Anda di halaman 1dari 10

STRATEGI PEMBELAJARAN TARAKIB

(KAIDAH BAHASA ARAB)

A. Pendahuluan
Metodologi pengajaran bahasa kedua atau bahasa asing mengalami perkembangan
terus-menerus seiring dengan perkembangan yang terjadi pada disiplin ilmu bahasa (ilmu al-
lughah), linguistik, ilmu pendidikan (ilmu at-tarbiyah). Ada tiga unsur bahasa yang harus
diketahui dan diperhatikan dalam mempelajari bahasa yaitu (1) al-ashwat , (2) al-mufradat,
(3) al-tarakib. Salah satu unsure yang penting dalam pembelajaran bahasa arab adalah al-
tarakib, tarakib ini terdiri dari qawaidh an-nahwi dan qwaidh al-sharfi. Tarakib menjadi
kebutuhan pokok ketika belajar bahasa arab. Seseorang tidak mungkin bisa membaca teks
arab dan membuat suatu kalimat tanpa memahami kaidah bahasa arab.
Dalam pembelajaran bahasa arab terdapat empat keterampilan berbahasa yang
diajarkan secara integral, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Seorang
pengajar harus mempunyai strategi pembelajaran yang baik untuk sampai pada tujuan yang
diinginkan, namun pada kenyataan para pengajar kuarang memahami strategi
penbelajarannya khususnya tarakib, sehingga banyak dari siswa kurang menguasai materi
tarakib tersebut.
Tarakib merupakan kaidah-kaidah bahasa yang lahir setelah adanya bahasa itu, dan
telah digunakan oleh penggunanya. Kaidah-kaidah ini lahir karena adanya kesalahan-
kesalahan dalam penggunaan bahasa. oleh sebab itu tarakib dipelajari agar pemakai bahasa
mampu menyampaikan ungkapan bahasa dan mampu memahaminya dengan benar, baik
dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk ucapan. Jadi dalam pembelajarannya, siswa
tidak cukup dengan menghafal kaidah-kaidah nahwu saja, melainkan setelah menghafal
siswa harus menerapkan kaidah itu dalam latihan membaca dan menulis teks berbahasa arab.
Dengan demikian penguasaan qawaid adalah sebagai sarana berbahasa, bukan tujuan akhir
dari pembelajaran bahasa.
Ilm al-qawaid secara garis besar terdiri atas dua bagian, yaitu nahwu dan sharaf.
Tanpa kemampuan qawaid yang baik, seseorang akan banyak mengalami kesulitan dan
mungkin juga akan mengalami kesalahan dalam menggunakan bahasa arab baik pasif
maupun aktif. Maka dengan adanya asumsi tersebut bahasa tarakib dalam buku ini perlu
rasanya untuk dideskripsikan dan dikaji guna menjawab permasalahan diatas.

B. Definisi dan Konsep Tarakib


Qawaid al-nahwi sebagai ilmu akan berkembang tergantung pada perspekltif dan
metode penelitian yang digunakan. Model kajian nahwu-sharaf dalam bahasa arab yang
lebih realistis, rasional, dan pragmatis sesuai pendekatan yang digunakan oleh penggunanya
sendiri. Qawaid al-nahwi pertama kali diperkenalkan oleh Abu al-aswad ad-duali yang
hidup pada masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dizaman Bani Mu’awiyah. Ilm al-nahwi
membicarakan hukum-hukum huruf, kata, kalimat, dan bagaimana bunyi akhir dari sebuah
kata. Adapun sharaf membicarakan perubahan bentuk suatu kata kerja dari bentuk masa lalu
(past), masa sekarang dan yang akan datang (present), bentuk perintah, perubahan bentuk
kata kerja ke kata benda turunan, dan juga perubahan tersebut. Sementara itu, ilm al-
balaghah membicarakan tentang keindahan suatu bahasa atau lebih memperhatikan aspek
sastra dari bahasa itu sendiri.
Dikatakan bahwa al-Qur’an mengandung makna-makna agung yang misterius
pennuh multi-ta’wil dan multi tafsir yang berada dibalik struktur gramatika beserta kaidah-
kaidahnya. Al-Qur’an mengandung segenap pegetahuan ihwal masa lampau, masa sekarang,
dan masa akan datang. Al-Qur’an menjelaskan antara yang khusus,umum, internal, eksternal,
sisi lahir batin, jauh dekat, yang didalamnya ada makna literal yang harus dibedakan antara
wajib dan haram (aspek larangan) ada pula aspek negasi, susunan balik (taqdim-takhir) dan
huruf-huruf yang dibuang atau elliptic (al-hadzf).
Pengkajian terhadap al-Qur’an sampai kapan pun tidak pernah lepas dari aspek-aspek
gramatikanya. Cara pandang gramatika berarti pergulatan dengan al-Qur’an merupakan
upaya-upaya untuk memahami dengan baik micro-struktur maupun semantiknya. Artinya,
mekanisme pelahiran makna tafsir tergantung dari bagaimana aspek-aspek tersebut dipahami
dan dipakai untuk membedah makna al-Qur’an dari relasi-relasi strukturalnya baik dalam
kata maupun kalimat jika mengabaikan ilmu gramatika yang ada.
Definisi tata bahasa adalah sarana untuk dapat menggunakan bahasa dengan ben ar
dalam berkomunikasi, sesuai susunan gramatika bahasa itu sendiri. Sedangkan definisi
tarakib adalah aturan-aturan yang mengatur penggunaan bahasa arab yang digunakan
sebagai media untuk memahami kalimat.
Dalam ilmu linguistik dijelaskan tentang tata bahasa sebagai sub-sistem bahasa dan
sintaksis sebagai sub-sistem bahasa, penjelasannya sebagai berikut :
1. Tata bahasa sebagai sub-sistem bahasa
Bahasa, sebagai system mempunyai tiga sub-sistem, yaitu sub-sistem bunyi, sub-
sisitem tata bahasa dan sub-sisitem leksikal. Sub-sistem bahasa terdiri dari ub-sistem
morfologim, yatitu ilmu yang mempelajari susunan bagian-bagian kata atas unsur-
unsurnya sebagai satuan yang bermakna. Dan sub-sistem sintaksis, yaitu bagian dari tata
bahasa yang membicarakan kaidah kombinasi kata menjadi satuan gramatik yang lebih
besar, yang berupa frase, klausa,kaimat, dan kelas kata serta penempatan-penempatan
morfem-morfem supra segmental (intonasi) pada pegukuran rangakaian kata itu (satuan
gramatika) sesuai dengan struktur semantic yang diinginkan oleh pembicara sebagai
dasarnya.
2. Sintaksis sebagai sub-sistem bahasa
Tata bahasa adalah kumpulan patokan-patokan umum tentang bahasa berdasarkan
strukturnya. Yang dimaksud disini ialah cara saling berhubungan yang relatif tetap antara
bagian-bagian atau unsure-unsur yang membentuk sesuatu. Struktur suatu bahasa hanya
berlaku khusus untuk bahasa tertentu tedi. Jadi, tidak mungkin ditetapkan begitu saja tata
bahasa ke dalam bahasa-bahasa lain.
Seperti telah disbutkan bahwa tata bahasa mempunyai sub-sistem, yaitu sub-
sistem morfologi dan sub-sistem sintaksis. Sub-sistem sintaksis mencakup kelas kata dan
satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa, kalimat dan hubugan-hubungan diantara
satuan-satuan sintaksis tersebut. Frase diartikan sebagai satuan gramatikal yang terdiri
atas dua kata atau melebihi batas fungsi. Klausa diartikan sebagai bentik linguistic yang
terdiri atas subjek dan predikat. Kalimat diartikan sebagai sataun gramatikal yang secara
relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final, baik secara aktual maupun secara
potensial terdiri atas klausa.
Satuan-satuan bahasa itu masing-masing merupakan urutan dalam hierarki
kebahasaan. Sistem hierarki tersebut merupakan hubungan diantara satuan-satuan
gramatikal secara normal.

C. Problem Pembelajaran Tarakib


Diantara problem-problem yang dihadapi saat berlangsungnya pembelajaran tarakib
adalah :
1. Guru menitikberatkan perhatian pada kaidah tarakib (kaidah nahw/sharaf)
untuk menghafal dan memahami isi bacan. Pengajaran gramatika bahasa
(tarakib) membutuhkan waktu yang sangat panjang dan sangat lama dalam
proses pembelajarannya sehingga mengabaikan pembelajaran lain yang tidak
kalah pentingnya.
2. Siswa sering dituntut hafalan syair-syair atau matan tentang ilmu -
nahwu/sharaf akan tetapi mereka tidak paham dari makna dan penjelasan
syair yang dihafalakan tersebut, sehingga tidak menutup kemungkinan
pembelajaran yang berlangsung hanya buang waktu saja. Oleh karena itu, jika
memang diajarkan dalam bentuk lagu dan menhafalkan syair denga tujuan
menarik minat siswa untuk mengingat dengan mudah, maka guru harus
menjelaskan secara detail makna dan isi dari syair yang dipelajari, agar siswa
paham dan mengerti makna yang terkandung didalamnya.
3. Pembelajaran tarakib diajarkan tidak utuh dan parsial, terkesan terpisah-pisah
serta mengalami penyempitan dan membatasi diri dalam wilayah garapannya,
sebatas menyajikan contoh-contoh tanpa dikaji secara kritis.
4. Pembelajaran tarakib lebih sering berorienbtasi untuk menjelaskan keadaan
yang tidak memasuki wilayah substantif, menjelaskan keadaan rafa’,nashab,
mubtada’,fail, maf’ul bih, naibul fa’il dengan mengabaikan implikasi makna
yang menyertainya. Juga tidak memperhatikan konsekuensi makna yang
mengikuti dan ada dalam masing-masing pola.
5. Pola hubungan guru dan murid dalam pembelajaran tarakib terkadang terlihat
kaku seperti hubungan tuan dan majikan, guru hanya menyajikan contoh
kemudian peserta didik dituntut dan diberi tugas membuat contoh serupa.
Guru jarang mengetahui kekuatan dan kelemahan siswa dalam pembelajaran-
nya, karena tidak pernah diukur, sedangkan ukurannya dalah dlam
mengadakan evaluasi secara stimulasi dan berkelanjutan.
6. Buku ajar tarakib yang di dapat kadang materinya tidak sesuai dengan
kemampuan siswa. Seperti materi yang terlalu panjang, monoton, dan jauh
dari nilai-nilai humanis, sehingga menjadi beban bagi siswa.
7. Pembelajaran tarakib tidak disandingkan lagi dengan disiplin ilmu lain,
seperti ilmu al-Qur’an, atau ilmu bahasa (semantic, semiotika), psikologi, dan
humaniora. Dalam pengambilan contoh guru sering menggunakan kata-kata
yang tidak humanis dan cenderung profokatif, misalnya kata

Zaid memukul ‫ضرب زيد‬


Zaid memukul umar ‫ضرب زيد عمرا‬

D. Fungsi Pembelajaran Tarakib


Diantara fungsi pembelajaran tarakib adalah sebagai berikut :
1. Untuk memperbaiki uslub-uslub dari kesalahan-kesalahan secara nahwiyah
2. Untuk membantu siswa dalam mencetuskan apa yang diinginkan oleh uslub-uslub
yang mempunyai perbedaan yang tipis.
3. Pengembangan materi kebahasaan agar mudah dipahami.
4. Membangun bi’ah lughawiyah yang benar.
5. Menjaga hubungan antara struktur kalimat dengan keindahan makna.
6. Meminimalisir keambiguan dan kelemahan makna dalam memahami sebuah
‘ibarat arabiyah.
7. Membekali siswa dengan kemampuan kebahasaan khususnya kemampuan
tarakib untuk mengetahui kesalahan struktur kalimat.
8. Untuk penyusunan kalimat yang tepat dalam pembuatan kalimat sempurna.

E. Model Pembelajaran Tarakib


Ada dua model pembelajaran tarakib, model ini dikenal dengan metode qiyasy
(deduktif), dan metode istiqriy (induktif), namun menurut Hasan Syahatah ada tiga model
pembelajaran tarakib , denan adanya tambahan model al-mu’dilah (an-nash al-araby).
Adapun penjelasannya masing-masing adalah sebagai berikut :
1. Metode Qiyasy (Deduktif)
Thariqah qiyasy adalah thariqah yang diadopsi dari thariqah yang terdahulu yang
meliputi tiga langkah pengaplikasiannya yaitu guru mempermudah pembelajaran qawaid
dengan menyebutkan qa’idah-qaidah atau ta’rif dari unsure yang umum lalu ke yang
khusus dengan mendatangkan sebagian contoh-contoh yang kemudian dengan contoh itu
siswa disuruh berlatih, untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap apa
yang sudah dijelaskan mengenai qawaid tersebut. Namun stressing dari metode ini
adalah mendatangkan hal-hal (qaidah) yang umum lalau kemudian dibawa ke hal-hal
yang sifatnmya juz’iah dengan member contoh langsung dari qawaid yang dimaksudkan.
Adapun langkah aplikatif bagi seorang guru jika ingin menerapkan metode qiyasy
adalah sebagai berikut :
a. Guru masuk kelas dan memulai pelajaran dengan menyampaikan tema
tertentu.
b. Guru melanjutkan dengan menjelaskan kaidah-kaidah nahwu.
c. Pelajaran dilanjutkan dengan siswa memahami serta menghafal tentang
kaidah-kaidah nahwu.
d. Kemudian guru memberikan contoh-contoh atau teks yang berkaitan dengan
kaidah.
e. Guru memberikan kesimpulan pelajaran.
f. Setelah dianggap cukup, siswa diminta mengerjakan soal-soal latihan.
Contoh metode qiyasy :
‫ االشجار فى البستان‬contoh ini adalah contih susunan mubtada’-khabar, guru menjelaskan
contoh tersebut dan menyuruh siswa untuk memperhatikan isim yang ada diawal kalimat
yang bergaris bawah tersebut, dan guru menjelaskan bahwa kalimat yang ada diawal kalimat
tersebut adalah mubtada’, sedangkan kalmat yang setelahnya adalah khabar.
Perlu diingat bahwa qawaid termasuk didalamnya tarakib bukan merupakan tujuan
utama dalam proses pembelajarannya, melainkansebagai sarana untuk mencapai tujuan ”Al-
qawaid laisat ghayah wa innama hiya wasila li al-wushul ila al-ghayah”. Karena itu ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam pemgajaran struktur diajarkan implicit
karena tujuannya adalah untuk mendukung kemahiran berbahasa. Maka yang perlu dipahami
adalah misalnya struktur jumlah ismiyah itu dimulai dari mana, dan hingga batas mana
kemampuan yang ingin dicapainya.
Memang secara teori, struktur dapat diajarkan melalui pendekatan deduktif yaitu
mulai dari kaidah baru kemudian member contoh-contoh. Tapi contoh-contoh inilah yang
nantinya dilatihkan. Karena itu conoth yang ditampilkan harus menggunakan bahasa yang
komunikastif bukan bahasa provoktif. Pendekatan yang lain adalah pendekatan induktif yang
dimulai dengan contoh-contoh baru, kemudian siswa diminta untuk member kesimpulan
kaidahnya.
Adapun pembelajaran dengan model struktur implicit untuk mencapai kemahiran
berbahasa ini dapat menggunakan beberapa media antara lain:
1) Qawalib yakni dengan cara mengganti satu kata, tetapi strukturnya masih sama,
misalnya :
)‫(بنت‬ ‫هذا ولد ذكي هذه‬
)‫(تلميذ‬ ‫هذا‬
2) Tahwil yakni mengubah bentuk, mislanya dari jumlah ismiyah menjadi jumlah
fi’liyah atau sebaliknya, dari mubtada’ muqaddam menjadi khabar mu’akhar dan
seterusnya, misalnya :
‫(جملة فعلية) يذهب أحمد الى المدرسة‬
‫(جملة أسمية ) أحمد يذهب ألى المدرسة‬
‫(منفى) اليذهب المدرس الى المدرسة‬

Setiap metode pasti ada kelebihan dan kelemahan masing-masing, untuk metode
qiyasy ini kelebihannya adalah sebagai berikut :
a. Tujuannya lebih spesifik
b. Aplikasinya mudah dan cepat
c. Memudahkan siswa dalam pemahaman dengan cepat
d. Menjaga lisan dari kesalahan dengan contoh-contoh yang pernah diajarkan
e. Tidak menekankan adanya hafalan
Adapun untuk kekurangan atau kelemahan dari metode qiyasy ini adalah sebagai
berikut :
a. Pemahaman siswa cepat luntur karena tidak dihafalkan
b. Adanya ketergantungankepada orang lain
c. Lemahnya dari sisi keaktifan befikir dan mengemukakan pendapat
d. Kesulitan dalam qawaid yang bersifat juz’iah.

2. Model Istiqraiy
Metode istiqraiy ini kebalikan dari metode qiyasy. Metode ini mengajarkan dari
hal-hal yang berbentuk juz’iyah ke bentuk yang lebih umum, maksudnya adalah
pembelajaran tarakib mendatangkan contoh-contohnya terlebih dahulu kemudian diikuti
dengan qawaid pada umumnya seperti yang ada dalam kitab al-nahwu al-wadlifi, karena
menurut metode ini pembejaran qawaid kurang mendapatkan hasil yang maksimal
kecuali dengan banyak memberikan latihan kepada siswa dari bab yang telah diberikan
oleh guru.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
a. Guru memulai pelajaran dengan menentukan tema pelajarannya.
b. Guru memberikan contoh-contoh kalimat atau teks yang berhubungan
dengan tema
c. Siswa secara bergantian diminta untuk membaca contoh-contoh atau teks
yang diberikan oleh guru.
d. Setelah dianggap cukup, guru mulai menjelaskan kaidah-kaidah nahwu yang
terdapat dalam contoh atau teks yang berkaitan dengan tema.
e. Dari contoh-contoh atau teks,guru bersama-sama dengan siswa membuat
kesimpulan atau rangkuman tentang kaidah-kaidah nahwu.
f. Siswa diminta untuk mengerjakan latihan-latihan.
Adapun metode istiqraiy mempunyai kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari
metode istiqraiy adalah sebagai berikut :
a. Metode ini merupakan metode yang baik untuk menemukan tujuan dari
qawaid nahwu.
b. Metode ini mampu menyimpulkan kaidah yang umum dengan cepat.
c. Memberikan makna jelas dan mudah prakteknya.
d. Pemberian contoh dengan uslub-uslub yang mudah dipahami.
e. Bisa meningkatkan motivasi tersendiri bagi guru.
Sedangkan kekurangan atau kelemahan dari metode istiqraiy ini adalah sebagai
berikut :
a. Lambat karena memperoleh informasi karakteristik siswa.
b. Tidak efisien karena kebanyakan contoh-contoh yang diberikan oleh guru.
c. Contoh yang diberikan biasanya parsial,sering terpisah tidak sesuai dengan
tingkatan siswa.

3. Model al’mu’dilah (an-Nash Al-Araby)


Ini merupakan metode yang baru yang merupakan pengembanagan dari dua
metode sebelumnya, oleh sebab itu disebut al-mu’dilah karena metode pembelajaran
nahwu dengan menggunakan metode yang bersambung tidak terpisah. Yang dimaksud
dengan model bersambung disini adalah potongan dari satu topic teks bacaan yang
dibaca siswa, kemudian ditunjukkan beberapa jumlah dan beberapa hal yang dianggap
spesifik kemudian setelah itu mengambil kesimpulan tentang kaidahnya dan yang
terakhir ditambah dengan praktik yang berupa latihan.

F. Strategi Pembelajaran Tarakib


Strategi pembelajaran tarakib dalam beberapa lembaga pendidikan sering kali
dipisahkan menjadi dua, yaitu pembelajarann nahwu dan sharaf. Keduanya memiliki
karakteristik materi yang berbeda. Dengan demikian, jika keduanya berdiri sendiri,
maka strategi pembelajaran tentu akan berbeda.
Kemudian arti tingkatan mubtadi’, mutawasith dan mutaqaddim dalam meteri
pembahasan ini memiliki beberapa pengertian, sesuai dengan konteks yang dimaksud
pada tingkatannya, karena pada tiap-tiap tingkatan seperti pada madrasah ibtida’iyah,
madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah dan marhala jami’ah itu memiliki pembagian
dalam tingkatan mubtadi, mutawasith dan muraqaddimin. Namun di sini lebih
mengkhususkan tingkat mubtadi’ setara dengan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtida’iyah,
tingkat mutawasith setara dengan SMP/Madrasah Tsanawiyah, begitu pun dengan
tingkat mutaqaddimin yakni setara dengan SMA/Madrasah Aliyah.
Dari beberapa difinisi di atas, telah kita ketahui makna strategi pembelajaran
secara umum dan khusu, sehingga para pakar bahasa mengatakan bahwa mempelajari
gramatika merupakan media untuk mengevaluasi kemampuan berbicara dan
kemampuan menulis seseorang. Peserta didik sering kali dituntut untuk menghafal
kaidah-kaidah dengan urutannya secara tradisional yang terdapat dalam keseluruhan
kitab nahwu dan sharaf tanpa melihat kebutuhan peserta didik, sehingga hasilnya
peserta didik hanya menguasai stuktur dan tata bahasa Arab tanpa mengetahui cara
mengimplementasikannya secara praktis.
Jenjang pengajaran qawaid dalam pembelajaran bahasa, baik qawaid al-
nahwi maupun qawaid al-sharfi juga harus mempertimbangkan kegunaannya dalam
percakapan keseharian. Dalam pengajaran qawaid al-nahwi misalnya, harus diawali
dengan materi tentang kalimat sempurna (jumlah mufidah), namun rincian materi
penyajian harus dengan cara mengajarkan tentang isim, fi’il dan huruf.
Pada perkembangan pembelajaran sekarang, pengejaran gramatika mulai
merubah pola ajar dengan mengaitkannya dengan kebutuhan nyata bahasa keseharian
peserta didik yaitu berkisar pada pola-pola bahasa (uslub) yang digunakan dalam teks
wacana, teks istima’ atau membahas kesalahan-kesalahan yang ada pada hasil
karangan peserta didik. Pengajaran gramatika yang berdasarkan kebutuhan ini dapat
dirasakan langsung manfaatnya oleh peserta didik. Pola terakhir ini mendorong
peserta didik untuk belajar qawaid secara sungguh-sungguh dan memiliki akses
langsung bagi peserta didik dalam menentukan kata dan menyusun kalimat.
Pada dasarnya kegiatan pengajaran tata bahasa Arab terdiri dari dua bagian,
(a) pengenalan kaidah-kaidah bahasa (al-nahwu dan al-sharaf), dan (b) pemberian
latihan atau drill. Kedua kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dengan cara deduktif
atau induktif.

a. Pengenalan Kaidah Bahasa Arab


Pengenalan kaidah bahasa dapat dilakukan dengan cara deduktif atau induktif,
yaitu:
1. Cara Deduktif
Dimulai dengan memberikan kaidah-kaidah bahasa yang haruf difahami dan
dihafalkan, kemudian diberikan contoh-contoh. Setelah itu siswa diberikan
kesempatan untuk melakukan latihan-latihan untuk menerapkan kaidah atau rumus
yang telah diberikan tadi.
Cara ini mungkin lebih disenangi oleh sebagian pembelajar bahasa yang telah
dewasa, karena dalam waktu singkat mereka telah dapat mengetahui kaidah-kaidah
bahasa, dan dengan daya nalarnya mereka dapat mengaplikasikan kaidah-kaidah itu
dalam susunan kalimat sempurna setiap kali diperlukan.
Kelemahannya, pembelajar cenderung hanya menghafalkan kaidah yang ada
dan kurang terlibat secara serius dalam proses pemahamannya. Akibatnya pembelajar
sering mengalami kesulitan ketika menerapkan kaidah-kaidah tersebut dalam praktik
berbahasa yang sesungguhnya.
2. Cara Induktif
Dilaksanakan dengan cara, guru pertama-tama menyajikan contoh-contoh (al-
amtsilah). Setelah mempelajari contoh-contoh yang diberikan, siswa dengan
bimbingan guru menarik kesimpulan sendiri kaidah-kaidah bahasa berdasarkan
contoh-contoh tersebut.
Dengan cara ini, secara aktif siswa berpartisifasi dalam kegiatan
pembelajaran, yakni dalam menyimpulkan kaidah-kaidah tersebut. Karna
penyimpulan ini dilakukan setelah siswa mendapat latihan yang cukup, maka
pengetahuan tantang kaidah itu benar-benar berfungsi sebagai penunjang
keterampilan bahasa. Hal-hal yang dianggap sebagai kelemahan dengan cara ini
adalah banyaknya kaidah-kaidah baru, sehingga pembelajaran bahasa yang telah
dewasa biasanya kurang sabar.
Ada dua hal yang perlu dicatat dalam pengenalan kaidah ini, pertama bahwa
siswa tidaklah dituntut harus menghafalkan kaidah di luar kepala, melainkan
kemampuan memahami dan memfungsikannya kaidah tersebut ke dala praktik
bebahasa sehari-hari. Kedua, tidak semua topik dalam nahwu harus diajarkan. Topik-
topik bahasa (al-nahwu) perlu dipilih berdasarkan kebutuhan pemakainya dan
disesuaikan dengan tingkat atau level para pembelajar.
Suatu hal yang harus dihindari dalam pengenalan kaidah adalah
kecenderungan berlama-lama dalam membahas kaidah-kaidah tersebut tanpa sempat
melakukan latihan berbahasa itu sendiri sehingga kegiatan di dalam kelas lebih
menyerupai kegiatan analisis bahasa daripada kigiatan berbahasa. Akibatnya
pengetahuan tentang kaidah-kaidah itu pada akhirnya hanya tinggal sebagai
pengetahuan.

b. Latihan (Drill)
Beberapa pendekatan dan metode mutakhir menekankan perlunya penyajian gramati-
ka fungsional (al-nahwu al-wadlifi), baik dari segi pilihan maupun dari segi pemyajiannya.
Yang ditekankan bukanlah penguasaan kaidah, apalagi sekedar menghafalkan
definisinya,melainkan kemampuan membuat kalimat-kalimat gramatikalnya. Oleh karena itu
yang diberikan berbentuk pola kalimat.
Ada tiga jenis latihan yangmasing-masing bisa berdiri sendiri atau bisa merupakan
satu kesatuan, yakni :
a. Latihan mekanis
b. Latihan bermakna
c. Latihan komunikatif
Dengan urutan ini dapat dijelaskkan bahwa jenis latihan pertama harus diberikan
dalam kurun waktu tertentu, baru kemudian boleh dilanjutkan dengan jeniss latihan kedua
dan selanjutnya. Ketiga jenis latihan itu, bisa saja diberikan secara berurutan dalam satu jam
pelajaran.
Ketiga jenis latihan ini adalah merupakan implementasi dari metode elektik, yaitu
gabunagn antara metode metode audio lingual dan metode komunikaatif. Seperti diketahui,
audio lingual menekankan pada latihan mekanis, sedangkan metode komunikatif menekan-
kan pada latihan secara komunikatif.

1) Latihan Mekanis
Pada adasarnya latihan ini bertujuan menanamkan kebiasaan dengan memberikan
stimulus untuk mendapatkan respon yang benar. Latihan ini diberikan secara lisan atau tertu-
lis dan diintegrasikan dengan latihan keterampilan berbicara dan menulis.

2) Latihan Bermakna
Kalau latihan-latihan mekanis semuanya bersifat manipulative, karena kalimat-
kalimat yang diucapkan oleh siswa sama sekali tidak dihubungakan dengan konteks atau
situasi, maka latihan-latihan bermakna ini walaupun belum sepenuhnya bersifat komunikatif,
tapi sudah dihubungkan dengan konteks atau situasi yang sebenarnya. oleh karena itu dapat
dikatakan sebagai latihan semi-komunikatif.

3) Latihan Komunikatif
Latihan ini menumbuhkan daya kreasi siswa dan merupakan latihan berbahasa yang
sebenarnya. Oleh karena itu, latihan ini sebaiknya diberikan apabila guru merasa bahwa
siswa telah mendapatkan bahan yang cukup (berupa kosakata, struktur, dan ungkapan
komunikatif) yang sesuai dengan situasi dan konteks yang ditentukan.
Terdapat dua model pembelajaran nahwu yang dikenal denganmetode qiyasy
(deduktif) dan Istiqra’I (induktif). Metode qiyasy ini diawali dengan menyajikan kaidah-
kaidah dulu kemudian menyebutkan contoh-contoh, sedangkan metode istiqra’I merupakan
kebalikan dari metode qiyasy, yakni pengajaran dimuali dengan menampilkan contoh-contoh
kemudian disimpulkan menjadi kaidah-kaidah nahwu.
Dalam penggunaan strategi pembelajaran ini seorang guru harus memperhatikan
beberapa hal yang menjadi pertimbangan, diantaranya adalah materi yang akan disampaikan,
karakteristik siswa dan lainnya.
Strategi pembelajaran tarakib pada masing-masing tingkatan adalah sebagai berikut :
1. Strategi pembelajaran Tarakib pada Tingkat Dasar (Mubtadi’)
Menggunakan pendekatan kerjasama antara dua orang yang biasa disebut dengan the
power of two. Tujuan yanhg ingin dicapai adalah agar siswa mampu membedakan antara
isim dengan fi’il dan huruf.
Langkah-langkahnya adalah :
a. Saipkan kertas latihan, model yang digunakan dapat berupa bacaan yang didalamnya
terdapat kata-kata yang ingin dipelajari.
b. Mintalah masing-masing siswa untuk mengerjakan latihan tesebut.
c. Mintalah siswa untuk berkelompok dua-dua dan mendiskusikan hasik kerja masing-
masing.
d. Mntalah pada masing-masing kelompok untuk menyampaikan (presentasi) hasil kerja
mereka.
e. Berikan kesempatan kepada kelompok lain untuk memberikan komentar atau
pertanyaan.
f. Berikan klarifikasi terhadap hasil kerja kelompok tesebut agar tidak terjadi kesalahan.

2. Strategi Pembelajaran Tarakib pada Tingkat Menengah (Mutawassit)


Strategi pembelajaran pada tingkat menengah ini bisa menggunakan small group
presentation, strategi ini dapat digunakan untuk mengajarkan qawaid, misalnya untuk latihan
menyusun kalimat dengan bentuk yang sudah ditentukan, seperti membuat jumlah ismiyah
atau jumlah fi’liyah .
Langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut:
a. Siapkan kertas yang berisi potongan-potongan kata.
b. Bagilah siswa dalam kelompok-kelompok kecil (3-5 orang).
c. Mintalah masing-masing kelompok menuliskan kalimat yang disusun dari kata-kata
tersebut.
d. Mintalah masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasinlnya didepan kelas
e. Berikan kesempatan pada kelompok lain untuk memberikan komentar atau
pertanyaan.
f. Berikan klarifikasi terhadap kerja kelompok tersebut dengan memberikan tambahan
penjelasan tentang struktur kalimat yang telah mereka pelajari.
Disamping itu, ada juga beberapa permainan yang dapat dilakukan dalam pembelajaran
tarakib yang dapat membantu merealisasikan tujuan-tujuan yang telah direnacanakan
sebelum proses belajar mengajar, diantaranya adalah:
1. Permainan At-Taghmiyah (pingsan), tujuannya adalah melatih siswa untuk
menggunakan istifham, jawabannya dari siswa yang ditanya, dengan menggunakan
beberapa fi’il, fa’il, dan maf’ul bih, adapun caranya adalah sebagai berikut :
Salah satu siswa pura-pura pingsan, sedangkan teman-teman yang lainnya berdiri
disampingnya, kemmudian guru menyuruh salah satu siswa memgang telinga atau
hidung atau tangan siswa yang pingsan, kemudian para siswa lain bertanya pada anak
yang pingsan sebagai berikut :
‫ من لمس يدك‬atau ‫ من لمس أنفك‬atau ‫ من لمس أذنك‬. Kemudian siswa yang pingsan
menjawab pertanyaannya, misalnya ‫ لمس اذني أحمد‬, jika jawabannya benar maka posisi
yang menjadi pingsan beralih pada siswa yang bertanya (dalam hal ini ahmad), dan
jika jawabannya salah maka yang berperan menjadi pingsan masmih tetap.
Permainan ini dapat dilanjutkan sampai selesai secara bergiliran.

2. Permainan ‫ انا و أنت‬, permainan ini bertujuan untuk melatih siswa dalam mengguna-
kan kata tanya (‫ )ماذا‬, jawabannya dengan menggunakan beberapa fi’il, sebagian
dhamir (kata ganti), dan maf’ul pada beberapa jumlah yang ringkas.
Adapun cararnya sebagai berikut :
Para siswa membentuk dua barisan yang saling berhadapan, permainan ini dimulai
oleh siswa pertama. Dari barisan pertama siswa bertanya pada siswa yang berada
didepannya dari barisan kedua, dengan petanyaan seperti : ‫انا أشريت قلما‬
,.‫ وأنت ماذا أشتريت‬, kemudian siswa yang ditanya menjawab: ‫ انا أشتريت كراسة‬, kemudian
siswa lainnya bertanya dan menjawab seperti diatas. Untuk siswa yang salah satu
lambat menjawab diperkenankan untuk keluar dari barisan. Kemudian permainan
berlanjut sampai selesai.
Masih ada beberapa permainan yang bisa dipraktikan dalam pembelajaran tarakib,
bagi guru hendaknya dapat mengembangkan permainan-permainan tersebut. Sebelum
permainan berlangsung hendaknya guru menjelaskan tata cara permainan agar
permainan dapat berjalan dengan lancar dan siswa tidak merasa bingung.

3. Strategi Pembelajaran Tarakib pada Tingkat Lanjut (Mutaqaddim)


Strategi pembelajaran tarakib pada tingkat lanjut ini dapat menggunakan strategi
yang disebut dengan chart short. Strategi ini menggunakan media kartu (kertas yang
dipotong-potong). Berikut ini adalah contoh menganalaisis kalimat.
Langkah-langhkahnya:
a. Siapkan kertas yang telah dengan kalimat dengan struktur yang berbeda-beda.
b. Bagikan kartu tersebut kepada para siswa secara acak.
c. Mintalah masing-masing siswa berkelompo sesuai dengan kategori kalimat yang
ada dalam kartu masing-masing.
d. Mintalah pada masing-masing siswa kelompok menuliskan kalimat-kalimat yang
serupa tersebut dalam kertas maupun dalam bentuk file.
e. Mintalah masing-masing kelompok menyampaikan hasilnya (mempresentasikan)
didepan kelas.
f. Berikan kesempatan kelompok lain untuk memberikan komentar atau pertanyaan.
g. Berikan klarifikasi secara menyuluruh dari hasil kerja kelompok tersebut.

G. Langkah-langkah Pembelajaran Tarakib


Adapun langkah-lanhkah pembelajaran tarakib secara umum adalah sebagai berikut:
1. Dimulai dengan identifikasi problem yang ada, kemudian mengadakan pretest lebih
dahulu, hal ini sangat baik untuk mengetahui kemampuan membaca atau kemampu-
an menulis, mengukur sejauh mana kemampuan siswa.
2. Membantu siswa untuk memcahkan masalah. Dalam hal ini sebaiknya guru
memperhatikan sisi ungkapannya yakni hubungan antara makna dan uslubnya,
kemudian setekah diberikan pemahaman dan istilahnya baik dengan cara analisis atau
menyebutkan kaidahnya.
3. Memperbanyak latihan, pada langkah ini seorang guru harus memperhatikan latihan-
latihan pekerjaan yang dikerjakan siswa.
4. Solusi individual, dalam hal ini mencakup problem-problem individu siswa, guru
dapat memberikan tugas tarakb yang bervariasi kepada siswa, maka dari sini dapat
diketahui mana kesalahn yang lebih dominan pada siswa. Dari sini pula dapat dibuat
bahan rujukan untuk memperbaikinya.
5. Demonstrasi, kegiatan demonstrasi ini dapat dilaksanakan setelah siswa mampu me-
mahami tarakib dengan baik. Demontrasi dapat dilaksanakan dengan permainan
ataupun latihan-latihan yang mendalam.

Anda mungkin juga menyukai