ABSTRACT
Keyword:
Bilingualism, colloquial, standarded Arabic
• Disarikan dari Emil Badi Ya’kub dalam Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyyah wa Khasaishuha, Dar al-Tsaqafat, Beirut, tt,
h. 144.
1
Perbedaan antara bahasa pasar dengan bahasa fokem, terletak pada si
pemakai bahasa. Bahasa pasar digunakan oleh mayoritas pengguna bahasa di
beberapa tempat yang memiliki persamaan dalam fonem, morfem dan sintaksis.
Sedangkan bahasa fokem digunakan oleh sebagian pengguna bahasa, terutama
kalangan remaja, sesuai dengan mode dan bentuk yang mereka inginkan. Dengan
kata lain, bahasa fokem tidak digunakan oleh sejumlah besar pengguna bahasa,
berbeda dengan bahasa pasar (‘‘amiyah) yang secara mayoritas menjadi bahasa
penghubung dalam komunikasi.
Bahasa pasar (‘‘amiyah) yang dicirikan dengan bahasa yang tidak baku,
dilawankan dengan bahasa baku (fushah). Untuk istilah Indonesia, bahasa fushah
telah dikenal sebagai bahasa yang sesuai dengan tata bahasa (Ejaan Yang
Disempurnakan atau EYD), sedangkan bahasa tidak baku dikenal sebagai bahasa
yang tidak memakai tata bahasa. Dari sini, perbedaan yang terlihat ternyata ada
pada “grammar”. Fungsi grammar sebagai pedoman berbahasa, tidak terlalu
dipakai dalam bahasa pasar. Sedangkan bahasa baku, selalu memakai grammar
untuk setiap aspeknya. Karena itu, bahasa baku sering dikatakan sebagai bahasa
yang kaku alias statis, sedangkan bahasa pasar disebut dengan bahasa yang
dinamis.
Perbedaan seperti itu juga dialami bahasa Arab. Antara bahasa Arab
‘‘amiyah dan fushah, kateogri-kategori linguistik yang ada di dalamnya memang
terlihat berbeda. Perbedaan yang terjadi—seperti pada bahasa-bahasa lain—juga
sama dialami dalam bahasa Arab, baik dari aspek fonem, morfem atau sintaksis.
Karena adanya perbedaan ini, muncul dua persoalan yang saling bertolak
belakang; satu pihak ingin agar bahasa fushah dipakai dalam komunikasi sehari-
hari, sementara pihak lain ingin agar dalam komunikasi tidak dibatasi dengan
aturan-aturan yang kaku seperti yang terdapat dalam bahasa fushah.
Dalam aspek lain, perbedaan fushah dan ‘‘amiyah, kadang dilihat dari
sudut manfaat dan efektivitasnya dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa fushah
sering dikatakan sebagai bahasa yang kurang fleksibel dan statis, sementara
bahasa ‘amiyah sering dianggap sebagai bahasa yang menyalahi aturan
gramatikal bahasa Arab. Sudut-sudut seperti itulah yang ingin dikaji dalam sub
2
bab ini, terutama pada deskripsi yang diungkapkan beberapa linguis berkenaan
dengan kelebihan dan kekurangan antara bahasa ‘amiyah dan fushah.
3
Persoalan Ontologis
Emil Badi Ya’qub dalam Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah wa
Khasha`ishuha, mengatakan bahwa secara global bahasa Arab fushah adalah
bahasa yang terdapat di dalam al-Quran dan peninggalan-peninggalan bangsa
Arab yang dipakai pada pertemuan-pertemuan resmi mereka, dan secara khusus
juga dipakai dalam penulisan puisi, prosa maupun hasil-hasil pemikiran bangsa
Arab. Sedangkan bahasa ‘‘amiyah adalah bahasa yang biasa digunakan dalam
komunikasi sehari-hari.
Bahasa Arab fushah biasanya ditujukan kepada dialek Qurais, salah satu
klan (marga) bangsa Arab yang tinggal di Makkah. Klan Qurais yang mendiami
kota Makkah ini, memiliki kefasihan (fushah) dalam berbahasa Arab; terutama
ketika Nabi Muhammad datang dengan membawa al-Quran, pengakuan tersebut
menjadi lebih bertambah menjadi suatu keyakinan akan kemukjizatan bahasa al-
Quran yang banyak memakai dialek Qurais.
Sementara itu, bahasa ‘‘amiyah yang banyak dipakai dalam komunikasi
bangsa Arab sehari-hari, timbul pasca perkembangan Islam ke berbagai daerah di
luar jazirah Arab. Pada perkembangan ini, pencampuran antara bangsa Arab dan
non-Arab (‘ajam) diyakini sebagai salah satu penyebab terjadinya “dualisme”
bahasa. Akan tetapi, pencampuran ini tidak sampai melebihi batas keaslian
bahasa fushah ketika itu, kecuali hanya menyentuh sebagian aspek fonetik,
morfologis, sintaksis, gramatikal (nahwu) dan cara pengungkapan. Al-Jahidz
menyebut kondisi bahasa ‘amiyah saat itu sebagai bahasa blasteran (muwallidin
dan baladiyyin).
Berdasarkan hal tersebut, antara fushah dan ‘‘amiyah sebenarnya tidak
dapat dimasukkan dalam dualisme bahasa (tsanaiyyat al-lughah). Istilah ini
ditujukan kepada dua bahasa yang berbeda, yang digunakan oleh satu orang atau
sekelompok masyarakat pada satu waktu. Sekalipun sebagian pendapat para ahli
bahasa mengatakan fushah dan ‘amiyah sebagai bentuk dari dualisme bahasa,
namun perbedaan keduanya hanya berada pada masalah parsial (cabang), bukan
masalah pokok. Sedangkan dualisme bahasa terjadi antara dua bahasa yang saling
berbeda; seperti bahasa Prancis dengan Arab, bahasa Jerman dengan Turki dan
4
sebagainya. Di sini perlu diperjelas bahwa dalam bahasa Arab ada dua bahasa;
satu fushah dan yang lain adalah ‘‘amiyah.
5
Komentar mengenai dualisme dalam bahasa Arab ini dapat dibagi dalam
dua kelompok; pertama, mereka yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan
salah satu bukti dari kreatifitas manusia, dan kedua, mereka yang melihat bahwa
dualisme bahasa tidak lebih dari kesulitan besar, di mana ketika seorang murid
berada di sekolahnya, maka ia merasa tidak nyaman terhadap bahan bacaan.
Lebih dari itu, bahasa fushah menuntut waktu yang panjang untuk
mempelajarinya. Karena itu, dualisme bahasa kemudian menjadi sebab
ketinggalan dan kebodohan. Kelompok kedua ini kemudian mengajukan
beberapa keberatan terhadap masalah fushah dan ‘amiyah yang dapat dirangkum
dalam lima hal :
Pertama, bahwa bahasa ‘amiyah itu dimasukkan saja ke dalam bahasa
fushah. Untuk itu kita harus dapat melakukan berbagai cara agar masyarakat
dapat berbahasa Arab fushah dalam semua bidang kehidupan mereka. Bahasa
fushah dengan demikian dapat menjadi bahasa yang sifatnya alamiah; yang telah
berlaku dari zaman dulu sampai sekarang. Dengan demikian, seorang murid tidak
akan memerlukan waktu yang lama untuk mempelajarinya. Hal ini nantinya akan
sangat bermanfaat ketika mereka mempelajari ilmu pengetahuan dan persoalan-
persoalan sosial.
Kedua, bahwa bahasa fushah dan ‘amiyah itu dihilangkan saja dan diganti
dengan bahasa asing yang lebih aktual, baik dari segi ilmu, budaya atau ekonomi.
Mereka ini berpendapat bahwa bahasa fushah itu hanya akan membawa kepada
kehancuran.
Ketiga, pendapat yang mengarah pada penyatuan antara fushah dan
‘amiyah dapat dilakukan dengan cara mengambil semua aspek-aspek yang ada
pada dua bahasa tersebut.
Keempat, istilah yang mengacu pada bahasa Arab yang resmi dan
universal (al-lughat al-Arabiyah al-muhakkiyah al-musytarakah), atau bahasa
akademisi seluruh negeri Arab (al-lughat al-mutaaddibin fi jami’ al-aqthar al-
Arabiyah), atau bahasa budayawan Arab (lughat mutsqifi al-Arab). Istilah-istilah
tersebut diartikan sebagai bahasa Arab yang sama digunakan oleh seluruh
masyarakat Arab sebagai akibat dari proses budaya, sosial dan politik selama 30
6
tahun terakhir. Bahasa ini juga dikenal dengan nama bahasa Arab resmi yang
dipakai oleh seluruh masyarakat Mesir, Irak, Syria, Lebanon, Palestina dan
sebagainya. Bahasa inilah yang sering digunakan dalam berbagai kegiatan
masyarakat, seperti di sekolah, surat kabar, radio, olahraga, perdagangan,
pertemuan politik dan hubungan sosial. Dalam pendapat kelompok ini, bahasa
merupakan mata rantai yang kuat yang dapat menjadikan bangsa Arab menjadi
bangsa yang berbudaya. Salah satu ciri penting dalam bahasa ini adalah
pemakaian i’rab, norma yang umum dan bersandar pada bahasa fushah yang
jelas.
Kelima, pendapat terakhir yang menginginkan bahasa ‘amiyah dapat
dipakai dalam bahasa ilmiyah dan sastra. Pada aspek-aspek yang berbeda, bahasa
fushah juga boleh digunakan. Asumsi yang timbul dari pengaruh pendapat ini
adalah adanya kecenderungan masyarakat untuk melakukan apa yang bisa
mereka lakukan; dan karena itu banyak yang mendukung pendapat ini. Untuk
pembahasan ini kita perlu sedikit lebih merincinya.
7
menggunakan bahasa Arab fushah baik dalam tulisan atau bacaaan mereka. Ia
menyarankan agar bahasa fushah segera ditinggalkan dan diganti dengan bahasa
‘amiyah. Menurutnya bahasa fushah sangat susah dan sudah kuno.
Tahun 1901, J. Seldon Wilmore, seorang hakim berkebangsaan Inggris,
menerbitkan suatu buku dalam bahasa Inggris tentang bahasa ‘amiyah Mesir
dengan judul al-‘Arabiyyah al-Muhakkiyah fi Mishr. Di dalamnya ia mengajak
untuk menggunakan bahasa ‘amiyah sebagai sarana dalam tulisan atau
percakapan.
Tahun 1902, Iskandar Ma’luf pernah menulis artikel di majalah al-Hilal.
Di situ ia juga mengatakan bahwa banyak sekali masyarakat yang menggunakan
bahasa ‘amiyah dimana mereka percaya akan kebenarannya dan merasa wajib
menggunakannya. Ia berharap dapat melihat majalah-majalah yang ada di negeri
Arab dapat merubah bahasa mereka seperti yang telah dilakukan oleh majalah al-
Hilal.
Tahun 1913, Ahmad Luthfi al-Sayyid juga menulis tujuh makalah tentang
Mesirisasi Bahasa Arab yang dimuat di dalam surat kabar setempat. Di dalamnya
ia mengatakan bahwa metode yang utama untuk menghidupkan bahasa Arab
adalah dengan menghidupkan bahasa yang dipakai oleh masyarakat umum; dan
di sisi lain dengan jalan menggunakan bahasa al-Quran. Hal itu dapat dilakukan
jika bahasa ‘amiyah digunakan dalam tulisan-tulisan.
Tahun 1925, seorang pendeta yang bernama Maron Ghozn menerbitkan
sebuah buku yang berjudul Darsun wa Muthala’atun. Salah satu babnya berjudul
Hayat al-Lughah wa Mautiha; al-Lughah al-’amiyah mengatakan bahwa matinya
bahasa Arab fushah dapat dianggap sama dalam sejarah dua bahasa Yunani dan
Latin; hal mana dapat dijadikan seruan untuk menuliskan bahasa ‘amiyah
Suriyah.
Tahun 1955, Anis Farihah membuat tulisan yang berjudul Nahwa
Arabiyah Muyassarah yang menyarankan penggunaan bahasa masyarakat umum
sebagai satu-satunya bahasa. Ia beranggapan bahwa bahasa fushah sebenarnya
adalah bahasa generasi yang sudah lama berlalu. Karena itu bahasa fushah tidak
dapat dipakai lagi dalam kehidupan sosial sekarang. Sedangkan bahasa ‘amiyah
8
adalah bahasa yang hidup dan berkembang. Banyak sarana untuk memahami dan
mengerti bahasa ‘amiyah, apalagi untuk urusan intern manusia.
Seruan kepada bahasa ‘amiyah di atas, pada dasarnya dilandasi dengan
hal-hal berikut; 1) Bahasa fushah adalah bahasa generasi yang sudah lama yang
tidak dapat lagi menggambarkan kehidupan saat ini. Sebabnya karena kita
kesulitan untuk mempelajari dan mengajarkannya. Kesulitan tersebut terletak
pada bidang nahwu (sintaksis), sharf (morfologi) dan mufradat kosa kata.
Berbeda dengan bahasa ‘amiyah yang mudah diucapkan dan dibuat, hal itu
dikarenakan ia tidak perlu memakai i’rab, tidak mempunyai lafadz-lafadz yang
njelimet, sinonim atau antonim, juga tidak memiliki kesulitan dalam menerima
istilah-istilah asing ataupun kecenderungan dalam menerima perubahan bentuk
kata secara morfologis baik sebagai perkembangan atau perluasan kata. 2)
Banyak orang Islam yang tidak menggunakan bahasa Arab sebagai media
komunikasi, baik secara lisan atau tulisan, karena itu kondisi ini tidak membuat
orang Islam memiliki keterkaitan dengan bahasa fushah. Sedangkan bahasa al-
Quran diyakini akan tetap ada sehubungan dengan adanya pemerhati bahasa dan
ahli-ahli bahasa. 3) Salah satu sebab kemunduran bangsa Arab adalah karena
perbedaan bahasa lisan dan bahasa tulisan. Karena itu dengan memakai bahasa
‘amiyah akan dapat mencegah perbedaan ini, terutama terhadap gejala dualisme
bahasa.
Pendapat terakhir ini dikemukakan oleh Anis Farihah. Mengingat
pentingnya tema ini dan ada hubungannya dengan objek bahasan kita, maka
paragraf berikut akan kita fokuskan kepada pendapat Anis Farihah untuk dapat
kita ekspoitasi dan kita didiskusikan.
9
pemikir, ilmuwan atau filosof, Ketika mereka mengedepankan pandangan-
pandangan ilmiah, filsafat dan sosial mereka, kadang-kadang mereka merasakan
kesulitan untuk menyusun suatu kalimat yang baik. Begitu juga sebagian besar
pemirsa, peserta dan pembicara akan mengeluarkan banyak usaha untuk
memahami arti secara baik, apalagi jika dilakukan secara spontan.
Dalam bidang pendidikan, pengaruh dualisme ini juga karena bangsa
Arab selalu berubah ketika mempelajari bahasanya, sama seperti bangsa barat
ketika mempelajari bahasanya. Tujuan manusia membaca, olah bahasa para
murid, serta struktur tulisan yang membawa pada makna tertentu, adalah
persoalan-persoalan dasar dalam perbedaan ‘amiyah dan fushah. Karena itulah
bahasa fushah susah di lidah anak kecil.
Dalam pembentukan pribadi, pengaruh ini karena dalam masyarakat
Arab, seorang ayah dan ibu merasa kalau bahasa ‘amiyah bukanlah bahasa
pertumbuhan yang harus tumbuh bersama dengan seorang anak. Mereka akan
menyerahkan persoalan ini kepada sekolah—yang dalam pikiran si anak—
mewakili vokalisasi bahasa yang asing dan jauh dari kehidupan mereka. Karena
itulah si anak tersebut akhirnya tumbuh dalam dua bentuk kepribadian; secara
alamiah mereka suka berbicara dengan bahasa mereka yang sangat khusus, dan
kepribadian yang terbentuk ketika mereka berbicara dengan bahasa fushah
mereka dalam pertemuan-pertemuan yang resmi.
Dalam segi akhlak, pengaruh ini menurut Farihah karena suatu bahasa
memiliki pengaruh terhadap perubahan manusia. Dualisme bahasa ada pada tabiat
dan akhlak masyarakat kita. Masyarakat kita tidak menggunakan bahasa fushah
kecuali pada keadaan yang resmi. Ketika si anak menggunakan bahasa ‘amiyah
dalam kebiasaan mereka, mereka mengungkapkannya dengan santai dan rileks.
Dalam bidang seni, terutama seni drama, menurut Farihah bahwa sebab
kurang berbobotnya drama kita karena selalu menggunakan bahasa fushah;
sekalipun sangat jelas perbedaan antara naskah drama dengan bahasa fushah.
Seni drama adalah gambaran kehidupan dan perjalanan dengan segala macam
jenisnya, harus dapat mengungkapkan kesaksian hidup. Di sinilah bahasa fushah
10
dianggap tidak mampu mengungkapkan realitas kehidupan. Ia lebih dianggap
sebagai bahasa generasi yang sudah asing.
Penutup
Persoalan fushah dan amiyah yang ditampilkan dalam tulisan ini mungkin
dapat menjadi wacana awal dalam proses pembelajaran bahasa Arab, terutama
jika kita ingin meningkatkan kemampuan berbicara (maharat al-kalam) para
siswa dan santri kita. Sekalipun tidak mengarah kepada persoalan metodologis,
tulisan ini juga menyadarkan akan pentingnya sikap konsisten khususya kepada
anak didik untuk menerapkan dan mempergunakan bahasa arab fushah dalam
percakapan mereka sehari-hari. Hal ini didasari karena penggunaan kosa kata
bahasa amiyah yang terkadang dipakai, dapat mengacaukan kemampuan
berbicara fushah mereka. Padahal penguasaan bahasa fushah, baik dalam lisan
atau tulisan, adalah modal utama kemampuan siswa kita memahami hazanah
intelektual Islam. []
11