BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah
Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam
menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang
rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul akan diketahui nash-nash yang syara’ dan hukum-hukum yang
ditunjukkannya.
Materi ini yang banyak dibahas secara mendalam oleh Ulama Ushul Fiqh sejak dulu,
karena masalah ini sering melahirkan perbedaan pendapat diantara mereka. perbedaan tersebut
terjadi karena berhubungan dengan kedudukan Hadis-hadis Ahad dengan keumuman Al-Qur’an,
Dari segi cakupan lafadz terhadap satuannya dibagi menjadi bentuk yang umum (‘am) dan
Khusus (khash). Sedang dari segi sifat dibagi menjadi bentuk yang muthlaq dan muqayyad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ‘Am
Seperti disimpulkan Muhammad Adib Saleh, lafadz ‘am (umum) ialah lafadz yang
diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi
Pembahasan Lafazh ‘am dalam ilmu Ushul fiqh mempunyai kedudukan tersendiri, karena
Lafazh ‘am mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam
menetapkan hukum. Dipihak lain, sumber hukum Islam pun, Al-Qur’an dan sunnah, dalam banyak
hal memakai lafazh umum yang bersifat universal. Lafaz ‘am ialah suatu lafaz yang menunjukkan
satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu2[2].
Maka yang dimaksud dengan ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk
menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan
sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.
a. Lafaz-lafaz ‘Am
d. Ayyu
f. Isim maushul
2[2] Juhaya S. Praja, IlmuUshul Fiqh, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2010), hlm.193
g. Idhafah
Para Ulama sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan
penolakan adanya takhsis adalah qat’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai
qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus
pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu
qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup
satuan-satuannya.
Menurut Hanafiyah dilalah ‘am itu qath’i, yang dimaksud qath’i menurut hanafiyah ialah :
Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk
menetapkan ke-qath’i-an lafazh ‘am, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila pada
Mereka beralasan, ”sesungguhnya suatu lafazh apabila dipasangkan pada suatu makna itu
Menurut Hanafiah sembelihan tanpa disertai dengan ucapan Bismillah tidak halal dimakan,
3[3] Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2003), hlm.199
“janganlah kamu semua makan (binatang sembelihan) yang belum disebut bismillah terhadap
binatang tersebut (ketika disembelih), karena itu adalah perbuatan dosa.” ( Al-An’am:121).
“Seorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah (ucapkanlah bismillah) atau
Adapun masalah selanjutnya yaitu pertentangan antara ‘am dan khas (ta’arudu al-‘am wa
al-khash), menurut Hanafiyah, apabila lafaz ‘am dan khas itu berbarengan waktu turunnya, maka
lafazh khas dapat mentakhis lafazh ‘am. Dan apabila berbeda waktu , maka berlaku konsep nasakh
mansukh.
Menurut Jumhur, hal tersebut tidak bisa dikatakan ta’arud, sebab fungsi lafazh khas disini
sebagai penjelasan terhadap ‘am, seperti nisab zakat hasil bumi. Menurut Jumhur Ulama, Nisab
“tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausaq.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Hanafiyah, Zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada nisab, baik sedikit
ataupun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang pada hadis yang kedua yang bersifat ‘am.
Sedangkan pada hadis yang khusus, yaitu hadis pertama, mereka menakwilnya, dan menyatakan
bahwa hadis tersebut berlaku pada zakat perdagangan. Mereka berpendapat bahwa lima ausaq itu
c. Pembagian ‘Am
Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan tertutupnya
“Dan tidak ada suatu binatang malata pun dibumi melainkan Allah- lah yang
member rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam bintang itu dan tempat
(QS.Hud/11:6)
Yang dimaksud dengan binatang malata dalam ayat tersebut adalah umum,mencakup
seluruh jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata dipermukaan bumi
Lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan
berdiam disekitar mereka tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dantidak
patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka dari pada mencintai diri Rasul
(at- Taubah/9:120)
Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang di maksud adalah makna
umumnya atau adalah sebagian cakupannya. Contohnya, ayat 228 surat al-Baqarah4[4]:
“Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthalaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas
dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya itu atau sebagian
cakupannya.
Berkaitan dengan lafal umum, perlu dibahas tentang takhsis. Seperti dikemukakan Khudari
Bik dalam bukunya Ushul Fiqh, takhsis adalah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan satu lafal
B. Khas
4[4] Ibid.hlm.198
Setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dan menurut kesepakatan
para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih
dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain.
Begitulah dipahami setiap lafal khas dalam al-Qur’an, selama tidak ada dalil yang
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti
selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu
kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’i-an dilalahnya tidak
terpengaruh5[5].
- Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu
memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq,selama tidak ada dalil yang membatasinya.
wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada
- Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa
hukum haram terhdap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkan
Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT. Yang berbunyi:
Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna
yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah
qatiyah.
Lafazh khas itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada
lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid
Menurut mazhab Hanafi, apabila khas bertentangan dengan ’am, maka khas bisa
mentakhsis ‘am jika keduanya datang bersamaan, sesuai dengan syarat takhsis yang mereka
tetapkan. dalam hal keduanya tidak bersamaan, bila ‘am datang belakangan berarti menasakh yang
khas, dan bila yang khas belakangan berarti menasakh sebagai satuan ‘am. Hal demikian
didasarkan atas prinsip mereka bahwa untuk mentakhsis dalil ‘am dan khas harus bersamaan
waktunya, keduanya mempunyai status yang qath’i dan masing-masing jelas tidak membutuhkan
Sedangkan jumhur fuqaha berpendapat bahwa ketidak ada pertentangan antara ‘am dan
khas, bila keduanya dihadirkan dalam waktu dan tempat yang sama, maka akan Nampak bahwa
yang khas berfungsi menjelaskan yang ‘am. Hal itu, disebabkan karena dalil am secara lahiriah
selalu mengandung kemungkinan untuk dijelaskan dengan tepat bisa diamalkan sesuai dengan arti
Contoh berikut akan menunjukkan bagaimana kedua metode tersebut diterapkan. Ada dua
hadis yang menerangkan tentang zakat tanaman, yaitu pertama sabda Nabi:
Artinya :“Tanaman yang disiram denga air hujan maka zakatnya sepersepuluh”.
Artinya : “Hasil tanaman yang kurang dari lima wasaq (satu wasaq sama dengan sepuluh kilogram)
Imam safi’i dan jumhur fuqaha memandang bahwa hadis yang kedua sebagai penjelas
terhadap hadis pertama, karena hadis yang pertama baru menerangkan dasar kewajiban zakat
tanaman dan ukurannya, sedang yang kedua menerangkan nishabnya. Tetapi Imam Abu Hanifah
dan pengikutnya mengatakan bahwa hadis yang kedua telah dinaskh oleh hadis yang pertama, yang
datang kemudian6[6].
6[6] Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT.Pustaka firdaus, 2010), Hlm.250
Dengan demikian menurut mereka nishab zakat tanaman itu tidak ada. Dalam contoh
tersebut terlihat bagaimana masing-masing menetapkan pandangannya yang pokok tentang ‘am
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lafadz ‘am (umum) ialah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan
Lafaz khas adalah lafaz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa
Ayyu
Isim maushul
Idhafah
Pembagian ‘am
1. Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan tertutupnya
2. Lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan
Setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dan menurut kesepakatan
para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak
Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu
memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya.
Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum
wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada
Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa
hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang
Lafazh khas itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada
lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid
apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, berbentuk amr
Home
About
Ekonomi Mikro
Fiqih
Ekonomi Makro
TESIS
PSTTI
Training & Pelatihan
FEB
jump to navigation
D. TAKWIL (Muawwal) 12
E. KHAS 15
F. ‘AMM 15
G. AMR (Perintah) 16
H. Nahayi (Larangan) 17
I. Mutlaq dan Muqayyad 17
Daftar Pustaka 20
Catatan Kaki 20
Pendahuluan
Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu
dipandang dari segi dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash
qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.
Yang dimaksud kalamiyyah ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu.
Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis ini di
antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya
para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila
kesalahan seseorang itu mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu
kafir, kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat.
Adapun ushuliyyah adalah seperti ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka
masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Mengenai masalah fiqhiyyah yang termasuk keadaan qoth’i yaitu shalat 5 waktu, zakat,
puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang
diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah itu adalah satu,
dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Setelah kita mengetahui yang qoth’i seperti tersebut, maka bisa ditarik garis sebagai berikut:
1. Apabila seseorang menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri dari maksud al-Syari’ (hal-
hal yang setiap Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena pengingkarannya tidak timbul
kecuali dari orang yang mendustakan syara’. (Misalnya orang mengingkari keesaan Allah,
mengingkari wajibnya shalat 5 waktu, wajib puasa Ramadhan dsb, maka pengingkarnya itu
adalah kafir).
2. Apabila masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan,
seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir, tetapi ia
bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya perempuan mengimami shalat
lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa).
3. Adapun masalah fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah ini
jadi tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu menurut orang yang
berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak (berdosa) pula menurut orang yang
mengatakan setiap mujtahid adalah tepat. 1
A. Pengertian dan fungsi Qaidah Ushuliyyah
Pengertian qaidah secara etimologi adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya
sesuatu. Atau dapat juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya). 2
Sementara itu Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan
global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah
penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah
ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu
umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan
dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali
ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu.
Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah
dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun
berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, shingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat
disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
Sedangkan perbedaannya :
Artinya:
Yang dipandang dasar(titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab
Khusus (latar belakang kejadian)
Artinya:
Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan
Dalil yang melarang.
Artinya:
Makna implicit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit.
f. AL-AMR LIL IJAB : Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib. Seperti contoh kasus fiqhnya
pada QS 5/1 (memenuhi janji adalah wajib).
Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh. Agar tidak
membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang menunjukkan hukum harus
jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara
‘itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafa).
Suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan atau nash.
Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih kuat disebut mujmal. Namun bila
ada makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang
disebut mujmal adalah lafazh yang cocok untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan
makna yang tidak dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan
pemakaiannya (Al-ghazali:145).
Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat), seperti lafazh guru’ bisa berarti
suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata majemuk (munkkab) seperti mukhathab yang
terdapat pada surat Al-baqarah: 237, yang bisa berarti suami atau wali. Terdapat juga pada kata
kerja seperti lafazh asas yang bisa berarti menghadap dan membelakangi, pada huruf seperti
pada wauataf bisa berarti memulai dan menyambungkan (dan).
Hukum melaksanakan lafazh mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan. Untuk
mengungkap lafazh tersebut dapat digunakan beberapa teori yang telah di ungkapkan oleh para
ulama terdahulu. Demikian juga terdapat beberapa teori ulama tentang tingkat kejelasan lafazh
dan cara memadukan antara tingkatan-tingkatan jelas tidaknya suatu lafazh.Hal tersebut akan
diuraikan lebih lanjut.
Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan
Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan dengan bagan berikut:
Pembagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya di-takwil atau di-
nasakh. Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu Menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari
yang jelasnya bersifat sederhana (Zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan
super jelas (muhkam).
2.1 Pembagian Lafazh dari Segi Kejelasannya menurut Ulama Hanafiah
2.1.1 Zhahir
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui
bentuk lafazh itu sendiri.” ( Bazdawi, 1307 H. I:46)
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus
dipikirkan lebih dahulu.” ( As-Sarakhsi, 1372, I:164)
Untuk memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain, melainkan langsung dari
rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain,
sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
“Suatu lafazh yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa
menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu sendiri ,namun mempunyai kemungkinan
ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.(Muhammad Adib Salih,1984,I : 143)
Contoh : ” Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba.
Petunjuk tsb diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan Qarinah lain.
Masing-masing dari lafazh al-bay‘ dan ar-riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai
kemungkinan di-takhsis. Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkannya sesuai
petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, men-takwil-nya
atau me-nasakh-nya.
2.1.2 Nash
Nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari
rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan
qarinah.
Menurut bahasa, Nash adalah raf ‘u asy-syai atau munculnya segala sesuatu yang
tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah didefinisikan sebagai berikut:
“ Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan
lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi)
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari
sipembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.” (Al-Bazdawi)
Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud Nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum yang jelas, yang diambil menurut
alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang
kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir.
Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai Contoh, pada contoh Zahir sebelumnya, dilalahnya tidak adanya persamaan
hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang
menjelaskan hukum. Disini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual
beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan
bahasa.
Kedudukan hukum lafazh Nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan
petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis atau
menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil, takhsis, atau
nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir.
Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka
lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada
lafazh Nash.
2.1.3 Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan
jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa
Rasullullah masih bisa dinasakh. Menurut (As-Sarakhsi, 372 H. I: 165 ):
“ Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas
serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”
Dengan definisi ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada petunjuk zhahir
dan nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau
ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada.
Sebagai contoh firman Allah SWT:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi
kamu semuannya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa.” ( QS. At-Taubah : 36 )
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-
nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah Nash dan zhahir
maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan
artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa
di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
2.1.4 Muhkam
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu pasti dan
tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan
adanya nasakh.”
Sehingga Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan dilalah tegas dan
jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-takhsis, dan dinasakh
meskipun pada masa Nabi, lebih–lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah
:
Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya
‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman Allah SWT, tentang
haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan lafazh muhkam itu tidak bisa
di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair
dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.
Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud
asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada seluruh macam
dilalah yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka yang harus didahulukan adalah
dilalah muhkam.
”dan dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa kamu
mencari dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa :24)
yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat orang saja
(Nash).
”Dan jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap anak2 yatim (perempuan), maka
kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, empat.Maka jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil maka (hendaklah cukup satu saja, atau kawinilah
budak –budak yang kamu miliki…..” (QS. An-Nisa : 3).
Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan
dilalah nash lebih kuat daripada dilalah zhahir.
”Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasullullah dan tidak (pula) mengawini istri-
istrinya sesudah ia wafat selama- lamanya……” (QS. Al- Ahzab : 53)
Walaupun dihalakan menikahi wanita mana saja termasuk janda Rasullullah dengan syarat
tidak melebihi empat. Namun ayat Al-Ahjab ayat 53 mengharamkan mengawini janda
Rasullullah .Dengan demikian maka harus diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah
ayat ini muhkam.
Dari ‘Aisyah, ia berkata “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasullullah dan ia
berkata “sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bisa
bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat ?” Rasullullah menjawab. “tidak, Karena
mustahadah bukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah
dan berwudulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan
mustahadah.”( As-Syaukani, I : 299 ).
Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “berwudulah setiap waktu shalat.” (Az-Zayla’i,
I, t,t : 125).
Pada hadits pertama wanita mutahadah wajib berwudu untuk setiap shalat, sekali saja.
sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu seluruh shalat, sehingga berlaku untuk
beberapa kali, dengan satu wudu selama waktu untuk melakukan shalat itu masih ada.
Hadis riwayat pertama berbentuk Nash, sedangkan hadis riwayat yang kedua berbentuk
mufassar. Sehingga harus mendahulukan hadis kedua, karena termasuk mufassar.
“..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu” ( QS. Ath-
Thalaq : 2) dengan surat An – Nur ayat 4:
Ayat pertama termasuk mufassar, diterimanya kesaksian yang adil dari siapa saja. Ayat
kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima kesaksian orang yang
menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia bertobat. Dalam hal ini menurut sebagian ulama
digunakan ayat yang kedua.
Menurut Imam Syafi’i tingkatan Kejelasan Lafazh hanya dua, yang tidak membedakan
antara zhahir dengan nash. Pada perkembangan selanjutnya, setelah Imam Asy-Syafi’i,
nash dan zhahir ini dibedakan pengertian masing-masing, Nash adalah suatu lafazh yang
tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan
untuk ditakwil. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Gazali, “Suatu lafazh yang sama sekali
tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, baik takwil dekat maupun takwil jauh.“ Dan ”
Lafazh yang tidak mungkin ditakwil, yang diterima serta muncul dari dalil. Adapun
kemungkinan yang didukung dengan dalil maka lafazh itu tidak keluar dari lafazh nash.”
(Al–Gazali, I, 1322 H, : 385- 386).
3.1.1 khafi
Menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut istilah,
”suatu lafazh yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal baru yang ada diluar lafazh
itu sendiri, sehingga arti lafazh itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam.” (Al-
Dabusi)
”suatu lafazh zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafazh itu sendiri menjadi tidak jelas
karena ada hal baru yang mengubahnya, sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan
lain, kecuali dengan penelitian yang mendalam.” (Muhammad Adib Salih, 1982 : 230).
Sebagai contoh pengertian lafazh as-sariq yang tegas pada orang yang mengambil harta
berharga milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki, pada tempat yang terpelihara.
Jika pengertian ini diterapkan pada masalah lain yang sama, seperti pencopet, pencuri
barang-barang dalam kuburan, korupsi, maka lafazh itu sendiri menjadi tidak tegas.
3.1.2 Musykil
Musykil menurut bahasa ialah sulit, atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya,
sedangkan menurut istilah,
”suatu lafazh yang tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil dan
qarinah”. (As-Sarakhsi, I, 1372 H : 168).
”yang dimaksud musykil adalah suatu lafazh yang tidak jelas maksudnya karena ada unsur
kerumitan, sehingga untuk mengetahui maksudnya diperlukan adanya qarinah yang dapat
menjelasan kerumitan itu,dengan jalan pembahasan yang mendalam.” (Muhammad Adib
Salih,1982,I:254).
Perbedaan antara khafi dan musykil itu terletak pada dzatiah lafazh itu sendiri. Oleh sebab
itu, musykil lebih tinggi kadar kemubhamannya daripada khafi. Sebagai contoh kata an-
na pada surat Al Baqarah : 223 yang berarti: kaifa, aina, dan mata. Mana yang lebih cocok
dari ketiga makna tersebut. Para ulama ada yang mengambil pengertian kaifa, seperti Ibnu
Abbas dan Ikrimah dan lain- lain. Mereka mengartikan ayat itu adalah boleh menggauli
istri bagaimana maunya, kecuali pada dubur dan diwaktu haid. Ada yang mengartikan,
selagi ia menghendakinya.
3.1.3 Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah,
”lafazh yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat
mujmal (Syari’)” (As-Sarakhsi,I,1372H :168)
Jadi mujmal itu adalah suatu lafazh yang dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami maksudnya,
kecuali bila ada penjelasan dari syara’. Ketidakjelasannya dapat karena peralihan lafazh
dari makna yang jelas pada makna khusus yang dikehendaki syara’, karena sinonim lafazh
itu sendiri, ataupun karena lafazh itu ganjil artinya.
Karena penjelasan mujmal diperoleh dari syara’bukan hasil ijtihad sehingga mujmal lebih
tinggi kadar khafa-nya daripada musykil. Contohnya lafazh shalat, menurut bahasa berarti
doa, tetapi menurut istilah syara’adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan
oleh Rasullullah.
Namun keharusan adanya penjelasan dari syara’tentang lafazh mujmal itu timbul
masalah, yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat memberikan
penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-Quran. Oleh sebab itu untuk
mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus melihat nash Al-Quran.
3.1.4 Mutasyabih
Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan dan atau
simpang siur. Atau lafazh yang tidak ditunjukkan oleh lafazhnya itu sendiri kepada
maksudnya itu dan tidak terdapat qarinah luar yang menerangkannya. 3 Menurut istilah,
berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah ”suatu lafazh yang maknanya tidak jelas dan
juga tidak ada penjelasan dari syara, baik Al-Quran maupun Sunah, sehingga tidak bisa
diketahui oleh semua orang, kecuali orang- orang yang mendalam ilmu pengetahuannya”
(Asy-Syarakhsi, I, 1372 H.: 169).
Pendapat golongan Mutakallimin (syafi’iyyah) secara umum dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna yang dimaksud,
tetapi petunjuknya tidak jelas, sehingga makna yang dimaksud lafazh itu memerlukan
penjelasan, seperti, lafazh shalat dan zakat. Sebagian mereka ada yang menyamakan lafazh
mutasyabih dengan mujmal, yaitu suatu lafazh yang tidak jelas maknanya, dan ada pula
yang membedakan antara mujmal dan Mua’wwal. Hanya saja perbedaan antara mujmal
dengan Mua’wwal terletak pada kuat (rajih) dan lemah (marjuh) makna yang di maksud.
Makna yang dimaksud pada lafazh muawwal adalah lemah (marjuh), sedangkan makna
yang terdapat pada lafazh mujmal adalah kuat (rajih).
Jadi dalam hal ini dalam lafazh mutasyabih adalah lemah (marjuh), Al-asnawi menegaskan
bahwa lafazh mutsayabih itu tidak mempunyai makna yang kuat. Dari aspek ini, lafazh
mutsayabih sama dengan mu’awwal atau mempunyai makna yang sama dari berbagai
makna, sehingga dari aspek ini ia termasuk lafazh mujmal. Oleh karena itu, mutsayabih
lebih umum daripada lafazh mujmal dan mu’awwal.
D. TAKWIL (Muawwal)
Secara etimologi berarti At-Tafsir, Al-Marja’, Al-Mashir, sehingga dari sudut bahasa mengandung
arti Tafsir (penjelasan, uraian), atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali), atau Al-
Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya), Menurut istilah,
”Sesungguhnay takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang
bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna
yang ditunjukkan oleh lafaz zhair.” (Imam Ghozali)
”Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang
didukung dalil.” (Imam Al-Amudi)
”takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain, tetapi bukan
zhahir-nya.”(Abu Zarhah).
Menurut Prof. Dr. Mahmud Basuni Faudah, Takwil berarti ungkapan atau penjelasan suatu
pandangan.4 Kata takwil dapat ditemukan pada QS. Ali Imran 7, An Nisa 59, Yusuf 44, Yusuf 100.
Ulama salaf à menegaskan, takwil adalah:
Menafsirkan kalimat dan menerangkan artinya, baik arti tersebut sama dengan bunyi lahiriah
kalimat tersebut, ataupun berlawanan dengannya. (cakupannya: bab ilmu, dan rangkaian
kalimat/keterangan seperti tafsiran, komentar, dan penjelasan).
Esensi dari apa yang dikehendaki oleh suatu kalimat. (cakupannya: esensi perkaran-perkara yang
didapati di luar, baik terjadi pada masa lampau ataupun yang akan datang).
1. Objek Takwil
Kajian takwil kebanyakan adalah furu’ selain itu juga hal-hal yang jelas dan nash. Kajian takwil
tidak mencakup nash-nash yang qath’i baik khusus maupun umum, tidak menyangkut hukum-
hukum agama penting lainnya yang mudah ataupun sulit yang dipahami yang merupakan dasar-
dasar syari’at, dan tidak mencakup peraturan-peraturan syari’at yang bersifat umum, demikian
pula tidak mencakup muzmal yang ditafsirkan dengan dalil-dalil qath’i. Takwil juga tidak
membahas lafazh-lafazh yang musytarak, karena lafazh musytarak merupakan lafazh yang
ditetapkan untuk dua arti atau lebih yang dilakukan dengan sengaja berdasarkan hakikatnya.
Takwil pada dasarnya mencakup arti yang lemah yang memerlukan dalil untuk memperkuat
praduga hasil takwil tersebut, sehingga artinya kuat, sehingga dalil penunjangnya harus lebih kuat
daripada dalil penunjang arti secara bahasa.
Semua dalil yang digunakan harus sesuai dengan syara’ dan dianggap hujjah dalam syara’.
2. Ijma’
7. hikmah syariat atau tujuan syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud yang
berhubungan dengan kemashlahatan, perekonomian, politik, dan akhlak
8. Qiyas
10. Kecendrungan memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan merupakan dasar
umum dalam pembinaan syariat yang bersifat ijtihadi, atau ijtihad dengan ra’yu
Setiap mujtahid diharuskan untuk berpegang teguh pada arti zahir yang kuat dan tidak boleh
mengamalkan berdasarkan arti lainnya yang dipandang lemah, meskipun sama-sama benar, selama
tidak ada dalil lain yang kuat dan sahih.
4. Landasan Takwil
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan mengambil
ketetapan hukumnya. Takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan
bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan dalil.
Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-istimbath hukum
dari nash dengan menggunakan takwil
jika arti nash itu sudah tentu mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i, maka tidak boleh
ditakwilkan dengan akal.
Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti, wajib
mengamalkan sesuai maknanya.
Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti yang lain sepanjang berdasar pada dalil,
bahkan diwajibkan untuk untuk mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.
5. Syarat Takwil
Lafaz yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya. Dalam
hal ini dalil-dalil yang yang telah ditafsirkan tidak bisa ditakwil. Menurut Hanafiayah takwil
itu boleh sekalipun pada nash yang zahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syariat
islam.
Jadi “Dan ibu-ibu yang tidak sakit untuk menyusui anak-anak mereka sesuai kebiasaan
adat, maka mereka menyusui anak mereka”
Penetapan harga ketika negara sedang dalam krisis karena seperti itu berlandaskan pada
kemaslahatan umum.
Keadaan umum maksudnya kemerdekaan umum atau dasar kebolehan sesuai firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 29.
“Dia-lah yang telah menjadikan untuk kamu semua apa-apa yang ada di bumi”
Diantaranya kemerdekaan jual beli, Rasulullah mengkhususkan kemerdekaan tersebut
dalam muamalah dengan melarang jual beli yang menggambarkan adanya penghinaan
terhadap makanan, demikian pula larangan jual beli gharar dan yang mengandung riba.
Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual, atau majaz, bisa juga
menckup azas yang berasal dari pemakian yang sudah dikenal atau adat syara’
Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i karena nash tersebut bagian dari aturan
syara’ yang umum
Arti dari dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil.
“…apabila kamu hendak mengerjakan sholat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampi siku..”
Arti zahir dari ayat tersebut adalah mengharuskan berwudhu setelah mengerjakan sholat.
Pemahaman seperti ini bertentangan dengan starat sahynya sholat yang mengharuskan
berwudhu terlebih dahulu. Dan sayarat itu harus didahulukan, baik menurut akal maupun
syara’ agar sholatnya sah.
E. KHAS
Pegertiannya adalah “suatu lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui
(ma’lum) dan manunggal”
“Setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain
yang (musytarak).” (Al-Bazdawi).
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan suatu makna tertentu dengan pasti selama
tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Menurut Hanafiyah, sesungguhnya lafaz khas
sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan
lafazh-lafazh itu sendiri.
Contoh, dalam Al-qur’an “Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku”. Hanafiyah memandang
bahwa ruku’ dalam sholat itu sebagai mana lafaz khas untuk suatu perbuatan yang ma’lum, yaitu
condong dan berdiri tegak. Ruku’ yang diperintahkan itu merupakan fardhu sholat tanpa
tuma’minah, sebaliknya ad hadis yang memerintahkan tuma’minah, “Berdirilah dan sholatlah
karena engkau belum sholat.” Menurut mereka bila tuma’minah itu syarat sah sholat, berarti
merupakan penambahan atas lafazh kkas Al-Qur’an yang jelas. Sehingga tuma’minah tidak fardu.
Semetara menurut Golongan Syafi’i, tuma’minah yang disyaratkan oleh hadis ini merupakan
penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dan termasuk fardu dalam ruku’.
Lafas Khas kadang-kadang berbentuk mutlaq (tanpa dibatasi oleh suatu syarat qayyid apapun),
muqayyad (dibatasi oleh qayyid), amr (berbentuk perintah), dan nahy (berbentuk larangan).
F. ‘AMM
Lafazh ‘amm mempunyai tingkat yang luas, yaitu suatu makna yang mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna” (Hanafiyah), “Suatu
lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih” (Al-Ghazali), “Lafazh yang
mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu kata” (Al-Bazdawi).
Suatu lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis
adalah qath’i dilalah, dan yang disertai qarinah yang menunjukkan yang dimaksud itu khusus,
mempunyai dilalah yang khusus pula.
Menurut Hanafiyah, pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak
memerlukan penjelasan, oleh karena itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu,
karena dalam Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya
berwudhu. Sedangkan Jumhur Ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu berdasar hadis:
“Allah tidak menerima sholat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib
pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya”. Hadits ini
menunjukkan keharusan tertib dalam berwudhu, sementara menurut Hanafiyah, tertib itu hanya
sunat mu’akadah saja.
Sedangkan Imam Malik, tidak selamanya menjadikan khabar Ahad dapat mentakhsis lafazh ’amm
Al-Qur’an walaupun memandang lafazh ‘amm Al-Qur’an adalah zhanni. Ia kadang-kadang
berpegang pada lafazh ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang
mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an dengan khabar Ahad. Seperti :
“Dan Allah menghalakan (menikah) selain itu (yang telah disebut)” ditakhsis dengan hadits
“Wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”
Khabar Ahad yang dapat digunakan untuk mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an menurut Imam
Malik adalah Khabar Ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan Qiyas.
Menurut Hanafiyah, bila lafazh ‘amm dan khas itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khas
dapat mentakhsis lafazh ‘amm. Apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep masakh mansukh.
G. AMR (Perintah)
Amr adalah tuntutan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, demikan
definisi Jumhur Ulama. Definisi ini ditujukan pada semua kalimat yang mengandung perintah,
karena kalimat perintah itu terkadang menggunakan kalimat majazi (samar).
Hakikat amr itu adalah nadb menurut mazhab Abu Hasyim dan sekelompok mutakllimin dari
kalangan Mu’tazilah).
Amr itu musytarak antara wajib dan nadb, menurut pendapat Abu Mansur Al-Maturidi
Amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunjukkan maksudnya menurut Qadi Abu
Bakar, Al-Ghazali, dll.
H. Nahayi (Larangan)
Nahyi adalah kebalikan dari Amr yakni lafazh yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan
sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada bawahan.
”Dan apa-apa yang Rasul datangkan (perintahkan) kepada kamu semua taatilah, dan apa-apa
yang dilarang kepada kamu semua jauhilah.” (Al-Hasyr ayat 7)
Hakikat dalalah nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna,
kecuali bila ada suatu qarinah (Abdul Aziz Al-Bukhari)
Mutlaq adalah suatu lafazh yang menunjuk hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat
mempersempit keluasan artinya, sedangkan muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukkan
hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
Kaidah lafazh mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan
dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya
ataupun sebab hukumnya.
Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
Hukum dan sebabnya sama, disini para ulama sepakat bahwa wajibnya membawa lafazh
mutlaq kepada muqayyad.
Hukum dan sebabnya berbeda, dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya
memberlakukan masing- masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan
muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula
bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap
berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudu’)
dan hukumnya sama. Menurut Jumhur ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan
Hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq Kepada muqayyad. Oleh sebab itu,
mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya. Sedangkan ulama hanafiyah
tidak mewajibkan membawa lafazh mutlaq dan muqayyad.Oleh sebab itu, ulama
Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya ber-
beda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut ulama Hanafiyah tidak boleh membawa
mutlaq pada muqayyab, melainkan masing-masingnya berlakusesuai dengan sifatnya.Oleh
sebab itu, ulama Hanafiyah, pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba mukmin.
Sebaliknya, menurut jumhur ulama, harus membawa mutlaq kepada muqayyab secara
mutlak. Namun menurut sebagian ulama Syafi’iyah, mutlak dibawa pada muqayyab
apabila ada illat hukum yang sama, yakni dengan jalan qiyas. (Al-Amidi, 1968 : II : 112)
Dilalah mantuq didefinisikan sebagai petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu
sendiri. Dalam hal ini meliputi tiga dilalah yang dipakai dalam istilah Hanafiyah, yaitu ibarat,
isyarat, dan iqtida nash.
Sedangkan dilalah mafhum ialah petunjuk lafazh pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh
lafazh itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman. Dilalah mafhum tersebut dalam istilah
Hanafiyah disebut dilalah nash.
1. Mafhum
Mafhum al-mukhalafah adalah petunjuk lafazh yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir
dari lafazh itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh itu, yang hukumnya
bertentangan dengan hukum yang lahir dari mantuq-nya, karena tidak adanya batasan (kayd)
yang berpengaruh dalam hukum. (Lihat Ibnu Al-Hajib jilib II hal.172, al-Amidi jilid II:99, Al-
Mahalli,I:245 dan Zakiyuddin Sya’ban:43). Mafhum mukhalafah disebut juga dalil khitab.
Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan
hukum yang tidak disebut
Ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai salah satu metode
penafsiran nash-nash syara’. Tegasnya menurut mereka, mafhum mukhalafah itu bukan suatu
metode untuk penetapan hukum. Alasannya :
1. Sesungguhnya banyak nash syara’ yang apabila diambil mafhum mukhalafah akan rusak
pengertiannya, antara lain seperti ayat mengatakan bahwa berbuat zalim diharamkan hanya
pada empat bulan tersebut saja, sedangkan diluar itu tidak haram. Padahal berbuat zalim
itu diharamkan pada tiap saat.
2. Sifat- sifat yang terdapat pada nash syara’, dalam banyak hal bukan untuk pembatasan
hukum, melainkan untuk targib dan tarhib. Misalnya ayat yang mengatakan Sifat anak tiri,
adalah anak tiri yang ada dalam pemeliharaan. Apabila diambil mafhum mukhalafah-nya,
hal itu berarti mengawini anak tiri yang diluar pemeliharaan adalah halal. Padahal syara’
tetap mengharamkan.
3. Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka suatu nash yang
telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum
kebalikan hukum dari sifat tersebut. Pada kenyataannya penyebutan seperti itu banyak
ditemukan.
Menurut jumhur ushuliyyin, mfhum mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’.
Alasannya antara lain :
1. Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan
sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid (pembatasan) hukum selama tidak ada
dalil yang menunjukkan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk tarqib, tarhib, dan
tanfir.
2. Sikap Rasulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khathab dalam memahami mafhum
mukhalafah dari ayat 101 An-Nisa’ Namun, Rasulullah menjelaskan bahwa qasar shalat
dalam perjalanan diperbolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
Dengan sayarat :
1. Mafhum mukhalafah-nya itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, seperti
Mantuq atau mafhum muwafaqah.
2. Qayid atau pembatasan yang terdapat pada suatu nash tidak berfungsi yang lain.
3. Tidak ada dalil khusus yang membatalkan mafhum mukhalafah itu, seperti ayat:
Laki-laki tidak wajib diqisas apabila ia membunuh wanita, dibatalkan dengan ayat 45
surat Al-Ma’idah, dan hadis.(Abu Zahrah : 152)
Apabila qayid dalam hukum mantuq berlaku pada mafhum mukhalafah maka mafhum
mukhalafah ini bisa terdiri atas bermacam-macam qayid. Al-Amidi menghitung jumlah
mafhum itu sebanyak sepuluh macam, yaitu: mafhum sifat, mafhum illat, mafhum syarat,
mafhum a’dad, mafhum gayah, mafhum hasr, mafhum hal, mafhum zaman, dan mafhum
makna. Asy-Syaukani juga menyebutkan mafhum mukhalafah seperti itu, namun ia
memasukkan ketiga mafhum yang disebut terakhir pada mafhum sifat. (Asy-Syaukani, 1973:
181-183).
Daftar Pustaka
2. http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html
3. http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html
4. Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Rineka Cipta, Jakarta, 2005
5. Syafe’i, Prof. DR. Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 1999.
6. Sumber-sumber lain.
Catatan Kaki
1. (Idrus bin Ali bin Abdul kadir bin Hasan al-Jufri, http://idrusali85.wordpress.com/2007/08/08/masalah-ijtihad-ijtihad-istinbathi-dan-ijtihad-tathbiqi/)
2. Al-Asfahani : 409, Az-Jaidy: 171, dalam Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih; Bab VI, hal 251
Advertisements
Report this ad
Report this ad
Comments»
Reply
2. MUTLAQ & MUQAYYAD, MANTUQ & MAFHUM « Hinata's Blog - February 17, 2013
Reply
Reply
4. USHUL FIQH – Pendidikan - February 20, 2018
Reply
Leave a Reply
search
About...
Suheri
Grooming People
o Suheri
suherilbs
Error: Twitter did not respond. Please wait a few minutes and refresh this page.
Pages
o About
o Ekonomi Makro
o Ekonomi Mikro
Perilaku Konsumen
PERILAKU KONSUMEN II
Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
o FEB
o Fiqih
KAIDAH FIQHIYAH
Ushul Fiqh
Ushul Fiqih (Qaidah Ushuliyyah)
o PSTTI
o TESIS
o Training & Pelatihan
Blogroll
o All about IT Organisation
o Ideas and Obsession
o Motivation Center
o Online Business
o Suheri : Syariah Knowledge
o Suheri Center
Pesan dari Penulis (Suheri)
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Melalui media ini saya ingin memasyarakatkan Ilmu tentang
Ekonomi Syariah kepada khalayak. Kita tidak bisa mengamalkan suatu ibadah dengan
baik jika tidak disertai dengan Ilmu. Dan Orang tidak dapat mengerti dengan baik kenapa
sesuatu itu dilakukan jika mereka tidak mengetahui Ilmunya. Bahkan orang yang berilmu
pun sering sekali alpa, apalagi yang tidak berilmu. Melaui media ini saya berusaha
menjembatani antara pengetahuan tentang syariah dengan siapapun yang ingin mengerti
lebih jauh tentang Ilmu ini. Semoga membawa manfaat bagi kita semua. Amin..
Wassalam, Suheri
Tinta ilmu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Syar’u man qablaha adalah syariat atau ajaran-ajaran Nabi sebelum Islam yang
berkaitan dengan hukum. Seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa dan Isa. Menurut Abu
Zahran, syariat Samawi pada dasarnya satu. Apabila al-Qur’an atau al-Sunnah yang sahi
itu disyariatkan oleh Allah kepada para ummatnya yang telah mendahului kita melalui para
Rasulnya, dan telah dinashkan bahwasanya syariat itu diwajibkan kepada kita sebagaimana
diwajibkan kepada mereka. Maka
B. Rumusan masalah
1. Jelaskan pengertian urf?
2. Jelaskan pengertian Dzari’ah menurut bahasa dan menurut istilah ?
3. Siapa sajakah yang dimaksud sahabat nabi?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan syari’at sebelum kita?
5. Bagaimana mengamalkan hukum syari’at sebelum kita?
C. Tujuan
Mahasiswa mampu mengetahui:
1. Pengertian Urf dan pembagianya
2. Pengertian Dzari’ah menurt bahasa dan istilah
3. Siapa yang dikatakan sahabat nabi
4. Menjelaskan syari’ah sebelum kita
5. Mengamalkan syari’ah sebelum kita
BAB II
PEMBAHASAN
A. AL ‘URF
1. Ma’na Al ‘Urf menurut bahasa dan istilah
Menurut bahasa Urf adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh manusia.
Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh manusia baik berupa
ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal oleh manusia dan menjadi tradisi untuk
melaksanakannya ataupun meninggalkannya. Terkadang Urf juga disebut dengan adat
(kebiasaan).
Perbedaan Urf dengan Ijma’.
a. Urf adalah sesuatu yang disepakati oleh seluruh manusia.
b. Sedang Ijma’ adalah sesuatu yang disepakati oleh seluruh Mjtahid.
2. Urf dibagi menjadi dua.
a. Urf Sahih
Sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil
syara’, tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib.
Seperti adanya saling pengertian diantara manusia tentang kontrak borongan, pembagian
maskawin (mahar) yang didahulukan dan yang diakhirkan. Begitu juga bahkan istri tidak
boleh menyerahkan dirinya kepada suaminya sebelum ia menerima sebagian dari maharnya.
b. ‘Urf Fasid
Sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara’, atau
menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib.7[1]
3. Hukum Urf.
a. Urf sahih
Telah disepakati bahwa ‘Urf sahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum
dan pengadilan. Maka seorang Mujtahid diharuskan untuk memeliharannya ketika ia
menetapkan hukum. Begitu juga seorang Hakim harus memeliharanya ketika harus
mengadili.
7[1] Abdul wahab khalaf,ilmu ushul fiqih, jakarta,cet I 2003, hal 117
Dan syari’ pun telah memelihara ‘Urf bangsa arab yang sahih dalam membentuk
hukum, maka difardukanlah diat (denda), atas perempuan yang berakal, disyaratkan kafa’ah
(kesesuaian) dalam hal perkawinan, dan diperhitungkan pula adannya ‘ashabah ( ahli waris
yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan pembagiian harta pusaka).
b. ‘Urf fasid
Adapun ‘Urf yang rusak tidak diharuskan untuk memeliharanya, karena
memeliharanya itu berarti menentang dalil syara’atau membatalkan dalil syara’.
4. Kehujjahan ‘Urf
‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri.
Pada umumnya, ‘Urf ditunjukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menjunjung
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘Urf dikhususkan lafal yang
‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena ‘Urf pula terkadang qiyas itu ditingalkan.
Karena itu, sah mengadakan kontrak borongan apabila ‘Urf sudah terbiasa dalam hal ini,
sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang
ma’dum (tiada).8[2]
B. DZARI’AH
1. Pengertian
Dari segi bahasa adalah “ jalan menuju sesuatu” sebagian ulama’mengkhususkan
pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemandharotan. Tetapi pendapat itu ditentang oleh para ulama’ ushul lainya.
Diantaranya ibnu Qayyim Aj-jauziyah yang mengatakan bahwa dzari’ah tidak hanya
menyangkut hal yang dilarang, tetapi juga ada yang dianjurkan.
2. Pembagian Dzari’ah
a. Sadd adz-Dzari’ah
Menurut imam Asy-Syatibi adalah
“melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu
kerusakan (kemafsadatan)”.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd adz-Dzari’ah adalah perbuatan
yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir
dengan kerusakan.
Ada 3 kreteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang.
- Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
- Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.
- Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.
8[2] H. Rohman syafi’,ilmu ushul fiqih, cv pustaka setia, lingkar selatan, cet I, 1999, hal 129-131
) ٠١۸ : ( األنعام. . . وال تسبوا الذين يدعون من دون هللا فيسبون هللا عدوا بغير علم
“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”9[3]
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak dengan Malikiyah
dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sad al-dzari’ah adalah dalam niat dan
akad. Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah
akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun
maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah
SWT. Menurut mereka, selama tidak ad indikasi-indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku
maka berlaku kaidah :
Akan tetapi, jika tujuan orang berakad dapat ditangkap dari beberapa indicator yang ada,
maka berlaku kaidah :
Artinya :
“ Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafazh
dan bentuk formal (ucapan).”
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat
dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak
sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya
9[3] H. Rohman syafi’,ilmu ushul fiqih, cv pustaka setia, lingkar selatan, cet I, 1999, hal 132
sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara
Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja. Apabila
ada indicator yang menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’,
maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatanyya
dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya.
Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai salah satu
dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam
masalah hukum.
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa seagai mana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (Q.S. al Baqarah: 183)
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan, kepada orang-orang
terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa
10[4] H. Rohman syafi’,ilmu ushul fiqih, cv pustaka setia, lingkar selatan, cet I, 1999, hal 136--140
11[5] Abdul wahab khalaf,ilmu ushul fiqih, jakarta,cet I 2003, hal 129
hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti syariat Nabi Musa bahwa seorang
yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya kecuali dengan membunuh dirinya. Dan
jika najis yang menempel tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota yang terkena
najis itu.
Artinya: Oleh karena itu, kami tetapkan (suatu hukum bagi Bani Israil bahwa barang siapa
membunuh orang lain atau karena membuat kerusakan di muka bumi maka se akan-akan dia
telah membunuh-membunuh manusia seluruhnya. (Q.S. al Maidah:32)
Jumhur para ulama Hanafiyah, sebagaian ulama Malikiyah, dan sebgaian Syafi’iyah
berpendapat bahwa hukum tersebut disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban
mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta
tidak terdapat hukum yang manasakh-nya. Alasannya mereka menganggap bahwa hal itu
termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang tidak disyariatkan melalui para Rasul Nya dan
diceritakan kepada kita. Maka orang mukallaf wajib mengikutiya. Atas dasar itu, menurut
pendapat jumhur Hanafiah, orang islam yang membunuh orang dzimmi atau orang laki-laki
yang membunuh orang perempuan harus dihukum qishash, berdasarkan hukum yang telah
disyariatkan oleh Allah swt kepada kaum Bani Israil. Yaitu siapa yang membunuh seorang
manusia harus dibunuh pula, dengan tidak membedakan antara dzimmi atau bukan dan
antara laki-laki atau perempuan. Syariat yang berlaku pada orang-orang Bani Israil tersebut
masih tetap berlaku bagi umat islam, karena Al-qur’an menyebutkannya secara mutlak
“annan-nafsa bin-nafsi” (jiwa dengan jiwa” dan tidak ada dalil yang membatalkannya atau
mengkhususkannya.12[6]
Sebagian ulama menyatakannya bukan sebagai syariat bagi ummat islam. Sebab
syariat kita adalah menasakh (membatalkan) syariat yang telah ditetapkan kepada ummat
sebelum kita. Kecuali ada dalil yang menetapkannya sebagai syariat kita.
1. Pengertian
Yang dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat rasulullah SAW tentang
suatu kasus diaman hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah.
Sedangkan menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat
Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuanya dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan mazhab shahabi itu sendiri menunjuk
pengertian pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimana pendapat para sahabat tersebut
nerupakan hasil kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan
antara keduannya ialah,qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan,yang antara satu
pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan mazhab
shahabi merupakan pendapat bersama.
Namun ada juga pendapat lain yang memberikan defenisi mazhab shahabi tersebut. Beliau
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi adalah fatwa sahabat secara
perorangan. maksudnya adalah bahwa fatwah itu adalah mengandung suatu keterangan atau
penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usaha ijtihad. Namun perbedaan
pengertian ini tidaklah harus kita jadikan sebagai permasalahan, karena dari beberapa defenisi
12[6] Abdul wahab khalaf,ilmu ushul fiqih, jakarta,cet I 2003, hal 126
diatas tentang mazhab shahabi itu adalah mengarah pada pengertian yang sama, hanya saja
pengunaan bahasa yang sedikit berbeda. Oleh karena itu perbedaan pengertian yang ada
hanyalah sebuah tujuan penulis untuk mempermudah pembaca, agar lebih mudah untuk
diapahami. 13[7]
2. Kehujjahan
Dari uraian diatas, tidak di ragukan lagi bahwa pendapat para syahabat dianggap
sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa di jangkaui akal.
Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rosulullah seperti ucapan aisyah ra:
“ janin berada dalam kandungan ibunya tidak lebih dari dua tahun yaitu sekitar ukuran
yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
Contoh seperti ini tidak boleh menjadi topik ijtihad dan pendapat, karena jika benar,
sumbernya adalah dari rosulullah dan berarti termasuk hadits, meskipun secara lhiriyah
muncul dari syahabat.
Juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa ucapan syahabat, yang tidak ditentang oleh
ucapan syahabat yang lain adalah hujjah bagi kaum muslimin. Karena kesepakatan mreka atas
sesuatu hukum dari sesuatu kejadian yang berdekatan dengan zaman rosul, dan karena
pengetahuan mereka akan rahasia penetapan hukum syari’at pada banyak kejadian adalah
petunjuk bahwa mereka menggunakan dalil yang pasti.14[8]
13[7] Abdul wahab khalaf,ilmu ushul fiqih, jakarta,cet I 2003, hal 128
14[8] H. Rohman syafi’,ilmu ushul fiqih, cv pustaka setia, lingkar selatan, cet I, 1999, hal 141
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari Dzari’ah yang artinya ‘jalan menuju
sesuatu’. Sedangkan menurut istilah dzari’ah dikhususkan dengan’sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan pendapat ini ditentang
oeh para ulama’ ushul lainnya, seperti Ibnu Qayyim yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak
hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian
lebih tepat kalu dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yakni saad Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan
fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
Syar’u man qablana dalam pandangan para ulama salaf adalah syari’at-syari’at para
nabi terdahulu sebelum adanya syari’at Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Ada beberapa
pandangan dalam memahami syar’u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas
(takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan
syari’at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil
normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal tersebut. Selain itu, ada juga
ketentuan syar’u man qablana yang ditulis kembali dalam Alqur’an tetapi tidak ditemukan
ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya. Terhadap permasalahan ini, terjadi
perbedaan pandangan, ada yang memandang hal tersebut sebagai syari’at Islam ada pula yang
memandang sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul wahab khalaf,ilmu ushul fiqih, jakarta,cet I 2003, hal 128
H. Rohman syafi’,ilmu ushul fiqih, cv pustaka setia, lingkar selatan, cet I, 1999, hal 141