Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu untuk saling mengenal adalah dialog. selain merupakan
konsekuensi logis dari keragaman dan perbedaan, dialog juga merupakan
bagian dari perintah agama agar saling mengenal dan bekerja sama dalam
kebaikan.
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Karena itu Islam memberikan perhatian besar terhdap dialog dengan
meletakan kaidah dan etikanya. Tidak berlebihan jika dikatakan Islam adalah
agama dialog. Tidak kurang dari 120 sikap dialog yang ditunjukan dalam
al_Qur’an dengan menggunakan sekitar 1000 ayat al-Qur’an, atau sekitar 1/6
kandungannya. Kata qala dengan segala bentuk derivasinya; qaalu, yaqulu,
qul, qulu, yaquluna. Dan lainnya seperti: al-Hiwar, al-Jidal, dan al-Hijaj.
Yang menunjukan bentuk-bentuk dialog disebut dalam al-Qur’an tidak kurang
dari 1700 kali. Objek dan prilaku dialognya pun beragam, antara lain: dialog
antara para rasul dengan kaumnya, antara kekuatan baik dan jahat, atau intern
kekuatan jahat dan baik; dialog dengan ahli kitab, kaum munafik, pengikut
fanatik tradisi buruk nenek moyang, dialog tentang wujud Allah dan
kekuasaan-Nya, hari kebangkitan, dan sebagainya. Salah satu hal yang
menunjukan bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan realistis, serta
mampu memyesuaikan diri di setiap ruang dan waktu.
Adapun dalam makalah ini saya akan membahas bagaimana Metode
dialog dalam al-Qur’an serta term-term dialog dalam al-Qur’an secara
terperinci

B. RUMUSAN MASALAH
1
1. Bagaimana Metode Dialog Dalam Al-Qur’an?
2. Apa saja term-term Dialog dalam al-Qur’an?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Untuk mengetahui Metode Dialog Dalam Al-Qur’an
2. Dan untuk mengetahui term-term Dialog dalam al-Qur’an

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Metode Dialog Dalam al-Qur’an


Adapun metode yang digunakan oleh al-Qur’an terhimpun dalam beberapa
poin berikut:

Poin Pertama:

Dengan melihat fakta-fakta ilmiah, ada yang berkaitan dengan materi yang
bisa diteliti dan dibuktikan, ada pula yang mistik yang tidak bisa diketahui dengan
menggunakan dua metode ini. Al-Qur’an telah menceritakan kepada kita tentang
fakta-fakta ilmiah, tanpa memberikan kepastian dalam bentuk nash yang pasti
tentang keadaannya, kecuali hal-hal yang mistik, yang tidak memiliki cara untuk
diteliti, dibuktikan, dan diungkapkan kebenarannya, seperti fakta-fakta yang
berkaitan dengan hal-hal setelah mati, antara lain: informasi Allah tentang
kehidupan kedua dan kejadiannya, sebagaimana kebanyakan berita-berita lama
yang melegenda.1

Dan jangan lupa apa yang kami telah katakan bahwa al-Qur’an tidak
membedakan antara pengetahuan dan ilmu, keduanya masuk dalam defenisi ilmu,
sebagaimana penjelasan terdahulu.

Oleh karena itu, apabila hal-hal mistik telah diketahui secara pasti melalui
bukti-bukti ilmiah yang sesuai, maka hal tersebut dikategorikan ke dalam fakta-
fakta gaib yang nyata.

Adapun yang menggunakan metode penelitian dan observasi terhadap


masalah-masalah materil, maka metode al-Qur’an memberikan pembahasan dan
defenisi dengan cara tidak memberikan keputusan ilmiah yang meyakinkan;
seandainya al-Qur’an melakukan hal itu, pasti dia mewajibkan kepada manusia
untuk mengimani apa yang ditetapkannya, maka prosesnya hanya yang sesuai

1
Muhammad al-Ghazali, Berdialog Dengan al-Qur’an, Bandung, Mizan , 1997. Hlm. 181
3
dengan logika, dengan cara membangun fakta-fakta ilmiah yang berkaitan dengan
sesuatu yang bisa dirasa dan dilihat, tanpa menggunakan metode untuk
mengetahuinya melalui bukti-bukti ilmiah yang selaras, yaitu melalui metode
penelitian dan observasi.

Hal ini tidak diwajibkan oleh al-Qur’an kepada salah seorang pun sebagai
penghargaan terhadap akal mereka dan mendorong mereka untuk menemukan
fakta-fakta yang bersifat materil yang dirasakan oleh panca indera sesuai dengan
metode yang logis yang tidak ada gantinya, yaitu melalui metode penelitian dan
observasi.

Renungilah nash-nash al-Qur'an berikut, bagaimana ajakan para peneliti


dan pemikir untuk mengungkap teori-teori astronomi, perbintangan, geografis, dan
teori-teori yang digunakan untuk meneliti tubuh manusia!!

Hendaklah kita melihat bagaimana nash tersebut memprovokasi mereka


untuk menggunakan metode-metode pemikiran dan materil mereka untuk
mendapatkan fakta-fakta ilmiah yang tepat, tanpa ada ketetapan langsung dari al-
Qur'an.

Sebagaimana Allah Swt. berfirman :

“katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi!” (Q.S.


Yunus 10: 101).

“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang


yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak
memperhatikannya?” (Q.S. al-Dzariyat 51 : 20-21).

“Dan kami jadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka
tetap berpaling dari tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin,
awan, dan lain-lain)”. (Q.S. al-Anbiya 21 : 32).

“Dan berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi


yang mereka lalui, namun mereka berpaling darinya”. (Q.S. Yusuf 12 : 105).

4
Sebagaimana kita lihat, sesungguhnya al-Qur’an tidak menambahkan
penjelasan dalam dialognya dengan orang-orang non muslim ketika berbicara
tentang hal-hal materil, bahkan mendorong para tokoh pemikir dan cendikiawan
untuk melakukan penelitian melalui metode penemuan ilmiah mereka, untuk
menemukan kenyataan dan mengetahui intinya.

Disatu sisi al-Qur’an menjelaskan secara detail perkara-perkara gaib yang


tidak dapat dirasakan oleh panca indera dan menyatakan kebenarannya dengan
keputusan yang diratifikasi. Dengan demikian, tidak ada lagi jalan untuk
mengetahuinya melalui metode penelitian dan pembuktian. Hanya ada satu metode
ilmiah yang menggambarkan tentang hal itu, yaitu pemberitahuan Allah Swt.

Poin Kedua:

Sesungguhnya al-Qur’an dalam dialog dan diskusinya dengan manusia,


mencegah bentuk paksaan untuk mengikuti apa yang telah ditetapkannya sebagai
kebenaran.

Akan tetapi, al-Qur'an selalu menghidari hal itu. Dia hanya memberikan
penjelasan dan menghilangkan sebab-sebab kesamaran yang dapat mencampurkan
antara hak dan yang bathil dan menyembunyikan tanda-tanda yang bisa
memisahkan antara keduanya.

Sesungghnya dakwah Islam yang diperintahkan oleh al-Qur’an kepada


Muhammad Saw, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya,
sebagaimana dalam firman Allah swt: “Serulah mereka ke jalan tuhanmu dengan
jalan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik.” (Q.S. An-Nahl 16 : 125). Dalam metode al-Qur’an semestinya tidak boleh
melewati batas, yaitu hanya menunjukkan kebenaran kepada manusia, diperkuat
dengan dalil-dalil ilmiah, dan memperingatkan mereka dari bentuk pertentangan
dan berpaling dari kebenaran yang telah jelas menuju sikap fanatik dan sombong
terhadap rasul-rasul dan nabi-nabi yang telah diutus serta kebenaran yang dibawa
oleh mereka. Sebagai contoh firman Allah Swt. kepada Rasululah:

5
“Maka berilah peringatan karena sesungguhnya engkau (Muhammad)
hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas
mereka.” (Q.S. Al-Gasyiyah 88 : 21-22).

“Dan jikalau tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang


di muka bumi. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-
orang yang beriman semuanya.” (Q.S. Yunus 10 : 99).

“Tidak ada paksaan untuk agama (Islam) sungguh jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 256)

Adapun sebab kedisiplinan al-Qur’an mempergunakan metode ini, dan


perintah Allah kepada Rasul dan para da'i (yang berdakwah) untuk mengikuti
metode ini juga, bahwasanya yang dituntut dari manusia kepada tuhannya yaitu
mengetahui kebenaran yang dibawa oleh para rasul dan nabi, dan menjadikan
pemikirannya menjadi keyakinan.

Keimanan atau keyakinan secara logis tidak akan dicapai tanpa adanya
kebebasan meneliti dan berfikir, dan tidak kokoh tanpa adanya konsekuensi untuk
mempergunakan akal dan membuat keputusan sendiri terhadap hal-hal yang
membutuhkan analisis.

Oleh karena itu, para da'i dijalan Allah- yaitu para rasul dan nabi, serta
orang-orang yang mengikuti mereka- sebaiknya tidak melampaui misi mereka
sebagai orang yang mendekatkan kebenaran agama pada pemahaman manusia,
dan menghilangkan syubhat (masalah-masalah yang samar kebenarannya) dan hal-
hal yang dapat menghentikan mereka untuk mengetahui syubhat. Ditambah
dengan penggunaan bukti-bukti ilmiah sebagai bantahannya, supaya menjadi
prinsip untuk berdiskusi dengan orang-orang yang ragu dan yang bathil, dan
berdialog dengan mereka.

Jika para da'i melampaui batasan ini dengan memaksa orang-orang


menerima aqidah Islam, dan tunduk terhadap hukum-hukumnya, maka paksaan
da'i tersebut hanya sekedar bentuk dan model saja, karena keinginan dan akal
hanya dapat dikendalikan oleh Sang Pencipta.
6
Ketaatan secara formal melaui lisan terhadap akidah dan prinsip Islam
sama sekali tidak akan bermanfaat di sisi Allah, dan Allah tidak memasukkannya
dalam golongan orang-orang mukmin atau orang-orang muslim sama sekali

Adanya paksaan terhadap penganut agama, adalah sesuatu yang sia-sia dan
tidak ada faidah bagi sasaran dakwah, dan tidak pula memberikan pahala bagi
pendakwa.

Akan tetapi al-Qur’an telah memberikan peringatan kepada orang-orang


yang melewati batas-batas dalam penyampaian, penjelasan serta dialog dari
berbagai bentuk paksaan. Allah memerintahkan Rasulullah Saw. pada waktu itu
untuk mengancam orang-orang yang sombong dan ingkar serta orang-orang yang
lebih mementingkan mengikuti hawa nafsu mereka ketimbang mengikuti yang hak
setelah jelasnya hak tersebut, dengan siksaan tuhan yang menunggu mereka dan
mengintai mereka pada hari kiamat. Sebagaimana Firman Allah:

“Dan katakanlah (Muhammad): “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu


barang siapa menghendaki (beriman) hendakah ia beriman dan barang siapa
menghendaki (kafir) biarlah ia kafir, sesungguhnya kami telah menyediakan
neraka bagi rang zalim yang gejolaknya mengepung mereka, jika mereka meminta
pertolongan (minum) mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan wajah. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istiraha
yang paling jelek.” (Q.S. al-Kahfi 18 : 29).

“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad)


hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas
mereka. Kecuali (jika ada) orang yang berpaling dan kafir. Maka Allah akan
mengazabnya dengan azab yang besar.” (Q.S. al-Ghasyiyah 88 : 21-24).

Dengan demikian, manusia bebas menjalin relasi dengan sesamanya


manusia dengan mengikuti apa yang ingin diikuti dari kebenaran dan kebatilan,
dan tidak ada hak bagi orang lain -siapapun itu- untuk memaksakan sesuatu yang
tidak sesuai dengan keinginannya, akan tetapi manusia tidak bebas tehadap
hubungannya dengan Allah Azza wajalla, akan tetapi dia sebagai mukallaf, dalam

7
artian dipaksakan oleh Allah mengikuti kebenaran yang disampaikan melalui para
rasul dan para nabi, setelah menjadi jelas menurutnya, dan telah hilang darinya
syubhat (keraguan-keraguan) dan masalah-masalah yang terselubung baginya.

Sesungguhnya manusia diperintahkan untuk hal itu oleh Allah Swt.,


dengan ancaman siksaan pada hari kiamat bagi orang-orang pembangkang dan
orang-orang sombong.

Poin Ketiga:

Al-Qur’an memulai dialog dengan orang-orang sesat, ingkar, dan orang-


orang yang memiliki kepercayaan dan pemikiran yang salah, dengan asumsi
bahwa mereka adalah golongan yang benar dan berpegang teguh terhadap
kebenaran, disertai bukti-bukti ilmiah dan pertimbangan logika yang memihak
kepada mereka, karena metode tersebut merupakan metode yang sangat cocok
dalam berdialog dan sejalan dengan apa yang diinginkan oleh kedua belah pihak
yang sedang berdialog.

Oleh karena itu Allah memerintahkan Rasulullah Saw. untuk memberi


pengajaran kepada orang-orang kafir dan musyrik dengan adanya pertimbangan
kemungkinan untuk berdialog, dan Allah Swt. memerintahkannya untuk mengajak
mereka membangun kerjasama untuk mencari kebenaran yang akan diyakini,
dalam bentuk, arah dan kelompok apapun.

Sebagaimana Allah memerintahkan Rasulnya supaya mengajak mereka


untuk mengetahui kebenaran itu dengan menggunakan dalil-dalil ilmiah yang
menjadi penentu ketika terjadi suatu perbedaan, dan sebagai cahaya yang
menerangi jalan, ketika kegelapan melanda.

Dalam artian al-Qur’an yang merupakan kalam Allah memberikan


peringatan kepada Muhammad Saw. supaya tidak menuduh musuh terlebih dahulu
sebagai orang batil dan sesat dari kebenaran.

Allah memerintahkan Rasulnya untuk menempatkan dirinya selevel


dengan lawannya (orang-orang kafir), masing-masing merasa sangat perlu
mengetahui kebenaran dan mengikutinya, dalam bentuk dan metode apapun, tanpa
8
menghakimi terlebih dahulu sebagai aliran atau kepercayaan yang paling kuat
terhadap yang lain.

Al-qur’an meminta Rasulullah Saw., para sahabat dan pengikutnya untuk


menggunakan bukti-bukti ilmiah yang netral terhadap lawan bicaranya, seperti
persamaan derajat dua orang yang bersengketa dihadapan majelis hakim.

Sesungguhnya ini merupakan metode manusiawi yang bernilai tinggi


dalam mengajak pemikir mazhab atau kepercayaan yang lain untuk bekerja sama
dalam menemukan mazhab yang benar tanpa memberi prioritas kepada salah satu
dari mereka untuk terlebih dahulu mengetahui dan memilihnya, termasuk islam.
Metode ini tidak membedakan, baik pembicara maupun lawan bicaranya.

Tidak ada dalam metode ini ada da'i yang mengklaim terlebih dahulu
bahwa dirinya benar dan yang lain salah, dan tidak ada juga dalam metode ini
paksaan terhadap lawan bicara untuk mengikuti yang tidak diinginkannya, akan
tetapi ini merupakan seruan Allah melalui al-Qur’an kepada seluruh umat
manusia, untuk bekerja sama melalui pertemuan dan saling membantu mengetahui
kisah awal dan akhir penciptaan alam semesta, mengetahui identitas dan posisi
manusia yang hidup di dalamnya, dan mengetahui nasib yang harus dilaluinya.

Allah memerintahkan kepada seluruh umat manusia untuk mencari


kebenaran ini melalui kerjasama yang baik. Tidak ada dalam metode ini istilah
pengikut dan yang diikuti atau atasan dan bawahan, semuanya sama di hadapan
Allah Swt.

B. Term Dialog Dalam al-Qur’an


1. Al-Hiwar
Dalam Bahasa Arab, dialog disebut dengan al-hiwar merujuk kepada
etimologinya yang berrasal dari kata ha, wawu, dabn ra’ yang memiliki tiga
makna dasara, yaitu wrna, kembali. Dan berputar. Kata al-Hiwar tersebut
barasal dari kata ‫حا ر‬denganm kata dasara ‫ حور‬yang artinya kembali.
Sedangkan al-Muhawarah artimya soal Tanya jawab perdebatan, dan
percakapan. Sedangkan Ibnu Manzur dalam kitabnya lisan al-Arab

9
mendefinisikan al-hiwar ialahg dialog sebagai al-ruju’ yang artinmya klembali
semula atayu dirujuk semula. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, dialog
diartikan percakapan. Berdialog artinya bersoal-jawab secara langsung dan
bercakap-cakap. Sedangkan
Dialogis artinya bersifat terbuka dari komunikatif. Selain diambil dari
kata ‫ حار‬arti “kembali” juga bisa diambil dari kata ‫حورا‬. maka kembali
terdapat dalam Q. S. Al-Insyqaq 84 : 14 yang berbunyi:

َ ‫ظ َّن أَن لَّن يَ ُح‬


١٤ ‫ور‬ َ ُ‫ِإنَّ ۥه‬
2

Sesungguhnya dia menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan


kembali (kepada Tuhannya)

Demikian pula do’a Rasulullah yang berbunyi:

‫نعودباهلل من الحور بعد الكور‬

Kami berlindung kepada Allah dari keadaan kembalui (Karunia)


berkurang setelah semuanya bertambah.3

Al-Hiwar (Dialog) dengan pengertian seperti hanya disebut tiga kali,


sedangkan kata yang twerbentuk dari akar kata ha war a disebut sebanyak 13
kali. Yang bermakna dialog ditemukian dua kali dalam bentuk kata
yuhawiruhu yaitu surah al-Kahf 18;34 dan 37, dan satu kali dalam bentuk kata
tahawurukuma seperti dalam surah al-Mujadalah/58:1. Redaksi yuhawir dan
tahawur dalam bahasa Arab mengesankan adanya keikutsertaan pihak lain (al-
musyarakah), tetapi redaksi yuhawir lebih mengesankan keunggulan pihak
yang melakukannya, sedangkan redaksi yuhawir menunjukkan kesejajaran
pihak-pihak yang terlibat.4

2
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur‟an), hal . 275
3
Ibnu faris, Mu’jam Maqayis Fil-Lughah, h 2/94
4
Kementrian agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari‟ah, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Etika berkeluaraga ,
bermasyarakat dan berpolitik , h. 251-252.
10
Selain itu, soal tanya jawab, perdebatan dan percakapan bisa diambil
dari kata al-muhawarah5. Bagian mata yang sangat putih dengan panduan bola
ata yang sangat hitam bisa dinamakan al-hawar. Sedangkan wanita-wanita
berkulit putih disebut al-hawarriyat, kata tersebut disandangkan dengan
pengikut Nabi Isa yang setia yaitu al-hawariyyin, karena menurut salah satu
pendapat, mereka selalu menggunakan pakaian berwarna putih. Sedangkan
wanita-wanita berkulit putih disebut al-Hawariyyat, kata tersebut
disandangkan dengan para pengikut Nabi Isa yang setia yaitu al-hawariyyin,
karena menurut salah satu pendapat, mereka salah menggunakan pakain
berwarna putih, selain itu juga mereka sangat patuh dan memiliki kebersihan
niat serta tulus dalam membela agama Allah.

Dalam kitab Mu’jam Al-Munfahras Li Al-Fadz Al-Qur’an al-Karim,6


kata al-hiwar terdapat dalam 9 surah yaitu: Q. S Al-Insyarah [84] ayat 14, Q. S
Al-Kahfi [18] ayat 34 dan 37, Q. S Ad-Dukhan [44] ayat 54, Q. S at-Thur [52]
ayat 20, Q. S. Ar-Rahman [55] ayat 72, Q. S. Al-Waqiah [56] ayat 22, Q. S.
Al-Imran [3] ayat 52, Q. S al-Maidah {5} ayat 111 dan 112, dan Q. S Ash-
Shaf [6] ayat 14.

Berikut bebearapa ayat etika dialog yang menunjukkan term al-hiwar.


Di dalamnya ayat-ayat tersebut terdapat kode etika dalam berdialog, yaitu
ketika seseorang akan melakukan suatu dalog, seseorang tersebut hendaknya
memiliki niat yang bersih dan hanya bertujuan untuk mencari kebenaran, sifat
tersebut sepertu yang dilakuakan oleh para pengikut Nabi Isa a.s. yang setia
atau biasa disebut dengan Hawariyyin/Hawariyyun (para penolong/engikut
saja), yang mana mereka memiliki niat yang bersih serta tulus dalam
menjalankan perintah Nabi Isa a.s untuk membela agama Allah. mereka
berjumlah 12 orang.

Ada yang menghubungkan Hawariyyun ini dengan murid-murid Nabi


Isa a.s yang berjumlah 12 orang yang disebutkan dalam perjanjian Baru yang

5
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia,), h. 306-307.
6
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Munfahras li Al-Fadz Al-Qur’an Al-
Karim, (Mesir: Dar Al-Kutub, 1945), h. 280.
11
disebut Rasul, yaitu Simon yang disbeut Peterus, Johanes Saudaranya, Yaqub
anak Zabdi, Yahya saudara Ya’qub, Pilpus, Bartolonius, Toas, Matius, Yakub
aanak Alpius, Tadius, Simon Orang Kanani dan Yudas Iskariot yang
menyerahkan Nabi Isa a.s7

Ayat-ayat yang berhubungan dengan kebersihan niat dan memiliki


ketulusan dalam menegakkan kebenaran seperti yang dimiliki oleh para
pengikut setia Nabi Isa a.s tersebut terdapat pada Q. S Ash-Shaff. 14 dan Q. S
Ali Imran: 52, yaitu sebagai berikut:

1. Q. S. Ash-Shaff : 14
 
  
    
  
    
 
   
  
 
  
  
 
 
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah
sebagaimana Isa ibnu Maryam Telah Berkata kepada pengikut-pengikutnya
yang setia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk
menegakkan agama) Allah?" pengikut-pengikut yang setia itu berkata:
"Kamilah penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil
beriman dan segolongan lain kafir; Maka kami berikan kekuatan kepada

7
H. fachruddin Hs, Ensiklopedi Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), Jil. 1, h.
429
12
orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka
menjadi orang-orang yang menang.

2. Q. S. Ali- Imran : 52
   
   
    
 
  
  
 
Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail)
berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk
(menegakkan agama) Allah?" para hawariyyin (sahabat-sahabat setia)
menjawab: "Kamilah penolong-penolong (agama) Allah, kami beriman kepada
Allah; dan saksikanlah bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
berserah diri8
2. Al-Jidal
Kata ini dari akar kata ‫ جدل‬yang terdiri dari tiga huruf kata, yaitu: ja da
dan la. Dalam kamus Bahasa Arab, al-Jadal/al-Jidal berarti perdebatan,
perbantahan, dan melempar. Kata al-Jidal/ al-jidal sama dengan kata alHiajj
yang memiliki arti berdebat, dan bertengkar. Sedangkan menurut pakar bahasa,
yaitu ibnu Faris dalam mengartikan al-Jidal yaitu berkisar pada menguasai
sesuatu dengan segala yang terurai darinya, memperpanjang permusuhan, dan
berdialog atau berdebat pembicaraan. Al-Jurjani seorang pakar keilmuan
Islam, ia menjelaskan:
“ al-jadal/al-jidal adalah penggunana nalar dan anlogi yang berasal dari
beberapa ketetapan, yang bertujuan mengalahkan lawan bicara atau orang yang
belum mengerti premis pembicaraan. Dengan kata lain, al-jidal adalah upaya
seseorang untuk mematahkan dan mematahkan argumrntasi alawan bicaranya,

8
Al-Qur’an dan Terjemahnya ,h. 478
13
atau dengan tujuan meluruskan ungkapannya. Ada unsur permusuhan
didalamnya.
Dalam sejarah keilmuan Islam, al-Jadal menjadi disiplin ilmu tersendiri
yang didefinisikan oleh Al-Qanuji. Dengan ilmu yang membahad berbagai car
untuk menetapkan atau membatalkan sebuah sikap atau pandangan. Tujuannya
adalah memperkuat kemampuan untuk meruntuhkan dan mematahkan
argumentasi lawan bicara. Definisi tersebut menunjukkan al-jadal berangkat
dari prinsip-prinsip yang telah diyakini kebenarannya dan dipegang teguh,
tanpa ada keinginan untuk mundur darinya. Berbeda dengan kata hiwar yang
mengesankan adanya keinginan untuk menijau ulang kembali pandangan-
pandangan yang seblumnya dipegang. Al-jadal biasanya dilakukakn dalam hal
perbedaan pemikiran dan keyakianan, sedangkan kata al-hiwar cakuapannya
lebih luas dari itu yang meliputi berbagai aspek kehidupan.
Dalam al-Qur’an kata al-jadal dengan berbagai derivasinya disebut
sebanyak 29 kali. Mencermati ayat-ayat yang memuat kata al-jadal dapat
disimpulkan bahwa kata ini digunakan untuk banyak hal di dunia dan di
akhirat( an-Nisa/4:109); kadangkala dengan menggunakan kebenaran untuk
mengalahkan kebathilan (al-Ankabut/29;46) dan dilain kali mengggunkan
cara-cara yang terpuji (an-Nahl/16:129); dan kadangkala menggunakan sarana
kebathilan untuk menolak kebenaran (ghafir/40:5) kadangkalal menggunakan
cara-cara yang terpuji (an-Nahl/16:129); dan kadangkala menggunakan cara-
cara kotor (al-Hajj/22:3) dalam surah al-Kahfi /18:54 disebutkan bahwa salah
satu watak atau tabiat dasar manusia adalah menyukai jald (suka membantah).
Menurut fakar Tafsir Ibnu ‘Asyur, setiap manusia kecendrungan untuk
meyakinkan orang yang berbeda denganya bahwa keyakianan dan
perbuatannya adalah yang paling benar.
Dalam kitab Mu’jam Al-Munfahras li al-Fadz al-Qur’an al-Karim, kata
al-jidal terdapat dalam 16 surah, yaitu: Q. S. An-Nisa [4] ayat 107 dan 109,
Q.S. Hud {11] ayat 32 dan 74, Q. S Ghafir {40} ayat 4,5,35,56, dan 69, Q. S.
A-Hajj [22] ayat 3, 8 dan 68, Q. S. An-Nahl [16] ayat 111 dan 125, Q. S. Al-
Mujadalah [58] ayat 1, Q. S. Al-Ankabut [29] ayat 46, Q. S. Al- A‟raf [7] ayat

14
71, Q. S. Al-Kahfi [18] ayat 54 dan 56, Q. S. Luqman [31] ayat 20, Q. S. Al-
An‟am [6] ayat 25 dan 121, Q. S. Ar-Ra‟d [13] ayat 13, Q. S. Asy-Syura [42]
ayat 35, Q. S. Al-Anfal [8] ayat 6, Q. S. Az-Zuhruf [43] ayat 58, dan Q. S. Al-
Baqarah [2] ayat 197.
Berikut beberapa ayat etika dialog yang menunjukan term al-Jidal ayat-
ayat tersebut terdapat perintah untuk berdialog maupun berdebat dengan cara
yang terbaik (wajadilhum billati hiya akhsan). Yaitu terdapt pada Q.S. An-
Nahl ayat 125

  


 

 
 
    
    
  
 

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.

Selain itu, Allah juga berfirman di Q.S. Al-Ankabut ayat 46:

   


   
  
  
 
  
 
 
  
 
Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami Telah

15
beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu;
Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri".

3. Al-Hijaj
Kata ini berasal dari akar kata ‫ حجج‬yang terdiri dari tiga huruf kata,
yaitu: ha, ja dan ja, yang artinya pembantahan/perdebatan. Kata al-Hijjaj dalam
kamus Bahasa Arab, kata tersebut sama dengan kata al-Jidal, yang mana kedua
kata tersebut sama memiliki arti perbantahan/perdebatan.9 Selain itu kata al-
hijaj juga bisa diambil dari kata hujjah yang artinya argumentasi/alasan.
Bentuk kata al-hijaj menunjukan adanya keikutsertaan pihak lain, sehingga
bermakna saling argumentasi dalam rangka melemahkan lawan bicara. Tidak
kurang dari 13 kali kata ini digunakan untuk membantah atau mendebat
argumentasi.10 Misalnya, dalam Q.S Al-Baqarah/2:258, yang mengisahkan
orang yang mendebat Nabi Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah
telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan).
Dalam Kitab Mu’jam Mu’jam Al-Munfahras li Al-Fadz Al-Qur’an al-
Karim11, 25 kata al-ḥijāj terdapat dalam 9 surah, yaitu: Q. S. Al-Baqarah [2]
ayat 76, 150, 158, 189, 196, 197, dan 258, Q. S. Al-Imran [3] ayat 20, 61, 66,
73 dan 97, Q. S. Al-An‟am [6] ayat 80, 83 dan 149, Q. S. Asy- Syura [42] ayat
15 dan 16, Q. S. At-Taubah [9] ayat 3 dan 19, Q. S Al-Hajj [22] ayat 28, Q. S
Al-Qashash [28] ayat 27, Q.S. An-Nisa‟ [4] ayat 165, Q.S. Al-Jasyiyah [45]
ayat 25.
Berikut beberapa ayat etika dialog yang menunjukkan term al-
hajja.Ayat-ayat tersebut terdapat perintah untuk tidak saling membantah antara
satu sama lain, yaitu terdapat pada Q. S. Asy-Syura: 15; Q. S. Ali Imran:
65 dan 66; dan Q. S. An-Nisa‟: 165.
1) Q.S Asy-Syura:15

9
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, h. 238.
10
Kementrian agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari‟ah, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Etika berkeluarga,
bermasyarakat dan berpolitik,, h. 254.
11
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Op. Cit., h. 246
16
  
 
   
  
  
   
 
  
  
 
   
 
  
  
 

Maka Karena itu Serulah (mereka kepada agama ini) dan
tetaplah[1343] sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah
mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada
semua Kitab yang diturunkan Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku
adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. bagi kami
amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran
antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-
Nyalah kembali (kita)".12

2) Ali Imran: 65 dan 66

  


 
 
 
  
  
 

12
Al-Qur’an dan Terjemahnya ,h. 484.
17
Hai ahli kitab, Mengapa kamu bantah membantah[198] tentang hal
Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan melainkan sesudah
Ibrahim. apakah kamu tidak berpikir?13
 
  
  
  
    
  
 

Beginilah kamu, kamu Ini (sewajarnya) bantah membantah


tentang hal yang kamu ketahui[199], Maka Kenapa kamu bantah
membantah tentang hal yang tidak kamu ketahui[200]? Allah
mengetahui sedang kamu tidak Mengetahui.14

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Metode Dialog dalam al-Qur’an terdiri dari tiga point: point yang pertama,
Dengan melihat fakta-fakta ilmiah, ada yang berkaitan dengan materi yang bisa
diteliti dan dibuktikan, ada pula yang mistik yang tidak bisa diketahui.

13
Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 58.
14
Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 58.
18
Point Kedua Sesungguhnya al-Qur’an dalam dialog dan diskusinya dengan
manusia, mencegah bentuk paksaan untuk mengikuti apa yang telah ditetapkannya
sebagai kebenaran.

Ponit yang Ketiga, Al-Qur’an memulai dialog dengan orang-orang sesat,


ingkar, dan orang-orang yang memiliki kepercayaan dan pemikiran yang salah,
dengan asumsi bahwa mereka adalah golongan yang benar dan berpegang teguh
terhadap kebenaran, disertai bukti-bukti ilmiah dan pertimbangan logika yang
memihak kepada mereka, karena metode tersebut merupakan metode yang sangat
cocok dalam berdialog dan sejalan dengan apa yang diinginkan oleh kedua belah
pihak yang sedang berdialog.

Daftar Pustaka

al-Ghazali, Muhammad, Berdialog Dengan al-Qur’an, Bandung, Mizan , 1997

H. fachruddin Hs, Ensiklopedi Al-Qur’an, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998


Abdul Baqi, Muhammad Fuad, Al-Mu’jam Al-Munfahras li Al-Fadz Al-Qur’an Al-
Karim, Mesir: Dar Al-Kutub, 1945

19
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an)

Kementrian agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat


Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari‟ah, Tafsir Al-Qur’an Tematik;
Etika berkeluarga, bermasyarakat dan berpolitik,
Warson Munawwir, Ahmad, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia,

20

Anda mungkin juga menyukai