Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

SEJARAH PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN ISLAM 1

“Pemikiran Pendidikan K.H Hasyim Asy’ari Dalam Sejarah”

DOSEN PEMBIMBING :

Dr. Muhammad Idris Tundru, S.Ag. M.Ag.

Disusun Oleh :

Rachmutia

(15.2.3.042)

Jurusan :

Pendidikan Agama Islam (PAI 2)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI(IAIN) MANADO 1439

H/2017 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya menyelesaikan
makalah ini yang Alhamdulillah selesai tepat pada waktunya yang berjudul :
“Pemikiran Pendidikan K.H Hasyim Asy‟Ari” Makalah ini berisikan tentang
pemikiran-pemikiran pendidikan K.H Hasyim Asy‟ari. Saya menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran dari Dosen dan Teman-teman yang bersifat membangun selalu saya
harapkan demi lebih baiknya makalah ini.Akhir kata, semoga makalah ini
bisa dapat bermanfaat dan bisa menambah wawasan bagi kita semua dan
smoga Allah SWT senantiasa meridohi segala usaha kita.

Manado, 14 Muharam 1439 H

Rachmutia
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. Biografi K.H Hasyi Asy‟ari..........................................................................2

B. Pemikiran Pendidikan K.H Hasyim Asy‟ari.................................................6

BAB III ANALISIS .............................................................................................21

BAB IV PENUTUP..............................................................................................23

A. Kesimpulan.................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan hendaknya mampu mengantarkan umat manusia menuju


kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya
mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebijakan dan norma-
norma islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat islam
harus maju dalam berbagai keilmuan agar kita tidak di bodohi oleh bangsa
atau umat yang tidak searah dengan kita. Umat islam harus sejalan dengan
sesuai nilai dan norma-norma islam.

Menurut ilmu K.H Hasyim Asy‟ari merupakan ibadah untuk mencari ridha
Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia
dan akhirat. Karenanya belajar harus di niatkan untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan
kebodohan.

Dalam dunia pendidikan banyak sekali terjadi persamaa pendapat dan


perbedaan khususnya dalam hal konsep pendidikan. Dalam pemikiran
pendidikan K.H Hasyim Asy‟ari lebih fokus kepada persoalan-persoalan etika
dalam mecari dan menyebarkan ilmu. Beliau berpendapat bahwa bagi seorang
yang akan mencari ilmu pengetahuan, yang pertama harus ada pada diri
sendiri mereka adalah semata-mata untuk mencari keridhoan Allah Swt.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas pemakalah dapat menguraikan beberapa masalah :
1. Bagaimana Biografi KH. Hasyim Asy‟ari ?
2. Apa saja pemikiran-pemikirannya dalam pendidikan islam ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi K.H. Hasyim Asy’ari

Nama lengkap K.H. Hasyim Asy‟ari adalah Muhammad Hasyim Asy‟ari


Ibn „Abd al-Wahid ibn „Abd al-Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona-
ibn al-Rahman yang dikenal Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyo-ibn Abdulla ub
Abdu al-„Aziz ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden „Ain al-Yaqin
yang disebut dengan Sunan Giri.1 Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah
Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa Kliwon pada tanggal 14 Februari
1871. 2 K.H. Hasyim Asy‟ari wafat pada jam 03:45 dini hari pada tanggal 25
Juli 1947 bertepatan dengan 7 Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun.3

Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri,


terutama pedidikan dibidang ilmu-ilmu Al-qur‟an dan literatur agama lainnya.
Setelah itu, selain itu ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok
pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shona, Siwalan Buduran, Langitan
Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K.H. Hasyim Asy‟ari
merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K.H.
Ya‟qub yang merupakan Kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya‟qub lambat laun
merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy‟ari dalam perilaku
kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan puterinya,
Khadijah.4 Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy‟ari
melangsungkan pernikahan dengan putri K.H. Ya‟qub tersebut. 5

1
K.H. Hasyim Asy‟ari, Adab Ta‟lim wa Muta‟allim., h. 3
2
K.H. Hasyim Asy‟ari. Baca juga,Ridjaluddin Fadjar Nugraha, “Peranan K.H. Hasyim
Asy‟ari dalam kebangkitan Islam di Indonesia”, Skripsi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,
1983), h.7
3
Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammda Hasyim Asy‟ari, (Yogyakarta :
Titian Ilahi Press, 1994) h. 73
4
Sebagaimana lazimnya tradisi pesantren, jika sang kiai mengetahui ada santrinya yang
cerdas, pintar, tulus, dan potensial, maka sang kiai menjodohkannya dengan anaknya. Begitu juga
terhadap Hasyim Asy‟ari, Kiai Ya‟qub pada suatu hari memanggil santrinya itu.”Hasyim, saya
Setelah nikah, K.H. Hasyim Asy‟ari bersama isterinya segera melakukan
ibadah haji. Sekembalinya dari tanag suci, mertua K.H Hasyim Asy‟ari
mengajurkanya untuk menuntut ilmu di makkah. Dimungkinkan hal ini
didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan
cukup ilmunya. Jika belum mengaji di makkah selama bertahun-tahun. Di
makkah itu, K.H Hasyim Asy‟ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu,
diantaranya adalah ilmu fiqih Syafi‟yah dan ilmu hadist, terutama literatur
Shahih Bukhari dan Muslim.6

Di saat K.H Hasyim Asy‟ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah


menetap 7 bulan di makkah, isterinya meninggal dunia pada waktu melahirkan
anak pertamanya sehingga bayinya pun tidak bisa di selamatkan. Sungguhpun
demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut
ilmu. K.H Hasyim Asy‟ari semasa tinggal dimakkah berguru kepada Syekh
Ahmad Amin al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan
al-Atthar, Syekh Sayyid Yamay, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqaf, Sayyid
Abbas Maliki, Sayyid Abdullah al-Zawawy, Syekh Shaleh Bafadhal, dan
Syekh Sultan Hasyim Dagastani.7 Ia tinggal di makkah selama 7 tahun dan
pada tahun 1900 M atau 1314 H K.H Hasyim Asy‟ari pulang ke kampung
halamannya. Ditempat itu, ia membuka pengajaran keagamaan yang dalam
waktu relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa. Keberhasilan K.H
Hasyim Asy‟ari dalam membuka kajian keagamaan ini di dukungoleh faktor
krpribadiannya yang luhur dan pantang putus asa, disamping itu ia memiliki
kekutan spiritual. James Fox, seorang Antropolog dari Australian Nationa

mengerti dan tahu bahwa engkau seorang santri yang benar-benar rajin dan sungguh-sungguh
dalam belajarnya. Saya lebih tahu dan mengerti bahwa setengah dari pada sifat-sifatmu, ialah tiada
suka membantah akan perintah guru. Hal itu telah saya ketahui benar-benar. Karena itu, saya
menghendaki..menjodohkan kamu dengan anak saya sendiri yang bernama Khadijah, bagaimana
pendapatmu?” Baca Ridjalludin Fadjar Nugraha, h. 16-17
5
Kholid Mawardi, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan : Moralitas Pemikiran
Pendidikan K.H Hasyim Asy‟ari, (Yogyakarta: Insania, 2008), h.2
6
Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H Hasyim Asy‟ari, (Yogyakarta:
LKIS, 2000), h.18
7
Abu Bakar Aceh, Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta:
Panitia Buku Peringatan K.H.A. Wahid Hasyim, 1975), h.35
University (ANU) yang menganggap bahwa K.H Hasyim Asy‟ari adalah
seorang wali, sebagaimana dalam tulisannya :

“... Jika kiai pandai masih di anggap sebagai wali, ada satu figur dalam
sejarah Jawa kini yang dapat menjadi kadidat utama untuk peran wali. Ini
adalah ulama besar, Hadratus Syekh-Kiai Hasyim Asy‟ari. Memiliki ilmu dan
di pandang sebagai sumber berkah bagi mereka yang mengetahuinnya,
Hasyim Asy‟ari semasa hidupnya menjadi pusat pertalian yang
menghubungkan para kiai utama seluruh Jawa. Kiai Hasyim juga dianggap
memiliki keistimewaan luar biasa, menurut garis keturunannya, tidak saja
berasal dari garis keturunan ulama pandai, dia juga keturunan Prabu
Brawijaya.” 8

Bagi Hasyim Asy‟ari, semangat mengembangkan ilmu pengetahuan tidak


ada putus-putusnya. Ia selalu merasa tidak puas terhadap apa yang di capai
pada saat itu. Semangat ini kemudian mendorong Hasyim Asy‟ari untuk
mendirikan pondok pesantren tebu ireng, pada tanggal 6 februari 1906.
Pesantren yang didirikan tersebut tidak berapa lama kemudian berkembang
menjadi pesantren yang terkenal di Nusantara menjadi tempat Menggodok
kader-kader ulama untuk wilayah jawa dan sekitarnya.9

Sejak masih di pondok, ia telah di percayai untuk membimbing/mengajar


santri baru. Ketika di makkah, ia sempat mengajar. Demikian pula ketika
kembali ke tanah air, diabadikan seluruh umur hidupnya untuk agama dan
ilmu.10

Aktivitas K.H Hasyim Asy‟ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan


organisasi Nahdlatul Ulama, bersama dengan ulama besar di jawa lainnya,

8
Lihat James J. Fox, “Ziarah Vitis to the tobs of the wali, the Founders of Islam on
Jawa”, dalam M.C. Rickles (ed). “Islam in the Indonesia Social Countext”, (Clayton, Victoria:
Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1991), h. 30, dalam Lathiful Khuluq, Fajar
Kebangunan Ulama: Biografi K.H Hasyim Asy‟ari, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h.20
9
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Ar-Ruzz Media (Yogyakarta: 2006), h. 86
10
Ensiklopedia Islam II, h. 102-3
seperti Syekh Abdul Wahab dan Syekh Bishri Syansuri, pada tanggal 31
Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi ini di dukung oleh para ulama,
terutama ulama Jawa, dan komunitas pesantren. Memang pada awalnya ,
organisasi ini dikembangkan untuk merespon wacana khalifah dan gerakan
purifikasi yang ketika itu dikembangkan Rasyid Ridha di Mesir, tetapi pada
perkembangannya kemudian organisasi itu melakukan rekontruksi sosial
keagamaan sosial keagamaan yang lebih umum.11

Tidak banyak para ulama dari kalangan tradisional yang menulis buku.
Akan tetapi tidak demikian dengan K.H. Hasyim Asy‟ari. Tidak kurang dari
sepuluh kitab disusunya,antara lain :12

1. Adab al-Alim wa al-Muta‟allim fima yahtaj ilah al-Muta‟allim fi


Ahuwal Ta‟allum wa ma Yataqaff al-Mu‟allim fi Maqamat Ta‟limih.
2. Zidayat Ta‟liqat, Radda fiha Mandhumat al-Syaikh “abd Allah bin
Yasin al-Fasuranni Allati Bihujubiha „Ala ahl Jami‟iyyah Nadrathul
Ulama.
3. Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna al-Maulid al-Munkarat.
4. Al-Risalat al-Jami‟at,sharh fiha ahwaal al-Mautta wa Asyinath al-
Sa‟at ma‟Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid‟ah.
5. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin,bain fihi Ma‟na al-
Mahabbah Lirasul Allah wa ma Yata‟allaq biha Man Ittaba‟iha wa
ihya al-Sunnatih.
6. Hasyiyah „ala fath al-Rahman bi Syarth Risalat al-Wali Ruslan li
Syaikh al-Islam Zakariya al-Ansbari
7. Al-Durr al-Muntasirah fi Masail al-Tis‟i Asyrat,Sharh fiha Masalat al-
Thariqah wa al-Wilayah wa ma Yata‟Allaq bihima min al-Umur al-
Muhimmah li Ahl al-Thariqah.

11
Abu Bakar Aceh, Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta:
Panitia Buku Peringatan K.H.A. Wahid Hasyim, 1975), h.473
12
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers 2002), h. 155
8. Al-Tibyan fi al-Nahy „an Muqathi‟ah al-Ikhwan, bain fih ahammiyat
shillat al-rahim wa Dhurar qath‟iha
9. Al-Risalat al-Tauhidayah, wahiya Risalah Shaghiratfi Bayan „Aqiqah
Ahl Sunnah wa al-Jamaah.
10. Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-“aqaid.13

Disamping bergerak dalam dunia pendidikan, Kyai Hasyim menjadi


printis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU (Nahdlatul Ulama),
sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian lain ia juga bersikap kofrontatif
terhadap penjajah belanda. Ia, misalnya menolak menerima penghargaan dari
pemerintah Belanda, bahkan pada saat revolusi fisik, ia memyerukan jihad
melawan penjajah dan menolak bekerja sama dengannya. Sementara pada
masa penjajahan jepang, ia sempat ditahan dan di asingkan ke Mojokerto.
Jabatan yang pernah diterimanya adalah menjadi ketua Masyumi, ketika NU
bergabung di dalamnya. Ia wafat di tebu ireng,jombang dalam usia 79 Tahun,
tepatnya tanggal 25 juli 1947 H/7 Ramadhan 1366 H.14

B. PEMIKIRAN TENTANG PENDIDIKAN

Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy‟ari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim fima Yahtaj Ilah al-
Muta‟alim fi Ahuwul Ta‟allum wa ma Yataqaff al-Mu‟alim fi Maqamat
Ta‟limih yang di cetak pertama kali pada tahun 1945 H. Sebagaimana
umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan etika.
Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya.
Keahliannya dalam bidang hadist ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
Sebagai bukti adalah dikemukakannya beberapa hadist sebagai dasar dari
penjelasannya, disamping beberapa ayat al-Qura‟an dan pendapat para ulama.

13
. Hasyim Asy‟ari,Adab Ta‟lim wa Muta‟allim, h. 45
14
. Muhammad Asad Syihab,Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari,(Yogyakarta :
Titian Ilahi Press,1994), h. 73
Untuk memahami pokok pikirannya dalam kitab tersebut perlu pula
diperhatikan latar belakang ditulisnya kitab tersebut. Penyusunan karya ini
boleh jadi didorong oleh situasi pendidikan yang padat saat itu mengalami
perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional)
yang sudah mapan kedalam bentuk baru (modern) akibat dari pengaruh sistem
pendidikan barat (Imperalis Belanda) di terapkan di Indonesia. Karyanya ini
merujuk pada kitab-kitab yang ditelaahnya dari berbagai ilmu yang langsung
diterima dari para gurunya ditambah dengan berbagai pengalaman yang
pernah di jalaninya.

Ia memulai tulisannya dengan sebuah pendahuluan yang menjadi


pengantar bagi pembahasan selanjutnya. Kitab tersebut tersebut terdiri dari 8
Bab,yaitu : keutamaan ilmu serta keutamaan belajar mengajar, etika yang
harus diperhatikan dalam belajar mengajar, etika seorang murid terhadap
guru,etika murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomani
bersama guru; etika yang harus di pedomani seorang guru, etika guru ketika
akan mengajar, etika guru tegadap murid-muridnya dan etika terhadap buku,
alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dari
delapan bab tersebut dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok yaitu :15
signifikan pendidikan, tugas dan tanggung jawab seorang murid,dan tugas dan
tanggung jawab seorang guru.16 Sedangkan penelitian terakhir menelusuri
konsep etika belajar-mengajar dalam prespektif K.H Hasyim Asy‟ari dan
implikasinya bagi dunia pendidikan.17

15
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Isla, h.156
16
Hasyim Asy‟ari,Adab Ta‟lim wa Muta‟allim, h. 101
17
Nurdin, “Etika belajar-mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran K.H Hasyim
Asy‟ari dalam Kibat Adab Al-Alim wa al-muta‟alim” Tesis, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,
1999)
Signifikan Pendidikan

Dalam membahas masalah ini, ia banyak mengutip ayat-ayat al-Qur‟an


yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu dan orang yang ahli ilmu. Tidak
cukup hanya ayat-ayat al-Qur‟an, pembahasan dalam bab pertama tersebut
dilengkapi dengan berbagai hadist Nabi dan pendapat para ulama,yang
kemudian di ulas dan dijelaskan dengan singkat dan jelas. Ia
misalnya,menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan adalah
mengamalkannya. Hal yang demikian dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki
menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan diakhirat kelak.
Mengingat begitu pentingnya, maka syariat mewajibkan untuk menuntutnya
dengan memberikan pahala yang besar. Pada bagian lain juga dijelaskan
bahwa ilmu merupakan sifat yang menjadikan jelas identitas pemiliknya.18

Dalam tulisan selanjutnya di kemukakan bahwa bertauhid mengharuskan


adanya keimanan. Maka barang siapa yang beriman maka ia harus bertauhid.
Keimanan mewajibkan adanya syariat,sehingga orang yang tidak menjalankan
syariat maka ia berarti tidak beriman dan tidak bertauhid. Sementara orang
yang bersyariat harus beradab. Demikan orang yang beradab berarti juga
bertauhid, beriman dan bersyariat.

Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menunutut ilmu,yaitu :19
pertama bagi murid hendaknya berniat suci untuk menuntut ilmu,jangan
sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau
menyepelekannya,kedua bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya harus
meluruskan niat terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata-semata.
Disamping itu, yang dianjurkan hendaknya sesuai dengan tindakan-tindakan
yang di perbuat.

18
Zainal Munasichin, Resolusi Jihad; Sejarah Yang di Lupakan, (Jakarta: DPP
PKB.2011), h.22
19
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.156
Dalam penjelasannya,ia tidak memberikan definisi secara khusus tentang
pengertian belajar. Dalam hal ini yang menjadi titik penekananya adalah pada
pengertian bawah belajar itu merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah
yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat. Kerenanya belajar harus di niatkan untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai islam,bukan hanya sekedar menghilangkan
kebodohan.

a. Tugas dan Tanggung Jawab Murid

Dalam menerapkan tugas dan tanggung jawab murid harus memenuhi


beberapa etika :

Etika yang pertama, Etika yang harus diperhatikan dalam belajar. Dalam
hal ini terdapat sepuluh etika yang di tawarkannya adalah20 membersihkan hati
dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian, membersihkan niat, tidak
menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qannah terhadap segala
macam pemberian dan cobaan,pandai mengatur waktu, menyerdehanakan
makanan dan minuman, bersikap hati-hati, menghindari makanan dan
minuman yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan, menyedikitkan
waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan dan meninggalkan hal-hal yang
kurang berfaedah.21 Dalam hal ini terlihat bahwa ia lebih menekankan pada
pendidikan rohani atau pendidikan jiwa,meski demikian pendidikan jasmani
tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur waktu makan dan minum
dan sebagainya.

Etika yang kedua, Etika seorang murid terhadap guru. Dalam membahas
masalah ini, ia menawarkan dua belas etika, yaitu :22 hendaknya selalu
memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh
guru, memilih guru yang wara (berhati-hati)di samping profesioanal,

20
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.157
21
K.H. Hasyim Asy‟ari,Adab Ta‟lim wa Muta‟allim, h. 24-8
22
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h. 158
mengikuti jejak-jejak guru,memuliakan guru, memperhatikan apa yang
menjadi hak guru, bersabar atas kekerasan guru, berkunjung kepada guru pada
tempatnya atau mintalah ijin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa harus
tidak pada tempatnya, duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan
dengan guru, berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut, dengarkan segala
fatwanya, jangan sekali-kali menyela ketika sedang menjelaskan dan gunakan
anggota yang kanan apabila menyerahkan sesuatu kepadanya. 23

Etika seperti ini masih banyak di jumpai pada pendidikan pesantren,tetapi


etika seperti yang dijelaskan sangat langka ditengah budaya konsep yang
ditawarkannya sudah tidak relevan, akan tetapi masalah yang melingkupinya
kian komplek seiring dengan munculnya berbagai masalah pendidikan Islam
itu sendiri. Meskipun demikan, bila dibandingkan dengan konsep pendidikan
islam lainnya, maka pemikiran yang ditawarkannya terlihat lebih maju. Hal
ini, misalnya terlihat dalam memilih guru hendaknya yang profesional,
meperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.

Etika yang ketiga, Etika Murid Terhadap Pelajaran. Murid dalam


menuntut ilmu hendaknya memperhatikan etika sebagai berikut :24
memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ain untuk dipelajari,harus
mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu fardhu ain berhati-hati dalam
menanggapi ikhtilaf para ulama, mendiskusikan dan menyetorkan hasil
belajar kepada orang yang dipercayainya, senantiasa menganalisa dan
menyimak ilmu,pancangkan cita-cita yang tinggi, bergaulah dengan orang
yang berilmu lebih tinggi, ucapkan salam apabila sampai ditempat
sekolah/madrasah, bila terdapat hal-hal yang belum di pahami hendaklah
ditanyakan, bila kebetulan bersamaan dengan banyak teman maka sebaiknya
jangan mendahului antrian kalau tidak mendapatka ijin, kemanapun kita pergi
dan dimanapun kita berada jangan lupa membawa catatan, pelajari pelajaran

23
Abbuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada 2005), h.133
24
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.159
yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah) tanamkan rasa
antusias/semangat dalam belajar. Penjelasan tersebut diatas seakan membuka
mata kita akan sistem pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat kolot.
Hanya terjadi komunikasi satu arah, memasung kemerdekaan berpikir dan
sebagainya.25

Memang tidak dinafikan adanya model pendidikan yang hanya


mengandalkan pengetahuan yang disampaikan oleh guru. Akan tetapi,
sebenarnya bukanlah begitu maksudnya. Boleh jadi karena begitu ketatnya
etika yang diterapkan. Sehingga dalam beberapa kasus menutup etika yang
lainnya. Sebagai satu contoh adalah, kurang adanya budaya berdiskusi dan
tanya jawab dalam proses belajar mengajar di pesantren, bukan berarti bahwa
pemikiran tersebut akan terpasung, akan tetapi karena dalam etika sebelumnya
dijelaskan bahwa murid dilarang menyela penjelasan guru atau murid harus
mendengarkan fatwa guru dan sebagainya.26 Maka kemudian etika tersebut di
salah pahami pengertiannya dengan tertutupnya pintu budaya bertanya dan
berdiskusi di lingkungan pendidikan pesantren. Fenomena tersebut dilengkapi
dengan adanya ketakutan bahwa apabila tidak memperhatikan apa yang
dijelaskan guru, maka ilmunya tidak membawa berkah dan tidak bermanfaat,
maka semakin menambah murid untuk selalu menurut apa yang dikatan guru.
Guru dianggap selalu benar dan tidak boleh dipertanyakan kebenaran ilmunya
kerana ilmu yang diajarka bersumber dari kitab, dimana kitab tersebut
bersumber pada al-Qur‟an dan Hadist. Dari sini kemudian muncul suatu
pemahaman dikalangan pendidikan tradisional untuk selalu menerima apa
yang selalu di berikan . inilah alasan yang bersifat epistimologi mengapa
sistem pendidikan di pesantren terlihat seolah-olah kaku. Akan tetapi bila
dilihat pemikiran yang ditawarkannya, maka pemahaman yang salah tersebut
segera berubah, menjadi terbuka, inovatif, dan progresif.

25
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.160
26
Taymiz Buharnuddin, Akhlak Pesantren Pandangan K.H Hasyim Asy‟ari, (Yogyakarta:
Ittaqa Press, 2001), h. 68
Dalam membahas tentang ilmu yang wajib dipelajari yang bersifat fardhu
ain, maka gagasan tersebut sejalan dengan pemikiran al-Ghazali. Ia
memberikan kesempatan secara luas kepada para santrinya untuk mengambil
dan mengikuti pendapat para ulama. Akan tetapi terdapat catatan yang mesti
diperhatikan, bahwa dalam menanggapi ikhtilaf para ulama harus berhati-hati.
Demikian pula dengan budaya bertanya dan berdiskusi, sekaligus evaluasi di
perkenalkan dan disosialisasikan dengan etika tersendiri, begitu pula dengan
etika-etika lainnya.27

b. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru.

Dalam menerapkan tugas dan tanggung jawab guru harus memenuhi


beberapa etika yaitu :

Etika yang pertama, Etika Seorang Guru. Tidak hanya murid yang
dituntut untuk beretika, apalah artinya etika diterapkan kepada murid jika guru
yang mendidiknya tidak mempunyai etika. Oleh karena itu,ia juga
menawarkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh guru, antara lain :28
senantiasa mendekatkan diri kepada Allah ,senantiasa takut kepada Allah,
senantiasa bersikap tenang, senantiasa berhati-hati, senantiasa tawadhu,
senantiasa khusu‟, mengadukan segala persoalanya kepada Allah Swt,tidak
menggunakan ilmu untuk meraih keduniawian semata, tidak selalu
memanjakan anak didik, berlaku zuhud dalam kehidupan dunia, berusaha
menghindari hal-hal yang rendah, menghindari tempat-tempat yang kotor dan
tempat ma‟syiat, mengamalkan sunnah Nabi, mengistiqamahkan membaca al-
Qur‟an, bersikap ramah, ceria,dan suka meburkan salam, membersihkan diri
dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai Allah, menumbuhkan semangat
untuk menambah ilmu pengetahuan, tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara
menyombongkannya dan membiasakan menulis, mengarang dan meringkas.

27
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta 2008), h.184
28
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.161
Menanggapi gagasan yang dikemukakannya diatas, maka yang pertama
terlihat adalah nuansa tasawufnya. Hal ini tidak mengherankan, sebab dalam
perilaku kehidupan, ia lebih cenderung pada kehidupan seorang sufi.
Demikian juga dengan ilmu yang ditekuni ketika menimba ilmu,khususnya di
makkah, lebih mendalami bidang tasawuf dan hadis, maka kedua ilmu itu pula
mewarnai gagasan dan pemikirannya khususnya dalam bidang pendidikan.
Meskipun demikian, tidak hidup dalam dunia sufi yang jauh dari kehidupan
pada umumnya, akan tetapi kehidupannya akan justru menyatu dengan
masyarakat dan berusaha memberikan jawaban terhadap tasawuf dan hadist,
maka kedua ilmu itu pula yang mewarnai gagasan dan pemikirannya,
khususnya dalam bidang pendidikan. Meskipun demikian ia tidak hidup dalam
dunia sufi yang jauh dari kehidupan pada umumnya, akan tetapi kehidupannya
justru menyatu dengan masyarakat dan berusaha memberikan jawaban
terhadap permasalahan yang melingkupinya.

Catatan menarik yang perlu dikedepankan dalam membahas masalah ini


adalah29 etika atas statement yang terakhir, dimana guru harus membiasakan
diri menulis, mengarang,dan meringkas. Untuk menulis dan meringkas
mungkin masih jarang dijumpai. Ini pula yang dapat dijadikan sebagai salah
satu faktor mengapa sulit dijumpai tulisan-tulisan berupa karya-karya ilmiah.
Sejak awal, ia memandang perlu adanya tulisan dan karangan, sebab lewat
tulisan itulah ilmu yang dimiliki seseorang akan terabadikan dan akan banyak
memberikan manfaat bagi generasi selanjutnya. Di samping itu juga akan
terkenang sepanjang masa. Namun, tradisi menulis ini belum membudaya di
lingkungan pesantren. Ia sebenarnya sudah memulai dan membuktikan dengan
beberapa karya sebagaimana tersebut diatas.

Sebenarnya menarik untuk dikupas, mengapa budaya menulis kurang


mendapatkan tempat di lingkungan pendidikan tradisional ?. jawab dari
permasalahan ini adalah bahwa ilmu-ilmu yang dikaji dan dipelajari di

29
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.166
lingkungan pesantren adalah ilmu-ilmu agama, di mana materi dan metodenya
hampir telah mencapai final, sehingga pengembangan terhadap ilmu-ilmu
tersebut bisa dikatakan tertutup. Disamping itu,tuntutan masyarakat atau
keadaan masyarakat kurang memberikan motivasi,sebab budaya yang
berkembang masih pada tataran masyarakat atau keadaan masyarakat kurang
memberikan motivasi, sebab budaya yang berkembang masih pada tataran
budaya mendengarkan dari pada budaya membaca. Namun yang jelas,untuk
saat sekarang,budaya menulis pula merambah dunia pesantren, meskipun
tulisan yang dihasilkan bukan berupa kitab-kitab yang dikaji pada pesantren,
akan tetapi tulisan-tulisan yang membicarakan permasalahan sosial
keagamaan disekelilingnya.

Etika yang kedua, Etika Guru Dalam Mengajar. Seorang guru ketika
hendak mengajar dan ketika mengajar perlu memperhatikan beberapa etika.
Dalam hal ini ia menawarkan gagasan tentang etika guru ketika mengajar
sebagai berikut :30 mensucikan diri dari hadats dan kotoran,berpakaian yang
sopan dan rapi dan usahakan berbau wangi, berniatlah beribadah ketika dalam
mengajarkan ilmu kepada anak didik,sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh
Allah, biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan, berilah salam
ketika masuk dalam kelas, sebelum mengajar mulailah terlebih dahulu dengan
berdoa untuk para ilmu yang telah lama meninggalkan kita, berpenampilan
yang kalem, dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata, manjauhkan
diri dari bergurau dan banyak tertawa, jangan sekali-kali mengajar dalam
kondisi lapar, marah, mengantuk dan sebagainya. Pada waktu mengajar
hendaklah mengambil tempat duduk yang strategis,usahakan tampilannya
ramah,lemah lembut, jelas, tegas dan lugas serta tidak sombong dalam
mengajar, hendaklah mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuaikan
dengan profesional yang dimiliki, jangan sekali-kali mengajarkan hal-hal yang
bersifat syubhat yang bisa membinasakan, perhatikan masihng-masing
kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu lama, menciptakan

30
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.167
ketenangan dalam ruangan belajar, menasehati dan menegur dengan baik
apabila terdapat anak didik yang bandel, bersikaplah terbuka terhadap
berbagai macam persoalan-persoalan yang ditemukan, berilah kesempatan
kepada peserta didik yang datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasannya
agar tahu apa yang dimaksud, dan apabila sudah selesai berilah kesempatan
kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum di
pahami.

Terlihat bahwa apa yang ditawarkannya lebih bersifat pragmatis. Artinya,


apa yang ditawarkan berangkat dari praktek yang selama ini dialaminya. Inilah
yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh bapak
santri ini.

Etika yang ketiga, Etika Guru Bersama Murid. Guru dan murid tidak
hanya masing-masing mempunyai etika yang berbeda antara satu dengan
31
lainnya. Akan tetapi diantara keduanya juga mempunyai etika yang sama.
Sama-sama harus dimiliki oleh guru dan murid. Diantara etika tersebut adalah
: berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan
syariat islam, menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian,
hendaknya selalu melakukan itrospeksi diri, mempergunakan metode yang
mudah dipahami murid, membangkitkan antusias peserta didik dengan
memotivasinya, memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu,selalu
memperhatikan kemampuan peserta didik, tidak selalu memunculkan salah
seorang peserta didik dan menafikan yang lainnya, mengarahkan minat peserta
didik, bersikap terbuka dan lapang dada terhadap peserta didik, membantu
memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik, bila terdapat peserta didik
yang berhalangan hendaknya mencari hal ihwal kepada teman-temannya,
tunjukan sifat arif dan penyayang terhadap peserta didik dan tawadhu.

31
Abu Bakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H Hasyim Asy‟ari Biografi Singkat, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2009), h.3
c. Etika Terhadap Buku,Alat Pelajaran dan Hal-Hal Yang Berkaitan
Dengannya.

Satu hal yang paling menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang
biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan pada umumnya adalah32 etika
terhadap buku dan alat-alat pendidikan. Kalupun ada etika untuk itu,maka
biasanya itu bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis. Sering pula itu
dianggap sebagai aturan yang sudah umum berlaku dan cukup diketahui oleh
masing-masing individu.

Etika khusus yang diterapkan untuk mengawali suatu proses belajar


maupun etika yang harus diterapkan terhadap kitabatau buku yang dijadikan
sebagai sumber rujukan menjadi catatan tersendiri, sebab hal ini tidak
dijumpai pada etika-etika belajar pada umumnya.

Karakteristik Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari

Hasan Langgulung membuat polarisasi terhadap karekteristik pemikiran


pendidikan. Polarisasi itu didasarkan atas literatur-literatur kependidikan yang
ditulis oleh sejumlah penulis muslim. Menurutnya, ada empat corak
pemikiran pendidikan islam yang di pahami. Pertama, sajian dalam
spesifikasi fiqih, tafsir dan hadist yang kemudian mendapat perhatian
tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Kedua, corak
pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Ketiga, corak pemikiran
pendidikan filosofis. Keempat, corak pemikiran pendidikan Islam yang
berdiri sendiri dan berlainan dengan corak diatas, tetapi ia tetap berpegang
pada semangat Al-qur‟an dan hadist. Corak yang terakhir ini terlihat pada
karya Muhammad ibn Sahnun (wafat 256 H/871 M) dengan karyanya adab

32
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.168
al-Mu‟allim, dan Burhan al-Din al-Zarnuji (wafat 571 atau 591 H) dengan
karyanya Ta‟alim al-Muta‟allim Thariq al-Ta‟allum.33

Jika mengacu pada tawaran Hasan Langgulung di atas Adab al-alim wa al-
muta‟allim dapat digolongkan pada corak terakhir. Hal ini didasarkan ata
kenyataan yang ada dalam kita tersebut yang tidak memuat kajian-kajian
dalam spesifikasi fiqih, sastra, dan filsafat. Kitab ini semata-semata memberi
petunjuk praktis bagi orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan.
Selain itu, Adab al-alim wa al-muta‟allim mempunyai banyak kesamaan
dengan Ta‟allim al-Muta‟allim karya al-Zarnuji dan lebih-lebi dengan
Tadzkirat al-Sami wa al-Mutakalim fi adab al-alim wa al-muta‟allim karya
ibn Jama‟ah. Kesamaan ini paling tidak adalah pada tingkat sama-sama
membahas secara khusus ide-ide kependidikan dengan mengutip pandangan
sejumlah ulama.

Disisi lain karakter pemikiran pendidikan K.H Hasyim Asy‟ari dapat


dimasukkan ke dalam garis besar mazhab Syafi‟iyah. Bukti yang cukup kuat
untuk menunjukkan hal itu adalah banyaknya syafi‟iyah, termasuk imam al-
Syafi‟i sendiri, yang seringkali di kutip oleh penulis kitab ini ketimbang
ulama mazhab yang lain. Dengan pengungkapan ide-ide mazhab yang di
anutnya, menurut Abd al-Mu‟idz Khan, pasti mempengaruhi pemikirannya
tentang pendidikan.34

Kecenderungan lain dalam pemikiran K.H Hasyim Asy‟ari adalah


mengetehkan nilai-nilai estis yang bernapaskan sufistik. Kecenderungan ini
dapat terbaca dalam gagasan-gagasannya, misalnya dalam keutamaan
menuntut ilmu. Untuk mendukung itu dapat dikemukakan bahwa bagi K.H
Hasyim Asy‟ari keutamaan ilmu yang sangat istimewa adalah bagi orang

33
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), cet
ke-2, h.123-129
34
Abd al-Mu‟idz Khan dalam Affandi Mochtar, The method of Muslim Learning as
Illustrated in al-Zarnuji‟s Ta‟alim al-Muta‟allim Tariq al-Ta‟allum, Tesis, (Montreal : McGill
Univre)
yang benar-benar li Allah Ta‟ala. Kemudian, ilmu dapat diraih jika jiwa
orang yang mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari segala sifat yang jahat
dan aspek-aspek keduniawian.35

Relasi Peserta Didik-Pendidik

Untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, K.H Hasyim Asy‟ari


menyerankan kepada peserta didik untuk memperhatikan sepuluh etika yang
yang mesti dicamkan ketika belajar. Kesepuluh etika itu diantaranya adalah
membersihkan hati dari berbagai penyakit hati dan keimanan, memiliki niat
yang tulus bukan mengharapkan sesuatu yang material, memanfaatkan waktu
dengan baik, besabar dan memiliki sikap qana‟ah, pandai membagi waktu,
tidak terlalu banyak makan dan minum, bersikap hati-hati, menghindari
36
makanan yang menyebabkan kemalasan dan kebudayaan. Atas dasar
klasifikasi tersebut, menjadi semakin jelas bahwa K.H Hasyim Asy‟ari
menempatkan corak kependidikannya sebagai corak yang berbeda dari corak-
corak kependidikan yang lain, yakni tidaklah bercorak progresif ataupun
esensialis.

Perbedaan-perbedaan ini di mungkinkan oleh karena adanya titik pandang


yang tidak sama dalam memahami manusia. Baik aliran progrevisme maupun
esensialisme, sama-sama mendasarkan pandangannya pada penelitia-
penelitian yang bersifat fisik-empiris. Sedangkan K.H Hasyim Asy‟ari identik
dengan pemikiran Al-Ghazali menyimpulkan bahwa subtansi manusia bukan
terletak pada unsur fisiknya, tetapi pada hatinya. Sebagai pandangan
kependidikan yang di dasarkan atas hati, memang dengan sendirinya akan
menghadapi kesulitan tersendiri, terutama di kontekskan dalam usaha
verifikasi dan pembuktian ilmiah. Sebab, usaha verifikasi dan pembuktian

35
Hasyim Asy‟ari,Adab Ta‟lim wa Muta‟allim, h.22-23
36
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2004), h. 150


ilmiah membutuhkan kerangka empiris sehingga agak sulit untuk mecari titik
temunya.

Kecenderungan para filosof barat dalam memandang manusia lebih


banyak dari sisi antroposentris, sedangkan filosof islam dalam hal ini,
misalnya Al-Ghazali memandangnya dari sisi teosentris. Dengan demikian,
dalama pendidikan islam, tugas pendidik tidak hanya mencerdaskan pikiran
sebagaimana aliran progrevisme atau menyiapkan bahan pengajaran yang
baik sebagaimana dan kebodohan, tidak memperbanyak tidur, dan
menghindari hal-hal yang kurang bermanfaat.

Untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baik, peserta didik mesti


memilih dan mengikuti pendidik yang baik pula. Dalam hal ini, perlu adanya
batasan atau karakteristik pendidik yang baik. K.H Hasyim Asy‟ari
menyebutkan ciri-ciri tersebut, yaitu37 cakap dan profesional (kalimat
ahliatuh), kasih sayang, berwibawa, menjaga diri dari hal-hal yang
merendahkan martabat, berkarya, pandai mengajar, dan berwawasan luas.
Kehati-hatian dalam memilih pendidik ini di dasarkan atas pandangannya
bahwa ilmu itu sama dengan agama. Oleh karena itu, peserta didik harus tahu
dari mana agama itu diperoleh. Tentu saja persyaratan-persyaratan itu tidak
selamanya secara keseluruhan ditemukan dalam seorang guru. Adanya
persyaratan-persyaratan itu tampaknya lebih di fokuskan pada kerangka yang
dapat menuntun peserta agar kritis selektif dalam memilih guru sehingga
proses pengalaman kependidikannya nanti dapat memberi hasil.

Peserta didik harus memiliki anggapan (image) dalam dirinya bahwa


pendidik itu mempunyai kelebihan tersendirinya bahwa pendidik itu
mempunyai kelebihan tersendiri dan sangat berwibawa, sehingga peserta

37
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004), h. 151-153
didik harus mengetahui dan mengamalkan etika berbicara dengan pendidik.
Bahkan, ketika peserta didik berangkat ke pendidik hendaknya bersedekah
dan berdoa terlebih dahulu untuk pendidik.

Peserta didik harus senantiasa sabar terhadap segala kekasaran dan


kesalahan pendidik, selama tidak menjadi kebiasaan dan tidak menggoyahkan
keimanan. Meski sikap yang ditampilkan pendidik tidak mencerminkan etika
dan akhlak yang luhur, tetapi bagi peserta didik hendaknya menyikapinya
dengan arif. Sebab, respon demikian memberi kebahagiaan dan menjaga
perasaan pendidik, di samping ilmu yang di dapat lebih bermanfaat baik di
dunia maupun di akhirat. Perspektif demikian agaknya lebih banyak di
dukung oleh asumsi-asumsi bahwa guru merupakan sosok yang patut digugu
dan di tiru sementara peserta didik didudukkan sebagai orang yang belum
memiliki kecakapan-kecakapan tertentu sehingga masih menergantungkan
pada guru itu.

Pada hubungan antara peserta didik dengan pendidik seperti yang di


kembangkan K.H Hasyim Asy‟ari di atas agaknya menyiratkan pada sebuah
pemahaman bahwa pendidikan itu lebih banyak ditekankan oleh aspek guru.
Guru juga tidak hanya sebagai transmitor pengetahuan (know ledge) kepada
peserta didik, tetapi juga pihak yang memberi pengaruh secara signifikan
terhadap pembentukan perilaku (etika) peserta didik.38

38
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004), h. 154
BAB III

ANALISIS

Adapun karakteristik pemikiran pendidikan islam yang berkembang sejak


masa awal islam hingga sekarang sangat beragam. Keragaman ini
dipengaruhi oleh konstruk, sosial, politik dan keagamaan yang berkembang
sehingga antara ciri khas sebuah pemikiran atau literatur dengan keadaan
sosial ketika itu memiliki kolerasi yang signifikan.

Namun demikian menurut Hasan Langgulung, tokoh kependidikan


kontenporer pada dasarnya literatur kependidikan islam itu digolongkan ke
bebera corak, antara lain :

1. Corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalan


spesifikasi fiqih, tafsir dan hadist. Kemudian mendapatkan perhatian
tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Model ini
di wakili oleh Ibn Hazm (384-458 H)
2. Corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastra. Contohnya adalah
Abudullah bin al-Muqaffa‟ (106-142 H/724-759 M)
3. Corak pemikiran pendidikan Islam filosofis. Sebagai contohnya corak
kependidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu‟tazillah, ikhwah al-
Shafa dan para filosof.
4. Pemikiran pendidikan islam yang berdiri sendiri dan berlainan dari
beberapa corak diatas, tetapi tetep berpegang teguh pada semangat al-
Qur‟an dan al-Hadist.

Jika mengacu pada klasifikasi Hasan Langgulung di atas maka tampaknya


adab al-Alim wa al-Muta‟allim dapat di golongkan pada corak yang terakhir.
Hal ini didasarkan atas kandungan kitab-kitab tersebut tidak memuat kajian-
kajian dalam spesifikasi fiqih, sastra, dan filsafat. Adab al-Alim semata-mata
memberi petunjuk praktis bagi siapa saja yang terlibat dalam proses
pendidikan, sebagaimana dikemukakan oleh K.H Hasyim Asy‟ari tentang
latar belakang penulisannya.
Selain itu adab al-Alim mempunyai banyak kesamaan denga Ta‟alim al-
Muta‟allim karya al-Zarnuji. Disisi lain, karakter pemikiran kependidikan
K.H Hasyim Asy‟ari dimasukkan kedalam garis mazhab Syafi‟iyyah. Bukti
kuat menunjukkan hal itu adalah beliau sering mengutip tokoh-tokoh
syafi‟iyyah, termasuk imam al-Syafi‟i sendiri ketimbang tokoh mazhab yang
lain.

Dan juga pemikiran pendidikan K.H Hasyim Asy‟ari adalah


mengutamakan nilai-nilai etika. Untuk sekedar meyakinkan hal itu dapat
dikemukakan bahwa bagi beliau keutamaan ilmu yang sangat benar istimewa
adalah bagi orang yang benar-benar Lillahi ta‟ala.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
K.H.Muhammad Hasyim Asy‟ari dilahirkan dari keturunan eliet kiai
(pesantren) pada tanggal 24 Zulhijjah 1287H bertepatan 14 Februari 1871M,
tepatnya sebelah Timur Jombang Jawa Timur. Suasana kehidupan pesantren
sangat mempengaruhi pembentukan karakter Hasyim Asy‟ari yang sederhana
dan rajin belajar, belajar dari pesantren ke pesantren di Jawa sampai ke Tanah
Hijaz. Sebagai pendidik merupakan bagian yang yang terpisahkan dari
perjalanan hidupnya sejak usia muda. Setelah mengajar keliling dari pesantren
orangtua hingga mertua, pada tahun 1899 Hasyim Asy‟ari mendirikan
pesantren sendiri, mewujudkan cita-citanya di daerah Tebuireng Jombang,
Jawa Timur.
Pemikiran Hasyim Asy‟ari dalam bidang pendidikan lebih menekankan
pada etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek
pendidikan lainnya. Dalam hal ini banyak dipengaruh dengan keahliannya
pada bidang Hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqih yang
sejalan dengan teologi al Asy‟ari dan al Maturidi. Juga searah dengan
pemikiran al-Ghazali, yang lebih menekankan pada pendidikan rohani.
Misalnya belajar dan mengajar harus dengan ikhlas, semata-mata karena
Allah, bukan hanya untuk kepentingan dunia tetapi juga untuk kebahagian di
akhirat. Dan untuk mencapainya seseorang yang belajar atau mengajar harus
punya etika, punya adab dan moral, baik murid ataupun guru sendiri. K.H.
Muhammad Hasyim Asy'ari memandang pendidik sebagai pihak yang sangat
penting dalam pendidikan. Baginya, guru adalah sosok yang mampu
mentransmisikan ilmu pengetahuan disamping pembentuk sikap dan etika
peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Atjeh. Sejarah Hidup K.H Hasyim Asy‟ari Biografi Singkat,

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009

Aceh, Abu Bakar. Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,

Jakarta: Panitia Buku Peringatan K.H.A. Wahid Hasyim, 1975

Asy‟ari, K.H Hasyim, Adab Ta‟lim wa Muta‟allim

Asy‟ari, K.H. Hasyim. Ridjaluddin Fadjar Nugraha, “Peranan K.H. Hasyim

Asy‟ari dalam kebangkitan Islam di Indonesia”, Skripsi, Jakarta: IAIN Syarif

Hidayatullah, 1983

Buharnuddin, Taymiz. Akhlak Pesantren Pandangan K.H Hasyim Asy‟ari,

Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001

Ensiklopedia Islam II

Fox, James J. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H Hasyim Asy‟ari,

Yogyakarta: LkiS, 2000

Khan, al-Mu‟idz Abd. dalam Affandi Mochtar, The method of Muslim Learning as

Illustrated in al-Zarnuji‟s Ta‟alim al-Muta‟allim Tariq al-Ta‟allum, Tesis,

Montreal : McGill Univre

Khuluq, Lathiful. Kebangkitan Ulama, Biografi K.H Hasyim Asy‟ari,

Yogyakarta: LKIS, 2000

Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna,

1992, cet ke-2

Mawardi, Kholid. Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan : Moralitas Pemikiran

Pendidikan K.H Hasyim Asy‟ari, Yogyakarta: Insania, 2008


Muhammad, Asad Syihab. Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari,

Yogyakarta : Titian Ilahi Press,1994

Munasichin, Zainal. Resolusi Jihad; Sejarah Yang di Lupakan, Jakarta: DPP

PKB.2011

Nata, Abbuddin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,

Jakarta: Raja grafindo Persada 2005

Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis,Teoritis, dan

Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, Juli 2002

Nurdin, “Etika belajar-mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran K.H

Hasyim Asy‟ari dalam Kibat Adab Al-Alim wa al-muta‟alim” Tesis,

Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999

Rizal, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam, Ciputat Pers. Jakarta 2002

Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam, Ar-Ruzz Media Yogyakarta: 2006

Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2004

Syihab, Muhammad Asad. Hadlratussyaikh Muhammda Hasyim Asy‟ari,

Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1994

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta 2008

Anda mungkin juga menyukai