Anda di halaman 1dari 13

Tantangan Akuntabilitas Pelanggaran Berat

HAM Masa Lalu


dan
Peluang dengan Pendekatan Keadilan
Transisi

Zaenal Muttaqin
(Sekretaris Umum IKOHI)
Tantangan
• Tantangan utama dalam upaya pertanggungjawaban Negara atas pelanggaran berat
HAM masa lalu adalah kokohnya impunitas hingga saat ini.
Impunitas  sebuah fakta/keadaan yang memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan
atau hukuman kepada pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses peradilan kriminal, sipil, administratif,
atau disipliner.
• Para terduga pelaku hingga kini masih menjabat/memiliki pengaruh kuat di dalam
kekuasaan negara.
• Kurang kuatnya tekanan dan dukungan publik atas penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran berat HAM
 Tiadanya penyelesaian atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu
mengakibatkan berulangnya tindak kejahatan HAM serupa.
Bukti-Bukti Terhambatnya Penyelesaian
Peristiwa yang diselidiki Komnas Hasil
HAM
Kasus Timor Timur 1999 Jumlah tertuduh 18 orang. Pengadilan HAM ad hoc menyatakan 12 orang bebas dan 6
orang bersalah. Semua vonis dibatalkan dalam tahap kasasi oleh Mahkamah Agung.

Kasus Tanjung Priok, Jakarta 1984 Jumlah tertuduh 14 orang. Pengadilan HAM ad hoc menyatakan 2 orang bebas dan 12
orang bersalah. Semua vonis dibatalkan dalam tahap kasasi oleh Mahkamah Agung.

Abepura, Papua 2000 Jumlah tertuduh 2 orang. Pengadilan HAM Makassar menyatakan semuanya tidak
bersalah.
Trisakti/Semanggi I dan Semanggi II, Jakarta Tidak ada tindak lanjut dari Kejaksaan Agung, dengan alasan prinsip ne bis in idem
1998/1999 (karena telah ada putusan pengadilan militer terhadap pelaku pada 1999) dan tidak
adanya rekomendasi dari DPR.
Wasior dan Wamena, Papua 2002 - 2003 Tidak ada tindak lanjut dari Kejaksaan Agung, dengan alasan berkas tidak lengkap.

Pembunuhan di Talangsari, Lampung 1989 Tidak ada tindak lanjut dari Kejaksaan Agung, karena Kejaksaan Agung masih meneliti
kelengkapan persyaratan formil dan materiil berkasnya.
Peristiwa Kerusuhan Mei, Jakarta 1998 Tidak ada tindak lanjut dari Kejaksaan Agung, dengan alasan berkas tidak lengkap dan
harus menunggu terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc.
Kasus penghilangan paksa aktivis 1997/1998 Tidak ada tindak lanjut dari Kejaksaan Agung, dengan alasan harus menunggu
pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Tahun 2009 DPR membuat rekomendasi
pembentukan pengadilan ad hoc untuk kasus ini, namun sampai sekarang Presiden
belum mengeluarkan keputusan.
Peristiwa 1965-1966 Tidak ada tindak lanjut dari Kejaksaan Agung, dengan alasan berkas tidak lengkap dan
harus menunggu terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc.
KEADILAN TRANSISI SEBAGAI PENDEKATAN
PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA
Pertanggungjawaban adalah langkah yang dilakukan negara untuk memperbaiki kehancuran
akibat dari adanya pelanggaran berat HAM.

Keadilan transisi merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk mendorong
pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang meluas dan sistematik. Pendekatan ini
menekankan pentingnya pengakuan negara atas pelanggaran yang terjadi dan penghargaan
terhadap martabat korban. Keadilan transisi bukanlah bentuk lain dari keadilan, tetapi
merupakan keadilan yang dibangun pada masyarakat yang sedang bertransformasi menuju
masyarakat demokratis.

Pendekatan ini menguat pada 1980 - 1990an, saat terjadi perubahan politik dan tuntutan keadilan
di Amerika Latin dan Eropa Timur. Saat itu, para pekerja HAM berkeinginan menuntaskan
pelanggaran HAM yang terjadi pada rezim sebelumnya tanpa membahayakan transformasi
politik yang sedang berlangsung. Proses perubahan ini populer disebut sebagai “transisi menuju
demokrasi”, yang kemudian dikenal sebagai “keadilan transisi”.
Kewajiban Negara
Negara mengemban kewajiban untuk memenuhi:

• hak atas kebenaran, yang merupakan hak individual setiap korban dan
hak kolektif masyarakat untuk mengetahui pelanggaran-pelanggaran
berat HAM yang terjadi, siapa pelakunya dan mengapa sampai terjadi;
• hak atas keadilan, yang merupakan hak setiap korban dan bagian dari
tegaknya prinsip kedaulatan hukum;
• hak atas pemulihan (reparasi), yang meliputi kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi bagi korban; dan,
• jaminan agar pelanggaran tidak berulang lagi.
Gagasan/Usulan Masyarakat Sipil dalam Kerangka Keadilan Transisi
Sepanjang era reformasi, berbagai gagasan dan usulan kepada Negara untuk
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu terus disuarakan. Salah
satu jaringan masyarakat sipil yang terus mendiskusikan hal ini adalah KKPK (Koalisi
Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran), yakni sebuah jaringan kerja bersama antara
lembaga-lembaga pembela HAM dan organisasi komunitas korban.
Berdasar dari berbagai pengalaman Negara-Negara lain, KKPK merumuskan usulan
penyelesian yang menyeluruh dan efektif sebagai “Jalan Indonesia”, yakni:
1. Penegakan integritas Indonesia sebagai negara hukum
2. Pengungkapan kebenaran dan pengakuan terhadap kebenaran
3. Pemulihan martabat dan penghidupan korban
4. Pendidikan dan dialog publik menuju rekonsiliasi
5. Pencegahan keberulangan melalui perubahan kebijakan dan pembaruan
kelembagaan
6. Partisipasi aktif korban dan penyintas
“Tidak ada jalan tunggal untuk mencapai penyelesaian yang sungguh-
sungguh menyeluruh dan efektif atas sekian banyak kasus pelanggaran
berat HAM yang pernah terjadi di tanah air Indonesia. Banyak pihak
harus melakukan andilnya – dalam kisi-kisi kewenangan dan
kapasitasnya masing-masing – untuk bisa mencapai tujuan akhir yang
diharapkan, sejalan dengan amanat Konstitusi terkait penyelenggaraan
negara dan kehidupan berbangsa.”

(Dikutip dari dokumen Satya Pilar KKPK)


Inisiatif di Tengah Kebuntuan
Peluang Terkini: Menghidupkan Kembali KKR (Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi)
 Indonesia pernah memiliki UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR. Namun terdapat
pasal-pasal tentang amnesti (pengampunan) bagi pelaku yang dipandang
merugikan korban dan penghapusan impunitas, UU tersebut di-judicial review ke
Mahkamah Konstitusi untuk menghapuskan pasal-pasal tentang amnesti. Dalam
putusannya, MK justru membatalkan UU KKR tersebut.
 Namun demikian, bukan berarti MK kemudian menutup pintu rapat-rapat seluruh
peluang untuk menyelesaikan beragam kasus pelanggaran hak asasi manusia di
masa lalu. Dalam putusannya MK memberikan sejumlah alternatif bagi
penyelesaian, salah satunya dengan pembentukan kembali undang-undang komisi
kebenaran dan rekonsiliasi, yang sejalan dengan UUD 1945, dan menjunjung tinggi
prinsip-prinsip hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia internasional.
Pijakan Konstitusional
 Tap MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan Nasional, yang
menyebutkan: “Kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk
memantapkan persatuan dan kesatuan nasional harus diwujudkan dalam langkah-
langkah nyata, berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta
merumuskan Etika Berbangsa dan Visi Indonesia Masa Depan”.
 UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, juga
disebutkan tentang pentingnya melaksanakan rekonsiliasi nasional untuk
menyelesaikan dan menuntaskan persoalan-persoalan yang masih mengganjal pada
masa yang lalu, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakan-tindakan kejahatan
politik yang dilakukan atas nama negara, sebagai salah satu bagian dari konsolidasi
demokrasi.
Janji Presiden Jokowi

“Saat ini Pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar paling bijaksana
dan mulia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air.
Pemerintah menginginkan ada rekonsiliasi nasional sehingga generasi
mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu. Anak-anak bangsa
harus bebas menatap masa depan yang terbentang luas. Semua itu merupakan
langkah awal pemerintah untuk menegakkan kemanusiaan di bumi
Nusantara.”

(Pernyataan Presiden RI pada Pidato Kepresidenan, 14 Agustus 2015)

Anda mungkin juga menyukai