalah dikenal
dengan semantik dalam bahasa Indonesia dan semantics dalam bahasa Inggris, berasal dari
bahasa Yunani yaitu sema (nomina) yang berarti “tanda” atau “lambang” atau semaino (verba)
yang berarti menandai, berarti, atau melambangkan. Semantik lebih menitik beratkan pada
bidang makna dengan berpangkal dari acuan dan simbol. Semantik adalah telaah makna, ia
menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang
satu dengan yang lain dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh sebab itu
semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya, dan perubahannya.

Pada awalnya kajian tentang makna bahasa ini tidak terlalu menjadi perhatian banyak ahli
linguis, namun seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan semantik sendiri banyak
dibahas dan dijadikan sumber untuk menganalisis bahasa.
Pembahasan

Semantik merupakan salah satu bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi,
tata bahasa (morfologi-sintaksis), dan semantik. semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang
mempelajari makna. Dalam bahasa Arab, kata semantik diterjemahkan dengan ‘ilmu al-dilalah.
Ilmu al-dilalah terdiri dari dua kata yaitu ‘ilmu yang berarti ilmu pengetahuan, dan al-dilalah
atau ad-dalalah yang berarti penunjukan atau makna. Secara terminologis, ‘ilm al-dilalah sebagai
salah satu cabang linguistik (‘ilm al-lughah) yang telah berdiri sendiri.

Akhmad Mukhtar Umar mendefinisikan ‘ilm al-dilalah sebagai berikut:

‫هو العلم الذي يدرس املعىن او ذلك الفرع من علم اللغة الذي يتناول دراسة املعىن أو ذلك الفرع الذي يدرس‬

.‫الشروط الواجب توافرها ىف الرمز حىت يكون قادرا على محل املعىن‬

“kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas tentang makna, atau cabang linguistik yang
mengkaji teori makna, atau cabang linguistik yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk mengungkap lambang-lambang bunyi sehingga mempunyai makna”.

Secara historis, kajian makna ini sudah ada sejak zaman Yunani kuno yang mana
Aristoleles (384-322 SM) adalah orang pertama yang menggunakan istilah makna melalui
definisinya bahwa kata adalah satuan terkecil yang mengandung makna. Begitu juga dengan
Plato (429-347 SM) yang membicarakan makna. Dalam Cratylus ia mengungkapkan bahwa
bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Di India, para ahli
bahasa India telah membahas kajian tentang pemahaman karakteristik kosa kata dan kalimat. Di
dunia Arab, studi ini sudah banyak dilakukan oleh para linguis Arab. Perhatian ini muncul
seiring dengan adanya kesadaran untuk memahami al-Quran. Pada akhir abad ke-19, istilah
semantik di Barat sebagai ilmu yang berdiri sendiri dimunculkan dan dikembangkan oleh
ilmuwan Prancis, Michael Breal (1883) melalui karyanya Les Lois Intellectuelles du Languange
dan Essai de semantique. Kajian semantik menjadi lebih terarah dan sistematis setelah tampilnya
Ferdinand de Saussure dengan karyanya Course de Linguistique Generale (1916) ia dijuluki
sebagai bapak linguistik modern. Setelah itu istilah semantik jadi lebih bermacam-macam, tetapi
mayoritas dari para ahli menyebutnya dengan istilah semantik. walhasil semantik atau ‘ilm al-
dilalah telah ada sejak zaman Yunani kuno meskipun belum disebut secara jelas dan tegas
sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

A. Pengertian Dilalah Shautiyah

Dilalah shautiyah dalam bahasa Indonesia dapat disebut juga sebagai makna suara/makna
fonologi. Secara umum, fonologi itu sendiri mencakup dua pembahasan, yaitu fonetik dan
fonemik. Fonetik membahas tentang bunyi bahasa, tanpa memperhatikan makna. Sedangkan
fonemik membahas tentang bunyi bahasa dan perbedaan makna yang dihasilkannya. Contoh
pada fonetik adalah huruf A pada kata Mangga, angin, Eka. Dalam kajiannya fonetika akan
menjelaskan perbedaan bunyi-bunyi tersebut dan menjelaskan sebab-sebabnya. Contoh dari
fonemik adalah huruf P dan B dalam kata (paru) dan (Baru) yang mana kedua huruf tersebut
keluar dari artikulasi yang sama yaitu letupan dua bibir yang menutup, sebab perbedaan huruf P
dan B akan menyebabkan perbedaan makna. Pada dalalah shautiyah lebih condong kepada
pembahasan fonemik. Meskipun pada dasarnya fonetik dan fonemik sendiri adalah suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Dilalah shautiyah adalah ilmu semantik yang mengkaji makna dalam suatu bunyi bahasa
atau karakter pada suatu suara dalam bahasa. Objeknya adalah satuan bunyi dalam bahasa. Pada
bahasa Indonesia kajian ini mirip dengan apa yang disebut sebagai homograf, yaitu satu kata
yang bunyinya mirip namun beda makna. Seperti kata “keset” dalam kalimat “aku
membersihkan lantai dapur hingga keset” berbeda dengan kata “keset” dalam kalimat “ibu
membeli keset di pasar”. Satu kata di atas memiliki bunyi yang beda tipis, tetapi nyatanya
perbedaan bunyi tersebut membedakan sebuah makna. Bunyi bahasa Arab dibedakan
berdasarkan kepada penyebarannya ketika berucap dari rongga ke tenggorokan, rongga hidung,
mulut, kemudian ujung lidah dan dua bibir.

Dilalah shautiyah adalah dilalah yang bersumber dari bunyi, sehingga pemahaman atau
makna dihasilkan dari pengaruh suatu bunyi terhadap bunyi yang lain atau sekumpulan bunyi
terhadap bunyi-bunyi yang lain dalam suatu ucapan. Suatu makna bunyi bahasa bisa berbeda
dengan beberapa persoalan:

1. Bunyi huruf yang mirip


Kata ‫ نضخ‬dan ‫ نضح‬memiliki bunyi yang mirip namun ternyata memiliki arti yang
berbeda, meski masih berkaitan. Kedua kata di atas sama-sama merujuk kepada makna
yang sama yaitu aliran air. Namun kata ‫ نضح‬yaitu kata dengan akhiran “ha” memiliki arti
air yang mengalir dengan tenang atau lambat. Sedangkat untuk kata ‫ نضخ‬dengan akhir
kata yang berakhiran “kha” memiliki arti aliran air yang memancar dengan kuat dan tidak
beraturan.
2. An-Nagham al-kalamiyah (intonation).
An-Nagham al-kalamiyah (intonation) atau intonasi yaitu tinggi rendahnya suatu
kalimat. Intonasi merupakan pengaruh yang besar dalam menentukan makna ketika
berdialog atau berbicara. Intonasi sangat berpengaruh penting dalam berbahasa, karena
dengan intonasi dapat memiliki ragam makna. Dengan satu nagham atau intonasi dengan
nagham yang lain berbeda maka maknanya pun berbeda pula. Contohnya dalam
megungkapkan kata ‫ ال ياشيخ‬. dalam mengungkapkan kata ini memiliki beberapa intonasi,
ada yang berupa istifham atau berbentuk pertanyaan, bisa jadi dapat berupa ejekan, dan
dapat juga berupa ta’jub dan sebagainya. Semua ini tergantung dengan intonasi yang
dipakai. Seperti pada kalimat “ ‫ "هل يعقل ان نضخ العين في وسط الصخراء في ثوان‬dalam kata ‫في‬
‫ وسط الصخراء‬diberikan penekanan lebih, maka akan menimbulkan makna bahwa penutur
sedang mengungkapkan rasa heran terhadap “tengah padang pasir”, tentang bagaimana
bisa ada mata air di tengah padang pasir (Anis, h.46).
3. Tsaniyatu al-alfadz
Tsaniyatu al-alfadz yaitu kata yang terdiri dari tiga huruf dan diantara tiga huruf

tersebut terdapat dua huruf dengan harokat yang sama. Contoh: ،‫ نفس‬،‫ نفد‬،‫ نفذ‬،‫ نفخ‬،‫نفت‬

‫نفع‬. Kata-kata tersebut memiliki dua huruf yang sama dan berurutan. Meski artinya

berbeda tetapi masih memiliki keterkaitan makna secara umum, yaitu keluar atau

berpindah (Mausu’atul ‘Ulum, 2015,07.00). contoh lain ada ‫ قطف‬،‫ قطم‬،‫ قطع‬،‫قطب‬. Kata-
kata di atas terdiri dari 3 huruf dan diantara dua hurufnya adalah huruf yang sama yaitu
huruf ‫ ق‬dan ‫ ط‬. Kata-kata di atas memiliki makna yang berkaitan yaitu terpisah,
memisahkan. Selain itu juga ada ‫ حجم‬،‫ حجز‬،‫حجب‬. Yang memiliki dua huruf yang sama

yaitu huruf ‫ ح‬dan ‫ ج‬dengan makna batasan dan larangan.

Kesimpulan

Ilmu dilalah adalah ilmu yang mengkaji makna, adapun dilalah shoutiyah adalah ilmu
yang mengkaji makna melewati suara/bunyi. Terdapat beberapa kategori yang dapat
mempengaruhi makna. 1). Kata dengan bunyi yang mirip, hanya dibedakan oleh satu huruf.
2).An-Naghmah al-Kalamiyah yaitu naik dan turunnya nada/intonasi suatu kata dan kalimat juga
dapat mempengaruhi makna kalimat secara keseluruhan. 3). Tsaniyatul Al-fadz/kata yang terdiri
dari tiga huruf namun dua dari tiga huruf tersebut adalah huruf dengan harokat yang sama

Daftar Pustaka

Matsna. (2006). Kajian Semantik Arab Klasik dan Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Chaer, Abdul. (2002). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Anies, Ibrahim. (1976). Dalalatu al-alfadz. Mesir: Maktabah Anjalu.

Dayyab, Hifni Bek. 2010. Kaidah Tata Bahasa Arab. Kalarta: Darul Ulum Press.

https://epalyuardi.blogspot.com/2018/12makalah-pembagian-dilalah-semantik.html?m=1
diunduh pada 30 November 2021 pkl. 14:30.

https://youtube.be/91OMRLu-4iE.

Anda mungkin juga menyukai