Dosen Pengampu:
Husni Idrus, Lc.,M.Si
Oleh:
Mursyidul Mas’ud : 173042009
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini saya
membahas mengenai penjelasan kaidah-kaidah az-Ziyadah. Atas dukungan yang
diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami mengucapkan terima kasih.
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,
penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Akhir kata saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah untuk selanjutnya.
Mursyidu Mas’ud
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kandungan dan cakupan bahasa arab yang amat luas tentu akan
menimbulkan keragaman tafsir lughawi, mulai dari metode penyajian,
pembahasan hingga jenis-jenisnya. Keragaman tersebut tidak bisa dilepaskan dari
kecenderungan setiap mufassir dalam mengkaji dan menyajikan al-Qur’an kepada
audiensnya. Disamping itu, kapasitas intelektual seorang mufassir juga sangat
berperan dalam menafsirkan al-Qur’an melalui pendekatan linguistik.
B. Rumusan Masalah
A. Pengertian Az-Ziyadah
Kata ziyadah secara etimologi berakar dari huruf ز-ي- دyang berarti
tambahan, kelebihan. Secara terminologi, ulama berbeda pendapat tentang definisi
al-ziyadah yang satu sama lain saling berkaitan, meskipun ada perbedaan yang
signifikan. Perbedaan itu disebabkan tujuan mereka menggunakan al-ziyadah. Di
antara ulama tersebut adalah:
1. Ulama Nahwu mengatakan bahwa al-ziyadah adalah lafaz yang tidak memiliki
posisi dalam i’rab. Artinya az-Ziyadah bagi mereka bukan terletak pada makna,
akan tetapi terletak pada lafaz-lafaz tersebut. Begitupun yang dimaksud oleh
ulama tashrif.
3. Ulama Tafsir cenderung berpendapat sama dengan ulama nahwu, terlebih lagi
bahwa az-Ziyadah tidak mungkin terjadi dalam al-Qur’an jika yang dimaksud
al-ziyadah adalah penambahan huruf atau lafaz yang tidak berfaiedah atau sia-
sia. Hanya ulama tafsir memperingatkan agar waspada menggunakan istilah
ziyadah karena dapat menimbulkan kesalahpahaman dan kebimbangan dalam
masyarakat awam.
Maksud dari kaidah ini adalah pada dasarnya tidak ada ziyadah dalam al-
Qur’an karena al-Qur’an itu sendiri disucikan dari segala bentuk kesia-siaan atau
penambahan-penambahan yang tidak memiliki faedah. Kaidah ini mencakup dua
hal:
a. Sesuatu yang tidak memiliki makna atau makna yang tidak dibutuhkan.
Bentuk al-ziyadah ini tidak mungkin terdapat dalam al-Qur’an karena
dianggap sia-sia dan dapat merusak kemukjizatannya.
b. Lafaz atau huruf yang tidak merusak makna aslinya jika dibuang, akan
tetapi penambahannya berimplikasi pada penambahan maknanya.
Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah setiap kali ada penambahan
huruf atau penambahan wazan (timbangan lafaz) atau penambahan tasydid pasti
berdampak pada penambahan makna atau penegasannya.
Penggunaan dua lafaz yang pada dasarnya mempunyai makna yang sama
(mutaradif) memberikan faedah tersendiri dibanding jika lafaz tersebut sendiri-
sendiri. Faedah yang dapat dihasilkan adalah faedah at-taukid (penguat/penegas)
dengan dasar bahwa penambahan huruf saja dapat memberikan makna tambahan,
apa lagi penambahan lafaz. Di antara contohnya adalah pengulangan lafaz نداء
setelah lafaz دعاءdalam QS. al-Baqarah ayat 171.
4. “Setiap huruf yang ditambahkan dalam kalimat Arab karena penegasan maka
A. Kesimpulan
Az-Ziyadah merupakan bagian dari kaidah-kaidah yang terkait dengan
kebahasaan atau balagah, khususnya ilm al-ma’ani, yang bertujuan untuk
memperkuat atau menegaskan sebuah kalimat sesuai dengan kebutuhan dalam arti
tidak mengambang dan tidak membingungkan. az-Ziyadah merupakan
penambahan huruf atau lafaz dengan tujuan tertentu.