Anda di halaman 1dari 20

PRO DAN KONTRA FILSAFAT DALAM ISLAM

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu


Dosen Pengampu : Ustadz Edi Wirastho

Oleh:

Muhammad Mukhlas Baihaqi

NIM : Q.190363

Semester : 2

PROGRAM STUDI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI ILMU AL QUR’AN ISY KARIMA

KARANGANYAR

2019/202

PRO DAN KONTRA FILSAFAT DALAM ISLAM


A. Pengertian Filsafat, Sejarah Filsafat, dan Filsafat Islam
Filsafat
Secara etimologi, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani. Secara harfiah
dibaca philosophia. Terdiri dari kata 'philen' yang berarti 'cinta' atau 'mengejar'
dan 'sophia' yang bermakna kebijaksanaan atau pengetahuan. Maka atau
'philosophy' bermakna cinta kebijaksanaan atau mengejar pengetahuan.
Secara terminologi, menurut bahasa Inggris disebut "Philosophy" yang memiliki
arti cinta kepada kebijaksanaan yang mengarahkan pada pencariannya atau
pengetahuan tentang prinsip-prinsip elemen umum, kekuasaan, sebab dan hukum
yang dipakai sebagai menjelaskan fakta dan keberadaan. (the love of wisdom as
leading to the search for it; knowledge of general pronciples-element, powers, pr
causes and laws- as explaining fact and existence). Adapun dalam KBBI, filsafat
memiliki makna sebuah pengetahuan yang menyelidiki dengan akal budi
mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukum-hukumnya, atau teori
yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau ilmu yang berintikan logika,
estetika, metafisika, dan epistemologi. Adapun Bertrand Russel dalam bukunya
"The History of Western Philosophy" menyatakan bahwa filsafat itu pertengahan
atau titik pertemuan antara teologi dan sains. "Philosophy, as I shall understand
the word, is something intermediate between theology and science. Like theology,
it consists of speculations on matters as to which definite knowledge has, so far,
been unascertainable; but like science, it appeals to human reason rather than to
authority, whether that of tradition or that of revelation. All definite knowledge--
so I should contend-belongs to science; all dogma as to what surpasses definite
knowledge belongs to theology. But between theology and science there is a No
Man's Land, exposed to attack from both sides; this No Man's Land is
philosophy".

Filsafat Islam

Filsafat Islam merupakan hasil pemikiran seseorang pemikir mengenai


ketuhanan, kenabian, kemanusiaan, alam, realitas ontologi, pandangan tentang
hakikat ruang, waktu, dan materi. Selain itu berkembang juga dalam ilmu kalam,
ul fiqh, dan tasawuf yang berasaskan ajaran Islam sebagai bentuk alur pemikiran
yang logis dan sistematis. Filsafat Islam berupaya memadukan antara wahyu
dengan akal, serta untuk menjelaskan bahwa wahyu tidak bertentangan dengan
akal manusia. Beberapa pendapat mengatakan bahwa filsafat Islam adalah
pemikiran yang lahir dari dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman yang
berkaitan dengan Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.
Selain itu juga dianggap sebagai pembahasan tentang alam dan manusia yang
tersinari ajaran Islam.

Oliver Leaman menjelaskan bahwa sejarah filsafat Islam yang asli tidak
harus dipengaruhi filsafat Yunani. Hal ini karena menurutnya, sebelum mengenal
filsafat dari Yunani, para cendekiawan Muslim sudah mengenal ilmu yang
menggunakan akal pikiran dalam menarik sebuah hukum (yang dimaksud adalah
istimbat hukum fikih dan usul fiqh). Menurutnya metode takwil dan qiyas,
merupakan aktifitas filsafat. Maka, seorang orientalis asal Universitas Kentucky
USA ini menerangkan bahwa jika menganggap filsafat Islam bermula dari proses
penerjemahan teks-teks Yunani atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles atau
Neo-Platonis adalah kesalahan besar. Sejarah keaslian filsafat Islam tidak seperti
yang dijelaskan Ernest Renan (1823-1893 M) dan Pierre Duhem (1861-1916 M).

Seyyed Hossein Nasr, menjelaskan filsafat Islam adalah pergumulan


aktivitas pencarian hikmah dalam tradisi intelektual Islam. Kemudian, ketika
mereka bertemu filsafat Yunani, mereka menggabungkan dan menyesuaikan
untuk mendefinisikan filsafat Islam menurut pemikir Islam. Ada 6 poin,
diantaranya: 1) Philosophy (al-falsafah) is the knowledge of all existing things
qua existents? 2) Philosophy is knowledge of divine and human matters 3)
Philosophy is taking refuge in death, that is, love of death 4) Philosophy is
becoming God-like to the extent of human ability 5) It [philosophy] is the art of
arts and the science (Him) of sciences. 6) Philosophy is predilection for ikmah.
Adapun tentang filsafat yang original, Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya yang
berjudul "Islamic Philosophy from its Origin to the Present", mengatakan bahwa
filsafat Islam yang murni lahir dari pengajaran al-Qur'an:

"Islamic philosophy was born of philosophycal speculation on the heritage


of Greco-Alexandrian philosophy, which was made available in Arabic in the
third/ninth century, by Muslims who were immersed in the teaching of the Quran
and lived in a universe in which revelation was a central reality."

Di sisi lain, keberadaan filsafat Islam memilik pro dan kontra. Filsafat
islam jika ditinjau dari sejarah, adalah sebuah warisan tradisi intelektual Islam.
Namun tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat. Hal ini karena filsafat
dianggap sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur ateisme,
sekularisme, relativisme, pluralisme, dan liberalisme. Jika demikian, maka filsafat
disepakati untuk ditolak para Ulama. Adapun yang tidak menolak filsafat,
berusaha menghilangkan unsur sesat itu dan mendefinikan filsafat adalah sikap
mental, proses nalar dan kearifan.

Budaya untuk mempertanyakan hakikat apa yang ada disekitar dengan


menggunakan akal (sebagaimana sama yang dilakukan oleh filosof), adalah
budaya yang dimiliki Islam yang diajarkan dalam al-Qur’an. Al-Qur'an berbicara
tentang pentingnya berpikir secara luas, yang menyebutkan ratusan kali istilah-
istilah seperti: Pertimbangkan (Yāqilun), pahami (yafqahun), pelajari
kebijaksanaan (yataffakarun), lihat (yanzurun), tinjauan ke depan (yubsirun),
renungkan (yātsarir), renungkan (yātabirun), berspekulasi (yatadabbarun),
merenungkan (yāmalun). Dalam hal lain digunakan frasa seperti: uli al-albab, uli
al-absār, atau uli nahī untuk menarik perhatian pada fungsi pikiran.

Sebenarnya budaya berfikir Islam yang sering disebut filsafat Islam itu
adalah sesuatu sistem berfikir yang memiliki perbedaan dengan filsafat Yunani.
Dikarenakan budaya bertanya kritis (filsafat) dikenal terlebih dahulu dalam
budaya Yunani, maka budaya berfikir kritis yang dibawa peradaban Islam setelah
Nabi Muhammad mendapatkan wahyu al-Qur'an, orang menyebutnya itu sebagai
filsafat juga. Jadi, Islam sejajtinya tidak mengajarkan filsafat seperti filsafat
yunani, namun mengajarkan cara berfikir kritis dan mengajarkan hikmah, yang
berpusat pada keimanan kepada Tuhan yang satu.

B. Pendapat – Pendapat Para Ilmuwan Terkemuka di Dunia Tentang


Pro dan Kontranya Filsafat Dalam Islam.

Menyaksikan perkembangan peradaban Barat yang fenomenal dan


spektakuler, pencapaian peradaban Barat sekarang ini bisa digolongkan puncak
peradaban umat manusia yang pernah dicapai sepanjang sejarah. Ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih merupakan dua produk peradaban yang telah
dicapai bangsa Barat yang mampu memenuhi kebutuhan hidup umat manusia.
Sejak Revolusi Industri di Inggris abad ke-16 dan Revolusi Prancis pada tahun
1789, Barat bergerak maju bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busurnya.
Di sisi lain menurut A. Syafi’i Ma’arif, karena kekecewaan para ilmuwan Barat
terhadap doktrin-doktrin Gereja pada abad pertengahan , mereka akhirnya
melawan doktrin-doktrin tersebut. Perlawanan itu begitu sengit, bahkan
melampaui batas. Deskartes misalnya, tanpa ragu mengatakan bahwa moral dan
iman tidak ada sangkut pautnya dengan penalaran (reason). Sementara
Machiavelli (1467 – 1527), seorang filosof politik Italia yang telah terlebih dahulu
memproklamasikan terpisahnya moral dengan politik.
Abu Hamid al-Ghazali (450 – 505 H/1058 – 1111 M) merupakan salah
seorang filosof yang melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran
para filosof. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang terkenal
Tahafut al-Falasifat (The Inkoherence of the fhilosopher; Kerancuan Pemikir Para
Filosof). Disatu pihak, al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam (Argumen
Islam), dan dinyatakan oleh Ibn ‘Asakir sebagai Mujahid (Pembaharu) Islam abad
ke-5 H. tidak heran jika ia menduduki posisi penting di dunia Islam sepanjang
sejarah hidupnya. Sejak abad ke-13 M dunia Islam lebih didominasi kalam dan
sufisme sehingga emperisme terhambat pekembangannya
Karya al-Ghazali yang sangat monumental adalah Tahafut al-Falasifah
yang berisikan serangan terhadap kerancuan berfikir para filosof yang secara
lahiriah ditandingi dan dibantah oleh Ibn Rusyd melalui bukunya Tahafut al-
Tahafut. Sebagai seorang filosof, Ibn Rusyd merasa perlu membela para filosof
dan pemikiran mereka serta mendudukkan masalah-masalah tersebut pada
proporsinya. Melalui karyanya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, seolah-olah Ibn
Rusyd telah mengisyaratkan bahwa al-Ghazali-lah yang sebenarnya kacau dalam
berpikirnya.
A. Al-Ghazali
a. Riwayat Hidup al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali
al-Thsusi. Ia dilahirkan pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1058 M di
Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Sebagaimana telah di
nukilkan oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Peta Bumi Intelektual
Muslim di Indonesia bahwa tahun kelahiran al-Ghazali bertepatan dengan tahun
meninggalnya al-Mawardi, seorang yuris Abbasiyah yang sangat kenamaan.
Perbedaan antara dua ulama besar ini adalah al-Mawardi dikenal sebagai yuris dan
diplomat yang ingin mengembalikan wibawa politik Abbasiyah yang sudah
berantakan melalui bukunya yang berjudul al-Ahkam al-Sulthaniyah, al-
Ghazali dalam pengembaraan intelektualnya ternyata telah menukik jauh ke alam
esoteris dengan kemampuan sufistik yang luar biasa. s
Pada sekolah ini pulalah al-Ghazali belajar teiri dan praktek tasawuf
kepada Abu Ali al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali al-Farmadhi (w.477 H). dengan
demikian, semakin lengkaplah ilmu yang diterimanya selama di Naisabur dan di
sekolah ini pulalah beliau diangkat menjadi dosen dalam usia 25 tahun. Setelah
gurunya, al-Juwaini wafat, al-Ghazali ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan
Nizham al-Mulk, Perdana Mentri Sultan Bani Saljuk.
b. Kritik Terhadap Filosof
Al-Gahazali melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap pemikiran
para filosof. Adapun yang dimaksud dengan filosof dalam bahasan al-Ghazali ini
adalah Aristoteles dan Plato juga al-Farabi dan Ibn Sina karena kedua filosof
Muslim ini dipandang al-Ghazali sangat bertanggung jawab dalam menerima dan
menyebarluaskan pemikiran filosofis dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan
Plato) di dunia Islam. Kritik pedas tersebut ia tuangkan dalam bukunya yang
terkenal Tahafut al-Falasifah (Kerancuan berpikir para filosof). Sebelumnya, ia
mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang gurupun dalam kurun waktu dua
tahun. Setelah berhasil dihayatinya dengan seksama, lalu ia tuangkan dalam
bukunya Maqasid al-Falasifat (Tujuan Pemikiran Para FilosofKesalahan para
filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada 20 masalah, yaitu:
1. Alam dan Semua Substansinya Qadim
Pada umumnya filosof Muslim berpendapat bahwa alam ini kadim, artinya wujud
alam bersamaan dengan wujud Allah. Kekadiman Allah dari alam hanya dari segi
zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi makan (taqadum makany). Menurutnya
para filosof Muslim mengemukakan alasan .
a. Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qadim. Jika Allah kadim,
maka terjadinya alam merupakan sesuatu keniscayaan dan hal ini akan
menjadikan kadim kedua-duanya (Allah dan alam). Jika diandaikan Allah yang
kadim sudah ada, sedangkan alam belum, karena merupakan kemungkinan
semata, dan setelah itu alam diadakanNya, maka apa alasannya bahwa alam
diadakan sekarang, tidak sebelumnya. Kalau dikatakan sebelumnya motifnya
(murajjihnya) belum ada, mengapa baru ada sekarang, tidak sebelumnya? Jika
dikatakan kekuasaan baru ada sekarang, tidak sebelumnya? Bagaimana terjadinya
kekuasaan itu. Jika dikatakan sebelumnya Allah tidak berkehendak (iradath) dan
baru kemudian berkehendak, mengapa terjadi kehendak itu, apakah kehendak itu
datang dari zatNya atau dari luar zatNya? Keduanya itu adalah mustahil bagi
karena Allah tidak mengalami perubahan.
Al-hazali menjawab sendiri argument filosof Muslim ini dengan
mengemukakan, tidak ada halangan apapun bagi Allah menciptakan alam sejak
azali dengan iradatNya yang kadim pada waktu diadakanNya. Sementara itu,
ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendakiNya. Iradat,
menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi membedakan
(memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu
bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara
mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada sifat khusus yang
membedakannya, yaitu sifat iradah. Andaikan para filosof Muslim menganggap
sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradat, dapat diberi nama lain asal itu
yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan,
yang penting adalah isinya. Oleh karena itu jika Allah menetapkan ciptaanNya
pada satu waktu dan tidak pada waktu yang lain, tidaklah mustahil terciptanya
sesuatu yang baru dari yang bersifat kadim karena iradat Allah bersifat mutlak dan
tidak dihalangi oleh ruang dan waktu.
b. Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari segi esensi (taqaddum
zaty), sedangkan dari segi zaman (taqaddum zamany) antara keduanya adalah
sama. Hal ini sama seeperti keterdahuluan bilangan satu dari dua. Jika demikian
keadaan antara Allah dan alam, harus keduanya kadim atau baharu dan tidak
mungkin salah satunya kadim dan yang lainnya baharu. Andaikan Allah
mendahului alam dari segi zaman, bukan dari segi zat, ini berarti ada zaman
sebelum alam diwujudkan. Pada waktu itu alam harus belum ada karena ketiadaan
melalui wujud. Oleh sebab itu, Allah mendahului zaman terbatas pada satu sisi
dan tidak terbatas pada sisi awal. Ini berarti sebelum ada zaman sudah ada zaman
yang tidak terbatas akhirnya. Hal ini paradok, justru itu mustahil zaman sebagai
ukuran gerak baharu dan ia harus kadim.s
Persoalan ini dijawab oleh al-Ghazali, memang wujud Allah lebih dahulu
dari alam dan zaman. Zaman baharu dan diciptakan. Sebelum zaman diciptakan
tidak ada zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam karena diciptakan
Allah. Jadi, dalam keadaan pertama kita bayangkan adanya Allah saja, dan dalam
keadaan yang kedua kita bayangkan ada dua esensi yaitu Allah dan alam dan tidak
perlu membayangkan adanya esensi yang ketiga, yaitu zaman. Zaman adanya
setelah adanya alam karena zaman merupakan ukuran waktu yang terjadi di alam.
Menurut al-Ghazali, mengandaikan zaman sebelum zaman merupakan khayalan
pikiran semata, yang diassumsikan benar-benar ada, padahal realitanya tidak sama
sekali.
c. Alam sebelum ada merupakan sesuatu yang mungkin, kemungkinan ini
tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.
Menurut al-Ghazali, ala mini senantiasa mungkin terjadinya, dan setiap
saat dapat digambarkan terjadinya. Jika dikatakan bahwa alam ini selama lamanya
(kadim) tentu dia tidak baharu. Kenyataan ini jelas tidak bertentangan dengan
kenyataan dan tidak cocok dengan teori kemungkinan. Yang kadim menurut
pandangan al-Ghazali hanya Allah, sedangkan selain Allah adalah baharu (hadis).
Implikasi dari pemahaman ini akan membawa pada:
- Paham syirik, karena banyak yang kadim, banyaknya Tuhan
- Paham atheisme, alam yang kadim tidak ada pencipta
Menurut Sirajudin Zar, persoalan alam apakah diakadan dari ada atau dari
ketiadaan dan prosesnya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an . oleh karena itu, apa
pun pendapat yang dikemukakan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan itu
semua adalah hasil pemahaman seseorang terhadap ajaran al-Qur’an yang disebut
dengan hasil ijtihad dan itu bukan ajaran al-Qur’an yang tidak boleh berubah dan
tidak boleh diubah.
2. Allah tidak mengetahui yang juz’iyyah (perincian) yang terjadi di alam
Menurut para filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal atau peristiwa yang
terjadi di alam, kecuali hanya yang umum saja. Alasan yang mereka kemukakan
sesuatu yang baharu itu dengan segala peristiwanya selalu berubah-ubah,
sedangkan ilmu selalu mengikuti kepada yang diketahui (objeknya), yakni
perubahan perkara yang diketahui, menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu-
ilmu ini berubah dari tahu menjadi tidak atau sebaliknya berart Tuhan mengalami
perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan mustahil terjadinya.
Menurut al-Ghazali, argument seperti ini merupakan kesalahan fatal. Perubahan
pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu, karena ilmu merupakan
idhafah (sesuatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah
tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai
ilmu tidak berubah. Untuk memperkuat argumentnya, al-Ghazali mengemukakan
ayat-ayat al-Qur’an, diantaranya:
a. Firman Allah dalam Qs. Yunus (10):61
Artinya: “…… tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah
(atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang
lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh).
b. Firman Allah dalam Qs. Al-hujurat (49):16
Artinya: “Katakanlah: "…dan Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang
di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"
Sebenarnya terdapat kesamaan antara al-Ghazali dan filosof Muslim,
bahwa ilmu dan zat Allah tidak mungkin mengalami perubahan dan Allah Maha
Mengetahui. Perbedaan mereka hanya terletak pada persoalan bagaimana Allah
megetahui yang juz’iyyah. Filosof mengemukakan bahwa Allah mengetahui yang
juz’iyyah (parsial) lewat yang kulli (umum). Hal ini terjadi disebabkan perbedaan
mereka dalam menetapkan sifat dan zat Tuhan. Para filosof mengidentikkan
dengan sifat dan zat, sementara al-Ghazali membedakan antara sifat dan zatnya.
Pendapat filosof Muslim tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang telah
dikemukakan oleh al-Ghazali di atas. Mereka hanya menjelaskan bagaimana cara
Allah mengetahui yang juz’iyyah dan mereka bukan mengingkari Allah tentang
mengetahui yang juz’iyyah.
3. Pembangkitan jasmani tidak ada
Menurut filosof Muslim yng akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah
rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan
kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Al-Ghazali pada dasarnya tidak
menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi daripada
kelezatan di dunia empiris/indrawati. Juga tidak menolak kekekalan roh setelah
berpisah dari jasad, semua itu dapat diketahui dari otoritas dari jasad. Akan tetapi
dia membantah bahwa akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam
masalah metafisika. Dalam menyanggah pendapat para filosof ini al-Ghazali lebih
banyak bersandar pada arti tekstualitas al-Qur’an. Tidak ada alasan untuk menolak
terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Para
filosof Muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad
semula, dengan berpiahnya jasad dengan roh berarti kehidupan telah berakhir dan
tubuh telah hancur. Sedangkan menurut al-Ghazali kekalnya jiwa setelah mati
tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Hadis-hadis menyebutkan pula
bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lain-
lain. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu,
kebangkitan jasmani secara explisit telah ditegaskan oleh syara’.
Jadi pertentangan yang terjadi antara filosof Muslim dengan al-Ghazali hanya
berkisar pada tataran interpretasi tentang dasar-dasar ajaran Islam yaitu pada
bentuk kebangkitan di akhirat, bukan pertentangan pada dasar-dasar Islam itu
sendiri, yakni kebangkitan di akhirat.
B. Ibn Rusyd
a. Biografi
Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan
Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu
Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada
tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ia
ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam
keluarga yang semuanya menjadi fuqaha? dan hakim. Ayahnya dan kakeknya
menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di
Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara
Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur.
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang
melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd
melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-
ulama yang ada masa itu. Walau pun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang
yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam
memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah
segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di
Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk
dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd
mengalami hidup pengasingan di Yasyanah. Di dunia Barat ia disebut dengan
Averrois, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Menurut
Sirajuddin Zar sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-
Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben,
sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama
Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan
dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averrois.
Dari Averrois ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam
bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd
memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya
tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling
tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai
guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filosof atau Aristoteles.

b. Jawaban Terhadap Sanggahan Al-Ghazali


Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz min Ad-Dlolal, Filosof
terbagi menjadi 3 golongan yaitu golongan Dahriyyin (materealis), Thobiiyyin
(Naturalis) Ilahiyyin ( ketuhanan). Filosof ilahiyyin seperti Socrates, Plato dan
Aristoteles telah menafikan menyangkal dua golongan filosof sebelumnya.
Filsafat mereka dibawa dan dikembangkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina dan
disebarluaskan di dunia Islam. Selanjutnya filsafat tersebut oleh al-Ghazali ada
yang diterima yaitu yang menyengkut metematika, fisika, kimia, dan lain-lain,
sedang yang menyangkut ketuhanan ditolak dengan dianggap sebagai bid’ah
(heteredoksi) bahkan kufur, sebagaimana dia tulis dalam kitab tahafutul falasifah,
ia memandang para filosof sebagai Ahl–Al-Bid’ah, bahkan kafir. Kesalahan para
filosof dalam bidang ketuhanan ada duapuluh poin, tiga diantaranya menyebabkan
mereka menjadi kafir yaitu; masalah qadimnya alam, masalah ketidak tahuan
Asllah tentang hal-hal juz’iyyat, dan masalah kebangkitan manusia bukan secara
jasmani, namun hanya ruhani.
1. Masalah Qadimnya Alam
Menurut Al-Ghazali Alam diciptakan dari tiada menjadi ada. Pemikiran
seperti inilah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada
yang mengadakan. Sementara filosof muslim memandang bahwa alam ini sudah
ada sejak zaman azali Allah menciptakabn alam ini bukan dari tiada tapi dari ada.
Menurut Ibnu Rusyd tidak ada adalah tidak ada, ada adalah ada, masing-
masing tidak bisa menggantikan posisi lainnya, mustahil bagi Allah mencipta
sesuatu yang tiada. Jadi Allah mencipta alam bukan dari tiada, tapi dari ada, Allah
merubah bentuk menjadi alam seperti ini, Ibnu Rusyd menyandarkan pendapatnya
ini dengan Qs Al-Anbiya: 30
‫ أفاليؤمنون‬،‫وجعلنامن الماء كل شيئ حي‬،‫أولم يرى الذين كفروا أن السموات واألرض كانتا رتقا ففتقناهما‬
Artinya : Dan apakah orang oyang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi keduanya dahulu adalah suatu yang padu. Kemudian
kami pisahkan antara keduanya. Dan air, kami jadikan segala sesuatu yang hidup,
maka mengapakah mereka tiada juga beriman.(Qs Al-Anbiya: 30)
Dan firman Allah dalam Qs. Fusshilat : 11
‫ قالتا أتينا طائعين‬، ‫ثم استوى الى السماء وهي دخان فقال لها ولألرض ائتيا طوعا أو كرها‬
Artinya : Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih merupakan
asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: datanglah kamu keduanya
menurut perintahku dengan suka hati atau terpaksa. Keduanya menjawab : Kami
datang dengan suka hati.(Qs. Fusshilat: 11)
Juga firman Allah dalam Qs. Al-Mu’minun: 12
‫ولقد خلقنا اإلنسان من ساللة من طين‬
Artinya : Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
dari tanah (Qs. Al-Mu’minun: 12)
Dari ayat-ayat tadi Ibn Rusyd menyimpulkan bahwa dalam mencipta Allah
selalu menyebut sesuatu sebagai asal mula penciptaannya. Jadi sebelum alam ini
diciptakan, sudah ada sesuatu yang lain, yang didalam ayat-ayat tadi terdapat
kata ‫( م‹‹اء‬air) dan ‫ ( دخ‹ان‬asap ). Dengan demikian kata Ibnu Rusyd, pendapat
filosof muslimlah yang sesuai dengan ayat Al-Qur’an, sedangkan pendapat Al-
Ghazali dan para teolog muslim tidak sesuai dengan arti lahir ayat Al-Qur’an.
2. Tuhan Tidak Mengetahui Hal-Hal Juziyyat
Menurut Al-Ghozali para filosof muslim berpendapat bahwa Allah tidak
mengetahui yang parsial di alam, padahal dalam Qs. Yunus: 6
‫وما يعزب عن رب‹‹ك من مثق‹‹ال ذرة في األرض وال في الس‹‹ماء وال أص‹‹غر من ذل‹‹ك وال أك‹‹بر إال في كت‹‹اب‬
‫مبين‬.
Artinya : Dan tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar
Dzarrah (atom) dibumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak ada
yang lebih besar dari itu melainkan (semua) tercatat dalam kitab yang nyata.
Dalam menjawab tuduhan ini Ibn Rusyd menegaskan bahwa Al-Ghazali
salah paham, sebab tidak ada para filosof muslim yang mengatakan
demikian. Yang dimaksudkan para filosof muslim adalah pengetahuan Allah
tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia.
Pengetahuan Allah bersifat qadim yakni sejak azali. Allah mengetahui
segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedang pengetahuan manusia
bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan
pengetahuan manusia berbentuk akibat. Demikian juga menurut Ibn Rusyd,
pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i ( parsial) dan kullli ( umum), Juz’i
adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa
ditangkap dengan panca indera. Kulli mencakup berbagai jenis (nau’). Kulli
bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat immateri
(rohani), tentu saja pada dzatNya tidak terdapat panca indera untuk mengetahui
yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibn Rusyd, tidak ada para filosof muslim
yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kulli. Dari itu jelaslah perbedaan
antara Al-Ghazali dan para filosof muslim tentang ilmu Allah. Al-ghazali terkesan
menyamakan ilmu Allah dengan ilmu manusia, sedangkan para filosof muslim
terkesan membedakan antara ilmu Allah dengan ilmu manusia. Namun pada
dasarnya mereka berpendapat bahwa Allah mengetahui (parsial dan umum) segala
yang terjadi di alam ini, namun mereka berbeda tentang cara Allah
mengetahuinya.
3. Masalah Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Imam Ghozali sebagaimana para teolog lainnya meyakini bahwa
kebangkitran jasmani adalah jasmani dan rhani, sebagimana firman Allah dalam
Qs.Yasin: 52
‫ وهو بكل خلق‬.‫وضرب لنا مثال ونسي خلقه قال من يحي العظام وهي رميم قل يحييها الذي أنشأها أول مرة‬
‫عليم‬.
Artinya : Dan dia membuat perumpamaan bagi kami dan dia lupa kepada
kejadiannya, ia berkata; siapakah yang dapat, menghidupkan tulang belulang yang
telah hancur luluh?. katakanlah ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya kali yang pertamam dan dialah yang mengetahui tentang segala
makhluk.
Menurut Ibn Rusyd, sanggahan Al-Ghazali terhadap filosof muslim,
tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak
mengatakan demikian. Semua agama, tegas Ibn Rusyd mengakui adanya hidup
kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Para
filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani, dan para teolog
mengatakan akan dibangkitkan rohani dan jasmani. Namun yang jelas kehidupan
di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia ini.
Hal ini sesuai dengan hadits : “Disana akan dijumpai apa yang tak pernah
dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas didalam
pikiran” dan ucapan Ibn Abbas RA : “Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal
keduniawian kecuali nama saja”. Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi dari pada
di dunia.
Namun demikian, Ibn Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal
kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena
kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan
pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang
buruk. Menurut Ibn Rusyd sikap Al-Ghazali sendiri tidak konsisten, saling
bertentangan dengan ucapannya sendiri. Dalam buku tahafutul falasifah, Al-
Ghazali mengatakan bahwa tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat
bahwa kebangkitan jasmani tidak ada. Namun dalam bukunya mengenai tasawwuf
dia mengemukakan pendapat kaum sufi bahwa yang ada nanti hanya kebangkitan
rohani. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara
Al-Ghazali dan para filosof muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran
dasar tentang kebangkitan di akhirat , bukan perbedaan antara menerima atau
menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijtihad antara Al-
Ghazali dengan filosof muslim, atau dengan kata lain perbedaan otak antara satu
orang muslim dengan otak orang muslimlain dalam memahami ayat-ayat tentang
kebangkitan di akhirat , hal ini lumrah terjadi dikalangan ulama Islam. Perbedaan
seperti ini tidak akan membawa kepada kekafiran. Lebih lanjut Ibn Rusyd
menekankan hadits Rasululah: Siapa yang benar dalam berijtihad dibidangnya ia
mendapat dua pahala dan siapa yang salah dalam ijtihadnya ia menadapat satu
pahala.
Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd tuduhan kafir yang dilontarkan Al-
Ghazali terhadap filosof Muslim dalam 3 butir masalah diatas tidak pada
tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereaka keliru namun kesalahan
mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Jika tuduhan dilontarkan
kepada para filosof muslim melanggar ijma’, maka dalam pemikiran
mereka tidak ada ijma’ ulama secara pasti.
c. Averroisme
Proses transformasi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam kedua Barat
terjadi melalui rute segitiga perdagangan antara Spayol – Sicilia – Syria. Para
guru dan pedagang dari Spanyol, muslim Sicilia dan Afrika serta tentara salib
adalah pembawa–pembawa utama pengetahuan Islam ke dunia Barat. Selain itu,
jalur yang tidak kalah penting dalam proses transformasi ini adalah jalur
pendidikan. Sejak abad ke-10 telah banyak pemuda-pemuda eropa menimba ilmu
pengetahuan di universitas-universitas Islam di kota Seville, Cordova, Toledo,
Granada dan Valencia. Selain itu orang-orang mozarabes (orang-orang Spanyol
yang mempunyai kebiasaan Arab-Islam dalam kesehariannya) juga mempunyai
andil sebagai transmitter dalam alih kebudayaan Islam ke dunia Barat. Mereka
banyak menerjemahkan karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan Islam yang
berbahasa Arab ke bahasa latin. Termasuk juga karya-karya Ibn Rusyd.
Menurut Ibrahim Madkur, sebagaimana dikutip oleh Sirajuddin Zar, ada
beberapa alasan yang menimbulkan perhatian Barat terhadap pemikiran filsafat
Ibn Rusyd.
a. Frederick II sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat lebih banyak
tertarik pada komentar-komentar Ibn Rusyd terhadap Aristoteles. Komentar
tersebut diterjemahkan, kemudian tersebar luar di Eropa
b. Orang-orang Yahudi, penganut filsafat Ibn Rusyd, berusaha
menerjemahkan karya Ibn Rusyd dalam bahasa-bahasa Ibrani dan Latin.
Kemudian, mereka bertindak sebagai perantara filsafat Ibn Rusyd dan filsaat
Barat.
c. Sebagian pengkaji filsafat memandang bahwa untuk memahami filsafat
Aristoteles, sebaiknya membaca filsafat Ibn Rusyd. Oleh karena itu upaya
menerjemahkan karya-karya Ibn Rusyd pada abad ke-16 dimaksudkan untuk lebih
memahami filsafat Aristoteles melalui Ibn Rusyd.
Seperti telah diungkapkan di atas bahwa pemikiran Ibn Rusyd masuk ke
dunia Barat melalui berbagai penerjemahan dan penerbitan. Penerjemahan itu
dilakukan oleh murid-muridnya yang datang dari berbagai pelosok Eropa dan oleh
orang-orang Yahudi. Di akhir hayatnya seorang Archbishop, Raimond I
melakukan penerjemahan secara besar-besaran di Toledo. Penerjemah lain adalah
Michel Scot dari Scotlandia, Hermann dari Jerman, dan Clunimus dari Cluminus
(Yahudi). Terjemah yang mereka hasilkan tersebut diterbitkan beberapa kali di
Venesia, Napoli, blogna, Paris, lyons, Strasbourg, dan Jenewa. Buku-buku
tersebut juga menjadi pelajaran wajib di pelbagai perguruan tinggi Eropa.
Dengan demikian pengaruh pemikiran Ibn Rusyd ini tidak secara
langsung, melainkan melalui para murid-muridnya dari Eropa yang belajar ke
Spanyol dan mereka inilah yang dikenal dengan Averroisme. Gerakan ini
berlangsung selama 400 tahun, yaitu tahun 1250 – 1650 M. Secara historis,
Averroisme merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran-
penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibn Rusyd oleh pemikir Barat-
Latin. Pada mulanya istilah ini dimaksudkan sebagai penghinaan (pejorative)
terhadap pendukungnya. Tidak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan
dirinya sebagai pendukung Averroisme. Barulah setelah masa Johannes Jandun
(m. 1328) yang pertama kali menegaskan dirinya secara terbuka sebagai seorang
Averrois dan diikuti oleh Urban dari Bologna serta Paul dari Venesia, para
pendukung Ibn Rusyd baru berani secara terang-terangan menyatakan pendirian
mereka.
Dengan demikian Averroisme mengalami kesulitan ketika
mengembangkan pemikiran rasional Ibn Rusyd. Pemikiran filsafat yang dibawa
oleh Ibn Rusyd dalam Islam adalah satu kebenaran. Kebenaran yang dibawa
filsafat tidak akan bertentangan dengan kebenaran agama, jika dirasa ada
pertentangan, diambil arti metafora (takwil).
Oleh karena itu kebenaran ganda (double truth), kebenaran yang dibawa
agama adalah benar dan kebenaran yang dibawa filsafat juga benar, yang
dikembangkan oleh Averroisme bukanlah berasal dari Ibn Rusyd. Bahkan ada
Averroisme, Siger de Brabant (1235-1285), pemikiran filsafat mungkin
bertentangan dengan kebenaran agama, tetapi keduanya harus diterima. Ajaran
dan pendapat ini menurut Nurchalish Madjid, sebagaimana dikutip Sirajudin Zar,
merupakan suatu kemunafikan. Penyimpangan yang lebih ekstrem dari
Averroisme, menurut Harun Nasution, sebagaimana juga dukutip Sirajuddin Zar,
adalah pendapat mereka yang mengatakan bahwa filsafat mengandung kebenaran,
sedangkan agama membawa hal-hal yang tidak benar. Oleh karena itu tuduhan
pemuka gereja terhadap Ibn Rusyd seorang atheis tidak tepat dan salah alamat
yang semestinya dilontarkan kepada Averroisme.
Tidak terlalu berlebihan jika Lebon mengatakan “Orang Arablah yang
menyebabkan Eropa mempunyai peradaban karena mereka adalah imam Eropa
selama enam abad.
Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa orang-orang Eropa
dapat mengenal filsafat dan sains adalah atas jasa orag Islam, dan hal ini
merupakan utang budi Barat terhadap umat Islam. Namun, perkembangan filsafat
dan sains di Eropa berbeda dengan Islam yakni lepas kendali dari bimbingan
agama, yang akhirnya dari sekuler menjadi atheis.
C. Kesimpulan
Seperti sudah diuraikan di atas bahwa ada tiga lahan perdebatan yang
ditudingkan al-Ghazali kepada para filosof Muslim yang menyebabkan mereka
menjadi kafir yaitu masalah kadimnya alam, Allah tidak mengetahui yang
juz’iyyah dan masalah pembangkitan jasmani. Tiga persoalan menjadi lapangan
akal karena tidak ada nash al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW yang
menegaskannya. Pendapat al-Ghazali ini, sebagi seorang teolog Muslim, tentu
saja dipengaruhi oleh paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, artinya Allah
dapat berbuat apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya, sehingga tidak
mengherankan jika al-Ghazali berpendapat demikian.
Menurut Ibn Rusyd tuduhan yang dilontarkan oleh al-ghazali terhadap
filosof Muslim dalam tiga butir persoalan diatas tidak pada tempatnya. Kalaupun
mereka salah, maka kesalahan mereka hanya pada lapangan ijtihadi.
Gagasan Averroisme yang ingin mengembangkan gagasan-gagasan Ibn Rusyd
dan berkembang di Barat sejak abad ke-13 ternyata tidak sepenuhnya bertumpu
pada pemikiran Ibn Rusyd. Ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan
oleh para eksponen Averroisme dari ajaran-ajaran Ibn Rusyd yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Gambar Ilustrasi: 'The Philosopher' karya Pelukis Orientalis Ludwig


Deutch 1905

The Meaning and Scope of Philosophy,


https://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603 /116523/9/09_chapter
%201.pdf, Diakses pada tanggal 23 September 2019.

Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (UK: Oxford


University Press).

Smith SS, The New International Webster's Comprehensive Dictionary of


the English Language, (Florida: Triden Press International, 1996), hlm 494.

KBBI Edisi ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. p. 392

Lihat Bertrand Russel, A History Of Western Philosophy; And Its


Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the
Present Day, (New York: Simon And Schuster, 1945), hlm xiii.

Donald M. Borchert, Ecyclopedia of Philosophy Vol 7, (USA: Thomson


Gale, 2006), hlm 325-327.

Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam, (Bandung: Yrama Widya, 2016)


hlm 4.

Riak Gelombang “Pro dan Kontra Filsafat Islam” diakses dari


https://rumputmerahku.blogspot.com/2017/11/pro-dan-kontra-dalam-
filsafat.html# pada tanggal 07 April 2020.

Anda mungkin juga menyukai