Anda di halaman 1dari 7

Nama : Iswatin Hasanah

Nim/Jurusan : 1813030080/V-HTN-B
Mata Kuliah : Metodologi Istinbath Hukum Islam
Dosen Pengampu : Alfadli., M.Ag.
Tugas 16
Mereview hasil tugas harian dan menjelaskan dengan bentuk ringkasan singkat
tentang menjelaskan berbagai sudut pandang yang digunakan dalam perumusan
norma dan penetapan aturan-aturan hukum yang bersumber dari teks-teks Al-
Qur’an dan As-Sunnah.
Merumuskan norma dan menetapkan aturan-aturan hukum yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan menggunakan metode
pendekatan Istinbath hukum dari sisi kebahasaan dan sisi Maqashid Syari’ah
Sebelum masuk pada pembahasan inti mengenai sudut pandang yang
digunakan dalam perumsan norma dan penetapan aturan-aturan hukum yang
bersumber pada teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Disini akan dijelaskan
terlebih dahulu mengenai apa itu Istinbath dan penggunaan Istinbath.
Secara etimologis kata Istinbath berasal dari kata benda an-nabt, bentuk
Masdar dari Nabata Yanbutu-Nabtan, yang berarti air yang keluar dari dalam
sumur yang kali pertama digali. Adapun secara terminologis kata Istinbath berarti
upaya mengeluarkan makna dari nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang berkaitan
dengan hal-hal yang sulit dan penting dengan mencurahkan kekuatan nalar dan
kemampuan yang optimal. Pengertian secara istilah tersebut masih bersifat umum
sehingga Istinbath bisa saja dilakukan oleh ulama fiqh dan ulama yang ahli di
bidang selain Fiqh. Oleh karena itu, pengertian Istinbath secara terminologis harus
dibatasi pada wilayah fiqh (hukum Islam). Dengan adanya pembatasan pada
wilayah hukum Islam, maka secara ringkas Istinbath adalah upaya untuk menarik
hukum dari nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan jalan ijtihad.
Penggunakan istilah ijtihad memberikan isyarat bahwa Istinbath harus
dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah ushuliyyah sebagai pedoman
operasional dalam menjelaskan nash-nash syar’i berdasarkan perspektif hukum
Islam. Berkenaan upaya usaha pemahaman, penggalian dan perumusan hukum
disebut dengan istilah Istinbath dan fokus Istinbath adalah nash Al-Qur’an dan
As- Sunnah. Sedangkan pemahaman, penggalian dan perumusan hukum yang
dilakukan melalui metode qiyas, istishab, dan istislah dan dalil rasional lainnya
disebut ijtihad.
Objek utama yang akan di bahas dalam Ushul Fiqh adalah Al-Quran dan
sunah untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab tersebut para
Ulama telah menyusun semacam “sematik” yang akan digunakan dalam praktik
penalaran fiqh bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan
dalam berbagai tingkat kejelasanya untuk itu para ahlinya telah membuat
beberapa ketegori lafal atau redaksi diantanya yang sangat penting dan akan
dikemukakan berbagai masalah Amar, Nahi dan Takhyir (pilihan).
A. Pendekatan istinbath hukum dari sisi kebahasaan
Dalam perumusan hukum, menetapkan hukum Istinbath hukum
menggunakan pendekatan kebahasaan hal pertama yang mendapat perhatian dari
para ulama ushul fiqh adalah pengertian lafadz dalam kaitannya dengan posisi
lafadz di dalam kalimat. Kajian tentang lafadz yang dilakukan oleh ulama ushul
fiqh periode klasik, maka beberapa ulama kontemporer mencoba melakukan
klasifikasi dalam beberapa kategori.
Menurut an-Nasyimi, mengklasifikasikan kajian tentang lafadz dan
maknanya dalam empat kategori, yaitu:
1. Lafadz dilihat dari sisi makna yang diciptakan atau cakupannya.
Dalam lafadz ini yang termasuk kategori ini meliputi: ‘am, khas, dan
musytarak.
a. ‘Am
Ada beberapa rumusan definisi ‘am yang dapat diambil kesimpulan,
bahwasannya lafadz ‘am ialah:
1) Lafadz itu hanya terdiri dari satu pengertian secara tunggal
2) Lafadz tunggal itu mengandung beberapa afrad (satu
pengertian)
3) Lafadz yang tunggal itu dapat untuk setiap satuan pengertiannya
yang sama dalam penggunaannya
4) Bila hukum yang berlaku untuk satu lafadz, maka hukum itu
berlaku untuk afrad (satu pengertian) yang tercakup dalam lafadz
itu.
Menurut kalangan jumhur ulama, terdapat lafadz-lafadz shighat
‘am:
1) Adanya lafadz syarat, istifham, isim maushul
2) Adanya lafadz jama’ (kata ganda) yang menggunakan alif-lam
yang menunjukan jenis (jinsiyyah)
3) Adanya lafadz mufrod (kata tunggal) yang menunjukan alif-lam
jinsiyyah (menunjukan jenis)
4) Adanya lafadz nakirah dalam bentuk meniadakan
Lafadz ‘am dapat digunakan untuk perbuatan dan hukum,
contohnya dalam contoh dalam firman Allah SWT. Q.S. Al-Maidah:3:
yakni: ” diharamkannya bagimu bangkai ”
Dalam ayat ini, mengandung pengertian bahwasannya ditetapkan
hukum dalam Al-Qur’an ini mengenai bangkai, semua bangkai itu
haram hukumnya untuk dimakan.
Lafadz ‘am dilihat dari segi makna yang dimaksud dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu lafadz ‘am yang dimaksudkan untuk umum, lafadz
‘am tetapi yang dimaksud adalah khusus, dan lafadz ‘am yang berisfat
mutlak. Lafadz ‘am yang dimaksudkan untuk umum, yaitu ‘am yang
disertai dengan petunjuk yang menghilangkan kemungkinan untuk
dikhususkan. Lafadz ‘am yang seperti ini hukumnya qath’i ad-
dalalah.
b. Khas
Khas ialah membatasi lafadz ‘am kepada afradnya, maksudnya
menunjukan makna khusus terhadap suatu lafadz tersebut, dalilnya
khas disebut dengan mukhasis atau sesuatu yang mentakhshiskan.
Mukhasis terdapat dua macam yaitu: ada yang dari nash, ada yang
bukan dari nash. Lafadz khaṣ mempunyai empat bentuk, yaitu ‘amr,
nahy, muthlaq dan muqayyad. Sebagai berikut:
1) ‘Amr
Lafadz yang menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan sesuatu
yang berasal dari yang lebih tinggi kedudukan kepada pihak yang
rendah kedudukannya. Jumhur ulama berpendapat bahwa lafadz ‘amr
selalu menunjukkan pengertian wajib kecuali ada indikasi yang
menunjukkan pengalihan dari dalalah aslinya kepada hukum yang
lain. Jika indikasi menunjukkan makna ibahah, maka lafadz ‘amr akan
menunjukkan makna ibahah. Jika ada indikasi yang menunjukkan
makna nadb, maka lafadz amr akan menunjukkan makna nadb. Jika
ada indikasi yang menunjukkan makna irsyad, maka lafadz ‘amr akan
menunjukkan makna irsyad. Jika ada indikasi yang menunjukkan
makna ta’dib, maka lafadz amr akan menunjukkan makna ta’dib.
2) Nahy
Lafadz yang menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan
suatu perbuatan dari yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih
rendah. Para ulama ushul fiqh merumuskan beberapa kaidah yang
berhubungan dengan ditetapkannya hukum atau atauran larangan/nahy
antara lain:
a) Suatu larangan menunjukan hukum haram melakukan perbuatan
yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukan hukum
lain.
Contoh terdapat dalam firman Allah SWT.: “Dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”. (Q.S. al-Isra‟:
33).
Pada ayat ini, telah jelas pada lafadz “La Taqtulun..” (janganlah
kamu) disini ada indikasi larangan membunuh jiwa yang
diharamkan Allah SWT. untuk dibunuh.
b) Suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang
dilarang itu jika dikerjakan.
Kaidah ini disepakati apabila larangan berkaitan dengan
perbuatan atau perkataan yang esensinya memang diharamkan
(haram li zatihi), bukan diharamkan karena ada indikasi tertentu
(haram li ghairihi). Contoh dari perbuatan yang haram li zatihi
adalah larangan zina, larangan menjual bangkai, atau dalam
bidang ibadah seperti larangan shalat dalam keadaan tidak suci.
Larangan-larangan ini apabila tetap dikerjakan maka perbuatan
yang dilakukan menjadi batal.
c) Suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah
terhadap kebalikannya.
3) Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah lafadz yang menunjukkan satu makna dari
beberapa satuan yang menjadi cakupannya tanpa adanya ikatan yang
terpisah secara lafdzi. Sedangkan muqayyad adalah lafadz yang
menunjukkan satu makna dari beberapa satuan yang menjadi
cakupannya dengan disertai ikatan yang terpisah secara lafdzi.
Contoh lafadz muthlaq terdapat dalam Q.S Al-Baqarah: 234 yakni:
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan
dirinya (beriddah) empat bulan 10 hari...”
Pada ayat ini, menjelaskan pada lafadz ‘azwajan’ (istri-istri)
tersebut merupakan lafadz muthlaq karena tidak membedakan apakah
wanita yang dikatakan sebagai istri itu sudah pernah digauli oleh
suaminya itu atau belum.
c. Musytarak
Suatu lafadz (kata) yang menunjukan lebih dari satu makna yang
berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam
bahasa tersebut.
Contoh terdapat dalam firman Allah SWT. Q.S Al-Baqarah: 229:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Dalam ayat ini, pada lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah
syara’ yaitu melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah,
bukan diartikan secara bahasa yang berarti melepaskan ikatan secara
muthlaq.
2. Lafadz dilihat dari sisi penggunaannya terhadap makna. Kategori ini
meliputi Pertama, Haqiqah, yaitu kalimat yang mulanya digunakan dalam
arti yang ditetapkan oleh pengguna bahasa dan yang terlintas pertama kali
dalam benak jika dikatakan atau diucapkan. Kedua, Majaz, yaitu makna
yang berbeda dengan makna hakikat, yang mana majazi ini adanya
indikator yang mengalihkan dari makna aslinya. Contoh: “saya
mendengar Singa berpidato”. Maksud kata “singa” disini merupakan
indikator majazi kepada sifat pemimpin dari “singa” yang mana maksud
contoh tersebut ditujukan pada manusia. Ketiga, Sarih dan Kinayah, yaitu
Sarih adalah lafadz yang
maksudnya tidak tersembunyi karena sering digunakan, baik dengan
makna haqiqi atau makna majazi. Sedangkan yang dimaksud dengan
kinayah adalah lafadz yang tersembunyi maksudnya baik secara haqiqi
maupun majazi. Lafal sarih mempunyai akibat hukum secara langsung
kepada hal yang lain. Misalnya dalam masalah talak, bila suami berkata
kepada istrinya, “engkau aku cerai”, maka dengan perkataan tersebut
terjadi penceraian sekalipun tidak disertai dengan niat. Sedangkan
kepastian hukum yang diakibatkan oleh lafadz kinayah sangat tergantung
dengan niat. Misalnya seorang suami berkata kepada istrinya, “Pulanglah
engkau ke rumah orang tuanmu”. Ucapan ini sangat tergantung pada niat
suami ketika mengucapkannya, jika suami bermaksud menceraikan
istrinya maka telah jatuh talak. Jika suami tidak bermaksud menceraikan
istrinya, maka tidak terjadi talak.
3. Lafadz dilihat dari sisi kejelasan dan tidaknya dalam menunjukkan makna.
Kategori ini meliputi dua kelompok yaitu:
a. Wadhih ad-dalalah adalah lafadz yang menunjukkan makna melalui
bentuk asalnya tanpa terikat oleh faktor lain. Wadhih ad-dalalah atau
lafadz yang jelas maknanya yang meliputi yaitu Pertama, Zahir, yaitu
lafadz yang menunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai pada
tingkat dzanni. Kedua, Nas, yaiu suatu lafadz yang menunjukkan
hukum yang jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun
mempunyai kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang
kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat
dari lafazh zahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah
(zaman Rasul). Ketiga, Mufassar, yaitu lafadz yang menunjukkan
kepada maknanya secara jelas dan rinci tanpa ada kemungkinan untuk
dipalingkan kepada pengertian lain (takwil) atau ditakhsis. Dan
Keempat, Muhkam, yaitu lafadz yang maknya sudah jelas berdasarkan
bentuknya sendiri dengan tingkat kejelasan yang kuat melebihi
kejelasan mufassar dan tidak memiliki kemungkinan untuk takwil atau
nasakh.
b. Ghair wadhih ad-dalalah adalah lafadz yang tidak jelas
penunjukkannya terhadap makna. Ghairu wadhih ad-dalalah atau
lafadz yang tidak jelas maknanya yang meliputi Pertama, Khafi, yaitu
lafadz yang sebenarnya sudah jelas maknanya, tetapi ketika diterapkan
pada masalah hukum lain yang mempunyai kemiripan dengan kasus
hukum yang disebutkan dalam teks mengalami ketidakjelasan.
Contoh: “Pencuri laki-laki dan perempuan potonglah tangan
keduanya”. (Q.S. al-Maidah: 38). Arti lafadz as-sāriq sebenarnya
sudah jelas yaitu orang yang mengambil harta yang bernilai milik
orang lain dalam tempat penyimpanannya secara sembunyi-sembunyi.
Ketidakjelasan timbul ketika menerapkan ayat tersebut kepada tukang
copet yang secara lihai bisa memanfaatkan kelalaian seseorng untuk
menguras hartanya. Kedua, Musykil, yaitu lafadz yang tidak jelas
makna yang dikehendaki yang disebabkan oleh lafadz itu sendiri,
sehingga untuk menemukan
makna yang dikehendaki harus dilakukan pemahaman yang intensif
dan didukung dengan petunjuk (qarīnah) yang menjelaskan makna
yang sebenarnya. Ketuga, Mujmal, yaitu lafadz yang maknanya tidak
jelas yang hanya bisa diketahui melalui penjelasan dari syari’ sendiri.
Dan Keempat, Mutasyabih, yaitu lafadz yang bentuknya sendiri tidak
menunjukkan kepada makna yang dimaksud, tidak ada indikasi yang
menerangkannya, dan syāri’ sendiri tidak menjelaskan maknanya.
4. Lafadz dilihat dari sisi cara pengungkapannya terhadap makna. Kategori
ini meliputi Pertama, Ibarah an-nas, yaitu pengertian yang ditunjukan oleh
lafadz secara langsung dari susunan kalimat dan makna tersebut
merupakan maksud dari lafadz itu. Kedua, Isyarah an-nas, yaitu
pengertian yang ditunjukan pada lafadz itu bukan hal itu yang dimaksud
sebenarnya. Ketiga, Dalalah an-nas, yaitu penunjukan oleh lafadz yang
tersurat terhadap apa yang tersirat dibalik lafadz itu. Dan Keempat, Iqtida’
an-nas, yaitu penunjukan lafadz terhadap suatu yang tidak disebutkan
secara eksplisit dalam nash, namun keabsahan dan kebenaran lafadz.
B. Pendekaran istinbath hukum dari sisi maqashid syari’ah
Maqashid Syari’ah merupakan kajian ushul fiqh yang mengalami
perkembangan pada era kontemporer. Kajian Maqashid Syari’ah ini selalu
dikaitkan dengan nama Imam Abu Ishaq asy-Syathibi, sebab beliau terkenal
dengan pembahasan Maqashid Syari’ah yang beliau tulis dalam kitabnya yang
bernama Al- muwafaqat. Maqashid itu dibagi ke dalam dua bagian, yaitu
Maqashid Syari’ah dan Maqashid Mukallaf. Jenis pertama, ada empat yang
diuraikan, yaitu:
1. Tujuan Syara’ menetapkan hukum adalah unutk kemashlahatan umatnya.
2. Hukum tersebut untuk dipahami secara baik, maka tidak aneh jika uslub
al-Qur’an begitu mengalir.
3. Hukum diadakan untuk mentaklifi (melatih) mukallaf.
4. Manusia sebagai objek hukum harus mengikuti ketentuan-ketentuan Syara’
serta tidak boleh menurut kehendak nafsunya sendiri.
Jadi bisa diartikan Maqashid Syari’ah mengarah pada tujuan
kemashlahatan bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat kelak. Baik secara
umum (Maqashid Syari’ah al-’Ammah) atau khusus (Maqashid al-Syari’ah al-
Khashshah). Adapun mengenai prinsip-prinsip Maqashid Syari’ah untuk menjaga
dan memperjuangkan tiga kategori hukum:
1. Al-maqashid ad-daruriyat, secara bahasa artinya kebutuhan yang
mendesak, menyesuaikan aspek-aspek kehidupan yang sangat penting dan
pokok keberlangsungannya urusan-urusan agama dan kehidupan yang
baik.
2. Al-maqashid al-hajiyat, yang berarti kebutuha, merupakan aspek-aspek
hukum dibutuhkan untuk meringankan beban yang teramat berat, sehingga
hukum dilaksanakan dengan baik.
3. Al-maqashid at-tashsiniyyat, berarti hal-hal penyempurnaan. Menunjuk
pada aspek-aspek hukum seperti anjuran untuk memerdekakan budak,
berwudhu sebelum shalat dan bersedekah kepada orang miskin.
Menurut Imam Syathibi, ada tiga metode dalam memahami Maqashid
Syari’ah :
1. Analisis terhadap lafal al-amr (perintah) dan al-nahiy (larangan)
pentingnya terlebih dahulu pahami yang terdapat dalam al-Qur’an dan
hadits secara cermat sebelum dihubungkan ke dalam persoalan-persoalan
yang lain.
2. Analisis ‘illah amr dan nahyi, pentingnya dari ‘illah amr dan nahyi agar
memberikan pemahaman maqashid syari’ah yang benar dan berdasar
terhadap hukum yang ada. ‘illah amr dan nahyi ada yang berbentuk
tersurat dan ada yang berbentuk tersirat.
3. Analisis terhadap as-sukut as-syar’iyyah al-’amal ma’a qiyam al-ma’na
al- muqtada lah (sikap diam as-syari’ dari pensyari’atan sesuatu).
Kandungan Maqashid Syari’ah adalah pada kemashlahatan.
Kemashlahatan tersebut melalui analisis maqashid syari’ah tidak hanya dalam arti
teknis. Tetapi, dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat sebagai
sesuatu yang mengandung nilai-nilai filosofis dari hukum-hukum yang
disyari’atkan tuhan kepada manusia.

Anda mungkin juga menyukai