Anda di halaman 1dari 14

KAIDAH NAS, ZAHIR, MU’AWAAL, MUJMAL

DALAM AL-QUR’AN

MATA KULIAH : QAWAID TAFSIR

DOSEN : Prof. Dr. H. ROSIHUN ANWAR, M. Ag

Nama Mahasiswa : MUHAMMAD RULI / NIM : 2170070012

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVE RSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG

2018
PENDAHULUAN

Kaidah tafsir adalah sebuah undang undang yang disusun oleh ulama dengan
kajian yang mendalam untuk digunakan memahami makna-makan al-Qur’an
hukum-hukum serta petunjuk-petunjuk di dalamnya.1 Atau juga dapat didefinisikan
dengan ketetapan-ketetapan yang dapat membantu mufasir dalam menarik makna-
makna serta pesan-pesan yang terkandung di dalam al-Qur’an mengurai Kumusykilan
di dalamnya.2

M. Quraish Shihab Mendefinisikan kaidah tafsir sebagai ketetapan-ketetapan


yang berfungsi membantu seorang mufassir untuk menarik pesan makna al-Qur’an.3
adapun komponen-komponen kaidah tafsir ini mencakup tiga aspek; pertama,
ketentuan-ketentuan yang harus dalam menafsirkan al-Qur;an, kedua, sistemtika yang
hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran, ketiga patokan-patokan yang
khsusus yang membantu pemahaman ayat-ayat al-Qur’an, baik ilmu-ilmu bahasa dan
usul fiqih, maupun yang ditarik langsung dari pengguanaan al-Qur’an.4

Maka bila kita perhatikan, banyak sekali di dalam al-Qur’an, ayat ayat yang
membutuh penjelasan dan penafsiran. Sehingga perlu kiranya kita memahami kaidah-
kaidah tafsir dan mempergunakan kaidah tersebut untuk mengupas dan menguraikan
ayat-ayat al-Qur’an. sehingga bisa tersampaikan maksud kandungan al-Qur’an. maka
dari itu penulis ingin membahas kaidah Nas, Zahir, Mujmal dan Mu’awal dalam al-
Qur’an.

1
Muhammad ‘Abdul ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan (t.tp; Babay Halabi, t,th) Vol Iim 3
2
M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tenggerang ; Lenterab Hati, 2013),11
3
M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 11
4
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung, Mizan, 1992) 239
PEMBAHASAN

A. Nas, Zahir, Mu’awal dan Mujmal


1. Nas
Nash (‫ )نص‬dari segi bahasa berarti kejelasan dan ketinggian, mimbar/
prodium/ pelaminan dinamai (‫ )منصة‬minashshah karena posisinya lebih tinggi dari
para hadirin, sehingga pe,bicar/ mempelai nampak oleh mereka dengan jelas.
Dalam pandangan ulama ushul fiqih nash adalah lafazh yang tidak menerima
kemungkinan penakwilan/ pengalihan makna. Makn/ ketetapan hukum yang
dikandungnya begitu jelas sehingga tidak dibutuhkan lagi indikaor untuk
menetapkannya.5 Sementara ulama menambahkan bahwa kejelasan itu, baik lahir
dari lafazhnya secara berdiri sendiri maupun diperoleh dari luar dirinya. Nash
yang demikian ini harus memenuhi tiga syarat, yaitu:6
a) Berbentuk lafzh7
b) Tidak mengandung makna kecuali yang dikandung oleh lafazhnya; kalau
lafazhnya menunjuk satu, maka yang satu itu saja, dan bila menunjuk banyak,
maka ia tidak boleh mencakup selain bagian-bagian yang tergabung dalam
banyak yang dimaksudnya.8
c) Tidak mengandung kemungkinan makna selainnya. 9
Sebagaimana firman Allah dalam QS al-An’am [6];151;
      

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah


membunuhnya kecuali dengan hak” (QS al- An’am [6] 151)

Demikian juga sabda Nabi Saw

‫يف اربعني شاةشاة‬

Dalam kepemilikan empat puluh ekor kambing (zakatnya) seekor kambing

5
Nash juga sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dlam arti “ ayat al-Qur’an atau Hadis Nabi
Saw, sebagaimana tidak jarang juga digunakan untuk menunjuk pendapat. Yang dipilih oleh seorang ulama
besar, misalnya sambil menggunakan satu pendapat, anda berkata: ini adalah Nash Imam Syafi’i” dikali lain
Nash juga menunjukan kutipan langsung, seperti jika anda berkata “ Nashnya ( redaksinya) berbunyi demikian”
6
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 196
7
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 196
8
M.Quraish Shihab, Kaidah tafsir, 196
9
M. Quraish Shihab, Kiadah Tafsir, 196
Kedua teks di atas adalah nash, yakni teks yang sangat jelas hukumnya, yakni
“seekor kambing adalah seekor, tidak dua atau setengah ekor. Dan empat
puluhadalah angka yang di atas tiga puluh sembilan dan dibawah emapat puluh
satau.10

2. Zahir
Zahir11 adalah lafaz yang mengandung kemungkinan dua makna atau lebih,
namun salah satunya lebih menonjol untuk dipilih. Hal ini seperti dalam sabda
Nabi, ketika ditanya tentang wudhu dengan cairan yang ditampung oleh unta

bahwa ‫ توض ؤا منها‬:”berwudhu dengannya” yang dimaksud berwudhu dalam teks

tersebut adalah bersuci dengan membasuh, keempat anggota tubuh; wajah, tangan
kepala dan kaki. Makna ini zahir meskipun ada kemingkinan kecil
mengartikannya dengan bersihkan dirimu dengannya.
Sedangkang Zahir terbagi menjadi dua bagian
1) Zahir dengan ketetapan
a) Zahir dengan penetapan Syar’i, seperti dalam shalat dan puasa
 

Dalam bahasa zakat memberishkanm maksud ayat ini bermakna


syariat yaitu mewajibkan untuk mengeluarkan hartanya

b) Zahir dengan penetapan bahasa seperti Amr yang berarti perintah bisa
wajib bisa sunah
 

Ayat ini menjelaskan perintah kewajiban, dan perintah ini


menunjukan sunah juga akan tetapi secara jelas menunjukan kewajiban

2) Zahir dengan Dalill seperti Amr dengan shigah Khabar


      

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun


penuh (al-Baqarah;233)

10
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 197
11
Khalaid usman As-Sabt, Qawaid at-Tafsir (Bairut Libanon, ) 671
Ayat ini sebelumnya khabarnya zahir, akan tetapi menunjukan perintah
dengan dalil walaupumn menunjukan kezahirannya. Dan ayat ini menjalaskan
bahwasanya jika seorang ibu ingin menuyusui anak anaknya maka boleh lebih
dari dua tahun maupun kurang dari dua tahun. 12

3. Mu’awwal
Mu’awal dapat dimengerti bahwasannya apabila memilih makna adalah
makna yang tidak lebih kuat, maka inilah yang disebut dengan mu’awwal. 13 Akan
tetapi ta’wil tidak boleh ditempuh dengan tanpa adanya indikator atau dalil lain
yang kuat sehingga, kelemahan yang pada sasarnya melekat pada makna kedua
mampu dikalahkan oleh indikator yang berhubungan langsung dengan lafaz atau
adanya argumentasi lain bersifat zahir. Misalkan dalam firman Allah dalam QS.
Al-Maidah [5] :3
  
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai. (al-Maidah [5]; 3)

Mengandung makna yang bersifat Zhahir, bahwa seluruh yang berkaitan


dengan bangkai haram hukumnya termasuk kulitnya. Tetapi jika dinyatakan
bahwa keharaman yang dimaksud adalah keharman memakannya, sedang kulit
tidak dimakan, maka apakah kita dapat mengabaikan makna zahir itu/
Jawabannya; “ ya ia kita abaikan dan beralih ke makna lain yang pada mulanya
tidak kuat. Peralihan itu disini berdasar dalil berupa sabda Nabi saw.

‫إميا إهاب دبغ فقد طهر‬


“Kulit, bila disamak, maka ia menjadi suci.”
Dan sabda beliau saat mendengar bahwa ada bangkai kambing yang dibuang
begitu saja.

‫هأل اخدمت إها هبا فد بغتموه فا نتفعتم به‬


“Bukankah sebaiknya kalian mengambil kulitnya, lalu kalian samak dan
manfaatkannya”
Mereka berkata ; “kamnbing itu haram karena telah menjadi bingkai. “ Nabi
bersabda “ yang haram hanyalah memakanya”.

12
Khalaid usman As-Sabt, Qawaid at-Tafsir (Bairut Libanon, ) 680
13
M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 199
Dalil yang digunakan mengalihkan makna bermacam macam dan bertingkat-
tingkat. Semakin jelas makna Zhahir, semakin kuat pula dalil yang dibutuhkan
untuk maknanya.
14
4. Mujmal (‫)مجمل‬

Mujmal ‫جممل‬ adalah lafazh yang berkisar maknyanya pada dua kemungkinan
makna atau lebih dalam tingkat yang sama, tidak satu kemungkianan maknapun
yang memiliki kelebihan. Dengan demikian, mujmal berbeda dengan Zhahir,
karena Zhahir adalah yang lebih jelas maknanya dari kemungkinan makna
selainnya, sedang mujmal tingkat kemungkinan makna dari dua atau lebih makna
itu seimbang. Ia serupa dengan orang yang ragu, yakni tingkat pembenaran atau
penolakannya sama-sama 50 persen. Tidak ada kelebihan yang satu atas yang
lainnya.

Sepakat ulama menyatakan bahwa teks yang bersifat nash merupakan dasar
hukum yang kuat, sedang yang Zhahir bilah telah diteliti aneka kemungkinan
maknanya dan dikuatkan salah satunya, maka ia pun sudah memadai untuk
dijadikan dasar dalam menetapkan hukum.

5. Perintah dan larangan dalam pandangan ushul Fiqih


Mengutip pendapat pakar ushul fiqih, M. Quraih shihab menjelaskan
bahwasannya setellah mereka melakukan pendeteksian terhadap al-Qur’an dan
hadis-hadis Nabi mereka mentapkan kaidah perintah dengan menyatakan: pada
dasarnya perintah secara tegas mengandung makna sebuah kewajiban
melaksankan tntunan yang diperintahkan, kecuali ditemukan indikator yang
mengarahkan perintah itu tidak wajib, kaidah yang demikian ini diadopsi oleh
ulama-ulama tafsir sehingga menjadi kaidah tafsir.15
M. Qurais Shihab mencontohkan tentang perintah dengan tuntunan wajid,
sebagaimana pada (Q.S. al-Nur [24] 56)
      
 
Dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul,
supaya kamu diberi rahmat. (Q.S. al-Nur [24] 56)

14
Khalaid usman As-Sabt, Qawaid at-Tafsir , 672
15
M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,199
Pada ayat diatas difahami bahwasannya perintah memiliki kandungan wajib
untuk dijalankan, didukung oleh indikator bahwasannya Rasul Saw. Dan para
sahabat tidak pernah meninggalkannya, bahkan dalam peperangan sekalipun.
Selain itu beliau juga tidak sekali menjadikan bahwasannya shalat sebagai bukti
keislaman yang membedakan antara muslin dan non muslim.
Sebaliknya , perintah menulis utang piutang dalam QS al-Baqarah ; 282
      
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,

perintah itu tidak dipahami dalam arti wajib, tetapi anjuran, karena pada
masa Nabi saw. Dan sahabat, sekian banyak di antara mereka yang tidak menulis
bukan saja karena alasan tidak pandai menulis, tetapi juga merepotkan , apalagi
jika mereka telah saling mempercayai. Dari sini, bahkan dari perbendaharaan
bahasa, para pakar al-Qur’an meyimpulkan bahwa ada sekian tujuan dan makna
dari perintah dalam al-Qur’an selain bermakna wajib antara lain:

1) Ancaman, seperti dalam QS al-Fussilat [41}; 40


         
perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa
yang kamu kerjakan.
2) Perwujudan, seperti dalam QS al-Anbiya [21] 69

       

Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah


bagi Ibrahim"

3) Ketidak mampuan,seperti dalam QS. Al-Baqarah [2];23


   
Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran

4) Mempersamakan, seperti dalam QS. Al-Thur16 [52] 16


       
Maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu; kamu diberi
balasan terhadap apa yang Telah kamu kerjakan.
5) Doa, seperti dalam QS al-baqarah [2];201
16
Selain, sebagai nama suray Tur juga dapat dimaknai sebagai bukit Nabi Musa as. Menerima wahyu
dari Allahswt. Lihat, Ahsin W. Al-Hafiz, Kamus Ilmu al-Qur’an , (Jakarta; Amzah 2006) 298
          

"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat
dan peliharalah kami dari siksa neraka"
6) Permohonan, seperti dalam QS yusuf[12] 88
      
Maka sempurnakanlah sukatan untuk kami, dan bersedekahlah kepada
kami,
7) Boleh/ mubah seperti dalam QS. Al-Baqarah {2} 168
       
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi.17

Manurut M. Quraish Shihab dengan mengetahui contoh-conoth di atas dan


yang semacamnya akan sangat membantu memahami makna, tujuan, serta
kedudukan perintah/larangan.

M. Quraish Shihab juga menggaris bawahi bahwasannya kebanyakan


ulama menerima baik kaidah yang menyatakan bahwasannya status susunan
ayat yang mengandung larangan tegas dan sejak semula untuk tujuan utama
sebagai larangan, namun didahului oleh perintah wajib, maka statusnya
menjadi mubah/boleh, hal ini sebagaimana contoh pada QS. Al-Jumu’ah
[62]9-10

       


       
        
       
     

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat


Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

17
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, volume 1( Tenggerang, Lentera Hati, 2007), 378
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.

Perintah dan larangan yang disebut pada ayat di atas disusul dengan
Firman Allah

       


      

Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka


bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.

Berdasarkan kaidah di atas, perintah untuk bertebaran di bumi tidak


berkonsekueansi wajib akan tetapi, menunjukan kebolehannya, namun
demikian ada juga pakar yang tidak menerima kaidah ini, akan tetapi tetap
menuntut indikator-indikator hukumnya.

Larangan pada dasarnya dipahami juga sebagai perintah, yaitu perintah


untuk meninggalkan sehingga ia berkonsekuensi haram kecuali jika ditemukan
indikator yang mengalihkan keharamannya. 18

Para pakar menyatakan bahwa pada dasrnya bahas menggunakan huruf


la sebelum pesan yang dituntut untuk ditinggalkan. Dalam menjelaskan tujuan
larangan M.Quraish Shihab juga mengutip pendapat para pakar sebagaimana
pada tujan perintah, yang diantara lain tujuan larangan adalah:

1) Menunjukan keharamannya atas sesuatu yang dilarang seperi QS Ali Imran


[3] 130
  
janganlah kamu memakan riba
2) Memberitahukan keburukan sesuatu yang dilarang, seperti QS al-Baqarah
[2] 267
        
         

18
M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,199
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
3) Memberitakan kerendahan nilai atas sesuatu yang dilarang , seperti QS
Taha [20] 131
        
       
  
Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang Telah
kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga
kehidupan dunia untuk kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan
kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.
4) Memberikan dampak buruk sesuatu yang dilarang, seperti QS Ibrahim
[14[;42
        
     
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah
lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya
Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu
mata (mereka) terbelalak,

5) Memberikan dampak baik sesuatu, seperti QS Ali Imran [3] 169


           
  
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah
itu mati; bahkan mereka itu hidup[248] disisi Tuhannya dengan mendapat
rezki.
6) Permohoanan kepada Allah seprti QS al-Baqarah [2] 286
           
         
        
           
       
    
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka
berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada
kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami
apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah
Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah
kami terhadap kaum yang kafir."
7) Memutus harapan, seperti QS al-Tahrim [66] 7
         
  
Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari
ini. Sesungguhnya kamu Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu
kerjakan.

8) Tuntutan ,seperti QS. Al-maidah [5] 101

.       


janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.
9) Menghibur, seperti QS al-Naml [27];70
         
. Dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka, dan janganlah
(dadamu) merasa sempit terhadap apa yang mereka tipudayakan".

10) Pengajaran sopan santun, seperti QS al-Baqarah [2] 237


    
janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.
M. Quraish Shihab menggaris bawahi bahwasannya makna-makna dan
tujuan di atas bukan hanya bersumber dari redaksi larangan, akan tetapi
konteks larangan yang difahami dari redaksi kalimat-kalimat ayat. Jika dalam
konteks larangan tidak ditemukan dari celah celah makna-makna seperti atau
serupa dengan diatas, maka larangan tersebut disimpulkan haram. Namun
sekali lagi M.Quraish Shihab menegaskan bahwasannya macam-macam dan
tujuab larangan tidak hanya apa yang telah disebutkan di atas ia pun mengakui
diantara yang telah disebutkan pun masih ada tumpang tindih satu dengan
yang lainnya.

Selain yang telah disebutkan di atas, perlu juga ditambahkan sebagai


bentuk larangan, yang buka hanya didahului penggunaan kata la yang disusul
dengan apa yang dilarang, akan tetapi dapat juga lahir dari susunan kata yang
mengandung pemberitaan, atau yang sring disebut dengan al-jumlah al-
Insyai’iyah dalam QS. Al-Nur [24] ;3

      

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang


berzina, atau perempuan yang musyrik;

Perlu digarisbawahi bahwa makna-makna dan tujuan di atas bukunya


bersumber dari redaksi larangan., tetapi dari kontek larangan yang dipahami
dari kalimat-kalimat ayat . karena itu, jika dalam konteks larangan tidak
ditemukan di celahnya makna-makna seperti atau serupa dengan yang disebut
di atas, makan larangan tersebut dapat disimpulkan sebagai haram. Namun
demikian, kita juga harus mengakui bahwa macam dan tujuan larangan buka
hanya yang disebut di atas, sebagaimana harus diakui pula bahwa ada
diantaranya yang tumpang tindih. 19

19
M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,205
Kesimpulan

`Dalam memahami makna kalimat al-Qur’an yang hendak ditafsirkan harus


mengerti beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitan dengan kaidah yang erat kaitannya
dengan pemahaman seperti tentang nash, Zah ir Mu’awal, Mujmal dalam al-Qur’an.
Naa, Zahir, Muawal, Mujmal dan Mubayan dalam al-Qur’an merupaka salah satu
kaidah yang menjadi syarat mufassirn untuk menjadi ahli tafsir.

Sehingga perlu kita mengetahui kaidah kaidah yang diatas, untuk bisa
memahami al-Qur’an secara keseluruhan , supaya bisa memahami dan mengamalkan
syari’at-sya’riat yang terdapat dalam al-Qur’an.

Daftar Pustaka

‘Abdul ‘Azim al-Zarqani, Muhammad Manahil al-Irfan (t.tp; Babay Halabi,


t,th) Vol Iim 3
Al-Hafiz, Ahsin W. Kamus Ilmu al-Qur’an , (Jakarta; Amzah 2006)
Shihab, M.Quraish, Kaidah Tafsir, (Tenggerang ; Lenterab Hati, 2013)
Shihab, M. Quraish Membumikan al-Qur’an, (Bandung, Mizan, 1992)

Shihab, M. Quraish Tafsir al-Misbah, volume 1( Tenggerang, Lentera Hati,


2007)

Ash-Shuyuthi, Jalaluddin. Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an, (Beirut: Muassasah Ar-


Risalah, 2008).
Az-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah. Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an, (Kairo: Dar
Al-Hadith, 2006).

Anda mungkin juga menyukai