Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

OTENTISITAS FILSAFAT ISLAM

DOSEN PENGAMPU
Dr.H.I.MUCHSIN EFENDI, LC.,MA

Disusun Oleh;

MUHAMMAD JIBRAN ALIANSYAH (200603049)

MUHAMMAD ALIF FAJRI (200603055)

KELAS B

JURUSAN PIMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM


Kata Pengantar

Assalamualaikum wr.wb

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin dan karunia-

Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa pun. Tak lupa pula

penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga

syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.

Penulisan makalah berjudul ‘autentititas filsafat islam’ bertujuan untuk memenuhi tugas mata

kuliah filsafat islam. Pada makalah diuraikan pengertian serta penejelasan autentititas filsafat

islam. selama proses penyusunan makalah, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari

beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis berterima kasih kepada saudara muhammad alif fajri.

Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan

penulis agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran. Semoga

makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.

Wassalamualaikum wr.wb

2
Daftar isi

Kata Pengantar............................................................................................................................................2
Daftar isi......................................................................................................................................................3
Pendahuluan................................................................................................................................................4
1. Latar belakang.................................................................................................................................4
2. Pengertian........................................................................................................................................5
a) autentititas....................................................................................................................................5
b) Filsafat islam...............................................................................................................................5
Pembahasan.................................................................................................................................................7
Kesimpulan................................................................................................................................................14

3
Pendahuluan
1. Latar belakang

Jika mengacu ke beberapa ayat al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu

membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab,

al-Qur’an telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang

sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani. Tidak benar juga jika

Islam dituduh sebagai agama yang tidak mampu memberikan seperangkat sistem berfikir yang

filosofis, sebab Islam adalah agama yang sangat menghormati akal. Sebagai bukti bahwa Islam

merupakan agama yang mengapresiasi akal adalah banyak sekali dijumpai ayat-ayat al-Qur’an

yang mengajak manusia untuk berfikir (tafakkur, tafaqquh, ‘aql, nazhr, dll.). Dalam surat al-

Jatsiyah ayat 13 disebutkan; “wa sakkhara lakum mâ fiy al-samâwâti wa mâ fi’l ardhi jamî‘an

minhu inna fiy dzâlika la âyatin li qaumin yatafakkarûn”. Al-Qur’an bahkan mengingatkan

bahwa manusia yang enggan memufungsikan akal akan mendapatkan tempat di neraka Sair.

Dalam surat al-Mulk ayat 10-11 disebutkan: “wa qâlû law kunnâ nasma‘u aw na‘qilu ma kunnâ

fiy ashhâbi’s sair, fa’tarafû bi dzunûbihim”.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Betul bahwa dalam

beberapa hal di antara ulama Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani dan peradaban

lainnya, namun itu tetap tidak menghilangkan ciri keislaman mereka berupa pandangan hidup

(worldview) yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Maka, pemikiran para orientalis tentang

autentisitas filsafat Islam, termasuk De Boer, tidaklah sama sekali bisa dibenarkan, karena dibuat

berdasarkan sebuah penelitian yang tidak bebas nilai. Pemikiran-pemikiran tersebut jika diteliti

merupakan sebuah sikap yang didirikan di atas dua kemungkinan; pertama, fanatisme

kebangsaan (al-ta‘ashub al-jinsiy) atau kedua, klaim yang dibuat secara terburu-buru dan

4
serampangan (al-tasarru‘ fi’l hukm). Segenap argumentasi yang mereka himpun digiring hanya

untuk membetulkan teori yang terlebih dahulu sudah mereka buat sebelum memulai pengkajian

dan untuk membuat stereotif tentang filsafat Islam

2. Pengertian

a) autentititas

Secara Terminologi Autentisisme berasal dari kata dalam bahasa Yunani

‘Authentikos’ yang berarti ‘asli,tidak palsu,sejati,tidak campuran’. Autentisisme adalah

pandangan atau sikap seseorang yang asli,sejati dan benar dimana terdapat kecocokan antara

apa yang dirasakan jiwa dan fisik sehingga menimbulkan sikap yang terdapat kesesuaian

antara apa yang diucapkan dan yang dialami. autentisisme sendiri tidak hanya sekedar

menyatakan segala sesuatu dengan apa adanya dalam artian asal bicara. Sikap autentik sendiri

diperlukan sesuai dengan tingkatan – tingkatannya masing – masing sesuai dengan orang

yang dihadapi dan lingkungan/situasinya.Hal ini dikarenakan selain soal kecocokan dan

kesesuaian antara batin dan lahir namun juga tujuan kita.Bersikap autentik berarti seseorang

mampu bersikap sesuai dengan kenyataan yang dihadapi sekalipun kenyataan yang dihadapi

tersebut tidak menyenangkan. Dalam artian cara apapun baik apabila dalam penyampaian

kenyataan dapat diterima oleh orang yang kita beri kenyataan dan mencapai hasil yang

sedang kita tuju. autentisitas adalah,autentisitas dalam sejarah Maka dari itu untuk menjadi

seorang yang autentik diperlukan kepribadian,kesabaran serta kecakapan tertentu.

b) Filsafat islam
Filsafat Islam juga sering disebut filsafat Arab dan filsafat Muslim merupakan suatu

kajian sistematis terhadap kehidupan, alam semesta, etika, moralitas, pengetahuan,

pemikiran, dan gagasan politik yang dilakukan di dalam dunia Islam atau peradaban umat

5
Muslim dan berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam Islam, terdapat dua istilah yang

erat kaitannya dengan pengertian filsafat— falsafa (secara harfiah "filsafat") yang merujuk

pada kajian filosofi, ilmu pengetahuan alam dan logika, dan Kalam (secara harfiah berarti

"berbicara") yang merujuk pada kajian teologi keagamaan.....

Merujuk pada periodisasi yang dicetuskan Harun Nasution, perkembangan kajian filsafat

Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu periode klasik, periode pertengahan,dan

periode modern. Periode klasik dari filsafat Islam diperhitungkan sejak wafatnya Nabi

Muhammad hingga pertengahan abad ke 13, yaitu antara 650-1250 M. Periode selanjutnya

disebut periode pertengahan yakni antara kurun tahun 1250-1800 M. Periode terakhir yaitu

periode modern atau kontemporer berlangsung sejak kurun tahun 1800an hingga saat ini.

Aktifitas yang berhubungan dengan kajian filsafat Islam kemudian mulai berkurang

pascakematian Ibnu Rusyd pada abad ke-12 M. Terdapat banyak pendapat yang menganggap

Al-Ghazali sebagai sosok utama dibalik kemunduran kajian filsafat Islam. Gagasan-gagasan

Al-Ghazali yang diterbitkan dalam bukunya Tahafut al-Falasifa dipandang sebagai pelopor

lahirnya kalangan Islam konservatif yang menolak kajian filsafat dalam Islam. Buku ini

memuat kritik terhadap kajian filsafat yang ditawarkan oleh filsuf seperti Ibnu Sina dan Al-

Farabi yang dianggap mulai menjauhi nilai-nilai keislaman. Namun, pandangan ini kemudian

menjadi perdebatan dikarenakan Al-Ghazali juga dikenal secara luas oleh pemikir-pemikir

Islam sebagai seorang filsuf. Bahkan, dalam pendahuluan di buku tersebut Al-Ghazali

menuliskan bahwasannya, kaum fundamentalis adalah "kaum yang beriman lewat contekan,

yang menerima kebohongan tanpa verifikasi". Ketertarikan dalam kajian filsafat Islam dapat

dikatakan mulai hidup kembali saat berlangsungnya pergerakan Al-Nahda pada akhir abad

ke-19 di Timur Tengah yang kemudian berlanjut hingga kini. Beberapa tokoh yang dianggap

6
berpengaruh dalam kajian filsafat Islam kontemporer diantaranya Muhammad Iqbal, Fazlur

Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas, dan Buya Hamka.

Pembahasan

Etika al-Qur’an mengajarkan kita agar senantiasa bersikap adil kepada siapapun,

termasuk terhadap musuh yang tidak kita sukai sekalipun. Maka, secara jujur dan lapang dada

memang harus diakui bahwa gerakan orientalisme dengan berbagai macam motifnya telah

menjadi katalisator bagi lahirnya gerakan-gerakan pengkajian dalam lingkup umat Islam. Jika

tidak lahir karya Munk “Melanges de Philosophie Juive at Arabe” atau “Averroes” karya Ernest

Renan, atau buku-buku lainnya, maka barangkali tidak akan lahir tokoh-tokoh fenomenal semisal

Musthafa Abdurraziq, Ibrahim Madkour dan Muhammad Iqbal. Tiga tokoh ini dengan metode

yang berbeda-beda memulai menulis master piece masing-masing di bidang filsafat karena

merasa terusik dengan karya-karya orientalis di atas. Musthafa Abdurraziq dan Ibrahim Madkour

sendiri tak malu untuk membuat pengakuan tentang pentingnya gerakan orientalisme di bidang

filsafat. Hanya saja memang sikap adil sebagai bagian dari etika Islam juga meniscayakan

adanya sikap jeli dan tegas terhadap riset dan penelitian orientalis. Benarlah seorang Mahmud

Hamdi Zaqzuq ketika mengatakan: “Merupakan sikap yang terlalu simplikatif

(menyederhanakan masalah) jika kita memilih untuk berlaku apriori atau malah permisif

terhadap pemikiran dan karya para orientalis”.

Dalam kajian filsafat, Musthafa Abdurraziq secara cemerlang berhasil menelisik spirit yang

berkembang di masa kemunculan kajian-kajian orientalis di bidang sejarah filsafat. Ia berhasil

menemukan bahwa pada abad ke-19 masehi karya-karya tersebut lebih banyak didominasi oleh

sikap fanatik terhadap agama Kristen dan sentimen anti Islam, bukan spirit keterbukaan yang

7
mengedepankan obyektifitas dan semangat ilmiah. Victor Cousin dalam “Cours De Phistoire de

la Philosophie” contohnya, dengan sangat congkak menyebutkan bahwa agama yang berhasil

melahirkan peradaban tekonologi dan paling banyak memberikan sumbangan kelilmuan pada

sejarah kemanusiaan adalah agama Kristen. Sebaliknya, menurutnya tidak ada yang bisa

diberikan oleh agama lain, termasuk juga Islam, untuk kemajuan peradaban dan kemanusiaan.

Musthafa Abdurraziq akhirnya membuat kesimpulan bahwa karya-karya orientalis di bidang

filsafat lebih banyak ditulis secara prematur dan mengabaikan prinsip-prinsip berfikir netral dan

obyektif. Ini sama dengan temuan Ibrahim Madkour, tokoh Mesir yang satu periode dengan

Musthafa Abdurraziq. Ia bahkan menyimpulkan bahwa sebenarnya sebagian besar orientalis

yang menyusun sejarah filsafat Islam tidak memahami bahasa arab dengan baik, sehingga

memungkinkan mereka untuk meneliti teks-teks filsafat klasik secara tidak ilmiah.

Guillaume Theolphile Tennemann, orientalis Jerman, setelah menegaskan bahwa

Aristoteles adalah sosok yang memiliki hegemoni dalam pemikiran bangsa Arab, dalam “Manuel

de Phistoire de la Philosophie” melengkapi tesanya tersebut dengan mengatakan bahwa

pemikiran filosofis-rasional sulit untuk berkembang dalam peradaban Islam. Kesulitan itu

disebabkan beberapa hal: (1) al-Qur’an, kitab suci umat Islam, menjadi penghalang utama bagi

munculnya pemikiran ilmiah yang bebas. (2) Adanya sekte ahlusunnah sebagai aliran yang

skriptual dalam memahami nash agama, (3) Kesulitan memahami karya Aristoteles, (4) Karakter

natural umat Islam yang cenderung menyukai prasangka yang prematur. Pasca Tenneman

muncul orientalis lain yang bernama Ernest Renan. Jika harus disebutkan siapa orientalis yang

paling berpengaruh dalam penulisan sejarah filsafat Islam tampaknya Ernest Renan lah

orangnya. Renan adalah orientalis berkebangsaan Perancis yang meneliti sejarah bangsa Semit.

Pendapatnya yang sangat popouler dalam “Averroes et L’averroie, Esai Historique”, adalah ia

8
membagi ras manusia menjadi dua; Semit dan Aria. Bangsa Arab yang bagian dari Bangsa Semit

disebut oleh Renan tidak memiliki sama sekali bakat filsafat, sebab akal mereka secara alami

diciptakan dengan kecenderungan non-filosofis, menyukai hal-hal sepele, tidak sistematis (esprit

separatiste) dan monoteistik (insticnt monotheiste). Sebaliknya bangsa Aria adalah bangsa ilmiah

yang menyukai cara berfikir yang rumit, sistematis (esprit fusionniste) dan filosofis.

Secara umum kesimpulan yang dibuat oleh Tenneman dan Renan hampir sama dengan orientalis

yang datang sesudah mereka. Munk dalam “Melanges de Philosophie Juive at Arabe” dan Carra

de Vaux dalam “Aviecinne” menyimpulkan bahwa masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak

mampu berfilsafat. Adapun jika ada metode berfikir filosofis sesudah datangnya Islam itu bukan

disebabkan karena mereka memiliki kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme),

tetapi lebih karena pemikiran mereka didominasi oleh sistem dan materi yang diambil dari

Yunani, terutama Aristoteles dan Plato. Duhem, orientalis Perancis, dalam kajiannya tentang

kosmologi dunia arab mengatakan bahwa filsafat Islam hanyalah kelanjutan dari filsafat Neo-

Platonisme, bahkan juga layak untuk diberi nama ‘Mazhab Plato Arab’. Pandangan yang sedikit

keluar dari mainstream orientalis tentang filsafat Islam datang dari orientalis Dugat dalam

“Histoire des Philosophes et des Theologiens Musulmans” dan Horten dalam tulisannya tentang

filsafat yang dimuat di Encyc, de l’Islam. Dua tokoh ini mengakui bahwa ilmu kalam adalah

unsur tambahan yang orisinil dalam filsafat Islam di samping filsafat Yunani itu sendiri.

Sebagian besar karya orientalis di bidang sejarah filsafat ditulis sejak awal abad ke-19 dan awal

abad ke-20 masehi. Maka, untuk membuat satu penilaian tentang karya yang lahir pada periode

tersebut haruslah juga diketahui iklim intelektual dan mainstream yang berkembang pada saat

itu. Emile Brehier, seorang Barat yang memiliki concern di bidang penulisan sejarah filsafat,

melukiskan beberapa qadhâyâ manhajiyyah (problem metodologis) di masa maraknya penulisan

9
sejarah filsafat. Pada penggalan abad ke-19 dan ke-20 masehi para penulis sejarah filsafat sedang

ribut mendiskusikan beberapa tema, yaitu tentang; (1) Apakah filsafat bermula pada abad ke-6

SM di Ionia pada periode Aristoteles atau sudah ada sejak jauh sebelum itu, (2) Tanah air

filsafat, apakah filsafat hanya milik bangsa Yunani-Romawi ataukah lebih luas dari itu.

Konswekensi dari dua pertanyaan ini adalah pengakuan tentang wujud atau tidaknya kontribusi

bangsa-bangsa Timur di luar Yunani-Barat seperti India, Persia dan Islam dalam bidang filsafat.

Dalam tataran aplikasinya, usaha tokoh-tokoh Barat untuk mengkodifikasi sejarah filsafat

ternyata tidak pernah terlepas dari perspektif yang disebut oleh Abid al-Jabiri sebagai proyek al-

wahdah wa’l istimrâriyyah (kesatuan mata rantai sejarah filsafat). Kajian terhadap sejarah filsafat

di Barat diarahkan untuk satu kepentingan, yaitu mengokohkan peran dan pengaruh filsafat

Yunani (yang notabenenya adalah bagian dari Barat) dalam semua peradaban. Studi literatur

Islam yang menggunakan pendekatan filologi juga pada akhirnya akan digiring ke arah pencarian

genealogi (asal usul)-nya dari pemikiran Helenistik. Dalam perspektif ini, filsafat yang diakui

oleh para pengkaji Barat adalah filsafat yang sejalan dengan asal usul dan nomenklatur filsafat

Yunani. Emile Brehier dalam karyanya “Histoire de la Philosophie” (Sejarah Filsafat) setebal

tujuh jilid memberikan porsi pembahasan yang sangat berlebihan tentang Filsafat Yunani.

Filsafat Timur hanya disisakan ruang yang sangat kecil, yaitu ketika ia berbicara tentang Filsafat

Byzantium. Sementara filsafat Islam hampir sama sekali tidak diperhitungkan. Filsafat Islam

hanya dicuplik ketika ia berbicara tentang perpindahan filsafat dari Yunani ke Eropa melalui

Averoisme Latin.

10
De Boer dan Buku “The History of Philosophy in Islam”

Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama, mengupas sejarah dan asal muasal filsafat

dalam peradaban Islam. Bab kedua, filsafat dan ilmu-ilmu arab yang mencakup ilmu bahasa,

ilmu kalam, sastra dan sejarah. Bab ketiga, berbicara tentang filsafat alam Phytagoras. Bab

keempat, tentang filosof-filosof Aristotelian dan Neo-Platonisme di Timur (al-Kindi, al-Farabi,

Ibnu Maskawaih, Ibnu Sina dan Ibnu al-Haistam). Bab kelima, tentang berakhirnya filsafat di

Timur dengan munculnya sosok al-Ghazali. Bab keenam, tentang filsafat di Barat. Bab

ketujuh,penutupSecara umum penulis berpendapat bahwa karya De Boer ini sesungguhnya layak

diapresiasi oleh umat Islam. Terlepas dari perbincangan tentang motivasi, De Boer yang

notabene nya adalah non muslim bisa dihitung mampu membuat lompatan jauh dalam dunia

intelektual. Dia, untuk pertama kalinya dalam sejarah keilmuan mampu menelisik sejarah filsafat

Islam dengan tingkat detailitas yang tinggi, sesuatu yang mustahil untuk dilakukan oleh umat

Islam kala itu. Jika kemudian ditemukan beberapa bagian dalam buku ini pandangan-pandangan

negatif tentang Islam, anggaplah itu bagian dari―meminjam istilah Hamdi

Zaqzuq―kemudharatan yang membawa manfaat (rubba dhârratin nâfi‘ah). Kontribusi De Boer

yang bersifat positif tidak akan terlalu banyak disinggung di sini. Cukuplah pengakuan terhadap

nilai ilmiah dan keseriusan dari buku ini yang mewakili hal tersebut.

Buku ini sekalipun memuat sejarah panjang filsafat Islam dari awal di Timur sampai berpindah

ke Barat, juga tidak luput dari pandangan-pandangan miring, terutama berhubungan dengan

problem asal mula atau autentisitas filsafat Islam. De Boer memulai bukunya dengan terlebih

dahulu memaparkan unsur-unsur penting yang membentuk filsafat Islam. Menurut De Boer ada

tiga unsur pokok (al-mukawwinât al-ra’îsiyyah) yang telah melahirkan kecendrungan berfilsafat

dalam Islam : pertama, sejarah politik Islam. Kedua, hikmah (wisdom) Timur, yaitu India dan

11
Persia. Ketiga, filsafat Yunani. Setelah menguraikan tiga unsur tersebut, De Boer sampai pada

sebuah kesimpulan bahwa unsur yang mendominasi dan menjadi pondasi dari segenap bangunan

pemikiran filosofis umat Islam adalah filsafat Yunani. Diakui oleh De Boer bahwa peradaban

Islam misalnya juga menerima pengetahuan tentang alam dan astrologi dari Timur, akan tetapi

yang menjadi pengaruh dan memberikan warna dominan tetaplah peradaban Yunani. Maka, bagi

De Boer, peradaban Yunanilah yang pertama kali sekaligus paling besar kontribusinya dalam

melahirkan sistem dan semangat berfilsafat dalam peradaban Islam. Dalam hal ini, De Boer

membuat pernyataan yang kontradiktif. Ia mengatakan: “Dalam Islam, tidak ada sistem

pemikiran yang filosofis, tapi dalam sejarah Islam ditemukan beberapa orang yang tidak bisa

menghalangi dirinya untuk berfilsafat”.

Di samping titik itu, De Boer pada bagian lain juga memproklamirkan sikapnya yang sangat anti

Islam. Ketika menganalisa tentang oriental wisdom sebagai pembentuk filsafat Islam, ia

memulainya dengan menulis: “Akal bangsa Semit sebelum berinteraksi dengan filsafat Yunani

tidak sama sekali mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang ilmiah”. Terlihat dari

ungkapan ini De Boer sangat terpengaruh dari orientalis sebelumnya yang pertama kali

memunculkan tesa anti bangsa semit, yaitu Ernest Renan. Ungkapan ini sebenarnya cukup

kontreversial, karena pada kesempatan yang lain De Boer juga menguraikan filosof muslim

peripatetik dari Ibnu Sina sampai Ibnu Rusyd. Jika benar bahwa filosof yang berbangsa Semit

tidak mampu berfilsafat, maka mengapa De Boer juga memasukkan nama semisal Al-Farabiy,

Ibnu Bajah, Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd ke dalam ras bangsa Semit, padahal mereka adalah

filosof yang lahir dari ras Aria. Barangkali pembedaan tersebut bisa dipahami karena sebenarnya

tokoh semisal De Boer ini dan Ernest Renan sesungguhnya bukan ingin menghantam dan

mencela bangsa Semit, karena jika demikian bangsa Israel juga bagian dari ras Semit, akan tetapi

12
ia sejak awal telah membidik peradaban dan agama Islam untuk dihujani kritik.

Dalam bukunya ini, di bagian yang mengupas tentang pemahaman bangsa arab terhadap karya

Aristoteles, ia mengatakan: “Kita tidak perlu heran jika bangsa-bangsa Timur gagal memahami

karya Aristoteles dengan benar, sebab mereka tidak memiliki insturmen kritis seperti yang kita

miliki untuk memahami Aristoteles” (We need not wonder that the Easterns did not succeed in

reaching an unadulterated conception of the Aristotelian philosophy. Our critical apparatus for

discriminating between the genuine and the spurious was not in their possession). Dalam

perspektif De Boer, sekalipun peradaban Islam telah menerima banyak ‘pencerahan’

(enlightement) dari filsafat Yunani, filsafat Yunani tetaplah gagal dipahami secara utuh oleh

sarjana-sarajana Islam. Karya-karya filosof Yunani ketika sampai ke tangan sarjana-sarjana

Islam banyak bercampur dengan mitologi dan khayalan (asâtir) mereka sendiri , sehingga

lahirlah banyak pemahaman yang menyimpang dari karya aslinya. Ia juga mengatakan bahwa

filsafat dalam Islam menjadi valuable (bernilai) setelah mendapatkan celupan dari pemikiran

Yunani. Dengan ungkapan ini, berarti dia sebenarnya secara tidak langsung mengakui bahwa

Islam adalah agama yang memiiki kebebasan dan keluwesan untuk mendapatkan pengaruh dari

fisafat Yunani. Dengan jujur dia membandingkan fenomena ini dengan agama Kristen, terutama

Kristen periode awal (early Christian) yang enggan membaca literatur filsafat Yunani kecuali

setelah ‘diramu’ oleh sarjana-sarjana Islam. Hanya saja setelah membuat pengakuan tersebut, De

Boer kembali menekankan agar pengakuan terhadap kontribusi Islam tidak melebihi kapasitas

sebagai perantara (washîtah, trasnmitter) semata, bukan unsur pembentuk seluruh bangunan

filsafat agama Kristen. Walhasil, sempurnalah sebenarnya kesemena-menaan De Boer terhadap

filsafat Islam.

13
Kesimpulan
Jika mengacu ke beberapa ayat al-Qur’an, jelas tidak benar jika Islam dituduh tidak mampu

membuat kreasi dan mendatangkan hal baru di hadapan konsep-konsep filsafat Yunani. Sebab,

al-Qur’an telah banyak berbicara tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan moralitas yang

sama sekali berbeda dengan yang pernah difikirkan oleh bangsa Yunani. Tidak benar juga jika

Islam dituduh sebagai agama yang tidak mampu memberikan seperangkat sistem berfikir yang

filosofis, sebab Islam adalah agama yang sangat menghormati akal. Sebagai bukti bahwa Islam

merupakan agama yang mengapresiasi akal adalah banyak sekali dijumpai ayat-ayat al-Qur’an

yang mengajak manusia untuk berfikir (tafakkur, tafaqquh, ‘aql, nazhr, dll.). Dalam surat al-

Jatsiyah ayat 13 disebutkan; “wa sakkhara lakum mâ fiy al-samâwâti wa mâ fi’l ardhi jamî‘an

minhu inna fiy dzâlika la âyatin li qaumin yatafakkarûn”. Al-Qur’an bahkan mengingatkan

bahwa manusia yang enggan memufungsikan akal akan mendapatkan tempat di neraka Sair.

Dalam surat al-Mulk ayat 10-11 disebutkan: “wa qâlû law kunnâ nasma‘u aw na‘qilu ma kunnâ

fiy ashhâbi’s sair, fa’tarafû bi dzunûbihim”.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa filsafat Islam bukanlah filsafat Yunani. Betul bahwa

dalam beberapa hal di antara ulama Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran Yunani dan

peradaban lainnya, namun itu tetap tidak menghilangkan ciri keislaman mereka berupa

pandangan hidup (worldview) yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Maka, pemikiran para

orientalis tentang autentisitas filsafat Islam, termasuk De Boer, tidaklah sama sekali bisa

dibenarkan, karena dibuat berdasarkan sebuah penelitian yang tidak bebas nilai. Pemikiran-

pemikiran tersebut jika diteliti merupakan sebuah sikap yang didirikan di atas dua kemungkinan;

pertama, fanatisme kebangsaan (al-ta‘ashub al-jinsiy) atau kedua, klaim yang dibuat secara

terburu-buru dan serampangan (al-tasarru‘ fi’l hukm). Segenap argumentasi yang mereka

himpun digiring hanya untuk membetulkan teori yang terlebih dahulu sudah mereka buat

14
sebelum memulai pengkajian dan untuk membuat stereotif tentang filsafat Islam.

Pengistilahan ‘filsafat’ untuk menunjukkan sebuah aktivitas ilmiah-rasional dalam Islam

kemudian juga dijadikan hujjah untuk menuduh bahwa sejak awal, sistem, bangunan dan metode

filsafat dalam Islam telah didominasi oleh filsafat Yunani. Padahal sesungguhnya terma filsafat

hanyalah salah satu dari istilah yang bisa digunakan untuk mewakili aktivitas berfikir ilmiah-

rasional dalam khazanah keislaman. Dalam Islam dikenal juga istilah ‘hikmah’ yang berarti

tafaqquh (mendalami) agama dan mengamalkannya. Jadi, hikmah dalam Islam tidak saja

berhubungan dengan aktvitas berfikir, menelaah dan memahami an sich seperti yang berlaku di

filsafat lainnya, tetapi juga merupakan usaha untuk mengaplikasikan hasil dari kerja akal

tersebut. Dalam sebuah hadis nabi disebutkan: “Tidak boleh iri, kecuali kepada dua hal: Seorang

yang diberikan Allah anugerah harta dan dihabiskannya untuk berinfaq di jalan Allah, dan

seorang yang diberi oleh Allah hikmah yang diamalkannya serta diajarkannya”.

15

Anda mungkin juga menyukai