Anda di halaman 1dari 30

ALQUR’AN DAN PROBLEM SINONIMITAS (taraduf) MAKNA

• Istilah taraduf
Al-Tara‟duf (‫ )انزشادف‬berasal dari akar kata (‫ )سدف‬ra‟ – dal – fa‟ ( ‫ سدف‬- ‫شدف‬ٚ) yang bentuk
mashdarnya ialah ( ‫(انشدْف‬
ِ
Ar-Ridf = segala sesuatu yang mengikuti sesuatu lainnya.
At-Tara‟duf = apabila sesuatu mengikuti sesuatu lainnya di belakangnya.

Mutaradif (‫ )انًزشادف‬adalah ism Fa‟il (lil musyarakah).


Mutaradif adalah beberapa kata dengan satu arti, berbeda dengan kata musytarak, karena kata
ini menunjukkan kesatuan lafadz dengan berbagai pengertian.
Sibawaih (w.180 H.) diduga sebagai orang pertama yang menampakkan penjelasan mengenai
taraduf dalam ilmu bahasa.
Konteks hubungan antara lafadz dengan makna, menjadi tiga macam yakni:
1. lafadz-lafadz yang beraneka ragam dan mempunyai makna yang beraneka ragam
pula,
2. satu lafadz mempunyai aneka makna yang berbeda-beda
3. beragam lafadz namun hanya mempunyai satu makna.
Pembagian tersebut disinyalir sebagai awal munculnya konsep musytarak lafzhi dan
al-Mutaradif.
Mutaradif menurut istilah bahasa adalah beraneka ragamnya lafadz berjumlah dua
atau lebih dengan disepakati satu makna.
Mutaradif (sinonim) yakni lafadz bermacam-macam dengan kesesuaian makna.
Bangsa Arab adalah bangsa paling kaya bahasa dengan sinonimnya/ al-Mutaradifat. Misalnya
kata al-Saif (‫ف‬ٛ‫ )انغ‬memiliki lebih dari seribu nama, kata al-Asad (‫ )األعذ‬mempunyai lima
ratus nama. Kata al-„Asl (‫ )انؼغم‬namanya lebih dari delapan puluh nama.

Sebab munculnya sinonimitas / taraduf


1. Banyaknya kata-kata yang berdialek Arab berpindah ke dialek Quraisy.
2. Sumber kosakata yang diambil oleh kamus-kamus berasal dari bermacam-macam
dialek suku (suku Qais, `Ailân, Tamîm, Asad, Huzail, Quraisy, dan sebagian suku
Kinanah).
3. Penulisan kata-kata dalam kamus-kamus banyak yang tidak digunakan lagi dalam
penggunaannya, kemudian tergantikan dengan kosakata yang lain.
4. Tidak adanya pembeda dalam peletakan kosakata di kamus-kamus antara makna
hakiki dengan makna majazi, banyaknya kosakata yang belum diletakkan pada
maknanya yang tepat. Namun kebanyakan digunakan pada makna majazi.
5. Banyaknya kata yang berupa sifat berpindah ke dalam makna kata benda yang
sebenarnya menyifatkannya. Seperti al-Hindi, al-Husam, al-Yamani, al-„Adb, al-
Qathi‟ merupakan nama-nama al-Saif (pedang) yang menunjukkan setiap dari nama-
nama tersebut sesungguhnya ialah sifatsifat khusus kata al-Saif. Kata al-Saif terganti
dengan sifat-sifatnya tersebut yang kemudian menunjukkan bahwa sifat-sifatnya
adalah al-Saif itu sendiri.
6. Sesungguhnya banyak dari kosakata yang hakikatnya bukan benar-benar sama. Akan
tetapi setiap darinya memiliki keadaan yang khusus kemudian menunjukkan
perbedaan konteks yang dimiliki setiap kata sehingga terlihatlah perbedaannya antara
satu dengan lainnya. Seperti kata kerja ‫سيك‬, ‫نذع‬, ‫دذط‬, ٍ‫ شف‬dan َٗ‫س‬. Dari kesekian kata
yang menunjukkan persamaan pada kata kerja ‫( َظش‬melihat) sesungguhnya memiliki
ciri khasnya masing-masing yakni memiliki konteks yang berbeda. ‫ سيك‬menunjukkan
pada penglihatan yang menggunakan kedua mata, ‫ نذع‬menunjukkan pada cara
memandang dari samping telinga atau melirik, ‫ دذط‬bermakna melihat dengan mata
yang terbelalak, ٍ‫ شف‬menunjukkan pada cara melihat dengan takjub dan َٗ‫ س‬adalah
memandang dengan kedamaian atau ketenangan.
7. Banyaknya lembaran-lembaran dalam kitab-kitab bahasa Arab masa lampau yang
ditulis dengan tulisan Arab (khat al-„Arabi) tidak memiliki tanda atau syakl.

Pandangan Para Ulama Mengenai Keberadaan Sinonimitas dalam al-Qur’an


dan ‘Ulum al-Qur’an

1. Pendapat Ulama yang Sepakat dengan Keberadaan Sinonimitas


2. Pendapat Ulama yang Menolak adanya Sinonimitas dalam „Ulum al-Qur‟an.

Pendapat Ulama yang Sepakat dengan Keberadaan Sinonimitas


Sinonimitas dalam „ulum al-Qur‟an menurut para ulama keberadaannya disebabkan
adanya wasilah atau hal yang berhubungan dengannya bukan dimaksudkan pada zatnya. Ada
beberapa pembahasan dalam „ulum al-Qur‟an yang dikaitkan dengan sinonimitas.
Diantaranya pembahasan ta‟kid dalam al-Qur‟an, ilmu al-Mutasyabih bagi sebagian
kalangan, dan ilmu tafsir secara khusus.
Beberapa ulama berpendapat bahwa sinonimitas adalah bagian dari pembahasan
taukid/ ta'kid. Mereka memandang bahwa taraduf adalah jenis dari taukid dari segi
maknanya. Ulama membagi taukid menjadi dua bagian, taukid dengan lafadz yang sinonim
dan taukid dengan meng-‟athafkan yang serupa.
Az-Zarkasyi = penjelasan mengenai taukid dengan lafadz yang sinonim, bahwa
taukid as-Sama‟i dibagi menjadi dua yakni lafzhi dan ma‟nawiy. Lafzhi ialah penetapan
makna awal dengan lafadz yang sama atau lafadz sinonimnya. Contoh taukid yang diikuti
dengan lafadz sinonim (‫) )عجال فجبجب‬al-Anbiya‟: 31) dan (‫مب دشجب‬ٛ‫( )ض‬al-An„am: 125).
Sedangkan taukid dengan meng-‟athaf-kan yang serupa, sebagaimana yang dijelaskan oleh
al-Zarkasyi yakni dengan huruf wawu (ٔ) dan auw (ٔ‫)أ‬.
„Athaf adalah salah satu dari berbagai macam bentuk sinonim, atau yang memiliki
kedekatan makna yang tujuannya ialah sebagai taukid. Salah satu ciri „athaf ialah adanya
huruf wawu yang berada pada suatu kalimat atau adanya wawu al-‟athaf.
Sebagaimana dalam firman-Nya
)641 : ٌ‫م هللا ٔيب ضؼفٕا ٔيب اعزكبَٕا (ال ػًشا‬ٛ‫فًب ُْٕٔا نًب أصبثٓى فٗ عج‬
)661 : ّ‫خبف ظهًب ٔال ْضًب (ط‬ٚ ‫فال‬
)77 : ّ‫ال رخبف دسكب ٔال رخشٗ (ط‬
)11 : ‫صى ػجظ ٔثغش (انًذصش‬
)61 : ‫ٕعف‬ٚ( ‫إًَب أشكٕا ثضٗ ٔدضَٗ انٗ هللا‬
Taraduf ditandai dengan adanya ilmu al-Mutasyabih (penyerupaan). Taraduf adalah
bagian dari macam-macam hal yang serupa dalam al- Qur‟an yakni menunjukkan pada kisah
yang satu namun berada dalam surat-surat berlainan. Maksudnya ialah bergantinya kalimat
satu dengan yang lainnya dalam dua ayat yang semisal. Contoh :
)671 :‫ّ آثبءَب (انجمشح‬ٛ‫ُب يب ػه‬ٛ‫انم‬
)16 :ٌ‫ّ آثبءَب (نمًب‬ٛ‫يب ٔجذَب ػه‬
Al-Maturidiy = mengenai penciptaan tujuh lapis langit menafsirkan; Sesekali
menggunakan ‫ فغٕاٍْ عجغ عًبٔاد‬, kemudian ‫ خهك عجغ عًبٔاد‬, serta , ‫فمضبٍْ عجغ عًبٔاد‬
semuanya kembali pada makna yang satu.
At-Thabari = memaparkan ayat yang ditafsirkan dengan mengganti lafadz-lafadznya
dengan yang sinonim. Misalnya ‫ُُب ثبنذك‬ٛ‫فزخ ث‬ٚ ‫ صى‬ditafsirkan dengan kalimat yang serupa ‫صى‬
‫ُُب ثبنؼذل‬ٛ‫مضٗ ث‬ٚ . Ayat ‫ى‬ٛ‫ ْٕٔ انفزبح انؼه‬ditafsirkan dengan ّ‫ٍ خهم‬ٛ‫ى ثبنمضبء ث‬ٛ‫ٔهللا انمبضٗ انؼه‬
Kesimpulan kebolehan adanya mutaradif dengan alasan
1. Sinonim adalah jenis dari taukid yang ditinjau dari maknanya. Ditunjukkan dengan
adanya taukid dengan lafadz sinonim dan taukid dengan meng-‟athaf-kan lafadz yang
serupa.
2. Taraduf salah satu jenis dari bentuk penyerupaan (al- Mutasyabih) yaitu pergantian
kata satu dengan yang lainnya dalam dua ayat yang semisal.
3. Penafsiran ayat oleh ulama dengan menggunakan kalimat yang mirip untuk mendekati
maknanya serta menjelaskan yang samar terhadap lafadz-lafadz al-Qur‟an

Pendapat Ulama yang menolak Keberadaan Sinonimitas


Al-Baraziy = ada kata yang memiliki kemuliaan dibandingkan kata yang lain,
walaupun kata tersebut sama. Ia tidak mengingkari adanya taraduf namun memuliakan kata
satu atas kata yang lain. Seperti dalam firman-Nya (‫ )ٔيب كُذ رزهٕ يٍ لجهّ يٍ كزبة‬lebih utama
dibanding dengan penggunaan (‫)رمشأ‬, lalu (ّٛ‫ت ف‬ٚ‫ )الس‬lebih baik dari (‫ )ال شك‬kemudian (‫)ٔال رُٕٓا‬
lebih baik dibanding (‫ )ٔال رضؼفٕا‬dan (‫ش نكى‬ٛ‫ )خ‬lebih ringan dibandingkan (‫)أفضم نكى‬.
Bint al-Syati = mengutif al-anbary, setiap kata yang telah ditetapkan menunjuk pada
referen tertentu, didalamnya mengandung „illat atau sebab tertentu yang menyebabkan kata
tersebut diucapkan pada referen tersebut.
Mengutip Ibnu Faris, jika ada dua lafadzuntuk satu makna atau untuk satu benda,
niscaya lafadz yang sama memiliki kekhususan yang tidak dimiliki lafadz yang lainnya, kalau
tidak demikian niscaya lafadz yang lainnya itu sia-sia, lafadz yang banyak itu hanya
merupakan sifat. Misalkan, dikatakan makna batu memiliki 70 kata, makna singa 500 lafadz,
makna ular 200 lafadz dan makna pedang 50 lafadz.
Bint al-Syati‟ menemukan rumus setelah menelusuri penggunaan kata ni‟mah (‫)َؼًخ‬
dan na‟im (‫ى‬ٛ‫)َؼ‬dalam al-Qur‟an, bahwa na‟im digunakan al-Qur‟an untuk nikmat-nikmat
ukhrawi, bukan duniawi. Kemudian kata aqsama dan halafa, sekalipun dua kata tersebut
mempunyai arti yang sama, akan tetapi kata tersebut memiliki penekanan makna yang
berbeda. Aqsama yaitu digunakan untuk jenis sumpah sejati yang tidak pernah diniatkan
untuk dilanggar, sedangkan kata halafa yaitu digunakan untuk menunjukkan sumpah palsu
yang selalu dilanggar.
Ath-Thabathaba’i (1321-1402 H.) = tentang makna sirath (‫ )صشاط‬dan perbedaannya
dengan sabil (‫م‬ٛ‫)عج‬
Kesimpulannya, sirath adalah jalan lebar yang mengantar kepada kebaikan, keadilan,
dan hak. Sirath hanya satu, karena itu tidak ditemukan bentuk jamaknya. Ini berbeda dengan
sabil, yang merupakan jalan-jalan kecil dan bermacam-macam, terbukti al-Qur‟an juga
menggunakan bentuk jamaknya. Disamping itu ada sabil yang baik dan ada yang buruk,
karena demikian itulah penggunaan al-Qur‟an.
M. Quraish Shihab = menolak adanya sinonim murni dalam al-Qur‟an. Kaidah
umum mengenai Mutaradif yakni, tidak ada dua kata yang berbeda kecuali pada ada
perbedaan maknanya. Jangankan yang berbeda akar katanya, yang sama akar katanya pun,
tetapi berbeda bentuknya akibat penambahan huruf , seperti kata rahman dan rahim, atau
qatal dan qattala, maka pasti ada perbedaan maknanya, sedikit atau banyak.

Homonim dan Polisemi (Isytirak dan Ta’addud al-Ma’na) dalam al-Qur'an


Persamaan, Perbedaan, dan Metode Mengenalinya

HOMONIM
PENGERTIAN HOMONIM
Secara harfiah: nama yang sama untuk benda lain.
Ungkapan berupa kata, frase atau kalimat untuk hal atau benda lain.
Misal”
• Kata = Mengukur = dapat berasal dari kata “kukur” atau kata “ukur”
• Frase = guru bahasa Inggris. Guru pelajaran bahasa Inggris atau guru orang Inggris.
• Klausa dan antara kalimat =
• Klausa dan antara kalimat
Misalnya:
Baju orang yang pendek itu putih.
Maksudnya:
• (baju orang itu putih dan orangnya pendek)
• (orang yang memakai baju putih itu pendek)
• (baju orang yang pendek itu putih)
• (orang itu memakai baju putih dan pendek)
• (baju putih orang itu pendek)
Homonim adalah kata yang berlainan yang kebetulan bentuknya sama.
Terkait dengan Homonim :
1. Homofoni (lafal)= sama ejaannya, tetapi berbeda lafalnya dan maknanya.
2. Homografi (tulisan)=
Biasanya dibicarakan secara bersama-sama karena kesamaan objek pembicaranya.
Homofoni dalam bentuk bunyi, sementara homografi dalam bentuk tulisan.
• Contoh kata homonim dalam bahasa Indonesia
• Buku = kitab, ruas pada bambu, persendian tulang.
• Bisa = sanggup, racun
• Contoh homofon dan homografi
Homofon:
• „Gang‟ jalan sempitcatau sekelompok orang.
• „Pacar” inai pemerah kuku, atau kekasih.
• „Masa‟ yang berarti waktu, „massa‟ yang berarti kumpulan orang banyak.
Homograf:
• „sangsi‟ yang berarti ragu-ragu, „sanksi‟ yang berarti hukuman.

Karakteristik Homonim
1. Kata-kata yang bentuknya identik dan maknanya berbeda.
2. Dilihat darisegi konstruksi morfologis bersumber dari bentuk kata yang berbeda.
3. Makna-makna dari bentuk kata homonim tidak memiliki hubungan.

Sebab terjadi homonim


1. Konvergensi bunyi (pemusatan atau perpaduan bunyi).
2. Divergensi makna (penyebaran makna)
3. Pengaruh asing

Homonim dan Polisemi (Isytirak dan Ta’addud al-Ma’na) dalam al-Qur'an


Persamaan, Perbedaan, dan Metode Mengenalinya

POLISEMI
POLISEMI = satuan bahasa (kata-kata, frase) yang maknanya lebih dari satu, sebagai akibat
terdapatnya lebih dari sebuah komponen makna pada kata-kata tersebut.
Polisemi, satu ujaran dalam bentuk kata-kata yang mempunyai makna berbeda-beda, tetapi
masih ada hubungan dan kaitannya antara makna-makna yang berlainan tersebut.
POLISEMI = satu kata yang memiliki lebih darisatu makna, karena memperoleh satu atau
beberapa makna baru.
Karakteristik polisemi
1. Satu kata memiliki bidang makna yang luas.
2. Dasar konstruksi morfologis dari kata yang berpolisemi adalah sama (bersumber dari
satu kata saja).
3. Biasanya makna-makna yang lahir dari kata yang berpolisemi memiliki kedekaktan
dan keterkaitan, atau satu sama lain identik.

Sebab terjadinya polisemi


1. Ketepatan melafalkan kata. Ban tuan, bantuan.
2. Gramatikal, “pemukul” alat atau orang yang berubungan dengan pukulan.
3. Leksikal:
a. Kata yang mengalami perubahan penggunaan sehingga memperoleh makna
baru.mis; makan, menjadi makan angin, makan kawan.
b. Kata yang digunakan di lingkungan berbeda.mis; operasi, kedokteran dan militer.
4. Pengaruh bahasa asing. Mis; item, butir, unsur, poin.

Contoh kata polisemi dalam bahasa Indonesia; KEPALA


• Anggota tubuh manusia atau binatang
• Sangat penting; orang bisa hidup tanpa kaki tapi tidak mungkin tanpa kepala.
• Terletak di sebelah atas.
• Bentuknya bulat.
• Pemimpin atau ketua.

Contoh polisemi dalam bahasa arab / alquran


• ‫ذ‬ٛ‫ = ث‬rumah, sarang, ka‟bah
• ‫ذ‬ٚ = tangan, pertolongan, kerendahan hati, sifat kikir, sifaat mulia.
• ‫ = أكم‬makan, menerkam, menggembala, penggelapan harta, terbakar.
• ‫ = ضشة‬memukul, menyebutkan.

Homonim / musyratak lafzhi


Homonim dan musytarak lafzhi dalam bahasa Arab sama dengan polisemi dalam
bahasa Indonesia yaitu kata atau frase yang memiliki makna lebih dari satu, atau memiliki
makna yang berbeda-beda.
Namun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa homonim adalah lawan dari
sinonim yaitu kata yang memiliki beberapa makna.

Penyebab homonim dalam bahasa arab


1. Perbedaan dialek-dialek Arab klasik. Maka adanya homonim menampakkan
implikasi dari perbedaan penggunaan kata oleh berbagai suku.
2. Bergesernya beberapa kata dari makna yang asli pada makna kiasan, dengan
adanya hubungan tertentu, seringnya kata-kata itu digunakan, sehingga kata
kiasan menjadi sekuat kata yang sebenarnya.
3. Adanya dua kata yang hampir sama dan sighatnya juga sama. Dari situ muncullah
beraneka ragam makna.
4. perkembangan fonem (bunyi) baik itu terjadi karena naqish (pengurangan),
ziyadah (penambahan) maupun naql al-Harfi (pengertian huruf). (SAYA BELUM
DAPAT CONTOHNYA utk poin ini)
5. Perubahan morfologi (tashrif) yang terjadi pada dua kata yang sama bentuknya.

Contoh kata yang mengandung makna homonim musytarak lafzhi


• ‫ = لشٔء‬haid atau suci
• ‫ = ٔجذ‬menemukan sesuatu atau mabuk cinta.
• ‫ = ثشش‬bumi atau (1) kulit (2) kaki (3) bintang (4) pilek (5) gemuruh atau
gemetar.
• ‫ = عئم‬bertanya atau meminta

Narowwing (Analisis Penyempitan Makna) dalam al-Qur'an


Penyempitan makna (ُٗ‫ك انًؼ‬ٛٛ‫)رض‬
Pembatasan makna (ُٗ‫ص انًؼ‬ٛ‫)رخص‬
Narrowing termasuk dalam pembahasan perubahan makna:
Menyempit
Meluas
Berpindah/bergeser

Penyebab perubahan makna


1. Kebutuhan akan makna baru
2. Perkembangan sosial budaya (ٗ‫)رطٕس اإلجزًبع ٔانضمف‬
3. Penyimpangan bahasa (ٖٕ‫)اإلَذشاف انهغ‬
4. Inovasi dan kreativitas
5. Perbedaan bidang pemakaian
6. Transfer majas
7. Asosiasi
8. Tabu bahasa
9. Pengalihan dari pengacuan yang konkrit menjadi abstrak

1. Kebutuhan akan makna baru


Ketika diperlukan sebuah makna baru, ada 3 pilihan cara:
1. Membentuk kata baru yang unsurnya sudah ada.
2. Meminjam istilah dari bahasa asing atau sumber lain.
3. Memilih kata sebuah kata lama.
Poin ketiga ini, diantara yang membuat perubahan makna.

2. Perkembangan sosial budaya (‫)تطور اإلجتماع والثقفي‬


a. Transformasi dari makna konkrit ke makna abstrak disebabkan perkembangan akal
manusia atau adanya penggunaan makna di luar makna dasarnya.
b. Kesepakatan komunitas masyarakat tertentu.
c. Penggunaan kata berkelanjutan kemudian digunakan untuk acuan sesuatu yang baru.

3. Penyimpangan bahasa (‫)اإلنحراف اللغوى‬


Penyimpangan makna kata dengan kata lain yang maknanya lebih dekat atau mirip,
disebabkan kesalahpahaman atau ambiguitas. Kemudian diikuti oleh penutur lain yang
akhirnya menjadi kata yang digunakan dalam kondisi umum namun dipahami oleh
masyarakat.

4. Inovasi dan kreativitas


Inovasi dan kreativitas ahli retorika dan lembaga bahasa atau lembaga keilmuan untuk
mengungkapkan konsep tertentu dengan menggunakan kata yang diberi makna baru sebagai
„istilah‟, lalu disebarkan ke masyarakat.

5. Perbedaan bidang pemakaian


Penggunaan suatu kata dalam suatu bidang kajian, keilmuan atau kegiatan yang kemudian
digunakan oleh bidang yang lain.

6. Transfer majas
Perpindahan makna kata dari makna aslinya (hakiki) menjadi ke makna metofora (majaz)
dengan kesengajaan.

7. Asosiasi
Antara kata dan hal atau peristiwa lain yang berkaitan dapat menjadikan sebuah kata berubah
makna.

8. Tabu bahasa
Makna sebuah kata yang disucikan atau tidak alamiah, berbahaya, dilarang, tidak bersih.
Terbagi kepada 3 motivasi psikologis yang melatarinya:
1. Tabu karena ketakutan (taboo of fear); ketakutan kepada makhluk adi kodrati.
2. Tabu karena kenyamanan (taboo of delicacy); menghindari hal-hal yang tidak
menyenangkan.
3. Tabu kesopanan (taboo of propreity); karena berbahasa untuk kesopanan.

9. Pengalihan dari pengacuan yang konkrit menjadi abstrak atau sebaliknya

CONTOH:
1. Kebutuhan akan makna baru. kata (‫بسح‬ٛ‫ )انغ‬dulu artinya adalah kelompok orang-orang
musafir, sekarang dalam kebuthhan makna baru maka diairtikan "mobil"

2. Perkembangan sosial budaya (‫)تطور اإلجتماع والثقفي‬. pada awalnya kata (‫ )انصهٕاد‬adalah
tempat ibadah orang yahudi, namun setelaha islam datang mensyariat untuk melaksanakan
shalat, maka shalat menjadi suatu peribadatan sebagaimana yang kita kenal sekarang. artinya
konsep awal makna (‫ )انصهٕاد‬menjadi berubah setelah adanya perkembangan sosial budaya
masyarakat, dalam hal ini adalah masyarakat islam.

3. Penyimpangan bahasa (‫ ) اإلنحراف اللغوى)ز نشفش‬Dalam teks bahasaa arab disebutkan


bahwa kata (‫ )انفأط‬yang artinya kapak dan (‫ )انًطشلخ‬pallu digunakan untuk kata (‫ )لذٔو‬yang
artinya kedatangan. dugaan saya; penyimpangan kata ini sebenarnya karena ada sesuatu yang
asalnya menyentak atau mengagetkan orang yang didatangi, sehingga muncul istilah yang
lebih bersifat hantaman bagi yang didatangi. nah, kata ini kemudian berkembang di
masyarakat penggunanya menjadi sesuatu kata yang biasa digunakan di kalangan mereka.

4. Inovasi dan kreativitas. saya tidak menemukan contoh konkritnya untuk poin 4 ini. yang
hanya hanya kata "root" dalam bahasa Inggris yang maknanya berbeda2 sesuai profesi
penuturnya; petani (akar), ahli matematika (mungkin 'akar' tp beda maksud) dari kata asalnya,
dan ahli bahasa.

5. Perbedaan bidang pemakaian. kata (‫ )انفشض‬dalam ilmu bahasa akan berarti hipotesis.
dalam fiqh adalah hukum yang mesti dilakukan. sesuai bidang masing2 maka kata yang
digunakan akan memiliki makna yang berbeda.

6. Transfer majas. kata (ٙ‫' )سجم انكشع‬kaki kursi' akan bermakna tergantung sasaran penutur,
ia dapat mengalihkan makna kepada bukan makna asalnya karena ada hubungan fungsi
misalnya.

7. Asosiasi. kata (‫' )االعزشادخ‬istirahat' dapat bermakna tawaran seorang PSK untuk tidur
bersama sebagai pekerja seks komersial.

8. Tabu bahasa. ketakutan orang menyebut nama makhluk yang menyeramkan atau
penguasa alam. takut menyebut istilah yang kurang nyaman seperti menyogok dengan
sebutan "suap". atau supaya bahasa lebih halus seperti (‫ )لضبء دبجخ‬untuk sebutan berak/buang
air besar.

9. Pengalihan dari pengacuan yang konkrit menjadi abstrak. 'menangkap' yang pada
mulanya menggunakan tangan dipakaikan untuk 'menangkap dengan akal'. 'memeluk' dengan
tangan menjadi 'mengikuti ajaran agama'.

kata (‫ )انفأط‬artinya adalah 'kapak'. kemudian kata (‫ )انًطشلخ‬artinya adalah 'palu'. ini jelas untuk
menyebut benda sebagai alat pemukul atau sesuatu yang digunakan untuk menghantam
benda. nah ternyata mereka menggunakannya untuk sesuatu makna yang sangat
jauh/menyimpang, yakni bermakna 'datang'. makanya pemahaman yang mungkin muncul
adalah bahwa kata itu dipakai (dari asalnya menjelaskan benda) menjadi bernttuk
kedattangan seseorang atau kelomp[ok, tentu ada maksud yang hendak disampaikan. dan ini
sangat menyimpang dari makna asal nya. lalu dipahami bahwa 'kedatangan' dengam 'dikapak'
atau 'dipalu' tentu menyiratkan hantaman besar bagi yang didatangi atau kelompok tertentu.
dan kata ini kemudian dipakai ountuk situasi yang semakna dalam komunitas penutur. inilah
yang maksud penyimpangan bahasa.

Penyempitan makna (narrowing)


Takhsishul ma‟na = perubahan makna dari yang umum (kully) ke yang lebih khusus
(juz‟iy).
Maksud penyempitan = gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada umumnya
mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah
makna saja.
Bahasa yang berbeda, tetapi esensi maknanya sama. Pembatasan makna berarti makna
yang dimiliki oleh kata lebih terbatas dibandingkan dengan makna semula.

Contoh penyempitan makna


 Kata “tukang” = „ahli‟ atau „bisa mengerjakan sesuatu‟, maknanya menjadi terbatas
dengan munculnya unsur pembatas, misalnya pada: tukang kayu, tukang catut, tukang
tambal ban, dan seterusnya.
 Kata ٙ‫„ = دشاي‬perbuatan yang haram‟. makna kata ini menyempit, menjadi „maling‟
atau al-lishshu. sampai sekarang, kata ٙ‫ دشاي‬yang berarti maling masih digunakan.
 Kata ‫ى‬ٚ‫„ = انذش‬setiap muhrim‟ mengalami penyempitan makna, menjadi „perempuan‟
(an-nisa‟).
 Kata ‫„ = َػب ِنى‬cendekiawan, tenaga ahli, pakar, atau sarjana‟. Namun kata ini
mengandung beberapa arti lain, yaitu (1) berilmu dalam ajaran agama Islam, dan (2)
saleh. Kata „alim‟ hanya ditujukan kepada orang yang ahli ibadah dan berilmu saja.
 Kata “ulama” dalam QS: Fathir: 28:
٨٢( ... ‫اَّللَ ِي ٍْ ِػجَب ِد ِِ ْانؼُهَ ًَب ُء‬
َّ َٗ‫َ ْخش‬ٚ ‫) ِإََّ ًَب‬
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama”
Kata „ulama‟ telah mengalami perubahan dari makna dasarnya. Kata „ulama‟
yang diserap dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata „alim pada mulanya
mengacu pada para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga para pakar ilmu
bahasa, pakar pertanian, pakar ekonomi, pakar informasi, pakar ilmu agama, dan
lainnya juga disebut dengan „ulama‟. Akan tetapi, ketika kata „ulama‟ ini diserap ke
dalam bahasa Indonesia dengan berbagai variabel kultural yang mempengaruhi, maka
kata ini sudah dibatasi hanya untuk para pakar di bidang ilmu agama Islam atau kaum
agamawan (muslim). Perubahan inilah yang disebut dengan penyempitan makna.

Contoh analisis yang saya dapat berkenaan dengan penyempitan makna dalam
alquran.
Hizb (‫ )دضة‬dalam alquran
Hizb yang akar katanya terdiri dari huruf ba‟, za‟, dan ba‟ memiliki arti dasar
“tertimpa, menyusahkan, menolong dan menghimpun ke dalam kelompok atau golongan.”
Dengan demikian kata tersebut dapat mengandung arti berkumpulnya manusia dalam suatu
kelompok untuk saling menolong dengan tujuan menghilangkan kesusahan.
Dalam Arabic-English Lexicon kata tersebut diartikan dengan a party or company of
men “sebuah partai atau kumpulan dari orang-orang.” Decasa menyimpulkan kata tersebut
mengandung arti a faction, a group of supporters of a man who share his ideas and are readsy
to defend him. “Sebuah faksi, satu kelompok pendukung dari seseorang yang menerima
idenya dan siap untuk mempertahankannya.
Dalam al-Qur‟an kata ini dengan segala bentuknya terulang sebanyak 20 kali, dengan
perincian hizb sebanyak delapan kali, antara lain terdapat pada Q.S al-Maidah/5:56, Q.S al-
Mu‟minun/23:53, Q.S al-Rum/30:32, Q.S al-Mujadilah/58:19 dan 22, Q.S Fathir/35:6. Kata
hizbaini terulang sekali dalam Q.S al-Kahf/18:12, dan al-ahzab bentuk jamak dari hizb
terulang sebanyak sebelas kali.
Kata tersebut dalam al Qur‟an seringkali dirangkai dengan kata lain, misalnya hizb
Allah yang terulang tiga kali, di antaranya adalah Q.S al-Maidah/5: 56
٦٥- ٌَُٕ‫اَّللِ ُْ ُى ْانغَب ِنج‬
ّ ‫ة‬ َ ‫ٍَ آ َيُُٕاْ فَئِ ٌَّ ِد ْض‬ِٚ‫عٕنَُّ َٔانَّز‬ ّ ‫َز ََٕ َّل‬ٚ ٍ‫َٔ َي‬
ُ ‫اَّللَ َٔ َس‬
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.”
Abdullah Yusuf „Ali yang menerjemahkan dengan fellowship (pengikut). Di luar hizb
Allah kata tersebut digunakan al Qur‟an untuk menyebut kelompok yang buruk, antara lain
 pertama, kelompok yang suka memecah bela agama. Hal ini diinformasikan dalam
Q.S al-Rum/30:32
ٍ ‫َؼب ً ُك ُّم ِد ْض‬ٛ‫َُ ُٓ ْى َٔكَبَُٕا ِش‬ِٚ‫ٍَ فَ َّشلُٕا د‬ِٚ‫ ِيٍَ انَّز‬-
٢٨- ٌَُٕ‫ ِٓ ْى فَ ِشد‬ْٚ َ‫ة ِث ًَب نَذ‬
“ Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi
beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
golongan mereka”
 Kedua, kelompok atau pengikut setan (hizb al-syaitan), dijelaskan dalam Q.S al
Mujadilah/58:19
٩١- ٌَٔ‫بٌ ُْ ُى ْانخَب ِع ُش‬
ِ ‫ط‬َ ْٛ ‫ش‬ َ ‫طب ٌِ أ َ َال إِ ٌَّ ِد ْض‬
َّ ‫ة ان‬ َّ ‫اَّللِ أ ُ ْٔ َنئِكَ ِد ْضةُ ان‬
َ ْٛ ‫ش‬ َ ََ‫طبٌُ فَأ‬
َّ ‫غب ُْ ْى ِر ْك َش‬ َ ْٛ ‫ش‬
َّ ‫ ِٓ ُى ان‬ْٛ َ‫ا ْعزَذْ َٕرَ َػه‬-
“Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat
Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan
syaitan itulah golongan yang merugi.”
 Ketiga, kelompok yang berselisih, terdapat dalam Q.S Maryam/19: 37
٢٣- ‫ى‬ٍٛ ‫ ْٕ ٍو َػ ِظ‬َٚ ‫ٍَ َكفَ ُشٔا ِيٍ َّي ْش َٓ ِذ‬ِٚ‫ ٌم ِ ّن َّهز‬ْٚ َٕ َ‫ ُِ ِٓ ْى ف‬ْٛ ‫ف ْاألَدْ ضَ اةُ ِيٍ َث‬
َ َ‫بخزَه‬
ْ َ‫ف‬-
“Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar.”
 Keempat, persekutuan antara orang-orang musyrik dan munafik. Hal ini
diinformasikan dalam Q.S al Ahzab/33:22
٨٨- ً ‫ًب‬ٛ‫ ًَبَب ً َٔرَ ْغ ِه‬ِٚ‫عٕنُُّ َٔ َيب صَ ادَ ُْ ْى إِ َّال إ‬ َ َٔ ُُّ‫عٕن‬
َّ َ‫صذَق‬
ُ ‫اَّللُ َٔ َس‬ َ َ‫ َٔنَ ًَّب َسأَٖ ْان ًُؤْ ِيٌَُُٕ ْاألَدْ ض‬-
َّ ‫اة لَبنُٕا َْزَا َيب َٔ َػذَََب‬
ُ ‫اَّللُ َٔ َس‬
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu
itu, mereka berkata : "Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita." Dan
benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada
mereka kecuali iman dan ketundukan.”
Kata hizb terkadang disebut bersamaan dengan qaum dan ummah dalam satu ayat.
Ayat tersebut adalah Q.S al Mu‟min/40:5
ِ َ‫َأ ْ ُخزُُِٔ َٔ َجبدَنُٕا ثِ ْبنج‬ٛ‫عٕ ِن ِٓ ْى ِن‬
‫ُذ ِْدضُٕا ثِ ِّ ْان َذ َّك فَأ َ َخزْر ُ ُٓ ْى‬ٛ‫بط ِم ِن‬ ُ ‫ذ ُك ُّم أ ُ َّي ٍخ ثِ َش‬
ْ ًَّ َْ َٔ ‫ذ لَ ْجهَ ُٓ ْى لَ ْٕ ُو َُٕحٍ َٔ ْاألَدْ ضَ اةُ ِيٍ ثَ ْؼ ِذ ِْ ْى‬
ْ َ‫َكزَّث‬
٦- ‫ة‬ ِ ‫ْف َكبٌَ ِػمَب‬ َ ٛ‫فَ َك‬-
“Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang bersekutu sesudah mereka telah
mendustakan (rasul) dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka
untuk menawannya dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan
kebenaran dengan yang batil itu; karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azab-
Ku?”

Dari pemaparan makna hizb di atas dapat dikatakan bahwa secara umum penggunaan
kata tersebut dalam al Qur‟an mengandung pengertian sebagai kelompok tertentu yang
memiliki militansi dan menyatu dalam satu wadah yang disepakati untuk membendung atau
menanggulangi kesulitan. Atau yang diduga akan menyulitkan kelompok mereka. Dari
pengertian tersebut jelas ada kesamaan antara makna istilah dengan arti yang digunakan
dalam al Qur‟an. Makna ini kemudian berkembang sehingga termasuk juga sebuah kelompok
yang memperjuangkan cita-cita baik atau buruk. Dari sinilah kata tersebut diartikan sebagai
partai politik. Disini terlihat terjadi penyempitan makna dari makna awalnya.

Tidak ada penjelasan dari para ahli bahasa tentang jumlah minimal anggota dari
sebuah hizb, tiga orang pun sudah dapat dikatakan sebagai hizb. Hal ini mengacu kepada Q.S
al Kahf/18:12
َ ْ‫ ٍِْ أَد‬َٛ‫٘ ْان ِذ ْضث‬
٩٨- ً‫صٗ ِن ًَب نَجِضُٕا أَ َيذا‬ ُّ َ ‫ص ُ َّى ثَؼَضَُْب ُْ ْى ِنَُ ْؼهَ َى أ‬-
“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua
golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua
itu).”

Dari pemaparan al Qur‟an juga diketahui bahwa kata hizb berkonotasi netral,
tergantung kata yang mengikutinya, meskipun penggunaannya dalam al Qur‟an lebih banyak
yang berkonotasi buruk. Namun demikian al Qur‟an hanya membagi ke dalam dua kelompok
saja yaitu hizb Allah dan hizb al-syaitan.

Semantic Shifting : Proses Terjadinya Pergeseran Makna dalam al-Qur'an

Pergeseran makna adalah berubahnya atau bergesernya makna suatu kata menjadi
atau memiliki makna baru.
Dalam beberapa referensi antara pergeseran, perpindahan dan perubahan makna dapat
disebut istilah yang berbeda dengan pemahaman yang kurang lebih sama.
Dalam perspektif ilmu bahasa, fleksibilitas makna cenderung termanifestasi ke dalam
lima bentuk: perluasan makna, penyempitan makna, peningkatan status makna, penurunan
status makna, dan pergeseran (kedekatan) makna.
Fenomena pergeseran (kedekatan) makna, atau dalam istilah teknis disebut
metonimia, yang terjadi di dalam al-Qur‟an, metonimia lebih banyak ditemukan dalam
bahasa sinkronik (mencocokkan dengana waktu tertentu) dibandingkan dengan empat kasus
lainnya yang lebih bersifat diakronik (menjelajah waktu), selain juga metonimia memiliki
wilayah kajian yang lebih luas dibandingkan dengan empat jenis makna yang lain.
“Bahasa bergerak terus sepanjang waktu membentuk dirinya sendiri.Ia mempunyai
gerak mengalir…. Tak satupun yang sama sekali statis. Tiap kata, tiap unsure gramatikal, tiap
peribahasa, bunyi dan aksen merupakan konfigurasi yang berubah secara pelan-pelan,
dibentuk oleh getar yang tidak tampak dan impersonal, yang merupakan hidupnya bahasa”.
Contoh yang disebutkan "aqua" adalah contoh majaz dalam hal ini adalah
menyebutkan sesuatu, tetapi bukan itu yang dimaksudkan. aqua itu adalahl brand minuman
air mineral, maksudnya adalah air untuk diminum.
kata "‫ "ضالل‬dapat berarti kesalahan dalam sikap (sinkronik), apabila melihat kepada
diakronik maka arti dhalal iru adalah sesat dalam keyakinan bertuhan.

Penyebab pergeseran makna


1. Akibat ciri dasar dasar yang dimiliki oleh unsur internal bahasa. Makna kata selain
dapat memiliki hubungan yang erat dengan kata lainnya, juga bisa tumpang tindih.
2. Akibat adanya proses gramatik. Kata ibu misalnya, akibat mengalami relasi gramatik
dengan kota, akhirnya tidak lagi menunjuk pada “wanita”, tetapi pada tempat atau daerah.
3. Sifat generik kata. Kata-kata dalam suatu bentuk kebahasaan, maknanya umumnya
tidak pernah eksak dan sering kali bersifat lentur. Akibat adanya kekaburan dan kelunturan
itu, sering kali makna kata mengalami pergeseran dari makna awalnya.
4. Akibat adanya spesifikasi ataupun spesialisasi. Misalnya pada kataranah, butir,
semuanya mengacu pada “wilayah” dan “satuan benda”. Kedua kata tersebut …

dalam beberapa pembahasan terdahulu hal ini juga dikutif oleh beberapa tulisan.
inilah mengapa saya menyimpulkan ada beberapa istilah yang maknanya menjadi kurang
lebih.
majaz adalah sebutan dalam ilmu balaghah, dimana menyebutkan sesuatu kata yang
memiiliki makna, namun bukan makna itu yang dimaksud. sedang dalam ilmu semantik,
yang dibicarakan adalah penggunaan maknanya itu, karena semantik/ ilm dalalah adalah ilmu
tentang makna suatu kata. Jadi ketika kita melihat kepada bagaimana cara mengungkapkan
kata, dapat disebut sebagai ilmu balaghah, sedang jika tentang bagaimana makna yang
dikehendaki dalam ungkapan kata itu, maka merupakan ranah kajian semantik. yah, kurang
lebih sisi berbeda dalam melihat bahasa
Ada beberapa proses perpindahan makna kata dalam bidang penggunaannya
didasarkan pada hubungan-hubungan yang bersifat figuratif (majāzi), atau penggunaan kata
bukan dalam pengertian sebenarnya:
1. Hubungan sababiyyah, yakni menggunakan ungkapan yang menjadi penyebab,
sementara yang dimaksudkan adalah hasil atau akibat dari apa yang diungkapkan (iṭlāq as-
sabab wa irādah al-musabbab), seperti ungkapan “‫ش‬ٛ‫خ انغ‬ٛ‫( ” سػذ انًبش‬hewan ternak
merumput). Kata “‫ش‬ٛ‫ ” انغ‬dalam ungkapan ini tentu tidak bisa diartikan dengan pengertian
sebenarnya sebab secara leksikal kata tersebut kurang lebih berarti “‫( ” انًطش‬hujan). Ini
mengindikasikan bahwa makna kata tersebut bergeser ke makna kata lain yang memiliki
kedekatan hubungan, misalnya kata “ ‫” انُجبد‬.
Dalam ayat:
ُ ‫ص ٕۡ ۟ا َس‬
(ً‫َخ‬ٛ‫عٕ َل َس ِثّ ِٓ ۡى فَأ َ َخزَْ ُۡى أ َ ۡخزَحࣰ َّسا ِث‬ َ ‫)فَ َؼ‬
Artinya:
"Maka mereka mendurhakai utusan Tuhannya, Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang
sangat keras."
Kata ‫ أخز‬Asalany maknanya mengamngil, namun di sini berubah menjadi menyiksa.
Sebab berubah maknanya: Akibat ciri dasar dasar yang dimiliki oleh unsur internal
bahasa. Makna kata selain dapat memiliki hubungan yang erat dengan kata lainnya.

Apakah contohnya dan sebabnya


ya benar, ketika melihat kepada makna asal dari kata "‫ "اخز‬artinya mengambil, ini
dapat disebut sebagai makna asli atau sesuai diakroniknya. kemudian dalam konteks ayat
tersebut, ternyata makna kata itu berubah menjadi berarti mengazab, karena kata "‫"اخز‬
memang dapat dimaknai beberapa, diantaranya; memulai, masuk, menyiksa dll. ketika
melihat dari sudut pandang berubah dari makna asalnya maka dapat disebut sebsgai bergeser
maknyanya.

Akibat adanya spesifikasi ataupun spesialisasi. Misalnya pada kataranah, butir,


semuanya mengacu pada “wilayah” dan “satuan benda”. Kedua kata tersebut ternyata telah
mengalami kekhususan pemakaian sehingga ranah diberi kesejajaran makna dengan
“domain”. contoh : kata Madrasah makna dulu "Sekolah secara umum" makna sekarang
hanya digunakan terhadap "Sekolah berasas Islam"
Akibat unsur kesejarahan. Unsur sejarah yang menjadi latar penyebab pergeseran,
perkembangan, dan perbahan makna dalam hal ini dapat berkaitan dengan dengan pelajaran
bahasa itu sendiri dari suati generasi ke generasi berikutnya, perkembangan konsep ilmu
pengetahuan, kebijakan institusi, serta perkembangan ide dan objek yang dimaknai. contoh:
kata "‫ "لبطشح‬asalnya adalah rombongan onta yang berjalan paling depan. dalam penggunaan
makna sekarang kata "‫ "لبطشح‬diubah sedikit menjadi "‫ "لطبس‬jadilah untuk sebutan kereta api.

2. Hubungan musabbabiyyah, yakni menggunakan ungkapan yang menjadi hasil atau


akitab, sementara yang dimaksudkan adalah penyebab dari apa yang diungkapkan (iṭlāq al-
musabbab wa irādah as-sabab), seperti ayat(‫ُضل نكى يٍ انغًبء سصلب‬ٚٔ) (dan Dialah menurunkan
untukmu rezeki dari langit).21 Kata “‫ ” سصق‬dalam ayat tersebut juga tidak mungkin diartikan
dengan pengertian sebenarnya sebab secara leksikal ia berarti(‫ُزفغ‬ٚ ‫ )كم يب‬atau segala sesuatu
yang bisa dimakan atau dipakai seperti(‫هجظ‬ٚٔ ‫ؤكم‬ٚ ‫ )ثّ يًب‬buah-buahan, pakaian, dan lainnya,
sementara langit tidak bisa menurunkan hal semacam itu secara langsung. Ini
mengindikasikan bahwa kata tersebut dimaksudkan untuk makna lain yang memiliki
kedekatan hubungan dengan makna leksikalnya, yakni kata (‫)انًطش‬

3. Hubungan kulliyyah, yakni menggunakan ungkapan keseluruhan namun yang


dimaksudkan sebagian (iṭlāq al-kull wa irādah al-juz‟), seperti penggunaan kata “‫ ” أصبثغ‬pada
ayat(‫جؼهٌٕ اصبثؼٓى فٗ آرآَى‬ٚ ) yang dimaksudkan sebagiannya saja, sebagaimana yang sudah
dijelaskan sebelumnya.

4. Hubungan juz‟iyyah, yakni menggunakan ungkapan sebagian namun yang


dimaksudkan keseluruhan (iṭlāq al-juz‟ wa irādah al-kull), seperti ungkapan “َّٕٛ‫” َشش انذبكى ػ‬
(penguasa itu mengirim mata-matanya). Kata “ٌٕٛ‫ ” ػ‬dalam ungkapan tersebut tentu
dimaksudkan keseluruhan anggota tubuh manusia yang kemudian diutus sebagai mata-mata,
yang dalam bahasa Arab sendiri makna tersebut termuat dalam kata “‫” جبعٕط‬. Dengan kata
lain, “ٌٕٛ‫ ” ػ‬merupakan bagian dari “‫” انجبعٕط‬.

5. Hubungan haliyyah, yakni mengungkapkan kondisi sesuatu, namun yang


dimaksudkan tempat dari kondisi tersebut (iṭlāq al-ḥāl wa irādah al-maḥall), seperti ayat( ‫ٔأيب‬
ٌٔ‫ٓب خبنذ‬ٛ‫ضذ ٔجْٕٓى ففٗ سدًخ هللا ْى ف‬ٛ‫ٍ اث‬ٚ‫( )انز‬Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya,
maka mereka berada dalam rahmat Alalh (surga); mereka kekal di dalamnya). Kata “‫” سدًخ‬
dalam ayat tersebut tentu yang dimaksudkan adakah “‫” انجُخ‬. Pergeseran makna ini mungkin
sebab di dalam “‫( ” انجُخ‬surga) sebagai tempat (maḥall) pasti terdapat “‫ ” سدًخ‬sebagai kondisi
(ḥāl).

6. Hubungan maḥalliyyah, yakni mengungkapkan tempat tertentu, namun yang


dimaksudkan kondisi dari tempat tersebut (iṭlāq al-maḥall wa irādah al-ḥāl), seperti ayat
Maka biarlah dia memanggil (ّٚ‫ذ َبد‬ٛ‫( )فه‬golongannya). Kata “‫ ” َبد‬dalam ayat tersebut tentu
yang dimaksudkan adalah orang-orang yang ada di dalamnya, yakni “ٖ‫”أْم انُبد‬, bukan tempat
itu sendiri. Demikian pula kata “‫خ‬ٚ‫ ” انمش‬pada ayat tentu (‫خ‬ٚ‫ )ٔاعئم انمش‬yang dimaksud adalah
(‫خ‬ٚ‫ )أْم انمش‬.

Jenis-jenis pergeseran makna:


1. Meluas (generalisasi)
2. Menyempit (spesialisasi)
3. Membaik (ameliorasi)
4. Memburuk (peyorasi)
5. Persamaan sifat (asosiasi)
6. Pertukaran tanggapan (sinestesia)

Contoh pergeseran makna dari ayat alquran:


‫ّ اال أيى ايضبنكى‬ٛ‫ش ثجبد‬ٛ‫ط‬ٚ ‫ٔيب يٍ داثخ فٗ االسض ٔال طبئش‬
“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Dari penegasan ayat di atas kata (‫ )طبئش‬thoir pada mulanya bermakna burung yaitu
binatang yang bergerak dengan mengepakan sayap-sayapnya terbang di udara. Kemudian
setelah dunia ini maju pesat dalam bidang teknologi transportasi kata "thoir" tidak lagi hanya
bermakna burung sekarang kata itu juga mempunyai makna lain yaitu „pesawat terbang‟.

Kesimpulan: pergeseran makna dapat dipahami sebagai bentuk perubahan makna,


perpindahan makna atau kedekatan makna. Beberapa istilah ini sesungguhnya memiliki
makna yang kurang lebih sama. Karena itu diperlukan kajian berkenaan dengan pergeseran
makna ini secara lebih seriius, hanya karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan maka
saya tidak dapat memberikan penjelasan yang panjang lebar terutama ketika dikaitkan dan
dihubungkan dengan alquran sebagai tema sentral bahasan kuliah semantik alquran kita.
Teori Medan Semantik (al-haql al-dalali) dan Konteks Kebahasaan (Siyaq
al-Kalam) dalam Kajian Makna al-Qur'an
fokus kita ke materi siyaq al kalam.
Medan makna : realitas alam semesta tertentu' dan yang direalisasikan oleh
seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.

Golongan medan makna


1. Kolokasi: ada di tempat yang sama.
2. Set: hubungan paradigmatik. unsur-unsur yang berada dalam satu set dapat saling
menggantikan atau mensubstitusikan.

Pengertian Konteks dan konteks dalam permbicaraan ahli:


a. Pengertian konteks
b. Urgensi konteks dalam menyibak makna
c. Konteks dalam perspektif ahli balaghah
d. Konteks dalam perspeketif ulama ushul

Konteks dalam perspektif nuhat

Jenis-jenis konteks
1. Konteks linguistik
2. Konteks emosional
3. Konteks situasi
4. Konteks sosial budaya

Pertama kita bicara tentang pengertian konteks.


dan mencakup beberapa bahasan yaitu:
a. Makna etimologis
b. Kata siyaq dalam alquran
c. Makna terminologis “‫بق‬ٛ‫”انغ‬

MAKNA KONTEK SECARA ETIMOLOGIS


Konteks dalam bahasa arab disebut “‫بق‬ٛ‫”ع‬

Kata “‫بق‬ٛ‫ ”ع‬berasal dari “‫ ”ط ٔ ق‬berarti “‫ ”انززبثغ‬saling mengikuti, atau “‫ئ‬ٛ‫”دزٔ انش‬
menggiring sesuatu.
“‫ ”اَغبلذ ٔرغبٔلذ اإلثم رغبٔلب‬berarti “‫ ”ارا رزبثؼذ أ٘ كبٌ ثؼضٓب رغٕق‬unta itu saling mengikuti, yaitu
antara unta yang satu dengan yang lain saling mengikuti

Memang begitu berdasarkan ilmu sharaf. runtutannya begini:‫بق‬ٛ‫ ع‬itu berasal dari kara
‫( عٕق‬sa-wa-qa), masdarnya menjadi ‫( عٕاق‬su-wa-q), kemudian huruf waw diganti dengan
huruf ya karena didahului huruf sin yang berharakat kasrah. sehingga menjadi ‫بق‬ٛ‫( ع‬si-ya-q).
Medan makna adalah ruangan yang didalamnya memuat makna-makna. betul ini.
lahirnya makna itu dengan membuat kata leksikal yang mewakili makna dalam ruang
tersebut, setelah terbentuk kata leksikalnya kemudian berbalik atau kembali ke ruang itu
untuk memuat makna yang dimaksud.
Adapun mengenai konteks yang seperti unta yang saing mengikuti, karena pada
gilirannya sebuah kata yang mewakili makna akan terus dipakai dalam ujaran bahasa.,
akhirnya setiap kaya yang diungkapkan akan mengarah kepada situasi atau lingkup tertentu
yang dicakup oleh kata tersebut. inilah yang dimaksud dengan unta yang saling mengikuti.
makna asal dari bahasa siyaq di dalam bahasa arab.

Kata siyaq dalam alquran


beberapa bentuk kaya siyaq yang digunakan oleh alquran.

‫نسوق‬
Surah maryam ayat 86
Surah as-sajadah ayat 27
‫سيك‬
Surah az-zumar ayat 71 dan 73

‫سائك‬
Surah Qaf ayat 21

surah maryam ayat 86


‫ٍ انٗ جُٓى ٔسدا‬ٛ‫َٔغٕق انًجشي‬
dan kami menggiring orang-orang yang durhaka ke neraka jahannam dalam keadaan dahaga.

Konteksnya adalah orang durhaka akan digiring ke neraka dalam keadaan kehausan
seperti unta. kehausan tapi tidak diberi minum dan tetap harus berjalan ke tujuan.

Makna terminologi ‫السياق‬

Menurut Tamam Hasan: Konteks adalah ٗ‫( انُٕان‬berturut-turut).


1. Berturut-turut unsur yang dapat menciptakan struktur dan hubungan = konteks teks “ ‫بق‬ٛ‫ع‬
‫”انُص‬.
2. Berturut-turut situasi yang mengiringi performansi bahasa yang memiliki hubungan
komunikasi = konteks situasi “‫بق انًٕفك‬ٛ‫”ع‬

Konteks adalah suatu unsur lingual (suatu bunyi, kata, atau frase) dan unsur non
lingual (situasi, kondisi, gestur, isyarat dan sebagainya) yang mendahului dan mengikuti
suatu unsur bahasa dalam ujaran.

Urgensi konteks dalam menyibak makna:


1. dapat memperjelas lafaz yang masih mujmal,
2. dapat menentukan lafaz yang berpotensi melahirkan kemungkinan makna lain,
3. dapat menghindari makna yang tidak dimaksudkan,
4. dapat mentakhsis yang umum, dan
5. dapat mentaqyid yang mutlak.

Kita mengenal ungkapan berikut:

‫نكم يمبو يمبل‬


Setiap speech event memiliki context of situation
‫نكم كهًخ يغ صبدجٓب يمبو‬
Setiap kata dan kata yang mengirinya memiliki speech event

Konsep situasi merupakan poros yang mengitari semantik deskriptif yang terkonstruk
di atas dimensi sosial dari tiga dimensi makna:
1. Dimensi hubungan sosial (‫خ‬ٛ‫)انؼهمبد اإلجزًبػ‬
2. Dimensi kejadian (‫)انؼهمبد االدذاس‬
3. Dimensi situasi sosial (‫خ‬ٛ‫)انؼهمبد انظشٔف اإلجزًبػ‬
Pada tataran leksikal, konteks dapat membatasi makna suatu kata. Dapat membedakan
hubungan sighat polisemi, homonimi dan homofoni. Konteks dan kondisi kata dalam
struktur bahasa dapat membatasi makna kata secara akurat. Sehingga multi makna dan
potensi ambiguitas dapat terhindar melalui konteks.
Pada tataran sighat, konteks membatasi signifikansi sighat morfologi yang memiliki
wazan terbatas namun signifikansi terhadap makna yang dimaksudkan beragam.
morfologi itu bahasa yang nyaman buat kita adalah sharaf (ilmu tashrif). nah dalam
hal ini, "kata" dalam bahasa ujaran, tidak semuanya ada wazannya dalam tashrif. bahkan
dalam masdar sima'iy dalam ilmu sharaf tidak didasarkan atas wazan yang terpola, melainkan
mengikuti kebiasaan orang arab.dalam menggunakan kata, -meskipun akhirnya sebagiannya
dibuatkan wazan untuk qiyas kepada kata yang lain.
Mari kembali ke materi kita yang terdahulu tentang polisemi, homonimi dan
homofoni.
Polisemi = satuan bahasa yang mempunyai makna lebih dari satu. misalnya ‫ذ‬ٛ‫ث‬
"rumah", kantor, sarang, kemah, kandang, liang dst.
homonimi= kata yang sama untuk makna yang berbeda. misalnya: ‫ عبػخ‬dapat berati waktu,
jam atau malah kiamat.
Homofoni = penekanan bunyi dalam ujaran kata atau frase yang menyebabkan
berbeda makna. "Ali makan ayam mati". tergantung di mana penekanan kata di sini maka
maknanya akan berbeda atau berubah.

Konteks dalam perspektif ahli balaghah


Konteks dilihat sebagai ‫ يمزضٗ انذبل‬dan hubungan antara speech event dan context of
situation. ‫ انذبل‬sama dengan ‫ يمزضٗ انذبل‬menurut ilmu ma‟ani yaitu sesuatu yang mengacu
pada hal-hal yang menyertai proses tindak tuturyang lahir dari penutur , yang mengantarkan
pada makna asal, sehingga ia disebut dengan “kondisi tuturan” (‫)يمزضٗ انذبل‬
Istilah ‫ انًمبل‬dapat dipadankan dengan ٖٕ‫بق انهغ‬ٛ‫( انغ‬konteks linguistik). ‫ انًمبو‬dipadankan
dengan (‫بق انًٕلف‬ٛ‫ )ع‬konteks situasi. ‫ يمزضٗ انذبل‬/ sesuai atau menurut keadaaan, itu mendekati
istilah ‫بق انذبل‬ٛ‫ ع‬. Dalam linguistik modern sangat memperhatikan aspek sosiologis bahasa.
Maka istilah ‫ يمزضٗ انذبل‬lebih sempit dari istilah ‫بق انذبل‬ٛ‫ ع‬, sebab situasi atau keadaan ujaran
harus didahului ‫ يمبل‬, karena ujaran itu dibentuk sesuai keadaannya. Hal ini berbeda dengan
‫بق انًٕلف‬ٛ‫ ع‬karena melalui unsurnya dapat membantu memahami ujaran setelah diproduksi.
‫ يمبل‬bagian dari konteks tersebut, bukan terpisah darinya.

Konteks dalam perspektif ulama ushul


Yang paling banyak menggunakan istilah ‫بق‬ٛ‫ ع‬adalah ulama ushul. Yang
dimaksudkan oleh mereka adalah “qarinah-qarinah yang menunjukkan maksud dan tujuan
ada yang dalam khitab syar‟iy. Kata ‫بق‬ٛ‫ ع‬bersinonim dengan: ‫ انفبظ انًمبو‬, ‫ يمزضٗ انذبل‬, ‫ُخ‬ٚ‫ انمش‬dan
sebagainya.
Lafaz atau kata tidak mungkin bisa diinterpretasi hanya dengan memperhatikan aspek
leksikalnya saja, tetapi harus melihatnya sebagai satu kesatuan utuh yang terbungkus dalam
konteks. Karena konteks merupakan pondasi dalam memahami teks-teks suci yang berkaitan
dengan aspek-aspek akidah, persoalan-persoalan cabang dalam syariat yang didalamnya
menyangkut persoalan-persoalan agama, baik menyangkut persoalan kehidupan maupun
sosial.

Konteks dalam perspektif Nuhat


Kata ‫بق‬ٛ‫ ع‬belum mengandung konsep terminologis yang biasa digunakan oleh ahli
nahwu, namun masih bersifat generik. ‫بق‬ٛ‫ ع‬adalah personifikasi dari aktifitas manusia yang
berinteraksi dengan lingkungan, situasi dan keadaan. Atau ujaran yang memiliki fungsi
hubungan kuat dengan konteks situasi (‫بق انذبل أٔ انًمبو‬ٛ‫)ع‬

Jenis-jenis konteks:
1. Konteks linguistik
2. Konteks emosional
3. Konteks situasi
4. Konteks sosial budaya

"al-Dakhil, al-Mu'arrab dan al-Muwallad dalam Kajian Semantik al-


Qur'an"

ketiga istilah ini dipahami dalam satu kata dalam bahasa indonesia dengan sebutan
"kata serapan".
istilah yang paling umum dalam bahasan semantik bahasa arab untuk istilah ini adalah
at-ta'rib atau al-mu'arrab.
Al-Mu’arrab disebut juga dengan istilah at-ta‟rib ( ‫ت‬ٚ‫ ) انزؼش‬ad-dakhil ( ‫م‬ٛ‫ ) انذد‬al-
muwallad( ‫) انًٕنّذ‬
Al-Mu‟arrab adalah kosa kata –kosa kata tertentu yang digunakan oleh orang Arab
untuk ditempatkan dalam bahasanya, atau kosakata yang diserap oleh orang arab ke dalam
bahasanya.
Menurut Rabi faktor-faktor khusus yang menyebabkan timbulnya serapan (al-taʻrib
adalah :
1. Adanya kebutuhan yang mendesak (keadaan darurat) seperti penyerapan nama-nama
hewan dan tumbuh-tumbuhan, hasil-hasil teknologi modern serta hasil penelitian yang baru.
2. Adanya keinginan untuk membanggakan diri dan terkenal.
3. Kekaguman sekelompok orang (umat) terhadap kelompok (umat) yang lain.
4. Keringanan/kemudahan kosa kata bahasa sumber. Bahasa Asing lebih mudah/ringan
pengucapannya dari bahasa Arab sehingga kosa kata tersebut terpakai dan tersebar.

Barangkali saya dapat memberi komentar: bahwa yang dimaksud membanggakan diri
adalah, bahwa sebuah kata baru, tentu memiliki daya tarik bahasa bagi komunikan (lawan
berkomunikasi), karena itu maka kata yang baru selain memenuhi keperluan akan kata yang
baru, juga memberikan rasa bangga karena mampu mengemukakan sesuatu yang aktual. hal
ini adalah menurut sudut pandang perkemangan bahasa.
Ulama berbeda pendapat tentang ada-tidaknya kata-kata serapan (al kalimaat al
mu`arrobah) di dalam Al Qur`an antara menerima dan menolak. Dalam hal ini mereka terbagi
menjadi 4 Kelompok:
1) Golongan pertama Kelompok yang menolak adanya kata-kata yang diarabkan (al kalimaat
al mu`arrobah) di dalam Al Qur`an, mereka adalah mayoritas ulama besar diantaranya adalah
Imam As Syafi`i, Abu Ubaidah, Al Qodhi Abu Bakar, dan Ibnu Faris.
2) Golongan kedua Mereka adalah golongan yang beranggapan bahwa ada kata-kata asing
dalam Al Quran, dan mereka adalah salafus shalih dari kalangan sahabat dan para tabi`in,
diriwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid dan Ikrimah bahwa di dalam Al Quran terdapat kata-kata
asing yang diarabkan (arabisasi).
3) Golongan ketiga Golongan ini mengatakan ada kesamaan bahasa diantara bangsa-bangsa
ketika itu, sebagaimana Ibnu Jarir At Thabari mengatakan bahwa: kata-kata asing dalam Al
Quran bukanlah asing dalam sebenarnya, namun itu adalah fenomena kesamaan bahasa,
dimana bangsa Arab, Persia, dan Habasyah berbicara dengan bahasa yang satu.
4) Golongan keempat
Mereka adalah kelompok pemikir-pemikir Islam termasuk di antaranya adalah Imam Suyuthi,
golongan ini bisa dikatakan sebagai penengah dari kubu pro dan kontra.
Dalam pandangan kelompok ini (kelompok 4). Polarisasi ta‟rib dibagi menjadi dua
macam, yaitu ta'rib makna dan ta'rib isti'mal.

1) Ta'rib makna: membuat isim Arabi sebagai pengganti isim a'jami. Ini ta'rib yang masyhur
dan mudah dipahami, dan dilakukan oleh kamus-kamus dan lembaga-lembaga bahasa. Ini
pula yang terlintas dalam pikiran orang banyak kala mendengar kata ta'rib. Misalnya,
Windows diarabkan menjadi ‫ انُٕافز‬dan Microsoft menjadi ‫ك‬ٛ‫ف انذل‬ٛ‫انهط‬

2) Ta'rib isti'mal: penggunaan isim 'ajam dalam pola arab. Yakni memprosesnya menurut
cara bahasa Arab, membentuknya dan memperlakukannya menurut wazan, bunyah, dan
kaidah-kaidahnya hingga bercorak dan bertabiat Arab yang fasih, sekalipun berasal dari
'ajam. Ta'rib seperti ini banyak dalam bahasa Arab misalnya lafadz-lafadz dalam al-Qur`an
yang mempunyai asal-usulnya sendiri dalam bahasa 'ajamnya seperti istabraq, lijam, sundus
dll.
Untuk ta'rib isti'mal ini benar lah contohnya seperti televisi diarabisasi menjadi
ٌٕٚ‫ انزهفض‬bapa ?
ya bisa dh contoh seperti itu.
Secara etimologi al-mu„arrab merupakan bentuk ism maf„ul dari fi„il al-muda„af hasil
derivasi dari kata „arraba-yu„arribu ( ‫ؼشة‬ٚ
ّ ،‫ػشة‬
ّ ) yang berarti diarabkan atau menjadikan
bahasa Arab.
Secara istilah, kata-kata yang diserap oleh bahasa Arab dari bahasa-bahasa lain
disebut dengan al-mu‟arrab, dan tentunya melalui proses perpindahan serta perubahan yang
disebut dengan al-ta‟rib atau pengaraban.
Istilah al-mu„arrab dalam bahasa Indonesia selalu disejajarkan dengan Serapan.
Serapan merupakan istilah yang dikenal dalam bahasa Indonesia. Secara definisi serapan
adalah kata yang berasal dari bahasa asing yang sudah diintegrasikan ke dalam suatu bahasa
dan diterima pemakaiannya secara umum.
Al-Mu„arrab menurut Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd adalah proses penyerapan
kata asing dengan cara adaptasi berdasarkan aturan bahasa Arab dan kebiasaan tutur kata
orang Arab atau dengan cara adaptasi dari segi tasrif.
Menurut Emil Badi Ya‟qub, al-mu„arrab adalah kosa-kata asing yang telah diubah
orang Arab „menjadi bahasa mereka‟ dengan cara pengurangan „al-naqs, penambahan „al-
ziyadah‟, dan pembalikan „al-qalb.
Menurut al-Jawaliqi al-mu„arrab sebagai kata serapan yang terdapat di dalam al-
Qur‟an, Hadis, Asar, syair, dan nasr klasik. Yang mana merupakan hasil proses penyerapan
bahasa asing ke dalam bahasa Arab yang dilakukan penuturnya yang fasih pada masa
sebelum atau saat keempat sumber tersebut mulai ada. Masa ini disebut juga masa ihtijaj atau
istisyhad yang rentang waktunya dibedakan sesuai domisili orang Arab, yaitu mereka yang
tinggal di suku Badui dan perkotaan.
Masyarakat Arab Badui dianggap sebagai penutur bahasa Arab yang fasih sampai
abad ke-4 hijriah, sedangkan kefasihan masyarakat Arab yang tinggal di perkotaan hanya
bertahan sampai akhir abad ke-2 hijriah. Dan proses perpindahan tersebut melalui pergantian
huruf, dan perubahan pola asing dalam bahasa Arab yang mana harus disesuaikan dengan
makhraj yang digunakan bangsa Arab baik dari segi wazn-nya dan fonetiknya.
Berangkat dari definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa al-mu„arrab merupakan
lafal-lafal asing yang digunakan bangsa Arab yang diserap dari bahasa asing dalam bahasa
Arab yang mana disesuaikan dengan tutur orang Arab dan apa yang dikehendakinya tentunya
dengan adaptasi dari segi fonetik dan tasrif melalui proses perpindahan yaitu arabisasi.
Al-Mu‘arrab juga disebut al-ta„rib dan al-dakhil.
Upaya tanzih (membersihkan alquran dari segala bentuk kekurangan karena ia adalah
kalam allah) selalu diupayakan oleh para ulama. salah satu sudut bahasan dipersepsi oleh
ulama yang lain sebagai penafian atas kesempurnaan alquran. namun di sisi yang lain justru
bahasan2 baru dianggap sebagai nilai baru dalam menemukan kehebatan alquran (sbg kalam
allah). karena itu, selayaknya bagi kita yang berada di lingkup akademik yang berjibaku
dengan pendekatan terhadap alquran mampu memahami kedua sisi ini. untuk selanjutnya
dapat memposisikan diri dalam posisi yang proporsional. bahasan kita ini adalah dalam
rangka menggali pemahaman baru tersebut (meskipun dalam keterbatasan yang banyak)
diharapkan menjadi salah satu upaya membuka kran pemahaman tersebut. kita menerima
terhadap upaya baru ini.
Memang sedianya bahasan ini adalah bahasan sudut pandang bahasa, atau tepatnya
sudut pandang makna bahasa (semantik). namun saya berkeyakinan bahasan ini akan sangat
membantu kita dalam memahami bahasa alquran. setidaknya dengan pengetahuan tentang
kata serapan ini, maka orientasi pemahaman akan lebih berbentuk karena ungkapan kata yang
dipakai alquran sebagiannya dapat dimengerti melalui sudut pandang ini.
Al-ta„rib bagian dari Al-mu„arrab yang merupakan masdar secara terminologi adalah
proses netralisasi bahasa-bahasa serapan dalam bahasa Arab atau penggunaan kosa kata
asing, dengan mengikuti pola-pola bahasa Arab dan tabiat percakapan bangsa Arab, sehingga
lafal-lafal tersebut dikehendaki bangsa Arab. Dan lafal itu tidak menyulitkan bangsa Arab
sendiri dalam menyebutkan lafal tersebut. Ini memberikan kontribusi kepada perkembangan
bahasa Arab dengan penambahan kosakata baru. Terutama dari kata khusus seperti nama-
nama tumbuhan, nama-nama hewan, nama-nama benda, nama-nama peralatan. Begitu juga
nama pakaian, nama makanan dan minuman.
Pengertian lainnya al-ta„rib adalah proses perubahan kata asing dalam bahasa Arab
agar mendekati dengan bahasa Arab yang asli baik dari segi fonetiknya yang melambangkan
suara dan segi bentuknya yang melambangkan dengan tulisannya. Sebagian ahli linguis
cendrung menyamakan antara al-mu„arrab dan al-ta„rib. Jika diteliti kedua istilah ini
digunakan mereka pada masa klasik dan masa modern untuk membahas permasalahan
peminjaman bahasa asing dalam bahasa Arab. Akan tetapi dalam hal ini al-ta„rib lebih kepada
prosesnya dan al-mu„arrab merupakan lafalnya yang sudah mengalami proses arabisasi.
Kata al-dakhil berasal dari kata kerja dakhala yang berarti masuk.
Menurut Ibrahim Muhammad Abu Sikin al-mu„arrab sinonim dengan ad-dakhil
sebagaimana istilah al-mu„arrab, juga dikatakan al-dakhil yaitu lafal-lafal yang digunakan
orang Arab, yang di ambil dari bahasa asing yang digunakan pada makna tertentu.
Namun terdapat pendapat yang membedakan antara keduanya. Para ahli linguis
membedakan antara al-mu„arrab dan al-dakhil adalah Abdul Al-Hamid al-Syalqani, Sya‟aban
Abd al-Azim, dan Ahmad Abdul. Rahman Hammad hal yang membedakan di antara
keduanya adalah jika sesuatu kata yang berasal dari bahasa asing mengikut pola bahasa Arab
serta dituturkan mengikuti sigah bahasa Arab, maka kata itu dinamakan al-mu„arrab.
Contohnya kata ‫( دسْى‬dirham), sebagai kata pinjaman dikiaskan dengan perkataan Arab ‫ْجشع‬
. Sebaliknya jika kata asing tersebut tidak mengikuti pola-pola yang digunakan bangsa Arab
maka dinamakan al-dakhil dalam mu‟jam al-wasit memaparkan bahwa al-dakhil adalah lafal
asing yang masuk kedalam bahasa Arab tanpa melakukan sebuah perubahan. Contohnya kata
ٍٛ‫ج‬ٛ‫ ) )االكغ‬oksigen dan ( ٌٕ‫ف‬ٛ‫ ) انزه‬telepon.
Jadi al-dakhil adalah lafal-lafal asing yang digunakan di dalam bahasa Arab yang
mana tidak mengalami proses perubahan sama sekali dan tidak mengikuti pola bahasa Arab.
Dari pemaparan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan perbedaan istilah yang ada.
Dalam hal ini al-mu„arrab cendrung disinonimkan dengan al-ta„rib, sedangkan al-dakhil lebih
kepada lafal-lafal asing yang masuk ke dalam bahasa Arab yang mana tidak mengikuti pola
bahasa Arab sedangkan al-mu„arrab dan al-ta„rib mengikuti ketentuan yang ditetapkan.
Meskipun memiliki perbedaan diantara keduanya akan tetapi ada yang menyamakan di antara
al-mu„arrab dan al-dakhil.
Alasannya karna proses arabisasi atau al-ta„rib memiliki kaedah yang sama dengan al-
dakhil yaitu menyesuaikan dengan tuturkata bahasa Arab.

Indikator Karakteristik Al-Mu’arrab


1. Gabungan huruf yang tidak lazim (i‟tilaf al-huruf)
2. Menyimpang dari pola dasar pembentukan kata bahasa Arab (wazn).
3. Memiliki banyak variasi bacaan (kasrah al-lugat).
4. Tidak memiliki indikasi bagian dari derivasi kosa kata bahasa Arab.

Kata-kata serapan dalam bahasa Arab dapat teridentifikasi melalui gabunganhuruf


yang tidak lazim dalam bahasa Arab. Kasus ini terbagi ke dalam dua pola, yaitu:
1) Gabungan huruf yang tidak mungkin terjadi dalam kata-kata Arab asli.
2) Gabungan huruf yang lazim namun urutannya tidak sesuai dengan aturan bahasa Arab asli.

1. Gabungan huruf yang tidak mungkin terjadi dalam kata-kata Arab asli:
a) Gabungan huruf ta (‫ ‟)د‬dan tha‟ (‫ )ط‬sebagaimana dalam kata al-tast (‫“)طغذ‬kata tersebut
merupakan kata serapan karena terdapat gabungan huruf ta‟ dan ta‟ yang tidak akan pernah
terjadi dalam bahasa Arab.
b) Gabungan huruf jim dan ta‟. Al-Jauhari> sebagaimana dalam kata al-jibt (‫( )انججذ‬berhala)
dikatakan, “kedua huruf ini tidak akan pernah bisa bergabung dalam sebuah kata Arab tanpa
disertai huruf zilaqi (ٌ,‫و‬,‫ل‬,‫ف‬,‫س‬,‫)ة‬
c) Gabungan huruf jim dan shad Misalnya, kata al-jishsh} ( ‫ ) انجص‬yang berarti plaster, al-
shanjah ( ‫ ) انصُجخ‬yang berarti alat musik dan al-shaulajan ( ٌ‫ ) انصٕنجب‬yang berarti tongkat.
d) Gabungan huruf jim dan tha. Misalnya, kata al-thajin ( ٍ‫ ) انطبج‬yang berarti kuali.
Gabungan huruf yang lazim namun urutannya tidak sesuai dengan aturan bahasa Arab
asli:
a) Posisi huruf nun sebelum huruf ra‟. Misalnya, kata al-narjis (‫)انُشجظ‬
b) Posisi huruf zay‟ setelah huruf dal Misalnya, kata al-hindaz ( ‫( ) انُٓذص‬mengatur)
c) Posisi huruf syin setelah huruf lam. Misalnya, kata al-aqlasy ( ‫( ) األلهش‬penipu)
d) Posisi huruf dzal‟ setelah huruf dal. Misalnya, kata Bagdadz (‫)ثغذار‬
e) Huruf pada posisi fa‟ al-fi„il sama dengan huruf pada posisi „ain al-fi„il. Misalnya, kata al-
qaquzah (‫)انمبلضح‬

2. Menyimpang dari pola dasar pembentukan kata bahasa Arab (wazn).


Bangsa Arab berusaha mencocokkan setiap kata serapan dengan pola dasar pembentukan
kata yang berlaku. Namun, tidak semuanya dapat dicocokkan sehingga sebagian kata serapan
tetap seperti kondisi aslinya yang tidak sesuai dengan wazn yang berlaku dalam bahasa Arab.
Misalnya:
1) Kata amin ( ٍٛ‫ ) آي‬berpola fa„il ( ‫م‬ٛ‫) فبػ‬. Wazn ‫م‬ٛ‫ فبػ‬menurut al-Fayumi saatmengomentari
kata al-fanidz} ( ‫ز‬َٛ‫) فب‬, tidak terdapat di dalam pola bahasa Arab yang berlaku.
2) Kata anuk ( ‫ ) آَك‬berpola fa„ ul ( ‫) فبػُم‬. Pola seperti ini „ain al-fi„l-nya berharakat dhammah
tidak dikenal dalam wazn bahasa Arab.
3) Kata al-jawaliq ‫ انجٕانك‬berpola fu„alil ( ‫ ) فؼبنم‬yang dianggap aneh oleh al-Raghib al-
Isfahani dalam pernyaannya, “Dalam bahasa Arab itu tidak akan pernah ditemukan kata
singular yang huruf ketiganya berupa alif lalu setelahnya ada dua huruf lagi”

3. Memiliki banyak variasi bacaan (kasrah al-lugat).


Di antara kata-kata serapan yang memiliki banyak versi adalah kata Isra‟il ‫م‬ٛ‫ إعشائ‬dan bagdad
( ‫ ) ثغذاد‬yang sama-sama memiliki tiga versi bacaan,yaitu isral‫ إعشال‬, isra‟in ( ٍٛ‫) إعشائ‬, dan
Isra‟il ( ‫م‬ٛ‫) إعشائ‬, bagdadz ( ‫) ثغذار‬, bagdan ( ٌ‫) ثغذا‬, dan bagdad (‫)ثغذاد‬

4. Tidak memiliki indikasi bagian dari derivasi kosa kata bahasa Arab.
Sebagian kata-kata serapan dalam bahasa Arab secara morfologis menunjukkan ketidak
mungkinannya menjadi produk derivasi bahasa Arab. Misalnya, kata al-suradiq ( ‫) انغشادق‬
yang berarti tenda besar.

Anda mungkin juga menyukai