Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

FILSAFAT ISLAM
MEMAHAMI “RETAKAN EPISTEMOLOGIS” PEMIKIRAN ISLAM DUNIA BARAT
(MAGHRIB) DAN TIMUR (MASHRIQ)

Dosen Pengampu:
Dr. Haqqul Yaqin, M.Ag

Disusun Oleh:
Idris Nur Hikmah (07020320043)
Ikawa Rosyidah (07010320013)
Istibsarotul Insiyah (07010320014)

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Memahami “Retakan
Epistemologis” Pemikiran Islam Dunia Barat (Maghrib) dan Timur (Mashriq).
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Dr.
Haqqul Yaqin, M.Ag pada mata kuliah Filsafat Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Haqqul Yaqin, M.Ag selaku Dosen
mata kuliah Filsafat Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Surabaya, 22 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................................

KATA PENGANTAR ............................................................................................

DAFTAR ISI ...........................................................................................................

I. PENDAHULUAN ..................................................................................................

a) LatarBelakang .........................................................................................................
b) RumusanMasalah ....................................................................................................
c) TujuanMasalah ........................................................................................................

II. PEMBAHASAN .....................................................................................................

a) Gelombang Helenisme ke Dunia Islam...................................................................


b) Teori “Retakan Epistemologis” (Gaston Bachelar dan Louis Althusser) ...............
c) Karakteristik Corak Pemikiran Dunia Barat dan Timur Islam dan Klasifikasi Para
Tokoh “Pemenggal Epistemologis” Timur dan Barat Islam ..................................

III. PENUTUP ...............................................................................................................

a) Kesimpulan .............................................................................................................

IV. DAFTAR PUSTAKA


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Filsafat Islam juga sering disebut filsafat Arab dan filsafat Muslim merupakan
suatu kajian sistematis terhadap kehidupan, alam semesta, etika, moralitas,
pengetahuan, pemikiran, dan gagasan politik yang dilakukan di dalam dunia Islam atau
peradaban umat Muslim dan berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam Islam,
terdapat dua istilah yang erat kaitannya dengan pengertian filsafat— falsafa (secara
harfiah "filsafat") yang merujuk pada kajian filosofi, ilmu pengetahuan alam dan
logika, dan Kalam (secara harfiah berarti "berbicara") yang merujuk pada kajian teologi
keagamaan.
Dalam diskurs keilmuan antara hellenisme dan islam telah terjadi proses timbal
balik, yatu terjadinya hellenisme islam dan islamisasi hellenis. Kalau dijabarkan akan
mengandng makna bahwa kata “Hellenis”1 merefresintasikan ilmu [filsafat] yang secara
epistemologis perolehannya lewat akal (ratio). Sementara kata Islam mencerminkan
ajaran-ajaran yang mencapaiannya melalui wahyu (rvalation).
Kritik nalar Arab terpahat menjadi ukiran konsepsi unik yang mendapat
apresiasi terluas dibanding konsepsi-konsepsi kebangkitan lain yang muncul dalam
kebudayaan arab kontemporer. Namun, disisi lain kritik nalar Arab dihujani beberapa
kritik argumentatis yng cukup masssif dari para pemikir kawakan seperti George
Tharabisyi dari Syiria dan Yahya Muhammad dari Sudan. Menyadari urgensitas
kontribusi wacana kritik nalar Arab dalam proyek kebangkitan modern, kami
mendeskripsikan Abed al-Aabiri formulasi nalar Arab Takwin al-Aql al-Arabi.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana terjadinya gelombang helenisme ke dunia islam?


2. Bagaimana teori “retakan epistemologis” (Gaston Bachelar dan Louis Althusser)?
3. Bagaimana karakteristik corak pemikiran dunia barat dan timur islam dan klasifikasi
para tokoh “pemenggal epistemologis” timur dan barat islam?

1
Lihat, encyclopadia britanica,”hellenic age”, vol. II, (chicago: willian benton, 1970), hal. 323; bandingkan, paul
edwards (ed.), the encyclopedia of philosophy, vol. 3 & 4 (new york:macmillan publishing, 1972), hal. 467.
C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui terjadinya gelombang helenisme ke dunia islam.


2. Mengetahui teori “retakan epistemologis” (Gaston Bachelar dan Louis Althusser).
3. Mengetahui karakteristik corak pemikiran dunia barat dan timur islam dan klasifikasi
para tokoh “pemenggal epistemologis” timur dan barat islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. GELOMBANG HELENISME KE DUNIA ISLAM

Adanya gelombang Helenisme adalah ditandai dengan penerjemahan karya-


karya intelektual asing (filsafat Yunani) secara besar-besar an. Kegiatan penerjemahan
ini sebagian besar berasal dari karangan Aristoteles, Plato, serta neoplatonisme.
Gelombang helenisme lahir pada sekitar abad ke 8 sampai dengan 10. Gelombang ini
ditandai dengan penerjemahan karya-karya intelektual asing seperti filsafat Yunani
secara besar-besaran agar bisa dipelajari oleh umat Islam tanpa batas. Paradigm yang
dipakai adalah inklusif, mau menerima pemahaman yang datang dari luar, sekalipun
berbeda. Tidak enggan mengkajinya. Bahkan diterima sebagai bahan yang dapat
memperkaya perspektif. Akhirnya lahirlah metode berfikir sistematis dan rasional, yaitu
manthiq (logika formal). Selain itu ada biologi, ilmu bumi, matematika, dan
sebagainya.

Gerakan hellenisme dilakukan oleh kekhalifahan Daulah Abbasiyah. Hal itu


disebabkan oleh adanya persentuhan antara budaya Arab dengan budaya Yunani pada
masa perkembangan Islam. Upaya penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam Islam
yang paling menonjol yaitu dilakukan oleh khalifah Harun Al-Rasyid pada tahun 786
M.2 di bawah pemerintahannya, penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani ke
dalam bahasa Arab pun dimulai. Pada mulanya yang dipentingkan adalah buku-buku
tentang kedokteran tetapi kemudian juga mengenai ilmu pengatahuan lain dan filsafat.
Pada mulanya karya yang akan diterjemahkan tergantung pada perorangan . tetapi
kemudian khalifah al-Ma’mun (813-833 M) atau para penasehatnya menyadari
pentingnya seluruh ilmu pengetahuan Yunani dan memerintahkan melaksanakan
penerjemahan secara besar-besaran. Akhirnya didirikanlah suatu lembaga tempat buku-
buku diterjemahkan dan disalin yang bernama “Bait al-Hikmah”.3

Selama masa satu atau dua abad penerjemahan berlangsung terus-menerus.


Adapun penerjemah yang termahsyur di zaman itu antara lain Hunayn Ibnu Ishaq, anak
Hunayn yang bernama Ishaq, Hubays, Abi Bishr Matta Ibnu Yunus. Dengan kegiatan

2
M. Anis Bachtiar, GERAKAN HILLENISME DALAM ISLAM, Jurnal Tribakti, halaman 110
3
Ibid, halaman 111
penerjemahan ini, sebagian besar dari karangan Aristoteles, sebagian tertentu dari
karangan Plato, serta karangan mengenai neoplatonisme, sebagian besar dari kalangan
Galen, serta karangan ilmu kedokteran dan ilmu pengetahuan Yunani lainnya.
Karangan tentang filsafat banyak menarik perhatian mu’tazilah, sehingga mereka
banyak dipengaruhi oleh pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani. Abu
al-Huzail al-Allaf, Ibrahim al-Nazam, Bishr Ibn al-Mu’tamir dan lainnya banyak
membaca buku-buku filsafat dalam pembahasan mereka mengenai teologi Islam daya
akal atau logika yang mereka jumpai dalam filsafat Yunani.

Tidak lama kemudian timbullah dikalangan umat Islam filosof-filosof dan ahli
ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu kedokteran, seperti Abul Abbas al-Sarkasy
(abad ke-9 M), Al-Razi (abad ke-10 M), dan lain-lain. Filosof Islam yang muncul
pertama yaitu di abad ke-9 M yaitu al-Kindi, kemudian diikuti oleh filosof lain seperti
al-Razi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain.4

B. TEORI “RETAKAN EPISTEMOLOGIS” (GASTON BACELARD DAN LOUIS


ALTHUSER)

Kritik nalar Arab al-Jabiri mengklasifikasi tipologi pemikiran dalam


kebudayaan Arab-Islam berdasarkan “retakan epistemologis” (rupture epistelogique/
epistemological rupture/al-qati>’ah al-ma’arifi>yah) antara Andalusia-Maghrib dan
Mashriq. Barat dan Timur tidak hanya perbedaan geografis, tetap juga
mengekspresikan perbedaan epistemologis. Pemikiran yang beredar dikawasan
Andalusia-Maghribi merepresentasikan rasionalisme empirik, sementara pemikiran
kawasan Timur cenderung iluminatif dan irasional.

“Retakan epistemologis” termasuk konsep terpenting yang difungsikan oleh al-


jabiri dalam proyek ideologisnya. Konsep tersebut pertama kalinya dipakai oleh Gaston
Bacelard (1884-1962), filsuf prancis.5 Mula-mula pandangan hegemonik mainstream
ilmuan eropa menganggap bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara kontinu dan
berjalinan. Artinya, penemuan-penemuan baru tak lain merupakan kepanjangan
penemuan kuno. “yang kuno” selalu menjadi pondasi “yang baru”. Namun, pada
babakan selanjutnya, Bachelard menilai perkembangan ilmu pengetahuan berjalan
melalui keterputusan dan diskontinuitas. Bachelard menjelaskan bahwa konsepsi-

4
Ibid, halaman 112
5
Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid 2, Prancis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 161-175.
konsepsi imu pengetahuan pada masa tertentu selalu mengalami konsepsi-konsepsi-
yang baru sama sekali. “yang kuno” tidak memberikan kontribusi bagi “yang baru”.
“yang baru” selalu terputus sama sekali dengan “yang kuno”. Hali ini terbukti dengan
sebuah fenomena bahwa ilmu pegetahuan sejak era galileo telah menyaksikan
diskontinuitas yang tak sedikit.

“Retakan epistemologis” kemudian didapuk oleh Louis Althusser sebagai pisau


analisis yang tajam guna mengiris dan merobek-robek relasi antara Karl Marx dan
Hegel. Hingga 1848-an, Marx dan Hegel bagaikan dua sisi keping mata uang yang tak
terpisahkan. Pemikiran Marx pada saat itu senantiasa bergerak dibawahbayang-bayang
konsepi-konsepsi Hegel yang menghegemoni ideologi Jerman. Namun, setelah
menganalisis sistem ekonomi kapital, Karl Marx tampak memutus tali-ikatan
konseptual dengan Hegel. Das Kapital menjadi master piece yang tak bisa lagi
dikorelasikan dengan buku-buku Karl Marx terdahulu. Das Kapital telah mengubah
Marx menjadi “yang lain”: Marx “yang baru” dan Marx pemenggal epistemologis.6

Dengan mengadopsi teori “Retakan Epistemologis”, Abid al-Jabiri membagi


sejarah pemikiran Arab-Islam menjadi dua: pemikiran Andalusia-Maghribi dan
pemikiran Mashriq. Pemikiran mashriq berciri genostik-irasional yang
direpresentasikan oleh Ibn Si>na>, suhrawardi>, al-Ghaza>li>, S{adr al-Muta’alihin,
Syiah Ismailiyah, dan para penganut filsafat illuminasi. Disisi lain, pemikiran
Andalusia-Maghribi berciri rasional Aristotelian dan empirik yang direpresentasikan
oleh Ibn H{azm, Ibn Bajah, Ibn Tufatl, Ibn Rushd, Ibn Khaldu>n, al-Sha>tibi>, dan Ibn
Mad}a> al-Qurt}ubi>. Para raksasa Andalusia-Maghribi dianggap memutus dan
memenggal epistemologi pemikiran mereka dari corak pemikiran yang berkembang di
Masriq. Para raksasa Andalusia-Maghribi dinilai telah menyuguhkan pemikiran “yang
baru” sama sekali: sebuah pemikiran yang tak terikat dengan model pemikiran Mashriq.

C. KARAKTERISTIK CORAK PEMIKIRAN DUNIA BARAT DAN TIMUR


ISLAM & KLASIFIKASI PARA TOKOH “PEMENGGAL EPISTEMOLOGIS”
TIMUR DAN BARAT ISLAM

Tokoh-tokoh yang dianggap popular dalam pembahasan ini ialah Bernard


Lewis, Edward W. Said, Hassan Hanafi juga termasuk John L. Esposito. Akan tetapi,

6
Abid al-Jabiri, al-Tura>th wa al-H{ada>thah, h. 327.
ketiga tokoh ini selain Esposito adalah para pakar Islam dan Barat yang mempunyai
karakteristik tersendiri.

• Respon Bernard Lewis

Gerakan-gerakan para esktrimisme Islam yang selalu menggunakan


kekerasan dalam melakukan berbagai aksinya, tercermin pada peristiwa pembunuhan
Anwar Sadat pada tahun 1981, pendudukan Kedutaan Besar Amerika di Iran, kasus
World Trade Center (WTC), penyanderaan warga Amerika di Lebanon, dan berbagai
aksi terorisme lewat peledakan bom, serta pembajakan pesawat yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok seperti organisasi Pembebasan Islam, Jihad, ataupun kelompok
Hizbullah.

Peristiwa-peristiwa tersebut yang menjadikan Islam sebagai berita utama


(headline) pada media-media Barat dan para pakar yang membuat kesimpulan bahwa
Islam identik dengan fundamentalisme, terorisme dan ekstrimisme. Secara ringkas,
pemikiran Lewis menyatakan bahwa hegemoni pengetahuan Barat terlihat jelas ketika
kaum terdidik di negara berkembang dengan setia, tidak sadar menyebarkan dan
membela nilai-nilai serta institusi Barat seperti demokrasi, civil society, dan hak asasi
manusia. Semua yang datang dari Barat diterima sebagai nilai-nilai universal yang
merupakan produk peradaban terbaik yang harus diikuti. Meskipun pemikiran Lewis ini
masih cukup kontroversial, tapi cukup memberikan warna keilmuan yang semakin
kritis dan membuka ruang dialog bagi yang pro dan kontra sehingga umat Islam akan
semakin dewasa dan kritis dalam memahami sebuah persoalan, baik yang terkait
dengan sosial, politik, agama, dan lain sebagainya.

Para pakar Islam di Barat menganggap kebangkitan Islam sebagai ancaman


(threat) baru paska tumbangnya komunisme. Seperti komunisme, kebangkitan kembali
Islam bukan hanya gerakan dakwah (proselytizing) tapi juga gerakan mengubah
(revisionist). Kebangkitan Islam, menurut Daniel Pipes, seorang orientalis yang anti
Islam, adalah sebuah kekuatan yang atavistik dan militan yang didorong oleh
kebencian-kebencian terhadap pemikiran politik Barat, mengajak kembali ke medan
permusuhan sepanjang zaman melawan Kristen. Pipes dan sejumlah sarjana Barat
(Orientalis) lainnya seperti, Huntington, dan Bernard Lewis memberikan opini-opini
negatif tentang Islam. Jauh sebelum Huntington melontarkan hipotetisnya, Bernard
Lewis telah membunyikan bel tanda bahaya: perti_kaian yang terjadi saat ini tidak
kurang dari sebuah perang peradaban sebuah reaksi, yang mungkin irasional tapi
sungguh historis, dari rival lama melawan warisan Yahudi-Kristen kita, diri sekuler
kita, dan pengembangan dua hal ini ke seluruh dunia.

Lewis bercerita tentang sikap resistensi umat Islam pada kemajuan, dan
kegagalan umat Islam untuk mengejar ketertinggalan dari bangsabangsa Eropa. Padahal
dua atau tiga ratus ta_hun sebelumnya, umat Islam jaya. Intinya, sejak abad 19an, oleh
sebagian politisi, misalnya Kemal Attaturk, para pemikir, seperti Ali Abdurraziq, dan
lainlain, kemunduran Umat Islam ini dicoba untuk dihilangkan. Lebih tragisnya,
menurut Lewis bahwa kemunduran umat Islam itu disikapi oleh umat Islam sendiri,
tidak hanya dengan keengganan untuk bersedia maju dan membangun diri dengan
membuka diskursus dan dekonstruksi pemikiran dan kepercayaan yang ada dalam diri
mereka.

Oleh karena itu, bagaimana dengan pendapat Bernard Lewis tentang


“benturan (clash)” ini, terutama kaitannya dengan Islam dan modernitas? Sebenarnya,
gagasan Lewis tentang (clash) ini masih terkait dengan tesis Huntington. Kemudian,
Lewis melahirkan karya dalam bentuk artikel yang berjudul The Roots of Muslim Rage
yang mengatakan hal yang sama ten_tang bagaimana kaum Muslim memosisikan Barat
sebagai musuh. Dalam sub judul artikelnya “Clash of Civilizations” utuk menekankan
klaimnya bahwa nilainilai Barat dan Islam memang bertentangan sehingga mustahil
akan terjadi koeksistensi antara Islam dan Barat. Sebagai sejarawan Timur Tengah,
Bernard Lewis memberikan gambaran dan penjelasan historis mengenai pola
konfrontasi Barat dan Islam, seperti pernyataan Lewis: Pertarungan Islam dan Barat
saat ini telah melewati empat belas abad. Ia terdiri dari (bukan sekadar meliputi)
rentetan panjang penyerangan dan serangan balik, jihad dan perang salib, penaklukan
dan penaklukan kembali.

• Respon Edward W. Said

Pencitraan buruk mengenai Islam di Barat disebabkan oleh opini_opini


negatif yang dipaparkan oleh para pakar atau pengamat Islam. Mediamedia Barat juga
turut andil dalam memberikan citracitra negatif dalam peliputannya tentang Islam,
seperti yang diungkapkan Edward Said, “pembusukan citra Islam tidak hanya oleh para
akademisi tetapi juga oleh mediamedia Barat. Berbagai generalisasi yang kejam tentang
Islam telah menjadi bentuk pencemaran nama baik terkini.7

Dalam investigasi Edward Said, Islam dicirikan sebagai ancaman hijau (The
Green Menace), Said juga mencatat, selain opini-opini yang bernada menghasut yang
menghiasi berbagai media, Barat juga telah membentuk image negatif terhadap Islam
seperti melalui film-film, media massa, dan sarana media lainnya. Hal yang paling
mencolok dapat dilihat dari penggambaran negatif Islam yang tampak dalam beberapa
film yang berjudul; Jihad in America, True lies, dan Delta Force. Film-film tersebut
menampilkan tokoh penja_hatnya berupa teroris klasik, lengkap dengan kilatan
matanya dan nafsu besar untuk membunuh orangorang Amerika. Dalam hal ini, Edward
W. Said mempunyai kritikan pedas terhadap Lewis yang mengatakan bahwa Lewis
merupakan bagian dari skandal kesarjanaan (scandals of scholarship) dengan
mempelajari Timur dan Islam untuk berkonfrontasi dan menguasainya.

Persoalan-persoalan agama yang semakin pesat dan berkembang baik di


dunia Barat maupun dunia Timur, sebenarnya perdebatan ini muncul pertama karena
reaksi dan pengaruh dari pemikiran Said. Dia lebih mengarahkan perhatiannya pada
kenyataan bahwa tulisantulisan tentang masyarakat dan kebudayaan Islam muncul
dalam sesuatu konteks tertentu; kepenti_ngankepentingan politik, ekonomi dan
profesional yang disertakan dalam gambaran tentang bangsa Arab, Persia, Muslim
secara umum dan tradisi tradisi kultural mereka, seperti yang menghiasi literatur-
literatur Barat dan karyakarya ilmiah. Unsur pokok lainnya adalah kenyataan bahwa
garis pemisah antara Barat dan Timur adalah bikinan manusia, bukan hukum alam.
Batas ini adalah sebuah, wilayah imaginatif.

Selain kritikannya terhadap Lewis, Said juga mengkritik Huntington. Said


berangkat dari Gerakan teror seperti pada peristiwa 11 september sepertinya
membenarkan tesis Huntington tentang benturan peradaban. Dalam pandangan Said,
Huntington dianggap sama seperti kaum orientalis lain yang suka main pukulrata dan
melihat dunia dalam kategorikategori besar yang terpisah satu sama lain dan sama
sekali tak terjembatani. Padahal, menurut Said, sejarah tidak hanya berisi perang agama
dan penaklukan, namun juga pertukaran budaya, saling berbagi, dan saling
memperkaya.

7
Edward W. Said, Covering Islam, terj. Apri Danarno (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. xiv.
Oleh karena itu, Menurut Said yang dibutuhkan dalam membangun relasi
harmonis antara Islam dan Barat adalah ulasan tentang prinsip universal keadilan dan
ketidakadilan, yang nantinya dapat membuahkan kesepahaman yang lebih baik, dan
bukan analisis seperti Huntington . Itu sebabnya Said menilai peristiwa 11 september
itu lebih merupakan benturan kedunguan daripada benturan peradaban.

Pendapat-pendapat yang dilontarkan Eward Said lebih bersifat objektif dan


kemungkinan banyak benarnya. Problem pemikiran Islam Timur dan IslamBarat sangat
menarik untuk diperbicangkan saat ini. Pada zaman mutakhir ini literatur keislaman
dibanjiri oleh bahanbahan dalam ber_bagai bahasa Barat yang kaya, negerinegeri
Muslim bekas jajahan Inggris misalnya, kita sangat produktif dengan karya-karya
penting.

Oleh karena itu, Islam dan Barat setidaknya menanggalkan pendekatan


simplistik mereka yang telah terbukti menjerumuskan ke dalam tendensi_tendensi
hegemonik dan etnosentrik, dalam rangka untuk menghapus prasangka dan pencitraan
salah yang telah mengakar sampai saat ini. Yang paling penting, dari terjadinya
benturan, perselisihan, kita dapat mem_bangun ke arah yang lebih dialogis dan saling
memberi kekuatan dalam membangun peradaban dunia modern saat ini.

Menurut Gergez8, Lewis termasuk kelompok pemikir Amerika yang cukup


keras dan termasuk golongan konfrontasionis yaitu selalu memper_sepsikan Islam
dengan pencitraan yang negatif. Dengan kata lain, Islam adalah sebagai The Black Side
of The world yaitu Islam selalu diposisikan sebagai ancaman bagi demokrasi dan
lahirnya tatanan dunia yang damai. Selain Bernard Lewis menurut Gergez yang
termasuk golongan konfronta_sionis termasuk Almos Perlmutter, Samuel Huntington,
dan Gilles Kepel. Adapun kelompok akomodasionis justru menolak diskripsi Islamis
yang selalu menggambarkan Islam sebagai anti demokrasi. Mereka membeda_kan
antara tindakantindakan kelompok oposisi politik Islamis dengan minoritas ekstrim
yang hanya sedikit jumlahnya. Di antara kelompok ini terdapat nama John L. Esposito
dan Leon T. Hadar. Bagi mereka, di masa lalu maupun di masa sekarang, ancaman
Islam sebenarnya tidak lain adalah mitos Barat yang berulangulang.32 Untungnya, kita
masih mengenal sarjanasarjana Barat yang masih simpatik dengan Islam seperti John

8
Fawaz A. Gerges, Amerika dan Islam Politik: Benturan Peradaban atau Ben_turan Kepentingan. Terj, Hamid
Basyaib dan Kili Pringgodigdo (Jakarta: Alvabet, 2002), hlm. 30.
Esposito, John Enstelis, John Voll, Robert Pelletreau, dan James Piscatoris. Mereka
tidak sekedar mengekspos mitos ancaman Islam, melainkan mereka melihat Islam
sebagai tantangan peradaban (civilizations) intelektual dan moral. Bagi mereka,
kebangkitan Islam bukan ancaman bagi Barat, melainkan satu ekspresi otentik kaum
muslim guna memberikan kontribusi terhadap peradaban global.

• Respon Hasan Hanafi

Berbicara soal respon Hassan Hanafi tentang Islam-Barat, ia melaku_kan


sebuah counter pemikiran yang dikenal dengan oksidentalisme (lawan kata dari
orientalisme). Oksidentalisme yang diusung Hanafi ini dimaksud_kan untuk menguak
ambiguitas sejarah antara Islam dan Barat. Hingga saat ini, oksidentalisme Hanafi
masih belum dikatakan sukses, tetapi paling tidak Hanafi menjadi corong bagi
hubungan Islam-Barat. Artinya, tokoh muslim yang berani memunculkan ide
oksidentalisme Hassan Hanafi ini layak untuk diapresiasi.

Respon para tokoh pemerhati Islam dan Barat ini menjadi tolok ukur bagi
masa depan perkembangan hubungan harmonisasi IslamBarat, se_hingga Esposito juga
mempunyai peran strategis dalam pembahasan ini bagi pengembangan masa depan
dialog IslamBarat yang lebih humanis, dialogis, dan demokratis.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adanya gelombang Helenisme adalah ditandai dengan penerjemahan karya-karya
intelektual asing (filsafat Yunani) secara besar-besar an. Kegiatan penerjemahan ini
sebagian besar berasal dari karangan Aristoteles, Plato, serta neoplatonisme.
Gelombang helenisme lahir pada sekitar abad ke 8 sampai dengan 10. Gelombang ini
ditandai dengan penerjemahan karya-karya intelektual asing seperti filsafat Yunani
secara besar-besaran agar bisa dipelajari oleh umat Islam tanpa batas.
Bachelard menilai perkembangan ilmu pengetahuan berjalan melalui
keterputusan dan diskontinuitas. Bachelard menjelaskan bahwa konsepsi-konsepsi imu
pengetahuan pada masa tertentu selalu mengalami konsepsi-konsepsi- yang baru sama
sekali. “yang kuno” tidak memberikan kontribusi bagi “yang baru”. “yang baru” selalu
terputus sama sekali dengan “yang kuno”. Hali ini terbukti dengan sebuah fenomena
bahwa ilmu pegetahuan sejak era galileo telah menyaksikan diskontinuitas yang tak
sedikit.
“Retakan epistemologis” kemudian didapuk oleh Louis Althusser sebagai pisau
analisis yang tajam guna mengiris dan merobek-robek relasi antara Karl Marx dan
Hegel. Hingga 1848-an, Marx dan Hegel bagaikan dua sisi keping mata uang yang tak
terpisahkan.
Tokoh-tokoh yang dianggap popular dalam pembahasan ini ialah Bernard
Lewis, Edward W. Said, Hassan Hanafi juga termasuk John L. Esposito. Akan tetapi,
ketiga tokoh ini selain Esposito adalah para pakar Islam dan Barat yang mempunyai
karakteristik tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA

https://ejournal.iaitribakti.ac.id/index.php/tribakti/article/download/90/83/
Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid 2, Prancis (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1996), h. 161-175.
Abid al-Jabiri, al-Tura>th wa al-H{ada>thah, h. 327.
Achmad, Gholib (2009). Filsafat Islam. Pamulang, Jakarta: Faza Media. ISBN 978-
602-8033-28-2.
Eber Irene, 1986, Confucianism The Dynamics of Tradition, Macmillan Publishing
Company, New York.
Fung Yu-Ian, 1960, A Short History ofChinese Philosophy, he Macmillan Co, New
York.
Said, Edward W. 2003. Convering Islam, terj. Apri Danarno. Yogyakarta: Jendela.
Lewis, Bernard. 2002. What Went Wrong?The Clash Beetween Islam and Modernity in
the Middle East. Oxford University Press
Fazlurrahman Ansari. 2007. Islam Barat, dalam Benturan Barat dengan Islam.
Hanafi, Hassan. 2003. Cakrawala Baru Peradaban Global Revolusi Islam untuk
Globalisme, Pluraisme dan Egalitarianisme antar Peradaban, terj. Saiful Anam.
Yogyakarta: Ircisod

Anda mungkin juga menyukai