Anda di halaman 1dari 33

REFLEKSI TENTANG OLIGARKI, DEMOKRASI, DAN

SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA

Orasi Ilmiah yang Disampaikan pada


Peringatan Dies Natalis ke-75 Fakultas Hukum,
Universitas Gadjah Mada,
Auditorium, Gedung Law Learning Center

oleh

Jeffrey A. Winters, Ph.D.


Professor of Political Science
Director of the Equality Development and
Globalization Studies Program (EDGS)
Northwestern University
Chicago, USA

17 Februari 2021

**My sincere thanks to Dr. Achmad Munjid for editing and greatly improving this Indonesian version.


 
Perjuangan sepanjang sejarah menunjukkan kepada kita bahwa ada kehendak manusia
yang kuat dan gigih terhadap kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Tetapi sejarah juga
mengungkap betapa masyarakat manusia tetap dicengkeram oleh ketidaksetaraan yang mendasar
dan tak kunjung hilang, oleh pola penyisihan, dan terutama oleh kapasitas kelompok kecil (para
oligark dan elit) untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri sembari mendominasi
orang lain. Ada banyak capaian penting dalam sejarah, dan tidak ada yang bisa menyangkal
bahwa memang ada kemajuan dalam menangani ketidaksetaraan. Tetapi jika kita jujur, kita
harus mengakui bahwa capaian itu lambat dan sepotong-sepotong. Dan dalam beberapa kasus,
kesenjangan justru meningkat meski kita hidup di era yang lebih vokal menyuarakan keadilan
dan hak-hak dibandingkan masa-masa sebelumnya. Dr. Martin Luther King menyatakan dalam
orasi yang terkenal pada tahun 1968 bahwa “busur semesta moral itu panjang tetapi ia mengarah
pada keadilan.”1 Meskipun pesannya itu dimaksudkan untuk membangkitkan semangat, namun
kita sangat prihatin karena kemajuan menuju keadilan bersifat sangat bertahap sehingga ia harus
diukur dalam skala maha besar.
Pesan utama dari orasi saya pada kesempatan penting ini adalah bahwa apapun yang
mungkin telah kita capai di ranah keadilan, keadilan, dan martabat manusia, kita begitu terlena
bercengkerama dengan ketidaksetaraan yang ekstrim. Tingkat kesenjangan dan ketimpangan
kekuasaan yang terlalu mulia untuk disebut “beradab” sudah menjadi normal belaka. Sangat
gampang untuk melihat bahwa demokrasi kita didominasi oleh segelintir orang daripada oleh
banyak orang; bahwa ekonomi kita mengakibatkan ketidaksetaraan kekayaan baik di dalam suatu
negara maupun antar negara dalam skala yang belum pernah terlihat sebelumnya dalam sejarah
manusia; dan sistem hukum kita tunduk pada mereka yang kuat daripada yang kuat tunduk pada
hukum (seperti yang harus dilakukan oleh mereka yang lemah). Saya menyebut kegagalan ini
bukan agar kita menjadi pesimis atau sedih, tapi untuk mengingatkan kita semua bahwa untuk
mencapai perubahan yang berarti, kita harus memulai dengan penilaian jujur tentang di mana
keberadaan kita sekarang. Apa yang saya tawarkan hari ini adalah dalam semangat melanjutkan
perjuangan penting orang-orang yang telah datang sebelum kita – bukan hanya karena itulah

 
1
Dr. Martin Luther King Jr., “Tetap Sadar melewati Revolusi Besar.” Pidato disampaikan di
National Cathedral, Washington, D.C., 31 Maret 1968.

 
satu-satunya hal yang bertanggung jawab untuk kita lakukan, tetapi juga akan menjadi tragedi
jika kita membiarkan upaya dan pengorbanan mereka menjadi sia-sia.
Orasi ilmiah ini diawali dengan analisis masalah ketidaksetaraan dan demokrasi.
Penekanannya adalah pada ketidaksetaraan sosial yang mestinya diperbaiki oleh demokrasi,
tetapi pada kenyataannya malah ia merusak demokrasi itu sendiri. Diskusi ini dilanjutkan
dengan melihat lebih dekat soal ketidaksetaraan masyarakat kita yang paling awet, dengan
penekanan pada serangkaian aktor khusus yang dikenal sebagai para oligark sebagai contoh
paling ekstrem. Lebih dari kelompok manapun, oligark merusak pencapaian demokrasi
perwakilan di negara-negara kita. Pada bagian akhir orasi ilmiah ini, pembahasan akan
mengarah pada ketimpangan kekuasaan dan supremasi hukum. Argumennya adalah bahwa
ketika kita mengatakan “supremasi hukum dan bukan (supremasi) manusia,” lokasi penting bagi
perjuangan bukanlah terletak pada tingkat massa warga negara biasa, melainkan pada tingkat
oligark dan elit, aktor yang paling kuat dalam sistem. Menjinakkan mereka dan membuat
mereka tunduk pada hukum, dan lembaga hukum, adalah perebutan kekuasaan yang paling sulit
yang dihadapi bangsa mana pun. Jadi, nanti dalam orasi ini saya akan mengusulkan definisi
ulang mengenai negara hukum yang selanjutnya akan membantu membimbing dan
memfokuskan perjuangan di masa depan guna mencapai tujuan penting ini.
Saya akan berargumen bahwa untuk mencapai supremasi hukum itu jauh lebih sulit
daripada transisi menuju demokrasi. Ini karena para oligark dan elit dapat dengan mudah
beradaptasi, menangkap, dan mendominasi demokrasi. Hal ini tidak dimungkinkan terjadi pada
supremasi hukum karena peraturan dan hukuman yang diterapkan secara sama bagi yang lemah
dan yang kuat secara langsung akan mengancam kekuasaan mereka yang berada di atas. Dari
perspektif para oligark dan elit, demokrasi adalah penggunaan kekuasaan dengan cara yang
berbeda, sedangkan rule of law adalah kehilangan kekuasaan secara mutlak. Di tingkat
permukaan, pengalaman Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi hanyalah urusan
korupsi. Namun pada level yang lebih dalam, ini adalah pertarungan untuk menjinakkan para
oligark dan elit negeri ini – sebuah perebutan kekuasaan dengan konsekuensi penting bagi
supremasi hukum di Indonesia, dan suatu pertarungan yang saat ini dimenangkan oleh aktor-
aktor paling kuat.


 
Sebelum beralih ke dimensi hukum, penting bagi kita untuk memahami distribusi
kekuasaan yang tidak merata dalam masyarakat dan implikasinya terhadap demokrasi dan
supremasi hukum.

Demokrasi Modern sebagai Upaya Menciptakan Kesetaraan dalam Ketimpangan


“Manusia terlahir merdeka, tapi di mana pun dia terbelenggu.”
Rousseau, Kontrak Sosial, 1762

Di masa Rousseau, tidak ada demokrasi yang berarti. Monarki yang menindas dan rezim
otoriter lainnya terlihat dominan dimana-mana. Solusi dia untuk meraih kebebasan manusia dan
pemerintahan yang sah adalah dengan mengalihkan kedaulatan kepada rakyat. Namun jika kita
bergerak cepat ke abad 21, terbukti bahwa membangun demokrasi dan kebebasan saja tidaklah
cukup. Ada serangkaian rantai lain yang memperangkap kita. Karena berfokus terlalu sempit
pada pemerintah saja, analisis dan tawaran perbaikan Rousseau mengabaikan dan meremehkan
dampak abadi dari stratifikasi dan hierarki sosial di luar struktur pemerintah terhadap kesetaraan
politik. Versi yang diperbarui dari kalimat pembuka The Social Contract mungkin bisa begini:
“Manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama, tapi di mana pun ia tidak setara.” Demokrasi
dan kebebasan adalah perolehan penting, tetapi tak satu pun yang cukup untuk mencapai
kesetaraan karena ia gagal buat mengatasi bentuk-bentuk ketimpangan ekstrim yang paling
penting dan tahan lama dalam masyarakat.
Semua masyarakat demokratis modern mengandung kontradiksi yang mendasar. Kita
menghargai kesetaraan sebagai salah satu prinsip tertinggi, namun kita mentolerir dan bahkan
memeluk struktur dan institusi yang menghasilkan ketidaksetaraan kekuasaan yang besar yang
membuat demokrasi tak representatif. Ketidaksetaraan kekuasaan merongrong semua upaya atau
rancangan formal (yang dilembagakan) untuk mencapai kesetaraan yang berprinsip. Kekuasaan
yang tidak setara berarti masyarakat yang tidak setara, apa pun konstitusi yang kita tulis atau
prinsip yang kita nyatakan.
Kontradiksi ini ada karena selama ratusan tahun, masyarakat modern menempuh dua
jalur yang tak bisa didamaikan. Salah satunya adalah jalur politik dan hukum formal yang
menyatakan partisipasi setara dan persamaan hak untuk semua. Demokrasi memiliki legitimasi
yang luas karena ia didasarkan pada prinsip bahwa kekuasaan dan suara setiap warga negara


 
harus setara. Ia begitu menarik sehingga orang bersedia mengambil risiko penderitaan dan
kematian untuk meraihnya. Prinsip kesetaraan demokrasi diabadikan secara formal, tetapi juga
secara sempit, dalam praktik satu orang, satu suara pada hari pemilu. Dalam ranah hukum, hal
itu diabadikan dalam prinsip persamaan di depan hukum. Tidak peduli apa posisi atau statusnya,
orang tunduk pada hukum, tidak pernah hukum tunduk pada orang.
Jalur lainnya adalah bidang ekonomi yang didasarkan pada kepemilikan pribadi dan
pasar. Ini adalah ranah yang juga mendapatkan legitimasinya dari prinsip-prinsip dasar
kesetaraan seperti persaingan yang sehat dan akses yang terbuka. Namun, dalam praktiknya
pasar secara konsisten menghasilkan ketidaksetaraan yang sangat besar. Setiap orang diharapkan
sama-sama bebas untuk bersaing di pasar, dan, dalam bentuk idealnya, pasar harus menjadi arena
bermain yang setara yang tidak memihak kepada orang-orang tertentu. Satu-satunya keunggulan
yang diizinkan secara sah untuk dibawa ke pasar adalah keunggulan kompetitif, yang secara
eksklusif berakar pada daya tarik produk atau layanan yang ditawarkan di mata orang-orang.
Anda menang di pasar karena konsumen memilih Anda daripada orang lain. Dan mereka
memilih Anda karena upaya dan inovasi Anda. Itu adalah versi pasar yang ideal, bukan
kenyataan.
Dari pengalaman beberapa abad, tidak dapat disangkal bahwa kapitalisme pasar
melakukan dua hal dengan sangat baik: ia meningkatkan standar hidup secara keseluruhan dan
menghasilkan ketidaksetaraan kekayaan yang ekstrim. Meskipun penciptaan kekayaan yang
besar disamping massa manusia yang nyaris tak mampu mencukupi hidupnya memang
mengganggu, hal itu sendiri sesungguhnya adalah sesuatu yang bisa diperbaiki atau disesuaikan
melalui kebijakan pemerintah yang mengembalikan keseimbangan kekayaan. Tetapi ini tidak
terjadi, sebab ketidaksetaraan kekayaan yang ekstrim tidak hanya membuat orang-orang tertentu
menjadi super kaya, tetapi juga membuat mereka menjadi sangat kuat di masyarakat. Sistem
ekonomi secara tak terelakkan menghasilkan oligark yang dapat dengan mudah mengubah kuasa
kekayaan menjadi kuasa politik, dan mereka yang memiliki insentif kuat untuk melakukannya
tak lain adalah demi mempertahankan kekayaan mereka.
Pasar melakukan pekerjaan yang sangat baik dalam memusatkan kekayaan, sementara
politik (terutama politik demokratis) mengancam untuk menyebarkannya kembali. Tantangan
bagi segelintir orang kaya dan berkuasa adalah mendominasi politik untuk mengurangi risiko
redistribusi. Dalam demokrasi, kekuatan para oligark mendistorsi sistem politik dan merusak –


 
dan dalam beberapa kasus bahkan membatalkan – kesetaraan demokrasi berdasarkan
pemungutan suara. Maksud saya adalah bahwa perjuangan kita untuk mencapai kesetaraan
(melalui demokrasi) terkandung dalam perjuangan yang lebih besar dan jauh lebih kuat yang
menghasilkan ketidaksetaraan (kapitalisme pasar). Hasilnya adalah kesetaraan politik yang
terhalang oleh ketidaksetaraan material yang nyaris tidak terbatas.
Demokrasi telah dikritik dari berbagai sudut. Perdebatan telah menghasilkan dua cara
berpikir yang luas tentang demokrasi. Yang satu menekankan pada substansi atau isi
pemerintahan-sendiri yang demokratis. Kita mengukur atau menilai pemerintahan demokratis
berdasarkan hasil demokrasinya.2 Prinsip dasarnya, “kemauan rakyat” harus benar-benar terlihat
dalam kebijakan, tindakan, dan prioritas pemerintah. Tetapi para kritikus mengajukan
pertanyaan yang lugas: Apa yang dimaksud dengan “kemauan rakyat”? Joseph Schumpeter
dalam kritiknya terhadap pandangan klasik tentang demokrasi berpendapat bahwa gagasan
tentang “keinginan rakyat” adalah mitos yang mustahil. Ia tidak ada dalam kenyataan. Orang
memiliki banyak keinginan dalam banyak hal. Terkadang orang tahu apa yang mereka inginkan.
Seringkali mereka juga tidak tahu. Kadang-kadang mereka menginginkan apa yang dikehendaki
elit berpengaruh supaya mereka inginkan, dan ini bisa berubah jika elit lain, yang lebih persuasif
dan karismatik, mengalihkan perdebatan ke arah yang berbeda.
Ini tidak berarti bahwa orang biasa adalah gembala yang bodoh. Tetapi, yang dimaksud
di sini adalah bahwa orang itu sendiri kompleks, bahwa mereka memiliki banyak pandangan
tentang banyak topik yang juga kompleks, dan bahwa kebanyakan masyarakat sangat buruk
dalam mendidik dan memberi informasi kepada warganya. Kecuali pada komunitas yang sangat
kecil di mana setiap orang berpartisipasi langsung dalam pemerintahan sendiri (tapi sebetulnya
ini melelahkan juga), jika apa yang disebut keinginan rakyat itu ada, dia akan diwujudkan
melalui perwakilan.

 
2
Martin Gilens dan Benjamin Page (2014) menganalisis kekuatan rata-rata warga negara
dibandingkan dengan oligarki dan elit. Sebuah studi kuantitatif terhadap ribuan keputusan di
Kongres AS menunjukkan bahwa, “Tidak hanya warga negara biasa tidak memiliki kekuatan
substansial yang khas atas keputusan pembuatan kebijakan; mereka sedikit atau sama sekali tidak
memiliki pengaruh independen terhadap kebijakan. Sebaliknya, elit ekonomi diperkirakan
memiliki dampak yang cukup besar, sangat signifikan, dan independen terhadap kebijakan.”
Ketika berbicara tentang pengaruh terhadap para perwakilan di Kongres, “apa yang dipikirkan
masyarakat umum hampir tak berarti” (hlm. 572).

 
Realitas modern ini mendorong Schumpeter untuk mengalihkan gagasan fundamental
kita tentang demokrasi dari substansi dan isi pemerintahan menuju prosedur. Dia
mendefinisikan ulang demokrasi sebagai prosedur untuk memilih perwakilan dalam
pemerintahan.3 Dari perspektif ini, pemerintah adalah demokratis jika ia merupakan hasil dari
“persaingan bebas untuk mendapatkan suara bebas.” Demokrasi bukanlah pemerintahan dari,
oleh, dan untuk rakyat. Itu mitos lain. Ia adalah pemilihan pemimpin pemerintah melalui pemilu
yang benar-benar bebas, adil, dan kompetitif. Peran rakyat bukanlah untuk mengatur diri mereka
sendiri, melainkan untuk memilih siapa yang akan memerintah mereka. Tidak lebih dan tidak
kurang.
Perhatikan bahwa cara khas memilih perwakilan ini mungkin ya atau mungkin juga tidak
menghasilkan kebijakan dan tindakan pemerintah yang memenuhi kebutuhan dan keinginan
rakyat. Menurut redefinisi Schumpeter (yang dominan secara global), kita dapat berharap atau
berasumsi bahwa prosedur demokratis dalam memilih perwakilan memang akan menghasilkan
semacam “keinginan rakyat” yang diwujudkan. Tetapi perlu ditegaskan bahwa itu tidak harus
dilakukan untuk menjadi demokratis. Seluruh legitimasi demokrasi didasarkan pada bagaimana
perwakilan dipilih, bukan hubungan antara kebijakan yang mereka hasilkan dan kepentingan
mayoritas.
Luar biasanya adalah bahwa terlepas dari definisi Schumpeter yang lebih sederhana dan
minimalis, dan meskipun hasil aktual tidak relevan atau perlu mencerminkan kepentingan
mayoritas, demokrasi yang didefinisikan ulang oleh Schumpeter masih gagal menurut patokan
yang dibuatnya sendiri karena ketidaksetaraan kekuasaan yang besar di semua masyarakat
membuat persaingan bebas untuk mendapatkan suara bebas akhirnya mustahil. Bahkan

 
3
Saffon dan Urbinati (2013), dalam pembelaan mereka terhadap demokrasi prosedural yang
berapi-api, menulis: “Visi proseduralis menegaskan bahwa kesetaraan kebebasan politik adalah
kebaikan terpenting yang harus diperjuangkan oleh demokrasi.” Mereka melanjutkan,
“Kesetaraan kebebasan menyiratkan tidak hanya hak untuk berpartisipasi dalam politik melalui
pemungutan suara dan mengekspresikan pikiran secara bebas tetapi melakukannya dalam kondisi
kesempatan yang setara, yang memerlukan perlindungan hak-hak sipil, politik, dan sosial dasar
dengan tujuan memastikan partisipasi setara yang bermakna.” Formulasi naif ini mengabaikan
efek ketidaksetaraan kekuasaan yang ekstrim pada demokrasi. Seperti yang dijelaskan oleh John
McCormick (2011) dalam Demokrasi Machiavellian, yang tidak dilakukan oleh Saffon dan
Urbinati, demokrasi bahkan dalam jumlah terbaiknya menjadi “oligarki elektif” di semua
masyarakat dengan ketaksetaraan kekayaan yang sangat besar.

 
interpretasi Schumpeter yang sudah dilucuti tentang pemerintahan demokratis masih bertumpu
pada pondasi kesetaraan suara dan kesetaraan kekuasaan bagi semua warga negara.
Persaingan bebas untuk mendapatkan suara bebas tidak ada artinya jika beberapa ribu
oligark dan elit memiliki kekuatan untuk mengarahkan, membatasi, memblokir, atau membanjiri
metode demokrasi di setiap tahap. Analoginya adalah sebuah stadion yang penuh dengan orang-
orang yang semuanya berbicara dan berteriak sekaligus ketika suara mereka ingin didengar,
sementara sekelompok oligark dan elit yang jauh lebih kecil dan lebih terkoordinasi bisa
memperdengarkan suara dan pesan mereka jauh lebih keras melalui speaker yang menggelegar.
Hanya sesekali saja ketika kerumunan orang itu kompak meneriakkan pesan yang sama secara
serempak, mereka bisa manenggelamkan suara dari pengeras.4
Gampang menarik analogi ini untuk pemilu yang bebas dan adil – dan apa yang
menentukan suara atau ide mana yang beredar, mana yang diperkuat, mana yang akhirnya
membentuk isu-isu yang ada dalam agenda selama kampanye, dan siapa yang terpilih untuk
mewakili rakyat. Lebih jauh, ini bahkan belum soal kekuatan dan pengaruh terus-menerus para
oligark pada masa-masa diantara pemilu ketika sebagian besar warga yang memenuhi stadion
imajiner itu kembali kepada keluarga, pekerjaan, dan kehidupan mereka pada umumnya. Para
oligark dan elit memiliki peluang dan sumber daya untuk tetap terlibat dan melakukan tekanan
jauh setelah hasil pemilu diumumkan. Bahkan dengan definisi demokrasi Schumpeter yang
direduksi itu pun, paling-paling rakyat mendapatkan pemilihan yang telah diakali oleh oligark
dan elit, diikuti oleh pemerintah yang bahkan lebih jauh mereka akali.

 
4
Penggunaan jajak pendapat publik secara luas di awal siklus pemilu memberikan pengaruh
kepada warga negara biasa sebelum hari pemilu. Perusahaan yang memberikan layanan ini
kepada politisi menjamur di Indonesia setelah 1998. Jaringan elit dan partai politik mungkin
memiliki kandidat yang mereka sukai untuk menjabat. Tetapi jumlah jajak pendapat yang terus-
menerus suram menyulitkan mereka untuk menarik donasi besar dari oligarki buat mendanai
kampanye yang semakin mahal. Guna mengatasi kendala ini, kandidat mencoba membayar
lembaga survei untuk menghasilkan angka yang mengesankan. Beberapa oligarki besar
Indonesia menanggapi hal ini dengan membentuk tim pemungutan suara internal mereka sendiri
untuk memastikan agar mereka memiliki angka yang akurat sebelum memberikan uang kepada
kandidat yang haus uang. Penelitian terbaru oleh Dirk Tomsa (2020, hlm. 1) menggugat
pandangan jajak pendapat pemberdayaan-massa ini, menemukan bahwa “daya tanggap
demokratis tampak telah menurun dan bukannya membaik meskipun survei opini publik terus
bertambah jumlahnya.”

 
Apa yang terlihat jelas dari diskusi ini adalah bahwa bahkan dengan mundur ke definisi
prosedural yang minimalis pun tidak dapat menyelamatkan demokrasi jika kekuasaan
didistribusikan secara tidak merata dalam masyarakat sehingga institusi “satu orang, satu suara”
dikalahkan oleh beberapa orang yang memiliki setara dengan jutaan suara. Untuk memahami
bagaimana ini terjadi, kita harus mengeksplorasi berbagai bentuk pemberdayaan yang tidak
berasal dari hak formal partisipasi dan hak pemungutan suara yang setara. Ini adalah ranah
stratifikasi, para oligark, dan elit.

Ketimpangan Sederhana, Ketimpangan Ekstrim, dan Kekuasaan Para Oligark


Masalah inti dari demokrasi kita tidak ada hubungannya dengan bagaimana demokrasi
didefinisikan. Tidak jadi soal apakah kita mau menekankan hasil atau prosedur. Juga tidak
relevan apakah kemauan rakyat itu ada atau tidak, atau apakah kita memiliki demokrasi langsung
versus perwakilan terpilih. Dalam masyarakat bertingkat, yang merupakan satu-satunya jenis
yang ada, ini semua adalah distraksi. Hal yang terpenting adalah bahwa pemerintahan
demokratis dalam bentuk apapun tidak mungkin dilakukan ketika warga negara memiliki
ketidaksetaraan kekuasaan yang ekstrim. Bahkan jika ada pemilihan yang benar-benar
kompetitif, hak pilih universal, dan kebebasan penuh untuk berserikat, partisipasi, dan akses
terhadap informasi, sebuah sistem masih akan tetap dianggap tidak demokratis jika ia memberi
hampir semua orang satu suara, tetapi memberi sejumlah kecil warga negara masing-masing
dengan satu juta suara. Ini karena memberikan satu suara kepada setiap orang merupakan syarat
inti demokrasi sehingga kekuasaan harus dibagi secara setara di antara semua warga negara.
Tetapi agar prinsip inti ini bermakna, asumsinya adalah bahwa pemungutan suara yang
setara akan memberi setiap orang suara yang sama. Artinya, kekuasaan politik yang setara
adalah elemen kualifikasi demokrasi. Maka, selanjutnya, pemberian satu suara kepada setiap
orang akan cukup bagi demokrasi hanya jika warga negara juga memiliki kekuasaan yang relatif
setara untuk semua kategori lain yang relevan. Jika tidak, dan jika ketidaksetaraan kekuasaan
bersifat ekstrim, itu sama dengan memberikan satu suara untuk mayoritas dan satu juta suara
untuk beberapa orang saja.
Studi tentang ketimpangan punya silsilah yang panjang dan kontroversial. Dalam artikel
perintis yang mengundang perdebatan tajam di American Sociological Review, Kingsley Davis
dan Wilbert Moore (1945, hlm. 242) menyatakan bahwa “kebutuhan fungsional terhadap


 
stratifikasi” itu ada. Mereka menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang kompleks orang
memiliki peran yang berbeda, dan ada alasan penting mengapa penghargaan yang berbeda
dihubungkan dengan masing-masing peran.5 Mereka menyimpulkan bahwa ketimpangan
bersifat universal karena itu dia memang perlu dan bermanfaat. Sebagai tanggapan, Melvin
Tumin (1953, hlm. 387) mengakui bahwa ketaksetaraan itu “ada dimana-mana sejak dulu kala”
(ubiquity and antiquity), tetapi ia membantah, bahwa masalah yang sebenarnya adalah
bagaimana kekuasaan dan properti didistribusikan. Walter Buckley (1958) menunjukkan bahwa
Davis dan Moore mengacaukan diferensiasi sosial dengan stratifikasi sosial. Tidaklah
kontroversial bahwa masyarakat besar dan kompleks harus memiliki pembagian kerja yang
kompleks. Juga tidak masalah bahwa peran yang berbeda akan mendapatkan imbalan yang
berbeda. Apa yang tidak perlu maupun bukan tak terhindari adalah perbedaan ekstrim dalam
penghargaan tadi. Masalah ketidaksetaraan bukanlah pada keberadaannya, melainkan pada
skalanya, yang tidak dibahas dan tidak dapat dijelaskan oleh Davis dan Moore.6 Teori
fungsional diferensiasi sosial (klaim bahwa masyarakat yang kompleks membutuhkan
ketidaksetaraan agar berfungsi) gagal menjelaskan besarnya stratifikasi sosial yang sangat
mengejutkan yang terlihat jelas sejak peradaban paling awal sampai sekarang.7

 
5
Menurut Davis dan Moore (1945, hlm. 243): “Jika tugas yang terkait dengan berbagai posisi
sama menyenangkannya bagi organisme manusia, semuanya sama pentingnya untuk
kelangsungan hidup masyarakat, dan semuanya sama-sama membutuhkan kemampuan atau
bakat yang sama, tidak ada bedanya siapa yang menempati posisi mana, maka masalah
penempatan sosial akan sangat berkurang. “ Oleh karena itu, ketidaksetaraan sosial adalah
“perangkat yang berkembang secara tidak sadar di mana masyarakat memastikan bahwa posisi
yang paling penting diisi secara cermat oleh orang-orang yang paling memenuhi syarat.”
6
Menekankan “kualifikasi” sebagai dasar bagi siapa yang mengisi peran berbeda dalam
masyarakat, Davis dan Moore berpendapat bahwa orang mendapatkan akses berdasarkan bakat
bawaan atau pelatihan. Mereka mengakui bahwa kemampuan bawaan tidak dapat menjelaskan
sebagian besar ketidaksetaraan sosial karena “bakat cukup melimpah di tengah penduduk”. Alih-
alih, mereka menunjuk pada proses pelatihan, yang “sangat lama, mahal, dan rumit sehingga
relatif sedikit yang dapat memenuhi syarat.” (Davis dan Moore 1945, hlm.244). Masalah yang
jelas pada analisis ini adalah bahwa ia bersifat melingkar karena akses kepada “pelatihan” itu
sendiri dikondisikan oleh ketidaksetaraan sosial sebelumnya.
7
Wrong (1959, p. 775) mencatat bahwa Davis dan Moore tidak pernah menunjukkan bahwa
“distribusi penghargaan yang lebih setara pada prinsipnya tidak sesuai dengan pemeliharaan
pembagian kerja yang kompleks.” Untuk pembicaraan kritis yang lebih baru tentang tesis Davis-
Moore, lihat Panayotakis (2014).

 
Unsur yang hilang dalam teori-teori tersebut adalah peran yang dimainkan kekuasaan
dalam menangkap imbalan yang tidak setara, yang bukan hanya tidak menghasilkan manfaat
sosial yang nyata, tetapi secara aktif juga merugikan bagi masyarakat. Lawan ketidaksetaraan
ekstrim bukanlah kesetaraan mutlak, suatu tujuan yang diangkat oleh kaum konservatif untuk
membatalkan dan menggagalkan agenda perubahan yang bermakna. Perjuangan untuk
kesetaraan radikal telah terbukti bersifat utopis yang berbahaya, dan kita begitu jauh dari cita-cita
ini sehingga ia tidak perlu dipertimbangkan secara serius. Medan kontestasi dan analisis yang
sesungguhnya menyangkut tingkat ketidaksetaraan, dan bagaimana hal itu dapat direduksi ke
tingkat non-patologis. Jika ketaksetaraan itu tak terhindari dan bahkan bermanfaat,
ketidaksetaraan yang ekstrim bukanlah keduanya. Kebalikan realistis dari ketimpangan ekstrem
inilah yang bisa disebut ketimpangan sederhana. Perbedaan antara ketimpangan sederhana dan
ekstrim berakar pada hubungan mereka dengan kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik.
Ketimpangan sederhana relatif tidak berbahaya karena terlalu kecil untuk menimbulkan
ketidakseimbangan kekuasaan yang menyimpang dalam masyarakat. Ketaksetaraan sederhana
tidak mengubah peluang-peluang hidup atau memungkinkan individu atau kelompok kecil
mendominasi komunitas yang besar.
Ketimpangan yang ekstrim membawa serta kekuatan yang sangat besar dan tidak muncul
secara alami atau begitu saja.8 Mereka diperjuangkan secara agresif dan dipertahankan secara
sadar.9 Dan karena peran lembaga, ketidaksetaraan yang menghasilkan imbalan dan kekuasaan
yang masif punya karakteristik keberlanjutan-diri yang penting. Lembaga adalah aturan, norma,
dan prosedur yang mencerminkan para pemenang dari pertarungan dan pergulatan sosial di masa
lalu. Mereka adalah artefak yang tersisa ketika debu konflik sosial telah surut. Kita perlu
melihat institusi sebagai penebalan struktural yang lentur dalam melawan tantangan di celah-

 
8
Tentang asal mula dan perkembangan ketaksetaraan ekstrim sejak pra-sejarah hingga saat ini,
lihat Winters (2017). Untuk sumber penting lainnya tentang ketidaksetaraan, lihat Voss (2010),
Dow dan Reed (2013), Therborn dan Aboim (2014), Lamont dan Pierson (2019), dan Ridgeway
(2019).
9
Ketika seseorang sudah punya modal awal yang signifikan ia akan jauh lebih mudah
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Inilah sebabnya mengapa cerita miskin menjadi
kaya sangat mengesankan kita daripada kekayaan dan kekuasaan yang diwariskan melalui
keluarga dan jaringan. Meskipun dengan motif yang berbeda, yang lemah dan yang kuat sama-
sama merayakan orang-orang yang bisa lolos melwati celah dalam sistem atau melewati
hambatan mobilitas sosial yang tinggi.
10 
 
celah relasi sosial yang menopang relasi kekuasaan yang ada. Institusi itu bersifat penting dalam
memberikan stabilitas dan kontinuitas bagi kekuasaan dan dominasi. Misalnya, lembaga hak
milik, yang didukung oleh pemaksaan negara, sangat penting bagi kelancaran alih kekayaan dan
kekuasaan lintas generasi. Perbudakan mengubah orang menjadi properti. Penangkapan awal
terhadap orang mengubah mereka menjadi budak; pelembagaan perbudakan memastikan
sehingga status mereka berlanjut dari generasi ke generasi.
Peran keberlanjutan lembaga ini menjelaskan mengapa retakan atau “persimpangan
kritis” begitu penting untuk memahami perubahan sepanjang sejarah. Krisis besar dapat
meretakkan dan menghancurkan struktur kelembagaan yang dapat bertahan lama terutama
karena mereka dibangun dan diperbaiki secara konstan. Meskipun yang lemah terkadang
memenangkan pertempuran yang menghasilkan institusi, hampir semua struktur dan institusi
sosial yang penting punya para penjaga perkasa di dalam dirinya yang mencerminkan dan
mempertahankan distribusi kekuasaan dan penghargaan yang tak setara. Ketika melawan balik
mereka yang kuat dan memiliki hak istimewa, kemenangan yang tegas jarang sekali terjadi.10
Tempat yang paling jelas memperlihat hal ini adalah institusi dan politik demokrasi.
Dari semua ketaksetaraan yang ada dalam masyarakat, tidak ada yang lebih ekstrim dan
penting daripada ketidaksetaraan kekayaan karena distorsi yang ditimbulkannya dalam
demokrasi dan supremasi hukum. Patut dicatat juga bahwa meskipun ketidaksetaraan kekuasaan
ada di semua ras dan gender, jelas bahwa setidaknya sejumlah kemajuan dalam bidang ini telah
dicapai di sebagian besar negara di dunia. Hanya dalam ketaksetaraan kekayaanlah, situasinya
tidak hanya memburuk selama lima puluh tahun terakhir, tetapi secara dramatis bahkan lebih
buruk dibandingkan dengan 500 atau 1.000 tahun yang lalu.
Perhatikan data tentang Indonesia untuk dua indikator konsentrasi kekuatan-kekayaan.
Yang pertama adalah Material Power Index (MPI). Ini mengukur seberapa besar kekuatan
material yang dimiliki oligark di bagian atas dibandingkan dengan orang biasa (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Perubahan Indeks Kekuatan Material di Indonesia, 2010-2020.

 
10
Dalam hal ini, Dennis Wrong (1959, hlm. 775) menyesali “kesulitan abadi yang dihadapi oleh
para reformis dan utopis dalam ‘membuat lompatan dari sejarah menuju kebebasan.’”
11 
 
I NDONESIA ’ S M ATERAL P OWER I NDEX , 2010‐2020

759,420

644,708

570,988

2010 2016 2020

Ini dihitung dengan membagi kekayaan rata-rata dari 40 orang terkaya Indonesia
(tersedia setiap tahun dari Forbes) dengan posisi kekayaan rata-rata penduduk (menggunakan
PDB per kapita sebagai proxy). Hasilnya menunjukkan bahwa kesenjangan kekayaan-kekuatan
yang sudah besar di Indonesia pada tahun 2010 telah tumbuh pesat selama dekade terakhir.
Rata-rata oligark teratas di Indonesia memiliki sekitar 570.988 kali kekuatan kekayaan rata-rata
warga negara pada tahun 2010. Jumlah ini naik menjadi 759.420 kali lipat pada tahun 2020, atau
meningkat 33%. Ini berarti konsentrasi kekayaan di kalangan oligark meningkat jauh lebih cepat
daripada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Indikator lain, Wealth Concentration Ratio, memberikan gambaran tentang negara mana
yang memiliki konsentrasi kekayaan yang ekstrim di bagian atas. Ini dihitung dengan
membandingkan median dan kekayaan rata-rata suatu negara dari data yang dikumpulkan oleh
Credit Suisse. Kekayaan median dalam masyarakat adalah titik tengah dalam populasi. Separuh
orang dewasa lebih kaya dan separuh lagi lebih miskin. Kekayaan rata-rata adalah total
kekayaan pada suatu negara dibagi dengan jumlah orang dewasa. Untuk semua 171 negara
dalam kumpulan data Credit Suisse, rata-rata lebih tinggi dari median. Ini karena konsentrasi
kekayaan yang berada di sekitar mereka yang di atas pada setiap negara membuat rata-rata
menjadi lebih tinggi. Pertanyaannya adalah seberapa tinggi. Inilah yang dikatakan Wealth
Concentration Ratio. Ini diperoleh dengan membagi kekayaan rata-rata suatu negara dengan
kekayaan mediannya. Tabel 1 menyajikan perbandingan 10 negara dengan Wealth
Concentration Ratios tertinggi pada tahun 2019. Indonesia menduduki peringkat ke-8 dunia
dengan rasio 5,3 berbanding rata-rata dunia 3,0.

Tabel 1. 10 Wealth Concentration Ratios Paling Tinggi di Dunia, 2019

12 
 
Median Average Wealth
Wealth Wealth Concentration
Rank Country (US$) (US$) Ratio
-----------------------------------------------------------------------------
1 Netherlands 31,057 279,077 9.0
2 Russia 3,683 27,381 7.4
3 Ukraine 1,223 8,792 7.2
4 United States 65,904 432,365 6.6
5 Sweden 41,582 265,260 6.4
6 Thailand 3,526 21,853 6.2
7 Germany 35,313 216,654 6.1
8 Indonesia 1,977 10,545 5.3
9 Denmark 58,784 284,022 4.8
10 India 3,042 14,569 4.8
** Average 3.0
-----------------------------------------------------------------------------
Source: Credit Suisse Global Wealth Databook, 2019.

Jalan memutar singkat ke dalam topik kekayaan yang terkonsentrasi dan kekuasaan yang
diberikannya terhadap orang kaya inilah yang merupakan dasar teori oligarki.
Para oligark adalah aktor yang diberdayakan secara politik dan sosial oleh kekayaan
(Winters 2011, 2014). Kekayaan yang terkonsentrasi selalu mendatangkan ancaman bagi
mereka yang memiliki kekayaan besar. Ancaman tersebut bisa vertikal atau horisontal. Dari
bawah, orang yang tidak kaya dapat mencoba mengambil kekayaan dari mereka yang berada di
atas. Dari atas, negara dapat mengambil kekayaan dalam bentuk pajak tinggi dan
mendistribusikannya kepada orang lain di masyarakat. Dalam kasus raja dan diktator, terkadang
redistribusi itu untuk diri mereka sendiri. Secara horizontal, para oligark juga saling menjadi
ancaman satu sama lain. Salah satu cara cepat seorang oligark menjadi lebih kaya adalah dengan
mengambil kekayaan oligark lainnya.
Sepanjang sejarah, ancaman dari segala arah ini telah menjadi fakta eksistensial bagi para
oligark, dan mereka tidak punya pilihan selain terlibat dalam pertahanan kekayaan atau binasa.
Saya mendefinisikan oligarki bukan sebagai bentuk pemerintahan, tetapi sebagai politik
mempertahankan kekayaan. Istilah oligarki menggambarkan cara-cara tertentu bagaimana
kekuasaan dan kepentingan dari sedikit orang kaya diungkapkan. Dan yang penting tentang
oligarki yang tertanam dalam sistem politik apa pun, dari otoriter hingga demokratis, adalah

13 
 
bahwa kekayaan itu sendiri adalah instrumen kekuasaan khusus mereka. Ada dua faktor kunci
yang menentukan kekuatan politik para oligark. Yang pertama adalah bentuk kekayaan mereka.
Saya mungkin kaya karena saya memiliki 10 juta ekor sapi. Tetapi ternak sulit dipakai untuk
pengaruh politik. Aset keuangan adalah bentuk kekuasaan kekayaan yang paling serbaguna dan
kuat. Uang dapat digunakan untuk berbagai tujuan politik secara luas.
Faktor kedua adalah seberapa mudah kekuasaan kekayaan dapat digunakan dalam sistem
politik tertentu. Saya mungkin memiliki banyak uang, tetapi undang-undang keuangan
kampanye yang ketat dan ditegakkan secara agresif mungkin mencegah saya membelanjakannya
untuk kandidat atau partai. Ini tidak berarti bahwa uang para oligark tidak berguna selama
pemilu, tetapi itu berarti bahwa mereka harus jauh lebih hati-hati dalam membelanjakannya
untuk memastikan agar kandidat dan kebijakan mereka menang. Seperti yang kita ketahui dari
kasus Indonesia, terkadang ada oligark yang melompati langkah mendukung partai atau kandidat
dan langsung membuat partai sendiri dan berkampanye untuk diri mereka sendiri. Ini telah
terjadi di Indonesia baik di tingkat nasional maupun regional, dan ini merupakan pola yang telah
berkembang selama dekade terakhir di negara demokrasi lain di seluruh dunia.
Penggunaan kekuatan kekayaan tidak terbatas pada kampanye dan pemilu. Oligark dapat
memberikan dana kepada legislator dan politisi untuk mendapatkan keputusan yang
menguntungkan dalam hal undang-undang dan kebijakan seperti pajak, tenaga kerja, peraturan
investasi, atau untuk memenangkan kontrak besar dari pemerintah. Mereka dapat menyewa
preman untuk mengintimidasi orang atau institusi, atau membayar gerombolan untuk memicu
protes rakyat. Untuk menghindari konsekuensi hukum, mereka dapat menyuap polisi, jaksa, dan
hakim. Semua ekspresi kekuasaan ini cukup terlihat dan terkenal, dan juga samasekali tak
tersedia bagi para warga negara biasa.
Yang sangat tak kelihatan, tetapi yang tidak kalah pentingnya, adalah apa yang saya sebut
Industri Pertahanan Kekayaan. Ini adalah industri multi-nasional dan bernilai miliaran dolar
yang tujuan satu-satunya adalah menyembunyikan dan melindungi kekayaan orang-orang sangat
kaya, terutama dari pajak dan redistribusi pemerintah, tetapi juga untuk mencuci dan merelokasi
dana curian. Industri ini penuh dengan profesional berbakat dan bergaji tinggi termasuk
pengacara, akuntan, pelobi, dan spesialis manajemen kekayaan. Semua firma hukum besar di
seluruh dunia memiliki divisi manajemen kekayaan, dan beberapa perusahaan tidak melakukan
pekerjaan lain apa pun kecuali membantu para oligark melindungi kekayaan mereka.

14 
 
Saya banyak menulis tentang bagaimana oligark beroperasi dalam demokrasi Indonesia.
Poin-poin penting yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa meskipun semua orang dewasa
Indonesia memiliki suara tunggal dan setara dalam pemilihan umum Indonesia mulai tahun
1999, para oligark menggunakan kekuasaan luar biasa yang melampaui pemungutan suara
sederhana untuk membentuk berbagai isu politik yang sedang dimainkan, untuk menentukan
partai dan kandidat mana yang bisa maju, dan siapa yang peluang menangnya signifikan. Sistem
ini juga sangat dinamis karena pemerintah merupakan target utama oligark untuk mendapatkan
pengaruh dan kontrol, tetapi jabatan pemerintahan juga merupakan jalur potensial untuk menjadi
oligark. Jabatan pemerintahan merupakan sumber kemakmuran potensial di banyak negara.
Namun karena peran sentral dari industri ekstraktif seperti minyak, gas, pertambangan, batu bara,
dan kayu, ada banyak peluang di Indonesia untuk mengeruk sumber daya yang cukup besar guna
menghasilkan kekayaan dalam skala oligark. Di A.S., misalnya, politisi bisa berharap
mendapatkan puluhan atau ratusan ribu dolar melalui korupsi. Jika mereka benar-benar
beruntung, mereka bisa menembus jutaan. Tapi di Indonesia itu bisa mencapai ratusan juta
bahkan milyaran dollar.
Meskipun skor dan peringkat Indonesia untuk demokrasi dan kebebasan anjlok dalam
beberapa tahun terakhir, negara ini berkinerja cukup baik sebagai negara demokrasi prosedural
minimalis. Pemilu terjadi tepat waktu, ada banyak kandidat dan partai yang bersaing secara
terbuka dan dengan kekerasan minimal, dan kecurangan suara minimal. Kebebasan pers dan hak
berbicara dan berkumpul sebagian besar tetap dipelihara (sekali lagi, dengan penurunan baru-
baru ini sebagai pengecualian), dan kandidat yang kalah dalam pemilu mundur dari kedudukan
mereka atau minggir dan memberi jalan bagi yang menang.
Demokrasi adalah satu-satunya sistem pemerintahan di mana para pemimpin yang kuat
menyerahkan posisi mereka secara kerap dan sukarela. Kontribusi terbesar SBY bagi demokrasi
Indonesia adalah mundur secara damai ketika batas dua masa jabatannya habis. Semua ini
penting. Tetapi mereka tidak melakukan apa pun untuk membatasi atau menetralkan kuasa
kekayaan yang sangat besar dan pengaruh para oligark dan elit Indonesia. Sebagaimana di
tempat lain di dunia, Indonesia adalah perpaduan antara demokrasi dan oligarki. Sistem
kekuasaan yang setara berdasarkan suara yang setara dikelilingi dan didominasi oleh kekuatan
oligark dan elit yang tidak setara.

15 
 
Di bagian akhir orasi ilmiah ini, saya ingin melihat lebih dekat mengenai masalah
kekayaan dan kekuasaan yang terkonsentrasi di Indonesia. Melalui studi kasus rule of law, saya
ingin menunjukkan bagaimana KPK merepresentasikan upaya menjinakkan kekuasaan para
oligark dan elit Indonesia, termasuk penilaian mengapa upaya itu penting namun gagal.

Kekuasaan dan Supremasi Hukum


Kekuatan yang terkonsentrasi secara ekstrim di beberapa tangan merongrong supremasi
hukum dengan cara yang sama sebagaimana ia mendistorsi demokrasi. Kita telah melihat bahwa
pemilu demokratis memang “bebas dan adil” dalam arti persaingan yang sempit, tetapi ia sama
sekali tidak adil dalam hal suara dan pengaruh yang setara di antara semua warga negara. Inilah
yang dimaksud McCormick dengan demokrasi sebagai “oligarki elektif.” Kita melakukan
pemilu, tetapi dalam struktur sosial dan politik yang lebih luas yang didominasi oleh kekuatan
ekstrim para oligark dan elit.
Oligark dan elit menghalang-halangi pembentukan negara hukum ketika kekuatan pribadi
mereka cukup untuk membelokkan dan mempengaruhi sistem hukum buat keuntungan mereka.
Proposisi saya untuk Anda hari ini adalah bahwa definisi negara hukum hanya masuk akal jika ia
difokuskan pada keberhasilan atau kegagalan menjinakkan para oligark dan elit suatu negara.11
Karena hal ini belum terjadi di Indonesia, maka kita harus menyimpulkan bahwa rule of law
belum ada. Kabar baiknya adalah bahwa selama dua dekade terakhir, negara ini telah melakukan
upaya besar untuk memaksa oligark dan elitnya supaya tunduk pada rule of law. Kabar
buruknya adalah bahwa setelah awal yang sangat kuat, pertempuran antara hukum dan aktor-
aktor paling berpengaruh di Indonesia telah berubah secara meyakinkan untuk berpihak pada
mereka yang berkuasa. Saya mengacu, tentu saja, pada kisah KPK yang menginspirasi namun
tragis.
Sebelum memfokuskan diri pada KPK, mari kita kaji terlebih dahulu hubungan
fundamental antara supremasi hukum dan kekuasaan orang. Ada dua elemen penting dalam
analisis ini. Bagian pertama dan termudah adalah mendefinisikan dengan jelas apa itu Negara
Hukum. Definisi ini membantu kita untuk mengatakan apakah negara hukum itu ada dan
mengidentifikasi hambatan utama apa yang menghalanginya. Unsur kedua adalah memahami

 
11
Tentang pendefinisian rule of law, lihat Oakeshott 1983, Belton 2005, Carlin 2012, dan
Gowder 2013.
16 
 
bagaimana Negara Hukum dibangun, yang merupakan masalah yang sangat berbeda. Kedua
dimensi ini membutuhkan penekanan pada kekuasaan yang jauh lebih umum dalam ilmu politik
daripada di bidang hukum, terutama di tempat-tempat di mana ia diajarkan secara normatif.
Bagaimana kita harus mendefinisikan negara hukum? Penting bagi kita untuk fokus pada
apa itu negara hukum daripada tujuan ideal yang diandaikan mau dicapai, seperti kemerdekaan,
kebebasan, atau keadilan. Paul Gowder menyebutkan tiga komponen dasar. Pertama adalah
keteraturan, yang berarti bahwa secara bisa diandalkan jabatan dibatasi oleh hukum dan aturan
dalam penggunaan kapasitas koersif negara. Kedua adalah publisitas, yang berarti orang-orang
tahu tentang peraturan dan dapat menantang penerapannya dalam kasus-kasus individu. Dan
yang ketiga adalah generalitas, yang berarti bahwa negara tidak melakukan “pembedaan yang
tidak relevan” di antara orang per orang ketika menegakkan aturan. (Gowder 2013, hlm. 566).
Sementara elemen-elemen dari Gowder mengisyaratkan peran sentral kekuasaan dalam
negara hukum, kita harus lebih eksplisit. Saya ingin memulai proses redefinisi. Saya mulai
dengan menawarkan apa yang saya sebut Reformulasi 1: Negara Hukum itu ada ketika hukum
dan lembaga hukum lebih kuat daripada semua orang yang mengatur atau diatur. Yang
penting tentang redefinisi ini adalah fokusnya pada institusi, orang, dan kekuasaan. Inti dari
negara hukum adalah bahwa orang tunduk pada hukum, bukan hukum tunduk kepada orang.
Negara Hukum membutuhkan depersonalisasi yang ketat dan tuntas dalam hal aturan dan
penegakannya, yang artinya non sub homine, sed sub lege (bukan di bawah manusia, tetapi di
bawah hukum).
Dimensi pertama depersonalisasi berkaitan dengan pejabat di suatu negara. Orang-orang
dalam pemerintahan yang berada di atas kita – entah mereka membenci atau menyukai kita,
entah mereka dari suku atau partai kita, entah mereka punya kepentingan pribadi atau politik
untuk mendukung atau merendahkan kita, atau entah mereka sedang merasa senang atau
sebaliknya – semua harus dianggap tidak relevan. Aspek kedua dari depersonalisasi adalah
bahwa karakteristik individu kita tidak menjadi masalah dalam penyelenggaraan hukum. Baik
identitas kita, posisi kita, status kita, maupun posisi kekuasaan kita tidaklah relevan. Hukum
berlaku sama untuk semua – karena itu kain penutup mata yang menutupi mata Dewi Keadilan
(simbol dengan timbangan dan pedang yang merujuk ke belakang setidaknya ke zaman Romawi,
meskipun penutup matanya itu tidak disematkan ke patung dan gambar tadi sampai abad ke-16).

17 
 
Tapi kenapa dia memakai penutup mata? Jawabannya adalah jika Dewi Keadilan bisa
melihat kita, ada resiko bahwa prasangka (kata yang secara harfiah berarti “pra-penilaian”) dari
mereka yang berkuasa akan mengubah cara kita diperlakukan oleh sistem hukum. Penutup
matanya itu adalah untuk perlindungan kita. Tetapi ada pesan lain yang lebih subtil pada
penutup mata. Dewi Keadilan juga harus dilindungi agar tak mengetahui kekuatan yang
berpotensi mengintimidasinya dari orang yang berdiri di hadapannya. Jika dia tahu, jika dia
merasakan kekuatan mereka, dan jika kekuatan mereka lebih besar darinya, penegakan
hukumnya akan terdistorsi.
Aspek kekuasaan dari rule of law ini menggeser kita dari apa itu supremasi hukum ke
bagaimana rule of law dicapai (serta kapan dan mengapa rule of law itu gagal). Ini membawa
saya ke Reformulasi 2, definisi terakhir saya: Rule of Law ada ketika hukum dan lembaga
hukum lebih kuat daripada aktor paling kuat dalam masyarakat. Perhatikan bagaimana
definisi ini mengubah fokus kita. Kita tidak lagi memperlakukan semua warga negara sebagai
suatu massa yang tidak terdiferensiasi. Seperti yang kita lihat dalam diskusi demokrasi,
kebanyakan orang memiliki kemampuan atau suara yang levelnya rata-rata. Bagi setiap mereka
sebagai individu, yang mereka punya untuk mempengaruhi politik hanyalah suara mereka satu-
satunya itu. Tapi oligarki dan elit memiliki kuasa dalam skala yang sangat besar.
Pendefinisian ulang rule of law ini menarik perhatian kita pada fakta bahwa kekuasaan
orang biasa umumnya dianggap terlalu kecil, sementara kekuatan orang-orang tertentu
berpotensi sangat besar. Dalam kaitannya dengan oligarki dan elit, makna simbolisme penutup
mata bukanlah bahwa Dewi Keadilan tidak tahu siapa yang datang di depan dia, tetapi dia begitu
kuat dan percaya diri sehingga dia tidak peduli. Bagi Dewi Keadilan, kekuatan oligarki dan elit
tidak terlihat, seolah tidak ada. Dia tidak takut. Jadi dengan mempertimbangkan posisi kekuatan
berbagai aktor dalam masyarakat, kita mencapai pemahaman yang sangat berbeda, dan, menurut
saya, pemahaman yang lebih dalam tentang persamaan di depan hukum. Artinya, sistem hukum
tidak akan mendiskriminasi yang lemah dan menghukum mereka secara tidak adil, dan tidak
akan diintimidasi oleh yang kuat dan membiarkan mereka bebas meskipun bersalah.

18 
 
Pada sebagian besar masyarakat, yang lemah tunduk pada hukum karena mereka kalah
kuasa, sedangkan hukum tunduk pada yang kuat karena sistem hukum kalah kuasa.12 Istilah
yang kita gunakan sesungguhnya mencerminkan pembedaan massa-elit ini. Aturan hukum yang
“lazim” ada ketika orang-orang di tingkat massa mentaati hukum dan lembaga hukum cukup
berhasil dalam mendeteksi, mengadili, dan menghukum pelanggaran. Menariknya, istilah yang
paling umum digunakan ketika aturan ini runtuh di tingkat massa adalah “negara gagal”, yang
merupakan kondisi merajalelanya ketiadaan hukum di mana kekuasaan dan penegakan
dilimpahkan ke berbagai aktor non-negara yang menegakkan berbagai aturan secara tambal
sulam pada semua segmen masyarakat.
Ketika kita mengatakan sebuah negara memiliki masalah “supremasi hukum”, kita tidak
mengacu pada ketiadaan hukum di tingkat massa. Melainkan, ia merujuk pada negara-negara di
mana sistem hukum ditekuk atau didistorsi oleh yang berkuasa karena mereka punya kapasitas,
sumber daya, atau koneksi untuk mempengaruhi atau mengintimidasi aparat hukum, mulai dari
polisi dan penyidik hingga jaksa dan hakim. Pembedaan ini terlihat jelas di Indonesia – suatu
masyarakat di mana kebanyakan orang mengikuti aturan dasar, roda keadilan yang lazim terus
berputar, dan ratusan ribu orang masuk penjara karena berbagai kejahatan mereka.13 Semua
orang setuju bahwa Indonesia punya problem rule of law, tetapi tidak ada yang mengatakan
negara ini sebagai negara tanpa hukum atau negara gagal. Tapi, rule of law lemah karena ia
tidak dapat memaksa orang yang paling kuat untuk tunduk pada aturan.
Reorientasi pemahaman kita tentang rule of law ini, dan mengapa ia gagal, mengalihkan
perhatian kita pada perebutan kekuasaan di bagian paling atas dari sistem sebagai lokus masalah
rule of law. Rule of Law ada ketika pejabat yang kuat di pemerintahan dibatasi supaya mentaati
hukum, dan ketika para aktor yang kuat dalam masyarakat ditangkap, diadili, dinyatakan
bersalah, dan dihukum menurut cara yang rutin, biasa, dan tak terdistorsi oleh karena sumber
daya kekuatan individual mereka.14 Rachel Belton (2005, hlm. 9) menekankan sentralitas

 
12
Misalnya, dalam kasus China: “Jika terjadi kasus antara dua orang biasa, maka hukum cukup
kuat. Tetapi jika satu orang adalah pejabat perusahaan atau dari pemerintah, maka hukum tak
berdaya”(Gorni 2003).
13
Tentang operasi rutin sistem hukum Indonesia di tingkat yang lazim, lihat Hurst 2018.
14
Perhatikan bahwa fokus pada kekuasaan ini sangat berbeda dari isu-isu seperti independensi
peradilan, pelatihan hakim, dan bidang reformasi hukum lainnya. Investasi semacam itu bagus
untuk kualitas dan kekuatan hukum secara umum, tetapi tidak bisa menghadapi tantangan-
tantangan kekuasaan khusus guna menjinakkan para oligarki dan elit. Kasus Magna Carta
19 
 
konflik kekuasaan dalam rule of law ketika dia mengatakan bahwa “kekuatan yang
sesungguhnya diambil dari individu yang kuat ketika peradilan diperkuat dan hukum prosedural
yang mengikat para eksekutif disahkan.” Dia melanjutkan bahwa “naïf jika para reformis tidak
memperkirakan akan adanya penolakan dan pengelakan reformasi yang dimaksudkan untuk
mencapai tujuan ini dari mereka yang kehilangan kekuasaan.” Dia menjelaskan mengapa:

Seperti ketika mengekang pemerintahan, menciptakan persamaan di depan hukum akan


mengubah keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat, memberi kekuasaan lebih besar
kepada orang biasa dengan akibat bagi orang kaya dan mereka yang kuat. Oleh
karenanya, kemungkinan tindakan itu akan menghadapi perlawanan politik ketika ia
cukup berhasil dan benar-benar mengancam para pemegang kekuasaan. (Belton 2005,
hlm. 10).

Pengamatan terakhir tentang ancaman terhadap pemegang kekuasaan dan perlawanan politik di
atas sangat relevan dengan perjuangan atas rule of law di tingkat atas di Indonesia.

KPK dan Rule of Law


KPK didirikan dengan fokus pada korupsi oleh pejabat, yang hanya merupakan sebagian
kecil dari semua penyalahgunaan kekuasaan di tingkat atas yang melibatkan kekayaan. Tapi
kisah KPK punya arti penting yang jauh lebih besar daripada sekadar mencegah pencurian uang
negara atau mengurangi kerugian negara. Pembentukan KPK merupakan satu-satunya upaya
terpenting dalam sejarah Indonesia untuk menegakkan rule of law – yang tadi baru saja
didefinisikan ulang sebagai lembaga hukum handal yang lebih kuat dari para aktor terkuat di
negara ini.

 
menunjukkan dengan jelas bahwa “politik dan kekuasaan sangat penting dalam menegakkan
supremasi hukum. Michael Oakeshott [1983] dengan tepat mencatat bahwa negara hukum tidak
dapat melindungi dirinya sendiri dari serangan eksternal. Ia harus memiliki pembela yang kuat
atau orang yang mendukungnya bisa mendapatkan keuntungan. Program reformasi yang
berfokus pada penyediaan komputer untuk meningkatkan efisiensi pengadilan di tengah-tengah
otokrasi politik, misalnya, tampak seperti mengobati sakit maag pada pasien yang menderita
kanker. “ (Belton 2005, hlm. 19).
20 
 
Indonesia di bawah Suharto bukanlah negara tanpa hukum, tetapi di sana tidak ada
supremasi hukum. Barisan oligarki dan elit di sekitar Soeharto, baik sipil maupun militer, jauh
lebih kuat dari aparat hukum negara. Hukum dan peralatan untuk menegakkannya hanya
berfungsi bagi mereka yang tidak kuat. Hal ini berubah pada tahun 1998 ketika krisis yang parah
membuka jalan bagi reformasi besar dalam sistem hukum Indonesia. Krisis ekonomi,
kehancuran finansial, dan serangkaian mobilisasi massa di jalanan membuat kaum oligarki dan
elit Indonesia kehilangan keseimbangan, bingung, dan berantakan. Penting untuk memahami
momen ini bukan hanya sebagai runtuhnya posisi kekuasaan Suharto, tetapi sebagai keruntuhan
dengan dampak luas yang melanda seluruh struktur kekuasaan di tingkat atas. Patut diperhatikan
juga bahwa aparat keamanan Indonesia yang bekerja erat dengan Soeharto pun mengalami
hantaman dan pelemahan pada periode ini.
Tuntutan kompak para demonstran adalah diakhirinya kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Beberapa aktivis secara eksplisit menyatakan apa sebenarnya inti dari tuntutan ini – sebuah
upaya untuk memaksa orang-orang kuat untuk tunduk pada supremasi hukum sebagaimana yang
secara rutin dilakukan oleh mereka yang tidak berdaya.15 Terlepas dari semua retorika yang ada,
dari perspektif kekuasaan, pembentukan KPK harus dipahami sebagai ancaman langsung
terhadap penyalahgunaan kekuasaan di lapisan atas masyarakat Indonesia. Satu-satunya cara
untuk melakukan ini adalah dengan membentuk sebuah institusi atau badan yang entah
bagaimana harus lebih kuat daripada orang-orang kuat di atas. Sejak awal, menerapkan batasan
hukum pada oligarki dan elit Indonesia adalah perjuangan yang berat. Dan desain, ruang
lingkup, serta perjuangan yang dihadapi KPK mencerminkan konfrontasi kekuatan raksasa yang
terlibat.
Hal pertama yang harus kita sadari adalah keruntuhan dalam struktur kekuasaan status
quo yang muncul pada tahun 1998 bersifat terbatas dalam skala dan durasinya. Mari kita ingat
bahwa sangat jarang terjadi seorang diktator yang jatuh, mau lengser begitu saja, dan kemudian
diam-diam pulang ke rumah untuk menghabiskan tahun-tahun selanjutnya dengan menonton TV

 
15
Lihat Elizabeth Kramer (2019) untuk gambaran yang sangat baik tentang LSM dan elemen
masyarakat sipil lainnya yang berjuang keras untuk membentuk KPK. Dia secara khusus
menyebutkan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Indonesia Procurement Watch (IPW),
Indonesian Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),
Transparency International Indonesia (TII), Gerakan Anti Korupsi (GeRAK), Advokasi Komisi
Pemberantasan Korupsi (AKAK), dan Gerakan Anti Politisi Busuk (GAPB).
21 
 
dan menikmati hidupnya sebagai seorang kakek. Batista di Kuba, Shah di Iran, Somoza di
Nikaragua, Marcos di Filipina, Mubarak di Mesir, Gaddafi di Libya, dan Ceaușescu di Rumania
semuanya digulingkan setelah terjadinya pemberontakan massal dan mereka melarikan diri ke
pengasingan, dipenjara, atau terbunuh. Suharto adalah pengecualian. Saya pikir kita semua akan
setuju bahwa orang Indonesia pada umumnya adalah orang yang sangat baik. Tapi ini tidak
menjelaskan mengapa Soeharto diperlakukan begitu baik. Saya berpendapat bahwa itu karena
dia dan kekuatan status quo mengalami kewalahan pada tahun 1998 dan 1999, tetapi kewalahan
mereka tidak terlalu besara dan tidak berlangsung terlalu lama.
Dukungan di kalangan para oligarki dan elit terhadap hukum dan institusi yang lebih kuat
yang akan membuat korupsi sebagai permainan berisiko tinggi tidaklah universal. Memang
benar bahwa pada awal 1990-an, para oligarki merasa lebih sulit untuk mempertahankan
kekayaan mereka dari tindakan predator yang dilakukan oleh anggota keluarga presiden. Pada
akhir 1990-an, keprihatinan mereka menjadi kekhawatiran dan kepanikan. Bukan praktik
korupsi yang membuat mereka jengkel. Kebanyakan mereka menjadi sangat kaya justru melalui
suatu jenis imbalan korupsi. Ketidakpastian baru dalam korupsilah yang menjadi sangat
mengganggu. Selama dekade-dekade awal rezim Suharto, uang mengalir di antara mereka yang
kuat dengan tertib di mana pembayaran tidak berakibat menghancurkan dan, seperti dalam
operasi mafia yang kuat, kesepakatan adalah kesepakatan. Jika timbul masalah, Soeharto
sebagai Don mafia akan membereskan dan memulihkan perdamaian dan ketertiban. Fungsi
penting inilah yang berantakan ketika Orde Baru kian dewasa. Yang dirindukan oleh para
oligark adalah ketertebakan lama, yang membuat sebagian dari mereka sangat memperhatikan
kemungkinan untuk mendukung sistem hukum yang lebih kuat.
Tapi ini bukanlah pandangan yang dominan. Selama beberapa dekade politik-ekonomi
bangsa ini telah dibangun di atas ekstraksi sumber daya ketimbang produksi dan manufaktur.
Logika dominan dari persaingan dalam politik dan ekonomi ekstraksi adalah “get a piece of the
action,” yang merupakan kontes klasik orang dalam lawan orang luar. Jalan menuju perolehan
kekayaan adalah dengan masuk ke dalam dan terhubung dengan aliran kekayaan, lalu berusaha
agar hubung itu tetap terjaga selama mungkin.
Semua variabel dan motivasi ini sangat mendukung korupsi – dan bukan hanya korupsi,
tetapi juga seluruh budaya bagi-bagi dan politik kartel yang menyertainya (Slater 2011; Winters
2011; Dick dan Mulholland 2016). Dalam sistem hukum, ini bisa dilihat mulai dari petugas

22 
 
polisi lalu lintas biasa yang berdiri sepanjang hari di bawah terik matahari, menghirup asap
knalpot yang beracun. Mereka mengumpulkan “pungutan non-resmi” dari mobil-mobil yang
lewat. Mengapa mereka melakukan ini? Sangat mudah untuk membuktikan bahwa itu bukan
untuk memperkaya diri sendiri. Ikuti saja selusin polisi pulang dan lihat bagaimana hidup
mereka. Mereka adalah anak tangga terendah pada tangga panjang ekstraksi dan transfer ke atas.
Contoh ini bukan untuk mengecam dan mengritik polisi. Sekalipun sebagian ekstraksi dilakukan
oleh tingkat terendah, keseluruhan desain sistemnya adalah untuk memastikan pengayaan yang
ada di tingkat atas. Praktik-praktik ini merajalela di semua sektor ekonomi politik di mana
ekstraksi bersifat dominan dan mendapatkan bagian dari tindakan adalah hal yang amat
penting.16
Patut dicatat bahwa ada generasi baru politisi yang terpilih pada tahun 1999 yang
mendapatkan kekuatan dan popularitasnya dari gerakan antikorupsi. Mereka bergabung dengan
LSM, beberapa oligark reformis, dan elit-elit lainnya di dalam dan di luar pemerintahan untuk
membentuk KPK. Dalam hal kekuasaan, koalisi ini berpengaruh bukan hanya karena sumber
daya mereka sendiri, tetapi juga secara relatif: lawan-lawan mereka dalam sistem masih dalam
proses mengelompok-kembali setelah jatuhnya Suharto. Perlu waktu untuk memperoleh kembali
keseimbangan dan kepercayaan diri. Artinya, bagi KPK, jam terus berdetak dan para reformis
harus bertindak cepat sebelum jendela peluang tertutup.
Jelas bahwa kebutuhan atas reformasi hukum setelah tahun 1998 bersifat sistemik, tetapi
tanggapannya bersifat segmental. Ini bukan karena para reformis kurang visi atau pemahaman.
Itu adalah cerminan dari posisi kekuasaan yang terbatas dari mana inisiatif negara hukum
diluncurkan. Para reformis tidak memiliki kekuatan dan dukungan untuk melakukan upaya
reformasi polisi, jaksa, dan hakim yang mendalam dan luas di seluruh penjuru tanah air. Tidak
ada revolusi sosial yang membuat hal itu bahkan punya kemungkin untuk terjadi. Membentuk
KPK adalah langkah awal dan hal paling realistis yang dapat diharapkan dalam situasi ini.
Bayangkan KPK sebagai sinar laser yang terfokus dan kuat daripada sebagai lampu sorot yang

 
16
Lihat Kenny dan Warburton (2021) tentang pembayaran suap di Indonesia. Perhatikan bahwa
pengurutan itu penting. Ekonomi ekstraksi Indonesia muncul sebelum supremasi hukum
dibentuk dan menjadi kuat. Norwegia adalah contoh negara yang telah mendirikan institusi
hukum yang cukup kuat sebelum kebangkitan dan dominasi industri minyak dan gas ekstraktif
yang mengangkat negara itu dari kemiskinan menjadi kekayaan Eropa. Memang sulit tetapi
bukan tidak mungkin merongrong lembaga hukum yang sudah kuat dan sangat mapan.
23 
 
besar-lebar tapi lemah. Reformasi yang segmental ketimbang yang sistemik berarti adalah
adopsi pendekatan enclave (daerah kantong-kantong, atau wilayah istimewa).
Untuk berjuang pada level kekuasaan tertinggi di negeri ini, strateginya adalah
mengesahkan undang-undang khusus, menanam KPK di ruang hukum yang sempit, mendirikan
tembok tinggi di sekeliling ruang itu, mengisi lembaga dengan personel yang dipilih secara
cermat, memberi orang-orang itu kekuatan investigasi yang luar biasa, fokus pada bentuk
penyalahgunaan kekuasaan yang sangat terbatas (kerugian negara), dan membawa terdakwa ke
pengadilan dalam pengadilan khusus (daerah kantong lain) yang dikhususkan hanya untuk kasus
korupsi. Harapannya adalah bahwa pendekatan daerah kantong (atau wilayah istimewa) ini,
melalui popularitas dan legitimasinya, dapat memulai proses perubahan bertahap dalam sistem
hukum yang lebih luas. Sayangnya alih-alih mentransformasi sistem, KPK malah menjadi
sistem yang sama saja.
Bisa kita katakan, bahwa kekuatan awal KPK didasarkan pada pemisahannya dari yang
lain dalam sistem yang ada. Ia lebih bersih, lebih dapat diandalkan, dan juga cukup berhasil
dalam penuntutan. Namun seiring berjalannya waktu, pemisahan ini menjadi kelemahan KPK.
Kecuali jika KPK mampu melakukan lebih dari sekedar menangkap ikan besar dan mencapai
angka tingkat vonis yang tinggi, ia pasti gagal. Jika KPK tidak dapat menjadi instrumen
transformasi yang lebih luas dalam sistem hukum (yang merupakan permainan kekuasaan, bukan
proyek teknis), atau, jika pusat kekuasaan lain dalam sistem tidak mendorong perubahan di
bidang aparat hukum yang lain, maka isolasi KPK akan menjadi rumus kegagalan. Pada
kenyataannya, ia bahkan lebih buruk lagi. Semakin KPK efektif saat terjebak dalam ruang
sempitnya, semakin ia mempercepat kekuatan dan proses-proses pukulan balik melawannya. Di
mata para oligark dan elit Indonesia, KPK itu buruk karena ia baik.
Penilaian saya sendiri adalah bahwa keterbatasan KPK tidak boleh disalahkan pada
kekeliruan perencanaan dan pelaksanaan oleh para reformis yang membentuk Komisi itu dan
menjalankannya selama lebih dari lima belas tahun. Nasib KPK, terutama isolasi dan
kerentanannya, mencerminkan hal terbaik yang bisa dilakukan mengingat terbatasnya kekuasaan
dan dukungan yang dimiliki oleh para reformis.

24 
 
Dalam kondisi inilah kita melihat upaya berulang-ulang untuk melucuti kewenangan
KPK, dengan pukulan terbaru dan paling dahsyat datang pada akhir tahun 2019.17 Perhatikan
bahwa jika KPK adalah badan yang menangkap dan menuntut kapal penangkap ikan ilegal
(milik orang asing) di perairan Indonesia, atau jika KPK sangat pintar melacak pembunuh dan
pemerkosa (kejahatan orang biasa), oligark dan elit Indonesia akan mensponsori perayaan para
pemimpin KPK dan membanjiri mereka dengan penghargaan prestasi. Tapi KPK tidak
memburu target yang mudah seperti itu. Ia mengejar target paling berbahaya: warga bangsa
sendiri yang kuat. Peran ini mungkin membuatnya berteman dengan para warga Indonesia biasa,
tapi ia mengundang musuh di kalangan atas, di mana sebagian besar kekuatan berada. Rakyat
memang memiliki kekuatan laten yang besar, tetapi ia hanya berarti ketika diaktifkan dan
dimobilisasi.
Saat terbukanya kekuasaan yang terbatas setelah 1998 inilah, upaya-upaya Indonesia
yang terpenting dalam menjinakkan yang kuat dan penegakan supremasi hukum terhadap mereka
terjadi. Dan keterbatasan-keterbatasan tadi menjelaskan banyak hal tentang bagaimana kisah
KPK terungkap, dan mengapa badan yang paling populer dan sah ini sekarang dinetralkan secara
bertahap. Jawaban sederhananya adalah ketika kekuatan oligark dan elit Indonesia menjadi
stabil dan mengalami penguatan kembali, dan ketika banyak perpecahan yang meledak pada
tahun 1998 di kalangan atas diperbaiki, keseimbangan kekuasaan yang sempat menguntungkan
KPK berbalik cepat untuk menentangnya. Yang kuat mulai menata barisan. Akibatnya bukan
hanya nasib KPK yang terancam, tetapi yang lebih penting, kemajuan Indonesia menuju
supremasi hukum terhenti karena para oligark dan elit menegaskan kembali kekuasaan mereka.
Alih-alih menciptakan efek riak sistemik yang mereformasi aparat hukum lainnya, KPK tetap
menjadi daerah pelindung yang telah dipaksa untuk melakukan pertempuran defensif ketimbang
ofensif hampir sejak awal.

 
17
Banyak hal telah ditulis orang tentang upaya keras selama dekade terakhir untuk menetralkan
KPK. Untuk ulasan yang bagus lihat, “Intimidating the KPK,” Tempo, 15 Agustus 2012; “DPR
Akan Merevisi UU KPK,” Tempo, 9 Oktober 2015; Mulholland 2016; Atmasasmita 2019;
Adhiyuda 2019; Buehler 2019; Aji 2019; Ihsanuddin 2019; Mulholland dan Sanit 2020; dan
Adjie 2020.
25 
 
Bukan berarti upaya KPK gagal total.18 Itu tergantung pada bagaimana orang membaca
apa yang terjadi dan pelajaran apa yang mereka petik. Pertama, kebanyakan pendekatan
normatif tidak efektif. Memang sangat menyenangkan punya prinsip di pihak kita. Tetapi
instrumen yang paling efektif untuk melawan kekuatan besar adalah kekuatan yang lebih besar
lagi. Begitulah kondisi awal lahirnya KPK. Dan nasibnya dapat dilacak menurut perubahan
konstelasi kekuasaan pada masa-masa setelah 2004. Cerita ini menegaskan sentralitas kekuasaan
dalam pembentukan rule of law.
Ketika kita meninjau peristiwa-peristiwa dalam 15 tahun terakhir di seputar KPK, ada
kecenderungan untuk mempersonalisasikan perebutan kekuasaan, yang membuatnya jadi tampak
remeh daripada sesuatu yang mengancam sistem. Karena begitu banyak yang dipertaruhkan,
menjinakkan oligark dan elit tidak pernah terlihat indah. Terlalu merendahkan jika kita katakan
bahwa kapasitas mereka untuk melawan sangat signifikan. Dan sejarah KPK membuktikan
bahwa berdiri di garis depan pertarungan supremasi hukum memang sangat berisiko. Tokoh-
tokoh penting KPK telah dipenjara karena pembunuhan, dicederai dan dibuat buta karena
siraman air keras ke wajah mereka, dan bahkan dituduh melakukan korupsi. Pers pun telah
mengangkat konflik ini terutama sebagai sensasi yang bersifat pribadi. Jika tidak ditempatkan
dalam konteks yang tepat, publik dengan mudah mendapat kesan bahwa ini semua hanyalah
konflik pribadi yang terjadi karena para pemain ambisius berebut posisi-posisi penting di atas,
atau pertarungan sepele dan kecemburuan antara institusi seperti KPK versus polisi (cicak versus
buaya).
Tapi ini adalah salah tafsir serius tentang pertempuran yang sesungguhnya sedang terjadi.
Penting disadari bahwa reaksi keras terhadap badan seperti KPK, yang berusaha memaksakan
supremasi hukum kepada yang paling berkuasa, akan selalu dimainkan kasus per kasus, drama
demi drama. Tapi ini tidak mengurangi arti penting dari apa yang sedang dipertaruhkan jika
dilihat dalam potret yang lebih besar. Pada akhirnya, hasil pentingnya adalah bahwa yang kuat
akan tunduk pada hukum, atau hukum akan tunduk pada yang kuat. Terlepas dari semua drama
dan tragedi tadi, ini adalah satu-satunya hal yang penting bagi masa depan bangsa Indonesia.
Dari cerita ini kita melihat bahwa perebutan kekuasaan pada inti rule of law dimulai
dengan kerusakan dan pembukaan dalam konstelasi kekuasaan status quo. Krisis ini dapat

 
18
Untuk penilaian dari pejabat KPK tentang pencapaian dan tantangan Komisi itu, lihat Jasin
2011, Nainggolan 2014, dan Putrie 2016.
26 
 
menghasilkan konfigurasi kekuasaan yang melahirkan reformasi besar, undang-undang baru,
lembaga baru, perilaku baru, dan harapan baru di kalangan rakyat dan sesekali juga di antara
mereka yang kuat. Penting untuk diperhatikan apakah para oligark dan elit percaya bahwa
perubahan ini bersifat permanen dan mereka harus menyesuaikan diri dengan realitas baru, atau
dianggap hanya sementara dan dapat dibalik. Begitu reformasi hukum diterapkan, tindakan
investigasi yang berulang dan konsisten, penuntutan, dan hukuman tanpa rasa takut atau
intimidasilah yang akan membuat rule of law menjadi lazim dan diharapkan, dan pada akhirnya
dilembagakan dan diberdayakan. Dengan kata lain, tidak mungkin proses penegakan hukum
dapat dipisahkan dari konstelasi kekuasaan di atas.
Apakah ini membutuhkan keberanian individu tertentu di antara mereka yang
melaksanakan prosedur tersebut? Ya, tentu saja. Tetapi memakai penutup mata Dewi Keadilan,
dan memperlakukan bahaya yang besar seolah-olah ia tidak ada, tidak boleh hanya semata
mengandalkan keberanian individu karena sebagian besar kita bukanlah pahlawan (yang
menjelaskan mengapa setiap bahasa memiliki kata khusus untuk mereka). Komitmen pribadi
dan profesional para pelaku sistem hukum tidak cukup ketika bentuk-bentuk kekuasaan yang lain
tak hadir buat menghadapi mereka yang kuat.19
Dalam pengertian normatif, rule of law adalah sebuah gagasan dan prinsip yang hampir
tak ada kontroversi lagi. Kita sulit menemukan orang yang mau terang-terangan secara prinsip
melawan supremasi hukum. Tetapi dalam praktik, supremasi hukum hampir-hampir murni
merupakan perkara kekuasaan. Dan merupakan kewajiban bagi para pendidik hukum dan para
profesional hukum (dosen, profesor, pengacara, jaksa, dan hakim di semua tingkatan) untuk
menyadari bahwa kecuali jika peran kekuasaan yang tak setara di tangan individu dan kelompok
tadi dipahami dan dipersoalkan, maka mewujudkan supremasi hukum akan tetap sulit. Ini berarti
bahwa pengkajian dan implementasi hukum harus mengintegrasikan pengetahuan sejarah (kapan
dan di mana implantasi hukum berhasil dan gagal), ilmu politik (peran apa yang dimainkan oleh
hal-hal seperti kekuasaan, gerakan, dan krisis politik ketika rule of the law mengalami kemajuan
atau kemunduran), dan ekonomi (karena tidak ada distorsi atau ketaksetaraan kekuasaan yang

 
19
Hal yang sama juga berlaku untuk sisi lainnya. Naif mengandalkan moralitas individu untuk
memperlambat, apalagi mengakhiri, korupsi yang merajalela dan pelanggaran-pelanggaran
serupa. Keyakinan dan prinsip pribadi penting, tetapi tidak efektif jika individu dikelilingi oleh
relasi kekuasaan dan kekuatan lain yang mendukung korupsi dan dapat membuat orang benar-
benar enggan untuk melakukan partisipasi berisiko dalam posisi atau karirnya. 
27 
 
lebih besar daripada dalam distribusi sumber daya material – kekayaan dan uang). Kita harus
memisahkan pengertian kita tentang demokrasi, hukum, dan ekonomi sehingga kita dapat
mengurai hubungan-hubungannya dan memahami asumsi yang kita buat. Dan kemudian, setelah
memahami elemen-elemen keseluruhan yang berbeda tadi, kumpulkan kembali secara
konseptual dengan pemahaman dan penguasaan yang lebih besar dan mendalam.
Untuk mengembalikan percakapan ini pada perayaan penting kita hari ini, saya ingin
mengajukan pertanyaan sederhana: Mau seperti apakah wujud perkuliahan di Fakultas Hukum
yang menganalisis hubungan mendasar antara ketaksetaraan kekuasaan yang ekstrim dan
pembentukan rule of law yang berhasil? Jawaban atas pertanyaan ini saya serahkan kepada
rekan-rekan saya yang terhormat di FH UGM yang sedang merancang langkah-langkah menuju
75 tahun ke depan sebagai para pemimpin penting dalam bidang hukum dan dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia.

28 
 
Bibliografi

Fransiskus Adhiyuda. 2019. “PUKAT UGM akan Bawa UU KPK ke Mahkamah Konstitusi.”
TribunNews, 23 September. <https://www.tribunnews.com/nasional/2019/09/23/pukat-ugm-
akan-bawa-uu-kpk-ke-mahkamah-konstitusi>.

Moch. Fiqih Prawira Adjie. 2020. “How the KPK Is Losing Public Trust. Jakarta Post, October
11. <https://www.thejakartapost.com/news/2020/10/11/explainer-how-the-kpk-is-losing-public-
trust.html>.

M. Rosseno Aji. 2019. “Ada 87 OTT di KPK Era Agus Rahardjo, 327 Orang Tersangka.”
Tempo, 17 December. <https://nasional.tempo.co/read/1284689/ada-87-ott-di-kpk-era-agus-
rahardjo-327-orang-tersangka>.

ANTARA. 2015. “DPR Set to Revise KPK Law.” Tempo, October 9.


<https://en.tempo.co/read/708012/dpr-set-to-revise-kpk-law>.

Iqra Anugrah. 2020. “The Illiberal Turn in Indonesian Democracy.” The Asia-Pacific Journal,
April 15, Vol. 18 No. 1, pp. 1-17. < https://apjjf.org/2020/7/Anugraph.html>.

Rachel Kleinfeld Belton. 2005. “Competing Definitions of the Rule of Law: Implications for
Practitioners.” Carnegie Papers, No. 55. Democracy and Rule of Law Project. Carnegie
Endowment for International Peace.

Walter Buckley. 1958. “Social Stratification and the Functional Theory of Social
Differentiation.” American Sociological Review, 23, August, pp. 369-375.

Michael Buehler. 2019. “Indonesia Takes a Wrong Turn in Crusade against Corruption.
Financial Times, October 2. <https://www.ft.com/content/048ecc9c-7819-3553-9ec7-
546dd19f09ae>.

Ryan E. Carlin. 2012. “Rule-of-Law Typologies in Contemporary Societies.” The Justice System
Journal Vol. 33, No. 2, pp. 154-173. <http://www.jstor.com/stable/23268812>.

Kingsley Davis and Wilbert E. Moore. 1945. “Some Principles of Stratification.” American
Sociological Review, April, Vol. 10, No. 2, pp. 242-249.
<https://www.jstor.org/stable/2085643>.

Howard Dick and Jeremy Mulholland. 2016. “The Politics of Corruption in Indonesia.”
Georgetown Journal of International Affairs, Winter/Spring, Vol. 17, No. 1, pp. 43-49.
<https://www.jstor.org/stable/26396152>.

Gregory K. Dow and Clyde G. Reed. 2013. “The Origins of Inequality: Insiders, Outsiders,
Elites, and Commoners.” Journal of Political Economy, June, Vol. 121, No. 3, pp. 609-641.
<https://www.jstor.org/stable/10.1086/670741>.

29 
 
Martin Gilens and Benjamin I. Page. 2014. “Testing Theories of American Politics: Elites,
Interest Groups, and Average Citizens.” Perspectives on Politics, September, Vol. 12 , No. 3, pp.
564-581. < https://doi.org/10.1017/S1537592714001595>.

Ram Gorni, “China: Rule of Law, Sometimes.” Asia Times, July 3, 2003.
<http://www.atimes.com/atimes/China/EG03Ad03.html>.

Paul Gowder. 2013. “The Rule of Law and Equality.” Law and Philosophy, September, Vol. 32,
No. 5, pp. 565-618. https://www.jstor.org/stable/24572415

William Hurst. 2018. Ruling before the Law: The Politics of Legal Regimes in China and
Indonesia. Cambridge University Press.

Ihsanuddin. 2019. “Perumus UU KPK: KPK Menyimpang dari Tujuan Awal.” Kompas,
September 9. <https://nasional.kompas.com/read/2019/09/09/19373061/perumus-uu-kpk-kpk-
menyimpang-dari-tujuan-awal>.

“Intimidating the KPK.” 2012. Tempo, August 15.


<https://en.tempo.co/read/423697/intimidating-the-kpk>.

Mochammad Jasin. 2011. “The Corruption Eradication Commission (KPK).” UNAFEI. United
Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
<https://www.unafei.or.jp/publications/pdf/GG5/GG5_Indonesia1.pdf>.

Paul Kenny and Eve Warburton. 2021. “Paying Bribes in Indonesia.” New Mandala. 20 January.
<https://www.newmandala.org/wp-content/uploads/2021/01/Paying-bribes-in-
Indonesia_formatted.pdf>.
<https://www.newmandala.org/paying-bribes-in-indonesia/>.

Elizabeth Kramer. 2019. “Democratization and Indonesia’s Anticorruption Movement,” in


Thushara Dibley and Michele Ford, Progressive Politics in Democratic Indonesia. Ithaca:
Cornell University Press, pp. 41-59. <https://www.jstor.org/stable/10.7591/j.ctvpwhg5w.7>

Michèle Lamont and Paul Pierson. 2019. “Inequality Generation and Persistence as
Multidimensional Processes.” Daedalus, Summer, Vol. 148, No. 3, pp. 5-18.
<https://www.jstor.org/stable/10.2307/48562995>.

John McCormick. 2011. Machiavellian Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.

Jeremy Mulholland. 2016. “Indonesia’s Anti-Corruption Drive,” Parts One and Two, New
Mandala, 20 May.
<https://www.newmandala.org/indonesias-anti-corruption-drive-part-one/> and
<https://www.newmandala.org/indonesias-anti-corruption-drive-part-two/>.

30 
 
Jeremy Mulholland and Arbi Sanit. 2020. “The Weakening of Indonesia’s Corruption
Eradication Commission.” East Asia Forum, 28 January.
<https://www.eastasiaforum.org/2020/01/28/the-weakening-of-indonesias-corruption-
eradication-commission/>.

Andre Dedy Nainggolan. 2014. “Evolving Efforts on Corruption Enforcement.” UNAFEI. United
Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
<https://www.unafei.or.jp/publications/pdf/GG8/16_GG8_IP_Indonesia_Andre.pdf>.

Michael Oakeshott. 1983. “The Rule of Law.” In What Is History? and Other Essays. New
York: Barnes and Noble.

Costas Panayotakis. 2014. “Capitalism, Meritocracy, and Social Stratification: A Radical


Reformulation of the Davis-Moore Thesis.” The American Journal of Economics and Sociology,
January, Vol. 73, No. 1, pp. 126-150. <https://www.jstor.org/stable/43818655>.

Irene Putrie. 2016. “The KPK Experience: International Cooperation.” UNAFEI. United Nations
Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
<https://www.unafei.or.jp/publications/pdf/GG10/18_CP_Indonesia_KPK.pdf>.

Cecilia L. Ridgeway. 2019. “Status, Difference, and the Durability of Inequality.” In Why Is It
Everywhere? Why Does It Matter? Russell Sage Foundation.
<https://www.jstor.org/stable/10.7758/9781610448895.10>.

Maria Paula Saffon and Nadia Urbinati. 2013. “Procedural Democracy, the Bulwark of Equal
Liberty.” Political Theory, June, Vol. 41, No. 3, pp. 441-481.
<https://www.jstor.org/stable/23484433>.

Joseph Schumpeter. 1942. Capitalism, Socialism, and Democracy. Third Edition. New York:
Harper & Brothers.

Dan Slater. 2011. Ordering Power: Contentious Politics and Authoritarian Leviathans in
Southeast Asia. Cambridge University Press.

Göran Therborn and Sofia Aboim. 2014. “The Killing Fields of Inequality: Interview with Göran
Therborn.” Análise Social, Vol. 49, No. 212, pp. 728-735.
<http://www.jstor.com/stable/43152839>.

Dirk Tomsa. 2020. “Public Opinion Polling and Post-Truth Politics in Indonesia.” Contemporary
Southeast Asia, April, Vol. 42, No. 1, pp. 1-27.
<https://www.jstor.org/stable/10.2307/26937782>.

Melvin M. Tumin. 1953. “Some Principles of Stratification: A Critical Analysis.”


American Sociological Review, August, Vol. 18, No. 4, pp. 387-394.
<https://www.jstor.org/stable/2087551>.

31 
 
Kim Voss. 2010. “Enduring Legacy? Charles Tilly and ‘Durable Inequality.’” The American
Sociologist, December, Vol. 41, No. 4, Remembering Charles Tilly, pp. 368-374.
<https://www.jstor.org/stable/40983486>.

Jeffrey A. Winters. 2011. Oligarchy. Cambridge University Press.

_______________. 2014. “Oligarchy and Democracy in Indonesia.” In Thomas Pepinsky and


Michele Ford, Beyond Oligarchy. Cornell University Press.

_______________. 2017. “Wealth Defense and the Complicity of Liberal Democracy.” Nomos,
Vol. 58, American Society for Political and Legal Philosophy, pp. 158-225.
<https://www.jstor.org/stable/10.2307/26785952>.

Dennis H. Wrong. 1959. “The Functional Theory of Stratification: Some Neglected


Considerations.” American Sociological Review, December, Vol. 24, No. 6, pp. 772-782.
<https://www.jstor.org/stable/2088564>.

32 
 

Anda mungkin juga menyukai