Anda di halaman 1dari 7

PERTEMUAN KE- 12

FILSAFAT BAHASA DALAM KAJIAN LITERASI ISLAM

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari materi pada pertemuan ini, diharapkan mahasiswa mampu


memahami filsafat bahasa dalam kajian literasi Islam, terkait dengan fungsi, manfaat dan
hubungannya antara filsafat dan kajian islam, khususnya literasi dan penelitian.

B. URAIAN MATERI

Pada pertemuan ini materi yang akan diberikan terdiri dari beberapa subbab, antara
lain, kajian filsafat islam, tokoh-tokoh dalam kajian filsafat islam. Adapun penjelasan
dari masing-masing materi tersebut diuraikan pada subbab di bawah ini .

1. Kajian Filsafat Islam

Kajian filsafat islam sering disebut juga dengan kajian filsafat arab, kedudukan ini
didasari pemikiran-pemikiran orang arab pada saat itu, seperti kita ketahui, bahwa
pemikiran filsafat dimulai dari beberapa pertanyaan yang mendalam tentang asal usul
alam (arche) dilanjutkan kepada pola-pola pemikiran tentang manusia lebih kepada
eksistensi manusia, atau lebih jauh kepada antropologi filsafat yang mempertanyakan
siapa, darimana dan hendak kemana manusia tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, filsafat islam juga coba memahami pemikiran-
pemikiran tersebut, tetapi selalu didasari oleh sebuah dasar yang utuh berbentuk kitab
suci Al-Quran. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu diberikan dalam kajian filsafat
islam modern dalam bentuk teologi, ilmu kalam, dan tasawuf sebagai relasi dialogis.
Kajian-kajian ini dibahas oleh beberapa tokoh filsafat islam seperti Al-kindi, Al-Razi,
Al-Farabi, Ibnu miskawaih, dan Ibnu sina. Keseluruhan tokoh ini merupakan tokoh-tokoh
filsuf muslim di awal perkembangan filsafat islam, Pemikiran-pemikiran tokoh tersebut

Filsafat Bahasa
135
yang menjadi dasar pemikiran tokoh-tokoh filsuf islam yang terkenal hingga sekarang,
misal seperti tokoh filsafat Al Ghazali dan Ibnu Rusyd.
Pembahasan filsafat islam dikaitkan dengan bahasa dapat diuraikan dari beberapa
mahzab, yaitu misalnya memaknai makna iqra, berkaitan dengan pemaknaan simbolik,
Kesatuan makna wujud, dan pemaknaan logos. Kajian pertama yaitu dimulai pada tokoh
filsafat islam Al Kindi. Beliau dapat dikatakan sebagai tokoh filsafat pertama yang lahir
dari kalangan muslim yaitu pada tahun 796 hingga 873 masehi. Pemikiran beliau tidak
hanya diakui oleh kaum islam tetapi juga memberikan dampak sebagai sumbangsih
pemikiran bagi filsuf-filsuf di abad pertengahan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nasir
(1996:33) yang menyatakan bahwa tanpa keberadaan filsuf dari kalangan kaum islam
tidak akan mungkin ilmu pengetahuan dan filsafat orang-orang Eropa dapat berkembang
seperti sekarang.

2. Tokoh-Tokoh dalam Kajian Filsafat Islam

Al Kindi adalah seorang filsafat yang menetap di kota Bagdad yang pada saat itu
merupakan pusat pemerintahan dan pusat kajian pemikiran kaum islam. Nama asli beliau
adalah Abu Yusuf Ya’kub, sedangkan panggilan nama Al Kindi merupakan pemberian
dari suku di mana beliau berasal. Al Kindi merupakan keturunan dari seorang bangsawan
yang kaya raya dan sangat berpengaruh pada zaman pra islam di Arab. Pemikiran-
pemikiran beliau tidak terlepas dari proses kegiatan yang dilakukannya pada masa muda
yaitu menjadi penghafal Quran dan kesenangannya akan kesusastraan arab,
penerjemahan buku-buku filsafat juga ilmu hitung yang berkembang pada saat itu. Di
samping itu beliau juga dikenal sebagai seorang kimiawan, seorang ahli musik, seorang
ahli astronomi, dokter, ahli geografi, bahkan seorang ahli musik.
Pemikiran beliau yang menjadi awal dari proses filsafat adalah pada saat beliau
menyoroti dan memberikan komentar tentang pemikiran-pemikiran filsafat yunani,
seperti plato dan aristoteles. Hal itu dapat terlihat pada tulisan-tulisan beliau yang banyak
menyebutkan dua orang tokoh tersebut. Komentar beliau tersebut berbentuk Metaphysics
pada karya kedua filsuf tersebut, beliau ingin memperkenalkan pemikiran-pemikiran
filsuf barat dengan versi bahasa dan konteks yang beliau bangun sendiri. Al Kindi dalam
pemikirannya kurang setuju dengan bentuk-bentuk teori teolog ortodoks kaum islam

Filsafat Bahasa 136


yang cenderung menolak terhadap pengetahuan asing. Hal ini sejalan dengan pernyataan(
Basri, 2013: 36) yang menyatakan bahwa Al-Kindi menulis komentar yang
menyakatakan permasalahan atas karya Aristoteles seperti Categorie, De Interpretatione,
Analytica Posteriora dan juga komentar atas De Caelio. Komentar tersebut sudah jelas
memperlihatkan keinginan Al-Kindi, yang luar biasa untuk memperkenalkan filsafat
Yunani kepada para pengguna bahasa Arab
Kontribusi terbesar Al Kindi pada saat itu adalah dalam proses penentangan
terhadap teori Teolog Ortodoks yang menentang pemikiran-pemikiran dari barat,
kehawatiran kaum teolog dikarenakan dengan mempelajari keilmuan yang berasal dari
barat akan mengurangi rasa hormat ke pada sang pencipta yatu tuhan mereka. Dasar
pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan sebuah refleksi yang berasal dari doktrin yang
beliau peroleh dari sumber-sumber pemikiran filsuft yunani klasik dan warisan Neo-
Platonis yang dibentengi oleh beliau dengan keyakinan agama yang dianutnya. Hal
tersebut dibuktikan oleh dasar pemikiran filsafat Al-Kindi dapat kita temukan pada
risalah Fi al-Hudud al-Asyya.
Hal ini sejalan dengan pernyataan (Basri, 2013) yang memaparkan isi dari risalah
yang memuat hasil pemikiran Al-Kindi yang memaparkan bagian permulaan dari disiplin
filsafat yaitu memuat enam defenisi filsafat yang berdasarkan konsep Platonis
(pemikiran-pemikiran plato). Al-Kindi menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang
hakikat sesuatu dalam batas kesanggupan manusia yang meliputi ilmu ketuhanan, ilmu
keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah) dan kajian apapun yang berguna bagi
kehidupan manusia. Pada risalah tersebut juga memuat tentang pandangan Al-Kindi yang
berisi tentang tujuan para filosof dalam memunculkan sebuah teori adalah untuk
mengetahui kebenaran yang kemudian ditindaklanjuti dengan amal perbuatan dalam
tindakan, semakin dekat manusia pada kebenaran, akan semakin dekat pula pada
kesempurnaan. Adapun gambaran tokoh Al Kindi sebagai berikut:

Filsafat Bahasa
137
Gambar 12.1. Gambaran Wajah Tokoh Al Kindi 1

Sumber: https://www.bacaanmadani.com/2017/08/biografi-singkat-al-kindi-dan-
karya.html

(Basri, 2013: 41-42) menyatakan bahwa pemikiran tentang jiwa dalam filsafat Al-
Kindi banyak dipengaruhi oleh ide-ide Aristoteles, Plato dan Plotinus. Al-Kindi
mendefenisikan jiwa sebagai; “Kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah,
mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik, atau kesempatan fisik alami yang
mempunyai alat dan mengalami kehidupan”. Defenisi ini merupakan defenisi yang
digagas Aristoteles. Selain menerima defenisi yang digagas Aristoteles, Al-Kindi juga
menyebutkan defenisi yang ditengarai bersumber dari Plato dan Plotinus, yakni sebagai
“elemen yang mempunyai kehormatan, kesempurnaan, berkedudukan luhur, dan
substansinya berasal dari substansi Sang Pencipta”. Defenisi ini oleh Al-Kindi
dialamatkan pada jiwa rasional yang disebutnya dengan al-Nafs al-Nathiqah.
Menurutnya Al Kindi jiwa ini merupakan substansi yang bersifat ilahi, rabbani dan
berasal dari Cahaya Pencipta, substansi sederhana yang tidak fana, substansi yang turun
dari dunia akal ke dunia indera dan dianugerahi kekuatan memori akan masa lalunya.
Pada bidang bahasa Al Kindi merupakan salah satu pelopor dibidang
penerjemahan, khususnya pemikiran barat dari berbagai filsuf barat berupaya
diterjemahkan ke dalam bahasa arab disesuaikan dengan konteks keilmuan islam yang
ada pada saat itu. Konteks penerjemahan Al Kindi yang dilakukan selalu berpatokan
kepada keilmuan linguistik, seperti pemaknaan pada konsep semantik, bunyi pada

Filsafat Bahasa 138


konteks fonologi dan tata bahasa pada konteks fonologi dan morfologi. Selain itu bidang
pragmatik sangat digunakan dalam proses penerjemahan ini, agar tidak terlepas dari
konteks sesungguhnya dalam pemikiran tokoh sebelumnya.
Tokoh selanjutnya adalah Al Farabi yang memiliki nama lengkap Abu Nashr
Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Panggilan Al Farabi berasal dari sebuah
penggalan nama kota yang disebut dengan nama kota Farab. Proses pemikiran filsafat
beliau tidak bisa terlepas dari seorang tokoh yang dianggap guru oleh dirinya, yaitu Abu
Bisyr bin Mattius.
Al Farabi dalam dunia filsafat islam berada pada posisi kalangan atas dalam luang
lingkup filsuf muslim. Hal tersebut diakibatkan pembuktian beliau melalui pemikirannya
yang berhasil menjadi dasar munculnya pemikiran filsafat paripatetik lainnya. Granville
Masignon (seorang filsuf barat modern) memuji al-Farabi sebagai pemikir muslim
pertama yang menurutnya setiap kalimat dari pernyataan beliau memiliki pemaknaan
yang logis.
Berkaitan dengan hal tersebut, selanjutnya Ibnu Khulkan memuji Al Farabi sebagai
filosof muslim yang tidak mungkin tertandingi derajat keilmuannya karena beliau telah
berhasil merekonstruksi bangunan Ilmu Logika yang telah diletakkan pertama kali oleh
Aristoteles. Menurut Ibnu Khulkan, Aristoteles yang telah berjasa memperkenalkan Ilmu
Logika dan mendapat sebutan ‘guru pertama’, maka al- Farabi atas jasa besarnya
mengkombinasikan filsafat Plato dan Aristoteles ia layak disebut sebagai guru kedua (al-
mu’alim ats-tsāni). Berikut adalah gambaran dari wajah Al-Farabi
Gambar 12.2. Gambar Wajah Al Farabi 1

Sumber : https://www.kibrispdr.org/dwn-1/gambar-al-farabi.html

Filsafat Bahasa
139
Menurut Sjadzali (1993) Al-Farabi dari masa kanak-kanak sangat gemar dan cakap
dalam bidang bahasa. Konon beliau dapat menguasai lebih dari 70 bahasa. Bahasa-bahasa
yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkestan, ,Kurdistan dan bahasa-bahasa yang
ada di Eropa. Berdasarkan kemahirannya tersebut Al Farabi melakukan berbagai
terjemahan berbagai pemikiran filsafat Yunani.
Keilmuan Al Farabi sangatlah luas, hal ini dibuktikan beliau tidak mempelajari satu
keilmuan saja, tetapi berbagai macam keilmuan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hanafi
(1996: 6) yang menyatakan bahwa Al Farabi mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika,
kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantik
Al-Farabi sangat tertarik dengan pemikiran terhadap logika, pada pola pikir mantik
ia beliau banyak menulis dalam bentuk esai-esai, karya yang paling fenomenal dari beliau
berjudul Syarh Kitab Al-Ibrah li Aristoteles (buku ini menjelaskan tentang pemikiran Al
Ibrah dan Aristoteles. Selain itu terdapat pula tulisan-tulisan beliau baik yang berbentuk
pemikiran maupun yang berbentuk komentar terhadap pemikiran-pemikiran filsafat
barat, terlihat pada esai singkatnya yang berjudul Tahsil As-Sa’adah dan Ihsha-ul Ulum
Pada berbagai esai karangannya Al Farabi mendefinisikan definisi logika sebagai
sebuah keilmuan yang dijadikan sebagai pedoman, aturan dan penegakan melalui pikiran.
Hal-hal tersebut secara otomatis menunjukan kebenaran yang dapat dinyatakan sebagai
sebuah hal yang tidak mungkin salah, jadi pasti akan benar, Al Farabi menganalogikan
bahwa orang akan bersifat seolah-olah dijadikan untuk mengetahui dan meyakininya.
Selain itu Al Farabi dalam tulisannya banyak membahas tentang guna logika, lapangan
logika, dan bagian-bagian logika.
Pada bidang bahasa Al Farabi menggunakan keilmuan bahasa sebagai keilmuan
yang bersifat praktis, artinya dapat digunakan secara langsung oleh beliau. Kelimuan
bahasa beliau gunakan untuk menerjemahkan dan memberikan masukan terkait dengan
pemikiran beliau terhadap pemikiran-pemikiran filsafat yunani dan barat. Hal ini terlihat
pada uraian penerjemahan dan komentar yang beliau berikan terhadap republic karya
Plato dan Etika karya aristoteles. Keselarasan pemaknaan terjemahan tersebut tidak
terlepas dari keilmuan semantik yang beliau pelajari pada gurunya Abu Basyr Matta bin

Filsafat Bahasa 140


Yunus seorang ahli semantik terkemuka. Berikut adalah gambaran dari guru Al Farabi
yang selama dua puluh tahun beliau belajar di kota Bagdad

Filsafat Bahasa
141

Anda mungkin juga menyukai