BSA VI-C
A. Pendahuluan
1
sejarahnya, dimana ada beberapa pendapat
yang berbeda terkait eksistensi I’rob. Tidak
hanya pada sejarahnya, keunikannya pun
juga ditemukan pada definisinya. Dimana
para ahli Bahasa Arab berbeda pendapat
dalam mendefinisikannya. Oleh sebab itu,
pembahasan definisi I’rob beserta
sejarahnya akan dibahas pada tulisan ini.
B. Metode Penelitian
2
in-depth analysis ), yaitu mengkaji masalah
secara kasus perkasus karena metodologi
kualitatif yakin bahwa sifat suatu masalah
satu akan berbeda dengan sifat dari masalah
lainnya1.
C. Pembahasan
Sebagaimana yang telah disinggung di
atas, maka pada tulisan ini akan
dibahas 2 sub pembahasan, yakni;
definisi i’rob dan Sejarahnya.
1. Pengertian I’rob
3
Sedangkan menurut Ibnu Faris, I’rob berasal
dari akar kata رب99 عyang berarti “ة99اإلناب
اح999 ” واإلفصyakni ; tampak, jelas, fasih2.
Secara terminologi, dalam dunia
grammatikal Arab khususnya sintaksis ( An-
Nahwu) sebagai judul besar dari
pembahasan ini , I’rob didefinisikan menjadi
beberapa definisi yang diberikan oleh Para
Linguis Arab, sebagaimana berikut :
2
Qur, M. A.-. (2019). Linguistik dengan I ’ rab Al- Qur
’ an dan Posisi Bahasa Arab dalam dalam Memahami Al-
Qur’an.
4
(I’rob adalah perubahan akhir kata karena
perbedaan amil yang memasukinya, baik
secara lafazh ataupun secara diperkirakan
keberadaannya3)
3
Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu Terjemahan
Mutammimah Ajurumiyyah, Terj. Moch Anwar, ( Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2019), hlm 11.
5
Sedangkan menurut Mahdi Al-Mahzumi,
I’rob yakni :
6
bahwa I’rob adalah pengubahan atau
perubahan akhir masing-masing kata karena
perbedaan faktor yang memasukinya,
menganggap bahwa I’rob itu adalah suatu
proses perubahan yang terjadi akibat adanya
faktor/’amil yang menyertainya, sehingga
terjadilah perubahan.
7
sebagainya4. Dengan demikian, menyebut
I’rob rafa’ untuk kata tersebut tidak lain
adalah untuk menentukan fungsi atau
kedudukan kata itu dalam kalimat atau di
dalam lingustik umum dikenal dengan
istilah kategori kasus Nominatif, Akusatif
dan Genetif5.
4
Tony Fransisca, “ Konsep I’rob dalam Ilmu Nahwu”. Al
Mahāra Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, Vol.1 No.1, 2015,
hlm 77.
5
Moch. Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab,
( Jakarta: PT. Grasindo, 2017 ) hlm. 100.
8
2. Sejarah I’rob
9
Suatu hari ketika putrinya melihat bintang-
bintang yang ada di langit, ia sangat kagum
dengan keindahannya. Kemudian, ia
mengungkapkan rasa kagumnya tadi kepada
َّ ال
ayahnya sambil berkata “س َما ِء َما أَحْ َس ُن ”
, seketika mendengar itu, Abu Aswad pun
َ ُّالتَّ َعج
berkata, “ب ُ إِنَّ َما أَ َر ْد
ت ”. Mendengar
َّ ال
Ungkapan yang pertama “س َما ِء َما أَحْ َس ُن
” adalah bentuk kalimat introgatif yang
berarti “ Apa yang indah di langit ? ”,
sedangkan maksud putrinya adalah ingin
mengungkapkan kalimat ta’ajjub , yakni “!
6
Fauzul Fil Amri, Durrah Al-Nahwi Li Raghib Al-‘ilmi ( Padang:
CV. Jasa Surya, 2018), hlm. 2-3.
10
Juga diketahui, bahwa Abu Al-Aswad Ad-
Duali adalah orang pertama yang
meletakkan dasar-dasar ilmu Nahwu
menurut kebanyakan pendapat. Namun tidak
semua pendapat menyatakan hal itu, dimana
ada pula pendapat yang menyatakan yang
meletakkan dasar ilmu Nahwu adalah Nashr
bin ‘Ashim, ada juga yang mengatakan ‘Abd
Ar-Rahman bin Hurmuz. Namun
kebanyakan ahli mengatakan bahwa peletak
dasar ilmu Nahwu adalah Abu Al-Aswad
Ad-Duali. Kesimpulan itu diambil dari
banyaknya riwayat-riwayat yang
mengisahkan banyaknya terjadi lahn
khususnya dalam membaca Al-Qur’an kala
itu, kemudian Abu Al-Aswad lah yang
langsung menanggapi masalah itu7.
7
Hazuar, “Konsep I’rob dalam Pandangan Ibrahim
Musthafa dan Ibrahim Anis“. Jurnal Bahasa Arab, Vol.3 No.1,
2019, hlm. 166.
11
Seperti kisahnya dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa suatu ketika, Abu Aswad
melihat Ali sedang termenung memikirkan
sesuatu, maka ia mendekatinya dan
bertanya: "Wahai Amirul Mu'minin! Apa
yang sedang engkau pikirkan?" Ali
menjawab: "Saya dengar di negeri ini
banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis
sebuah buku tentang dasar-dasar bahasa
Arab". Setelah beberapa hari, Abul Aswad
mendatangi Ali dengan membawa lembaran
yang bertuliskan antara lain:
12
( Dengan nama Allah yang maha pengasih
dan penyayang. Ujaran itu terdiri dari isim,
fi'il dan harf. Isim adalah kata yang
mengacu pada sesuatu (nomina), fi'il adalah
kata yang menunjukkan aktifitas, dan harf
adalah kata yang menunjukkan makna yang
tidak termasuk kategori isim dan fi'il'. )
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu
ketika Abul Aswad mendengar seorang
membaca ayat Al-Qur'an:
"ُرسُولُه
َ َو َ"أَ َّن هّللا َ بَ ِري ٌء ِّمنَ ْال ُم ْش ِر ِكين
Dengan mengkasrahkan lam dari kata “
13
atas8. Ia yang pertama membuat kitab yang
memuat masalah masalah Grammatikal
bahasa Arab, dimana pada mulanya ia
membuat bab ta’ajjub , fa’il, maf’ul bih,
mudhof, huruf-huruf Nashab, rafa’, jar dan
jazm. Bukan hanya itu saja, Abu Aswad
dikenal sebagai tokoh pertama yang
meletakkan tanda baca dalam Bahasa Arab
khususnya dalam memberikan tanda baca
dalam Al-Qur’an, dimana tanda tanda
harakah/I’rob itu ditandai dengan titik di
atas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf
untuk kasrah, dan titik di sebelah kiri atas
untuk dlammah. Karena tanda baca itu
berupa titik-titik, maka dikenal dengan
sebutan naqthul i’rob (titik penanda i’rob).
Atas jasanya dalam memberi tanda baca
mushaf Al-Qur'an itu , Abu Aswad
kemudian dikenal sebagai peletak dasar ilmu
8
Kholisin, “ Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu ”, Bahasa Arab
dan Seni, No. 1, Februari 2003, hlm. 6
14
I’rob, dan setelah itu banyak orang yang
datang kepadanya untuk belajar ilmu qira'ah
dan dasar-dasar ilmu i’rob. Dia
melaksanakan pengajaran itu di masjid Jami'
Bashrah. Dari sinilah awal mula kota
Bashrah dikenal sebagai kota kelahiran Ilmu
Nahwu. Banyak murid yang berhasil dan
kemudian menjadi generasi penerus yang
mengembangkan gagasan-gagasan yang
telah dirintisnya, diantaranya adalah
Anbasah bin Ma'dan yang dikenal dengan
panggilan Anbasah Al-fil, Nashr bin 'Ashim
al-Laitsiy (wafat 89H), dan Yahya bin
Ya'mur Al-Adwaniy (wafat 129 H).
Anbasah kemudian mempunyai seorang
murid yang banyak berpengaruh dalam
pengembangan Ilmu Nahwu yaitu Maimun
Al-Aqran.
Sekalipun Abul Aswad Ad-Duwali berjasa
dalam memberi syakal Al-Qur’an, dia belum
dapat dikatakan sebagai tokoh sejati dalam
15
bidang Ilmu Nahwu, karena yang ia lakukan
itu semata-mata usaha pengalihan kode
bunyi acto yang sudah ada ke dalam bentuk
tulisan (berupa titik), dan belum sampai
pada pembentukan kaidah-kaidah Ilmu
Nahwu. Demikian juga, apa yang dilakukan
oleh Yahya bin Ya’mur dan Nashr bin
‘Ashim. Mereka masih membentuk
beberapa istilah dan belum sampai pada
generalisasi kaidah-kaidah. Tokoh nahwu
generasi pertama yang sejati menurut Dlaif
(1968:22-23) adalah Ibnu Abi Ishaq,
kemudian ketiga muridnya, Isa bin Umar,
Abu Amr bin Al-‘Ala’, dan Yunus bin
Hubaib9.
Hingga setelah munculnya gejala bahasa
tersebut ( I’rob) yang kemudian dipayungi
dalam sebuah ilmu yang bernama Nahwu,
maka muncul pula beberapa tanggapan atas
9
Wildan Nur Haifani dan Azizah Arum Muslihatin, Functional
Perspective in The Nahwu Learning. Retel Journal, Vol.6, No.1. hlm.
10.
16
kelahiran ilmu I’rob atau Nahwu tersebut di
kalangan ahli bahasa Arab kala itu. Dimana
ada yang sepakat dan setuju dengan adanya
I’rob, namun ada yang tidak sepakat.
Pendapat yang tidak sepakat akan
munculnya keilmuan Nahwu khususnya
pasal I’rob, maka mereka berdalih atas 3
hal, yakni :
1. Dialek-dialek Arab yang ada pada
waktu itu sunyi dari I’rob ( mematikan
setiap akhir bunyi kata ) kecuali dalam
karya sastra.
2. Ilmu I’rob harus diperhatikan secara
ekstra, sehingga akan menyulitkan.
Dimana hal itu tidak sesuai dengan
dialek sehari-hari yang lebih mencari
kemudahan
3. Juga actor atau aturan dalam I’rob
amatlah details, sehingga tidak sesuai
dengan keadaan Orang Arab jahiliyyah
( actor ic) ketika itu
17
Sedangkan, bagi yang mendukung akan
hadirnya I’rob dan keilmuan Nahwu
membantah alasan di atas dengan alasan
sebagai berikut :
1. Pada dasarnya beberapa dialek
Arab kala itu ada yang eksis menjaga
dan menggunakan I’rob dalam
bertutur terkhusus I’rob dalam
bentuk huruf .
2. Sebenarnya I’rob itu eksis sejak
dahulu kala, namun saja
perkembangan bahasa yang
menyebabkan penggunaan dialek
ber-i’rob termarginalkan. Jadi,
penggunaan dialek tanpa I’rob itulah
yang hadir dikemudian harinya
3. Pada dasarnya kemahiran dalam
menggunakan kaidah kaidah
actor ical dan cabangnya tidaklah
menuntut syarat dalam
18
penyusunannya ( merumuskannya),
apalagi menjadikannya sebagai
penemuan. Sebagaimana yang juga
terjadi pada Bahasa Yunani dan
Latin Kuno serta Bahasa Jerman
modern, pada bahasa-bahasa tersebut
juga terkandung aturan I’rob (kasus)
yang tidak kala akurat dengan
Bahasa Arab, namun mereka tidak
mempermasalahkannya atau
menjadikannya sebagai suatu hal
yang baru (penemuan)
4. Tidak ada satupun catatan/ riwayat
yang mengindikasikan bahwa para
Nahwiyyin berkolusi dalam
menetapkan aturan actor ical.
5. Pada hakikatnya, syi’ir arab sangat
bergantung dengan I’rob, tanpa
I’rob, maka hilanglah kesesuaian
( acto, bahr, rima, ritme) dan
keindahan bahasa syi’ir.
19
6. Al-qur’an dan juga Hadits-Hadits
Nabi Muhammad Saw juga tidak
sunyi dari penggunaan I’rob
7. Banyak catatan/riwayat yang
mengindikasikan akan banyaknya
orang Arab yang melakukan
kesalahan (lahn) dalam berbahahasa
terutama dalam memperhatikan
perubahan setiap akhir kata yang
berujung kepada perbedaan makna ,
maka tidaklah mungkin kaidah I’rob
itu hanyalah hasil rumusan dari para
ahli Bahasa Arab kala itu
8. Pada dasarnya, orang Arab tidak
akan memahami bahasanya secara
baik dan benar, kecuali ketika ia
telah memahami I’rob nya.
9. Lalu ada pula yang berpendapat
bahwa Al-Qur’an yang diturunkan
dalam lahjah orang Makkah
(Quraisy) sunyi dari I’rob. Namun
20
sungguh pendapat itu tidak bersandar
pada bukti-bukti apapun.
10. Bilamana Al-Qur’an diturunkan
tanpa I’rob, maka bagaimana
mungkin ia dapat menjadi tantangan
bagi Kaum Musyirikin ? karena dari
sanalah Al-Qur’an menunjukkan
kemukjizatannya. Maka,
sesungguhnya bahasa sehari-hari dan
juga bahasa Agama adalah sama-
sama tidak mensunyikan I’rob10.
D. Kesimpulan
10
Emil Badi Ya’cub, Fiqh Al-Lughah Al-Arabiyyah Wa
Khashaishuha, (Beirut: Darul Al-Tsaqafah Al-Islamiyyah, 1982)
hlm. 127-132
21
yang memasukinya, dimana perubahan itu
dapat menjadi petunjuk akan kedudukan
kata tersebut dalam jumlah. Jika dilihat dari
segi sejarah, maka pada dasarnya I’rob ada
dalam dialek –dialek Arab hanya saja
eksistensinya belumlah dirumuskan.
Walaupun tidak seluruh dialek dari setiap
suku Arab menggunakannya. Terbukti
dengan adanya perbedaan pendapat dari para
ahli Bahasa Arab kala itu dalam membahas
eksistensi I’rob. Namun yang menjadi
penyebab ilmu I’rob ini muncul menjadi
sebuah keilmuan (yang kemudian
mengalami perkembangan) adalah Al-
Qur’an yang secara tidak langsung telah
menyentuh sedemikian rupa tata Bahasa
Arab. Ini dibuktikan dengan banyaknya lahn
yang terjadi dalam membaca Al-Qur’an
pada zaman tersebut yang mengakibatkan
munculnya gagasan dan pemikrian para
nahwiyyun untuk merumuskan serta
22
menyusun sebuah kaidah-kaidah kebahasaan
yang kemudian dikenal dengan I’rob yang
menjadi pembahasan dalam ilmu Nahwu.
Sungguh Al-Qur’an telah menyumbangkan
pengaruh yang amat besar terhadap pada
Bahasa Arab.
DAFTAR PUSTAKA
23
Hazuar, H. (2019). Konsep I’rab Dalam Pandangan
Ibrahim Musthafa dan Ibrahim Anis. Arabiyatuna :
Jurnal Bahasa Arab, 3(1), 163.
https://doi.org/10.29240/jba.v3i1.796
24
Araa’ini Syamsuddin Muhammad. 2019. Ilmu Nahwu
Terjemahan Mutammimah Ajurumiyyah, Terj.
Moch Anwar, Bandung: Sinar Baru Algensindo.
25