Anda di halaman 1dari 22

PANDANGAN ARKOUN TERHADAP AL-QUR’AN

“Tugas para nabi, seperti Nabi musa, Isa, dan Nabi Muhammad, hanyalah menyampaikan sebuah
wacana yang diwahyukan kepada mereka sebagai bagian dari ucapan-ucapan-Nya yang tidak
diciptakan, tidak terbatas dan koeternal”. (Mohammed Arkoun)

1
PANDANGAN ARKOUN TERHADAP AL-QUR’AN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah salah satu naskah berjangkauan universal yang begitu sering kita
utarakan dan kita tuliskan, meski demikian tetap kurang dipahami.

Bagi jiwa modern yang terbiasa (berpikir) mematuhi pembuktian (nalar), evolusi, paparan
dan kisah dari naskah-naskah yang disusun dengan kerangka yang ketat, maka al-Qur’an secara
khusus memang sangat membosankan. Ini karena penampilannya yang tidak teratur, pemakaian
wacana yang tidak lazim, berlimpahruahnya berbagai perumpamaan legenda, historis, geografis,
dan religious, berbagai pengulangan dan berbagai ketakterikatannya antar satu sama lain.

Arkoun yang disebut-sebut sebagai pemikir pasca-modernis, memiliki pandangan yang


sulit dicerna, apalagi epistemologinya. Menurut Suadi Putro, untuk memahami pemikirannya
secara menyeluruh, kita perlu mendalami seperangkat ilmu pengetahuan mutakhir yang
berkembang beberapa puluh tahun yang lalu seperti linguistik, antropologi semiotik, serta
berbagai gagasan dan ancangan yang merupakan wacana pasca-modernis. 1 Belum lagi diantara
karya-karya yang ditulis olehnya yang menggunakan bahasa Prancis sangat sulit untuk langsung
dipahami oleh mereka yang belum menguasai bahasa tersebut.

Makalah ini mengulas sedikit tentang siapa Arkoun dan bagaimana pemikirannya
terhadap al-Qur’an.

B. Riwayat Hidup Arkoun

Nama lengkap Arkoun adalah Muhammed Arkoun ia lahir di Taourirt-Mimoun, di


Kabilia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah timur Aljir, AlJazair pada
tanggal 1 Februari tahun 1928 dan pada tahun 1950-an ia menetap di Prancis. Pada tahun 1961 ia
diangkat menjadi dosen pada Universitas Sarbonne di Paris, ia menjabat sebagai guru besar
sejarah pemikiran Islam. sebelum akhirnya pensiun dari jabatan tersebut. Pada tahun 1969 ia
memperoleh gelar Doktor dengan disertasi mengenai humanisme dalam pemikiran etis
Miskawayh, seorang pemikir Arab dari abad ke-10 Masehi. Pada tahun 1970 sampai 1972
Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kemudian kembali ke Paris sebagai guru besar sejarh
pemikirann Islam. Ia juga aktif membimbing berbagai karya penelitian di Universitas tersebut.
1
Johan Hendrik Meuleman, Membaca al-Qur’an Bersama Muhammed Arkoun, LkiS, Yogyakarta, hlm.139

2
Diantara kesibukannya yang lain adalah menjadi dosen tamu dan penceramah di sejumlah
lembaga perguruan tinggi di sekeliling dunia. Ia juga sebagai guru besar tamu di Universitas
Amsterdam dan Institute of Ismaili Studies, London.2

Bahasa ibu Arkoun adalah bahasa Kabilia, salah satu bahasa Berber yang tidak mengenal
tulisan. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa Arab, bahasa nasional Aljazair dengan baik,
yang dia pelajari semenjak masih muda.

Arkoun menyebut dirinya sebagai seorang “sejarawan” sebelum secara sah disebut
sebagai “filsuf”3. Dia telah menulis sejumlah sejumlah besar buku dan artikel yang semuanya
bertolak dari usaha dasar untuk menggabungkan hasil mutakhir dari berbagai ilmu pengetahuan
Barat dengan pemikiran Islam tersebut dari kekakuan dan ketertutupannya dan membukanya
pada masalah yang dihadapi manusia modern.4 Adapun diantara hasil karyanya adalah Essais sur
la pensee islamique (1973), Lecture du Coran (1982), Pour une critique de la raison Islamique
(1984), al-Islam al-akhlak wa al-siyâsah; al-Fikr al-Islâmî. Qira’ah ‘ilmiyyah, Târîkhiyyah al-
fikr al-‘arabî al-Islâmî.

C. Mengenal Pemikiran Muhammed Arkoun

C.1 keterkaitan Bahasa-pemikiran-Sejarah

Pemikiran Arkoun lebih memusatkan analisisnya pada perlunya umat Islam untuk
meninjau kembali rancang bangun “epistemologi” keilmuan Islam dan historisitas keberagamaan
islam. Yang di pertanyakan oleh Arkoun adalah “mengapa wacana Qur’an yang semula bersifat
historis, terbuka, spiritual-historis, dan historis-spiritual, toleran, luwes, fleksibel, dikemudian
hari berubah menjadi bersifat tertutup, intoleran, kaku, radikal, dan lebih menampakkan wajah
ideologisnya daripada spiritualitas keberagamannya”. Menurut M. Amin Abdullah pemikiran
yang demikian itu muncul pada diri Arkoun karena ia punya kesan bahwa Islam yang begitu
beragam, setelah tereduksi dan terkompartementalisasi pada aspek fiqih, kalam, tasawuf dan
sebagainya, belum lagi jika harus ditambah dengan campur tangan “kepentingan” politik tertentu
yang bertindak mengayomi, membela, dan menganakemaskan aliran pemikiran Islam tertentu

2
Johan Hendrik Meuleman, Membaca al-Qur’an Bersama Muhammed Arkoun, LkiS, Yogyakarta, hlm.th
3
Ibid, hlm. 11
4
Ibid, hlm 59

3
dan mengetepikan aliran yang lain, tanpa disadari telah berubah menjadi tertutup, intoleran,
kaku, radikal dan sering kali malah lebih bersifat ideologis.5

Dalam budaya muslim, munculnya budaya kritik epistemologis khususnya dalam wilayah
pemikiran keagamaan merupakan hal yang tidak tumbuh secara wajar, dan pada akhirnya
terjadilah apa yang diistilahkan oleh Arkoun sebagai proses pensakralan atau penyucian buah
pikiran keagamaan (taqdis al-afkâr ad-dîniyyah). Menurut M. Amin Abdullah, dalam karya-
karyanya Arkoun seringkali menggunakan istilah “kritik epistemologis”, dan itulah titik sentral
pemikiran Arkoun. Yang lebih menariknya lagi bahwa kritik epistemologis tersebut ditujukan
pada bangunan “keilmuan” ilmu-ilmu agama secara keseluruhan. Arkoun melihat struktur dan
bangunan agama sebagai produk sejarah pemikiran keagamaan biasa yang sebenarnya hanya
berlaku pada penggal waktu dan ruang tertentu 6. Coba bandingkan dengan pernyataan
“transendental-universal” (shalîẖ li kulli zamân wa makân). Karena hal inilah maka Arkoun
menyebut dirinya sebagai “sejarawan”, dimana kritis-epistemologisnya ditujukan pada bangunan
pemikiran keislaman yang telah menyejarah, membudaya dalam berbagai budaya dan diserap
dalam literatur-literatur keislaman yang ada. Menurutnya pemikiran keislaman dibangun dan
disusun oleh generasi tertentu yang dilingkari oleh tantangan sejarah tertentu.7

Didalam bukunya –al-Islam- Arkoun mengungkapkan kegelisahan dirinya sebagai


berikut:

“Para ahli fiqih yang sekaligus teolog (ahli kalam) tidak mengetahui hal itu. Mereka
mempraktikkan jenis interpretasi terbatas dan membuat metodologi tertentu, yakni fiqih
dan perundang-undangan. Dua hal itu mengubah wacana Qur;an yang mempunyai makna
mistis-majazi, yang terbuka bagi berbagai makna dan pengertian, menjadi wacana baku
dan kaku, dan...telah menyebabkan diabaikannya historisitas norma-norma etika-
keagamaan dan hukum-hukum fiqih. Menjadilah norma-norma dan hukum-hukum fiqih
itu seakan-akan berada diluar sejarah dan diluar kemestian sosial; menjadi suci: tidak
boleh disentuh dan didiskusikan... para ahli fiqih telah mengubah fenomena-fenomena
sosio-historis yang temporal dan bersifat kekinian menjadi semacam ukuran-ukuran ideal
dan hukum transenden yang kudus/suci, yang tak dapat diubah dan tak dapat diganti.
Semua bentuk kemapanan dan praktik yang lahir dari hukum-hukum dan ukuran-ukuran
ini kemudian mendapat landasan (ardhiyyah) pengudusan/pensakralan dan transendensi
ketuhanan yang mencabutnya dari fondasi atau dari persyaratan-persyaratan biologis,
sosial, ekonomi, dan ideologis. Demikianlah, historisitas diabaikan dan dibuang oleh
ortodoksi yang mapan. Keadaan seperti itu berlangsung terus sampai hari ini, bahkan
5
Ibid, hlm.5-6
6
Ibid, hlm 8
7
Ibid, hlm. 12

4
pembuangan historisitas itu menjadi bertambah-tambah sesuai dengan perjalanan
waktu.”8
Arkoun mencoba menelaah kenyataan tersebut lewat disiplin ilmu-ilmu sosial “modern”
untuk memperoleh gambaran dan kejelasan serta sekaligus ingin megungkapkan dan membedah
realitas yang menyelimuti “ilmu-ilmu agama Islam tersebut. Arkoun memang bukan
berkehendak untuk meruntuhkan doktrin-doktrin agama Islam yang sudah pokok, namun sudut
bidik analisisnya hanya terpusat pada konstruksi, konsepsi, epistemologi atau metodologi yang
dahulu digunakan oleh kreativitas para penemu, penerus, dan penyusun ilmu-ilmu agama islam
era klasik-skolastik.9

Bagi Arkoun, apa yang telah dinyatakan oleh para pendahulunya perlu untuk
diterjemahkan dan memerinci kembali dengan cara lain. Bagi Arkoun, diagnosis yang
ditawarkan oleh para pendahulunya tersebut masih berbobot teologis/kalam sentris, sehingga
kurang begitu menyentuh realitas sosial empiris yang harus ditelaah lewat bantuan metodologi,
temuan-temuan dan hukum-hukum sosial betapa pun relatifnya hukum-hukum sosial tersebut.10

Kritik epistimologi yang dicanangkan oleh Arkoun terhadap konsepsi dan bangunan
keilmuan agama Islam tiada lain untuk dapat menyadarkan kembali adanya keterkaitan dan
pertautan “Bahasa-Pemikiran-Sejarah” yang erat.11

Gambar
Konponen konsepsi keberagamaan

Ketika ketiga komponen di atas disadari sebagai “konsepsi’ keberagamaan yang saling
bertautan dan berkaitan, maka akan dimungkinkan adanya kritik pemikiran keagamaan, pluralitas
pemahaman keagamaan Islam, autentisitas dan dinamika pemikiran, kontekstualisasi ajaran, dan
8
Ibid, hlm. 16-17
9
Ibid, hlm. 17
10
Ibid, hlm. 18
11
Ibbid, hlm. 22

5
begitu seterusnya. Dengan demikian, pemikiran keagamaan Islam akan bersifat terbuka, dialogis,
tidak mapan, baku dan standar.12

C.2. Arkoun dan Tradisi Hermeneutika


Menurut Arkoun, untuk memahami Islam, persoalan historis dan semiotik-kebahasaan
mestinya memperoleh perhatian lebih dahulu sebelum kita memusatkan diri pada kajian teologis.
Sebuah tradisi akan mati, kering, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus menerus melalui
penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Data kehidupan generasi awal Islam yang
disajikan dalam buku-buku klasik13akan memunculkan informasi dan makna baru ketika didekati
dengan cara pandang baru. Karena setiap pengarang, teks, dan pembaca tidak bisa lepas dari
konteks sosial, politis, psikologis, teologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu,
maka dalam memahami sejarah yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga
transformasi makna. Arkoun menyesalkan efek lain dari pembukuan dan pembakuan ajaran
agama yang dianggap standar, yaitu munculnya pembekuan, kejumudan, dan reifikasi ajaran
Islam. Keberagamaan seseorang atau masyarakat akan di pengaruhi pula oleh pandangan
epistemologisnya serta situasi sosial-politik yang melingkupinya. Misalnya paham kesalihan
yang diajarkan oleh paham skolastik cenderung bersifat vertikal-individual. Arkoun mengajak
untuk mengkaji ulang konsep kesalihan yang berciri vertikalistis sebagai prestasi dan indikasi
keberagamaan dan kemudian menawarkan ukuran-ukuran yang lebih empiris dan horizontal.
Umat Islam perlu melakukan telaah ulang terhadap ideologi keagamaan yang terbentuk di abad
tengah, yang dalam beberapa aspek tidak relevan lagi dengan semangat al-Quran dan teori-teori
modernisme.14

C.3. Arkoun dan Semiotika dalam Analisis Teks


Arkoun memandang bahwa analisis semiotis membuat kita mendekati suatu teks tanpa
interpretasi tertentu sebelumnya atau praanggapan lain. Dalam artikel yang berjudul Lecture de
la fâtiẖa terdapat contoh yang jelas dari penggunaan semiotika dalam analisis teks. Berikut ini
sepenggal dalam terjemahannya:

12
Ibid, hlm. 23
13
Seperti kitab al-Maghazi oleh muhammad al-Wâqidî, sîrah RasûlAllah oleh muhammad Ishâq, Tarikh al-Rusul wa
al-Mulk oleh Muhammad Jabir ath-Thabari atau ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibn Sa’d.
14
Johan Hendrik Meuleman, Membaca al-Qur’an Bersama Muhammed Arkoun, LkiS, Yogyakarta, hlm.33-44

6
Kami di sini membawakan pengertian aktan yang sukar hanya karena menurut hemat
kami, pengertian itu lebih baik mempertanggungjawabkan cara kerja teks kita secara
sintaksis dan semantis. Jika kami membatasi diri pada pengertian subjek yang klasik,
tidak mungkin menganalisis ungkapan dasar al-hamdulillah dengan seluruh ketepatan
yang dikehendaki.
Dari sudut pandang sintaksis, klausa tersebut adalah klausa nominal, inkoatif (mubtada’)
dan predikat (khabar). Tindakan ditampilkan sebagai dikirim kepada Allah tanpa acuan
apa pun kepada seorang penutur dan pada waktu. Jadi Allah adalah penerima tetap dari
suatu tindakan (al-hamd) yang niscaya memiliki pelaku-pengirim. Namun, yang terakhir
ini tidak sama dengan pengujar: saya bisa mengujarkan alhamdulillah sebagai contoh tata
bahasa saja. Tetapi, jika kita beralih dari tataran sintaksis ke tataran semantis, pengujar
lebih sulit memisahkan diri dari pelaku-pengirim. Sesungguhnya, hubungan (antara
pengirim dan penerima) di tambah dengan fungsi baru: tindakan pemujian
mempraanggapkan secara semantis suatu pelaku-pengirim kebaikan dan suatu aktan-
penerima kebaikan itu. Dengan demikian, kita sampai ke suatu model aktansial tempat
Allah adalah aktan pengirim kebaikan, penerima tindakan pemujian; pengujar adalah
aktan penerima kebaikan, pengirim tindakan pemujian. Kita melihat bahwa pengertian
aktan memenuhi keperluan untuk menunjukkan sekumpulan fungsi sintaksis dan
semantis yang dilaksanakan oleh ‘subjek’ yang sama.15
Tulisan di atas menunjukkan bahwa analisis sintaksis naratif (pengisahan suatu cerita)
yang sekaligus dihubungkan dengan analisis semantik telah dilakukan oleh Arkoun. Selanjutnya
dia meneruskan dengan menerapkan berbagai aspek lain dari analisis semiotis pada teks surat al-
Fâtiẖah, seperti pembagian teks atas satuan diskursif16dan penunjukkan berbagai kode dalam
teks tersebut. Namun, meskipun Arkoun melakukan analisis semiotis, fungsi analisis semiotis
dalam karya Arkoun tersebut terbatas. Alasan yang diungkapkan oleh Arkoun ketika membatasi
penggunaan semiotika adalah karena semiotika sampai sekarang mengabaikan sifat khusus dari
teks-teks keagamaan dan para ahli semiotika belum mengembangkan peralatan analitis khusus
untuk teks tersebut. Menurut dia teks-teks keagamaan berbeda dengan segala teks lain karena
berpretensi memberi petanda akhir (petanda transendental) atau paling tidak memberikan kunci
untuk mencapai petanda terakhir itu. 17

Kemudian Arkoun juga melampaui batas analisis semiotis karena ia menaruh perhatian
bukan saja pada teks atau wacana, melainkan pada hubungan antara wacana, kenyataan, dan
persepsi (dari wacana dan kenyataan itu oleh manusia) yang diperantarai oleh bahasa. Arkoun

15
Ibid, hlm. 62-63.
16
Diskursif adalah yang berkaitan dengan nalar; kemampuan disimpulkan secara logis; pemikiran.
17
Johan Hendrik Meuleman, Membaca al-Qur’an Bersama Muhammed Arkoun, LkiS, Yogyakarta, hlm.63-64

7
juga perhatian terhadap hubungan antar teks, penutur (pembicara, penulis) teks, dan pembaca
teks. Oleh karena itu menurut Arkoun daripada menggunakan istilah “pembahasan semiotis”
lebih tepat menggunakan istilah “pembahasan linguistik” yang selalu disusuli pembahasan
historis dan antropologis.18

D. Arkoun Mengagumi Al-Suyuthi


Arkoun dalam hal karya tulis ilmiah telah mengagumi al-Shuyuthi yang telah menulis kitab al-
Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an , hal ini terlihat jelas ketika dia menjadikan karya al-Suyuthi sebagai
alat ukur bagi persoalan yang dihadapinya dan sekaligus sebagai salah satu tumpuan atas suatu
hasil akhir intelektual.

“Nanti akan dapat dipahami apa yang saya maksud dengan pemikiran bebas dan kritis
manakala saya memaparkan lebih jauh berbagai perspektif kajian al-Qur’an. Sedangkan
untuk mengukur ketakseimbangan yang baru saja dibicarakan, saya akan menggunakan,
dalam kajian-kajian berikut, terutama suatu hasil akhir intelektual dengan bertumpu pada
dua naskah yang sangat representative dari dua aliran besar penelitian: al-Itqan fi ‘Ulum
al-Qur’an karya tulis ilmiah al-Suyuthi…”19
Bagi Arkoun al-Itqan adalah kitab ‘Ulum al-Qur’an yang dalam hal pendokumentasian
lebih kaya, lebih terjamin dan lebih terbuka pada semua ilmu. Bagi dia al-Suyuthi telah menggali
suatu khasanah yang begitu luas.

“Bagaimanapun halnya, dokumentasi yang dihimpun dan digunakan al-Suyuthi lebih


kaya, lebih terjamin dan lebih terbuka pada semua ilmu yang telah dikembangkan selama
Sembilan abad oleh generasi-generasi para pakar…Penulis al-Itqan telah menggali suatu
khasanah yang begitu luas. Ia telah menyelamatkan banyak informasi yang mungkin bisa
hilang atau selamanya tetap tak dikenal.”20
E. HAJI DALAM PEMIKIRAN ISLAM
Ibadah haji adalah salah satu diantara rukun Islam yang diperintahkan oleh Allah swt.,
ibadah haji telah ditetapkan pula oleh Allah swt. terkait waktu, tempat dan tatacara
pelaksanaannya. Sebagaimana pada ayat-ayat dan hadits berikut ini:

18
Ibid, hlm. 65-66.
19
Mohammed Arkoun, Lectures du Coran, terjemah:Hidayatullah, Kajian Kontemporer al-Qur’an, Bandung,
Pustaka, 1998, hlm.2
20
Mohammed Arkoun, Lectures du Coran, terjemah:Hidayatullah, Kajian Kontemporer al-Qur’an, Bandung,
Pustaka, 1998, hlm.3

8
‫ي حَمِلَّهُ فَ َم ْن َك ا َن‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫وأَمِت ُّوا احْل َّج والْعم ر َة لِلَّ ِه فَ ِإ ْن أ ِ‬
‫اسَتْي َس َر م َن اهْلَ ْد ِي َواَل حَتْل ُق وا ُرءُ َ‬
‫وس ُك ْم َحىَّت َيْبلُ َغ اهْلَ ْد ُ‬ ‫ُحص ْرمُتْ فَ َم ا ْ‬
‫ْ‬ ‫َ َ ُْ َ‬ ‫َ‬
‫َّع بِ الْعُ ْمَر ِة إِىَل احْلَ ِّج فَ َم ا‬ ‫ٍ ِ ِ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ ِِ ِ ِ ِ ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫يض ا أ َْو بِ ه أَ ًذى م ْن َرأْس ه فَف ْديَ ةٌ م ْن ص يَام أ َْو َ‬
‫ص َدقَة أ َْو نُ ُس ك فَ إ َذا أَمْنتُ ْم فَ َم ْن مَتَت َ‬ ‫مْن ُك ْم َم ِر ً‬
‫ك لِ َم ْن مَلْ يَ ُك ْن‬ ‫ِ‬
‫ك َع َش َرةٌ َك ِاملَ ةٌ َذل َ‬
‫ص يَ ُام ثَاَل ثَ ِة أَيَّ ٍام يِف احْلَ ِّج َو َس ْب َع ٍة إِ َذا َر َج ْعتُ ْم تِْل َ‬
‫اسَتيس ر ِمن اهْل ْد ِي فَمن مَل جَيِ ْد فَ ِ‬
‫َْ ْ‬ ‫ْ ْ ََ َ َ‬
‫اب (البقرة‪)196:‬‬ ‫َن اللَّهَ َش ِد ُ‬
‫يد الْعِ َق ِ‬ ‫اض ِري الْ َم ْس ِج ِد احْلََر ِام َو َّات ُقوا اللَّهَ َو ْاعلَ ُموا أ َّ‬
‫أَهلُه ح ِ‬
‫ُْ َ‬

‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫احْل ُّج أَ ْشهر معلُومات فَمن َفر ِ‬


‫وق َواَل ج َد َال يِف احْلَ ِّج َو َما َت ْف َعلُ وا م ْن خَرْيٍ َي ْعلَ ْم هُ اللَّهُ‬ ‫ض في ِه َّن احْلَ َّج فَاَل َرفَ َ‬
‫ث َواَل فُ ُس َ‬ ‫َ ٌُ َ ْ َ ٌ َ ْ َ َ‬
‫اب (البقرة‪)197:‬‬‫َ‬
‫ِ‬
‫ون ياأُويِل اأْل َلْب ِ‬ ‫الز ِاد َّ‬
‫الت ْق َوى َو َّات ُق َ‬ ‫َوَتَز َّو ُدوا فَِإ َّن َخْيَر َّ‬

‫ني َو َر ُس ولُهُ فَ ِإ ْن ُتْبتُ ْم َف ُه َو َخْي ٌر لَ ُك ْم‬‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫َوأَ َذا ٌن ِم َن اللَّ ِه َو َر ُس ولِِه إِىَل الن ِ‬
‫َّاس َي ْو َم احْلَ ِّج اأْل َ ْكرَبِ أ َّ‬
‫َن اللَّهَ بَ ِريءٌ م َن الْ ُم ْش ِرك َ‬
‫اب أَلِي ٍم (التوبة‪)3:‬‬
‫اعلَموا أَنَّ ُكم َغْير م ْع ِج ِزي اللَّ ِه وب ِّش ِر الَّ ِذين َك َفروا بِع َذ ٍ‬
‫َ ُ َ‬ ‫ََ‬ ‫ْ ُُ‬ ‫ِ َّ‬
‫َوإ ْن َت َولْيتُ ْم فَ ْ ُ‬

‫عن عبد الرمحن بن يعمر الديلي يقول ‪ :‬شهدت رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم وهو واقف بعرفة وأتاه ناس من‬

‫أهل جند فقالوا يا رسول اهلل كيف احلج فقال احلج عرفة فمن جاء قبل صالة الفجر من ليلة مجع فقد مت حجه أيام‬

‫م ىن ثالث ة أي ام فمن تعج ل يف ي ومني فال إمث علي ه ومن ت أخر فال إمث علي ه‪( .‬مس ند امحد ابن حنب ل ح ديث عب دد‬

‫الرمحان بن يعمر)‬
‫‪Pada pelaksanaannya, Ibadah haji senantiasa mengundang banyak orang (kaum‬‬
‫‪muslimin) untuk melaksanakannya dan itu terjadi pada setiap tahunnya. Keadaan ini menjadi‬‬
‫‪daya tarik sendiri bagi dua kubu yang berbeda yaitu: kaum muslim “ortodoks” dan para peneliti‬‬
‫‪Barat (orientalis) dalam meneliti dan memberikan opini tentang ibadah yang satu ini. Berangkat‬‬
‫‪dari masalah tersebut maka Arkoun hadir untuk mencoba menengahi antara kedua kubu tersebut.‬‬

‫‪Menurut Arkoun, perjalanan suci ke Makkah adalah suatu fenomena keagamaan yang‬‬
‫‪kompleksitasnya membutuhkan suatu pendekatan historis, antropologis, sosiologis, filosofis,‬‬
‫‪teologis, impresionis (seni sastra yang lebih mengutamakan pemberian kesan atau pengaruh pada‬‬
‫‪perasaan daripada kenyataan atau keadaan sebenarnya), ikonografis (ilmu yang mempelajari‬‬

‫‪9‬‬
tentang seni baik itu dengan melakukan identifikasi deskripsi dan interpretasi isi gambar. Tujuan
ikonografi adalah mengurai, mengidentifikasi, menggolongkan dan menjelaskan objek-objek
visual dalam kaitannya dengan upaya memahami makna-makna dalam studi religi memang tidak
jarang menggunakan ungkapan-ungkapan yang bersifat simbolik). Dalam persoalan haji ada tiga
hal penelitian yang dapat diperhatikan yaitu; Pertama, penelitian tentang suatu problematika haji.
Kedua, dialektika haji/kesadaran Islami. Ketiga, ketegangan kehidupan religious pemikiran
ilmiah.

a) Penelitian Tentang Suatu Problematika Haji

Pemikiran merefleksikan analisa, memilah-milah, mendekonstruksi, mereformasi,


bereksperimen, menyelidiki, mengkritik, mengusulkan berbagai penjelasan dan melepaskannya,
dan memberikan pilihan untuk membuktikan secara lebih tepat tingkat validitasnya. Menurut
Arkoun, ‘mobilitas ekstrim’, keberanian eksploratif dan kritis seperti ini tidak dikenal oleh
pemikiran-pemikiran tradisional dalam Islam yang dikembangkan dalam batas-batas data yang
diwahyukan. Pemikiran Islam yang terputus dari berbagai penggarapan yang khas pada masa
klasiknya tetap mempertahankan (pemikirannya) dalam bidang yang tak dipikirkan, bahkan
dalam yang tak terpikir. Kemudian Arkoun menjelaskan tentang apa yang disebut ghaib,
menurut al-Qur’an adalah apa yang hadir dalam pengetahuan manusiawi, namun yang hadir
dalam pengetahuan yang tak terjangkau dari Allah. Pengertian ghaib memperkaya suatu hikmah,
namun secara bersamaan melumpuhkan pemikiran. Kemudian Arkoun memverifikasinya dalam
pernyataan al-Ghazali yang tercatat di dalam kitabnya Ihya ‘Ulum al-din tentang karakter
irrasional ritus-ritus haji:

“…Dengan demikian Allah mengharuskan kepada manusia, selama (pelaksanaan) haji,


amal-amal yang tidak biasa bagi jiwa dan yang makna-maknanya tidak dapat
diungkapkan oleh akal. Misalnya pelemparan batu yang bersifat ritual dan pulang pergi
berulang kali dari Shafa ke Marwa. Melalui contoh dari amal-amal ini terwujud
kepatuhan yang sempurna dari pengabdian (kepada Allah). Zakat berhubungan dengan
santunan yang dapat dipahami dan cenderung dapat dinalar. Puasa adalah meluluhkan
syahwat yang merupakan sarana musuh Allah dan mencurahkan sepenuhnya pada ibadah
ini dengan meninggalkan semua kesibukan. Ruku dan sujud didalam shalat menunjukkan
rasa rendah hati di hadapan Yang Maha Luhur dengan gerakan-gerakan dari sikap
kerendahan hati itu…sedangkan pulang-pergi dengan lari-lari kecil (sa’i), pelemparan
batu yang bersifat ritual dan amal-amal lainnya, sama sekali tak lazim bagi jiwa, tidak
terbiasa bagi dasar jiwa, dan makna-makna yang tidak dapat diungkap oleh nalar. Itulah
perintah Ilahi yang secara unik harus dilaksanakan sepenuhnya. Itulah maksud kepatuhan

10
terhadap perintah, sebagai suatu perintah yang wajib dijalani dan yang menyebabkan
penangguhan penalaran, penyimpangan jiwa dan karakter yang berada di luar bidang
yang lazim…”21

Menurut Arkoun telah erat menjadi satu dalam pendirian Sunni yang menolak semua
pertanyaan menyangkut bagaimana dan mengapa perintah-perintah Allah diberikan. Dengan
demikian Salah satu tugas pemikiran Islam dewasa ini adalah mempelajari, diluar dogmatisme
teologis manapun, berbagai signifikasi (proses pemahaman yang menggunakan tanda-tanda lahir
yang mudah dilihat) sikap Sunni yang disistematisasikan oleh aliran Hanbaliyah, dan semakin
diperkuat oleh aliran Wahhabiyah di Arabia.22

Dalam mengamati ortodoks Sunni menurut Arkoun, harus menyadari bahwa ortodoksi itu
telah mereduksi (mengurangi) masalah yang rawan dari historisitas wahyu menjadi yang tak
terpikir. Aliran Sunni telah mempraktekkan sejarah sebagai rentetan kronologis peristiwa
aksidental dan tumpang tindih yang muncul secara tiba-tiba dalam sejarah keselamatan yang
lebih hakiki, yang diarahkan oleh berbagai campur tangan Tuhan. Sedangkan Syi’ah
menekankan operasi mental peresepan sejarah suci atau “Hero-histori”, yang diisi oleh
perbuatan-perbuatan dan ajaran-ajaran dari tujuh Imam (dikalangan Ismailiyah) dan keduabelas
Imam sebagai satu-satunya yang memiliki legitimasi yang dibutuhkan untuk melestarikan
inkamasi wahyu dalam sejarah profan.

Menurut Arkoun ada kekurangan dan kelemahan pada pemaparan “orientalis” dan
pemaparan Islami yang mengakibatkan terjadinya berbagai kesalahpahaman yang
diakumulasikan dalam suatu perseteruan permanen antara Islam dan Barat.

Ciri yang dominan dari Islam yang aktual adalah penolakan untuk memperluas
penyelidikan historis positif. Sebagaimana pada rombongan-rombongan yang semakin
bertambah banyak dari peziarah yang pergi ke Makkah setiap tahun, pendekatan historis dan
antropologis yang manapun terhadap haji tetap tak terpikir atau (dianggap) sebagai penodaan. Di
antara para pemikir modern adalah sulit untuk membedakan pemikir yang menghindari secara
sengaja suatu persoalan yang sangat pelik dengan pemikir yang seperti kebanyakan orang

21
Mohammed Arkoun, Mohammed Arkoun, Lectures du Coran, terjemah:Hidayatullah, Kajian Kontemporer al-
Qur’an, Bandung, Pustaka, 1998, hlm.235.
22
Mohammed Arkoun, Mohammed Arkoun, Lectures du Coran, terjemah:Hidayatullah, Kajian Kontemporer al-
Qur’an, Bandung, Pustaka, 1998, hlm.235-236.

11
beriman, hanya membatasi diri pada yang terpikir, yang disusun oleh berbagai wacana
“ortodoks” tradisional.

Dengan mengungkapkan kekurangan tersebut, penelitian Arkoun melangkah maju secara


bertahap pada suatu problematika yang lebih memadai makna bagi suatu kajian tentang haji
dalam pemikiran Islami.

Bagi kalangan Muslim –berkenaan dengan haji- hanya memperhatikan campur tangan
dari al-Qur’an, sebagai dimensi vertikal yang dibentuk oleh dogma tentang “turunnya” tanzil
wahyu. Sementara berbagai keadaan psiko-sosiologis dan historis (dimensi horisontal) yang telah
memungkinkan perubahan haji pagan menjadi Islami, telah dipendam dalam latar belakang
berbagai informasi yang tumpang tindih (akhbar) tentang masyarakat Arab “primitif” yang
dipeti-eskan dalam “kegelapan ketidak tahuan” (konsepsi teologis dari jahilliyah)

Adapun bagi para cendekiawan Barat, mereka hanya tertarik pada penjelasan material
dari fakta-fakta historis yang justru disisihkan oleh kesadaran religius yang memandang segala
paparan obyektif tentang ritus kepercayaan dan fungsi yang berkaitan dengan haji pagan atau
semua rekonstruksi historis dan sastra dari tokoh Ibrahim sebagai suatu maksud buruk.

b) Dialektika Haji/Kesadaran Islami


Dalam pembahasan dialektika, Arkoun menggarisbawahi hubungan dinamis antara
semua perilaku ritual dan kesadaran penganut. Dari suatu sudut pandang antropologis, fungsi-
fungsi psiko-budaya dan sosio-politik muncul dalam konteks yang disebut pagan dan dalam
konteks monoteis. Dari kedua konteks tersebut ada perbedaan-perbedaan intensitas, ungkapan
dan tujuan. Arkoun kemudian mengenalkan tahap-tahap dan tingkat-tingkat ungkapan dari
keadaan pagan sampai keadaan aktual berikut ini:
1. Haji Pagan: Suatu ruang Eksistensiel Tertutup

Arkoun menjelaskan bahwa letak geografis Makkah sejak zaman dahulu merupakan
tempat perlintasan bagi jalur yang menghubungkan Arabia Selatan dengan Utara sampai ke Iraq,
Syiria, dan Palestina. Kedudukan geografis itu ditambah dengan satu faktor yang sangat penting
di padang pasir yaitu keberadaan satu sumber mata air yang dinamakan Zamzam. Pelembagaan
haji yang khas Arab dan pertumbuhan kota Makkah berkaitan dengan sejarah Arabia antara abad
III dan VI Masehi. Di bawah tekanan bangsa Arab Selatan, suku-suku Arab Tengah berusaha

12
mendekati, sehingga saling bertemu dalam suatu wilayah yang aman dan suatu masa yang
tenang. Tempat-tempat yang dipandang sakral yanng mengitari rumah Ka’bah pada bulan-bulan
suci (Rajab, dzu al-Qaddah, dzu al-Hijjah dan muharam, memungkinkan terbentuknya
kumpulan-kumpulan besar untuk tujuan ekonomis, polotis dan sosio-budaya. Namun, begitu
fungsi-fungsi praktis runah suci dan haji semakin menguat, maka partisipasi yang semakin besar
dari suku-suku nomaden kemungkinan besar telah menimbulkan degradasi ingatan mitologis
yang dijaga oleh suku-suku yang hidup menetap. Kemajemukan suku telah menyebabkan
penyebaran tentang yang sakral, pelipatgandaan arca-arca, dan partikularisasi pengalaman
keagamaan dalam hubungannya dengan ruang eksistensial tertutup setiap kelompok.

Masyarakat Arab yang strukturnya beruas-ruas seperti ini, pertentangan-pertentangan


kesukuan diperumit di dalam setiap suku oleh pertikaian antar kaum yang sangat berkaitan
dengan lahan ternak, sumber-sumber air, perempuan-perempuan, kepercayaan-kepercayaan dan
kebiasaan-kebiasaan mereka. Sebagaimana perseteruan yang terjasi sebelum hijriah antara
keturunan-keturunan Qusayy (‘Abd Manaf dan ‘abd al-Dar) yang semakin menjadi-jadi untuk
mengukuhkan jabatan-jabatan keagamaan dan sekuler di Makkah.

Aristokrasi Makkah tidak menentang Prediksi Muhammad saw. Selama itu untuk alasan-
alasan sosio-ekonomis semata. Ruang konseptualnya telah dibatasi pada ruang konseptual
tentang kehidupan dunia dan ketiadaan pengungkapan tentang suatu masa depan
eskatologis.23sebaliknya kepercayaan-kepercayaan terhadap Jin, kekuatan-kekuatan gaib dari
pepohonan, bukit-bukit, sumber-sumber air dan ahli nujum, memandekkan pikiran-pikiran dalam
berbagai pengulangan ritual, praktik-praktik magis, cara-cara pemujaan dewa dan berbagai
pengorbanan berdarah yang tanpa suatu pemahaman tentang suatu metafisika yang koheren.
Disamping keberadaan Jin dan kisah-kisah mitologis, contoh haji melukiskan kesinambungan
yang kuat dari suatu kerangka ungkapan ritual yang sesuai dengan sejarah dan berbagai
kebutuhan eksistensial lingkungan etno-budaya dalam semangat universalis dan metafisika
islami.

2. Haji di dalam al-Qur’an: Perubahan pada Ruang Eksistensial

23
Eskatologis: bagian dari teologi dan filsafat yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa pada masa depan dalam
sejarah dunia, atau nasib aakhir dari seluruh umat manusia, yang biasa dirujuk sebagai kiamat.

13
Pada pembahasan ini Arkoun memandang bahwa akan lebih baik kalau dipaparkan
bagaimana susunan tradisional persoalan-persoalan yang ditimbulkan haji di dalam al-Qur’an,
namun secara lebih umum oleh segenap pengkajian al-Qur’an, harus dialihkan menuju bidang
pemahaman yang baru. Arkoun hendak mengamati bagaimana penelusuran kembali dasar-dasar
linguistik wahyu ini memungkinkan untuk mengungkapkan kembali secara jelas maksud awal al-
Qur’an yang terpendam di bawah lapisan-lapisan yang pejal (padat/keras) berbagai ulasan dan
catatan yang relatif memadai. Arkoun hendak mempertanyakan apa dasar-dasar linguistik
perubahan tatanan eksistensial menjadi tatanan eksistensial dalam ayat-ayat berhubungan dengan
haji di dalam al-Qur’an? Melalui tatanan eksistensial, Arkoun menandai segala hal yang
berhubungan dengan pengalaman manusiawi yang konkret, teramati, dan dapat dikenali. Yaitu,
ontologi dalam upayanya untuk mendasari (yang menghasilkan berbagai prilaku yang disetujui
oleh Allah) segala kegiatan pemaknaan makhluk yang berpikir. Arkoun juga membahas tatanan
imanensi (paham yang menekankan berpikir dengan diri sendiri atau subjektif –lawan dari kata
transenden) dan transendensi, ataupun sebaliknya, menghindari berbagai perdebatan tentang
filsafat kontemporer, historisitas dan wahyu (data konstitutif kesadaran yang dikembangkan oleh
tradisi-tradisi Yahudi, Kristen dan Islam).

Berikut ini pengkajian pertama secara global terhadap ayat-ayat berikut ini (Q.S al-Hajj
[22]:25-37) yang dilakukan oleh Arkoun.

‫ف فِ ِيه َوالْبَ ِاد َو َم ْن يُِر ْد فِ ِيه‬ ِ ِ ‫صدُّو َن َع ْن َسبِ ِيل اللَّ ِه َوالْ َم ْس ِج ِد احْلََر ِام الَّ ِذي َج َع ْلنَاهُ لِلن‬
ُ ‫َّاس َس َواءً الْ َعاك‬
ِ َّ ِ
َ ‫إ َّن الذ‬
ُ َ‫ين َك َفُروا َوي‬
ِِ ِ ِ ِ ِ‫إِل‬ ِ ٍِ ٍ ِ ِ ٍ ِ ٍ ِِ
َ ‫يم َم َك ا َن الَْبْيت أَ ْن اَل تُ ْش ِر ْك يِب َش ْيئًا َوطَ ِّه ْر َبْييِت َ للطَّائف‬
‫ني‬ َ ‫) َوإ ْذ َب َّوأْنَا ْب َراه‬25( ‫بإحْلَ اد بظُْلم نُذقْ هُ م ْن َع َذاب أَليم‬
ٍ ‫ني ِم ْن ُك ِّل فَ ٍّج َع ِم‬ ِ ِ ‫وك ِرج ااًل وعلَى ُك ِّل‬ ِ ‫الس ج‬ ِِ
( ‫يق‬ َ ‫ض ام ٍر يَأْت‬َ َ َ َ َ ُ‫َّاس بِ احْلَ ِّج يَأْت‬ ِ ‫) َوأَذِّ ْن يِف الن‬26( ‫ود‬ ُ ُّ ‫الر َّك ِع‬ ُّ ‫ني َو‬َ ‫َوالْ َق ائم‬
‫يم ِة اأْل َْن َع ِام فَ ُكلُوا ِمْن َه ا َوأَطْعِ ُم وا‬ ِ ِ ٍ ُ‫) لِي ْشه ُدوا منَافِع هَل م وي ْذ ُكروا اسم اللَّ ِه يِف أَيَّ ٍام معل‬27
َ ‫ومات َعلَى َما َر َز َق ُه ْم م ْن هَب‬َ َْ َ ْ ُ َ َ ُْ َ َ َ َ
ِ‫ات اللَّه‬ ِ ‫ك ومن يعظِّم حرم‬ ِ‫) ذَل‬29( ‫ت الْعتِ ِيق‬ ِ ِ ِ
َ ُُ ْ َُ ْ َ َ َ َ ‫ور ُه ْم َولْيَطََّّوفُوا بِالَْبْي‬ َ ‫ضوا َت َفَث ُه ْم َولْيُوفُوا نُ ُذ‬ ُ ‫) مُثَّ لَْي ْق‬28( ‫س الْ َفق َري‬َ ‫الْبَائ‬
( ‫الزو ِر‬ ُّ ‫اجتَنِبُ وا َق ْو َل‬ ِ
ْ ‫س م َن اأْل َْوثَان َو‬
ِ ‫الرج‬
َ ْ ِّ ‫اجتَنبُوا‬
ِ َ‫َفه و خي ر لَ ه ِعْن َد ربِِّه وأ ُِحلَّت لَ ُكم اأْل َْنع ام إِاَّل م ا يْتلَى علَي ُكم ف‬
ْ ْ َْ ُ َ ُ َ ُ ْ َ َ ُ ٌ َْ َ ُ
)30
25. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan
Masjidilharam yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ
maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara
lalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.
26. Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan
mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah

14
rumah-Ku ini bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang
yang rukuk dan sujud.
27. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap
penjuru yang jauh,
28. supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut
nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka
berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi)
berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.
29. Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan
hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan
tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
30. Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di
sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu
semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah
olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.
31. dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barang siapa
mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu
disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.
32. Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.
33. Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu, itu ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu
yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah
sampai ke Baitul Atiq (Baitullah).
34. Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka
menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka,
maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan
berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah),
35. (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang
yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan
orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka.
36. Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu
memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu
menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati),
maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan
unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.
37. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada
kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

Beberapa catatan Arkoun mengenai ayat-ayat al-Qur’an di atas:

15
Dalam percobaan-percobaan alih bahasa ini, sebenarnya dia bermaksud mengungkapkan
struktur sintaksis dan menunjukkan sistem konotasi dari naskah terjemahan agar memungkinkan
dilakukan analisa semantik dalam versi alih bahasa.

Bagaimana pun halnya, Arkoun telah mengambil berbagai keputusan menyangkut istilah-
istilah tertentu yang maknanya dapat diragukan menurut keadaan aktual dokumentasi yang ada
pada dirinya.

Ilmu tafsir tradisional sendiri telah mengambil keputusan tidak hanya mengenai “istilah-
istilah yang kabur” (gharib), namun lebih rawan lagi mengenai berbagai interpretasi keseluruhan
yang dipra-anggapkan dari berbagai bukti historis, psikologis, dan filosofis. Sebenarnya, ilmu
tafsir tradisional menurut Arkoun telah membakukan peribadatan haji dan menyusun suatu
teologi yang sesuai dengan struktur aksiomatis (dapat diterima sebagai kebenaran tanpa perlu
pembuktian) dogma Muslim (tanzil = wahyu plus kenabian plus keterlepasan dari dosa Kalam
Tuhan dan para perawi yang berjalin kelindan). Transendensi kalam Tuhan tidak menghalangi
para mufasir untuk menyempurnakannya dan menjelaskannya secara eksplisit dengan
mengulang-ulang ka-annahu qâl (sepertinya Dia befirman...). melalui formula itu, penafsir
mengisi berbagai elips (penghilangan satu atau dua kata dari kalimat tanpa merusak arti kalimat
itu), berbagai pemutusan logis dan sintaksis (tata bahasa yang membahas hubungan antara kata
dalam tuturan), ungkapan-ungkapan yang terlalu berkias, dan kekaburan semantik yang begitu
banyak di dalam al-Qur’an.

Pengkajian ulang, terutama adalah membahas kembali kendala-kendala awal kalam


dalam pengujarannya yang pertama. Namun menurut Arkoun suatu kajian yang terinci mengenai
pengujaran dan ujaran telah membawa dia terlalu jauh. Disini Arkoun membatasi diri pada
catatan-catatan yang paling maknawi bagi pokok bahasan yang dia bahas. Untuk memaparkan
bagaimana al-Qur’an menghancurkan alam semantik paganis dalam membentuk dengan makna
yang kuat berbagai kata kerja (qur’ani ja’ala, khalaqa, nasya’a, bada’a...) dan semua kata kerja
yang berhubungan subjek Tuhan (suatu tatanan tematik yang berbeda), kemudian Arkoun akan
menjelaskan berbagai praduga setiap ayat yang dikutip itu, juga akan menjelaskan ciri-ciri
linguistik yang memungkinkan perubahan dari eksistensial menjadi eksistensial (pahamnya
berpusat pada manusia individu).

a. Praduga-praduga semantik logis

16
Arkoun menyebut Praduga dalam dalam pengertian linguistik sebagai informasi tersirat
yang dikandung oleh semua ujaran dan yang dipengaruhi oleh penerimaan atau penolakan dari
ujaran itu oleh antar-penutur. Keberhasilan sudut pandang seorang penutur menurut Arkoun
selalu tergantung pada tiga parameter, yang sulit untuk menilai, dalam setiap kasus, efisiensinya
masing-masing: pertama: nilai operatif praduga-praduga itu dalam kegiatan kognitif dari
pemikiran, kedua: bentuk-bentuk linguistik yang dipakainya, ketiga: kekuasaan dari kelompok
sosial yang melandaskan diri padanya.

Kemudian Arkoun menjelaskan bahwa semua ujaran-ujaran qur’ani menyumbangkan


suatu verifikasi yang kuat dari berbagai pertimbangan tersebut: nilai operatif praduga-praduga itu
dan bentuk-bentuk linguistik eksploitasinya telah dinyatakan secara jelas oleh begitu banyak
khasanah tentang i’jaz24namun, Arkoun memandang bahwa teori i’jaz juga perlu diluruskan dan
dilengkapi dengan penyusunan kembali dimensi historis dan status filosofis setiap ujaran
qur’ani.25

Arkoun berpandangan bahwa haji adalah salah satu kerangka ungkapan yang paling kuat,
reproduksi yang ketat, dan pemantapan berbagai kandungan semantik yang diletakkan oleh al-
Qur’an. Karena itulah, menurut Arkoun, dengan mengungkapkan kembali informasi yang tersirat
dari ayat-ayat itu, maka akan dapat menunjukkan berbagai perseteruan dan pertaruhan suasana
historis awal.26

Catatan Arkoun terhadap keseluruhan ayat-ayat yang dikutip di atas adalah adanya suatu
praduga fundamental yang –sebagai aksioma- mempengaruhi semua cara kerja semantik
perubahan itu:

- Ada Tuhan Yang tunggal, Yang Berbicara dan mengambil berbagai prakarsa atas segenap
manusia.
- Tuhan adalah Penutur-Pengarang, subyek gramatikal, logis dan psikologis semua ujaran-
ujaran itu.

24
Yang dimaksud i’jaz disini adalah otensitas ketuhanan al-Qur’an yang dibuktikan melalui kesempurnaan bentuk
dan dasar menurut konsepsi-konsepsi sastera kritik tradisional.
25
Mohammed Arkoun, Lectures du Coran, terjemah:Hidayatullah, Kajian Kontemporer al-Qur’an, Bandung,
Pustaka, 1998, hlm.244.
26
Ibid, hlm. 245

17
Menurut Arkoun pada kenyataannya, praduga ini kerap kali dijelaskan secara formal di
dalam al-Qur’an; Bagi para pendengar “yang menentang” Muhammad saw, atau dewasa ini bagi
atheis, ia menyangkut suatu praduga kognitif yang menjadi obyek segala kontroversi. Karena itu,
Arkoun melanjutkan, semua perintah haji datang berlandaskan pada praduga-praduga yang tidak
dapat didamaikan lagi dengan praduga-praduga yang dipahami oleh “orang-orang kafir” atau pun
“orang-orang beriman”.

Berikut ini praduga-praduga utama secara kompetitif:27

No. Ayat-Ayat Q.S. al-Hajj Praduga Utama Kompetitif


ِ َّ ِ
‫ص دُّو َن‬ ُ َ‫ين َك َف ُروا َوي‬ َ ‫إ َّن الذ‬
1 1, Ada para penganut yang mengikuti dan harus mengikuti jalan
Allah;
‫َع ْن َس بِ ِيل اللَّ ِه َوالْ َم ْس ِج ِد‬ 2, Pergi ke MasjidilHaram adalah (cara) menempuh jalan Tuhan;
3, Kami (Tuhan) telah mengambil keputusan untuk membangun
ِ ‫احْلَ َر ِام الَّ ِذي َج َع ْلنَ اهُ لِلن‬
‫َّاس‬ Masjdilharam;
4, Kegunaan Masjidilharam telah berubah. Suatu pembedaan
‫ف فِي ِه َوالْبَ ِاد‬ ِ
ُ ‫َس َواءً الْ َع اك‬ diintroduksikan (diperkenalkan) antara orang-orang yang menetap
disekitarnya dan orang-orang yang datang dari gurun lain;
‫َو َم ْن يُ ِر ْد فِي ِه بِِإحْلَ ٍاد بِظُْل ٍم‬ 5, Ada yang datang dengan maksud menodainya;
6, Ada sanksi bagi para penoda itu;
)25(‫اب أَلِي ٍم‬ ٍ ‫نُ ِذقْهُ ِمن َع َذ‬
ْ 7, Dan ada konfrontasi antara “Kami’ dan mereka;
ِ ِ‫إِل‬ ِ
‫يم َم َك ا َن‬ َ ‫َوإ ْذ َب َّوأْنَ ا ْب َراه‬
2 1, Ibrahim telah tiba di Makkah. Dia mempunyai tugas di rumah suci
itu;
‫ت أَ ْن اَل تُ ْش ِر ْك يِب َش ْيئًا‬ ِ ‫الْبي‬ 2, Sebelum Ibrahim, tanah bangunan dari rumah suci tidak
َْ ditunjukkan;
ِِ ِ
َ ‫َوطَ ِّه ْر َبْييِت َ للطَّائف‬
‫ني‬ 3, Ibrahim tidak terlindung dari penyekutuan (Allah);
4, Rumah suci itu mungkin telah dinodai;
ِ ‫الس ج‬ ِِ
‫ود‬ ُ ُّ ‫الر َّك ِع‬ ُّ ‫ني َو‬
َ ‫َوالْ َق ائم‬ 5, Thawaf dan gerakan-gerakan shalat Muslim di rumah suci telah
dilaksanakan sejak campur tangan Ibrahim;
)26( 6, Ibrahim bertindak sesuai denganperintah-perintah Tuhan.
3
‫وك‬َ ُ‫َّاس بِ احْلَ ِّج يَ أْت‬
ِ ‫َوأ َِّذ ْن يِف الن‬ 1, Manusia tidak menyambut panggilan untuk menunaikan haji
sebelum kamu (Muhammad);
‫ض ِام ٍر‬ َ ‫ِر َج ااًل َو َعلَى ُك ِّل‬ - Hanya beberapa orang menerima panggilan sebelum kamu;
- Manusia (beberapa orang) menerima panggilan itu, namun
( ‫ني ِم ْن ُك ِّل فَ ٍّج َع ِمي ٍق‬ ِ
َ ‫يَ أْت‬ tidak menanggapinya;
2, Seruanmu mempunyai suatu nilai khusus. Seruanmu akan
)27 didengar dan dipatuhi oleh mereka semua dan berbagai tempat.
4
‫لِيَ ْش َه ُدوا َمنَافِ َع هَلُ ْم َويَ ْذ ُكُروا‬ 1, Ada berbagai manfaat di Masjidilharam bagi para peziarah;
- Mereka tidak mungkin mempersaksikan berbagai manfaat
‫ات‬ٍ ‫اس م اللَّ ِه يِف أَيَّ ٍام معلُوم‬ itu di tempat lain dan dalam keadaan-keadaan lain;
َ َْ َ ْ - Orang tidak berupaya mempersaksikan manfaat-manfaat itu;
‫يم ِة‬ ِ ِ
َ ‫َعلَى َم ا َر َز َق ُه ْم م ْن هَب‬ - Memang ada orang yang tidak berupaya mempersaksikan
berbagai manfaat itu;
2, Orang tidak menyeru nama Allah...;
27
Ibid, hlm. 245-246.

18
‫اأْل َْن َع ِام فَ ُكلُوا ِمْن َه ا َوأَطْعِ ُم وا‬ 3, Rombongan-rombongan itu (yakni binatang-binatang ternak yang
dikorbankan) adalah kepunyaan Allah;
)28( ‫س الْ َف ِق َري‬ ِ
َ ‫الْبَائ‬
4, orang tidak memakan daging binatang yang dikorbankan itu dan
tidak memberikannya kepada orang-orang yang hidup melarat;
- Orang memakannya, namun tidak membagikannya kepada
orang-orang yang hidup melarat;
- Orang membagikannya kepada orang-orang yang hidup
melarat, namun tidak memakannya.

Arkoun berpandangan bahwa dengan menyebut praduga-praduga itu, sebenarnya


merekonstruksi konteks nyata dimana berbagai ujaran-ujaran itu dioperasikan. 28 Transformasi
dari haji pagan menjadi haji Islami adalah suatu tindakan realism sosio-politik dan kreasi
semantik yang tahap-tahapnya dapat kita telusuri dan marka-marka linguistiknya dapat kita catat
di dalam al-Qur’an. Karena itu masalahnya menurut Arkoun adalah mengetahui bagaimana
penanggungan tugas sejarah konkrit secara serentak berhasil melancarkan ekspansi semiotis
pengungkap transendensi.29

b. Perubahan Dari Eksistensial Menjadi Eksistensial

Melalui ayat-ayat yang dikutip di atas, Arkoun menyatakan bahwa dia hendak mengkaji
kosakata dan berbagai prosedur ungkapannya. Arkoun hendak mengamati bagaimana wacana
Qur’ani menghimpun ciri-ciri pembeda bahasa keagamaan.

Menurut Arkoun adalah hal yang penting mencatat kosakata mengenai yang sakral yaitu;
Masjidilharam, pemurnian, penodaan, thawaf, larangan-larangan, syi’ar-syi’ar Allah, pengotoran,
ketundukan, hati, nama Tuhan, dan berita gembira. Menurut Arkoun, kenapa terminologi ini
telah dapat menimbulkan dampak yang lestari terhadap kesadaran?, itu karena terminologi
tersebut bukan hanya berupa kata-kata yang relatif didefinisikan secara jelas. Namun setiap
istilah mengacu pada suatu tempat, obyek, gerakan ritual, dan kalam yang dipergunakan sebagai
dukungan-dukungan material bagi semangat spiritual peziarah dalam keadaan sakral (ihram) dan
berada dalam pusat-pusat proyeksi makna-makna yang khas dalam setiap pengalaman
keagamaan keagamaan.30

28
Ibid, hlm. 246
29
Ibid, hlm. 247
30
Ibid

19
Arkoun memandang bahwa sudah tepat untuk membahas suatu perluasan semiotis haji
seperti; ruang sakral miqat, tanah bangunan rumah suci, Ka’bah, kain yang menyelubunginya,
jalan lintasan peziarah, air zam-zam, seruan-seruan pada waktu pelemparan batu, daging dan
darah binatang kurban, pakaian peziarah dan lain sebagainya. Semua sistem tanda material ini
mengacu pada suatu sistem kepercayaan. Menurut Arkoun lebih tepatnya adalah suatu sistem
simbol-simbol pada makna etimologis persentuhan dua pihak yang dipisahkan oleh realitas.
Dalam ruang waktu sakral haji, berbagai perubahan dari realitas material menjadi realitas
spiritual beroperasi bagi kesadaran.31 Menurut Arkoun, al-Qur’an telah menggantikan yang
sakral tercerai, aksidental, dan yang disusun secara hirarkis oleh para paganis menjadi suatu
sakral yang murni, trans-sosial, trans-historis, dan yang dipusatkan Allah.32

Menurut Arkoun dengan kosakata tersebut dapat membahas suatu struktur leksikologis
(kosakata dan makna) sentral dan struktur pendamping. Dengan demikian menurut Arkoun,
dalam setiap kata, terbentuk simbolisme keagamaan yang menggabungkan berbagai kualifikasi
konkret pemakaian yang lazim, data-data alamiah lingkungan, dan acuan-acuan pada makna
terakhir.33 Transendensi lanjut Arkoun ditangkap secara simultan (terjadi/berlaku pada waktu
bersamaan) sebagai dunia luar dan dekat yang tak terpahami dan terwujud.34

3. Haji di dalam Syari’ah; Literalisme, Ritualisme dan Spiritualisme

Menurut Arkoun, telah terjadi perubahan dari fakta qur’ani menjadi fakta Islami dan itu
masih belum menjadi obyek dalam pemikiran Muslim kontemporer, penyelidikan yang cermat
terhadap berbagai proses linguistik, historis, dan teologis yang telah menandai dan terus
menandai perubahan tersebut. Kesadaran Islami umum hanya puas menghayati dogma
kemungkinan kesinambungan pengalaman paragdimatis yang dilestarikan dalam bentuk
linguistik yang ideal dari al-Qur’an, sepanjang sejarah konkrit manusia.35

Haji yang dikodifikasi: kembali pada ruang eksistensial tertutup.

31
Ibid
32
Ibid, hlm. 248
33
pemakaian yang lazim (penderitaan, berdiri tegak, jalan kaki, hewan kendaraan yang kurus, daging, darah,
rombongan hewan, dll.) data-data alamiah lingkungan (rumah suci, Ka’bah, berhala-berhala, kelompok-kelompok
manusia, pelosok-pelosok, langit), dan acuan-acuan pada makna terakhir (Allah, nama Allah, berita gembira,
Ibrahim, hanif…).
34
Mohammed Arkoun, Lectures du Coran, terjemah:Hidayatullah, Kajian Kontemporer al-Qur’an, Bandung,
Pustaka, 1998, hlm.248.
35
Ibid, hlm. 250

20
Wacana yuridis menurut Arkoun telah melakukan sejumlah pemindahan yang
menentukan dibandingkan dengan wacana keagamaan. Ada hal penting yang mesti dijelaskan
menurut Arkoun tentang adanya berbagai pertaruhan dan pemindahan itu dalam memahami
secara benar ketegangan ekstrem yang kemudian berkembang antara para partisan haji legal
(Syar’i) dan para pembela haji spiritual (‘aqli).36 Arkoun memberikan contoh dengan
mengomentari catatan dari ahli hukum Malikiyah yang bernama Ibn Abi Zayd al-Qarawani (w.
386) berikut ini:

Malik berkata bahwa, sejak kedatangannya di Makkah, penganut harus masuk ke dalam
rumah suci itu. Dia sangat dianjurkan agar memasukinya melalui pintu Banu Syaibah,
dan selanjutnya mencium hajar aswad, bila hal itu memungkinkan. Setidaknya ia
meletakkan telapak tangannya (di Hajar Aswad itu), lalu meletakkan tangan itu ke
mulutnya, namun tanpa menciumnya. Lantas , hendaknya ia melakukan thawaf dengan
mengelilingi rumah suci itu dari sebelah kiri. Gerak memutar ini tujuh kali, tiga kali
dilakukan dengan langkah yang dipercepat dan empat kali sisanya dilakukan dengan
langkah teratur. Dalam setiap putaran, hendaknya ia menyentuh Hajar Aswad dengan
salah satu cara yang diterangkan di atas dan hendaknya mengucapkan ucapan takbir.
Hendaknya ia tidak mencium sudut yamani Hajar Aswad. Hendaknya ia sebatas
menyentuhnya dengan tangan, lalu meletakkan tangan itu di mulutnya, namun tanpa
menciumnya. Dalam putaran-putaran yang dilakukannya, hendaknya ia melaksanakan
dua ruku’ di dekat maqam (Ibrahim), lalu menyentuh Hajar Aswad jika mungkin.
Kemudian hendaknya ia keluar menuju Shafa dan berdiri sejenak untuk memanjatkan
do’a-do’a, lalu pergi ke Marwa dengan langkah cepat di cekung lembah...

Menurut Arkoun, berbagai kata kerja itu untuk memperhatikan pentingnya ciri-ciri
linguistik berikut ini: pertama; kata kerja dalam catatan tersebut sangat banyak. Hal itu
dimaksudkan bahwa haji untuk selanjutnya adalah sejumlah sikap, gerak, amal, dan ucapan yang
dibakukan secara ketat. Kedua; berbagai kata kerja itu dalam bentuk masa yang akan datang dari
modus indikatif yang menunjukkan kata kerja yang bersifat perintah dalam bahasa Arab. Ketiga;
kata kerja itu merupakan subyek gramatikal, bentuk orang ketiga tunggal anonim sebagai pelaku
reproduktor, dan tidak pernah sebagai subyek pemrakarsa. Keempat; berbagai kata kerja itu

36
Ibid.

21
tergolong pada proposisi-proposisi seperti halnya definisi-definisi dan perintah-perintah. Kelima;
perintah-perintah ini bertumpu pada obyek-obyek dan tempat-tempat (Rumah suci, Hajar aswad,
sudut yamani, maqam, shafa-marwa) yang banyak direduksi dan diandaikan secara umum.
Karena itu semuanya sama sekali bukan menyangkut pokok bahasannya. Keenam; pengarang
yang menjamin hirarki yang absah dari berbagai amal yang terungkap melalui berbagai kata
kerja itu adalah Malik bin Annas (w.179). karena itu, ia adalah perantara satu-satunya antara
naskah suci (al-Qur’an dan Hadits) dan ujaran-ujaran legislatif yang menentukan secara tak
berubah dan sangat jelas atas segala amal para penganut. Karena itu pula, pada catatan yang
dikutip itu –dan secara lebih umum wacana yuridis Muslim- berfungsi sebagai suatu kutipan: ia
hanya merupakan sebuah marka dari penutur: Ibn Abu Zaid yang mereproduksi suatu urutan
berbagai proposisi yang sudah dikodifikasi dan tak terganggu-gugat.37

F. PENUTUPAN

Mohammed Arkoun seorang pemikir muslim yang banyak mengikuti analisis semiotis,
menggarisbawahi bahwa teks yang ada pada kita adalah hasil dari suatu tindakan pengujaran (St.
Sunardi).38 Pemikiran Islam ala Mohammed Arkoun –dalam beberapa hal- justru dekat dengan
pemikiran Fazlur Rahman, khususnya dalam alur pemikirannya yang sangat “kritis” terhadap
warisan intelektual Islam era klasik-Skolastik, abad tengah (M. Amin Abdullah). 39 Salah satu
aspek pemikiran Arkoun yang sangat berharga adalah usahanya memperkenalkan pendekatan
hermeneutik sebagai sebuah metodologi kritis (Komaruddin Hidayat).40

37
Ibid, hlm.251-252
38
Ibid, hlm. 89
39
Johan Hendrik Meuleman, Membaca al-Qur’an Bersama Muhammed Arkoun, LkiS, Yogyakarta, hlm.2
40
Ibid, hlm37

22

Anda mungkin juga menyukai