Anda di halaman 1dari 60

USHUL FIQH

Monday, May 25, 2015


Am & Khas

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah

Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam

menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang

rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul akan diketahui nash-nash yang syara’ dan hukum-hukum yang

ditunjukkannya.

Materi ini yang banyak dibahas secara mendalam oleh Ulama Ushul Fiqh sejak dulu,

karena masalah ini sering melahirkan perbedaan pendapat diantara mereka. perbedaan tersebut

terjadi karena berhubungan dengan kedudukan Hadis-hadis Ahad dengan keumuman Al-Qur’an,

dan kedudukan Qiyas terhadap nash-nash yang bersifat umum.

Dari segi cakupan lafadz terhadap satuannya dibagi menjadi bentuk yang umum (‘am) dan

Khusus (khash). Sedang dari segi sifat dibagi menjadi bentuk yang muthlaq dan muqayyad.
BAB II
PEMBAHASAN

A. ‘Am

Seperti disimpulkan Muhammad Adib Saleh, lafadz ‘am (umum) ialah lafadz yang

diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi

dengan jumlah tertentu1[1].

Pembahasan Lafazh ‘am dalam ilmu Ushul fiqh mempunyai kedudukan tersendiri, karena

Lafazh ‘am mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam

menetapkan hukum. Dipihak lain, sumber hukum Islam pun, Al-Qur’an dan sunnah, dalam banyak

hal memakai lafazh umum yang bersifat universal. Lafaz ‘am ialah suatu lafaz yang menunjukkan

satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu2[2].

Maka yang dimaksud dengan ‘am yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk

menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan

sekali ucapan saja. Seperti kita katakan “arrijal”, maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.

a. Lafaz-lafaz ‘Am

a. Kullun, jami’un, kaffatun dan ma’syara.

b. Man, Maa dan Aina pada Majaz

c. Man, Maa, Aina dan Mata untuk Istifham (pertanyaan)

d. Ayyu

e. Nakirah sesudah naïf

f. Isim maushul

1[1] Satria Effendi, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.196

2[2] Juhaya S. Praja, IlmuUshul Fiqh, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2010), hlm.193
g. Idhafah

h. Alif lam harfiyah3[3]

b. Dilalah Lafazh ‘Am

Para Ulama sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan

penolakan adanya takhsis adalah qat’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa lafazh ‘am yang disertai

qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus

pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafazh ‘am yang mutlaq tanpa disertai suatu

qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup

satuan-satuannya.

Menurut Hanafiyah dilalah ‘am itu qath’i, yang dimaksud qath’i menurut hanafiyah ialah :

“Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.”

Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsis sama sekali. Oleh karena itu, untuk

menetapkan ke-qath’i-an lafazh ‘am, pada mulanya tidak boleh di takhsis sebab apabila pada

awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalahnya zanni.

Mereka beralasan, ”sesungguhnya suatu lafazh apabila dipasangkan pada suatu makna itu

berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya.

Menurut Hanafiah sembelihan tanpa disertai dengan ucapan Bismillah tidak halal dimakan,

mereka berpegang pada ayat :

3[3] Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2003), hlm.199
“janganlah kamu semua makan (binatang sembelihan) yang belum disebut bismillah terhadap

binatang tersebut (ketika disembelih), karena itu adalah perbuatan dosa.” ( Al-An’am:121).

Mereka tidak mau mentakhsisnya dengan hadis Rasul yang berbunyi :

“Seorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah (ucapkanlah bismillah) atau

tidak.” (HR. Abu Dawud)

Sebab hadis ini zanni wurudnya sekalipun qath’i dilalahnya.

Adapun masalah selanjutnya yaitu pertentangan antara ‘am dan khas (ta’arudu al-‘am wa

al-khash), menurut Hanafiyah, apabila lafaz ‘am dan khas itu berbarengan waktu turunnya, maka

lafazh khas dapat mentakhis lafazh ‘am. Dan apabila berbeda waktu , maka berlaku konsep nasakh

mansukh.

Menurut Jumhur, hal tersebut tidak bisa dikatakan ta’arud, sebab fungsi lafazh khas disini

sebagai penjelasan terhadap ‘am, seperti nisab zakat hasil bumi. Menurut Jumhur Ulama, Nisab

zakat hasil bumi adalah lima ausaq, berdasarkan atas hadis.

“tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausaq.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menjadi pentakhsis terhadap hadis:


“Zakat hasil bumi yang diairi sumber air atau air air hujan adalah 10%, sedangkan zakat yang

diairi irigasi adalah 5%.” (HR.Al-Bukhari dan Ashabu Sunan)

Menurut Hanafiyah, Zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada nisab, baik sedikit

ataupun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang pada hadis yang kedua yang bersifat ‘am.

Sedangkan pada hadis yang khusus, yaitu hadis pertama, mereka menakwilnya, dan menyatakan

bahwa hadis tersebut berlaku pada zakat perdagangan. Mereka berpendapat bahwa lima ausaq itu

senilai dengan dua ratus dirham (Asy-Syaukani,III:3)

c. Pembagian ‘Am

 Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan tertutupnya

kemungkinan ada takhsis (pengkhususan). Misalnya,ayat 6 surat Hud:

“Dan tidak ada suatu binatang malata pun dibumi melainkan Allah- lah yang

member rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam bintang itu dan tempat

penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

(QS.Hud/11:6)

Yang dimaksud dengan binatang malata dalam ayat tersebut adalah umum,mencakup

seluruh jenis binatang tanpa kecuali, karena diyakini bahwa setiap yang melata dipermukaan bumi

adalah Allah yang member rezekinya.

 Lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan

makna seperti itu. Contohnnya :


“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk madinah dan orang-orang Arab Baduwi yang

berdiam disekitar mereka tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dantidak

patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka dari pada mencintai diri Rasul

(at- Taubah/9:120)

 Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang di maksud adalah makna

umumnya atau adalah sebagian cakupannya. Contohnya, ayat 228 surat al-Baqarah4[4]:

“Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali

quru. (QS. Al-Baqarah/2:228)

Lafal umum dalam ayat tersebut yaitu al-muthalaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas

dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya itu atau sebagian

cakupannya.

Berkaitan dengan lafal umum, perlu dibahas tentang takhsis. Seperti dikemukakan Khudari

Bik dalam bukunya Ushul Fiqh, takhsis adalah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan satu lafal

umum adalah sebagian dari cakupannya, bukan seluruhnya.

B. Khas

4[4] Ibid.hlm.198
Setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dan menurut kesepakatan

para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak

mengandung kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya.

 Contoh lafazh khas

Adalah ayat 89 surat Al-maidah:

maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu

dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada

mereka… (QS. Al-Maidah/5:89)

Kata ‘asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak lebih

dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain.

Begitulah dipahami setiap lafal khas dalam al-Qur’an, selama tidak ada dalil yang

memalingkannya kepada pengertian lain seperti makna majazi (metafora).

a) Hukum Lafazh Khash

Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti

selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu

kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke-qath’i-an dilalahnya tidak

terpengaruh5[5].

- Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu

memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq,selama tidak ada dalil yang membatasinya.

5[5] Juhaya S. Praja, IlmuUshul Fiqh,…, hlm.187


- Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberkan faedah berupa hukum

wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada

makna yang lain.

- Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa

hukum haram terhdap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkan

dari hal itu.

Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT. Yang berbunyi:

Mengandung pengertian khas, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna

yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah

qatiyah.

b) Macam-macam Lafazh Khas

Lafazh khas itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada

lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid

apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang

berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan).

C. Pertentangan antara Khas dan ‘Am

Menurut mazhab Hanafi, apabila khas bertentangan dengan ’am, maka khas bisa

mentakhsis ‘am jika keduanya datang bersamaan, sesuai dengan syarat takhsis yang mereka

tetapkan. dalam hal keduanya tidak bersamaan, bila ‘am datang belakangan berarti menasakh yang

khas, dan bila yang khas belakangan berarti menasakh sebagai satuan ‘am. Hal demikian
didasarkan atas prinsip mereka bahwa untuk mentakhsis dalil ‘am dan khas harus bersamaan

waktunya, keduanya mempunyai status yang qath’i dan masing-masing jelas tidak membutuhkan

penjelasan dari yang lain.

Sedangkan jumhur fuqaha berpendapat bahwa ketidak ada pertentangan antara ‘am dan

khas, bila keduanya dihadirkan dalam waktu dan tempat yang sama, maka akan Nampak bahwa

yang khas berfungsi menjelaskan yang ‘am. Hal itu, disebabkan karena dalil am secara lahiriah

selalu mengandung kemungkinan untuk dijelaskan dengan tepat bisa diamalkan sesuai dengan arti

keumumannya sampai diketahui ada dalil khas yang menjelaskan.

Contoh berikut akan menunjukkan bagaimana kedua metode tersebut diterapkan. Ada dua

hadis yang menerangkan tentang zakat tanaman, yaitu pertama sabda Nabi:

Artinya :“Tanaman yang disiram denga air hujan maka zakatnya sepersepuluh”.

Dan kedua sabda Nabi:

Artinya : “Hasil tanaman yang kurang dari lima wasaq (satu wasaq sama dengan sepuluh kilogram)

tidak ada zakat”.

Imam safi’i dan jumhur fuqaha memandang bahwa hadis yang kedua sebagai penjelas

terhadap hadis pertama, karena hadis yang pertama baru menerangkan dasar kewajiban zakat

tanaman dan ukurannya, sedang yang kedua menerangkan nishabnya. Tetapi Imam Abu Hanifah

dan pengikutnya mengatakan bahwa hadis yang kedua telah dinaskh oleh hadis yang pertama, yang

datang kemudian6[6].

6[6] Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT.Pustaka firdaus, 2010), Hlm.250
Dengan demikian menurut mereka nishab zakat tanaman itu tidak ada. Dalam contoh

tersebut terlihat bagaimana masing-masing menetapkan pandangannya yang pokok tentang ‘am

khas, jumhur memandang adanya pertentangan antara keduanya.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Lafadz ‘am (umum) ialah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan

pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu

Lafaz khas adalah lafaz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa

pengertian yang terbatas.

 Lafaz – lafaz ‘am

 Kullun, jami’un, kaffatun dan ma’syara.

 Man, Maa dan Aina pada Majaz

 Man, Maa, Aina dan Mata untuk Istifham (pertanyaan)

 Ayyu

 Nakirah sesudah naïf

 Isim maushul

 Idhafah

 Alif lam harfiyah

 Pembagian ‘am

1. Lafal umum yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil yang menunjukkan tertutupnya

kemungkinan ada takhsis (pengkhususan).

2. Lafal umum pada hal yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan

makna seperti itu


3. Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang di maksud adalah makna

umumnya atau adalah sebagian cakupannya

Setiap lafaz yang menunjukkan arti tunggal itulah lafaz khas. Dan menurut kesepakatan

para ulama, bahwa setiap lafaz yang khas menunjukkan pengertian yang qath’i (pasti), yakni tidak

mengandung kemungkinan-kemungkinan lain dalam pengertiannya.

 Hukum lafazh khas

 Apabila lafazh khas dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu

memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya.

 Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum

wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada

makna yang lain.

 Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa

hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang

memalingkan dari hal itu.

 Macam-macam Lafazh Khas

Lafazh khas itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada

lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid

apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, berbentuk amr

(perintah),berbentuk nahy (larangan).


`

Suheri : Syariah Knowledge


Share your Ideas for human prosperity

 Home
 About
 Ekonomi Mikro
 Fiqih
 Ekonomi Makro
 TESIS
 PSTTI
 Training & Pelatihan
 FEB

jump to navigation

Ushul Fiqih (Qaidah Ushuliyyah)


Pendahuluan 2

A. Pengertian dan fungsi Qaidah Ushuliyyah 3

B. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah 3

C. LAFAZH DAN DALALAHNYA 4

D. TAKWIL (Muawwal) 12

E. KHAS 15

F. ‘AMM 15

G. AMR (Perintah) 16

H. Nahayi (Larangan) 17
I. Mutlaq dan Muqayyad 17

Y. MANTUQ DAN MAFHUM 18

Daftar Pustaka 20

Catatan Kaki 20

Pendahuluan
Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu
dipandang dari segi dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash
qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.

Yang dimaksud kalamiyyah ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu.
Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis ini di
antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya
para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila
kesalahan seseorang itu mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu
kafir, kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat.

Adapun ushuliyyah adalah seperti ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka
masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa.

Mengenai masalah fiqhiyyah yang termasuk keadaan qoth’i yaitu shalat 5 waktu, zakat,
puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang
diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah itu adalah satu,
dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya adalah berdosa.

Setelah kita mengetahui yang qoth’i seperti tersebut, maka bisa ditarik garis sebagai berikut:

1. Apabila seseorang menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri dari maksud al-Syari’ (hal-
hal yang setiap Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena pengingkarannya tidak timbul
kecuali dari orang yang mendustakan syara’. (Misalnya orang mengingkari keesaan Allah,
mengingkari wajibnya shalat 5 waktu, wajib puasa Ramadhan dsb, maka pengingkarnya itu
adalah kafir).

2. Apabila masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan,
seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir, tetapi ia
bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya perempuan mengimami shalat
lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa).

3. Adapun masalah fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah ini
jadi tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu menurut orang yang
berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak (berdosa) pula menurut orang yang
mengatakan setiap mujtahid adalah tepat. 1
A. Pengertian dan fungsi Qaidah Ushuliyyah

Pengertian qaidah secara etimologi adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya
sesuatu. Atau dapat juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya). 2

Sementara itu Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan
global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah
penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah
ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu
umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.

Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan
dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali
ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu.

Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah
dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun
berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, shingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat
disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.

Sedangkan perbedaannya :

No. Qawaid Ushuliyyah Qaidah Fiqih


1. Dalil hukum Perbuatan mukallaf
2. Berlaku bagi seluruh juziyyah Berlaku bagi sebagian besar (aghlab)
juziyyah
3. Sebagai sarana istinbath Sebagai usaha menghimpun dan
hukum mendekatkan ketentuan hukum yang sama
untuk memudahkan pemahaman fiqih
4. Bersifat prediktif Bersifat wujud setelah ketentuan furu’
5. Bersifat kebahasaan Bersifat ukuran

B. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah

a. ُ‫ع ُم ْو اَ ْل ِع ْْٕب َرة‬ ِ ‫ص ْو الَ للّ ْف ِظ ا ِم‬


ُ َِ ‫ب‬ ٌ ‫ب َِ ُخ‬
ِ ‫ص‬ ِ ‫السََ َّ ََ َب‬
ِ ‫ب‬ ْ

Artinya:

Yang dipandang dasar(titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab
Khusus (latar belakang kejadian)

ِ ‫نِ ُع اْل َما َم قُ ِد نِ ُع اْل َما و اَل ُم ْقت‬


b. ‫َضي جْ ت َم َع ِاذَاا‬

Artinya:
Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan
Dalil yang melarang.

c. َ‫ص ِر بَلَ ِة ُمقَا فـ الَل ِة ِللــ ِدّ ة َ ِعب َْر ال‬


ْ َّ‫يْحِ الت‬

Artinya:

Makna implicit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit.

d. Lafazh nakirah dalam kalimat negatif(nafi) mengandung pengertian umum.

e. Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.

f. AL-AMR LIL IJAB : Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib. Seperti contoh kasus fiqhnya
pada QS 5/1 (memenuhi janji adalah wajib).

g. Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.

h. Dalalah lafazh mutlak dibawa pada dalalah lafazhmuqayyad.

i. Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.

C. LAFAZH DAN DALALAHNYA

1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan

Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh. Agar tidak
membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang menunjukkan hukum harus
jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara
‘itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafa).

Suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan atau nash.
Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih kuat disebut mujmal. Namun bila
ada makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang
disebut mujmal adalah lafazh yang cocok untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan
makna yang tidak dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan
pemakaiannya (Al-ghazali:145).

Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat), seperti lafazh guru’ bisa berarti
suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata majemuk (munkkab) seperti mukhathab yang
terdapat pada surat Al-baqarah: 237, yang bisa berarti suami atau wali. Terdapat juga pada kata
kerja seperti lafazh asas yang bisa berarti menghadap dan membelakangi, pada huruf seperti
pada wauataf bisa berarti memulai dan menyambungkan (dan).
Hukum melaksanakan lafazh mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan. Untuk
mengungkap lafazh tersebut dapat digunakan beberapa teori yang telah di ungkapkan oleh para
ulama terdahulu. Demikian juga terdapat beberapa teori ulama tentang tingkat kejelasan lafazh
dan cara memadukan antara tingkatan-tingkatan jelas tidaknya suatu lafazh.Hal tersebut akan
diuraikan lebih lanjut.

2. Tingkatan Lafazh dari Segi Kejelasannya.

Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan
Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan dengan bagan berikut:

Pembagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya di-takwil atau di-
nasakh. Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu Menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari
yang jelasnya bersifat sederhana (Zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan
super jelas (muhkam).
2.1 Pembagian Lafazh dari Segi Kejelasannya menurut Ulama Hanafiah

2.1.1 Zhahir

Berikut beberapa definisi tentang Zahir:

“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui
bentuk lafazh itu sendiri.” ( Bazdawi, 1307 H. I:46)

“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus
dipikirkan lebih dahulu.” ( As-Sarakhsi, 1372, I:164)

Untuk memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain, melainkan langsung dari
rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain,
sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:

“Suatu lafazh yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa
menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu sendiri ,namun mempunyai kemungkinan
ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.(Muhammad Adib Salih,1984,I : 143)

Contoh : ” Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba.
Petunjuk tsb diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan Qarinah lain.

Masing-masing dari lafazh al-bay‘ dan ar-riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai
kemungkinan di-takhsis. Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkannya sesuai
petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, men-takwil-nya
atau me-nasakh-nya.

2.1.2 Nash

Nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari
rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan
qarinah.

Menurut bahasa, Nash adalah raf ‘u asy-syai atau munculnya segala sesuatu yang
tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah didefinisikan sebagai berikut:

“ Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan
lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi)

“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari
sipembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.” (Al-Bazdawi)

Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud Nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum yang jelas, yang diambil menurut
alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang
kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir.
Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman Rasul).”

Sebagai Contoh, pada contoh Zahir sebelumnya, dilalahnya tidak adanya persamaan
hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang
menjelaskan hukum. Disini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual
beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan
bahasa.

Kedudukan hukum lafazh Nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan
petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis atau
menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil, takhsis, atau
nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir.
Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka
lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada
lafazh Nash.

2.1.3 Mufassar

Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan
jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa
Rasullullah masih bisa dinasakh. Menurut (As-Sarakhsi, 372 H. I: 165 ):

“ Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas
serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”

Dengan definisi ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada petunjuk zhahir
dan nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau
ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada.
Sebagai contoh firman Allah SWT:

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi
kamu semuannya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang
bertakwa.” ( QS. At-Taubah : 36 )

Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-
nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah Nash dan zhahir
maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan
artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa
di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.

2.1.4 Muhkam
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu pasti dan
tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan
adanya nasakh.”

Sehingga Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan dilalah tegas dan
jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-takhsis, dan dinasakh
meskipun pada masa Nabi, lebih–lebih pada masa setelah Nabi.

Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah
:

” Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”

Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya
‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman Allah SWT, tentang
haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan lafazh muhkam itu tidak bisa
di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair
dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.

Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud
asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada seluruh macam
dilalah yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka yang harus didahulukan adalah
dilalah muhkam.

2.2 Kegunaan Pembagian Lafazh Menurut Kejelasannya dan Pengaruhnya


terhadap penetapan Hukum

2.2.1 Pertentangan antara zhahir dan nash

Misalnya dihalalkannya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya (Zhahir)

”dan dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa kamu
mencari dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa :24)

yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat orang saja
(Nash).

”Dan jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap anak2 yatim (perempuan), maka
kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, empat.Maka jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil maka (hendaklah cukup satu saja, atau kawinilah
budak –budak yang kamu miliki…..” (QS. An-Nisa : 3).

Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan
dilalah nash lebih kuat daripada dilalah zhahir.

2.2.2 Pertentangan antara Muhkam dengan Nash


Misalnya, surat An-Nisa : 3 yang menghalakan menikahi wanita dengan dibatasi empat
orang (Nash). Dengan Al-Ahjab ayat 53:

”Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasullullah dan tidak (pula) mengawini istri-
istrinya sesudah ia wafat selama- lamanya……” (QS. Al- Ahzab : 53)

Walaupun dihalakan menikahi wanita mana saja termasuk janda Rasullullah dengan syarat
tidak melebihi empat. Namun ayat Al-Ahjab ayat 53 mengharamkan mengawini janda
Rasullullah .Dengan demikian maka harus diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah
ayat ini muhkam.

2.2.3 Pertentangan antara Nash dengan Mufassar

Dari ‘Aisyah, ia berkata “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasullullah dan ia
berkata “sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bisa
bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat ?” Rasullullah menjawab. “tidak, Karena
mustahadah bukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah
dan berwudulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan
mustahadah.”( As-Syaukani, I : 299 ).

Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “berwudulah setiap waktu shalat.” (Az-Zayla’i,
I, t,t : 125).

Pada hadits pertama wanita mutahadah wajib berwudu untuk setiap shalat, sekali saja.
sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu seluruh shalat, sehingga berlaku untuk
beberapa kali, dengan satu wudu selama waktu untuk melakukan shalat itu masih ada.

Hadis riwayat pertama berbentuk Nash, sedangkan hadis riwayat yang kedua berbentuk
mufassar. Sehingga harus mendahulukan hadis kedua, karena termasuk mufassar.

2.2.4 Pertentangan antara Mufassar dengan Muhkam

“..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu” ( QS. Ath-
Thalaq : 2) dengan surat An – Nur ayat 4:

“….dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya”

Ayat pertama termasuk mufassar, diterimanya kesaksian yang adil dari siapa saja. Ayat
kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima kesaksian orang yang
menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia bertobat. Dalam hal ini menurut sebagian ulama
digunakan ayat yang kedua.

2.3 Tingkatan- Tingkatan Kejelasan Lafazh menurut Mutakalimin (Syafi’iyyah)

Menurut Imam Syafi’i tingkatan Kejelasan Lafazh hanya dua, yang tidak membedakan
antara zhahir dengan nash. Pada perkembangan selanjutnya, setelah Imam Asy-Syafi’i,
nash dan zhahir ini dibedakan pengertian masing-masing, Nash adalah suatu lafazh yang
tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan
untuk ditakwil. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Gazali, “Suatu lafazh yang sama sekali
tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, baik takwil dekat maupun takwil jauh.“ Dan ”
Lafazh yang tidak mungkin ditakwil, yang diterima serta muncul dari dalil. Adapun
kemungkinan yang didukung dengan dalil maka lafazh itu tidak keluar dari lafazh nash.”
(Al–Gazali, I, 1322 H, : 385- 386).

3. Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasannya.

3.1 Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasan menurut Hanafiyah

3.1.1 khafi

Menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut istilah,

”suatu lafazh yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal baru yang ada diluar lafazh
itu sendiri, sehingga arti lafazh itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam.” (Al-
Dabusi)

”suatu lafazh zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafazh itu sendiri menjadi tidak jelas
karena ada hal baru yang mengubahnya, sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan
lain, kecuali dengan penelitian yang mendalam.” (Muhammad Adib Salih, 1982 : 230).

Sebagai contoh pengertian lafazh as-sariq yang tegas pada orang yang mengambil harta
berharga milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki, pada tempat yang terpelihara.
Jika pengertian ini diterapkan pada masalah lain yang sama, seperti pencopet, pencuri
barang-barang dalam kuburan, korupsi, maka lafazh itu sendiri menjadi tidak tegas.

3.1.2 Musykil

Musykil menurut bahasa ialah sulit, atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya,
sedangkan menurut istilah,

”suatu lafazh yang tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil dan
qarinah”. (As-Sarakhsi, I, 1372 H : 168).

”yang dimaksud musykil adalah suatu lafazh yang tidak jelas maksudnya karena ada unsur
kerumitan, sehingga untuk mengetahui maksudnya diperlukan adanya qarinah yang dapat
menjelasan kerumitan itu,dengan jalan pembahasan yang mendalam.” (Muhammad Adib
Salih,1982,I:254).

Perbedaan antara khafi dan musykil itu terletak pada dzatiah lafazh itu sendiri. Oleh sebab
itu, musykil lebih tinggi kadar kemubhamannya daripada khafi. Sebagai contoh kata an-
na pada surat Al Baqarah : 223 yang berarti: kaifa, aina, dan mata. Mana yang lebih cocok
dari ketiga makna tersebut. Para ulama ada yang mengambil pengertian kaifa, seperti Ibnu
Abbas dan Ikrimah dan lain- lain. Mereka mengartikan ayat itu adalah boleh menggauli
istri bagaimana maunya, kecuali pada dubur dan diwaktu haid. Ada yang mengartikan,
selagi ia menghendakinya.

3.1.3 Mujmal

Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah,

”lafazh yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat
mujmal (Syari’)” (As-Sarakhsi,I,1372H :168)

Jadi mujmal itu adalah suatu lafazh yang dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami maksudnya,
kecuali bila ada penjelasan dari syara’. Ketidakjelasannya dapat karena peralihan lafazh
dari makna yang jelas pada makna khusus yang dikehendaki syara’, karena sinonim lafazh
itu sendiri, ataupun karena lafazh itu ganjil artinya.

Karena penjelasan mujmal diperoleh dari syara’bukan hasil ijtihad sehingga mujmal lebih
tinggi kadar khafa-nya daripada musykil. Contohnya lafazh shalat, menurut bahasa berarti
doa, tetapi menurut istilah syara’adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan
oleh Rasullullah.

Namun keharusan adanya penjelasan dari syara’tentang lafazh mujmal itu timbul
masalah, yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat memberikan
penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-Quran. Oleh sebab itu untuk
mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus melihat nash Al-Quran.

3.1.4 Mutasyabih

Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan dan atau
simpang siur. Atau lafazh yang tidak ditunjukkan oleh lafazhnya itu sendiri kepada
maksudnya itu dan tidak terdapat qarinah luar yang menerangkannya. 3 Menurut istilah,

berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah ”suatu lafazh yang maknanya tidak jelas dan
juga tidak ada penjelasan dari syara, baik Al-Quran maupun Sunah, sehingga tidak bisa
diketahui oleh semua orang, kecuali orang- orang yang mendalam ilmu pengetahuannya”
(Asy-Syarakhsi, I, 1372 H.: 169).

3.2 Pembagian Lafazh Ditinjau dari Segi Ketidakjelasannya menurut Ulama


Mutakallimin

Pendapat golongan Mutakallimin (syafi’iyyah) secara umum dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna yang dimaksud,
tetapi petunjuknya tidak jelas, sehingga makna yang dimaksud lafazh itu memerlukan
penjelasan, seperti, lafazh shalat dan zakat. Sebagian mereka ada yang menyamakan lafazh
mutasyabih dengan mujmal, yaitu suatu lafazh yang tidak jelas maknanya, dan ada pula
yang membedakan antara mujmal dan Mua’wwal. Hanya saja perbedaan antara mujmal
dengan Mua’wwal terletak pada kuat (rajih) dan lemah (marjuh) makna yang di maksud.
Makna yang dimaksud pada lafazh muawwal adalah lemah (marjuh), sedangkan makna
yang terdapat pada lafazh mujmal adalah kuat (rajih).

Jadi dalam hal ini dalam lafazh mutasyabih adalah lemah (marjuh), Al-asnawi menegaskan
bahwa lafazh mutsayabih itu tidak mempunyai makna yang kuat. Dari aspek ini, lafazh
mutsayabih sama dengan mu’awwal atau mempunyai makna yang sama dari berbagai
makna, sehingga dari aspek ini ia termasuk lafazh mujmal. Oleh karena itu, mutsayabih
lebih umum daripada lafazh mujmal dan mu’awwal.

D. TAKWIL (Muawwal)

Secara etimologi berarti At-Tafsir, Al-Marja’, Al-Mashir, sehingga dari sudut bahasa mengandung
arti Tafsir (penjelasan, uraian), atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali), atau Al-
Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya), Menurut istilah,

”Sesungguhnay takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang
bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna
yang ditunjukkan oleh lafaz zhair.” (Imam Ghozali)

”Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang
didukung dalil.” (Imam Al-Amudi)

”Memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil (Wahab Khalaf).

”takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain, tetapi bukan
zhahir-nya.”(Abu Zarhah).

Menurut Prof. Dr. Mahmud Basuni Faudah, Takwil berarti ungkapan atau penjelasan suatu
pandangan.4 Kata takwil dapat ditemukan pada QS. Ali Imran 7, An Nisa 59, Yusuf 44, Yusuf 100.
Ulama salaf à menegaskan, takwil adalah:

Menafsirkan kalimat dan menerangkan artinya, baik arti tersebut sama dengan bunyi lahiriah
kalimat tersebut, ataupun berlawanan dengannya. (cakupannya: bab ilmu, dan rangkaian
kalimat/keterangan seperti tafsiran, komentar, dan penjelasan).

Esensi dari apa yang dikehendaki oleh suatu kalimat. (cakupannya: esensi perkaran-perkara yang
didapati di luar, baik terjadi pada masa lampau ataupun yang akan datang).

1. Objek Takwil

Kajian takwil kebanyakan adalah furu’ selain itu juga hal-hal yang jelas dan nash. Kajian takwil
tidak mencakup nash-nash yang qath’i baik khusus maupun umum, tidak menyangkut hukum-
hukum agama penting lainnya yang mudah ataupun sulit yang dipahami yang merupakan dasar-
dasar syari’at, dan tidak mencakup peraturan-peraturan syari’at yang bersifat umum, demikian
pula tidak mencakup muzmal yang ditafsirkan dengan dalil-dalil qath’i. Takwil juga tidak
membahas lafazh-lafazh yang musytarak, karena lafazh musytarak merupakan lafazh yang
ditetapkan untuk dua arti atau lebih yang dilakukan dengan sengaja berdasarkan hakikatnya.

2. Dalil-dalil penunjang takwil

Takwil pada dasarnya mencakup arti yang lemah yang memerlukan dalil untuk memperkuat
praduga hasil takwil tersebut, sehingga artinya kuat, sehingga dalil penunjangnya harus lebih kuat
daripada dalil penunjang arti secara bahasa.

Semua dalil yang digunakan harus sesuai dengan syara’ dan dianggap hujjah dalam syara’.

Dalil-dalil yang dipakai dalam takwi adalah sebagai berikut:

1. Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah

2. Ijma’

3. Kaidah-kaidah umum syariat yang siambil dari Al-Qur’an dan Sunnah.

4. Kaidah-kaidah Fiqh yang menetapkan bahwa pembentuk syariat memperhatikan hal-hal


yang bersifat juz’i tanpa batas

5. Hakikat kemaslahatan umat

6. Adat yang diucapkan dan diamalkan

7. hikmah syariat atau tujuan syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud yang
berhubungan dengan kemashlahatan, perekonomian, politik, dan akhlak

8. Qiyas

9. Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu (takwil qarib)

10. Kecendrungan memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan merupakan dasar
umum dalam pembinaan syariat yang bersifat ijtihadi, atau ijtihad dengan ra’yu

3. Takwil dihasilkan dari perubahan makna bukan perubahan Lafazh

Setiap mujtahid diharuskan untuk berpegang teguh pada arti zahir yang kuat dan tidak boleh
mengamalkan berdasarkan arti lainnya yang dipandang lemah, meskipun sama-sama benar, selama
tidak ada dalil lain yang kuat dan sahih.

4. Landasan Takwil
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan mengambil
ketetapan hukumnya. Takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan
bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan dalil.

Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-istimbath hukum
dari nash dengan menggunakan takwil

jika arti nash itu sudah tentu mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i, maka tidak boleh
ditakwilkan dengan akal.

Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti, wajib
mengamalkan sesuai maknanya.

Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti yang lain sepanjang berdasar pada dalil,
bahkan diwajibkan untuk untuk mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.

5. Syarat Takwil

Adapun sayat takwil adalah :

Lafaz yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya. Dalam
hal ini dalil-dalil yang yang telah ditafsirkan tidak bisa ditakwil. Menurut Hanafiayah takwil
itu boleh sekalipun pada nash yang zahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syariat
islam.

Takwil harus berdasar dalil shahih yang bisa menguatkan takwil

Takwil berdasarkan dalil adalah Maslahat

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh”

Jadi “Dan ibu-ibu yang tidak sakit untuk menyusui anak-anak mereka sesuai kebiasaan
adat, maka mereka menyusui anak mereka”

Penetapan harga ketika negara sedang dalam krisis karena seperti itu berlandaskan pada
kemaslahatan umum.

Mentaksis keadaan umum dengan kemaslahatan

Keadaan umum maksudnya kemerdekaan umum atau dasar kebolehan sesuai firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 29.

“Dia-lah yang telah menjadikan untuk kamu semua apa-apa yang ada di bumi”
Diantaranya kemerdekaan jual beli, Rasulullah mengkhususkan kemerdekaan tersebut
dalam muamalah dengan melarang jual beli yang menggambarkan adanya penghinaan
terhadap makanan, demikian pula larangan jual beli gharar dan yang mengandung riba.

Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil melalui bahasa

Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual, atau majaz, bisa juga
menckup azas yang berasal dari pemakian yang sudah dikenal atau adat syara’

Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i karena nash tersebut bagian dari aturan
syara’ yang umum

Arti dari dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil.

“…apabila kamu hendak mengerjakan sholat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampi siku..”

Arti zahir dari ayat tersebut adalah mengharuskan berwudhu setelah mengerjakan sholat.
Pemahaman seperti ini bertentangan dengan starat sahynya sholat yang mengharuskan
berwudhu terlebih dahulu. Dan sayarat itu harus didahulukan, baik menurut akal maupun
syara’ agar sholatnya sah.

E. KHAS

Pegertiannya adalah “suatu lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui
(ma’lum) dan manunggal”

“Setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain
yang (musytarak).” (Al-Bazdawi).

Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan suatu makna tertentu dengan pasti selama
tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Menurut Hanafiyah, sesungguhnya lafaz khas
sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan
lafazh-lafazh itu sendiri.

Contoh, dalam Al-qur’an “Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku”. Hanafiyah memandang
bahwa ruku’ dalam sholat itu sebagai mana lafaz khas untuk suatu perbuatan yang ma’lum, yaitu
condong dan berdiri tegak. Ruku’ yang diperintahkan itu merupakan fardhu sholat tanpa
tuma’minah, sebaliknya ad hadis yang memerintahkan tuma’minah, “Berdirilah dan sholatlah
karena engkau belum sholat.” Menurut mereka bila tuma’minah itu syarat sah sholat, berarti
merupakan penambahan atas lafazh kkas Al-Qur’an yang jelas. Sehingga tuma’minah tidak fardu.
Semetara menurut Golongan Syafi’i, tuma’minah yang disyaratkan oleh hadis ini merupakan
penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dan termasuk fardu dalam ruku’.

Lafas Khas kadang-kadang berbentuk mutlaq (tanpa dibatasi oleh suatu syarat qayyid apapun),
muqayyad (dibatasi oleh qayyid), amr (berbentuk perintah), dan nahy (berbentuk larangan).
F. ‘AMM

Lafazh ‘amm mempunyai tingkat yang luas, yaitu suatu makna yang mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.

“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna” (Hanafiyah), “Suatu
lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih” (Al-Ghazali), “Lafazh yang
mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu kata” (Al-Bazdawi).

Suatu lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis
adalah qath’i dilalah, dan yang disertai qarinah yang menunjukkan yang dimaksud itu khusus,
mempunyai dilalah yang khusus pula.

Menurut Hanafiyah, pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak
memerlukan penjelasan, oleh karena itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu,
karena dalam Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya
berwudhu. Sedangkan Jumhur Ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu berdasar hadis:

“Allah tidak menerima sholat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib
pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya”. Hadits ini
menunjukkan keharusan tertib dalam berwudhu, sementara menurut Hanafiyah, tertib itu hanya
sunat mu’akadah saja.

Sedangkan Imam Malik, tidak selamanya menjadikan khabar Ahad dapat mentakhsis lafazh ’amm
Al-Qur’an walaupun memandang lafazh ‘amm Al-Qur’an adalah zhanni. Ia kadang-kadang
berpegang pada lafazh ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang
mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an dengan khabar Ahad. Seperti :

“Dan Allah menghalakan (menikah) selain itu (yang telah disebut)” ditakhsis dengan hadits
“Wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”

Khabar Ahad yang dapat digunakan untuk mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an menurut Imam
Malik adalah Khabar Ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan Qiyas.

Menurut Hanafiyah, bila lafazh ‘amm dan khas itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khas
dapat mentakhsis lafazh ‘amm. Apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep masakh mansukh.

G. AMR (Perintah)

Amr adalah tuntutan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, demikan
definisi Jumhur Ulama. Definisi ini ditujukan pada semua kalimat yang mengandung perintah,
karena kalimat perintah itu terkadang menggunakan kalimat majazi (samar).

Ada tiga pendapat tentang amr ini, yaitu


Amr itu secara hakikat menunjukkan wajib dan tidak bisa berpaling pada arti lain, kecuali bila
ada qarinah (Al-Maidi, Asy-Syafii, para fuqaha, dan kaum mutakalimin).

Hakikat amr itu adalah nadb menurut mazhab Abu Hasyim dan sekelompok mutakllimin dari
kalangan Mu’tazilah).

Amr itu musytarak antara wajib dan nadb, menurut pendapat Abu Mansur Al-Maturidi

Amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunjukkan maksudnya menurut Qadi Abu
Bakar, Al-Ghazali, dll.

H. Nahayi (Larangan)

Nahyi adalah kebalikan dari Amr yakni lafazh yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan
sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada bawahan.

”Dan apa-apa yang Rasul datangkan (perintahkan) kepada kamu semua taatilah, dan apa-apa
yang dilarang kepada kamu semua jauhilah.” (Al-Hasyr ayat 7)

Hakikat dalalah nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna,
kecuali bila ada suatu qarinah (Abdul Aziz Al-Bukhari)

I. Mutlaq dan Muqayyad

Mutlaq adalah suatu lafazh yang menunjuk hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat
mempersempit keluasan artinya, sedangkan muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukkan
hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.

1. Bentuk-bentuk mutlaq dan muqayyad

Kaidah lafazh mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:

Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan
dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.

Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.

Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya
ataupun sebab hukumnya.

Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.

Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.

2. Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad


Pada prinsipnya para ulama sepakat baik hukum lafazh mutlaq maupun hukum lafazh
muqayyad itu wajib diamalkan kemutlakannya maupun kemuqoyyadannya. Namun dari lima
bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah:

Hukum dan sebabnya sama, disini para ulama sepakat bahwa wajibnya membawa lafazh
mutlaq kepada muqayyad.

Hukum dan sebabnya berbeda, dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya
memberlakukan masing- masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan
muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.

Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula
bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap
berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.

3. Hal- hal yang Diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad

Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudu’)
dan hukumnya sama. Menurut Jumhur ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan
Hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq Kepada muqayyad. Oleh sebab itu,
mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya. Sedangkan ulama hanafiyah
tidak mewajibkan membawa lafazh mutlaq dan muqayyad.Oleh sebab itu, ulama
Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.

Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya ber-
beda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut ulama Hanafiyah tidak boleh membawa
mutlaq pada muqayyab, melainkan masing-masingnya berlakusesuai dengan sifatnya.Oleh
sebab itu, ulama Hanafiyah, pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba mukmin.
Sebaliknya, menurut jumhur ulama, harus membawa mutlaq kepada muqayyab secara
mutlak. Namun menurut sebagian ulama Syafi’iyah, mutlak dibawa pada muqayyab
apabila ada illat hukum yang sama, yakni dengan jalan qiyas. (Al-Amidi, 1968 : II : 112)

Y. MANTUQ DAN MAFHUM

Dilalah mantuq didefinisikan sebagai petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu
sendiri. Dalam hal ini meliputi tiga dilalah yang dipakai dalam istilah Hanafiyah, yaitu ibarat,
isyarat, dan iqtida nash.

Sedangkan dilalah mafhum ialah petunjuk lafazh pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh
lafazh itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman. Dilalah mafhum tersebut dalam istilah
Hanafiyah disebut dilalah nash.

1. Mafhum

Selanjutnya mafhum terbagi menjadi mafhum muwafadah dan mafhum mukhalafah.


Mafhum muwafaqah adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang
tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini
sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Hal ini
dapat diketahui dengan pengertian bahasa, tanpa memerlukan pembahasan yang mendalam
ataupun ijtihad. Mafhum muwafaqah dikenal pula dengan nama fahwa al-khitab (untuk
masalah tak tertulis, petunjuk yang ditekankan oleh lafazh) dan lahn al-khitab (untuk masalah
yang sama tingkat hukumnya dengan masalah lain yang tidak tertulis, petunjuk yang terpancar
dari lafazh). Disebut mafhum muwafaqah karena hukumnya yang tidak tertulis sesuai dengan
hukum yang tertulis

Mafhum al-mukhalafah adalah petunjuk lafazh yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir
dari lafazh itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh itu, yang hukumnya
bertentangan dengan hukum yang lahir dari mantuq-nya, karena tidak adanya batasan (kayd)
yang berpengaruh dalam hukum. (Lihat Ibnu Al-Hajib jilib II hal.172, al-Amidi jilid II:99, Al-
Mahalli,I:245 dan Zakiyuddin Sya’ban:43). Mafhum mukhalafah disebut juga dalil khitab.
Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan
hukum yang tidak disebut

Ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai salah satu metode
penafsiran nash-nash syara’. Tegasnya menurut mereka, mafhum mukhalafah itu bukan suatu
metode untuk penetapan hukum. Alasannya :

1. Sesungguhnya banyak nash syara’ yang apabila diambil mafhum mukhalafah akan rusak
pengertiannya, antara lain seperti ayat mengatakan bahwa berbuat zalim diharamkan hanya
pada empat bulan tersebut saja, sedangkan diluar itu tidak haram. Padahal berbuat zalim
itu diharamkan pada tiap saat.

2. Sifat- sifat yang terdapat pada nash syara’, dalam banyak hal bukan untuk pembatasan
hukum, melainkan untuk targib dan tarhib. Misalnya ayat yang mengatakan Sifat anak tiri,
adalah anak tiri yang ada dalam pemeliharaan. Apabila diambil mafhum mukhalafah-nya,
hal itu berarti mengawini anak tiri yang diluar pemeliharaan adalah halal. Padahal syara’
tetap mengharamkan.

3. Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka suatu nash yang
telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum
kebalikan hukum dari sifat tersebut. Pada kenyataannya penyebutan seperti itu banyak
ditemukan.

Menurut jumhur ushuliyyin, mfhum mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’.
Alasannya antara lain :

1. Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan
sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid (pembatasan) hukum selama tidak ada
dalil yang menunjukkan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk tarqib, tarhib, dan
tanfir.
2. Sikap Rasulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khathab dalam memahami mafhum
mukhalafah dari ayat 101 An-Nisa’ Namun, Rasulullah menjelaskan bahwa qasar shalat
dalam perjalanan diperbolehkan sekalipun dalam keadaan aman.

Dengan sayarat :

1. Mafhum mukhalafah-nya itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, seperti
Mantuq atau mafhum muwafaqah.

2. Qayid atau pembatasan yang terdapat pada suatu nash tidak berfungsi yang lain.

3. Tidak ada dalil khusus yang membatalkan mafhum mukhalafah itu, seperti ayat:

Laki-laki tidak wajib diqisas apabila ia membunuh wanita, dibatalkan dengan ayat 45
surat Al-Ma’idah, dan hadis.(Abu Zahrah : 152)

Apabila qayid dalam hukum mantuq berlaku pada mafhum mukhalafah maka mafhum
mukhalafah ini bisa terdiri atas bermacam-macam qayid. Al-Amidi menghitung jumlah
mafhum itu sebanyak sepuluh macam, yaitu: mafhum sifat, mafhum illat, mafhum syarat,
mafhum a’dad, mafhum gayah, mafhum hasr, mafhum hal, mafhum zaman, dan mafhum
makna. Asy-Syaukani juga menyebutkan mafhum mukhalafah seperti itu, namun ia
memasukkan ketiga mafhum yang disebut terakhir pada mafhum sifat. (Asy-Syaukani, 1973:
181-183).

Daftar Pustaka

1. Idrus bin Ali bin Abdul kadir bin Hasan al-Jufri,


http://idrusali85.wordpress.com/2007/08/08/masalah-ijtihad-ijtihad-istinbathi-dan-
ijtihad-tathbiqi/

2. http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html

3. http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html

4. Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Rineka Cipta, Jakarta, 2005

5. Syafe’i, Prof. DR. Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 1999.

6. Sumber-sumber lain.

Catatan Kaki
1. (Idrus bin Ali bin Abdul kadir bin Hasan al-Jufri, http://idrusali85.wordpress.com/2007/08/08/masalah-ijtihad-ijtihad-istinbathi-dan-ijtihad-tathbiqi/)

2. Al-Asfahani : 409, Az-Jaidy: 171, dalam Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih; Bab VI, hal 251

3. Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bab III, hal 218


4. http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html

Advertisements
Report this ad
Report this ad

Comments»

1. Abahna Ghiyats - November 17, 2011

mwantap ustadz, syukran!!!

Reply
2. MUTLAQ & MUQAYYAD, MANTUQ & MAFHUM « Hinata's Blog - February 17, 2013

[…] https://suherilbs.wordpress.com/fiqih/ushul-fiqih/ […]

Reply

3. ‘Amm, Khash, Amar dan Nahyu | vinizikra - December 2, 2014

[…] https://suherilbs.wordpress.com/fiqih/ushul-fiqih/ […]

Reply
4. USHUL FIQH – Pendidikan - February 20, 2018

[…] https://suherilbs.wordpress.com/fiqih/ushul-fiqih/ […]

Reply

Leave a Reply

search

 About...
Suheri
Grooming People

o Suheri
 suherilbs
Error: Twitter did not respond. Please wait a few minutes and refresh this page.

 Pages
o About
o Ekonomi Makro
o Ekonomi Mikro
 Perilaku Konsumen
 PERILAKU KONSUMEN II
 Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
o FEB
o Fiqih
 KAIDAH FIQHIYAH
 Ushul Fiqh
 Ushul Fiqih (Qaidah Ushuliyyah)
o PSTTI
o TESIS
o Training & Pelatihan
 Blogroll
o All about IT Organisation
o Ideas and Obsession
o Motivation Center
o Online Business
o Suheri : Syariah Knowledge
o Suheri Center
 Pesan dari Penulis (Suheri)
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Melalui media ini saya ingin memasyarakatkan Ilmu tentang
Ekonomi Syariah kepada khalayak. Kita tidak bisa mengamalkan suatu ibadah dengan
baik jika tidak disertai dengan Ilmu. Dan Orang tidak dapat mengerti dengan baik kenapa
sesuatu itu dilakukan jika mereka tidak mengetahui Ilmunya. Bahkan orang yang berilmu
pun sering sekali alpa, apalagi yang tidak berilmu. Melaui media ini saya berusaha
menjembatani antara pengetahuan tentang syariah dengan siapapun yang ingin mengerti
lebih jauh tentang Ilmu ini. Semoga membawa manfaat bagi kita semua. Amin..
Wassalam, Suheri
Tinta ilmu

Rabu, 12 Juni 2013


mazhab-mazhab usul fiqih

1. Mazhab Hanafiah ( Tahun 80 – 180 H )


Pemikiran fiqh dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah.Ia dikenal sebagai
imam Ahlurra’yiserta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di
zamannya. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan.
Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama
mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya,
qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu.Mereka
dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.[1]
Pendiri madzhab Hanafi ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha.Dilahirkan pada masa
sahabat di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah, yaitu pada tahun 80 H atau 699
M.Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau
lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah An Nu’man bin Sabit bin Zauti.[2]
Semua literature yang mengungkapkan kehidupan Abu Hanafiah menyebutkan
bahwa Abu Hanafiah adalah seorang ‘alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, ‘abid,
wara’, taqiy, khusyu’ dan tawadhu’. Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak
bersandar pada ra’yun, setelah pada kitabullah dan As sunnah. Kemudian ia bersandar
pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes dikalangan para ulama yang
tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu hanafiah. Begitu pula halnya dengan
istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengundang reaksi
kalangan ulama.[3]
Iman hanafi disebutkan Sebagai Tokoh yang Pertama kali menyusun kitab fiqh
berdasarkan kelompok-kelompok yang berawaldari kesucian (taharah), Shalatdan
seterusnya, yang kemudian diikutioleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin
annas, Iman Safi’I, Abu Daud, Bukhari, Muslim dan lainnya. Pada akhir hayatnya Abu
Hanifah diracuni, sebagaimana yangdisampaikan dalam Kitab Al-Baar Adz-Dzahabi
berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman beracun kepada
imamAbu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid.Semoga Allah memberikan
rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada beberapa penyebar fitnah
yang tudak suka padan Abu Hanafiah dan member keterangan palsu pada Almashur
melakukan pembunuhan itu, kematiannya dekat, Abu Hanifah bersujud hingga beliau
meninggal dalam keadaan bersujud saat itu, dan ada sebuah riwayat mengatakan bahwa
ketika merasa ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada bulan Rajab tahun 150 H
dalam usia 70 tahun.[4]
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau
belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak
belajar pada ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu
Umar.[5]
Madzhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi madzhab
Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para
pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh
mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama
Irak ( Ahlu Ra’yi ).Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in.[6]
Dasar-dasar Fiqih Mazhab HanafiAbu Hanifah memang belum menetapkan dasar-
dasar pijakandalam berijtihad secara terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum
(ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermindalam
pernyataannya berikut, “Saya kembalikan segala persoalan padaKitabullah, saya
merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam
Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat
Nabi, dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada
Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib(semuanya adalah
tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihadsebagaimana mereka berijtihad
pengertian luas. Artinya jika nash Al-Qur’an dan Sunnah secara
jelas- jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu disebut“diambil dari Al-
Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash tadi menunjukkan secara tidak langsung atau
hanya memberikan kaidah-kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain
sebagainya,maka pengambilan hukum disebut “melalui qiyas”.[7]
Dasar-dasar Mazhab HanafiAbu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri
dari tujuh pokok, yaitu Al-Kitab, As Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al-Qiyas, Al-
Istihsan, Ijma’ dan Uruf.Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut:
1) Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)
2) Zufar bin Hujail bin Qais al-Kufi (110-158 H)
3) Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani (132-189 H)
4) Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maulana Al-Anshari ( wafat pada tahun 204 H).[8]
Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian
tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur.Mazhab hanafiah berkembag di masa
abbassyiah dinegeri Baghdad, mesir, Persia, Maghribi dan sebagian negera Yaman.Dan
sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan
Libanon.Dan madzhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan,
Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.[9]
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab
Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma’i.
Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW,
sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum
Islam dari kedua sumber tersebut.[10]
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah
menulis sebuah buku fiqh.Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh,
sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun
tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku
Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
1) Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
2) Bagian kedua al-Jami’ al-Kabir;
3) Bagian ketiga al-Jami’ as-Sagir;
4) Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
5) Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
6) Bagian keenam az-Ziyadah.[11]
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi
al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada
abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi
judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab
Hanafi.Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah
lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab
Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa
Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.[12]
Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi
(110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah
seorang ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah
langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang
banyak sekali menggunakan qiyas.[13]
Abu hanafiah dikenal sebagai imam ahlul, dalam menghadapi nas al-quran dan al-
sunnah, ia selalu menangkap pesan dibalik nas. Maka ia dikenal ahli dibidang ta’lil al-
ahkam dan qiyas. Dari pendiriannya itu dia memunculkan istihsan sampai sekarang
mazgab hanafi masih banyak penganutnya.[14]
2. Mazhab Maliki (Tahun 93 - 179 H)
Madzhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal
dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia.Nama
lengkap dari pendiri madzhab ini ialah Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun
93 M atau 712 M di Madinah.[15]
Seperti imam-imam yang lain, imam maliki menempatkan al-quran sebagai
sumber hokum pertama, kemudian al-hadist sedapat mungkin hadist yang muttawatir
atau masyur. Ia mau juga menggunakan hadist ahad sebagai dalil syari kalau memang
tidak ada dalil lain yang lebih kuat. Meskipun demikian ia kuat dalam seleksi hadist.[16]
Di antara langkah penting yang ditawarkan oleh mazhab malikindalam berijtihad
adalah penggunaan al-maslahah al-mursalah. Teori ini diilhami oleh suatu paham bahwa
syariah islam bertujuan mendatangkan manfaat, kesejahteraan, dan kedamaian bagi
kepentingan masyarakat dan mencegah kemudaratan. Menurut imam malik,
kepentingan bersama merupakan sasaran ke syariat islam.[17]
Dasar-dasar Fiqih Mazhab Maliki seperti halnya Imam Hanafi, Imam Malik
sebenarnya belum menuliskan dasar-
dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-
pemuka mazhab ini, murid-murid ImamMalik dan generasi yang muncul sesudah itu
menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya.Dari beberapa
isyarat yang ada dalam fatwa-fatwa dan bukunya al-Muwattha’, fuqaha malikiyah
merumuskan dasar-dasar mazhab maliki.Sebagian fugaha malikiyah menyebutkan
bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu nash literatur al-quran,
mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih ala’illah (pencarian kuasa
hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’, qiyas, tradisi orang-orang madinah, qaul
sahabat, istihsan, istihab, sadd al darai’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan
syar’u manqablana. Al-qurafi dalam bukunya tanqih al-ushul menyebutkan dasar-dasar
mazhab maliki sebagai berikut : al-quran, sunnah, ijma’, qiyas, tradisi orang-orang
madinah, qaul sahabat, istihsan, istihab, sadd al darai’, mura’at al khilaf, maslahah
mursalah dan syar’u manqablana. Bahkan Syatibi seorang ahli hokum mazhab maliki
menyedeharnakan dasar-dasar mazhab maliki kedalam empat hal, yaitu al-quran,
sunnah, ijma’ dan ra’yi (rasio).[18]
Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan
Imam Malik.Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadits Rasulullah
SAW.Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya
ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan
Ibnu Syihab Az Zuhri.Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin
Abdur Rahman.Imam Malik adalah imam ( tokoh ) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua
bidang fiqh dan hadits.Dasar-dasar madzhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai
tujuh belas pokok ( dasar ) yaitu:
1) Nashshul Kitab
2) Dzaahirul Kitab ( umum )
3) Dalilul Kitab ( mafhum mukhalafah )
4) Mafhum muwafaqah
5) Tanbihul Kitab, terhadap illat
6) Nash-nash Sunnah
7) Dzahirus Sunnah
8) Dalilus Sunnah
9) Mafhum SunnahTanbihus Sunnah
10) Ijma’
11) Qiyas
12) Amalu Ahlil Madinah
13) Qaul Shahabi
14) Istihsan
15) Muraa’atul Khilaaf
16) Saddud Dzaraa’i.[19]
Sahabat-sahabat Imam Maliki dan Pengembangan Mazhabnya,Di antara ulama-ulama
Mesir yang berkunjung ke Madinah dan belajar pada Imam Malik ialah:
1) Abu Muhammad IbnuWahab Ibnu Muslim Al Quraisy (tahun 125-197).
2) Abu Abdullah Abdur Rahman Ibnu Al Qasim al-Utaqy (wafat di mesir pada tahun 191 H)
3) Asyhab Ibnu Abdul Aziz al-Qaisy Al Djidiy (tahun 140 H-204 H)
4) Abu Muhammad Abdullah Ibnu Abdul Hakam Ibnu A’yun (tahun 155 H-214 H).
5) Asbagh Ibnu AlFadj al-Umawy, dan lain-lain.[20]
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan madzhab Maliki di Afrika dan Andalus
ialah:
1) Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman al-Qurthubi.
2) Isa bin Dinar al-Andalusi.
3) Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi.
4) Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As Sulami.
5) Abdul Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi.
6) Asad bin Furat.
7) Abdus Salam bin Said At Tanukhi.
Sedang Fuqaha-fuqaha Malikiyah yang terkenal sesudah generasi tersebut di atas adalah
sebagai berikut:
1) Abdul Walid al-Baji
2) Abdul Hasan Al-Lakhami
3) Ibnu Rusyd Al-Kabir
4) Ibnu Rusyd Al-Hafiz
5) Ibnu ‘Arabi
6) Ibnul Qasim bin Jizzi.[21]
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki Awal mulanya tersebar di daerah
Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain,
dan Kuwait.[22]

3. Mazhab Syafi’i (Tahun 150-204 H)


Mazhab Syafi’i didirikan oleh Muhammad ibnu Idris bin abbas bin Usman bin Al-Syafi’i
bin saaib bin ‘Abid bin Abdu Yazid bin hasim bin Muthalib bin Abdu manaf yang seringkali
dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i, yang merupakan kakek dari kakek Nabi. Beliau
dilahirkan di Ghazzah syam (pelestina) dari keturunan Quraisy pada tahun 150 H, dan
nasabnya bertemu dengan nabi Muhammad SAW, pada kakeknya, Abdi manaf ayahnya
meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun tahun ia dibawa oleh ibunya
untuk pindah ke Makkah.[23]
Iman syafi’I merupakan manusia dua zama yaitu lahir pada zaman pemerintahan
Umayyah dan meninggal pada zaman pemerintahan Dinasti Bani Abbas. Ketika Iman
syafi’I berumur 19 tahun, Muhammad al-mahdi diganti oleh Musa Al-mahdi (169-170 H),
ia berkuasa hanya satu tahun kemudian ia digantikan oleh Harun Al-rasyid (170-194 H).
pada awal kekuasaan Harun al-rasyid iman syafi’I berusia 20 tahun. Harun al-rasyid
digantikan oleh al-Almin (194-198 H), dan Amin digantikan oleh al-Makmun (198-218
H).[24]
Imam Syafi’i dibesarkan dalam kondisi keluarga yang miskin dan dalam keadaan yatim
tetapi beliau tidak merasa rendah diri ataupun malas, sebaliknya beliau giat belajar
hadist dari para ulama hadist yang terdapatdi kota Makkah dan pada masa usianya yang
masih kecil sekitar tujuh tahun Imam Syafi’i sudah menghafalAl-Qur’an, selain itu ia
juga banyak menghafal hadits-hadits Nabi.Selain pengembara intelektual dan ilmuan
yang sedemikian rupa, fiqih iman syafi’I juga merupakan reflaksinya, dengan kata lain
kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i
dalam membentuk pemikiran dan mazhabfiqihnya.Sejarah hidupnya menunjukkan
bahwa ia amat dipengaruhioleh masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya
dua kecendrungandalam mazhab Syafi’i yang dikenal denganqaul qadim (mazhab lama)
qaul jadid (mazhab baru).[25]
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim imam Syafi’I dibangun di Irak pada
tahin 195 H. Kedatangan imam Syafi’I ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-
Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional
irak. Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang
dalam banyak hal mengoreksi pendapat -pendapat sebelumnya.Pemikiran-
pemikiran baru Imam Syafi’i di antaranya dimuat dalam bukunya Al-Umm. Pada
tahu 192 H ia kembali ke Baghdad dan berdiam disana selama tiga tahun.
Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau
pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furu’iyah.
Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah factor utama yang menyebabkan
kematangan pemikiranSyafi’i.Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga
wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar
untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya, Bukunya Ar-Risalahyang
ditulis ketika di Makkah direvisiulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan
perkembangan baru dimesir.[26]
Guru Imam Syafi’i yang pertama adalam Muslim bin Khalid seorang mufti dari
Makkah. Imam Syafi’i adalah seorang yang cerdas otaknya, kuat ingatannya hingga
beliau sanggup hafal Al-Qur’an pada usia yang cukup muda yaitu pada usia 9 tahun.
Setelah beliau hafal Al-Qur’an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir, kemudian beliau
mempelajari hadist dan fiqih. Imam Syafi’i adalah salah seorang murid Imam Malik yang
sewaktu belajar ternyata beliau telah hafal kitab Imam Malik, yaitu kitab Al Muwatho’
yang dianggap sebagai kitab induk dari Mazhab Maliki. Pada mulanya beliau mengikuti
jejak Imam Maliki, tetapi setelah memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang luas
maka beliau membentuk mazhab tersendiri.[27]
Disamping guru, Iman Syafi’I memiliki murid yang pada periode berikutnya
mengembangkan ajaran fiqih iman al-Syafi’I dan ada juga yang mendirikan ajaran fiqih
tersendiri, diantara murid iman Syafi’I adalah al-Za’farani al-Kurabisyi, Abu Tsaur, Ibn
Hanbal al-Buthi, al-Rabi’ al-Muradi di mesir dan Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam al-
Luqawi Irak.[28]
Ia tidak lama tinggal di bagdad karena pemerintahan sedang dipimpin oleh al-
Makmun (198 H) dari dinasti Bani Abbas yang cenderung berpihak kepada unsure Persia
yang ketika itu telah dilakukan penerjemahan buku filsafat secara besar-besaran
diantaranya dilakukan oleh HUnain Ibn Isk yang telah menerjemahkan 20 buku Galen ke
dalam bahasa Arab, dan dekat kepada Mu’tazilah, bahkan Mu’tazilah dijadikan mazhab
Negara secara resmi yang berakir dengan kasus mibnat. Sedangkan iman syafi’I
cenderung menjauhkan diri dari orang-orang Mu’tazilah. Ketika al-Makmun meminta
iman syafi’I untuk menjadikan hakim besar di bagdad iman syafi’I menolaknya dan ia
keluar dari bagdad dan beliau pergi ke Negari Mesir.[29]
Beliau mengajar di masjid Amr ibn Ash serta menulis Kitab Al-Umm, Amali Kubra,
Kitab Risalah, Ushul Al-Fiqih dan memperkenalkan Qaul Jadid sebagai mazhab baru.
Imam syafi’i dikenal sebagai orang yang pertama kali memelopori pertama kali
penulisan dalam bidang tersebut.Di Mesir inilah Imam Syafi’i wafat setelah
menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Murid-murid beliau yang terkenal
adalah ibn Abdullah ibn Al-Hakam, Abu Ibrahim ibn Ismail ibn Yahya Al-Muzanni, serta
Abu Ya’qub Yusub ibn Yahya Al-Buwaiti dan sebagainya.[30]
Dalam pengembaraannya ia mengambil corak pemikiran ahl al-ra’yu dan ahl al-
hadist. Ia berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik diambil sama
halnya tidak seluruh metode ahl al-hadist harus diambil.Akan tetapi menutnya tidak
baik pula meninggalkan seluruh metode berpikir mereka masing-masing. Dengan
demikian imam syafii tidak fanatic terhadap salah satu mazhab, bahkan berusaha
menempatkan diri sebagai penengah antatara kedua metode yang ekstrim.ia
berpendapat bahwa qiyas merupakan metode yang tepat untuk menjawab masalah yang
tidak manshus.[31]
Madzhab Syafi’i, satu dari sekian banyak madzhab fiqih yang sampai saat ini
masih mendapat apresiasi luar biasa dari mayoritas kaum muslimin dunia. Keunggulan
utama Madzhab Syafi’i terletak pada sifatnya yang moderat. Di awal pertumbuhannya,
pendiri madzhab ini Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H), mengakomodasi dua
aliran hukum Islam yang berkembang saat itu, yaitu aliran tekstualis (madrasatul hadits)
dan aliran rasionalis (madrasatur ra’y). Hasil kolaborasi keduanya dapat dilihat dari
produk hukum Imam Syafi’i yang selalu mengacu pada substansi nash (al-Qur’an dan as-
Sunnah), dan dalam kasus tertentu dipadukan dengan dalili analogi (qiyas). Sebagai
Bapak Ushul Fiqih, Imam Syafi’i mewariskan seperangkat metode istimbath hukum yang
berfungsi untuk menganalisa beragam kasus hukum baru yang terjadi di kemudian hari.
Dari tangan Imam Syafi’i lahir ribuan ulama yang konsen menafsirkan, menjabarkan,
dan mengembangkan pemikiran beliau dalam ribuan halaman karya ilmiah di bidang
hukum Islam.[32]
Mazhab Syafi’i artinya adalah pendapat imam Syafi’i tentang masalah suatu
hukum yang beliau ambil dari Al-Qur’an dan Hadist berdasarkan analisis dan Ijtihad
beliau.Selanjutnya bila seseorang dikatakan bermazhab Syafi’i maka artinya orang
tersebut mengikuti jalan fikiran atau pendapat Syafi’i tentang masalah yang beliau
ambil dari Al-Qur’an dan Hadist.Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam, hal tersebut
didasarkan pada masa dan tempat beliau mukim.Yang pertam adalah Qaul Qodim, yaitu
mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Irak, dan yang kedua adalah Qaul Jadid,
yakni mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir yaitu setelah pindah dari
Irak. Keistimewaan Imam Syafi’i dibandingkan deng an Imam yang lainnya adalah beliau
merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kiitabnya Ar Risalah serta
kitab Al-Umm dalam bidang Fiqh yang menjaid induk dari mazhabnya.[33]
Qaul Qodim merupakan pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang dihasilkan dari
perpaduan antara mazhab iraqy yang bersifat rasional dan pendapat Ahlu al-Hadist yang
bersifat tradisional, tetapi fiqh yang demikian lebih sesuai terhadap ulama-ulama yang
datang dari berbagai negara Islam ke Makah pada saat itu, mengingat situasi dan kondisi
negara-negara yang sebagian ulamanya datang ke Makah pada waktu itu berbeda-beda
satu sama lain. Mereka dapat memilih pendapat yang sesuai dengan kondisi negaranya.
Hal tersebut juga menyebabkan pendapat Imam syafi’i mudah diterima dan tersebar ke
berbagai negara Islam. Kedatangan Imam Syafi’i kedua kalinya ke Irak hanya beberapa
bulan saja tinggal disana dan kemudian pergi ke Mesir, di mesir inilah tercetus Qaul
jadid yang didektekannya kepada muridnya di Mesir. Qaul jadid Imam Syafi’i ini
dicetuskan setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari fiqih dan hadist
dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi masyarakat Mesir pada waktu itu,
sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakan di Irak.

Pokok-pokok fiqih Syafi’i ada lima:


1) Al-Qur’an dan Al-Sunnah
Imam Syafi’i memandang al-Qur’an dan al-Sunnah berada dalam satu martabat. Beliau
menempatkan al-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an, karena menurut beliau Sunnah
menjelaskan al-Qur’an kecuali hadits ahad tidak sama nilainya dengan al-Qur’an dan
hadits mutawatir.
Imam Syafi’i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai berikut :
· Perawinya terpercaya
· Perawinya berakal
· Perawinya dhabith (kuat ingatannya)
· Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang menyampaikan
kepadanya.
· Perawinya tidak menyalahi para ahli ilmu yang meriwayatkan hadits tersebut.
2) Al-Ijma’
Imam Syafi’i mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujjah dan beliau menempatkan ijma’
sesudah al-Qur’an dan al-Sunnah sebelum qiyas.
a. Pendapat sahabat yang tidak ada yang menentangnya.
b. Ikhtilaf sahabat Nabi
c. Qiyas
Kitab-kitab Imam Syafi’i baik yang ditulisnya sendiri ataupun didektekan kepada
muridnya maupun yang dinisbahkan kepadanya antara lain sebagai berikut:
a) Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh.
b) Kitab al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya.
c) Kitab al-Musnad, berisi hadist-hadist yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi
dengan sanad-sanadnya.
d) Al-Imla’
e) Al-Amaliy.
f) Harmalah (dinisbahkan pada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya).
g) Mukhtashar al-Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
h) Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
i) Kitab Ikhtilaf al-Hadist (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadist-hadist Nabi SAW).
Daerah-daerah yang yang menganut mazhab Syafi’i adalah Libia, Mesir, Indonesia,
Philipina, Malysia, Somalia, Arabia selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak,
Hijaz, Paistan, India, Sunni-Rusia, Yaman, jazirah Indo China.[34]
Pendapat Imam Syafi’I dalam Kitab ar-Risalah dan Kitab al-Umm, diriwayatkan oleh
ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’I berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika Kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat,
sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap
sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.”Kemudian seorang teman
diskusinya bertanya : “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia
menjawab :”Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, Sunah,
Ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-rabi’, bahwa Imam Syafi’I didalam kitab al-Umm (kitab yang
baru) berkata :
“Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan Sunah, maka
kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian
jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu
Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf
yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunah, niscaya
kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, Juz 7, hal. 247 )
Keterangan diatas menunjukan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam
Syafi’I mengambil dasar dari al-Qur’an dan Sunah, kemudian pendapat yang telah
disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan
tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan al-Qur’andan Hadist, maka dia
mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa’ra Rasyidun, karena pendapat mereka
telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.[35]

4. Mazhab Hambali (Tahun164-241 H)


Pendiri Madzhab Hambali ialah Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal
Azzdahili Assyaibani.Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H di
baghdad juga. Beliau keturunan Bani Sya’ban, yang berdomilisi di semenanjung jazirah
arab.[36]
Pendidikan dasar, terutama al Quran yang di asuh oleh keduan orang tuanya.
Pada usia 14 tahun beliau sudah dapat menghafal al Quran, dan kemudian Beliau
mengembara kebeberapa negeri yang terkenal seperti Yaman, kufah, Basrah, Mekah,
Madinah dan lain-lain.[37]
Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai
negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan
Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadits dalam kitab Musnadnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah:
a. Nash Al-Qur’an atau nash hadist, yaitu apabila beliau menemukan nash baik dari Al-
Qur’an maupun hadist beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak
pula memperhatikan pendapat-pendapat para sahabat.
b. Fatwa sebagian sahabat, yaitu jika beliau tidak mendapatkan nash maka beliau
berpegang teguh pada fatwa sahaby jika fatwa tersebut tidak ada yang menantangnya.
c. Pendapat sebagian sahabat, beliau memandang pendapat sebagian sahabat sebagai
dalil hukum. Jika terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah maka beliau
mengambil pendapat yang lebih dekat kepada Kitab dan Sunnah.
d. Hadist mursal atau hadist dhhoif, hal ini dipakai jika hadis tersebut tidak berlawanan
dengan suuatu atsar atau pendapat seorang sahabat.
e. Qiyas, jika beliau tidak memperoleh sesuatu dasar diantarayang tersebut di atas maka
dipergunakanlah qiyas.[38]
Bahkan ia menjadikan perkataan tabi’in sebagai rujukan seperti perkataan sahabat,
apabila terdapat perbedaan pendapat diantara para sahabat, maka iman hambali akan
memilih pendapat yang paling dekat dengan al-quran dan al-sunnah. Disamping itu
hambali juga mengambil hadist mursal dan da’if sekiranya tidak ada dalil yang
menghalanginya, yang dimaksud dengan da’if disini bukan da’if yang batil dan mungkar,
tapi da’if yang termasuk salih atau hasan atau dengan kata lain hadist da’if dalam hal
ini adalah hadist da’if yang paling atas. Menurutnya hadist ini lebih utama pada
menggunakan qiyas, ia hanya menggunakan qiyas dalam keadaan yang darurat.[39]
Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini terlihat bahwa
imam Imam Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas
tertentu. Ia lebih mendahulukan penggunaan qiyas.[40]
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini di dalam
kitabnya I’laamul Muwaaqi’in.Adapun ulama-ulama yang mengembangkan madzhab
Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut:
1) Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan nama Al-Atsram – dia
telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa Mazhabi Ahamd.
2) Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al-Marwazi yang mengarang kitab As Sunan
Bisyawaahidil Hadis.
3) Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al-Marwazi dan termasuk
ashab Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan
madzhab Hambali, di antaranya:
1) Muwaquddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi yang mengarang kitab Al-Mughni.
2) Syamsuddin Ibnu Qudaamah al-Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
3) Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al-Fataawa.
4) Ibnul Qaiyim al-Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah
fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang
membela dan mengembangkan mazhab Hambali.
Daerah yang Menganut Madzhab Hambali, Awal perkembangannya, madzhab Hambali
berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama.Pada abad XII
madzhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As
Su’udi. ( saat ini menganut Faham Abu Hanifah ).Dan masa sekarang ini menjadi
madzhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di
seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.[41]
Kitab-kitab Imam Hambali selain seorang ahli mengajar dan ahli mendidik,ia
juga`seorang pengarang. Beliau mempunyai beberapa kitab yang telah disusun dan
direncanakannya, yang isinya sangat berharga bagi masyarakat umat yang hidup
sesudahnya.
Di antara kitab-kitabnya adalah sebagai berikut :
1) Kitab Al-Musnad.
2) Kitab Tafsir al-Qur’an.
3) Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh.
4) Kitab al-Muqqodam wa al-Muakhkar fi al-Qur’an.
5) Kitab Jawabul al-Qur’an
6) Kitab al-Tarikh
7) Kitab Manasiku al-Kabir
8) Kitab Manasiku al-Shagir
9) Kitab Tha’atu al-Rasul
10) Kitab al-‘illah
11) Kitab al-Shalah.[42]
makalah
Minggu, 09 Maret 2014
makalah ushul fiqih ‘URF, DZARI’AH, SYAR’U MAN QABLANA, MADZHAB
SHAHABY

‘URF, DZARI’AH, SYAR’U MAN QABLANA, MADZHAB SHAHABY

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Syar’u man qablaha adalah syariat atau ajaran-ajaran Nabi sebelum Islam yang
berkaitan dengan hukum. Seperti syariat Nabi Ibrahim, Musa dan Isa. Menurut Abu
Zahran, syariat Samawi pada dasarnya satu. Apabila al-Qur’an atau al-Sunnah yang sahi
itu disyariatkan oleh Allah kepada para ummatnya yang telah mendahului kita melalui para
Rasulnya, dan telah dinashkan bahwasanya syariat itu diwajibkan kepada kita sebagaimana
diwajibkan kepada mereka. Maka

B. Rumusan masalah
1. Jelaskan pengertian urf?
2. Jelaskan pengertian Dzari’ah menurut bahasa dan menurut istilah ?
3. Siapa sajakah yang dimaksud sahabat nabi?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan syari’at sebelum kita?
5. Bagaimana mengamalkan hukum syari’at sebelum kita?

C. Tujuan
Mahasiswa mampu mengetahui:
1. Pengertian Urf dan pembagianya
2. Pengertian Dzari’ah menurt bahasa dan istilah
3. Siapa yang dikatakan sahabat nabi
4. Menjelaskan syari’ah sebelum kita
5. Mengamalkan syari’ah sebelum kita

BAB II
PEMBAHASAN
A. AL ‘URF
1. Ma’na Al ‘Urf menurut bahasa dan istilah
Menurut bahasa Urf adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh manusia.
Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh manusia baik berupa
ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal oleh manusia dan menjadi tradisi untuk
melaksanakannya ataupun meninggalkannya. Terkadang Urf juga disebut dengan adat
(kebiasaan).
Perbedaan Urf dengan Ijma’.
a. Urf adalah sesuatu yang disepakati oleh seluruh manusia.
b. Sedang Ijma’ adalah sesuatu yang disepakati oleh seluruh Mjtahid.
2. Urf dibagi menjadi dua.

a. Urf Sahih
Sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil
syara’, tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib.
Seperti adanya saling pengertian diantara manusia tentang kontrak borongan, pembagian
maskawin (mahar) yang didahulukan dan yang diakhirkan. Begitu juga bahkan istri tidak
boleh menyerahkan dirinya kepada suaminya sebelum ia menerima sebagian dari maharnya.

b. ‘Urf Fasid
Sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara’, atau
menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib.7[1]
3. Hukum Urf.

a. Urf sahih
Telah disepakati bahwa ‘Urf sahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum
dan pengadilan. Maka seorang Mujtahid diharuskan untuk memeliharannya ketika ia
menetapkan hukum. Begitu juga seorang Hakim harus memeliharanya ketika harus
mengadili.

7[1] Abdul wahab khalaf,ilmu ushul fiqih, jakarta,cet I 2003, hal 117
Dan syari’ pun telah memelihara ‘Urf bangsa arab yang sahih dalam membentuk
hukum, maka difardukanlah diat (denda), atas perempuan yang berakal, disyaratkan kafa’ah
(kesesuaian) dalam hal perkawinan, dan diperhitungkan pula adannya ‘ashabah ( ahli waris
yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan pembagiian harta pusaka).
b. ‘Urf fasid
Adapun ‘Urf yang rusak tidak diharuskan untuk memeliharanya, karena
memeliharanya itu berarti menentang dalil syara’atau membatalkan dalil syara’.
4. Kehujjahan ‘Urf
‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri.
Pada umumnya, ‘Urf ditunjukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menjunjung
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘Urf dikhususkan lafal yang
‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena ‘Urf pula terkadang qiyas itu ditingalkan.
Karena itu, sah mengadakan kontrak borongan apabila ‘Urf sudah terbiasa dalam hal ini,
sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang
ma’dum (tiada).8[2]

B. DZARI’AH

1. Pengertian
Dari segi bahasa adalah “ jalan menuju sesuatu” sebagian ulama’mengkhususkan
pengertian Dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemandharotan. Tetapi pendapat itu ditentang oleh para ulama’ ushul lainya.
Diantaranya ibnu Qayyim Aj-jauziyah yang mengatakan bahwa dzari’ah tidak hanya
menyangkut hal yang dilarang, tetapi juga ada yang dianjurkan.
2. Pembagian Dzari’ah
a. Sadd adz-Dzari’ah
Menurut imam Asy-Syatibi adalah
“melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu
kerusakan (kemafsadatan)”.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd adz-Dzari’ah adalah perbuatan
yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir
dengan kerusakan.
Ada 3 kreteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang.
- Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
- Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.
- Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.

b. Kehujjahan sadd adz-dzari’ah


Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaaan pendapat dalam menetapkan kehujjahan
sad adz-dzari’ah sebagai dalil syara’. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima
kehujjahannya sebagai salah satu dalil syara’.

Alasan mereka antara lain :


1. Firman Allah SWT dalam QS. Al-an’am : 108

8[2] H. Rohman syafi’,ilmu ushul fiqih, cv pustaka setia, lingkar selatan, cet I, 1999, hal 129-131
) ٠١۸ : ‫ ( األنعام‬. . . ‫وال تسبوا الذين يدعون من دون هللا فيسبون هللا عدوا بغير علم‬
“Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”9[3]

2. Hadits Nabi SAW, antara lain :


‫ كيف يلعن الرجل والديه؟‬,‫ يا رسول هللا‬: ‫ قيل‬.‫إن من أكبر الكبائر أن يلعن الرجل والديه‬
)‫ (رواه البخارى ومسلم وابو داود‬.‫ ويسب أمه فيسب أمه‬,‫ يسب ابا الرجل فيسب اباه‬: ‫قال‬
“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya, Lalu
Rasulullah SAW. ditanya “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang akan melaknat
Ibu dan Bapaknya. Rasulullah SAW menjawab, “Seseorang yang mencaci maki ayah orang lain,
maka ayahnya juga akan di caci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain,
maka orang lainpun akan mencaci ibunya.”
Ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sad ad-dzari’ah dalam
masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah lain. Imam Syafi’I
menerimanya apabila dalam keadaan udzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit
dibolehkan meinggalkan shalat jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan shalat dhuhur.
Namun, shalat dhuhurnya harus di lakukan secara diam-diam, agar tidak dituduh sengaja
meninggalkan shalat jum’at.

Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah di satu pihak dengan Malikiyah
dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan sad al-dzari’ah adalah dalam niat dan
akad. Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah
akad yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun
maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah
SWT. Menurut mereka, selama tidak ad indikasi-indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku
maka berlaku kaidah :

‫المعتبر في اوامر هللا المعني والمعتبر في امورالعباداالسم و اللفظ‬


Artinya :
“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya.”

Akan tetapi, jika tujuan orang berakad dapat ditangkap dari beberapa indicator yang ada,
maka berlaku kaidah :

‫العبرت في العقود بالمقا صد والماني ال بااللفاط والمباني‬

Artinya :
“ Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna, bukan lafazh
dan bentuk formal (ucapan).”

Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah niat
dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan niatnya maka sah. Namun, apabila tidak
sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya

9[3] H. Rohman syafi’,ilmu ushul fiqih, cv pustaka setia, lingkar selatan, cet I, 1999, hal 132
sesuai dengan tujuan tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara
Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja. Apabila
ada indicator yang menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’,
maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bertentangan dengan syara’, maka perbuatanyya
dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya.
Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sad adz-dzari’ah sebagai salah satu
dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam
masalah hukum.

c. Fath adz- dzari’ah


Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa Dzari’ah itu
adakalahnya dilarang yang disebut sadd adz- dzari’ah, dan adakalanya dianjurkan bahkan
diwajibkan yang disebut fath adz dzari’ah, misalnya meningalkan segalah aktifitas untuk
melaksanakan sholat jumat yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut dibantah oleh wahbah Al-juhaili yang menyatakan bahwa perbuatan
seprti diatas tidak termasuk kepada dzari’ah tetapi dikatagorikan sebagai muqaddimah
(pendahuluan).10[4]

C. HUKUM SYARIAT SEBELUM KITA (SYAR’U MAN QABLANA)

1. HUKUM SYARIAT SEBELUM KITA11[5]


Jika al Qur’an atau Sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah
disyariatkan pada umat yang dahulu melaui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan
kepada kita diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat ditujukan
juga kepada kita. Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti fiman Allah SWT. Dalam surat
al-Baqarah: 183

‫علَى الَّ ِذ ْينَ مِ ْن قَ ْب ِلكُ ُم‬ َ ‫الصيَا ُم َك َما ُكت‬


َ ‫ِب‬ َ ‫لَّ ِذ ْينَ أ َ َمنُ ْوا ُكت‬. ‫يَأ َ يُّ َها ا‬
ِ ‫ِب عَل ْي ُك ُم‬

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa seagai mana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (Q.S. al Baqarah: 183)

Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan, kepada orang-orang
terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa

10[4] H. Rohman syafi’,ilmu ushul fiqih, cv pustaka setia, lingkar selatan, cet I, 1999, hal 136--140

11[5] Abdul wahab khalaf,ilmu ushul fiqih, jakarta,cet I 2003, hal 129
hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti syariat Nabi Musa bahwa seorang
yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya kecuali dengan membunuh dirinya. Dan
jika najis yang menempel tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota yang terkena
najis itu.

2. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG SYAR’U MAN QABLANA (SYARIAT SEBELUM


KITA)
Syariat terdahulu baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para
ulama, ulama yang diperselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil
yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada mereka. Dengan kata lain, apakah dalil
tersebut sudah dihapus atau dihilangkan untuk kita? Seperti firman Allah dalam surat al
Maidah. Ayat 32

‫سا‬ ً ‫س َرائِ ْي َل أَنَّه ُ َم ْن قَت َ َل نَ ْف‬


َ َ‫سا بِغَي ِْر نَ ْف ٍس ا َ ْو ف‬ َ ‫ًد ِل ذَ ِلكَ َكت َ ْبنَا‬
ْ ِ‫علَى بَن ِْي إ‬
َ َّّ‫ض فَ َكأَنَّ َما قَت َ َل الن‬
‫اس جَمِ ْيعَا‬ ِ ‫……فِى ْاالَ ْر‬

Artinya: Oleh karena itu, kami tetapkan (suatu hukum bagi Bani Israil bahwa barang siapa
membunuh orang lain atau karena membuat kerusakan di muka bumi maka se akan-akan dia
telah membunuh-membunuh manusia seluruhnya. (Q.S. al Maidah:32)

Jumhur para ulama Hanafiyah, sebagaian ulama Malikiyah, dan sebgaian Syafi’iyah
berpendapat bahwa hukum tersebut disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban
mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta
tidak terdapat hukum yang manasakh-nya. Alasannya mereka menganggap bahwa hal itu
termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang tidak disyariatkan melalui para Rasul Nya dan
diceritakan kepada kita. Maka orang mukallaf wajib mengikutiya. Atas dasar itu, menurut
pendapat jumhur Hanafiah, orang islam yang membunuh orang dzimmi atau orang laki-laki
yang membunuh orang perempuan harus dihukum qishash, berdasarkan hukum yang telah
disyariatkan oleh Allah swt kepada kaum Bani Israil. Yaitu siapa yang membunuh seorang
manusia harus dibunuh pula, dengan tidak membedakan antara dzimmi atau bukan dan
antara laki-laki atau perempuan. Syariat yang berlaku pada orang-orang Bani Israil tersebut
masih tetap berlaku bagi umat islam, karena Al-qur’an menyebutkannya secara mutlak
“annan-nafsa bin-nafsi” (jiwa dengan jiwa” dan tidak ada dalil yang membatalkannya atau
mengkhususkannya.12[6]

Sebagian ulama menyatakannya bukan sebagai syariat bagi ummat islam. Sebab
syariat kita adalah menasakh (membatalkan) syariat yang telah ditetapkan kepada ummat
sebelum kita. Kecuali ada dalil yang menetapkannya sebagai syariat kita.

D. PENGERTIAN MAZHAB SHAHABI

1. Pengertian

Yang dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat rasulullah SAW tentang
suatu kasus diaman hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah.
Sedangkan menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat
Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuanya dalam
Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan mazhab shahabi itu sendiri menunjuk
pengertian pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimana pendapat para sahabat tersebut
nerupakan hasil kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan
antara keduannya ialah,qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan,yang antara satu
pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan mazhab
shahabi merupakan pendapat bersama.

Namun ada juga pendapat lain yang memberikan defenisi mazhab shahabi tersebut. Beliau
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi adalah fatwa sahabat secara
perorangan. maksudnya adalah bahwa fatwah itu adalah mengandung suatu keterangan atau
penjelasan tentang hukum syara’ yang dihasilkan melalui usaha ijtihad. Namun perbedaan
pengertian ini tidaklah harus kita jadikan sebagai permasalahan, karena dari beberapa defenisi

12[6] Abdul wahab khalaf,ilmu ushul fiqih, jakarta,cet I 2003, hal 126
diatas tentang mazhab shahabi itu adalah mengarah pada pengertian yang sama, hanya saja
pengunaan bahasa yang sedikit berbeda. Oleh karena itu perbedaan pengertian yang ada
hanyalah sebuah tujuan penulis untuk mempermudah pembaca, agar lebih mudah untuk
diapahami. 13[7]

2. Kehujjahan

Dari uraian diatas, tidak di ragukan lagi bahwa pendapat para syahabat dianggap
sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa di jangkaui akal.
Karena pendapat mereka bersumber langsung dari Rosulullah seperti ucapan aisyah ra:
“ janin berada dalam kandungan ibunya tidak lebih dari dua tahun yaitu sekitar ukuran
yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
Contoh seperti ini tidak boleh menjadi topik ijtihad dan pendapat, karena jika benar,
sumbernya adalah dari rosulullah dan berarti termasuk hadits, meskipun secara lhiriyah
muncul dari syahabat.
Juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa ucapan syahabat, yang tidak ditentang oleh
ucapan syahabat yang lain adalah hujjah bagi kaum muslimin. Karena kesepakatan mreka atas
sesuatu hukum dari sesuatu kejadian yang berdekatan dengan zaman rosul, dan karena
pengetahuan mereka akan rahasia penetapan hukum syari’at pada banyak kejadian adalah
petunjuk bahwa mereka menggunakan dalil yang pasti.14[8]

13[7] Abdul wahab khalaf,ilmu ushul fiqih, jakarta,cet I 2003, hal 128

14[8] H. Rohman syafi’,ilmu ushul fiqih, cv pustaka setia, lingkar selatan, cet I, 1999, hal 141
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari Dzari’ah yang artinya ‘jalan menuju
sesuatu’. Sedangkan menurut istilah dzari’ah dikhususkan dengan’sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan pendapat ini ditentang
oeh para ulama’ ushul lainnya, seperti Ibnu Qayyim yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak
hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian
lebih tepat kalu dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yakni saad Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan
fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).
Syar’u man qablana dalam pandangan para ulama salaf adalah syari’at-syari’at para
nabi terdahulu sebelum adanya syari’at Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Ada beberapa
pandangan dalam memahami syar’u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas
(takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan
syari’at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil
normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal tersebut. Selain itu, ada juga
ketentuan syar’u man qablana yang ditulis kembali dalam Alqur’an tetapi tidak ditemukan
ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya. Terhadap permasalahan ini, terjadi
perbedaan pandangan, ada yang memandang hal tersebut sebagai syari’at Islam ada pula yang
memandang sebaliknya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul wahab khalaf,ilmu ushul fiqih, jakarta,cet I 2003, hal 128

H. Rohman syafi’,ilmu ushul fiqih, cv pustaka setia, lingkar selatan, cet I, 1999, hal 141

Anda mungkin juga menyukai