Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN
Kegiatan filsafat dalam sejarah peradaban umat manusia sudah
dimulai sejak abad VI SM, atau bahkan lebih ke belakang lagi, yakni sejak
jaman Socrates, Pytagoras hingga Hermet. Namun, filsafat yang dilakukan
secara sistematis dan rasional baru dimulai sejak masa Plato, Aristoteles
dan Plotinus. Bahkan ketiga tokoh yang disebut terakhir ini dapat dianggap
sebagai representasi dari filsafat yang berkembang sepanjang sejarah.
Ketika Islam muncul, pemikiran rasional Aristoteles dan pemikiran
mistik Plato dan Plotinus banyak di adopsi oleh sarjana intelektual muslim,
hal ini membuktikan bahwa Islam dan juga para pemeluknya tidak antipati
terhadap peradaban yang lain.
Al-Kindi adalah filosof muslim Arab pertama yang merintis jalan
bagi masuknya filsafat ke dunia Islam, beliau salah satu filosof Arab asli
keturunan raja-raja Yaman di Kindah. Al-Kindi menghasilkan banyak
karya, sehingga menurut Ibnu Nadim, seorang pustakawan ternama,
mengatakan 241 karya Al-Kindi,1 sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
latin. Al-Kindi lahir pada puncak kemajuan intelektual dan sosialpolitik
Bani Abbasiyah, antusiasme pemerintah terhadap kegiatan penerjemahan
tercermin dari besarnya imbalan yang diberikan untuk sebuah karya
terjemahan oleh pemerintah.
Berdasarkan deskripsi diatas, maka dalam tulisan ini dapat
dirumuskan beberapa parmasalahan sebagai berikut:
A. Bagaimana Riwayat Hidup Al-Kindi?
B. Bagaimana Teori Pengetahuan (Epistemologi) Menurut Al-Kindi?
C. Bagaimana pandangan Al-Kindi mengenai filsafat Pengetahuan?

1
Madjid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosofhy,Teology and
Misticisme,diterjemahkan oleh Zainun Am, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis,
(Bandung: Mizan, 2001), Cet. I h. 26

1
II. PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Al-Kindi
Al-Kindi dilahirkan di Kuffah, beliau memiliki nama lengkap
Abu Yusuf Ya’kub Ibn Ishaq Sabbah Ibn Ismail Al-Ash’ats Ibn Qais
(180-260 H/769-873 M),2 adalah filosof muslim pertama. Nama Al-
Kindi dinisbahkan pada salah satu suku besar Arab pra-Islam, yakni
Kindah. Kakeknya, Al-Ash’ats Ibn Qais, adalah salah seorang muslim
dan bahkan dianggap sebagai salah satu sahabat Nabi SAW, sementara
ayahnya, Ishaq As-Sabbah adalah gubernur Kuffah ketika Daulah
Abbasiyah diperintah oleh Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid,3 ayahnya
meninggal ketika ia masih usia kanak-kanak, namun ia tetap
memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu yang baik.
Sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh tentang
pendidikannya, ia pindah dari Kuffah ke Basrah, sebuah pusat studi
bahasa dan teologi Islam, tidaklah mengherankan jika Al-Kindi
menguasai banyak macam ilmu pengetahuan, karena ia tumbuh dan
dibesarkan di Kuffah yang merupakan kota pusat perkembangan ilmu.
Semasa muda Al-Kindi menetap di Baghdad, ibu kota khalifah
Bani Abbasiyah yang juga sebagai jantung kota kehidupan intelektual
pada waktu itu, ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu,
oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila Al-Kindi mendapat
pengetahuan dan menguasai ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam,
ilmu pasti, seni musik, meteorologi, optikal, kedokteran, matematika,
filsafat dan politik. Al-Kindi adalah orang Islam pertama keturunan
Arab dalam jajaran filosof terkemuka.4
Terlepas dari sedikitnya informasi biografi tentang Al-Kindi,
sumber-sumber klasik menyebutkan bahwa sumbangan besar Al-Kindi

2
Taufik Abdullah,Ensikilopedi Tematis Dunia Islam,Ikhtiar Baru Van Hoven, Jakarta,
Cet. 4, h. 174
3
Muhammad Luthfi Jum’ah, Tarikh Falsafat Islam fi al-Masyriq wa al-Maghrib, h. 4-5
4
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosofis dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 38

2
bagi perkembangan filsafat dan sains Islam, Ibn Nadim (w. 995)
seorang pustakawan yang terpercaya menyebutkan adanya 242 buah
karya Al-Kindi,5 dalam bidang yang telah kami sebutkan di atas. Selain
karya yang berbentuk buku, Al-Kindi juga menulis sejumlah makalah
yang menyangkut studi agama India, Chalden dan Harran.6
Mencermati kejeniusan tokoh ini, agaknya tuduhan yang
mengatakan bahwa Al-Kindi tidak mengerti secara baik ilmu logika
sulit dibuktikan, karena tidak satupan karya logikanya yang dapat
ditemukan. Hal ini mungkin dikarenakan ruang lingkup pengetahuan
Al-Kindi yang luar biasa atau mungkin juga karena alasan lain seperti
kesesuaian pahamnya dengan ide-ide mu’tazilah, ini dapat dilihat
ketika khalifah al-Makmum mengajaknya bergabung dengan kalangan
cendekiawan yang bergiat dalam usaha pengumpulan dan
penerjemahan karya-karya Yunani,7 walaupun kelihatannya ia lebih
cenderung menyimpulkan daripada menerjemahkan karya-karya
tersebut.
Khalifah al-Makmum menjadikan aliran mu’tazilah sebagai
madzhab negara, lewat kesempatan inilah Al-Kindi menghalalkan
filsafat sebagai salah satu khazanah pengetahuan Islam setelah ia
menyesuaikan terlebih dahulu dengan pemahaman agama. Al-Kindi
dalam risalahnya tentang “filsafat pertama”, mengatakan “ diantara
usaha-usaha yang tinggi derajat dan dasar kemanusiaan ialah usaha
filsafat, yang tujuannya mengetahui semua yang ada dengan
hakekatnya sekedar kekuatan otak manusia, karena maksud ahli-ahli
filsafat ialah mencari yang benar dengan ilmunya, beramal yang benar
dengan amalnya, bukan pekerjaan yang tidak tentu ujung pangkalnya,
karena pekerjaan itu kita pegang dan pekerjaan itu selesai apabila kita

5
Madjid Fakhry, Madjid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosofhy,Teology and
Misticisme...., h. 26
6
Madjid Fakhry, A Short Introduction to Islamic Philosofhy,Teology and Misticisme....,
h.26
7
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosofis dan Filsafatnya...., h. 39

3
sudah sampai pada kebenaran”.8 Al-Kindi juga memperoleh kedudukan
yang terhormat pada masa itu, bahkan diangkat sebagai guru bagi
Ahmad putra khalifah al-Mu’tasim.
Namun, kedudukannya ini bukan berarti ia lepas dari
pengalaman pahit yang menimpa para pemikir. Pada masa
pemerintahan al-Mutawakkil, Daulah Bani Abbas kembali menjadikan
ahlu sunnah wa al-jama’ah sebagai madzhab negara, suasana ini
dimanfaatkan oleh kelompok yang berpegang secara ketat pada doktrin
ini tidak menyukai filsafat, akhirnya Al-Kindi sebagai tokoh filsafat
Islam pada saat itu di dera dan perpustakaannya yang bernama Al-
Kindiyyah disita, akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama kemudian
perputakaannya dikembalikan lagi.9
Al-Kindi termasuk orang kreatif dan produktif dalam kegiatan
tulis menulis, tulisannya cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu,
akan tetapi amat disayangkan kebanyakan karya tulisnya telah hilang,
informasi terakhir merupakan suatu kegembiraan karena sebagian
risalah Al-Kindi yang hilang tersebut telah ditemukan kembali. Untuk
lebih jelasnya dibawah ini dikemukakan beberapa karya tulis Al-Kindi
sebagai berikut :
1. Fi Al-Falsafah al-ula
2. Fi hudud al-asy ya’wa rusumuha
3. Fi al-fa’ill al-haq al-awwal al-fam
4. Fi ilati’ i-kaun wal fasad
5. Fi al-qaul fi nafsih
6. Fi wahdaniyatillah wa tanahir jirmi’i ‘alam
7. Fi ‘il ‘aql.10
Informasi kapan Al-Kindi meninggal tiada suatu keterangan
yang pasti, agaknya menentukan tahun wafat sama sulitnya dengan
menentukan tahun kelahirannya dan siapa-siapa saja guru yang

8
Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, Ramdani, (Jakarta, 1982, Cet. 2), h. 43
9
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosofis dan Filsafatnya...., h. 44
10
Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1995), Cet. 2, h. 11

4
mendidik Al-Kindi. Mustafa Abdul Al-Razy cenderung mengatakan
tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan Massignon menunjuk tahun
260 H, Yakud Al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi wafat sesudah
berumur 80 tahun atau lebih sedikit,11 sedangkan Harun Nasution lebih
cenderung menetapkan Al-Kindi meninggal di tahun 873 M.12
B. Teori Pengetahuan (Epistemologi) Menurut Al-Kindi
Menurut Al-kindi, pengetahuan dapat diklasifikasikan kedalam
dua kelompok. Pertama, pengetahuan Ilahi (Ilmu al-Ilahi, Divine
Science) sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an yaitu
pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Pengetahuan
ini didasarkan pada keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi (Ilmu
al-Insani, Human Science) atau filsafat yang dasarnya adalah pemikiran
atau rasio (ratio, reason). Menurut Al-Kindi, kedua macam ilmu
tersebut dapat digunakan untuk mengetahui hakekat kebenaran.13
Al-Kindi telah mengadopsi ilmu-ilmu filsafat dari pemikiran
tokoh filsafat Yunani, namun sebagai seorang filosuf Muslim, ia
mempunyai kepribadian seorang Muslim sejati yang tak tergoda dan
tetap mayakini prinsip-prinsip di dalam Islam.
Al-Kindi mempunyai pandangan tersendiri tentang
pengetahuan, menurutnya pengetahuan manusia itu pada dasarnya
terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu :
1. Pengetahuan Indrawi
Pengetahuan indrawi terjadi secara langsung ketika orang
mengamati terhadap obyek-obyek material (sentuhan, penglihatan,
pendengeran, pengcapan dan penciuman). Kemudian dalam proses
yang sangat singkat tanpa tenggang waktu dan tanpa berupaya,
obyek-obyek yang telah ditangkap oleh indera tersebut berpindah ke
imajinasi (musyawwiroh), kemudian diteruskan ke tempat

11
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosofis dan Filsafatnya...., h. 41
12
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),
h. 16
13
M.M. Syarif, M.A. Para Filosof Muslim, (Bandung:Mizan,1966), hal. 15

5
penampungannya yang disebut hafizhah (recolection). Pengetahuan
yang diperoleh dengan jalan ini (Inderawi) tidak tetap dan akan
selalu berubah; karena obyek yang diamati pun tidak tetap, selalu
dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-
berkurang kuantitasnya, dan berubah-ubah pula kualitasnya.
Pada dasarnya pengetahuan inderawi ini mempunyai
kelemahan yang cukup banyak, sehingga pengetahuan yang
didapatkan belum tentu benar. Kelemahan-kelemahan tersebut
antara lain Indera terbatas, benda yang jauh terlihat kecil berbeda
ketika benda tersebut berada di dekat kita, lalu apakah benda
tersebut memang berubah menjadi kecil? tidak, keterbatasan
kemampuan indera ini dapat memberikan pengetahuan yang salah.
Kelemahan kedua adalah Indera menipu, gula yang rasanya manis
akan terasa pahit ketika dirasakan oleh orang yang sakit, begitu juga
udara yang yang panas akan terasa dingin. Sehingga hal ini akan
memberikan pengetahuan yang salah juga. Kelemahan ketiga ialah
Obyek yang menipu, seperti ilusi, fatamorgana. Di sini Indera
menangkap obuek yang sebenarnya tiada. Kelemahan keempat
berasal dari indera dan obyek sekaligus, indera misalnya mata tidak
dapat melihat obyek secara keseluruhan dan begitu juga obyek yang
tidak memperlihatkan dirinya secara keseluruhan, sehingga hal ini
akan memberikan informasi pengetahuan yang salah pula.14
2. Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan
menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial dan bersifat
immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu; tetapi
genus dan spesies. Orang mengamati manusia sebagai yang
berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih
atau berwarna, yang semua ini akan menghasilkan pengetahuan
inderawi. tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki

14
Ahmad Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia. 1997) hal. 105.

6
hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia
adalah makhluk berfikir (rational animal = hewan nathiq), telah
memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal,
mencakup semua individu manusia. Manusia yang telah ditajrid
(dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang
telukis dalam perasaan.
Kelihatannya sudah cukup jelas bahwa pengetahuan hanya
terbagi menjadi dua, karena keduanya sudah saling melengkapi, tapi
ternyata hal tersebut belum cukup. Indera (empiris) dan akal
(rasio/logis) yang bekerjasama belum mampu mendapatkan
pengetahuan yang lengkap dan utuh. Indera hanya mampu
mengamati bagian-bagian tertentu tentang obyek. Dibantu oleh
akal, manusia juga belum mapu memperoleh pengetahuan yang
utuh. Akal hanya sanggup memikirkan sebagian dari obyek.
Al-Kindi memperingatkan agar orang tidak mengacaukan
metode yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan, karena
setiap ilmu mempunyai metodenya sendiri yang sesuai dengan
wataknya. Watak ilmulah yang menentukan metodenya. Adalah
suatu kesalahan jika kita menggunakan suatu metode suatu ilmu
untuk mendekati ilmu lain yang mempunyai metodenya sendiri.
Adalah suatu kesalahan juga jika kita menggunakan metode ilmu
alam untuk metafisika.15
3. Pengetahuan Isyraqi
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja
tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-
hakikat. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang
genus dan spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan
memperoleh pengetahuan pada dua macam jalan ini. Al-Kindi,
sebagaiman halnya banyak filosof isyraqi, mengingatkan adanya
jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi

15
Ahmad Musthofa, Filsafat Islam...., h. 106.

7
(iluminasi), yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari
pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan ini adalah yang diperoleh para
Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu
kepada umat manusia. Para Nabi memperoleh pengetahuan yang
berasal dari wahyu tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah untuk
memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan
semata-mata. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya
pula jiwa meraka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan
wahyu. Akal meyakinkan pengetahuan pengetahuan mereka berasal
dari tuhan, karena pengetahuan itu ada ketika manusia tidak mampu
mengusahakannya, karena hal itu memang di luar kemampuan
manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima
dengan penuh ketaatan dan ketundukan mereka kepada kehendak
tuhan, membenarkan semua yang dibawakan para nabi.
Untuk memberi contoh perbedaan pengetahuan manusia
yang diperoleh dengan jalan upaya dan pengetahuan para nabi yang
diperoleh dengan jalan wahyu, Al-Kindi mengemukakan pertanyaan
orang-orang kafir tentang bagaimana mungkin tuhan akan
membangkitkan kembali manusia dari dalam kuburnya setelah
tulang-belulangnya hancur menjadi tanah; sebagaimana termaktub
dalam Al-Qur’an surah Yasin ayat 78-82. Keterangan yang terdapat
dalam ayat-ayat Al-Qur’an ini amat cepat diberikan oleh nabi
Muhammad saw. karena berasal dari wahyu tuhan, dan tidak yakin
akan dapat dijawab dengan cepat dan tepat serta jelas oleh filosuf.
Pertanyaan yang diajukan pada nabi Muhammad saw.
adalah sebagai berikut: Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-
belulang yang telah membusuk? Segeralah tuhan menurunkan
wahyu jawabannya: Katakanlah yang memberinya hidup adalah
penciptanya yang pertama kali yang mengetahui segala kejadian,
Dia yang menjadikan bagimu api dari kayu yang hijau, kemudian
kamu menyalakan api darinya. Tiadakah yang telah menciptakan

8
langit dan bumi sanggup menciptakan yang serupa itu? Tentu saja
karena Dia maha Pencipta, maha Tahu. Bila Dia menghendaki
sesuatu, cukuplah Dia perintahkan, ”jadilah”, maka iapun menjadi.
Al-Kindi memberikan penjelasannya tentang ilmu yang
berasal dari Tuhan sebagaimana dicerminkan dalam ayat-ayat Al-
Qur’an tersebut sebagai berikut:
“Tidak ada bukti bagi akal yang terang dan bersih yang
lebih gamblang dan ringkas daripada yang tertera dalam ayat-ayat
Al-Qur’an tersebut, yaitu bahwa tulang-belulang yang benar-benar
telah terjadi setelah tiada sebelumnya, adalah sangat mungkin
apabila telah rusak dan busuk ada kembali. Mengumpulkan barang
yang berserakan lebih mudah daripada membuatnya dari tiada,
meskipun bagi Tuhan tidak ada hal yang dapat dikatakan lebih
mudah ataupun lebih sulit. Kekuatan yang telah menciptakan
mugkin menumbuhkan sesuatu yang telah dihancurkan. Al-Qur’an
menyebutkan bahwa tuhan telah menjadikan kayu hijau dan dapat
dibakar menjadi api; hal ini mengandung ajaran bahwa sesuatu
mungkin bisa terjadi dari lawannya. Tuhan menjadikan api dari
bukan api dan menjadikan panas dari bukan panas. Jika sesuatu
mungkin terjadi dari lawannya, maka akan lebih mungkin lagi
sesuatu terjadi dari dirinya sendiri".
Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa tuhan yang telah
menciptakan langit dan bumi berkuasa pula menciptakan yang
serupa itu, karena Dia adalah Tuhan yang maha pencipta lagi maha
mengetahui. Al-Kindi menjelaskan bahwa hal tersebut dapat
diyakini kebenarannya secara amat jelas tanpa memerlukan
argumentasi apapun. Orang-orang kafir mengingkari penciptaan
langit, karena mereka mengira bagaimana langit itu diciptakan,
berapa lama waktu yang diperlukan jika dibandingkan dengan
perbuatan manusia melakukan suatu pekerjaan. Sangkaan mereka
itu tidak benar, tuhan tidak memerlukan waktu jika

9
menghendakiuntuk menciptakan sesuatu. Tuhan berkuasa
menciptakan sesuatu dari yang bukan sesuatu dan mengadakan
sesuatu dari tiada. Sesuatu ada bersamaan dengan kehendak-Nya.16
Al-Kindi mengakhiri penjelasannya tentang ayat-ayat Al-
Qur’an yang dijadikan contoh-contoh di atas sebagai berikut: “Tak
ada manusia yang dengan filsafat manusia sangg]up menerangkan
sependek huruf-huruf yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur’an
yang diwahyukan kepada Rasul-Nya itu, yang menerangkan bahwa
tulang-belulang akan hidup setelah membusuk dan hancur, bahwa
kekuasaan tuhan seperti menciptakan langit dan bumi, bahwa
sesuatu dapat terjadi dari lawannya. Kata-kata manusia tidak
sanggup menuturkannya, kemampuan manusia tidak sanggup
melakukannya; akal manusia yang bersifat parsial tidak terbuka
untuk sampai pada jawaban yang demikian itu.”
Pengetahuan Isyraqi ini, selain didapatkan oleh para nabi.
Ada kemungkinan juga didapatkan oleh orang-orang yang bersih,
suci jiwanya, walaupun tingkatan atau derajatnya berada dibawah
dari pengetahuan yang dipeoleh para nabi. Hal ini menunjukkan
bahwa pengetahuan para nabi yang diperoleh dengan wahyu lebih
meyakinkan kebenarannya daripada pengetahuan para filosuf yang
tidak dari wahyu.
C. Pandangan Al-Kindi Mengenai Filsafat Pengetahuan
Al Kindi sebagai sesosok filosof awal dunia Islam mencoba
mengembangkan tradisi dalam dunia Arab. Tentulah sumber utamanya
yang digunakan adalah Al Qur`an, dengan ditambah gagasan dari
Yunani yang mempunyai tradisi kuat dalam berfikir untuk mencari
kebenaran atau sering dikenal “Filsafat”. Tradisi yang dilakukan Al
Kindi berbeda dengan umumnya orang yang hidup sezamannya, ia
mulai memanfaatkan tradisi keilmuwan Yunani dalam menafsirkan
Ilmu Kalam. Maka, banyak dari sumber-sumber buku mengatakan,

16
Ahmad Musthofa, Filsafat Islam...., h. 107.

10
bahwasanya Al Kindi berusaha mengkomparasikan dunia Filsafat
sebagai basis berfikir orang Yunani dengan Agama sebagai dasar
berfikir kalangan Arab saat itu. Majid Fakhry17 mengatakan,
bahwasanya karya Al Kindi setidaknya terdiri dari dua corak, yakni
teologi dan filsafat, sebagai pembuktian di dalam memadukan nuansa
dan filsafat. Secara garis besar, penulis berusaha menginterpretasikan
gagasan Al Kindi di dalam mengkonsep filsafat pengetahuannya dalam
tiga wilayah, yakni konsep ketuhahan, konsep alam, dan konsep jiwa.
1. Konsep tentang Ketuhanan
Al Kindi saat membicarakan tentang Tuhan, setidaknya bisa
ditelusuri dalam karyanya Falsafat al-Ûla dan Fi Wahdaniyyat
Allah wa Tanāhi Jirm al-`Alam. Dari tulisan-tulisan tersebut bisa
dianalisis bahwasanya konsep Tuhan menurut Al Kindi berbeda
dengan konsep Tuhannya Plato (± 428-327 SM), Aristoteles (± 384-
322 SM), dan Plotinus (± 204-270 M)18, sekalipun dalam kreasi
filsafat pengetahuan Al Kindi dipengaruhi ketiga-ketiganya,
sehingga dalam aliran filsafat, Al Kindi terkategorikan aliran
Peripatetik atau dalam bahasa Islam sering disebut masya`i atau
masya`iyin. Sifat Tuhan menurut Al Kindi adalah sebuah kesatuan,
di mana selain dari itu adalah merupakan derivasi atau figuratif.19
Tuhan atau dalam konsepsi Islam sering dikenal Allah adalah
merupakan wujud yang sebenarnya, hadir secara hakiki, dan selalu
ada sepanjang masa. Selain itu, Allah merupakan pengatur alam
semesta dan berkuasa atau sering disebut Ibda. Pendapat ini
tentunya bertentangan dengan pandangan Aristoteles (± 384-322
SM) yang mengatakan bahwasanya Allah (atau dalam bahasa lain

17
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara (Jakarta: 1987) hlm. 111
18
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: 2012) hlm. 50
19
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam....,h.124

11
Aristoteles dalam menyebutkan Tuhan, seperti Prima Causa)20,
adalah penggerak pertama dengan tidak bergerak atau stagnan.
Sebagaimana penjelasan Athiyah, bahwa Al Kindi mencoba
mengkritik konsep Tuhan ala Yunani, di mana mereka menganggap
Tuhan sebagai mencipta merupakan sesuatu yang baru berdasarkan
ciptaan sebelumnya (creation ex materia). Artinya, dalam
pandangan filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta dalam makna
yang sesungguhnya, melainkan hanya penggerak atau pewujud
realitas, dari alam potensial kepada alam aktualitas. Sebagai
konsekuensinya alam menjadi qadîm, tiada terbatas, dan abadi. Al
Kindi mencoba mereduksi teori tersebut dan mengaggas konsep
creation ex nihilo, yang artinya tercipta dari yang tiada.21
Lanjut Al Kindi dalam menjelaskan tentang Tuhan, ia
mengajukan beberapa argumen dalam membuktikan tentang Tuhan
baik bersifat filosofis maupun teologis. Pertama, nuansa
filosofisnya adalah prinsip hukum sebab akibat (kausalitas). Pada
prinsip ini menjelaskan setiap yang tercipta berarti ada yang
mencipta, dan sang pencipta itu adalah Tuhan alam semesta, dan
ketika karya ciptaan-Nya ada, maka Dia pun berada. Kedua, nuansa
teologis, hal ini berdasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu
tidak menjadi sebab bagi dirinya, sesuatu itu harus ada sebelum
dirinya. Apa yang dimaksud sebagai “sesuatu” di sini adalah alam
semesta. Artinya, jika semesta tidak dapat muncul karena dirinya
sendiri berarti ia butuh sesuatu di luar dirinya untuk
memunculkannya, dan itu adalah Tuhan.22
Menurut Harun Nasution, Al Kindi membagi komponen-
komponen dalam alam ini mempunyai dua hakikat: hakikat juz`i

20
Bagus Takwin, “Filsafat Timur, Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur”, (Jogjakarta:
Jalasutra, 2003)
hlm. 117.
21
Khudori Khudori, Filsafat Islam, dari Klasik Hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar
Ruzz Media, 2014), h.98
22
Khudori Khudori, Filsafat Islam, dari Klasik Hingga Kontemporer...., h. 102

12
(al-Haqîqat Juz`iyyat) yang sering disebut dengan `aniyah dan
hakikat kulli (al-Haqîqat Kulliyat), dan sering disebut māhiah, yaitu
hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus (jins) dan
species (nau`).
Maka, dari serangkaian konsepsi pengetahuan tentang Tuhan,
tentulah Al Kindi ingin membuktikan adanya perwujudan Tuhan
sejatinya. Tuhan sebagai penggerak pertama, tidaklah masuk dalam
kategori hakikat juz`i maupun hakikat kulli, karena Tuhan adalah
sesuatu yang unik. Dialah yang al-Haqq al-Awwal (Kebenaran
Awal) dan al-Haqq al-Wâhid (Kebenaran Tunggal).23
2. Konsep tentang Jiwa
Berbicara mengenai konsepsi jiwa, dikenal dalam konsep Islam
dengan istilah an Nafs sedangkan dalam konsepsi kalangan disiplin
ilmu Barat, dikenal dengan istilah Psikologi. Sebagaimana dalam
dialektika dunia filsafat Yunani, yang sudah menyinggung masalah
jiwa, Al Kindi pun mencoba merespon tentang konsep jiwa.
Menurut Al Kindi, jiwa adalah Jauhar Basîth (tunggal, tidak
tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Lanjut Al Kindi
menjelaskan, tentang bedanya jiwa dengan badan, menurut Al
Kindi, jiwa adalah menetang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu
marah mendorong manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa
menentangnya.24 Hal inilah yang sering membuat kelemahannya
setiap individu.
Al Kindi dalam tulisannya juga, sebagaimana dikutip oleh
Harun Nasution, menjelaskan bahwasanya jiwa mempunyai 3 daya,
a) Daya Syahwat atau Nafsu (al- Quwwat al-Syahwâniyyat), b)
Daya Marah (al-Quwwat al-Ghadabiyyat), dan c) Daya Pikir (al-
Quwwat al-Aliyyat).25 Al Kindi pun dalam menganalogikan ketiga

23
Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) hlm.
16.
24
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya....,h.59
25
Nasution, “Falsafat dan ...” hlm. 9.

13
daya tersebut, Daya Nafsu seperti dengan hewan babi, Daya Nafsu
dengan hewan anjing, dan Daya Akal dengan Manusia. Tentunya
dari kesekian tiga daya tersebut, yang mempunyai harkat tertinggi
adalah Daya Akal.
Lanjut Al Kindi dalam menjelaskan Akal, Ia gambarkan dalam
konsep yang sederhana. Akal menurutnya terbagi menjadi empat
macam. Pertama, akal dalam aktualitas (al-`Aql Allazi bi al-Fi`l
Abadâ), di mana akal ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi,
selamanya dalam aktualitas, membuat akal potensial menjadi akal
berfikir. Kedua, Akal Potensial (al-`Aql bi al-Quwwat), di mana
akal murni yang dimiliki manusia masih murni, belum menerima
stimulus inderawi dan yang akali. Ketiga, Akal Perolehan (Acquired
Intellect). Ini adalah akal yang telah keluar dari potensialitas ke
dalam aktualitas, dan mulai melihatkan pemikiran tentang
abstraksinya. Keempat, Akal Aktual Nyata, di mana ketika ia aktual
maka ia disebutkan akal “Yang Kedua”.
Kalau kita merujuk pada risalah Al Kindi tentang akal,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Rayyan3126, tampaknya
Al Kindi mengadopsi secara utuh konsep dari Aristoteles. Pada
dasarnya tidak ada ciri khusus mengenai konsep jiwa, dikarenakan
Al Kindi tidak membahas begitu panjang. Dia hanyalah peretas
keilmuwan untuk filosof-filosof berikutnya.
3. Konsep tentang Alam
Di dalam risalah yang berjudul al-Ibânat `an al-`illat al-Fâilat
al-Qâribat fi Kawn wa al-Fasâd, Al Kindi sejalan idenya dengan
aristoteles, bahwasanya benda yang ada di alam ini terhimpun
empat `illat atau sebab, di antaranya: a) al-`Ushūriyyat atau materi
benda, b) al-Shūriyyat atau bentuk benda, c) al-Fâ`ilat atau
pembuat benda, agent, dan d) al-Tamâmiyyat atau manfaat benda.

26
Sirajuddin, “Filsafat Islam ...” hlm. 61.

14
Keempat `illat tersebut, dinaungi oleh `illat illahy, di mana berperan
sebagai pencipta atas segala sesuatu.
Mengenai pembaharuan alam, Ahmad Daudy yang dikutip oleh
Sirajuddin Zar, bahwasanya Al Kindi mengajukan tiga argumen,
yakni gerak, zaman, benda. Lebih lanjut George N. Atiyeh27
menguraikan bahwa Al Kindi dalam mengemukakan tentang
penetapan baharunya alam, di antaranya terdiri dari :
a. Semua benda yang homogen, yang tiada padanya lebih besar
ketimbang yang lain, adalah sangat besar.
b. Jarak antara ujung, dari benda-benda yang sama besar, juga
sama besarnya, dalam aktualitas dan potensialitas.
c. Benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas.
d. Jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen
ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi
tidak sama besar.
e. Jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil dari
benda semula.
f. Jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan
kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama
seperti semula.
g. Tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai
batas bisa lebih kecil ketimbang yang lain.
h. Jika benda-benda yang homogen, yang semuanya mempunyai
batas ditambahkan bersama, maka jumlahnya juga akan terbatas.
D. PENUTUP
E.

27
Sirajuddin, “Filsafat Islam ...” hlm. 57

15

Anda mungkin juga menyukai