DOSEN PENGAMPU
Dr.H.I.MUCHSIN EFENDI, LC.,MA
Disusun Oleh;
KELAS B
Assalamualaikum wr.wb
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin dan karunia-
Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa pun. Tak lupa pula
penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga
Penulisan makalah berjudul ‘autentititas filsafat islam’ bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah filsafat islam. Pada makalah diuraikan pengertian serta penejelasan autentititas filsafat
islam. selama proses penyusunan makalah, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari
beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada saudara muhammad alif fajri.
Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan
penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran. Semoga
Wassalamualaikum wr.wb
2
Daftar isi
Kata Pengantar............................................................................................................................................2
Daftar isi......................................................................................................................................................3
Pendahuluan................................................................................................................................................4
1. Latar belakang.................................................................................................................................4
2. Pengertian........................................................................................................................................5
a) autentititas....................................................................................................................................5
b) Filsafat islam...............................................................................................................................5
Pembahasan.................................................................................................................................................7
Kesimpulan................................................................................................................................................14
3
Pendahuluan
1. Latar belakang
Jika mengacu ke beberapa ayat al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu
membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab,
al-Qur’an telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang
sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani. Tidak benar juga jika
Islam dituduh sebagai agama yang tidak mampu memberikan seperangkat sistem berfikir yang
filosofis, sebab Islam adalah agama yang sangat menghormati akal. Sebagai bukti bahwa Islam
merupakan agama yang mengapresiasi akal adalah banyak sekali dijumpai ayat-ayat al-Qur’an
yang mengajak manusia untuk berfikir (tafakkur, tafaqquh, ‘aql, nazhr, dll.). Dalam surat al-
Jatsiyah ayat 13 disebutkan; “wa sakkhara lakum mâ fiy al-samâwâti wa mâ fi’l ardhi jamî‘an
minhu inna fiy dzâlika la âyatin li qaumin yatafakkarûn”. Al-Qur’an bahkan mengingatkan
bahwa manusia yang enggan memufungsikan akal akan mendapatkan tempat di neraka Sair.
Dalam surat al-Mulk ayat 10-11 disebutkan: “wa qâlû law kunnâ nasma‘u aw na‘qilu ma kunnâ
Dari uraian di atas jelaslah bahwa filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Betul bahwa dalam
beberapa hal di antara ulama Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani dan peradaban
lainnya, namun itu tetap tidak menghilangkan ciri keislaman mereka berupa pandangan hidup
(worldview) yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Maka, pemikiran para orientalis tentang
autentisitas filsafat Islam, termasuk De Boer, tidaklah sama sekali bisa dibenarkan, karena dibuat
berdasarkan sebuah penelitian yang tidak bebas nilai. Pemikiran-pemikiran tersebut jika diteliti
merupakan sebuah sikap yang didirikan di atas dua kemungkinan; pertama, fanatisme
kebangsaan (al-ta‘ashub al-jinsiy) atau kedua, klaim yang dibuat secara terburu-buru dan
4
serampangan (al-tasarru‘ fi’l hukm). Segenap argumentasi yang mereka himpun digiring hanya
untuk membetulkan teori yang terlebih dahulu sudah mereka buat sebelum memulai pengkajian
2. Pengertian
a) autentititas
pandangan atau sikap seseorang yang asli,sejati dan benar dimana terdapat kecocokan antara
apa yang dirasakan jiwa dan fisik sehingga menimbulkan sikap yang terdapat kesesuaian
antara apa yang diucapkan dan yang dialami. autentisisme sendiri tidak hanya sekedar
menyatakan segala sesuatu dengan apa adanya dalam artian asal bicara. Sikap autentik sendiri
diperlukan sesuai dengan tingkatan – tingkatannya masing – masing sesuai dengan orang
yang dihadapi dan lingkungan/situasinya.Hal ini dikarenakan selain soal kecocokan dan
kesesuaian antara batin dan lahir namun juga tujuan kita.Bersikap autentik berarti seseorang
mampu bersikap sesuai dengan kenyataan yang dihadapi sekalipun kenyataan yang dihadapi
tersebut tidak menyenangkan. Dalam artian cara apapun baik apabila dalam penyampaian
kenyataan dapat diterima oleh orang yang kita beri kenyataan dan mencapai hasil yang
sedang kita tuju. autentisitas adalah,autentisitas dalam sejarah Maka dari itu untuk menjadi
b) Filsafat islam
Filsafat Islam juga sering disebut filsafat Arab dan filsafat Muslim merupakan suatu
pemikiran, dan gagasan politik yang dilakukan di dalam dunia Islam atau peradaban umat
5
Muslim dan berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam Islam, terdapat dua istilah yang
pada kajian filosofi, ilmu pengetahuan alam dan logika, dan Kalam (secara harfiah berarti
Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu periode klasik, periode pertengahan,dan
periode modern. Periode klasik dari filsafat Islam diperhitungkan sejak wafatnya Nabi
disebut periode pertengahan yakni antara kurun tahun 1250-1800 M. Periode terakhir yaitu
periode modern atau kontemporer berlangsung sejak kurun tahun 1800an hingga saat ini.
Aktifitas yang berhubungan dengan kajian filsafat Islam kemudian mulai berkurang
Al-Ghazali sebagai sosok utama dibalik kemunduran kajian filsafat Islam. Gagasan-gagasan
lahirnya kalangan Islam konservatif yang menolak kajian filsafat dalam Islam. Buku ini
memuat kritik terhadap kajian filsafat yang ditawarkan oleh filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-
Farabi yang dianggap mulai menjauhi nilai-nilai keislaman. Namun, pandangan ini kemudian
menjadi perdebatan dikarenakan Al-Ghazali juga dikenal secara luas oleh pemikir-pemikir
Islam sebagai seorang filsuf. Bahkan, dalam pendahuluan di buku tersebut Al-Ghazali
menuliskan bahwasannya, kaum fundamentalis adalah "kaum yang beriman lewat contekan,
yang menerima kebohongan tanpa verifikasi". Ketertarikan dalam kajian filsafat Islam dapat
dikatakan mulai hidup kembali saat berlangsungnya pergerakan Al-Nahda pada akhir abad
ke-19 di Timur Tengah yang kemudian berlanjut hingga kini. Beberapa tokoh yang dianggap
6
berpengaruh dalam kajian filsafat Islam kontemporer diantaranya Muhammad Iqbal, Fazlur
Pembahasan
Etika al-Qur’an mengajarkan kita agar senantiasa bersikap adil kepada siapapun,
termasuk terhadap musuh yang tidak kita sukai sekalipun. Maka, secara jujur dan lapang dada
memang harus diakui bahwa gerakan orientalisme dengan berbagai macam motifnya telah
menjadi katalisator bagi lahirnya gerakan-gerakan pengkajian dalam lingkup umat Islam. Jika
tidak lahir karya Munk “Melanges de Philosophie Juive at Arabe” atau “Averroes” karya Ernest
Renan, atau buku-buku lainnya, maka barangkali tidak akan lahir tokoh-tokoh fenomenal semisal
Musthafa Abdurraziq, Ibrahim Madkour dan Muhammad Iqbal. Tiga tokoh ini dengan metode
yang berbeda-beda memulai menulis master piece masing-masing di bidang filsafat karena
merasa terusik dengan karya-karya orientalis di atas. Musthafa Abdurraziq dan Ibrahim Madkour
sendiri tak malu untuk membuat pengakuan tentang pentingnya gerakan orientalisme di bidang
filsafat. Hanya saja memang sikap adil sebagai bagian dari etika Islam juga meniscayakan
adanya sikap jeli dan tegas terhadap riset dan penelitian orientalis. Benarlah seorang Mahmud
(menyederhanakan masalah) jika kita memilih untuk berlaku apriori atau malah permisif
Dalam kajian filsafat, Musthafa Abdurraziq secara cemerlang berhasil menelisik spirit yang
menemukan bahwa pada abad ke-19 masehi karya-karya tersebut lebih banyak didominasi oleh
sikap fanatik terhadap agama Kristen dan sentimen anti Islam, bukan spirit keterbukaan yang
7
mengedepankan obyektifitas dan semangat ilmiah. Victor Cousin dalam “Cours De Phistoire de
la Philosophie” contohnya, dengan sangat congkak menyebutkan bahwa agama yang berhasil
melahirkan peradaban tekonologi dan paling banyak memberikan sumbangan kelilmuan pada
sejarah kemanusiaan adalah agama Kristen. Sebaliknya, menurutnya tidak ada yang bisa
diberikan oleh agama lain, termasuk juga Islam, untuk kemajuan peradaban dan kemanusiaan.
filsafat lebih banyak ditulis secara prematur dan mengabaikan prinsip-prinsip berfikir netral dan
obyektif. Ini sama dengan temuan Ibrahim Madkour, tokoh Mesir yang satu periode dengan
yang menyusun sejarah filsafat Islam tidak memahami bahasa arab dengan baik, sehingga
memungkinkan mereka untuk meneliti teks-teks filsafat klasik secara tidak ilmiah.
Aristoteles adalah sosok yang memiliki hegemoni dalam pemikiran bangsa Arab, dalam “Manuel
pemikiran filosofis-rasional sulit untuk berkembang dalam peradaban Islam. Kesulitan itu
disebabkan beberapa hal: (1) al-Qur’an, kitab suci umat Islam, menjadi penghalang utama bagi
munculnya pemikiran ilmiah yang bebas. (2) Adanya sekte ahlusunnah sebagai aliran yang
skriptual dalam memahami nash agama, (3) Kesulitan memahami karya Aristoteles, (4) Karakter
natural umat Islam yang cenderung menyukai prasangka yang prematur. Pasca Tenneman
muncul orientalis lain yang bernama Ernest Renan. Jika harus disebutkan siapa orientalis yang
paling berpengaruh dalam penulisan sejarah filsafat Islam tampaknya Ernest Renan lah
orangnya. Renan adalah orientalis berkebangsaan Perancis yang meneliti sejarah bangsa Semit.
Pendapatnya yang sangat popouler dalam “Averroes et L’averroie, Esai Historique”, adalah ia
8
membagi ras manusia menjadi dua; Semit dan Aria. Bangsa Arab yang bagian dari Bangsa Semit
disebut oleh Renan tidak memiliki sama sekali bakat filsafat, sebab akal mereka secara alami
diciptakan dengan kecenderungan non-filosofis, menyukai hal-hal sepele, tidak sistematis (esprit
separatiste) dan monoteistik (insticnt monotheiste). Sebaliknya bangsa Aria adalah bangsa ilmiah
yang menyukai cara berfikir yang rumit, sistematis (esprit fusionniste) dan filosofis.
Secara umum kesimpulan yang dibuat oleh Tenneman dan Renan hampir sama dengan orientalis
yang datang sesudah mereka. Munk dalam “Melanges de Philosophie Juive at Arabe” dan Carra
de Vaux dalam “Aviecinne” menyimpulkan bahwa masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak
mampu berfilsafat. Adapun jika ada metode berfikir filosofis sesudah datangnya Islam itu bukan
disebabkan karena mereka memiliki kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme),
tetapi lebih karena pemikiran mereka didominasi oleh sistem dan materi yang diambil dari
Yunani, terutama Aristoteles dan Plato. Duhem, orientalis Perancis, dalam kajiannya tentang
kosmologi dunia arab mengatakan bahwa filsafat Islam hanyalah kelanjutan dari filsafat Neo-
Platonisme, bahkan juga layak untuk diberi nama ‘Mazhab Plato Arab’. Pandangan yang sedikit
keluar dari mainstream orientalis tentang filsafat Islam datang dari orientalis Dugat dalam
“Histoire des Philosophes et des Theologiens Musulmans” dan Horten dalam tulisannya tentang
filsafat yang dimuat di Encyc, de l’Islam. Dua tokoh ini mengakui bahwa ilmu kalam adalah
unsur tambahan yang orisinil dalam filsafat Islam di samping filsafat Yunani itu sendiri.
Sebagian besar karya orientalis di bidang sejarah filsafat ditulis sejak awal abad ke-19 dan awal
abad ke-20 masehi. Maka, untuk membuat satu penilaian tentang karya yang lahir pada periode
tersebut haruslah juga diketahui iklim intelektual dan mainstream yang berkembang pada saat
itu. Emile Brehier, seorang Barat yang memiliki concern di bidang penulisan sejarah filsafat,
9
sejarah filsafat. Pada penggalan abad ke-19 dan ke-20 masehi para penulis sejarah filsafat sedang
ribut mendiskusikan beberapa tema, yaitu tentang; (1) Apakah filsafat bermula pada abad ke-6
SM di Ionia pada periode Aristoteles atau sudah ada sejak jauh sebelum itu, (2) Tanah air
filsafat, apakah filsafat hanya milik bangsa Yunani-Romawi ataukah lebih luas dari itu.
Konswekensi dari dua pertanyaan ini adalah pengakuan tentang wujud atau tidaknya kontribusi
bangsa-bangsa Timur di luar Yunani-Barat seperti India, Persia dan Islam dalam bidang filsafat.
Dalam tataran aplikasinya, usaha tokoh-tokoh Barat untuk mengkodifikasi sejarah filsafat
ternyata tidak pernah terlepas dari perspektif yang disebut oleh Abid al-Jabiri sebagai proyek al-
wahdah wa’l istimrâriyyah (kesatuan mata rantai sejarah filsafat). Kajian terhadap sejarah filsafat
di Barat diarahkan untuk satu kepentingan, yaitu mengokohkan peran dan pengaruh filsafat
Yunani (yang notabenenya adalah bagian dari Barat) dalam semua peradaban. Studi literatur
Islam yang menggunakan pendekatan filologi juga pada akhirnya akan digiring ke arah pencarian
genealogi (asal usul)-nya dari pemikiran Helenistik. Dalam perspektif ini, filsafat yang diakui
oleh para pengkaji Barat adalah filsafat yang sejalan dengan asal usul dan nomenklatur filsafat
Yunani. Emile Brehier dalam karyanya “Histoire de la Philosophie” (Sejarah Filsafat) setebal
tujuh jilid memberikan porsi pembahasan yang sangat berlebihan tentang Filsafat Yunani.
Filsafat Timur hanya disisakan ruang yang sangat kecil, yaitu ketika ia berbicara tentang Filsafat
Byzantium. Sementara filsafat Islam hampir sama sekali tidak diperhitungkan. Filsafat Islam
hanya dicuplik ketika ia berbicara tentang perpindahan filsafat dari Yunani ke Eropa melalui
Averoisme Latin.
10
De Boer dan Buku “The History of Philosophy in Islam”
Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama, mengupas sejarah dan asal muasal filsafat
dalam peradaban Islam. Bab kedua, filsafat dan ilmu-ilmu arab yang mencakup ilmu bahasa,
ilmu kalam, sastra dan sejarah. Bab ketiga, berbicara tentang filsafat alam Phytagoras. Bab
Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina dan Ibnu al-Haistam). Bab kelima, tentang berakhirnya filsafat di
Timur dengan munculnya sosok al-Ghazali. Bab keenam, tentang filsafat di Barat. Bab
ketujuh,penutupSecara umum penulis berpendapat bahwa karya De Boer ini sesungguhnya layak
diapresiasi oleh umat Islam. Terlepas dari perbincangan tentang motivasi, De Boer yang
notabene nya adalah non muslim bisa dihitung mampu membuat lompatan jauh dalam dunia
intelektual. Dia, untuk pertama kalinya dalam sejarah keilmuan mampu menelisik sejarah filsafat
Islam dengan tingkat detailitas yang tinggi, sesuatu yang mustahil untuk dilakukan oleh umat
Islam kala itu. Jika kemudian ditemukan beberapa bagian dalam buku ini pandangan-pandangan
yang bersifat positif tidak akan terlalu banyak disinggung di sini. Cukuplah pengakuan terhadap
nilai ilmiah dan keseriusan dari buku ini yang mewakili hal tersebut.
Buku ini sekalipun memuat sejarah panjang filsafat Islam dari awal di Timur sampai berpindah
ke Barat, juga tidak luput dari pandangan-pandangan miring, terutama berhubungan dengan
problem asal mula atau autentisitas filsafat Islam. De Boer memulai bukunya dengan terlebih
dahulu memaparkan unsur-unsur penting yang membentuk filsafat Islam. Menurut De Boer ada
tiga unsur pokok (al-mukawwinât al-ra’îsiyyah) yang telah melahirkan kecendrungan berfilsafat
dalam Islam : pertama, sejarah politik Islam. Kedua, hikmah (wisdom) Timur, yaitu India dan
11
Persia. Ketiga, filsafat Yunani. Setelah menguraikan tiga unsur tersebut, De Boer sampai pada
sebuah kesimpulan bahwa unsur yang mendominasi dan menjadi pondasi dari segenap bangunan
pemikiran filosofis umat Islam adalah filsafat Yunani. Diakui oleh De Boer bahwa peradaban
Islam misalnya juga menerima pengetahuan tentang alam dan astrologi dari Timur, akan tetapi
yang menjadi pengaruh dan memberikan warna dominan tetaplah peradaban Yunani. Maka, bagi
De Boer, peradaban Yunanilah yang pertama kali sekaligus paling besar kontribusinya dalam
melahirkan sistem dan semangat berfilsafat dalam peradaban Islam. Dalam hal ini, De Boer
membuat pernyataan yang kontradiktif. Ia mengatakan: “Dalam Islam, tidak ada sistem
pemikiran yang filosofis, tapi dalam sejarah Islam ditemukan beberapa orang yang tidak bisa
Di samping titik itu, De Boer pada bagian lain juga memproklamirkan sikapnya yang sangat anti
Islam. Ketika menganalisa tentang oriental wisdom sebagai pembentuk filsafat Islam, ia
memulainya dengan menulis: “Akal bangsa Semit sebelum berinteraksi dengan filsafat Yunani
tidak sama sekali mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang ilmiah”. Terlihat dari
ungkapan ini De Boer sangat terpengaruh dari orientalis sebelumnya yang pertama kali
memunculkan tesa anti bangsa semit, yaitu Ernest Renan. Ungkapan ini sebenarnya cukup
kontreversial, karena pada kesempatan yang lain De Boer juga menguraikan filosof muslim
peripatetik dari Ibnu Sina sampai Ibnu Rusyd. Jika benar bahwa filosof yang berbangsa Semit
tidak mampu berfilsafat, maka mengapa De Boer juga memasukkan nama semisal Al-Farabiy,
Ibnu Bajah, Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd ke dalam ras bangsa Semit, padahal mereka adalah
filosof yang lahir dari ras Aria. Barangkali pembedaan tersebut bisa dipahami karena sebenarnya
tokoh semisal De Boer ini dan Ernest Renan sesungguhnya bukan ingin menghantam dan
mencela bangsa Semit, karena jika demikian bangsa Israel juga bagian dari ras Semit, akan tetapi
12
ia sejak awal telah membidik peradaban dan agama Islam untuk dihujani kritik.
Dalam bukunya ini, di bagian yang mengupas tentang pemahaman bangsa arab terhadap karya
Aristoteles, ia mengatakan: “Kita tidak perlu heran jika bangsa-bangsa Timur gagal memahami
karya Aristoteles dengan benar, sebab mereka tidak memiliki insturmen kritis seperti yang kita
miliki untuk memahami Aristoteles” (We need not wonder that the Easterns did not succeed in
reaching an unadulterated conception of the Aristotelian philosophy. Our critical apparatus for
discriminating between the genuine and the spurious was not in their possession). Dalam
(enlightement) dari filsafat Yunani, filsafat Yunani tetaplah gagal dipahami secara utuh oleh
Islam banyak bercampur dengan mitologi dan khayalan (asâtir) mereka sendiri , sehingga
lahirlah banyak pemahaman yang menyimpang dari karya aslinya. Ia juga mengatakan bahwa
filsafat dalam Islam menjadi valuable (bernilai) setelah mendapatkan celupan dari pemikiran
Yunani. Dengan ungkapan ini, berarti dia sebenarnya secara tidak langsung mengakui bahwa
Islam adalah agama yang memiiki kebebasan dan keluwesan untuk mendapatkan pengaruh dari
fisafat Yunani. Dengan jujur dia membandingkan fenomena ini dengan agama Kristen, terutama
Kristen periode awal (early Christian) yang enggan membaca literatur filsafat Yunani kecuali
setelah ‘diramu’ oleh sarjana-sarjana Islam. Hanya saja setelah membuat pengakuan tersebut, De
Boer kembali menekankan agar pengakuan terhadap kontribusi Islam tidak melebihi kapasitas
sebagai perantara (washîtah, trasnmitter) semata, bukan unsur pembentuk seluruh bangunan
filsafat Islam.
13
Kesimpulan
Jika mengacu ke beberapa ayat al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu
membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab,
al-Qur’an telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang
sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani. Tidak benar juga jika
Islam dituduh sebagai agama yang tidak mampu memberikan seperangkat sistem berfikir yang
filosofis, sebab Islam adalah agama yang sangat menghormati akal. Sebagai bukti bahwa Islam
merupakan agama yang mengapresiasi akal adalah banyak sekali dijumpai ayat-ayat al-Qur’an
yang mengajak manusia untuk berfikir (tafakkur, tafaqquh, ‘aql, nazhr, dll.). Dalam surat al-
Jatsiyah ayat 13 disebutkan; “wa sakkhara lakum mâ fiy al-samâwâti wa mâ fi’l ardhi jamî‘an
minhu inna fiy dzâlika la âyatin li qaumin yatafakkarûn”. Al-Qur’an bahkan mengingatkan
bahwa manusia yang enggan memufungsikan akal akan mendapatkan tempat di neraka Sair.
Dalam surat al-Mulk ayat 10-11 disebutkan: “wa qâlû law kunnâ nasma‘u aw na‘qilu ma kunnâ
Dari uraian di atas jelaslah bahwa filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Betul bahwa
dalam beberapa hal di antara ulama Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani dan
peradaban lainnya, namun itu tetap tidak menghilangkan ciri keislaman mereka berupa
pandangan hidup (worldview) yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Maka, pemikiran para
orientalis tentang autentisitas filsafat Islam, termasuk De Boer, tidaklah sama sekali bisa
dibenarkan, karena dibuat berdasarkan sebuah penelitian yang tidak bebas nilai. Pemikiran-
pemikiran tersebut jika diteliti merupakan sebuah sikap yang didirikan di atas dua kemungkinan;
pertama, fanatisme kebangsaan (al-ta‘ashub al-jinsiy) atau kedua, klaim yang dibuat secara
terburu-buru dan serampangan (al-tasarru‘ fi’l hukm). Segenap argumentasi yang mereka
himpun digiring hanya untuk membetulkan teori yang terlebih dahulu sudah mereka buat
14
sebelum memulai pengkajian dan untuk membuat stereotif tentang filsafat Islam.
kemudian juga dijadikan hujjah untuk menuduh bahwa sejak awal, sistem, bangunan dan metode
filsafat dalam Islam telah didominasi oleh filsafat Yunani. Padahal sesungguhnya terma filsafat
hanyalah salah satu dari istilah yang bisa digunakan untuk mewakili aktivitas berfikir ilmiah-
rasional dalam khazanah keislaman. Dalam Islam dikenal juga istilah ‘hikmah’ yang berarti
tafaqquh (mendalami) agama dan mengamalkannya. Jadi, hikmah dalam Islam tidak saja
berhubungan dengan aktvitas berfikir, menelaah dan memahami an sich seperti yang berlaku di
filsafat lainnya, tetapi juga merupakan usaha untuk mengaplikasikan hasil dari kerja akal
tersebut. Dalam sebuah hadis nabi disebutkan: “Tidak boleh iri, kecuali kepada dua hal: Seorang
yang diberikan Allah anugerah harta dan dihabiskannya untuk berinfaq di jalan Allah, dan
seorang yang diberi oleh Allah hikmah yang diamalkannya serta diajarkannya”.
15