Anda di halaman 1dari 16

Al-Kindi : Pemikiran Sang Bapak Filsafat Arab

Heryan Fandi Ahmad

Magister Pendidikan Agama Islam

Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

A. Biografi Al-Kindi
Al-Kindi, memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq ibn Shabbah
ibn Imran ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi. Beliau dilahirkan di Kufah
(sekarang Iraq) tahun 801 M, pada masa khalifah Harun al-Rasyid Dinasti Abbasiyah.
Al Kindi lahir dari keluarga yang kaya akan kebudayaan dan terhormat. Sangat sedikit
informasi yang diperoleh terkait masa kecilnya, namun beliau sudah menghafal Al-
Qur’an, seperti pemuda terpelajar umumnya pada saat itu.1
Al-Kindi tumbuh menjadi anak yang tertarik pada ilmu pengetahuan daripada
menjadi seorang prajurit atau politikus. Sehingga, saat memasuki remaja, Al-Kindi
mempelajari ilmu fiqih, ilmu alam, dan teologi. Namun, disini Al-Kindi lebih tertarik
pada pengetahuan filsafat. Karena hasrat pada pengetahuan inilah membuat Al-Kindi
ingin pergi ke Basrah yang saat itu menjadi pusat pengembangan ilmu-ilmu
pengetahuan.2
Sayangnya, tidak diketahui secara terperinci bagaimana pendidikan dan
prestasi-prestasi yang dihasilkan beliau selama dikota ini. Namun yang jelas, Al-Kindi
mendapatkan pendidikan terbaik selama di kota Basrah. Setelah dari Basrah,
keluarganya mengirimkan Al-Kindi ke Baghdad untuk melanjutkan pendidikanya.
Baghdad pada saat itu menjadi wilayah Abbasiyah yang sangat gandrung akan ilmu
pengetahuan. Sehingga, disinilah Al-Kindi bertemu dengan cendikiawan-cendikiawan
Abbasiyah yang terus membuatnya mampu menguasai ilmu-ilmu filsafat Yunani.
Selain itu, Al-Kindi juga menerjemahkan buku-buku filsafat berbahasa Yunani dan
Suryani, menjelaskan materi yang sulit dan meringkas lebih lanjut terhadap teori-teori
filsuf Yunani.
Berkat kelebihan dan kecerdasan Al-Kindi dalam bidang keilmuan filsafat, Al
Kindi bertemu dan berteman baik dengan Khalifah Al-Makmun (831-833 M) yang
saat itu mnejadi khalifah dari Abbasiyah yang juga memiliki ketertarikan dalam ilmu

1
Shohibul Ulum, Al Kindi : Kisah Hidup Bapak Filsafat Arab, ed. Arif Ishartadi, 1st ed. (Yogyakarta: Anak
Hebat Indonesia, 2023).h.3
2
Ulum.h.4
pengetahuan. Setelah itu, Al Kindi bahkan di angkat menjadi penasehat dan guru
istana pada masa khalifah-khalifah berikutnya, yaitu Al-Muktashim (833-842 M), Al-
Watsiq (842-847 M), bahkan hingga khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M), hingga
pada akhirnya ia dipecat karena hasutan oknum-oknum tertentu yang iri dan tidak
suka dengan pencapaian serta prestasi-prestasinya. Hingga pada akhirnya, Al Kindi
wafat di Baghdad pada tahun 866 M.3
Para sejarawan memberi julukan kepada Al-Kindi sebagai “Filosof Arab”. Hal
ini dikarenakan Al Kindi merupakan satu-satunya filosof muslim asli keturunan Arab
yang bermoyang pada Ya’qub ibn Qathan yang bermukim di Kawasan Arab Selatan.
Al-Kindi telah banyak menulis banyak karya-karya di berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Namun, sebagian riwayat mengklaim bahwa ada banyak karya-karya Al
Kindi yang hulang semasa kepemimpinan Khalifah Al-Mutawakkil.4
Dalam sejartah hidupnya, selain dikenal sebagai filsuf, Al-Kindi dikenal
sebagai kimiawan, seorang ahli musik, astronom, dokter, ahli geografi. Ia juga
menerjemahkan buku-buku tentang filsafat yang berbahasa Yunani dan menjelaskan
teori-teori filsuf Yunani seperti teori Aristoteles.5 Dari hal tersebut, bisa disimpulkan
bahwa Al Kindi tertarik pada pemikiran-pemikiran filsuf Yunani, diantaranya
Aristoteles dan Plato. Dengan kemampuanya dalam bahasa Yunani yang baik, Al
Kindi mampu mempelajari karya besar Aristoteles yang berjudul Metaphysics dan
mengomentarinya. Selain itu, ia juga memberikan komentar terhadap karya
Aristoteles lainya seperti Categorie, De Interpretatione, Analytica Posteriora, dan
De Caelio. Ketertarikan dan semangat dalam pendalaman yang dilakukan oleh Al-
Kindi pada filsafat menggambarkan bahwa ia ingin memperkenalkan filsafat Yunani
kepada para pengguna bahasa Arab guna menentang teolog ortodoks yang cenderung
menolak pengetahuan asing.
Hal inilah yang menjadikan Al-Kindi dikenang para sejarawan sebagai
filosofis arab yang pertama menyelami disiplin filsafat dengan bahasa Arab sebagai
bahasa utamanya. Kesulitan yang dialaminya pada saat memperkenalkan sesuatu yang
masih asing kepada orang-orang di zamanya justru menjadi motivasi besarnya untuk

3
Achmad Khudori Soleh, “Al-Falsafah Al-Ula,” 13, no. 3 (2016), h. 44–50.
4
Abubakar Madani, “Pemikiran Filsafat Al-Kindi" Abubakar Madani 1,” Pemikiran Filsafat Al-Kindi IXX, no.
2 (2015), h. 106.
5
Madani.
terus mengeskplor istilah-istilah filsafat Yunani yang kemudian di terjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Sehingga, hal ini akan lebih mudah dipahami oleh masyarakat.6
Kiprah Al-Kindi dalam ilmu pengetahuan ini memberikan kontribusi besar
dengan terbukanya pintu-pintu filsafat bagi para ilmuwan muslim. Umat muslim
terdahulu sangat menentang adanya filsafat dikarenakan menyebabkan berkurangnya
rasa hormat kepada Tuhan. Dengan kehadiranya, Al Kindi mencoba membangun
nilai-nilai filsafat dan menjelaskanya kembali agar sudut pandang umat islam bisa
menoleransi adanya pengetahuan dari luar Islam. Selain itu, Al Kindi juga
memjembatani kesenjangan antara pendekatan-pendekatan intelektual dengan
paradigma masyarakat pada saat itu terkait filsafat dunia asing. Pendekatan dan sikap
inilah yang menjadi latar belakang Al-Kindi dijuluki sebagai Bapak Filsafat Arab.
B. Karya-karya Al-Kindi
Menurut Syarif (1993), seperti yang dikutip dalam jurnal karya Sulhatul
Habibah, bahwa Ibn al-Nadzim dan Al Qifthi berpendapat bahwa karya Al Kindi
berjumlah sekitar 238. Tetapi, tidak semua sampai pada kita. Diperkirakan karya-
karya Al-Kindi banyak hilang pada masa khalifah Al-Muktasim, dimana masa itu lah
ia dipecat dari jabatanya akibat hasutan kebencian dari orang-orang yang iri
kepadanya. Karya-karya Al-Kindi juga tidak hanya berkutat pada filsafat, tapi
meliputi banyak aspek diantaranya logika, music, aritmatika, yang mayoritas
karyanya merupakan karangan pendek.7
Perbedaan pendapat diutarakan oleh Fauzan Naif (2013) yang dikutip dalam
jurnal karya Jihanna dan Maragustam yang mengatakan bahwa karya Al-Kindi
berjumlah kurang lebih sekitar 270 buah. 8 Al-Kindi mengkaji filsafat meliputi
epistimologi, metafisika, etika, dan lainya. Al Kindi mengikuti aliran filsafat
eklektisisme yang mana mengambil yang terbaik dari keseluruhan sistem. Sebagai
seorang filsuf Muslim, al-Kindi berhasil memadukan dan menyelaraskan pemikiran
dari berbagai sumber filosofis klasik. Meskipun ia mengadopsi konsep-konsep
metafisika dan kosmologi dari Aristoteles, dalam bidang psikologi, ia lebih cenderung
mengambil inspirasi dari Plato. Di sisi lain, dalam hal etika, al-Kindi terpengaruh oleh

6
Madani.
7
Sulhatul Habibah, “Filsafat Ketuhanan Al-Kindi,” DAR EL-ILMI : Jurnal Studi Keagamaan, Pendidikan Dan
Humaniora 7, no. 1 (2020), h.19–34.
8
Jihanna Amalia and Maragustam Siregar, “Pemikiran Filosofis Al-Kindi Religius-Rasional (Al-Maz\Hab Al-
Diniy Al-‘Aqla>Niy) Terhadap Pendidikan Islam Serta Relevansinya Dengan Pendidikan Masa Modern,”
Akademika : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam 4, no. 2 (2022),h. 80–92,
https://ejournal.iaiskjmalang.ac.id/index.php/akad/article/view/619.
pemikiran Socrates dan Plato. Dengan demikian, kepribadian filosofis al-Kindi
mencerminkan harmonisasi antara berbagai tradisi filosofis klasik, yang mengakar
pada pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh terkemuka dari Yunani kuno.
Terlepas dari perbedaan -perbedaan terkait dengan jumlah karya yang
dihasilkanya, salah satu karya Al Kindi yang terkenal adalah Rissalah al-Hilah Li
Daf’ al-Ahzan yang membahas tentang tentang penyelarasan filsafat dengan agama.
C. Pemikiran Filsafat Al-Kindi Tentang Filsafat Ketuhanan
a. Hakikat Tuhan
Jika Aristoteles mengatakan bahwa Tuhan adalam penggerak utama, maka
menurut Al Kindi tuhan adalah pencipta alam. Karena menurutnya, filsafat
pertama adalah tentang mengkaji tentang kebenaran. Sehingga, pembahasan
filsafat pertamanya adalah ketuhanan, yaitu Allah. Allah adalah kebenaran
pertama yang benar tunggal, dan penyebab semua terjadinya kebenaran ini. Semua
kajian tentang teori-teori kefilsafatanya mengandung pendekatan teistik. Oleh
karena itu, sebelum kajian teori filsafat, ia terlebih dahulu membahas konsep
Tuhan.9
Menurut Al Kindi, Tuhan adalah wujud dari Haqq (benar), yang asalnya Al-
Kindi berpendapat bahwa Tuhan adalah kebenaran yang tidak pernah tidak ada.
Dia selalu eksis dan mustahil untuk tidak eksis. Tuhan adalah wujud sempurna
yang tidak memiliki awal atau akhir, unik dalam keberadaannya, dan tidak ada
yang ada kecuali Dia. Al-Kindi mengemukakan bahwa dalam filsafat, yang paling
penting untuk dibahas adalah hakikat yang terdapat dalam benda, bukan aspek-
aspek partikular dari benda-benda tersebut. Pengaruh pemikiran semacam ini
dapat dilihat dalam konsep pembagian antara substansi dan aksidensi, seperti yang
terkenal dalam filsafat Aristoteles. Sementara Aristoteles memandang substansi
sebagai bahan yang tetap dan aksidensi sebagai aspek yang dapat berubah dari
suatu benda, al-Kindi menyatakan bahwa setiap benda memiliki dua hakikat, yaitu
hakikat juz'iyah yang disebut 'Aniyah dan hakikat kulliyah yang
disebut Mahiyah.10
Tidak seperti Aristoteles, al-Kindī mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta,
bukan penggerak Pertama. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak
bertubuh. Tuhan adalah Penyebab dari segala sebab. Setelah melakukan sebab itu,

9
Ulum, Al Kindi : Kisah Hidup Bapak Filsafat Arab.h.43
10
Ulum.h.45
Tuhan tetap melakukan sesuatu (‘Illah al-Fā’ilah). Di sini Tuhan tidak diposisikan
seperti konsep Aristoteles, yang mengatakan Tuhan tidak bergerak, sehingga ia
tidak melakukan sesuatu apapun setelah emanasi. Sehingga Tuhan dalam
pemahaman Aristoteles tidak memahami yang partikular. Berbeda dengan al-
Kindī, menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu Al-Kindi berpendapat bahwa
Tuhan dalam filsafatnya tidak memiliki hakikat, baik secara juz'iyah ('aniyah)
maupun kulliyah (mahiyah).11 Tuhan tidak dapat dibandingkan dengan benda-
benda fisik yang dapat dirasakan indera, tidak terdiri dari materi dan bentuk.
Karena tidak memiliki aspek Mahiyah, Tuhan bukanlah genus atau species. Dalam
pandangan al-Kindi, Tuhan adalah Pencipta tunggal, unik, dan tidak ada yang
serupa dengan-Nya. Ia menggambarkan Tuhan sebagai al-Haqq al-Awwal dan al-
Haqq al-Wahid, Yang Benar Pertama dan Yang Benar Tunggal. Hanya Tuhan
yang satu, sementara selain Tuhan memiliki arti banyak.
Al-Kindi meyakini bahwa wujud Tuhan adalah eksklusif dan berbeda dari
yang lain, serta sifat, wujud, eksistensi, dan keberadaannya tidak dapat
sepenuhnya dipahami oleh akal manusia. Oleh karena itu, menurutnya, Allah
menurunkan Nabi sebagai utusan-Nya untuk menjelaskan hal-hal yang tidak dapat
diungkapkan sepenuhnya oleh akal manusia. Wahyu, sebagai medium, membawa
penjelasan Allah. Al-Kindi dengan tegas mempercayai bahwa akal manusia
memiliki keterbatasan, dan karena kelemahan itu, tidak semua pengetahuan dapat
dicapai melalui akal. Oleh karena itu, bimbingan wahyu diperlukan untuk
membantu memahami aspek-aspek yang tidak dapat dijelaskan oleh akal.
b. Eksistensi Tuhan
Al-Kindi menyajikan tiga argumen untuk membuktikan eksistensi Tuhan.
Pertama, tidak mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya oleh karena itu,
harus ada yang menciptakannya dari ketiadaan, dan pencipta itu adalah Tuhan.
Kedua, dalam alam, keragaman atau keseragaman tidak mungkin terjadi tanpa
sebab, dan sebab pertamanya adalah Tuhan. Ketiga, kerapian alam tidak mungkin
terjadi tanpa yang merapikan atau mengaturnya, dan yang melakukan itu adalah
Tuhan.
Selain itu, al-Kindi membuktikan adanya Tuhan melalui tiga dalil empiris,
yaitu gerak, waktu, dan benda. Dalam argumen gerak, ia menunjukkan bahwa
alam memiliki awal dan akhir, dan karena itu, harus ada yang menciptakannya.
11
Ulum.,h.45
Secara filosofis, pendekatan al-Kindi sejalan dengan Aristoteles tentang causa
prima dan penggerak pertama. Dari perspektif keagamaan, argumennya sejalan
dengan argumen ilmu kalam, menyatakan bahwa alam yang berubah adalah baru
dan, karena itu, merupakan ciptaan Tuhan.
Al-Kindi menyajikan beberapa dalil untuk membuktikan adanya Tuhan.
Pertama, dalil kebaruan alam, di mana ia menyatakan bahwa sesuatu tidak
mungkin menjadi sebab dari wujud dirinya tanpa adanya pencipta. Alam ini baru
dengan permulaan waktu, yang menunjukkan bahwa ada yang menyebabkannya
ada, karena tidak mungkin sesuatu ada dengan sendirinya. Kedua, dalil
keanekaragaman dalam wujud, di mana keanekaragaman pasti memiliki sebab
yang lebih mulia dan lebih tinggi di luar alam. 12 Sebab harus ada sebelum akibat.
Ketiga, dalil pengendalian alam, di mana alam tidak mungkin rapi dan teratur
tanpa adanya wujud yang tidak tampak. Wujud ini dapat diketahui melalui bekas-
Nya, yaitu kerapian yang terdapat dalam alam ini.
Al-Kindi menyatakan bahwa keteraturan alam merupakan tanda adanya
Tuhan, karena harmoni ini hanya mungkin dengan keberadaan zat yang tak
terlihat. Dia menekankan bahwa pengetahuan akan zat tersebut hanya dapat
diperoleh melalui pengamatan terhadap keteraturan dan jejak-jejak-Nya dalam
alam. Argumentasi ini tidak hanya bersumber dari pandangan teologis Aristoteles,
tetapi juga dapat ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Keselarasan yang sangat
teratur dalam jalannya alam semesta menunjukkan keberadaan Pengatur Maha
Kuasa, yaitu Allah.
Ketiga, Al-Kindi menyatakan bahwa kerapian alam (ibda fi al-alam)
menunjukkan bahwa alam empiris ini tidak dapat teratur dan terkendali tanpa
adanya pengatur yang berada di luar alam. Pengatur tersebut, yang tidak terlihat,
dapat dikenali melalui tanda-tanda atau fenomena di alam, dan disebut sebagai
Allah. Dalil ini dikenal sebagai "illat tujuan" yang dibahas oleh Aristoteles
sebelumnya.
Terkait dengan dalil keteraturan alam sebagai bukti adanya Tuhan, al-Kindi
menyatakan bahwa keteraturan ini hanya mungkin dengan keberadaan zat yang
tidak terlihat. Pengetahuan tentang zat tersebut, menurutnya, dapat diperoleh
melalui pengamatan terhadap keteraturan dan jejak-jejak-Nya dalam alam.
Argumentasi ini, yang juga disebut sebagai argumen teologis yang pernah
12
Jumrohtul Wahda, “Filsafat Al-Kindi Dalam Memahami Teologi,” Jurnal Manthiq IV, no. 1 (2019), h. 35.
digunakan Aristoteles, dapat ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan
demikian, keselarasan yang sangat teratur dalam jalannya alam semesta dapat
menunjukkan adanya Pengatur Yang Maha Kuasa, yaitu Allah.
c. Sifat Tuhan
Al-Kindi hidup pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid di mana Mu'tazilah,
yang dikenal sebagai kaum Rasionalisme, mendominasi pemerintahan. Meskipun
demikian, al-Kindi lebih condong ke arah Mu'tazilah yang berpendapat bahwa
Allah tidak memiliki sifat, karena zat dan sifat-Nya adalah zat-Nya sendiri. Al-
Kindi menggunakan istilah-istilah baru untuk menyifati Tuhan, menggambarkan-
Nya sebagai yang benar, tinggi, dan hanya dapat disifati dengan ungkapan-
ungkapan negatif. Ia bukanlah suatu materi, tidak terbentuk atau tersusun menjadi
satu kesatuan, tidak berjumlah, tidak berkualitas, dan tidak terhubung antara satu
dengan lainya.
Al-Kindi menolak konsep 'aniyah dan mahiyah dalam kemahaesaan Tuhan,
memiliki perspektif yang serupa dengan Mu'tazilah yang menolak sifat bagi zat-
Nya. Namun, ketika Mu'tazilah menyatakan bahwa Tuhan mengetahui dengan
ilmu-Nya dan ilmu-Nya adalah zat-Nya, serta berkuasa dengan kekuasaan-Nya
dan kekuasaan-Nya adalah zat-Nya, al-Kindi tidak setuju dengan pandangan ini.
Al-Kindi meninggalkan pendapat tersebut karena menurutnya, meniadakan sifat
seperti yang dilakukan oleh Mu'tazilah berarti memberikan hakikat pada Tuhan,
sementara al-Kindi meyakini bahwa Tuhan tidak memiliki hakikat. 13 Baginya,
Tuhan hanya dapat dijelaskan melalui negasi, seperti bahwa Tuhan tidak sama
dengan ciptaannya, tidak berbentuk, tidak berbilang, tidak
berbagi, dan sebagainya.
Dengan demikian, al-Kindi menekankan bahwa sifat keesaan Tuhan tidak
dapat disamakan dengan ciptaan-Nya. Keesaan Tuhan adalah sesuatu yang tidak
dapat dipahami, tidak tergolong unsur, genus, spesies, jiwa, atau pikiran. Tuhan
tidak berjumlah, tidak terikat pada partikularitas, dan tidak dapat dimasukkan ke
dalam konsep-konsep akal. Keesaan Tuhan adalah yang tak terbentuk, tak
berukuran, dan tidak dapat digambarkan oleh uraian yang diterapkan pada
pemahaman manusia. Al-Kindi menegaskan bahwa Tuhan tidak dapat dilukiskan
oleh sifat apa pun kecuali Keesaan-Nya sendiri. Dalam kategori-kategori yang
dijelaskan oleh al-Kindi, terlihat kesamaan dengan konsep aliran Mu'tazilah, di
13
Wahda.
mana sifat Tuhan dianggap identik dengan esensi-Nya. Al-Kindi juga menolak
sifat-sifat positif karena dianggap dapat menghilangkan Keesaan Tuhan14.
D. Filsafat Alam
a. Teori Penciptaan Alam
Teori penciptaan semesta mempunyai sejarah yang panjang dalam pemikiran
manusia. Menurut Atiyeh (1923-2008 M), para filosof Yunani secara keseluruhan;
mulai Plato (428-347 SM), Aristoteles (384–322 SM) sampai Plotinus (204–270
M), berpandangan bahwa semesta tercipta dari yang ada. Sebab, bagi mereka, apa
yang disebut sebagai mencipta adalah membuat sesuatu yang baru berdasarkan
apa yang ada sebelumnya (creatio ex materia), baik lewat gerakan atau emanasi.
Artinya, dalam pandangan filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta dalam makna
yang sesungguhnya, dari tiada menjadi ada, melainkan hanya sebagai penggerak
atau pewujud realitas, dari alam potensialitas kepada alam aktualitas.
Konsekuensinya, alam menjadi qadîm, tidak terbatas dan abadi karena gerak atau
emanasi Tuhan adalah qadîm, tidak terbatas dan abadi, suatu teori penciptaan
yang tidak dapat diterima oleh kaum teolog muslim manapun.15
Al-Kindi juga menolak teori tersebut dan sebagai gantinya memunculkan
gagasan bahwa alam tercipta dari yang tiada (creation ex nihilo), sebagaimana
yang diyakini dalam teologi Islam. Al-Kindi menyatakan bahwa alam semesta
tidak bersifat qadim, melainkan memiliki batas waktu awal dan akhir. Baginya,
Tuhan adalah pencipta alam semesta dan bukan hanya penggerak utama. Al-Kindi
mengungkapkan keyakinannya bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu, dan
setelah menciptakan, Tuhan terlibat dalam tindakan terhadap ciptaannya. Pendapat
ini berlawanan dengan teori Aristoteles, seperti Causa Prima, yang menyatakan
bahwa alam itu qadim dan Tuhan hanya sebagai penggerak utama. Al-Kindi
menegaskan bahwa Tuhan tidak diam setelah proses emanasi, berbeda dengan
pandangan Aristoteles yang tidak memahami Tuhan secara spesifik
atau partikular.16
Al-Kindi mengadopsi dua prinsip dari Aristoteles: (1) bahwa suatu yang tak
terbatas tidak dapat berubah menjadi terbatas dalam bentuk aktual; (2) bahwa
materi, waktu, dan gerak muncul secara bersamaan. Al-Kindi kemudian

14
Ulum, Al Kindi : Kisah Hidup Bapak Filsafat Arab.,h. 56
15
Achmad Khudori Soleh, “AL-FALSAFAH AL-ULA.”
16
Ulum, Al Kindi : Kisah Hidup Bapak Filsafat Arab.
mengembangkan kedua prinsip tersebut menjadi sembilan pernyataan sebagai
berikut :
1. Jika dua besaran sama dan tidak ada yang lebih besar dari yang lain, maka
keduanya dianggap sama.
2. Ketika suatu besaran ditambahkan pada salah satu dari dua besaran yang
sama, hasilnya membuat keduanya menjadi tidak identik.
3. Ketika suatu besaran dikurangi, sisa besaran tersebut lebih kecil dari
besaran awal.
4. Jika sebagian besaran diambil dan kemudian dikembalikan, hasilnya tetap
sama seperti sebelumnya.
5. Besaran yang terbatas tidak dapat berubah menjadi tidak terbatas, dan
sebaliknya.
6. Jumlah dua besaran yang sama, jika keduanya bersifat terbatas, juga
dianggap terbatas.
7. Besaran aktualitas alam dianggap setara dengan besaran potensialitas alam.
8. Dua besaran yang tidak terbatas tidak mungkin salah satunya menjadi lebih
kecil dari yang lain.
9. Konsep lebih besar atau lebih kecil bergantung pada hubungannya dengan
bagian yang lebih kecil atau lebih besar.

Berdasarkan dua prinsip dan sembilan pernyataan di atas, menurut Atiyeh


seperti yang dikutip dalam buku karya Dr.Achmad Khudori Soleh, Al-Kindi
memberikan bukti untuk pandangannya. Pertama, jika kita menyatakan bahwa
semesta ini tidak terbatas, maka kita juga harus menyatakan bahwa wujud aktual
dari semesta ini juga tidak terbatas. Namun, hal ini berlawanan dengan prinsip
pertama Aristoteles yang menyatakan bahwa wujud aktual adalah terbatas.
Kedua, jika kita mengambil sebagian dari wujud semesta yang diasumsikan tidak
terbatas ini, sisanya dapat menjadi wujud tidak terbatas seperti keseluruhannya,
atau bisa menjadi wujud terbatas. Namun, jika kita menyatakan bahwa itu tidak
terbatas, maka hal itu berarti ada dua entitas yang sama-sama tidak terbatas, dan
ini menyiratkan keseluruhan semesta. Ketiga, jika kita mengambil sebagian dari
wujud yang diasumsikan tidak terbatas ini dan mengembalikannya, hasilnya
seharusnya sama seperti sebelumnya. Namun, hal ini menyiratkan bahwa ada
sesuatu yang tidak terbatas (keseluruhan) yang lebih besar dari sesuatu yang tidak
terbatas lainnya (bagian), dan ini tidak masuk akal.

b. Alam Atas VS Alam Bawah


Al-Kindi berbeda pandangan dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa
dunia ini kekal. Al-Kindi berpendapat bahwa dunia ini tidak kekal karena setiap
objek yang terdiri dari materi dan bentuk, yang terbatas dalam ruang dan bergerak
di dalam waktu, bersifat terbatas dan oleh karena itu tidak kekal. Meskipun objek
tersebut merupakan bagian dari realitas dunia, keberadaannya yang terbatas
menyebabkannya tidak abadi. Hanya Allah yang dianggap kekal.17
Dalam paparannya tentang penciptaan alam, al-Kindi membagi alam menjadi
dua bagian, yaitu alam atas dan alam bawah. Alam atas terdiri dari wujud-wujud
spiritual yang tidak diciptakan, seperti jiwa yang juga dianggap sebagai wujud
spiritual yang tidak diciptakan. Sementara itu, alam bawah terdiri dari wujud-
wujud temporal yang diciptakan, seperti materi yang jasmaniah. Al-Kindi
menegaskan perbedaan esensial antara keduanya, dengan alam atas dianggap
abadi dan tidak diciptakan, sementara alam bawah merupakan realitas temporal
yang diciptakan.
Penciptaan (ibda') dalam konteks Muslim merujuk pada penciptaan dari
ketiadaan dalam dimensi waktu. Kedua alam, baik atas maupun bawah, awalnya
berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan, sebagai sebab bersama segala
sesuatu. Dalam risalahnya, Risalah fi Hudud al-Asyya, al-Kindi menjelaskan
bahwa penciptaan dunia terjadi melalui emanasi, suatu konsep yang kemudian
diadopsi dan dikembangkan oleh al-Farabi. Al-Kindi menggunakan istilah ibda
untuk menggantikan khalk dan jirm untuk menggantikan jism, dan sebagainya.
Penggunaan bahasa ini memberikan kesan bahwa al-Kindi berupaya menghindari
ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam Al-Qur'an, serta berusaha menjauhkan
bahasa spekulatif dari teks suci yang tak dapat ditiru.18
Alam yang awalnya berasal dari Sebab Pertama atau Pencipta Yang
Sempurna, memiliki ketergantungan dan keterkaitan dengan al Haqq (Kebenaran),
namun terpisah karena alam dibatasi oleh ruang dan waktu. Ke-Esa-an Sebab
Pertama berbeda dengan kompleksitas dunia yang terdiri dari berbagai jenis dan
variasi, setiap entitas memiliki lima predikat: genus, spesies, deferensia, sifat, dan
17
Ulum.
18
Ulum.
aksiden. Al-Kindi menjelaskan modus eksistensi dengan menggunakan kategori-
kategori ini. Pandangan Al-Kindi sejalan dengan ajaran Islam ketika ia
menyatakan bahwa dunia diciptakan dari ketiadaan dan muncul dalam batas
waktu, menjadi ada setelah tidak ada. Ini bukan hanya keyakinan keagamaannya,
tetapi juga prinsip filsafatnya. 19
Kesimpulannya, jika ada gerakan, maka harus ada benda, dan sebaliknya, jika
ada benda, maka perlu ada gerakan.
c. Konsep Ketakterhinggaan
Dalam teori al-Kindi, alam semesta disusun berdasarkan pada sistem
Aristoteles dan Ptolemaeus. Aristoteles melihat langit sebagai serangkaian sfera
yang berpusat di sekitar bumi sebagai pusatnya. Terdapat delapan sfera langit dan
empat sfera bumi termasuk bumi itu sendiri. Keseluruhan sistem ini tercakup
dalam sfera luar. Sfera langit yang delapan dijelaskan sebagai benda yang
transparan, mirip kristal dalam bentuk lingkaran. Sfera terbesar dari yang delapan
membawa bintang-bintang tetap, sedangkan yang lain membawa planet, dan
semuanya terus mengorbit bumi kita yang diam di pusatnya. Bumi sendiri
dianggap sebagai sfera bumi yang paling dalam, sementara unsur-unsur lainnya,
seperti air, udara, dan api, ditempatkan dalam urutan kepadatan dan
jarak dari bumi.20
Dalam penjelasan al-Kindi, semesta disusun secara geosentris, bukan
heliosentris sebagaimana dipercayai oleh masyarakat modern. Konsep geosentris
al-Kindi dibangun dengan menggabungkan pemikiran Aristoteles dan Klau
Ptolemaeus dari Mesir, yang dikenal sebagai sistem Ptolemaeus. Geosentris
adalah konsep kosmologi yang menempatkan bumi sebagai pusat tata surya,
berbeda dengan heliosentris yang meletakkan matahari sebagai pusat tata surya.
Alam semesta memiliki keterbatasan dalam ruang, dengan pemahaman bahwa
ia tercakup dalam sfera luar. Namun, dalam konteks waktu, alam semesta
dianggap tidak terbatas karena tidak tunduk pada proses generasi dan destruksi
secara keseluruhan. Dalam sistem Aristoteles, batasan alam terkait dengan ruang
tetapi tidak terbatas oleh waktu, karena gerakan alam dipicu oleh Penggerak Tak
Tergerakkan. Menurut Aristoteles, materi dianggap tak berhenti, dan ia tidak
mendukung teori Atomis tentang kehampaan. Aristoteles meyakini bahwa semua

19
Ulum.
20
Ulum.
objek di bumi terdiri dari empat unsur sederhana, yaitu tanah, udara, api, dan air.
Setiap unsur mengandung "sifat-sifat" kering, lembap, panas, dan dingin.
Dalam pemikiran Islam, konsep keabadian alam ditolak karena Islam
mengakui bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah dan bukan sesuatu yang
kekal. Al-Kindi mengungkapkan pandangan bahwa alam ini tidak kekal, dan
untuk menjelaskan hal ini, ia membahas gagasan tentang ketakterbatasan secara
matematis. Menurut al-Kindi, seberapapun luasnya alam semesta maka ia adalah
terbatas dan segala yang terbatas tidak mempunyai awal yang terbatas.
Jika alam ini terbatas seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles, maka
bagaimana bisa jika satu kesatuan di bagi dua, dan yang tinggal tidak menjadi
terbatas? Tentunya yang tinggal juga akan terbatas, yang kemudian jika disatukan
Kembali dengan bagian yang dipisahkan, maka hasilnya juga akan tetap terbatas.
Hal inilah yang menimbulkan kontradiktif bagi Al-Kindi.
Atas dasar itulah Al Kindi menyimpulkan bahwa alam semesta ini terbatas dan
ia menolak secara tegas pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa alam
semesta merupakan hal yang tidak terbatas. Telah dijelaskan juga bahwa alam
semesta ini diciptakan oleh Allah. Namun Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana
penciptaanya. Apakah ala mini dari tiada menjadi ada sehingga menjadi hal baru,
atau kaha lam berasal dari materi yang memang sudah ada sejak zaman azali.
Dalam risalahnya yang berjudul al-Ibanat ‘an al-illat al-Fa’ilat al Qaribat fi
kawn wa al-Fasad, pendapat Al-Kindi sejalan dengan Aristoteles yang
berpendapat bahwa alam merupakan wujud yang aktual apabila terhimpun 4 illat
ini :
1. Materi benda
2. Bentuk benda
3. Pembuat benda
4. Manfaat benda

Kemudian, Al Kindi membagi illat ini menjadi 2 yaitu illat bai’dat dan illat
qoribat. Illat yang dekat berhubungan dengan Allah, sedangkan illat yang dekat
berhubungan dengan alam atau juga bisa berhubungan dengan Allah. Al-Kindi
menganalogikan pada sebuah pabrik kapur tulis, dimana pabrik kapur tulis
menghasilkan kapur, dimana pabrik menjadi illat (qoribat). Pabrik kapur bisa
berdiri karena dari proses pembangunan yang dilakukan oleh manusia. Sehingga
manusia disini menjadi illat baidat thabiiy karena jauh berasal dari alam. Namun,
pada hakikatnya, yang menciptakan pabrik (manusia) tersebut adalah illat baidat
Ilahy (Sebab yang jauh dari Tuhan), yakni Allah.

Ada empat teori yang membuktikan keterbatasan. Pertama, dua besaran


(digunakan untuk garis, permukaan, atau objek) dianggap sama jika salah satunya
tidak lebih besar dari yang lain. Kedua, jika satu besaran ditambahkan pada salah
satu dari dua besaran yang dianggap sama, keduanya akan menjadi tidak sama.
Ketiga, dua besaran yang dianggap sama tidak dapat menjadi tak terbatas jika
salah satunya lebih kecil dari yang lain, karena yang lebih kecil mengukur yang
lebih besar atau sebagian darinya. Keempat, jumlah dua besaran yang dianggap
sama karena masing-masing terbatas, juga akan terbatas.

Besaran sendiri diartikan sebagai alat yang digunakan untuk mengukur garis,
permukaan, atau objek. Satu besaran yang dianggap sama berarti secara eksklusif
satu. Sebagai contoh, A dan B adalah dua besaran yang dianggap sama, di mana
salah satunya tidak lebih besar dari yang lain, atau dengan kata lain, keduanya
dianggap setara. Bukti bahwa keduanya setara adalah jika salah satunya lebih
besar dari yang lain, katakanlah A lebih besar dari B. Namun, karena A tidak
lebih besar dari B, sesuai dengan penjelasan sebelumnya, ini menimbulkan
kontradiksi. Oleh karena itu, kesimpulannya adalah keduanya dianggap setara.

Jadi dengan ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap benda yang berdiri
atas materi dan bentuk, yang terbatas ruang, dan ber gerak di dalam waktu, adalah
terbatas, meski benda tersebut adalah wujud adalah terbatas, meski benda tersebut
adalah wujud dunia. Dan Karena terbatas maka tak kekal. Hanya
Allah lah yang kekal.

E. Filsafat Epistemologi
a. Pengetahuan Ilahi dan Manusiawi
Filsafat mencakup berbagai bidang yang sangat luas dan bahkan bisa dianggap
tidak terbatas, mulai dari isu-isu seperti ketuhanan, manusia, kosmos, kebenaran,
keadilan, hingga eksistensi, dan sebagainya. Sementara itu, aspek pengetahuan
dibahas dan dianalisis dalam suatu ranah filsafat yang disebut epistemologi. Isu-
isu yang muncul dalam epistemologi terutama melibatkan sumber dan batasan
pengetahuan manusia, seperti bagaimana manusia dapat mengetahui keberadaan
sesuatu, apa sumber pengetahuan itu, bagaimana pengetahuan manusia dapat
dikelompokkan, dan melalui metode apa yang paling tepat untuk mencapai
pengetahuan yang benar.
Dalam konteks filsafat Islam, khususnya dalam lingkup filsafat secara umum
dan epistemologi pada khususnya, memiliki ciri khas yang berbeda dengan filsafat
pada umumnya. Filsafat Islam, sebagai suatu aliran filsafat yang mengakar dan
mengidentifikasi diri dengan tatanan nilai yang bersifat transenden (Islam),
menghadapi perbedaan signifikan terutama dalam kaitannya dengan dogma (nilai-
nilai agama) pada setiap tahap refleksi filsafatnya.
Islam memberikan perhatian khusus terhadap epistemologi dengan tujuan
menggabungkan pengetahuan dan ajaran wahyu, sejalan dengan pengetahuan dan
ajaran manusiawi atau intelektual, guna menciptakan harmoni di antara keduanya.
Dalam konteks ini, peran nilai-nilai agama dan wahyu memiliki signifikansi
penting dalam setiap pertimbangan filosofis. Hal ini berbeda dengan pendekatan
rasionalis yang dilakukan oleh beberapa filsuf yang berusaha mengharmonisasi
pengetahuan akal manusiawi secara rasional dengan ajaran agama yang bersifat
supranatural.
Menurut Al Kindi, pengetahuan pertama disebut wahyu, sedangkan yang
kedua disebut filsafat. Keimanan pada kebenaran yang terdapat dalam Al-Qur'an
adalah metode agama, sementara logika menjadi metode dalam filsafat. Al-Kindi
membagi pengetahuan manusia (filsafat) menjadi dua jenis, yaitu pengetahuan
akal budi yang mampu memahami hakikat segala sesuatu, dan pengetahuan indra
yang hanya dapat mengenali bagian luar atau sifat-sifat lahir dari suatu objek.21
Dalam penjelasan tentang hal ini, M.M. Syarif menyatakan bahwa sumber-
sumber pengetahuan itu melibatkan pancaindra, akal, dan khayal. Pancaindra
dapat mengenali objek-objek yang kecil (partikular) dan gambaran materi. Akal
mampu memahami segala sesuatu secara umum, termasuk gambaran, sementara
khayal berada di tengah-tengah kedua jenis pengetahuan ini, yaitu pancaindra dan
akal. Oleh karena itu, khayal dapat mengenali yang partikular dan universal. Dari
uraian ini, dapat disimpulkan bahwa al-Kindi menegaskan perbedaan yang
signifikan antara pengetahuan ilahi dan pengetahuan manusiawi, baik dalam dasar

21
Psikologi Islam, “Konsep Akal Prespektif Al Kindi ( Analisa Konstruksi Etika Dalam Islam ),” n.d., 1–18.
maupun cara manusia memperolehnya. Selain itu, ia juga mengakui adanya
pengetahuan rasio dan pengetahuan empiris.22
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa Al Kindi memberikan
perbedaan yang jelas antara pengetahuan Ilahi dan manusiawi. Keduanya
mempunyai perbedaan baik secara dasar maupun cara memperolehnya. Menurut
Al Kindi juga antara pengetahuan Ilahi dan manusiawi memiliki tujuan yang
sama. Agama menerangkan apa yang benar dan baik, begitupun juga dengan
filsafat. Filsafat adalah pengetahuan tentang kebenaran dan membahas soal
Tuhan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Al Kindi mencoba untuk memberikan suatu
penjabaran awal tentang pengetahuan sebagai suatu usaha manusia dalam
menelaah objektivitas, metodologi, sumber, serta validitas pengetahuan secara
lebih mendalam dengan menggunakan Islam sebagai tolak berpikir.
b. Pengetahuan Para Rasul dan Pengetahuan Manusia Biasa
Pengetahuan yang pertama diperoleh tanpa pencarian, tanpa usaha keras, tidak
melalui logika matematika, dan tidak membutuhkan wahyu. Namun diperoleh dari
kehendak-Nya dengan cara membersihkan jiwa dan menyinarinya dengan
kebenaran disertai dengan bantuan, arahan, ilham, dan risalah dari Tuhan.
Pengetahuan kedua, jelas dibutuhkan usaha kerja keras dan membutuhkan waktu.
Al Kindi menegaskan bahwa kenabian itu khusus untuk para rasul dan merupakan
tanda yang membedakan ia dengan yang lain yang berarti menutup kemungkinan
adanya cara lain untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan konsekuensinya
menolak “Irfan”.23
Selanjutnya, Al Kindi menuturkan bahwa bahwa, “pengetahuan manusia
terdiri dari pengetahuan aqli dan pengetahuan naqli. Pengetahuan aqli dapat
mengungkapkan hakikat sesuatu. Sedangkan naqli dapat mengungkapkan bagian-
bagian dari sifat objeknya. Kemudian dalam pandangan Al-Kindi juga,
pengetahuan itu adakalanya bersifat rasional dan cara memperolehnya melalui
akal dan objeknya adalah konsep-konsep abstrak atau kategori dan ada juga ilmu
ketuhanan yang langsung diterima Allah, sedang objeknya adalah ilmu ketuhanan.

22
Aziza Aryati, “Filsafat Di Dunia Timur : Pemikiran Al Kindi Dan Al Farabi,” E-Journal System IAIN
Bengkulu (Institut Agama Islam Negeri), 2015.
23
Suaedi, Filsafat Ilmu, ed. Nia Januarini, 1st ed. (Bogor: PT Penerbit IPB Press, n.d.).
Daftar Pustaka

Achmad Khudori Soleh. “Al-Falsafah Al-Ula.” Реаниматологии 13, no. 3 (2016): 44–50.

Amalia, Jihanna, and Maragustam Siregar. “Pemikiran Filosofis Al-Kindi Religius-Rasional


(Al-Maz\Hab Al-Diniy Al-‘Aqla>Niy) Terhadap Pendidikan Islam Serta Relevansinya
Dengan Pendidikan Masa Modern.” Akademika : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
4, no. 2 (2022): 80–92.
https://ejournal.iaiskjmalang.ac.id/index.php/akad/article/view/619.

Aryati, Aziza. “Filsafat Di Dunia Timur : Pemikiran Al Kindi Dan Al Farabi.” E-Journal
System IAIN Bengkulu (Institut Agama Islam Negeri), 2015.

Habibah, Sulhatul. “Filsafat Ketuhanan Al-Kindi.” DAR EL-ILMI : Jurnal Studi Keagamaan,
Pendidikan Dan Humaniora 7, no. 1 (2020): 19–34.

Islam, Psikologi. “Konsep Akal Prespektif Al Kindi ( Analisa Konstruksi Etika Dalam
Islam ),” n.d., 1–18.

Madani, Abubakar. “Pemikiran Filsafat Al-Kindi Abubakar Madani 1.” Pemikiran Filsafat
Al-Kindi IXX, no. 2 (2015): 106–17.

Suaedi. Filsafat Ilmu. Edited by Nia Januarini. 1st ed. Bogor: PT Penerbit IPB Press, n.d.

Ulum, Shohibul. Al Kindi : Kisah Hidup Bapak Filsafat Arab. Edited by Arif Ishartadi. 1st
ed. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia, 2023.

Wahda, Jumrohtul. “Filsafat Al-Kindi Dalam Memahami Teologi.” Jurnal Manthiq IV, no. 1
(2019): 35–44.

Anda mungkin juga menyukai