DOSEN PEMBIMBING :
Disusun Oleh :
Rachmutia
(15.2.3.042)
Jurusan :
H/2017 M
KATA PENGANTAR
Rachmutia
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
BAB IV PENUTUP..............................................................................................23
A. Kesimpulan.................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut ilmu K.H Hasyim Asy‟ari merupakan ibadah untuk mencari ridha
Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia
dan akhirat. Karenanya belajar harus di niatkan untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan
kebodohan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas pemakalah dapat menguraikan beberapa masalah :
1. Bagaimana Biografi KH. Hasyim Asy‟ari ?
2. Apa saja pemikiran-pemikirannya dalam pendidikan islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
1
K.H. Hasyim Asy‟ari, Adab Ta‟lim wa Muta‟allim., h. 3
2
K.H. Hasyim Asy‟ari. Baca juga,Ridjaluddin Fadjar Nugraha, “Peranan K.H. Hasyim
Asy‟ari dalam kebangkitan Islam di Indonesia”, Skripsi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,
1983), h.7
3
Muhammad Asad Syihab, Hadlratussyaikh Muhammda Hasyim Asy‟ari, (Yogyakarta :
Titian Ilahi Press, 1994) h. 73
4
Sebagaimana lazimnya tradisi pesantren, jika sang kiai mengetahui ada santrinya yang
cerdas, pintar, tulus, dan potensial, maka sang kiai menjodohkannya dengan anaknya. Begitu juga
terhadap Hasyim Asy‟ari, Kiai Ya‟qub pada suatu hari memanggil santrinya itu.”Hasyim, saya
Setelah nikah, K.H. Hasyim Asy‟ari bersama isterinya segera melakukan
ibadah haji. Sekembalinya dari tanag suci, mertua K.H Hasyim Asy‟ari
mengajurkanya untuk menuntut ilmu di makkah. Dimungkinkan hal ini
didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan
cukup ilmunya. Jika belum mengaji di makkah selama bertahun-tahun. Di
makkah itu, K.H Hasyim Asy‟ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu,
diantaranya adalah ilmu fiqih Syafi‟yah dan ilmu hadist, terutama literatur
Shahih Bukhari dan Muslim.6
mengerti dan tahu bahwa engkau seorang santri yang benar-benar rajin dan sungguh-sungguh
dalam belajarnya. Saya lebih tahu dan mengerti bahwa setengah dari pada sifat-sifatmu, ialah tiada
suka membantah akan perintah guru. Hal itu telah saya ketahui benar-benar. Karena itu, saya
menghendaki..menjodohkan kamu dengan anak saya sendiri yang bernama Khadijah, bagaimana
pendapatmu?” Baca Ridjalludin Fadjar Nugraha, h. 16-17
5
Kholid Mawardi, Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan : Moralitas Pemikiran
Pendidikan K.H Hasyim Asy‟ari, (Yogyakarta: Insania, 2008), h.2
6
Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H Hasyim Asy‟ari, (Yogyakarta:
LKIS, 2000), h.18
7
Abu Bakar Aceh, Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta:
Panitia Buku Peringatan K.H.A. Wahid Hasyim, 1975), h.35
University (ANU) yang menganggap bahwa K.H Hasyim Asy‟ari adalah
seorang wali, sebagaimana dalam tulisannya :
“... Jika kiai pandai masih di anggap sebagai wali, ada satu figur dalam
sejarah Jawa kini yang dapat menjadi kadidat utama untuk peran wali. Ini
adalah ulama besar, Hadratus Syekh-Kiai Hasyim Asy‟ari. Memiliki ilmu dan
di pandang sebagai sumber berkah bagi mereka yang mengetahuinnya,
Hasyim Asy‟ari semasa hidupnya menjadi pusat pertalian yang
menghubungkan para kiai utama seluruh Jawa. Kiai Hasyim juga dianggap
memiliki keistimewaan luar biasa, menurut garis keturunannya, tidak saja
berasal dari garis keturunan ulama pandai, dia juga keturunan Prabu
Brawijaya.” 8
8
Lihat James J. Fox, “Ziarah Vitis to the tobs of the wali, the Founders of Islam on
Jawa”, dalam M.C. Rickles (ed). “Islam in the Indonesia Social Countext”, (Clayton, Victoria:
Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1991), h. 30, dalam Lathiful Khuluq, Fajar
Kebangunan Ulama: Biografi K.H Hasyim Asy‟ari, (Yogyakarta: LkiS, 2000), h.20
9
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Ar-Ruzz Media (Yogyakarta: 2006), h. 86
10
Ensiklopedia Islam II, h. 102-3
seperti Syekh Abdul Wahab dan Syekh Bishri Syansuri, pada tanggal 31
Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Organisasi ini di dukung oleh para ulama,
terutama ulama Jawa, dan komunitas pesantren. Memang pada awalnya ,
organisasi ini dikembangkan untuk merespon wacana khalifah dan gerakan
purifikasi yang ketika itu dikembangkan Rasyid Ridha di Mesir, tetapi pada
perkembangannya kemudian organisasi itu melakukan rekontruksi sosial
keagamaan sosial keagamaan yang lebih umum.11
Tidak banyak para ulama dari kalangan tradisional yang menulis buku.
Akan tetapi tidak demikian dengan K.H. Hasyim Asy‟ari. Tidak kurang dari
sepuluh kitab disusunya,antara lain :12
11
Abu Bakar Aceh, Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta:
Panitia Buku Peringatan K.H.A. Wahid Hasyim, 1975), h.473
12
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers 2002), h. 155
8. Al-Tibyan fi al-Nahy „an Muqathi‟ah al-Ikhwan, bain fih ahammiyat
shillat al-rahim wa Dhurar qath‟iha
9. Al-Risalat al-Tauhidayah, wahiya Risalah Shaghiratfi Bayan „Aqiqah
Ahl Sunnah wa al-Jamaah.
10. Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-“aqaid.13
Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy‟ari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim fima Yahtaj Ilah al-
Muta‟alim fi Ahuwul Ta‟allum wa ma Yataqaff al-Mu‟alim fi Maqamat
Ta‟limih yang di cetak pertama kali pada tahun 1945 H. Sebagaimana
umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan etika.
Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya.
Keahliannya dalam bidang hadist ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
Sebagai bukti adalah dikemukakannya beberapa hadist sebagai dasar dari
penjelasannya, disamping beberapa ayat al-Qura‟an dan pendapat para ulama.
13
. Hasyim Asy‟ari,Adab Ta‟lim wa Muta‟allim, h. 45
14
. Muhammad Asad Syihab,Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy‟ari,(Yogyakarta :
Titian Ilahi Press,1994), h. 73
Untuk memahami pokok pikirannya dalam kitab tersebut perlu pula
diperhatikan latar belakang ditulisnya kitab tersebut. Penyusunan karya ini
boleh jadi didorong oleh situasi pendidikan yang padat saat itu mengalami
perubahan dan perkembangan yang pesat, dari kebiasaan lama (tradisional)
yang sudah mapan kedalam bentuk baru (modern) akibat dari pengaruh sistem
pendidikan barat (Imperalis Belanda) di terapkan di Indonesia. Karyanya ini
merujuk pada kitab-kitab yang ditelaahnya dari berbagai ilmu yang langsung
diterima dari para gurunya ditambah dengan berbagai pengalaman yang
pernah di jalaninya.
15
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Isla, h.156
16
Hasyim Asy‟ari,Adab Ta‟lim wa Muta‟allim, h. 101
17
Nurdin, “Etika belajar-mengajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran K.H Hasyim
Asy‟ari dalam Kibat Adab Al-Alim wa al-muta‟alim” Tesis, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga,
1999)
Signifikan Pendidikan
Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menunutut ilmu,yaitu :19
pertama bagi murid hendaknya berniat suci untuk menuntut ilmu,jangan
sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkan atau
menyepelekannya,kedua bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya harus
meluruskan niat terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata-semata.
Disamping itu, yang dianjurkan hendaknya sesuai dengan tindakan-tindakan
yang di perbuat.
18
Zainal Munasichin, Resolusi Jihad; Sejarah Yang di Lupakan, (Jakarta: DPP
PKB.2011), h.22
19
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.156
Dalam penjelasannya,ia tidak memberikan definisi secara khusus tentang
pengertian belajar. Dalam hal ini yang menjadi titik penekananya adalah pada
pengertian bawah belajar itu merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah
yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat. Kerenanya belajar harus di niatkan untuk mengembangkan dan
melestarikan nilai-nilai islam,bukan hanya sekedar menghilangkan
kebodohan.
Etika yang pertama, Etika yang harus diperhatikan dalam belajar. Dalam
hal ini terdapat sepuluh etika yang di tawarkannya adalah20 membersihkan hati
dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian, membersihkan niat, tidak
menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qannah terhadap segala
macam pemberian dan cobaan,pandai mengatur waktu, menyerdehanakan
makanan dan minuman, bersikap hati-hati, menghindari makanan dan
minuman yang menyebabkan kemalasan dan kebodohan, menyedikitkan
waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan dan meninggalkan hal-hal yang
kurang berfaedah.21 Dalam hal ini terlihat bahwa ia lebih menekankan pada
pendidikan rohani atau pendidikan jiwa,meski demikian pendidikan jasmani
tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur waktu makan dan minum
dan sebagainya.
Etika yang kedua, Etika seorang murid terhadap guru. Dalam membahas
masalah ini, ia menawarkan dua belas etika, yaitu :22 hendaknya selalu
memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatakan atau dijelaskan oleh
guru, memilih guru yang wara (berhati-hati)di samping profesioanal,
20
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.157
21
K.H. Hasyim Asy‟ari,Adab Ta‟lim wa Muta‟allim, h. 24-8
22
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h. 158
mengikuti jejak-jejak guru,memuliakan guru, memperhatikan apa yang
menjadi hak guru, bersabar atas kekerasan guru, berkunjung kepada guru pada
tempatnya atau mintalah ijin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa harus
tidak pada tempatnya, duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan
dengan guru, berbicaralah dengan sopan dan lemah lembut, dengarkan segala
fatwanya, jangan sekali-kali menyela ketika sedang menjelaskan dan gunakan
anggota yang kanan apabila menyerahkan sesuatu kepadanya. 23
23
Abbuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada 2005), h.133
24
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.159
yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah) tanamkan rasa
antusias/semangat dalam belajar. Penjelasan tersebut diatas seakan membuka
mata kita akan sistem pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat kolot.
Hanya terjadi komunikasi satu arah, memasung kemerdekaan berpikir dan
sebagainya.25
25
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.160
26
Taymiz Buharnuddin, Akhlak Pesantren Pandangan K.H Hasyim Asy‟ari, (Yogyakarta:
Ittaqa Press, 2001), h. 68
Dalam membahas tentang ilmu yang wajib dipelajari yang bersifat fardhu
ain, maka gagasan tersebut sejalan dengan pemikiran al-Ghazali. Ia
memberikan kesempatan secara luas kepada para santrinya untuk mengambil
dan mengikuti pendapat para ulama. Akan tetapi terdapat catatan yang mesti
diperhatikan, bahwa dalam menanggapi ikhtilaf para ulama harus berhati-hati.
Demikian pula dengan budaya bertanya dan berdiskusi, sekaligus evaluasi di
perkenalkan dan disosialisasikan dengan etika tersendiri, begitu pula dengan
etika-etika lainnya.27
Etika yang pertama, Etika Seorang Guru. Tidak hanya murid yang
dituntut untuk beretika, apalah artinya etika diterapkan kepada murid jika guru
yang mendidiknya tidak mempunyai etika. Oleh karena itu,ia juga
menawarkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh guru, antara lain :28
senantiasa mendekatkan diri kepada Allah ,senantiasa takut kepada Allah,
senantiasa bersikap tenang, senantiasa berhati-hati, senantiasa tawadhu,
senantiasa khusu‟, mengadukan segala persoalanya kepada Allah Swt,tidak
menggunakan ilmu untuk meraih keduniawian semata, tidak selalu
memanjakan anak didik, berlaku zuhud dalam kehidupan dunia, berusaha
menghindari hal-hal yang rendah, menghindari tempat-tempat yang kotor dan
tempat ma‟syiat, mengamalkan sunnah Nabi, mengistiqamahkan membaca al-
Qur‟an, bersikap ramah, ceria,dan suka meburkan salam, membersihkan diri
dari perbuatan-perbuatan yang tidak disukai Allah, menumbuhkan semangat
untuk menambah ilmu pengetahuan, tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara
menyombongkannya dan membiasakan menulis, mengarang dan meringkas.
27
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta 2008), h.184
28
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.161
Menanggapi gagasan yang dikemukakannya diatas, maka yang pertama
terlihat adalah nuansa tasawufnya. Hal ini tidak mengherankan, sebab dalam
perilaku kehidupan, ia lebih cenderung pada kehidupan seorang sufi.
Demikian juga dengan ilmu yang ditekuni ketika menimba ilmu,khususnya di
makkah, lebih mendalami bidang tasawuf dan hadis, maka kedua ilmu itu pula
mewarnai gagasan dan pemikirannya khususnya dalam bidang pendidikan.
Meskipun demikian, tidak hidup dalam dunia sufi yang jauh dari kehidupan
pada umumnya, akan tetapi kehidupannya akan justru menyatu dengan
masyarakat dan berusaha memberikan jawaban terhadap tasawuf dan hadist,
maka kedua ilmu itu pula yang mewarnai gagasan dan pemikirannya,
khususnya dalam bidang pendidikan. Meskipun demikian ia tidak hidup dalam
dunia sufi yang jauh dari kehidupan pada umumnya, akan tetapi kehidupannya
justru menyatu dengan masyarakat dan berusaha memberikan jawaban
terhadap permasalahan yang melingkupinya.
29
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.166
lingkungan pesantren adalah ilmu-ilmu agama, di mana materi dan metodenya
hampir telah mencapai final, sehingga pengembangan terhadap ilmu-ilmu
tersebut bisa dikatakan tertutup. Disamping itu,tuntutan masyarakat atau
keadaan masyarakat kurang memberikan motivasi,sebab budaya yang
berkembang masih pada tataran masyarakat atau keadaan masyarakat kurang
memberikan motivasi, sebab budaya yang berkembang masih pada tataran
budaya mendengarkan dari pada budaya membaca. Namun yang jelas,untuk
saat sekarang,budaya menulis pula merambah dunia pesantren, meskipun
tulisan yang dihasilkan bukan berupa kitab-kitab yang dikaji pada pesantren,
akan tetapi tulisan-tulisan yang membicarakan permasalahan sosial
keagamaan disekelilingnya.
Etika yang kedua, Etika Guru Dalam Mengajar. Seorang guru ketika
hendak mengajar dan ketika mengajar perlu memperhatikan beberapa etika.
Dalam hal ini ia menawarkan gagasan tentang etika guru ketika mengajar
sebagai berikut :30 mensucikan diri dari hadats dan kotoran,berpakaian yang
sopan dan rapi dan usahakan berbau wangi, berniatlah beribadah ketika dalam
mengajarkan ilmu kepada anak didik,sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh
Allah, biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan, berilah salam
ketika masuk dalam kelas, sebelum mengajar mulailah terlebih dahulu dengan
berdoa untuk para ilmu yang telah lama meninggalkan kita, berpenampilan
yang kalem, dan jauhi hal-hal yang tidak pantas dipandang mata, manjauhkan
diri dari bergurau dan banyak tertawa, jangan sekali-kali mengajar dalam
kondisi lapar, marah, mengantuk dan sebagainya. Pada waktu mengajar
hendaklah mengambil tempat duduk yang strategis,usahakan tampilannya
ramah,lemah lembut, jelas, tegas dan lugas serta tidak sombong dalam
mengajar, hendaklah mendahulukan materi-materi yang penting dan sesuaikan
dengan profesional yang dimiliki, jangan sekali-kali mengajarkan hal-hal yang
bersifat syubhat yang bisa membinasakan, perhatikan masihng-masing
kemampuan murid dalam mengajar dan tidak terlalu lama, menciptakan
30
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.167
ketenangan dalam ruangan belajar, menasehati dan menegur dengan baik
apabila terdapat anak didik yang bandel, bersikaplah terbuka terhadap
berbagai macam persoalan-persoalan yang ditemukan, berilah kesempatan
kepada peserta didik yang datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasannya
agar tahu apa yang dimaksud, dan apabila sudah selesai berilah kesempatan
kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau belum di
pahami.
Etika yang ketiga, Etika Guru Bersama Murid. Guru dan murid tidak
hanya masing-masing mempunyai etika yang berbeda antara satu dengan
31
lainnya. Akan tetapi diantara keduanya juga mempunyai etika yang sama.
Sama-sama harus dimiliki oleh guru dan murid. Diantara etika tersebut adalah
: berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan
syariat islam, menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian,
hendaknya selalu melakukan itrospeksi diri, mempergunakan metode yang
mudah dipahami murid, membangkitkan antusias peserta didik dengan
memotivasinya, memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu,selalu
memperhatikan kemampuan peserta didik, tidak selalu memunculkan salah
seorang peserta didik dan menafikan yang lainnya, mengarahkan minat peserta
didik, bersikap terbuka dan lapang dada terhadap peserta didik, membantu
memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik, bila terdapat peserta didik
yang berhalangan hendaknya mencari hal ihwal kepada teman-temannya,
tunjukan sifat arif dan penyayang terhadap peserta didik dan tawadhu.
31
Abu Bakar Atjeh, Sejarah Hidup K.H Hasyim Asy‟ari Biografi Singkat, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2009), h.3
c. Etika Terhadap Buku,Alat Pelajaran dan Hal-Hal Yang Berkaitan
Dengannya.
Satu hal yang paling menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang
biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan pada umumnya adalah32 etika
terhadap buku dan alat-alat pendidikan. Kalupun ada etika untuk itu,maka
biasanya itu bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis. Sering pula itu
dianggap sebagai aturan yang sudah umum berlaku dan cukup diketahui oleh
masing-masing individu.
32
Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, h.168
al-Mu‟allim, dan Burhan al-Din al-Zarnuji (wafat 571 atau 591 H) dengan
karyanya Ta‟alim al-Muta‟allim Thariq al-Ta‟allum.33
Jika mengacu pada tawaran Hasan Langgulung di atas Adab al-alim wa al-
muta‟allim dapat digolongkan pada corak terakhir. Hal ini didasarkan ata
kenyataan yang ada dalam kita tersebut yang tidak memuat kajian-kajian
dalam spesifikasi fiqih, sastra, dan filsafat. Kitab ini semata-semata memberi
petunjuk praktis bagi orang-orang yang terlibat dalam proses pendidikan.
Selain itu, Adab al-alim wa al-muta‟allim mempunyai banyak kesamaan
dengan Ta‟allim al-Muta‟allim karya al-Zarnuji dan lebih-lebi dengan
Tadzkirat al-Sami wa al-Mutakalim fi adab al-alim wa al-muta‟allim karya
ibn Jama‟ah. Kesamaan ini paling tidak adalah pada tingkat sama-sama
membahas secara khusus ide-ide kependidikan dengan mengutip pandangan
sejumlah ulama.
33
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), cet
ke-2, h.123-129
34
Abd al-Mu‟idz Khan dalam Affandi Mochtar, The method of Muslim Learning as
Illustrated in al-Zarnuji‟s Ta‟alim al-Muta‟allim Tariq al-Ta‟allum, Tesis, (Montreal : McGill
Univre)
yang benar-benar li Allah Ta‟ala. Kemudian, ilmu dapat diraih jika jiwa
orang yang mencari ilmu tersebut suci dan bersih dari segala sifat yang jahat
dan aspek-aspek keduniawian.35
35
Hasyim Asy‟ari,Adab Ta‟lim wa Muta‟allim, h.22-23
36
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
37
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 151-153
didik harus mengetahui dan mengamalkan etika berbicara dengan pendidik.
Bahkan, ketika peserta didik berangkat ke pendidik hendaknya bersedekah
dan berdoa terlebih dahulu untuk pendidik.
38
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 154
BAB III
ANALISIS
PENUTUP
A. Kesimpulan
K.H.Muhammad Hasyim Asy‟ari dilahirkan dari keturunan eliet kiai
(pesantren) pada tanggal 24 Zulhijjah 1287H bertepatan 14 Februari 1871M,
tepatnya sebelah Timur Jombang Jawa Timur. Suasana kehidupan pesantren
sangat mempengaruhi pembentukan karakter Hasyim Asy‟ari yang sederhana
dan rajin belajar, belajar dari pesantren ke pesantren di Jawa sampai ke Tanah
Hijaz. Sebagai pendidik merupakan bagian yang yang terpisahkan dari
perjalanan hidupnya sejak usia muda. Setelah mengajar keliling dari pesantren
orangtua hingga mertua, pada tahun 1899 Hasyim Asy‟ari mendirikan
pesantren sendiri, mewujudkan cita-citanya di daerah Tebuireng Jombang,
Jawa Timur.
Pemikiran Hasyim Asy‟ari dalam bidang pendidikan lebih menekankan
pada etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan beberapa aspek
pendidikan lainnya. Dalam hal ini banyak dipengaruh dengan keahliannya
pada bidang Hadits, dan pemikirannya dalam bidang tasawuf dan fiqih yang
sejalan dengan teologi al Asy‟ari dan al Maturidi. Juga searah dengan
pemikiran al-Ghazali, yang lebih menekankan pada pendidikan rohani.
Misalnya belajar dan mengajar harus dengan ikhlas, semata-mata karena
Allah, bukan hanya untuk kepentingan dunia tetapi juga untuk kebahagian di
akhirat. Dan untuk mencapainya seseorang yang belajar atau mengajar harus
punya etika, punya adab dan moral, baik murid ataupun guru sendiri. K.H.
Muhammad Hasyim Asy'ari memandang pendidik sebagai pihak yang sangat
penting dalam pendidikan. Baginya, guru adalah sosok yang mampu
mentransmisikan ilmu pengetahuan disamping pembentuk sikap dan etika
peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Atjeh. Sejarah Hidup K.H Hasyim Asy‟ari Biografi Singkat,
Aceh, Abu Bakar. Sejarah Hidup K.H A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar,
Hidayatullah, 1983
Ensiklopedia Islam II
Khan, al-Mu‟idz Abd. dalam Affandi Mochtar, The method of Muslim Learning as
PKB.2011
Suwendi. Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004