Anda di halaman 1dari 13

FILSAFAT ISLAM

DAN TRADISI KEILMUAN ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Dr. Abudzar Al-Ghifar, Lc, M.Ag

Disusun oleh:

Saffanah ( 22033047 )

Audia Rahmayana ( 22033056 )

PROGRAM STUDI SISTEM TEKNOLOGI INFORMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS DARUNNAJAH

2023 M / 1444 H
PENDAHULUAN
Ketika ditanya apa itu filsafat, seseorang baik pelajar mahasiswa maupun
guru menjawab dengan singkat bahwa filsafat ialah mencari kebenaran. Dengan
cara berfikir dan bertanya terus-menerus tentang segala hal mulai dari persoalan
gajah sampai persoalan semut, dari soal hukum dan politik, hingga soal moral dan
metafisika, dari soal galaksi sampai ke soal bakteri.
Dengan demikian, berarti filsafat itu ada dimana-mana. Memang benar,
filsafat ada di barat dan di timur. Ada filsafat Yunani, filsafat India, filsafat Cina,
filsafat Kristen, filsafat Islam, dan berbagai filsafat lainnya. Inilah makna filsafat
sebagai kearifan (sophia) dan pengetahuan (sapiential) yang dicapai manusia
dengan akal pikirannya.

PEMBAHASAN
A. Istilah Filsafat
Dalam tradisi intelektual Islam, terdapat tiga istilah umum untuk filsafat.
1. Hikmah
Istilah yang pertama ialah hikmah, yang tampaknya sengaja dipakai agar
terkesan bahwa filsafat itu bukanlah barang asing, akan tetapi filsafat berasal
dari Al-Qur’an dan bermuara pada Al-Qur’an.
Al-‘Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah dan
diantara manusia yang pertama dianugrahi hikmah oleh Allah ialah Luqman
Al-Hakim. Disebutnya ke-tujuh filsuf Yunani kuno itu sebagai ahli hikmah
(al-hukama’ as-sab’ah) yakni Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus,
Myson, dan Chilon.

2. Falsafah
Istilah yang kedua ialah Falsafah, yang diserap ke dalam kosakata Arab
melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Al-Kindi menerangkan bahwa
“falsafah” itu artinya hubb al-Hikmah “cinta pada kearifan”. Definisi yang
diberikan oleh Al-Kindi: Filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat
segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoritis mencari
kebanaran, manakala filsafat praktis mengarahkan pelakunya agar ikut

2
kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat
merupakan usaha manusia untuk mengenal dirinya. Demikian tulis Al-Kindi.
Sementara Ibnu Sina menyatakan bahwa hikmah adalah kesempurnaan
jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu
menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas
kemampuannya sebagai manusia (istikmal an-nafs al-insaniyyah bi
tashawwur al-umur wa at-tashdiq bil haqa’iq an-nazhariyyah wa al-
’amaliyyah ‘ala qadri thaqat al-insani). Siapapun yang berhasil menggapai
“hikmah” seperti ini, maka ia telah mendapat anugerah kebaikan berlimpah,
ujar Ibnu Sina.
Sudah barang tentu tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Imam
Al-Ghazali termasuk yang menentangnya. Menurut beliau, lafazh “hikmah”
telah dikorupsi untuk kepentingan filosof, karena “hikmah” yang dimaksud
dalam kitab suci Al-Qur’an itu bukan filsafat, melainkan syariat Islam yang
diturunkan Allah kepada nabi dan rasul.
Sekelompok cendikiawan Bernama “Ikhwan As-Shafa” menambahkan:
“Filsafat itu berangkat dari rasa ingin tahu. Adapun puncaknya adalah berkata
dan berbuat sesuai dengan apa yang anda tahu (al-falsafah awwaluha
mahabbatu al-‘ulum … wa akhirotuha al-qawl wa al-‘amal bi ma yuwafiqu
al-‘ilm).”

3. ‘Ulum Al-Awa’il
Istilah berikutnya, yang ketiga yaitu ‘ulum al-awa’il yang artinya “ilmu-
ilmu orang zaman dulu.” Yaitu ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno
pra-Islam seperti India, Persia, Yunani, dan Romawi. Termasuk diantaranya
ilmu logika, matematika, astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan
sebagainya.

B. Perspektif Filsafat
Terdapat beberapa pandangan mengenai matriks Filsafat Islam.
1. Pandangan pertama dipegang oleh mayoritas orientalis. Filsafat Islam adalah
kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: “It is Greek philoshopy in Arabic
garb”, demikian kata Renan, Gutas, dan Adamson yang lebih suka
menyebutnya sebagai “filsafat [berbahasa] Arab” (Arabic Philosophy).
3
Dibalik pandangan ini terselip rasisme intelektual bahwa filsafat itu
murni produk Yunani dan karenanya kaum Muslim sekadar mengambil dan
memelihara untuk diwariskan kepada generasi sesudah mereka. Memang,
dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan kedudukan Filsafat Islam
seringkali dimarginalkan dan direduksi, atau bahkan diabaikan sama sekali.
Mulai dari Hegel sampai Coplestone dan Russell, Filsafat Islam hanya
dibahas sambil lalu, sebagai “jembatan peradaban” (kulturvermittler) dari
Zaman Kegelapan ke Zaman Pencerahan.

2. Pandangan kedua menganggap Filsafat Islam itu reaksi terhadap doktrin-


doktrin agama lain yang telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir
Muslim dituduh telah mencomot dan terpengaruh oleh tradisi Yahudi -
Kristen.
Pendapat ini diwakili Rahib Maimonides, “Ketahuilah olehmu bahwa
semua yang dilontarkan oleh orang Islam dari golongan Mu’tazilah (kaum
rasionalis Islam) maupun Asy’ariyah mengenai masalah-masalah ini berasas
pada sejumlah proposisi-proposisi yang diambil dari buku-buku orang
Yunani dan Syria yang ditulis untuk menyanggah para filsuf dan
mematahkan argumen-argumen mereka.”
Dua sudut pandang tersebut diatas dikritik tajam antara lain oleh
“Seyyed Hossein Nasr.” Orientalis yang menganut perspektif Greco-Arabic
biasanya mengkaji Filsafat Islam sebagai barang purbakala atau artifak
museum, sehingga pendekatannya selalu historis dan filologis. Di mata
orientalis semisal Van den Bergh, Walzer dan Gutes, Filsafat Islam itu ibarat
sesosok mumi yang hidup antara abad ke-9 hingga ke-12 Masehi.
Akibatnya, para orientalis itu tidak tahu dan tidak peduli akan fakta
Filsafat Islam sebagai kegiatan intelektual yang terus hidup dari dahulu
sampai sekarang. Islamic philoshopy has remained a major intellectual
activity and a living intellectual tradition within the citadel of Islam to this
day, di pusat-pusat keilmuan Islam di Dunia Islam.

3. Yang ketiga adalah perspektif revisionis yang memandang Filsafat Islam itu
lahir dari kegiatan intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama
Islam. Bukankah perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan sosial
4
Tuhan, tentang hakikat kebebasan dan tanggung jawab manusia merupakan
cikal bakal tumbuhnya filsafat?
Munculnya kelompok Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, dan lain-lain, yang
melontarkan argumen rasional disamping merujuk kepada ayat-ayat Al-
Qur’an, jelas sekali mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam
Islam. Contohnya sepucuk surat dari Al-Hasan Al-Basri kepada Khalifah
perihal qadha dan qadar, dimana beliau menangkis argumen kaum fatalis
maupun argumen rasionalis sekuler. Perdebatan seru segera menyusul di
abad-abad berikutnya seputar kedudukan logika, masalah atom, ruang hampa,
massa, dan yang tidak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan
Tuhan serta keabadian alam semesta.
Pandangan revisionis ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif, Oliver
Leaman, dan Alparslan Açıkgenc. Filsafat Islam tidak bermula dengan Al-
Kindi dan berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika
unsur-unsur internal umat Islam itu sendiri, bangunan Filsafat Islam dapat
ditemukan pondasinya dalam kitab suci Al-Qur’an yang menduduki posisi
sentral dalam kehidupan spiritual – intelektual kaum Muslim. Bagi Oliver
Leaman, Filsafat Islam adalah nama generic keseluruhan pemikiran yang
lahir dan berkembang dalam lingkup peradaban Islam, terlepas apakah
mereka yang punya andil berbangsa Arab ataupun non-Arab, Muslim ataupun
non-Muslim, hidup di Timur Tengah ataupun bukan, berbahasa Arab, Ibrani,
Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak zaman dulu sampai
sekarang ini.
Leaman mencermati adanya cara pandang Islami yang membingkai itu
semua (framed within the language of Islam, within the cultural context of
Islamic Society). Artinya, Filsafat Islam itu luas dan kaya.

C. Corak Filsafat
Masih menurut Oliver Leaman, Filsafat Islam itu sangat filosofis dalam
arti logis-analitis, terus hidup dan penuh gejolak, tidak sekadar melanjutkan
tradisi sebelumnya, akan tetapi juga memperlihatkan terobosan-terobosan
kreatif dalam menjawab persoalan-persoalan klasik maupun modern: Much
Islamic philosophy, like much philosophy of any kind, is just the accretion of

5
new technical representation of existing issues …. New tradition of thinking
about problems and resolving difficult conceptual issues)1
Pernyataan serupa diutarakan oleh pakar-pakar filsafat dari Mesir seperti
Ibrahim Madkour, Musthofa Abdur Raziq, dan Syekh Abdul Halim Mahmud.
Filsafat Islam itu “Islami” dari empat segi:
a) sisi masalah-masalah yang dibahas
b) aspek konteks sosio-kulturnya
c) sudut faktor-faktor pemicu serta tujuannya
d) kenyataan bahwa para pelakunya hidup dibawah naungan kekuasaan
Islam2.
Memang, jika ditelusuri dan diteliti karya-karyanya, para filsuf Muslim
bukan semata-mata membeo atau sekadar memproduksi apa yang mereka
pelajari dari ahli pikir Yunani kuno. Mereka tidak pasif-reseptif, tidak
menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah tanpa resistensi dan sikap
kritis. Sebaliknya, para pemikir Muslim semisal Ibnu Sina, Al-Baghdadi, dan
Ar-Razi mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi
(melakukan pengembangan ide atau informasi secara detail), menjelaskan
dan menyanggah, melontarkan kritik, memodifikasi, dan menyaring,
mengukuhkan dan menambahkan, memperkenalkan konsep-konsep baru,
atau menyuntikkan makna baru pada istilah-istilah yang sudah ada, dan
menawarkan solusi-solusi baru untuk persoalan-persoalan perennial (abadi
atau tahan lama) dalam filsafat.
Selain berhasil menelurkan sintesis cemerlang dan membangun sistem
pemikiran tersendiri, para filsuf Muslim terutama berhasil mengakomodasi
khazanah keilmuan Yunani kuno dalam kerangka pandangan hidup
(Weltanschauung) Islam. Dengan kata lain, mereka berupaya
mengislamkannya. Maka yang terjadi adalah islamisasi filsafat secara negatif
(pengenyahan unsur-unsur kufur) dan positif (pemasukan unssur-unsur
islami).

1
History of Islamic Philosophy, London: Routledge, 1996, hlm. 1-10
2
I. Madkour, Al-Falsafah Al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbiquhu, hlm. 19

6
D. Kontroversi Filsafat Islam
Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang
antipati (menolak) terhadap filsafat, bukan
(i) Sebagai sikap mental, proses nalar dan kearifan, melainkan filsafat
(ii) Sebagai “Barang Impor” yang mengandung unsur-unsur ateisme,
sekularisme, relativisme, pluralisme, dan liberalisme.
Filsafat dalam pengertian kedua (ii) inilah yang ditolak oleh para ulama
Muslim, yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan
dan anti-Agama, mendewakan akal, melecehkan Nabi, dan sebagainya.
Di abad ke-lima Hijriah, Imam Al-Ghazali melepaskan pukulan keras
terhadap filsafat dalam karyanya Tahafut Al-Falasifah, dimana beliau
menganggap kufur tiga doktrin:
- Keyakinan filsuf bahwa alam ini kekal
- Pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara
detail
- Pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari kiamat.
Fatwa yang begitu keras melarang pengajaran filsafat juga dikeluarkan
oleh Ibnu Ash-Sholah, “Filsafat adalah pangkal kebodohan dan
penyelewengan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat maka
butalah hatinya akan keutamaan syari’ah suci yang ditopang dalil-dalil dan
bukti-bukti yang jelas. Siapa yang mempelajarinya akan bersama kehinaan,
tertutup dari kebenaran, dan terpedaya oleh setan.”
Adapun filsafat dalam pengertian pertama, dengan tujuan ganda
membenarkan yang benar (ihqaq al-haqq) dan membatalkan yang bathil
(ibthal al-bathil) secara rasional, persuasive (menjadikan yakin), dan elegan,
maka bisa dikategorikan fardhu kifayah. Seperti rasa ingin tahu Nabi Ibrahim
yang mendorongnya bertanya bagaimana Allah menghidupkan orang mati.
Allah balik bertanya, “Apakah engkau belum percaya?” Nabi Ibrahim
menjawab, “Aku percaya, akan tetapi (aku bertanya) supaya hatiku tentram.”
Jadi, filsafat itu untuk mengokohkan kebenaran sekaligus menghapus
keraguan.

7
E. Tradisi Keilmuan Islam (Islamic Scientific Tradition)
Pada saat komunitas Islam terbentuk, tantangan serius pertama yang
dihadapi umat Islam adalah:
- Tantangan moral dari kemerosotan yang dibawa oleh budaya Jahiliah.
- Tantangan kesusasteraan (hasil seni dalam bentuk ucapan) yang
dimiliki oleh budaya Jahiliah terutama yang terpenting adalah Ketika
terjadi ekspansi (kebesaran) Islam terhadap peradaban lainnya.
- Tantangan adanya aktivitas keilmuan dan filosofis yang dibawa
terutama dari budaya helenistik (Gabungan antara kebudayaan Yunani
Kuno, Asia Kecil, Syiria, Mesopotamia, dan Mesir).
Semua tantangan intelektual tersebut tentunya tidak dapat dihadapi tanpa
adanya para ulama atau cendikiawan yang terlatih dan mumpuni. Pakar
Filsafat Islam Alparslan Açıkgenc sampai pada kesimpulan ini untuk
membuktikan bahwa intelektualitas pada abad pertama kemunculan Islam
telah memiliki pondasi yang memadai yang disebut contextual causes untuk
kebangkitan aktivitas keilmuan dan kemunculan tradisi keilmuan dalam
Islam.
Tantangan spekulatif dari peradaban sebelumnya (terutama budaya
jahiliyah) dan adanya motivasi dari Al-Qur’an, bahwa manusia memiliki
tanggung jawab moral dan agama sebagai khalifah di bumi dan alam
semesta, membuat generasi pertama Islam mulai berspekulasi terhadap
beberapa masalah tertentu yang muncul saat itu. Pada masa kenabian, Ketika
umat Islam berhadapan dengan permasalahan-permasalahan tersebut, Nabi
Muhammad saw akan menguraikan dan menjelaskan dengan bimbingan
wahyu. Hal ini merupakan proses yang berkelanjutan dalam konstruksi
Islamic Worldview. Milleu (lingkungan) intelektual Islam pada masa awal
didominasi oleh Islamic Worldview yang dibangun oleh Nabi Muhammad
saw bimbingan wahyu, yaitu berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.3
Alparslan juga menegaskan bahwa apabila sejarah intelektual Islam pada
masa awal dipelajari secara teliti, maka akan terlihat benih dari beberapa
ilmu telah tampak sejak masa Rasulullah terutama pada periode ketiga,

3
Alparslan Açıkgenc, Scientific Thought and Its Burdens: an Essay in History and Philosophy of Sciences,
Istanbul: Fatih Universitesi Yayinlari, 2000, hlm. 118-126.

8
seperti sejarah, hukum, kesusasteraan, grammar, filsafat, dan teologi, yang
kesemuanya masih pada tahap awal. Pada akhir abad ke satu Hijriah,
kebanyakan pengetahuan tersebut telah terakumulasi dalam disiplin-disiplin
ilmu dan berproses untuk menjadi ilmu atau sains. Pada proses ini struktur
pengetahuan telah terbentuk pada Islamic Worldview. Islamic Worldview
muncul bersamaan dengan turunnya wahyu, namun secara kronologis dapat
dibedakan sebagai berikut:
Periode Mekah awal, ketika pada umumnya konsep dan isu teologi dan
etika dibangun seperti konsep Tuhan, konsep penciptaan, konsep akhirat,
kewajiban manusia membantu yang lemah dan menjaga orang jompo,
membantu yang miskin, apakah baik dan buruk. Topik-topik yang ada pada
umumnya merupakan elemen yang fundemantal dalam Islamic Worldview.
Periode Mekah selanjutnya, ketika konsep abstrak dan doktrin seperti
kenabian, konsep ilmu dan arti agama dan ibadah telah terbangun. Bersama
dengan periode awal, surat yang turun, termasuk penjelasan dan kontribusi
dari komunitas Muslim, menyusun struktur dunia dari Islamic Worldview.
Muslim generasi awal telah memiliki worldview sebelum mereka berpindah
menjadi Islam, struktur dunia dari worldview sebelumnya digantikan oleh
sturktur dunia yang Islami.
Periode Madinah. Ketika konsep-konsep seperti hukum, jihad,
persaudaraan, komunitas Muslim (ummah) dielaborasikan secara bersama-
sama dengan topik-topik sebelumnya menjadi kesatuan ide yang menyeluruh
yang disebut Islamic Worldview. Pada periode ini, topik-topik baru
diperkenalkan dan topik-topik sebelumnya kemudian dielaborasi lebih jauh
jauh dan diklasifikasikan.
Periode selanjutnya adalah periode munculnya struktur pengetahuan
Islam (conceptual scheme) pada Islamic Worldview. Telah dijelaskan bahwa
struktur pengetahuan pada Islamic Worldview muncul pada periode Madinah
dan mengacu pada ayat-ayat yang diturunkan di Mekah dan Madinah.
Pertama-tama, konsep ilmu diperkenalkan sebagai elemen yang fundamental.
Ayat-ayat yang berbicara tentang ketinggian derajat orang berilmu sangat
banyak, misalnya, surah Al- Fatiir 35:28 dan Al-Mujadalah 58:11, serta Az-
Zumar 39:9.

9
Dengan banyaknya ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang ilmu dan
ketinggian derajat para pencari ilmu, maka dapat disimpulkan bahwa struktur
pengetahuan dalam Islamic Worldview dimulai dengan penekanan pada
konsep ilmu. Pada periode awal Islam, ilmu (knowledge) mengacu pada dua
hal, yaitu 'ilm dan fiqh. 'Ilm digunakan oleh Al-Qur'an dan hadits untuk
mengacu kepada pengetahuan wahyu (revelead knowledge) yang pasti dan
absolut, sedangkan fiqh lebih bersifat keilmuan dan rasional.4 Selain itu, dari
konsep ilmu, dimensi moralitas juga terdapat dalam struktur pengetahuan
pada Islamic Worldview. Dari semua konsepsi tentang 'ilm, fiqh, dan
pengetahuan lainnya, pemahaman yang bersifat doktrinal kemudian muncul
pada Islamic Worldview, yaitu pemahanan doktrinal yang menyeluruh atau
disebut sebagai struktur pengetahuan (knowledge structure).
Islam sangat menekankan pentingnya pencarian ilmu, untuk meneliti,
memahami alam semesta, dan kondisi alamiah yang berkaitan dengan hal
tersebut. Mencari ilmu bukan hanya semata- mata dianjurkan, melainkan
diwajibkan atas setiap muslim sesuai hadits diriwayatkan Ibnu Majah,
"Mencari ilmu adalah wajib bag setiap muslim". Sehingga tidak dapat
dipungkiri bahwa hasil dan aktivitas pencarian ilmu yang menyeluruh ini
akhirnya membentuk hubungan dan konsep-konsep yang pada akhimya
menghasilkan skema konseptual keilmuan (the scientific conceptual scheme).
Karena skema ini muncul sebagai hasil dan terdapat pada Islamic Worldview,
maka skema tersebut diidentifikasikan sebagai Islamic scientific conceptual
scheme. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya apabila skema tersebut
muncul pada masyarakat atau peradaban tersebut, maka hal tersebut
dinamakan tradisi keilmuan (scientific tradition). Atau dengan kata lain,
dapat disimpulkan bahwa Islamic scientific conceptual scheme tersebut
merupakan dasar atau pondasi dari munculnya tradisi keilmuan Islam.5

F. Kemunculan Tradisi Keilmuan Islam


Menurut Hamid, kelahiran ilmu dalam Islam dibagi ke dalam empat
periode. Pertama, turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam.
Turunnya wahyu pada periode Mekah merupakan pembentukan struktur

4
Alparslan Açıkgenc, Islamic Science, hlm. 76.
5
Ibid, hlm. 80-81.

10
konsep dunia dan akhirat sekaligus yang merupakan sebuah struktur konsep
tentang dunia (world structure) yang baru. Seperti konsep-konsep tentang
Tuhan dan keimanan kepada-Nya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat,
surga dan neraka, hari pembalasan, konsep 'ilm, nubuwwah, din, ibadah, dan
lain-lain. Sementara turunnya wahyu pada periode Madinah merupakan
konfigurasi struktur ilmu pengetahuan yang berperan penting dalam
menghasilkan kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme). Itu
ditandakan dengan tema-tema umum yang merupakan penyempumaan ritual
peribadatan, rukun Islam, dan sistem hukum yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia.
Periode kedua adalah lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun
tersebut mengandung struktur ilmu pengetahuan. Seperti struktur konsep
tentang kehidupan, struktur konsep tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan
tentang etika, dan tentang manusia, yang kesemuanya itu sangat potensial
bagi timbulnya kegiatan keilmuan. Istilah-istilah konseptual yang terdapat
dalam wahyu seperti ‘ilm, iman, ushul kalam, nazhar, wujud, tafsir, ta’wil,
fiqh, khalq, halal, haram, iradah, dan lain-lain mulai dipahami secara intens.
Konsep-konsep ini telah memadai untuk dianggap sebagai kerangka awal
konsep keilmuan, yang juga berarti lahirnya elemen-elemen epistemologis
yang mendasar.
Atas dasar framework ini, Hamid menegaskan, maka dapat diklaim
bahwa embrio ilmu (sains) dan pengetahuan ilmiah dalam Islam adalah
struktur keilmuan dalam worldview Islam yang terdapat dalam Al-Quran. Hal
ini bertentangan secara diametris dengan klaim para penulis sejarah Islam
kawakan dari Barat, seperti De Boer, Eugene Myers, Alfrend Gullimaune,
O'Leary, dan banyak lagi yang menganggap sains dalam Islam tidak ada asal-
usulnya. Dari kalangan penulis modern mereka adalah Radhakrishnan, Majid
Fakhry, W. Montgomery Watt, dan lain-lain.
Periode ketiga adalah lahirya tradisi keilmuan dalam Islam yang
ditunjukkan dengan adanya komunitas ilmuwan. Bukti adanya masyarakat
ilmuwan yang menandai permulaan tradisi keilmuan dalam Islam adalah
berdirinya kelompok belajar atau sekolah Ashbabus-Shuffah di Madinah. Di
sini kandungan wahyu dan hadits- hadits Nabi dikaji dalam kegiatan belajar-
mengajar yang efektif, yang tentunya tidak dapat disamakan dengan materi
11
diskusi spekulatif di Ionia yang melahirkan tradisi intelektual Yunani. Hasil
dari kegiatan ini adalah munculnya para pakar hadits seperti Abu Hurairah,
Abu Dzar Al-Ghifari, Salman Al-Farisi, Abdullah ibn Mas'ud, yang
kemudian diikuti oleh generasi berikutnya seperti Qadi Syuraih (w. 699),
Muhammad ibn Al-Hanafiyyah (w. 700), Ma'bad Al-Juhani (w. 703), Umar
ibn Abd Al-'Aziz (w. 720), Wahb ibn Munabbih (w. 719/723), Hasan Al-
Bashri (w. 728), Ghailan Ad-Dimasyqi (w. 740), Ja'far As-Shadiq (w. 765),
Abu Hanifah (w. 767), Malik ibn Anas (w. 796), Abu Yusuf (w. 799), Asy-
Syafi'i (w. 819), dan lain-lain.
Menurut Hamid, framework yang dipakai pada awal lahirya tradisi
keilmuan ini sudah tentu adalah kerangka konsep keilmuan Islam (Islamic
scientific conceptual scheme). Indikasi adanya kerangka konseptual ini
adalah usaha-usaha para ilmuwan untuk menemukan beberapa istilah teknis
keilmuan yang rumit dan canggih. Istilah-istilah yang diderivasi dari
kosakata Al-Qur'an dan hadits Nabi saw. termasuk di antaranya: ‘Ilm, fiqh,
ushul, ijtihad, ijma’, qiyâs, ‘aql, idrak, wahm, tadabbur, tafakkur, hikmah,
yaqin, wahy, tafsir, ta'wil, ‘alam, kalam, nutq, zann, haqq, batil, haqiqah,
‘adam, wujud, sabab, khalq, khulq, dahr, sarmad, zaman, azal, abad, fitrah,
kasb, khair, ikhtiyar, syarr, halal, haram, wajib, mumkin, iradah, dan lain
sebagainya, menunjukkan adanya kerangka konsep keilmuan.
Periode keempat adalah lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam. Dalam hal
ini, Hamid dengan mengutip Alparslan, mengemukakan bahwa kelahiran
disiplin ilmu-ilmu Islam tersebut melalui tiga tahap, yaitu: (1) Tahap
problematik (problematic stage) yaitu tahap dimana berbagai problem subjek
kajian dipelajari secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang-
bidang kajian tertentu. (2) Tahap disipliner (disciplinary stage) yaitu tahap
dimana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk
membicarakan materi dan metode pembahasan sesuai dengan bidang masing-
masing. (3) Tahap penamaan (naming stage), pada tahap ini bidang yang
telah memiliki materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.6
Seperti telah dijelaskan di atas oleh Hamid Fahmy Zarkasyi berkaitan
dengan framework Islam yang mampu melahirkan embrio ilmu (sains),

6
Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islamia, Thn. II No. 5, April-Juni 2005, hlm. 9-18.

12
dalam praktik nyatanya umat Islam memang tidak hanya melakukan
pengkajian dan pengembangan dalam bidang Al-ulamus-syar'iyyah saja, akan
tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan secara umum. Hal ini dapat juga
dipahami karena al-Qur'an memberikan perhatian yang banyak pada hal-hal
yang berkenaan dengan fenomena alam, sejarah, sosial dan hidup
bermasyarakat, politik dan masalah kenegaraan.

13

Anda mungkin juga menyukai